Anda di halaman 1dari 30

TINJAUAN MATA KULIAH

Pembahasan Hukum Waris BW (HKK303/2SKS) memberikan


pemahaman mengenai tata cara melakukan pembagian warisan sebagai
akibat dari meninggal atau matinya seseorang. Pembagian warisan
dibedakan menjadi dua, yaitu pembagian warisan menurut undang-
undang dan pembagian warisan menurut surat wasiat atau testamen.
Salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia adalah
peristiwa kematian. Kematian merupakan peristiwa hukum karena
menimbulkan akibat yang diatur oleh hukum, salah satunya adalah
masalah pewarisan. Dengan matinya seseorang, timbul permasalahan
mengenai siapakah yang akan meneruskan hak-hak dan kewajiban-
kewajibannya, khususnya hak dan kewajiban dalam lapangan hukum
kekayaan.
Buku ini menguraikan mengenai Hukum Waris Undang-Undang
yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH.
Perdata), sebagai panduan bagi para mahasiswa dalam mempelajari
materi Hukum Waris; selanjutnya kepada mahasiswa diwajibkan
membaca literatur lain sebagai pembanding. Pada umumnya mahasiswa
beranggapan bahwa materi hukum waris ini sulit dipahami, selain karena
ada materi hitungan, juga dalam memahami prinsip-prinsip
pewarisannya. Oleh karena itu buku ini disusun guna memudahkan
mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan dan menelaah bahan pustaka.
Dalam buku ini juga dilengkapi dengan contoh soal dan latihan.
Pembahasan dalam buku ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
materi UTS yang terdiri dari 7 Bab dan materi UAS yang terdiri dari 5
Bab. Ruang lingkup mata kuliah Hukum Waris BW meliputi pokok-
pokok bahasan sebagai berikut:
Bab I : Membahas tentang Pengertian, Berlakunya Hukum Waris
KUH Perdata, Pluralisme Hukum Waris, Unsur-unsur
Pewarisan, Syarat Menjadi Ahliwaris dan Onwaardigheid.
Bab II : Membahas tentang Hak-hak Ahliwaris yang terdiri dari hak
yang sifatnya umum dan hak yang sifatnya khusus, Akibat
Hukum Penerimaan dan Penolakan Warisan, Cara Mewaris,
dan Prinsip Umum Pewarisan Menurut Undang-Undang
yang terdiri dari Prinsip Golongan Ahliwaris dan Prinsip
Hubungan Perderajatan.
Bab III : Membahas tentang Ahliwaris Golongan 1, terdiri dari Hak
Waris Anak, Hak Waris Isteri atau Suami, Pembagian
Warisan di antara Ahliwaris Golongan 1 dan Lembaga Lex
Hac Edictali.

1
Bab 1V : Membahas tentang Ahliwaris Golongan 2, terdiri dari Hak
Waris Orang Tua, Hak Waris Saudara, Pembagian Warisan di
antara Ahliwaris Golongan 2.
Bab V : Membahas tentang Ahliwaris Golongan 3, terdiri dari
pembahasan mengenai Kloving, Akibat Hukum Kloving,
Ahliwaris Golongan 3 dan Pembagian Warisan di antara
Ahliwaris Golongan 3.
Bab VI : Membahas tentang Ahliwaris Golongan 4 dan Pembagian
Warisan di antara Ahliwaris Golongan 4.
Bab VII : Membahas tentang Hak Waris Aktif Anak Luar Kawin, terdiri
dari Pengertian Anak Luar Kawin, Penggolongan Anak Luar
Kawin, Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin, Pengakuan
Anak Luar Kawin, Pengesahan Anak Luar Kawin, Pembagian
Warisan diantara Anak Luar Kawin.
Bab VIII : Membahas tentang pengetian inbreng, tujuan inbreng,
penerima hibah yang wajib inbreng dan hibah yang wajib
diinbreng.
Bab IX : Membahas tentang pengertian dan unsur-unsur surat wasiat,
bentuk surat wasiat, isi surat wasiat dan kecakapan untuk
membuat wasiat.
Bab X : Membahas tentang pembatasan pembuatan surat wasiat, yang
terdiri dari pembatasan yang sifatnya umum dan pembatasan
yang sifatnya khusus.
Bab XI : Membahas tentang pengertian legitime portie, syarat
legitimaris, dan rumus legitime portie
Bab XII : Membahas tentang cara menghitung legitime portie,
perhitungan legitime portie dengan adanya hibah atau wasiat
dan cara melakukan pemotongan terhadap wasiat atau hibah
yang disebut sebagai inkorting.

Purwokerto, 30 Maret 2021

2
PETA KOMPETENSI
HUKUM WARIS BW/HKK 303/2SKS

Memahami dan menganalisis persoalan pembagian warisan menurut


KUH Perdata/BW.

7 12
Memahami pembagian warisan bagi Memahami tentang cara
Anak Luar kawin menghitung legitime portie
dan melakukan inkorting

6 11
Memahami pembagian warisan Memahami tentang bagian
diantara ahliwaris Golongan 4 mutlak atau legitime portie

5 10
Memahami pembagian warisan Memahami tentang pembatasan
diantara ahliwaris Golongan 3 pembuatan surat wasiat

4 9
Memahami pembagian warisan Memahami tentang pengertian dan
diantara ahliwaris Golongan 2 unsur-unsur surat wasiat, bentuk-
bentuk surat wasiat

3 8
Memahami pembagian warisan Memahami tentang pengertian dan
diantara ahliwaris Golongan 1 cara menghitung inbreng

2
Memahami tentang Hak-hak Ahliwaris yang terdiri dari hak yang sifatnya umum dan
hak yang sifatnya khusus, Akibat Hukum Penerimaan dan Penolakan Warisan, Cara
Mewaris, dan Prinsip Umum Pewarisan Menurut Undang-Undang yang terdiri dari
Prinsip Golongan Ahliwaris dan Prinsip Hubungan Perderajatan

1
Memahami pengertian dan unsur-unsur pewarisan, pluralisme hukum
waris, dua macam pewarisan, dan syarat menjadi ahliwaris

3
PENGERTIAN
1 PEWARISAN
PENDAHULUAN

Materi yang dibahas dalam Bab I dimulai dengan membahas


tentang pengertian dan unsur-unsur pewarisan, serta istilah-istilah
penting yang nantinya akan dipelajari secara utuh dalam buku Hukum
Waris BW ini. Sehingga dari awal para mahasiswa sudah dapat mengerti
mengenai ruang lingkup pengaturan dalam Hukum Waris BW yang
terdiri dari dua pokok bahasan yaitu pewarisan menurut undang -undang
dan pewarisan menurut surat wasiat atau testamen.
Secara umum yang dibahas dalam Bab I ini terdiri dari:
a. Pengertian Hukum Waris
b. Unsur-unsur Pewarisan
c. Dua Macam Pewarisan
d. Pengaturan Hukum Waris
e. Pluralisme Hukum Waris
f. Prinsip Pasal 874 KUH Perdata
g. Penjabaran Unsur-unsur Pewarisan
h. Rumus menentukan Harta Warisan
i. Syarat menjadi Ahliwaris
j. Orang yang tidak patut mewaris (Onwaardigheids Ps. 838).
Setelah mempelajari materi dalam Bab I ini diharapkan mahasiswa
dapat memahami hal-hal sebagai berikut:
a. Pengertian dan unsur-unsur pewarisan
b. Pengaturan hukum waris dalam KUH Perdata
c. Adanya pluralisme hukum waris di Indonesia
d. Kedudukan surat wasiat dalam hukum waris
e. Dapat menentukan besarnya harta warisan
f. Syarat-syarat seseorang untuk menjadi ahliwaris, terdiri dari hal-hal
yang menimbulkan hubungan pewarisan dan hal-hal yang
memutuskan hubungan pewarisan.

4
A. PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR PEWARISAN
Hukum waris adalah aturan hukum yang mengatur
mengenai akibat hukum dari matinya seseorang terhadap kekayaan
yang ditinggalkannya, yaitu mengatur bagaimanakah kekayaan
tersebut akan berpindah kepada orang-orang yang berhak
menerimanya. Juga diatur mengenai akibat hukum dari perpindahan
tersebut baik dalam hubungan diantara para ahliwaris maupun
dalam hubungan antara ahliwaris dengan pihak ketiga.
Dengan demikian terdapat tiga unsur pewarisan, yaitu :
adanya orang yang meninggal dunia (pewaris), adanya harta warisan
dan orang yang berhak atas harta warisan tersebut. Pewaris adalah
orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta warisan,
karena hanya peristiwa kematianlah yang menimbulkan masalah
pewarisan. Saat kematian pewaris merupakan saat terbukanya
warisan, pada saat itu muncullah apa yang disebut pewaris, harta
warisan dan ahliwaris. Saat kematian pewaris mempunyai peranan
yang penting dalam pembicaraan mengenai hukum waris karena
dapat menentukan mengenai hukum waris mana yang berlaku
(khususnya kalau terjadi perubahan hukum waris), siapa yang berhak
mewaris, menghitung besarya harta warisan, menilai hibah,
menghitung tenggang daluwarsa dan lain-lain.
Harta warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva
dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada ahliwaris1. Dengan
meninggalnya pewaris, kekayaan tersebut menjadi milik bersama
para ahliwaris yang disebut boedel. Peralihan hak milik tersebut
terjadi secara otomatis, seketika dan demi hukum sejak saat matinya
pewaris.
Unsur ketiga yaitu mereka yang berhak atas harta warisan,
yaitu pada umumnya adalah ahliwaris atau yang disebut penerima
warisan dengan alas hak umum, karena ahliwaris menerima baik
aktiva dan pasiva warisan. Selain itu ada pula yang disebut penerima
warisan dengan alas hak khusus, mereka hanya menerima aktiva
warisan tanpa kewajiban menanggung pasiva warisan. Mereka ini
yang dinamakan legataris atau penerima legaat atau hibah wasiat.
Pewarisan adalah peristiwa berpindahnya hak milik atas
harta warisan dari pewaris kepada ahliwaris, yang mana terjadi
seketika dan demi hukum sejak saat matinya pewaris (saisine). Hal
mana dapat terjadi melalui dua kemungkinan, yaitu pewarisan
berdasar undang-undang (ab-intestato) atau pewarisan berdasar surat
wasiat atau pewarisan testamenter (ad-testamento).

1 J. Satrio, Hukum Waris, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 8.

5
Surat wasiat adalah suatu akta yang berisikan pernyataan
kehendak pewaris tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi atas
harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya
dapat dicabut kembali (Pasai 875). Berdasarkan isinya surat wasiat
dapat disebut sebagai wasiat pengangkatan waris (erfstelling) atau
hibah wasiat (legaat). Erfstelling atau disebut juga wasiat pengangkatan
waris adalah surat wasiat yang isinya mengangkat atau menunjuk
seseorang menjadi ahliwaris testamenter, sedangkan hibah wasiat
(legaat) adalah surat wasiat yang mengangkat atau menunjuk
seseorang menjadi penerima legaat (legataris). Surat wasiat disebut
sebagai erfstelling atau legaat, bukanlah dilihat dari bunyi kata-kata
atau judul surat wasiat, melainkan dilihat dari bagaimanakah isi
pemberian dalam surat wasiat (Pasal 876). Apabila surat wasiat
berisikan suatu pemberian atas seluruh atau sebagian sebanding
tertentu atas harta warisan, ini dinamakan erfstelling (Pasal 954);
sedangkan apabila berisikan pemberian atas barang tertentu, atau
barang dari jenis tertentu, ataupun pemberian hak pakai hasil atas
seluruh atau sebagian harta warisan, ini dinamakan legaat (Pasal 957).
Pewaris pada dasarnya mempunyai keleluasaan dalam
membuat wasiat, pada satu sisi pewaris dapat mengangkat seseorang
(yang bukan keluarga sedarah atau bukan ahliwaris undang-undang)
untuk menjadi ahliwaris testamenter, pada sisi yang lain pewaris
dapat menyingkirkan keluarga sedarah atau ahliwaris undang-undang
dari haknya atas harta warisan. Hanya dalam beberapa hal tertentu
undang-undang memberikan pembatasan, salah satu diantaranya
adalah adanya ketentuan mengenai bagian mutlak (legitieme portie).
Legitieme portie atau bagian mutlak adalah bagian tertentu atas
harta warisan yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi hak para
ahliwaris dalam garis lurus; mereka dinamakan legitimaris. Aturan
mengenai legitieme portie ini termasuk salah satu ketentuan dalam
hukum waris yang bersifat memaksa (dwingenrecht), dimana pewaris
dilarang membuat suatu ketetapan atas harta warisan baik melalui
hibah ataupun dengan surat wasiat yang mengakibatkan menjadi
berkurangnya bagian mutlak (legitieme portie) dalam sesuatu warisan.
Apabila ketentuan tersebut dilanggar oleh pewaris, para legitimaris
dapat mengajukan penuntutan pemotongan atas wasiat pewaris yang
disebut inkorting.
Adakalanya seorang pewaris semasa hidupnya memberikan
hibah kepada seseorang tertentu, baik mereka itu para ahliwaris
undang-undang ataupun bukan ahliwaris. Hibah-hibah tersebut
adakalanya harus diperhitungkan pada saat dilakukan pembagian
warisan pewaris, ini yang dinamakan pemasukan (inbreng). Tujuan
pemasukan (inbreng) bukanlah untuk mengurangi hibah, melainkan

6
untuk tercapainya pembagian warisan yang lebih adil atau seimbang
diantara para ahliwaris. Dengan adanya inbreng ada kemungkinan
ahliwaris yang pernah menerima hibah hanya akan menerima bagian
warisan yang lebih kecil dibandingkan ahliwaris yang tidak
menerima hibah, ataupun bahkan tidak berhak lagi atas harta
warisan.

B. BERLAKUNYA HUKUM WARIS KUH. PERDATA DI


INDONESIA
Berdasarkan Pasal 131 I.S. jo. 163 I.S., Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dinyatakan berlaku bagi:
1. orang-orang Belanda;
2. orang-orang Erapa yang lain;
3. orang-orang Jepang dan orang-arang lain yang tidak termasuk
dalam kelompok 1 dan 2 yang tunduk pada hukum yang
mempunyai asas-asas hukum keluarga yang sama;
4. orang yang lahir di Indonesia, yang sah ataupun diakui secara sah
dan keturunan lebih lanjut dari orang-orang yang termasuk
kelompok 2 dan 3.
Selanjutnya berdasarkan S. 1855 No. 79, bahwa ketentuan
Hukum Waris Testamenter dinyatakan berlaku bagi golongan Timur
Asing, akan tetapi sejak 1 Mei 1919 lembaran negara ini tidak
berlaku lagi. Sehubungan dengan adanya pembedaan antara
golongan Timur Asing menjadi Timur Asing Cina dan bukan Cina,
bagi golongan Cina diberlakukan S. 1917 No. 129 yang kepadanya
diberlakukan seluruh ketentuan KUH. Perdata, sedangkan bagi
golongan Timur Asing bukan Cina diberlakukan S. 1924 No. 556
yang berlaku sejak 1 Maret 1925, bahwa KUH. Perdata dinyatakan
berlaku, kecuali :
1. Buku I title 2;
2. Buku I title 4 s/d 114;
3. Buku I title 15 dengan perkecualian
- orang-orang Timur Asing adalah belum dewasa kalau mereka
belum berusia 21 tahun dan belum menikah.
- Bagian 13 (title 15 buku 1) tentang Weeskamer mengikuti
peraturan tentang boedelmeester;
4. Buku 11 title 12 tentang pewarisan karena kematian;
5. dan beberapa ketentuan lain.

C. PLURALISME DI BIDANG HUKUM WARIS


Hukum waris yang berlaku di Indonesia dapat dikatakan
bersifat pluralistis, karena terdapat lebih dari dua sistem hukum
waris yang berlaku, yaitu :

7
a. bagi orang-orang Indonesia asli pada pokoknya berlaku Hukum
Adat, yang berbeda dalam berbagai daerah lingkungan hukum
adat;
b. bagi orang-orang Indonesia asli yang beragarma Islam, diberbagai
daerah ada pengaruh yang nyata dari peraturan Hukum Islam
(Al-Faroid);
c. bagi orang-orang Arab pada umumnya berlaku seluruh Hukum
Waris dalam Hukum Islam;
d. bagi orang Cina dan Eropa berlaku Hukum Waris dalam KUH.
Perdata2.
Dengan adanya berbagai macam sistem hukum waris yang
berlaku, merupakan beban kesulitan tersendiri bagi orang yang akan
mempelajari Hukum Waris di Indonesia. Sungguh sangat
disayangkan bahwa hingga saat ini belum terdapat univikasi di
bidang hukum waris pada khususnya dan hukum perdata pada
umumnya yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia.
Diantara ketiga sistem hukum waris --- KUH. Perdata,
Hukum Islam dan Hukum Adat --- dapat dikatakan bahwa
ketentuan dalam KUH Perdata yang paling mudah untuk dipelajari,
khususnya berkaitan dengan materi : siapa yang ditunjuk menjadi
ahliwaris, apa yang termasuk dalam harta warisan, dan bagaimana
pembagian warisan diantara para ahliwaris. Hal ini sesuai prinsip
pengaturan dalam KUH Perdata yang mengatur segala sesuatu
secara rinci, termasuk di dalamnya mengenai masalah pembagian
warisan. Berbeda halnya dengan produk-produk hukum di Indonesia
yang hampir selalu hanya mengatur mengenai pokok-pokoknya saja,
sehingga untuk sampai pada pelaksanaannya harus dilengkapi
dengan Peraturan Pemerintah dan peraturan teknis lainnya.

D. DUA MACAM PEWARISAN


Terdapat dua macam pewarisan, yaitu : pewarisan berdasar
undang-undang dan pewarisan berdasar surat wasiat atau testamen.
Pewarisan berdasar undang-undang disebut pula pewarisan karena
kematian (ab-intestato) yaitu peristiwa kematian dimana pewaris tidak
meninggalkan surat wasiat, sehingga segala sesuatunya diatur
berdasarkan undang-undang; baik mengenai siapa yang ditunjuk
menjadi ahliwaris, syarat mewaris dan pembagian warisannya.
Ahliwarisnya dinamakan ahliwaris undang-undang (ahliwaris ab-
intestaat).

2 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung,


1983, hlm. 18 – 19.

8
Pewarisan berdasar surat wasiat adalah pewarisan yang
didasarkan pada kehendak pewaris dalam surat wasiat atau testamen,
disebut dengan pewarisan testamenter (ad-testamento) dan ahliwarisnya
dinamakan ahliwaris testamenter. Siapa yang ditunjuk menjadi
ahliwaris dan cara pembagian warisannya sesuai dengan kehendak
pewaris dalam surat wasiat.
Dengan adanya dua macam pewarisan tersebut, maka kalau
terdapat seorang yang meninggal dunia, harus diketahui lebih dahulu
apakah orang yang meninggal tersebut meninggalkan surat wasiat
ataukah tidak. Hal ini berkaitan dengan apa yang diatur dalam Pasal
874 KUH. Perdata, yang menyatakan bahwa : "Segala harta
peninggalan seorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian
ahliwarisnya menurut undang-undang, sekedar terhadap itu dengan
surat wasiat tidak telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah".
Dalam Pasal 874 di atas terdapat dua pernyataan, yang
pertama menyatakan bahwa : segala harta peninggalan seorang yang
meninggal dunia adalah hak para ahliwaris undang-undang, artinya
kalau ada seorang yang meninggal dunia, maka harta warisannya
dibagi menurut ketentuan pewarisan undang-undang. Sedangkan yang
kedua menyatakan bahwa : sekedar terhadap itu dengan surat wasiat
tidak telah diambil sesuatu ketetapan yang sah. Hal ini menunjukkan
bahwa berlakunya pernyataan pertama digantungkan pada ada
tidaknya perbuatan hukum sebagaimana disebutkan dalam pernyataan
kedua, yaitu apakah pewaris meninggaikan surat wasiat ataukah tidak.
Berdasarkan ketentuan Pasal 874 KUH. Perdata di atas, dapat
diambil pengertian bahwa :
1. kehendak pewaris dalam surat wasiat didahulukan;
2. ketentuan pewarisan menurut undang-undang pada dasarnya
bersifat menambah (anvullendrecht) atau mengatur (regelendrecht),
walaupun terdapat beberapa ketentuan didalamnya yang bersifat
memaksa (dwingenrecht);
3. kehendak pewaris tersebut harus dibuat dalam surat wasiat yang
memenuhi syarat formil dan materiil pembuatan surat wasiat.
Dalam KUH. Perdata yang diatur lebih dahulu adalah
pewarisan berdasar undang-undang dan baru kemudian diatur
mengenai pewarisan berdasar surat wasiat. Ketentuan pewarisan
undang-undang dapat dipandang sebagai ketentuan umum, sedangkan
pewarisan testamenter sebagai ketentuan khususnya. Ketentuan
umum menjadi tidak berlaku apabila ketentuan khusus juga telah
mengatur secara tersendiri.
Pewarisan berdasar undang-undang menganut asas bahwa
mereka yang mempunyai hubungan darah terdekat dengan pewarislah
yang berhak mewaris. Pembentuk undang-undang membuat

9
persangkaan (vermoedelijk wil) bahwa hal tersebut adalah yang memang
dikehendaki oleh pewaris, menurut pemikiran yang objektif dan
rasional. Pemikiran yang objektif dan rasional mengatakan bahwa
suasana kebatinan diantara orang-orang yang mempunyai hubungan
darah adalah lebih dekat dibandingkan dengan mereka yang tidak
rnempunyai hubungan darah atau orang lain. Oleh karena itu
pantaslah apabila ada orang yang meninggal dunia, maka yang berhak
atas harta warisannya adalah orang-orang yang mempunyai hubungan
darah dengannya. Sebaliknya akan terasa aneh dan janggal kalau ada
orang yang tidak mempunyai hubungan darah dengan pewaris, tiba-
tiba datang menuntut bagian atas harta warisan.
Akan tetapi kenyataan kadang berbeda dengan apa yang
diharapkan, bahwa kemungkinan hubungan kekeluargaan diantara
para keluarga sedarah sedemikian buruknya, pihak yang satu
bermusuhan dengan pihak yang lain. Adanya kenyataan tersebut
dapat berakibat bahwa seorang tidak menghendaki kalau harta
warisannya diwarisi oleh keluarga sedarahnya sendiri. Dalam hal
seperti ini seorang dapat membuat wasiat dan menentukan sendiri
siapa yang ditunjuk menjadi ahliwaris dan pembagian atas harta
warisannya.
Dengan adanya wasiat pewaris dapat mencegah timbulnya
sengketa di antara ahliwaris, karena apa yang menjadi hak bagian
para ahliwaris sudah ditentukan oleh pewaris; dalam hal ini kalau
pembagian warisan oleh pewaris memang memenuhi rasa keadilan
diantara ahliwaris. Selain itu adanya rasa penghormatan atas
kehendak (wasiat) orang tua yang pada umumnya dipegang teguh
dalam masyarakat.

E. ASAS-ASAS UMUM PEWARISAN


1. Asas Mengenai Pewaris
Pasal 830 KUH. Perdata menyatakan bahwa: "Pewarisan
hanya berlangsung karena kematian". Hal ini menandaskan bahwa
hanya peristiwa kematianlah yang dapat melahirkan masalah
pewarisan. Kata "mati" dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai
tiga pengertian, yaitu :
a. kematian alamiah, atau kematian yang sesunguhnya, artinya
orangnya betul-betul meninggal dunia menurut ilmu kesehatan
atau kedokteran;
b. kematian akibat adanya putusan hakim tentang pernyataan
kemungkinan meninggal dunia;
c. kematian perdata, hal ini berkaitan dengan adanya putusan
hakim yang mencabut hak keperdataan seseorang. Orang yang

10
mendapat hukuman sepeti ini menjadi kehilangan
kepribadiannya, tidak lagi menjadi subjek hukum melainkan
menjadi objek hukum.
Kematian perdata (huruf c), tidak dikenal dalam KUH. Perdata
berdasar Pasal 3, yang menyatakan bahwa : "Tiada suatu
hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan hak -
hak kewargaan".
Sebelum ada arang yang meninggal dunia, orang tidak dapat
menyebutkan tentang adanya harta warisan dan menyatakan bahwa
dirinya adalah ahliwaris. Berbeda halnya dengan hukum adat dimana
seringkali pewarisan sudah terjadi ketika pewaris masih hidup, yaitu
dengan membagikan hartanya kepada para anak-anaknya, sehingga
pada saat pewaris mati, kekayaannya sudah tidak utuh atau bahkan
mungkin telah habis dibagikan. Dalam pengertian bahwa pemberian
semasa hidupnya pewaris, seringkali dapat dipandang sebagai suatu
pembagian warisan.
Dalam KUH. Perdata prinsip di atas dipegang teguh,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1334, yang menyatakan :
Ayat (1) :"Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat
menjadi pokok suatu persetujuan”.
Ayat (2) :”Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu
warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta
diperjanjikannya sesuatu hak mengenai warisan itu, sekalipun
dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan
yang menjadi pokok persetujuan itu; dengan tidak merngurangi
ketentuan-ketentuan Pasal 169, 176 dan 178".
Selanjutnya asas tersebut mendapat penerapannya dalam
Pasal 1063 KUH. Perdata yang menyatakan :”Sekalipun dalam suatu
perjanjian kawin, tidak dapatlah seorang melepaskan haknya atas
warisan seorang yang masih hidup, begitupun tak dapatlah ia
menjual hak-hak yang dikemudian hari akan diperolehnya atas
warisan seperti itu”.
Ketentuan di atas adalah logis dan memang seharusnya
demikian, dari sini dapat ditarik suatu asas bahwa tidak seharusnya -
-- atau bahkan tidak pantas --- seseorang membicarakan tentang
warisan manakala si pemilik warisan itu masih hidup. Dalam kedua
pasal di atas, disebutkan bahwa seseorang tidak dapat melepaskan
haknya atas harta warisan; arti kata melepaskan warisan adalah
menyatakan menolak warisan. Hal ini harus diartikan bahwa kalau
melepaskan hak saja tidak diperbolehkan, apalagi meminta bagian
atas harta warisan. Adanya larangan mengatur mengenai warisan
dimana pemilik warisan masih hidup, lebih didasarkan bahwa hal itu
tidaklah pantas karena bertentangan dengan norma kesusilaan dan

11
sopan santun yang harus diperhatikan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Perkecualian terhadap ketentuan di atas terdapat dalam
Pasal 467 dan 470 KUH. Perdata. Pasal-pasal tersebut mengatur
mengenai orang yang telah meninggalkan tempat untuk suatu jangka
waktu tertentu (5 tahun untuk Pasal 467 dan 10 tahun untuk Pasal
470), dan padanya tidak terdengar kabar sehingga orang tidak
mengetahui apakah orang itu masih hidup ataukah telah meninggal
dunia; maka mereka yang berkepentingan dapat meminta kepada
Hakim di Pengadilan Negeri dimana rumah kematian berada agar
orang yang meninggalkan tempat dinyatakan sebagai orang yang
diduga meninggal dunia (vonnis van vermoedelijke dood).
Selanjutnya Pasal 472 KUH. Perdata dan seterusnya
mengatur tentang hak dan kewajiban dari mereka yang diduga
adalah ahliwaris dari orang yang diduga meninggal dunia. Di sini
terdapat pewarisan dari orang yang diduga meninggai dunia (diduga
pewaris) kepada orang yang diduga ahliwaris, sekalipun mula-mula
bukan merupakan pewarisan yang definitif atau sempurna; baru
setelah lewat jangka waktu tertentu akan menjadi tetap. Adanya
ketentuan tersebut adalah demi kepastian hukum dan kepentingan
dari, baik mereka yang diduga meninggal dunia (pewaris) maupun
mereka yang diduga ahliwaris dan pihak ketiga yang mempunyai
hubungan hukum dengan pewaris seperti halnya seorang kreditur
warisan.
2. Asas Mengenai Ahliwaris
Asas pokok mengenai ahliwaris terdapat dalam Pasal 836
dan 899 KUH. Perdata. Pasal 836 menyebutkan bahwa :"Dengan
mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab ini, supaya dapat
bertindak sebagal waris, seorang harus telah lahir, pada saat warisan
jatuh meluang", Selanjutnya Pasal 899 menyebutkan bahwa
:"Dengan mengindahkan akan ketentuan dalam pasal 2 Kitab
Undang-undang ini, untuk dapat menikmati sesuatu dari suatu surat
wasiat, seorang harus telah ada, tatkala si yang mewariskan
meninggal dunia”.
Kedua pasal di atas mensyaratkan bahwa untuk dapat
menjadi ahliwaris, baik dalam pewarisan menurut undang-undang
ataupun pewarisan testamenter, seseorang harus telah lahir pada saat
terbukanya warisan atau saat matinya pewaris. Akan tetapi hal ini
dengan mengingat apa yang diatur dalam Pasal 2 KUH. Perdata
tentang anak yang ada dalam kandungan dan ditinggal mati oleh
bapaknya, yang menyatakan bahwa :”Anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan,

12
bilamana juga kepentingan si anak mengihendakinya”: Demi
perlindungan hukum bagi si anak yang masih dalam kandungan,
dapat dianggap sebagai telah dilahirkan sehingga dapat menjadi
subjek hukum atau pendukung hak dan kewajiban, dengan syarat
bahwa anak tersebut lahir dalam keadaan hidup.
Kata “telah lahir” harus diartikan pula sebagai "masih
hidup"; sehingga saat kelahiran dan kematian seorang sangat penting
dan bersifat menentukan dalam pembicaraan mengenai hukum
waris, Saat tersebut menentukan siapa saja yang berhak menjadi
ahliwaris dan sejak kapan hak dan kewajiban pewaris berpindah
kepada ahliwaris, dengan akibat bahwa mati pada saat yang sama
diantara orang-orang yang mempunyai hubungan pewarisan,
memutuskan hubungan pewarisan diantara mereka (Pasal 831).
Ada kemungkinan bahwa orang tidak dapat menentukan
secara pasti saat kematian seseorang, atau kematian beberapa orang
yang mempunyai hubungan pewarisan; misalnya dalam hal terjadi
kematian massal karena terjadi kecelakaan lalu lintas, bencana alam,
atau terjangkitnya suatu wabah penyakit dalam suatu wilayah
tertentu (epidemi). Untuk menciptakan kepastian hukum,
dicantumkanlah ketentuan Pasal 831 yang menentukan bahwa
:"Apabila beberapa orang, antara mana yang satu adalah untuk
menjadi waris yang lain, karena satu malapetaka yang sama, atau
pada satu hari, telah menemui ajalnya dengan tidak dapat diketahui,
siapakah kiranya yang mati terlebih dahulu, maka dianggaplah
mereka telah meninggal dunia pada detik yang sama, dan
perpindahan warisan dari yang satu kepada yang lain taklah
berlangsung karenanya"
Ketentuan yang kurang lebih sama terdapat dalam Pasa1
894 --- berlaku dalam pewarisan testamenter --- yang menyebutkan:
"Apabila karena satu-satunya malapetaka atau pada hari yang sama,
si yang mewariskan, sepertipun si waris, atau penerima hibah, atau
sekalian mereka yang karena suatu pengangkatan waris renteng yang
diperbolehkan, sedianya harus mengganti mereka, semua itu
menemui ajalnya, dengan tak dapat diketahui, siapakah kiranya yang
meninggal lebih dahulu, maka dianggaplah mereka telah meninggal
dunia pada detik waktu yang sama, sehinggapun tak terjadilah suatu
perpindahan hak karena surat wasiat itu".
Pitlo berpendapat bahwa berlakunya kedua pasal di atas,
terbatas pada peristiwa "meninggal dunia pada hari yang sama atau
pada kecelakaan yang sama". Kecelakaan yang sama itu tidak hanya
berarti kecelakaan mobil atau kapal, melainkan juga bahaya
kelaparan berjuta-juta orang di suatu negara terbelakang; atau
kecelakaan di tambang batu bara. Jadi cakupannya sangat luas.

13
Meskipun demikian sementara penulis hendak menerangkan bahwa
pasal tersebut berlaku atas semua kejadian di mana ada keragu-
raguan mengenai siapa meninggal lebih dahulu (Opzoomer).
Alasannya adalah, bahwa sebenarnya pasal itu tidak perlu ada,
meskipun demikian undang-undang mengatur keadaan demikian.
Hartono Soerjopratiknjo menyebutkan bahwa pembuat undang-
undang menghendaki agar setiapkali ada keragu-raguan mengenai
siapa yang telah meninggal dunia lebih dahulu harus dianggap
mereka telah meninggal dunia pada saat yang sama 3.
Kedua pasal di atas berisikan suatu fictie hukum yang belum
tentu kebenarannya, oleh karena itu dapat dipatahkan dengan bukti
yang lebih kuat. Sehingga dapat dikatakan bahwa kedua pasal itu
mengatur juga mengenai pengalihan beban pembuktian, artinya
ahliwaris yang tidak setuju dengan fictie hukum tersebut yang harus
membuktikan bahwa mereka tidak meninggal dalam waktu yang
sama. Lihat skema di bawah ini :

A B
C D
E F
Dalam gambar di atas antara A dan C adalah dua orang yang
mempunyai hubungan pewarisan yang semuanya telah menemui
ajalnya akibat suatu kecelakaan yang sama, hai ini kalau dikaitkan
dengan uraian di atas akan ditemui tiga kemungkinan, yaitu :
1. A dan C mati pada saat yang sama, maka antara A dan C
terputus hubungan pewarisannya, A tidak dapat menjadi
ahliwaris C dan C juga tidak dapat menjadi ahliwaris A. Oleh
karena itu harta warisan A diwaris oleh B dan D, sedangkan
harta warisan C diwaris oleh E dan F. Dalam hal ini E dan F
tidak dapat ikut mewarisi harta warisan A, baik mewaris atas
dasar kedudukan sendiri ataupun dengan penggantian tempat.
Dalam pewarisan karena kedudukan sendiri, kedudukan E dan
F sebagai keluarga sedarah dalam derajan 2 tertutup haknya
oleh B dan D, sedangkan dalam. pewarisan berdasar .
penggantian tempat, syarat pewarisannya tidak terpenuhi yaitu
harus adanya orang yang mati lebih dulu dan pewarisnya.

3 Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Seksi Notariat Fakultas


Hukum UGM, Yogyakarta, 1983, hlm 8.

14
2. C mati lebih dulu dari A, maka terjadi pewarisan berdasar
penggantian tempat, yaitu E dan F mewaris atas harta warisan
A dengan menggantikan tempatnya C bersama dengan B dan
D, Harta warisan C diwaris oleh E dan F. Dengan demikian E
dan F mewaris dari dua pewaris, yaitu C dan A.
3. A mati lebih dulu dari C (C mati sesudah A), maka terjadi dua
kali peristiwa pewarisan, yaitu pada saat A mati maka
ahliwarisnya adalah B, C dan D. Karena beberapa waktu
kemudian C juga mati, maka apa yang menjadi hak bagian C
(dari harta warisan A) diwaris oleh E dan F. Ingat bahwa
peralihan hak milik atas dasar pewarisan terjadi secara seketika
(otomatis) dan demi hukum sejak saat pewaris mati (Pasal 833).
Dalam peristiwa ini E dan F menerima warisan dari C, akan
tetapi harta warisannya terdiri dari dua bagian, yaitu harta
warisan C sendiri dan harta warisan C yang berasal dari A yang
belum dibagi waris.
Ahliwaris adalah orang yang menggantikan kedudukan
pewaris atas harta warisan, apa yang semula dimiliki oleh pewaris
menjadi milik ahliwaris, kalau semasa hidupnya pewaris
berkedudukan sebagai kreditur, maka ahliwaris menggantikan
kedudukannya sebagai kreditur. Sebaliknya kalau semasa hidupnya
pewaris menjadi debitur, maka ahliwaris juga menggantikan
kedudukannya sebagai debitur. Oleh karena itu ahliwaris disebut
sebagai penerima warisan dengan alas hak umum, ahliwaris
mengoper baik aktiva (kekayaan yang ada) maupun pasiva warisan
(hutang-hutang pewaris). Dengan dernikian menjadi ahliwaris ---
menurut KUH. Perdata -- tidak selalu menguntungkan, adakalanya
justru menjadi rugi, yaitu apabila hutang-hutang warisan lebih besar
dibandingkan kekayaan (aktiva) yang ada.
3. Asas Mengenai Harta Warisan
Harta warisan atau harta peninggalan adalah kekayaan yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia (pewaris), dan yang
akan diwaris oleh para ahliwaris. Namun demikian ada sebagian
penulis yang membedakan pengertian antara harta warisan dan harta
peninggalan dengan mengatakan bahwa : kalau harta peninggalan
adalah seluruh kekayaan yang ditinggalkan oleh seorang yang
meninggal dunia (pewaris), sedangkan harta warisan adalah bagian
dari harta peninggalan yang akan dibagi di antara ahliwaris. Masalah
seperti ini akan muncul apabila pewarisnya adalah orang yang telah
berkeluarga (kawin), sehingga pewaris meninggal dalam keadaan
terikat perkawinan, atau meninggalkan isteri atau suami. Bagi orang
yang telah mengikatkan diri dalam suatu perkawinan, maka dikenal

15
yang dinamakan harta keluarga, yaitu kekayaan yang menjadi milik
bersama antara suami dan isteri; antara mereka terdapat kepemilikan
bersama yang terikat (gebonden mede eigendoom). Kepemilikan bersama
tersebut suatu waktu dapat putus apabila hubungan hukum yang
melandasinya (hubungan perkawinan) juga putus, baik karena terjadi
perceraian ataupun salah satu pihak meninggal dunia. Harta keluarga
yang belum dipisahkan inilah yang disebut harta peninggalan,
sedangkan yang telah dipisahkan dan menjadi haknya si meninggal
yang disebut sebagai harta warisan. Sedangkan pendapat yang umum
adalah harta warisan disamakan dengan harta peninggalan yaitu
sebagai kekayaan pewaris yang akan di bagi di antara ahli waris.
Hartono Soejopratiknjo menyebutkan bahwa harta warisan
adalah kesatuan yang sebagai keseluruhan beralih dari si pewaris
kepada para ahliwaris dan tidak ada perbedaan rnengenai macam
atau asal barang yang ditinggalkan. J. Satrio menyebutkan bahwa
harta warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan
pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahliwaris.
Salah satu hal penting yang harus diketahui sebelum
memecahkan masalah pewarisan adalah menentukan besarnya harta
warisan. Untuk itu harus dilihat status perkawinan pewaris, apakah
pewaris semasa hidupnya telah menikah (terikat perkawinan dengan
orang lain) ataukah tidak. Apabila pewaris meninggal dunia dan
tidak meninggalkan isteri atau suami (tidak kawin), maka seluruh
kekayaannya adalah miliknya sendiri, sehingga seluruh kekayaannya
menjadi harta warisan. Sedangkan bagi orang yang telah kawin
(berkeluarga), maka kekayaan dalam keluarga tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai semuanya milik suami atau semuanya milik isteri.
Untuk itu harus dilihat lebih dahulu aturan hukum yang mengatur
kekayaan keluarga tersebut (hukum harta perkawinan), yaitu apakah
kekayaan tersebut diatur berdasar asas persatuan harta (BW) atau
diatur berdasar asas pemisahan harta (UUP No. 1 Tahun 1974). Hal
ini terjadi sebagai akibat diaturnya kekayaan keluarga dalam UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menganut asas
pemisahan harta, sedangkan dalam KUH Perdata menganut asas
persatuan harta.
Dalam asas persatuan harta, maka dalam satu keluarga
hanya dikenal satu kelompok harta (harta persatuan). Semua
kekayaan, baik yang diperoleh masing-masing suami atau isteri
sebelum perkawinan, maupun kekayaan yang diperoleh sepanjang
perkawinan, baik aktiva maupun pasiva, semuanya menjadi satu
kesatuan. Atas harta persatuan suami isteri memiliki “hak milik
bersama yang terikat” (gebonden mede-eigendom), dengan tidak
memandang berapa andil masing-masing ke dalam persatuan harta,

16
suami isteri memiliki hak dan kewajiban yang sama atas harta
persatuan. Apabila dikemudian hari terjadi pemisahan harta ---
karena adanya perceraian atau pewarisan --- maka masing-masing
suami isteri berhak atas setengah harta persatuan. Dengan demikian
harta warisan pewaris yang kawin dengan persatuan harta adalah
sebesar setengah dari harta persatuan, sedangkan setengah bagian
selebihnya adalah milik isteri atau suami yang hidup terlama (dari
hasil pemisahan harta persatuan).

Skema:

A C B

Harta persatuan

Berbeda halnya dengan asas pemisahan harta, di mana


dalam satu keluarga terdapat lebih dari satu kelompok harta, yaitu
harta pribadi suami, harta pribadi isteri dan harta bersama. Harta
pribadi adalah kekayaan yang diperoleh masing-masing suami isteri
sebelum perkawinan dan kekayaan yang diperoleh masing-masing
suami isteri dari hibah ataupun warisan baik yang diperoleh sebelum
atau sepanjang perkawinan. Sedangkan selebihnya merupakan harta
bersama, yaitu kekayaan yang diperoleh suami isteri sepanjang
perkawinan yang tidak termasuk sebagai harta pribadi. Perwaris yang
kawin dengan pemisahan harta, maka harta warisannya adalah : harta
pribadi pewaris ditambah setengah harta bersama.

Skema:

A B
Harta Pribadi Harta Bersama Harta Pribadi

Salah satu asas penting mengenai harta warisan terdapat


dalam Pasal 849 KUH. Perdata yang menyebutkan bahwa “Undang-
undang tak memandang akan sifat atau asal usul daripada barang -
barang dalam sesuatu peninggalan, untuk mengatur pewarisan
terhadapnya”.
KUH. Perdata dalam memandang sesuatu kekayaan
(warisan) pada dasarnya hanya memandang dari segi nilai
ekonomisnya, dan tidak memandang dari nilai-nilai lain seperti :
religio magis, nilai histories atau kenangan dan sebagainya. Juga

17
tidak memandang akan asal usul barang warisan --- barang bawaan
(asal) atau pencaharian ---, karena didasarkan pada asas persatuan
harta. Asal usul harta hanya diperhatikan apabila kekayaan keluarga
diatur dengan asas pemisahan harta.
Apa yang dimaksud dengan harta warisan menurut KUH.
Perdata berbeda dengan pengertian harta warisan dalam hukum adat
dan hukum Islam. Menurut KUH. Perdata harta warisan meliputi
aktiva dan passiva warisan. Berbeda halnya dengan hukum adat dan
hukum Islam (Al-Faroid), yang dinamakan harta warisan adalah :
kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris setelah diambil untuk biaya
penguburan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat 4. Jadi
yang dinamakan warisan selalu dalam pengertian aktiva. Kalau
terjadi bahwa pewaris meninggalkan warisan dimana pasivanya lebih
besar dibandingkan aktiva yang ada, maka kelebihan hutang setelah
dibayar dengan barang-barang warisan yang ada, tidak lagi menjadi
tanggung jawab ahliwaris. Walaupun dalam masyarakat seringkali
terjadi bahwa ahliwaris membayar kelebihan hutang pewaris dengan
harta pribadinya, hal ini bukan merupakan kewajiban hukum,
melainkan kewajiban moral, sebagai perwujudan rasa pengabdian
kepada orang tua. Dengan keyakinan bahwa orang yang meninggal
dunia dengan membawa hutang, kelak akan dituntut pembayarannya
dengan amal baiknya di hadapan Yang Maha Kuasa.
Mewaris --- dalam KUH. Perdata --- adalah menggantikan
kedudukan seorang yang meninggal dunia (pewaris) dalam hal
hubungan-hubungan hukum harta kekayaan dan karena itu dapat
dikatakan bahwa hukum waris adalah bagian dari hukum harta
kekayaan. Kekayaan (vermoogen) adalah semua hak-hak dan kewajiban
yang dipunyai orang, yang mempunyai nilai uang 5. Hubungan-
hubungan hukum lain tidak diwariskan. Hukum waris tidak
mencampuri hukum publik, hal mana berarti bahwa hubungan -
hubungan yang bersifat hukum keluarga tidak diwariskan.
Hak dan kewajiban yang lahir dari hubungan hukum
keluarga seperti : kekuasaan orang tua, perwalian, kuratele, hak
orang tua untuk menikmati hasil, hak dan kewajiban yang
berhubungan dengan pemberian nafkah, semuanya itu tidak
diwariskan. Selanjutnya hak dan kewajiban yang bersumber dari
norma kesusilaan dan sopan santun, juga tidak diwariskan. Gugatan
berdasar penghinaan (Pasal 1372 dan 1373 KUH. Perdata) berakhir
karena kematian dari orang yang berhak menggugat. Akan tetapi jika
orang yang dirugikan atau orang yang dihina itu telah mengajukan

4 Fatchur Rochman, Ilmu Waris, PT Alma’arif, Bandung, 1981, hlm 36-40..


5 J. Satrio, Op.Cit, hlm. 9.

18
tuntutan ke Pengadilan, maka tuntutan itu diwariskan sebagai suatu
tagihan hukum harta kekayaan (H.R. 23 Mei 1958, N.J. 1958, 527;
Hof's Gravenhage 26 Nopember 1958, N.J. 1960, 157).
Hak dan kewajiban yang bersumber dari perikatan
sepanjang tidak bersifat sangat pribadi antara debitur dengan
kreditur, masuk dalam warisan. Hal ini karena hak dan kewajiban
dalam hukum perikatan bernilai uang. Hak yang bersifat sangat
pribadi misalnya : hak memakai dan menghuni rumah (Pasal 823 dan
827), dan keanggotaan dari suatu perkumpulan sepanjang anggaran
dasarnya tidak menentukan lain (Pasal 1644). Selain itu ada juga hak-
hak harta kekayaan yang menurut ketentuan undang-undang hapus
karena kematian, seperti : hak pakai hasil (Pasal 807), hak atas
ljfrente (bunga cagak hidup, Pasal 1776), dan hak dari orang yang
dibebani fidei-commis (Pasal 973, 989 dan seterusnya).
Terhadap asas di atas terdapat pengecualiannya, seperti hak
suami untuk mengingkari keabsahan seorang anak --- hak ini
merupakan hak dalam lapangan hukum keluarga --- beralih kepada
ahliwarisnya. Hak mengingkari keabsahan anak dapat berupa haknya
pewaris yang belum digunakan atau hak pewaris yang sudah
digunakan tetapi belum selesai diputus pada waktu pewaris mati, hal
ini kemudian dilanjutkan para ahliwaris 6.
Dalam Pasal 250 KUH. Perdata disebutkan bahwa seorang
anak yang dilahirkan sebelum hari yang keseratus delapan puluh
dalam perkawinan suami isteri, dapat diingkari oleh si suami. Akan
tetapi pengingkaran itu tidak dapat dilakukan dalam hal :
a. jika si suami sebelum perkawinan telah mengetahui akan
mengandungnya si isteri;
b. jika ia ikut hadir pada saat pembuatan akta kelahiran anak, dan
ia ikut menandatanganinya.
c. jika si anak tak hidup ketika dilahirkan.
F. SYARAT-SYARAT MENJADI AHLI WARIS
Untuk dapat bertindak sebagai ahliwaris, seseorang harus
memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :
1. Ditunjuk menjadi ahliwaris
Dalam pewarisan undang-undang yang menunjuk ahliwaris
adalah undang-undang, dan dalam pewarisan testamenter yang
menunjuk ahliwaris adalah pewaris dalam surat wasiatnya. Menurut
undang-undang yang ditunjuk sebagai ahliwaris adalah : para
keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin, dan suami atau isteri

6 J. Satrio, Hukum Waris, PT. Citra Aditya Bakti, 1990, hlm 13.

19
yang hidup terlama (Pasal 832 KUH. Perdata). Sedangkan dalam
pewarisan testamenter, penunjukan ahliwaris tergantung pada
kehendak subjektif pewaris. Pada dasamya setiap orang dapat
ditunjuk menjadi ahliwaris oleh pewaris dalam surat wasiatnya,
kecuali terhadap mereka yang oleh undang-undang dilarang
menikmati suatu pemberian dalam surat wasiat.
Dasar mewaris dalam pewarisan undang-undang adalah
karena adanya hubungan darah atau hubungan perkawinan.
Hubungan darah dapat dibedakan menjadi hubungan darah sah dan
hubungan darah luar kawin. Hubungan darah sah adalah pertalian
keluarga yang ditimbulkan dari adanya hubungan perkawinan, yang
dibedakan menjadi hubungan antara beberapa orang karena yang
satu adalah keturunan yang lain atau yang semua mempunyai nenek
moyang yang sama (Pasal 290 ayat 1 KUH.Perdata). Hubungan
darah sah karena "yang satu merupakan keturunan yang lain",
disebut hubungan darah dalam garis lurus; yang dapat dibedakan
menjadi garis lurus ke atas -- kalau diurut dari keturunan menuju
leluhurnya --- dan garis lurus ke bawah kalau diurut dari leluhur
menuju sekalian keturunannya. Sedangkan hubungan darah sah
karena "semua mempunyai nenek moyang yang sama" disebut
hubungan darah dalam garis ke samping atau garis menyimpang.
Pertalian keluarga sedarah sah --- jauh dekatnya hubungan
darah --- dihitung dengan jumlah kelahiran, dan tiap kelahiran
dinamakan derajat (Pasal 290 ayat 2). Hubungan perderajatan
diantara dua orang yang berada dalam garis lurus, dengan
menghitung jumlah kelahiran yang terjadi diantara mereka; seperti
hubungan antara orang tua dengan anak melalui satu kelahiran, jadi
satu derajat, hubungan antara kakek atau nenek dengan cucu melalui
dua kelahiran, jadi dua derajat (Pasal 293), Dalam garis ke samping,
dilakukan dengan menghitung jumlah kelahiran orang yang satu
menuju nenek moyang yang sama dan terdekat (yang
menghubungkan keduanya) kemudian jumlah kelahiran dari nenek
moyang ini menuju orang yang satunya lagi, demikian sehingga
hubungan antara dua orang saudara adalah melalui dua kelahiran,
jadi dua derajat, hubungan antara paman dan keponakan melalui tiga
kelahiran, jadi tiga derajat (Pasal 294).
Skema :

Keluarga sedarah
A
dalam garis lurus
B

20
Hubungan perderajatan antara A dan B adalah satu derajat, antara A dan C
dua derajat.

A
Keluarga sedarah
B C dalam garis
menyimpang
D E

Hubungan perderajatan antara B dan C = dua derajat, antara D dan C =


tiga derajat, antara F dan C = empat derajat, antara F dan E = lima
derajat.
Perhitungan mengenai hubungan perderajatan sangat
penting, berkaitan dengan adanya asas dalam pewarisan undang -
undang, yaitu ; "Het naaste in hot blood erf het goed'; artinya hanya
keluarga sedarah terdekatlah yang mewaris 7. Keluarga yang lebih
dekat menyingkirkan atau menutup keluarga sedarah yang lebih
jauh.
Hubungan darah luar kawin adalah : pertalian keluarga yang
timbul akibat adanya tindakan "pengakuan" terhadap seorang anak
yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan. Hukum
memberikan perlakuan yang berbeda antara anak sah dan anak luar
kawin. Bagi anak sah, dengan lahirnya otomatis timbul hubungan
hukum antara si anak dengan orang tuanya, sedangkan anak luar
kawin dengan kelahiran saja belum menimbulkan hubungan hukum
dengan orang tuanya (biologis). Sehingga secara hukum, --- sebelum
ada pengakuan --- anak luar kawin tidak memiliki orang tua (ayah
dan ibu), apakah tidak aneh ?
Menurut Pasal 280 KUH. Perdata, anak luar kawin baru
mempunyai hubungan hukum dengan orang tuanya, kalau orang
tuanya melakukan "pengakuan secara sah". Kalau yang mengakui
hanya ayahnya, maka hubungan hukum yang timbul hanya antara
anak luar kawin dengan ayahnya, sebaliknya kalau yang mengakui
hanya ibunya, hubungan hukum yang timbul adalah antara anak luar
kawin dengan ibunya. Kalau kedua orang tua --- ayah dan ibu - --
melakukan pengakuan, barulah timbul hubungan hukum antara anak

7 J. Satrio, Hukum Waris, PT Citra Aditya Bakti, 1990, hlm. 77.

21
luar kawin dengan ayah dan ibunya; akan tetapi antara ayah dan
ibunya tidak ada hubungan hukum sama sekali.
Apa yang diatur dalam Pasal 280 terasa janggal, kejam dan
tidak adil bagi anak luar kawin, khususnya dalam hubungannya
dengan ibunya. Suatu kenyataan bahwa mencari atau untuk
mengetahui ibu seorang anak tidaklah sulit, siapa yang melahirkan
seorang anak, dialah ibunya. Kecuali pada kelahiran sebagai akibat
rekayasa medis, seperti adanya bayi tabung, ada kemungkinan bahwa
seorang wanita mengandung dan melahirkan yang bukan anaknya
sendiri.
Oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan, dalam Pasal 43
ayat (1) menyebutkan, bahwa :"Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”. Dengan demikian sekarang anak luar kawin secara
otomatis mempunyai hubungan hukum dengan ibunya --- tanpa
perlu pengakuan ---, bahkan lebih jauh dengan keluarga sedarah
ibunya. Dengan demikian tindakan pengakuan anak, hanya
dibutuhkan agar timbul hubungan hukum antara anak luar kawin
dengan ayahnya. Hal ini adalah logis dan adil, sebab mengenai siapa
ayah seorang anak luar kawin, memang tidak mudah, kecuali ada
tindakan "pengakuan" oleh si ayah.
Dalam Pasal 250 KUH. Perdata disebutkan bahwa :”Tiap-
tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan,
memperoleh si suami sebagai bapaknya”. Pasal ini mengandung
suatu fictie hukum --- suatu anggapan --- demi menciptakan suatu
kepastian hukum, bahwa si suami adalah bapak dari anak yang
dilahirkan oleh isterinya. Walaupun tidak ada jaminan yang pasti
bahwa anak yang dilahirkan seorang wanita (isteri) adalah berasal
dari benih si suami. Apalagi dalam kehidupan dewasa ini, hubungan
pria-wanita sudah sedemikian bebasnya, norma-norma sopan
santun, kesusilaan bahkan agama seringkali ditinggalkan. Sehingga
sudah tidak aneh lagi, kalau dalam masyarakat terdapat anak yang
lahir di luar perkawinan, atau anak yang lahir baru setelah beberapa
hari atau bulan orang tuanya melangsungkan perkawinan.
Apalagi dalam hal adanya anak luar kawin, siapa ayah anak
tersebut tidak ada yang tahu pasti, bahkan ada kemungkinan ibu si
anak itupun tidak dapat mengetahui secara pasti. Oleh karena itu
hukum tidak dapat turut campur menentukan siapa ayah seor ang
anak luar kawin, sebelum adanya tindakan "pengakuan" oleh ayah si
anak luar kawin.
Selain hubungan darah, yang menimbulkan hubungan
pewarisan adalah hubungan perkawinan, artinya berkedudukan

22
sebagai suami atau isteri pewaris. Pada masa yang lalu, hanya
hubungan darahlah yang menimbulkan hubungan pewarisan,
sedangkan suami atau isteri dianggap sebagai orang lain (bukan
keluarga sedarah), sehingga tidak berhak mewaris ataupun kalau
mewaris dengan bagian yang sangat kecil dan menempati urutan
belakangan. Akan tetapi dalam perkembangannya timbul kesadaran,
bahwa walaupun suami/isteri semula adalah orang lain --- bukan
keluarga sedarah --- namun mempunyai hubungan batin yang sangat
dekat, karena sebagai teman hidup serumah sepembaringan,
menjalani manis dan pahitnya kehidupan. Hubungan batin antara
suami isteri dapat lebih dekat (biasanya demikian) dibandingkan
dengan keluarga sedarahnya sendiri, sebagai contoh dalam
kehidupan sehari-hari suami istri menjalani kehidupan bersama,
mencari nafkah, melakukan segala aktivitas adalah untuk
kepentingan bersama. Maka sudah selayaknya kalau hubungan
sebagai suami isteri juga melahirkan hubungan pewarisan satu sama
lain.

2. Telah lahir saat warisan terbuka


Syarat kedua bagi seseorang untuk dapat bertindak sebagai
ahliwaris adalah dia harus telah lahir pada saat matinya pewaris, atau
saat terbukanya warisan. Hal ini tercantum dalam Pasal 836 untuk
pewarisan undang-undang dan Pasal 899 untuk pewarisan
testamenter. Kata “telah lahir” harus diartikan pula sebagai “masih
hidup”, sehingga dapat dikatakan bahwa syarat mewaris adalah dia
harus telah lahir dan masih hidup pada saat warisan terbuka.
Dengan akibat bahwa mati pada saat yang sama antara orang -orang
yang mempunyai hubungan pewarisan, memutuskan hubungan
pewarisan satu sama lain (Pasal 831). Masalah ini menjadi penting,
apabila salah satu ahliwaris tersebut mempunyai anak atau ahliwaris
yang dapat menggantikan tempatnya.
Contoh :

B C

D E

A dan B mempunyai hubungan pawarisan, apabila A dan B karena


suatu kecelakaan yang sama telah manemui ajalnya pada detik saat

23
yang sama, maka terputuslah hubungan pewarisan antara A dan B;
sehingga saluruh warisan A menjadi milik C, adapun D dan E tidak
mendapat bagian atas warisan A. Akan tetapi kalau terdapat keragu-
raguan mengenai siapa yang mati labih dulu antara A dan B, maka C
dengan mendasarkan pada Pasal 831 dapat menguasai seluruh harta
warisan A. Apabila D dan E bermaksud mendapatkan bagian atas
harta warisan A, harus dapat membuktikan bahwa antara A dan B
tidak mati pada saat yang sama. Bila terbukti A mati lebih dulu dari
B, disini terjadi dua kali pawarisan, yang pertama pewarisan dari A
kepada B dan C, sesaat kemudian terjadi pewarisan dari B --- atas
harta warisan A yang sudah menjadi milik B --- kepada D dan E.
Sebaliknya kalau terbukti bahwa B mati lebih dulu dari A, maka D
dan E muncul mewaris harta warisan A atas dasar penggantian
tempat, bersama dengan C.
Contoh lain:

A B

X C

A telah menunjuk dengan surat wasiat kepada saudaranya yaitu B


sebagai satu-satunya ahliwaris, dan menunjuk pula X (sahabat A)
sebagai ahliwaris apabila B mati lebih dahulu dari A. Kedua saudara
itu (A dan B) meninggal dunia pada suatu kecelakaan yang sama dan
C anak dari B langsung menguasai harta warisan A. Apabila aturan
di atas (Pasal 894) fidak ada, maka X harus membuktikan bahwa B
telah meninggal sebelum A, yaitu apabila ia hendak menuntut
dengan berhasil penyerahan harta warisan dari C. Akan tetapi
berdasar aturan, bahwa orang-orang yang meninggal pada
kecelakaan yang sama dianggap telah meninggal dunia pada saat
yang sama; sehingga terputus hubungan pewarisannya atau tidak
dapat saling mewarisi, maka X dengan tidak perlu membuktikan
apa-apa dapat menuntut penyerahan harta warisan dari C. Dalam hal
ini C-lah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan, bahwa
ayahnya (B) meninggal dunia sesudah pamannya (A).

3. Tidak termasuk orang yang dinyatakan “tidak patut


mewaris” oleh undang-undang (onwaardigheid)
Dalam Pasal 838 KUH. Perdata disebutkan tentang orang-
orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak patut untuk
mewaris dan karenanya dikecualikan dalam pewarisan, yaitu :

24
a. mareka yang --- telah dihukum --- karena dipersalahkan ---
telah membunuh, atau mencoba membunuh pewaris;
b. mereka yang dengan putusan hakim --- pernah dipersalahkan --
karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan palsu bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang ancaman
hukumannya lima tahun atau lebih;
c. mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah
pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
d. mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan
surat wasiat.
Pasal di atas mengatur mengenai orang yang dinyatakan
"tidak patut" untuk mewaris atau "onwaardigheid". Seorang ahliwaris
yang melakukan salah satu perbuatan yang secara limitatif
disebutkan dalam Pasal 838, menjadi kehilangan haknya untuk
mewaris. Nilai yang dapat diambil dari ketentuan ini adalah bahwa
seorang ahliwaris haruslah orang yang mempunyai budi pekerti yang
baik, menghormati dan mempuyai hubungan batin yang baik dengan
pewarisnya.
Yang menjadi persoalan adalah apakah ketidakpatutan
(onwardigheid) itu ada dengan sendirinya menurut hukum, ataukah
harus ditegaskan oleh Hakim. Kiranya lebih banyak alasan untuk
mengatakan bahwa "onwaardigheid" itu terjadi dengan sendirinya
menurut hukum, mengingat bahwa pembuat undang-undang tidak
mengatur mengenai siapa-siapa yang harus mengajukan tuntutan,
dan juga tidak diatur mengenai apakah keputusan pengadilan
tentang hal itu mempunyai daya berlaku surut 8. J. Satrio
menyebutkan bahwa kata "dinyatakan tidak patut" harus diartikan
sebagai "dinyatakan tidak patut oleh undang-undang", dengan
demikian ketidak patutan berlaku demi hukum 9.
Akibat hukum dianutnya "onwaardigheid" terjadi dengan
sendirinya demi hukum, maka semua perbuatan pemilikan
(beschikingdaden) yang dilakukan oleh orang yang tidak patut untuk
mewaris itu adalah batal (nieteg) demi hukum. Akan tetapi anak-anak
dari seorang yang dinyatakan tidak patut mewaris, tidaklah karena
kesalahan orang tua tadi dikecualikan dari pewarisan, apabila ia
terpanggil untuk mewaris karena kedudukan sendiri (Pasal 840
KUH.Perdata). Namun orang tua itu sama sekali tak berhak
menuntut agar diperbolehkan menikmati hasil barang -barang

8 Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Seksi Notariat Fakultas


Hukum UGM, Yogyakarta,1981, hlm. 15.
9 J. Satrio, Op. Cit, hlm. 43..

25
warisan itu, meskipun undang-undang memberikan hak pada orang
tua, untuk menikmati hasil kekayaan anaknya.
Permasalahan lain yang muncul adalah apakah anak dari
seorang yang dinyatakan tidak patut mewaris dapat bertindak
sebagai waris pengganti? Apabila orang tua yang tidak patut masih
hidup memang tidak dapat digantikan tempatnya, tetapi hal ini
dasarnya adalah karena adanya larangan menggantikan tempat orang
yang masih hidup (Pasal 847). Sedangkan apabila orang tua yang
tidak patut telah meninggal dunia lebih dulu dari Pewarisnya,
barulah timbul permasalahan di atas. Dalam hal ini undang-undang
tidak memberikan jalan keluarnya, maka dikatakan oleh Hartono
Soerjopratiknjo, bahwa karena berlawanannya "uit eigen hoofde"
(mewaris karena kedudukan sendiri) dan "bij plaatsvervulling"
(mewaris karena menggantikan tempat) itu adalah suatu kontradiksi
(tegenstelling) yang buatan (kunsmatig), maka hal itu harus dibatasi
pada kejadian-kejadian yang dengan tegas disebutkan dalam undang-
undang. Maka jika orang yang onwaardige itu --- yang tidak patut --_
telah meninggal dunia lebih dahulu dari si pewaris, maka anak-
anaknya tidak hanya dapat mewaris karena kedudukan sendiri
melainkan juga atas dasar penggantian tempat.
Sementara itu J. Satrio dengan menyitir pendapat Hamaker
menyebutkan bahwa : yang pokok adalah ada seorang anggota
keluarga dalam garis lurus ke atas yang mati, sehingga ada
kesempatan bagi keturunannya untuk menggantikan tempat. Perkara
apakah yang digantikan --- yang sudah mati --- patut atau tidak patut
mewaris, tidak perlu dimasalahkan, artinya tak perlu dimasalahkan
apakah seandainya ia masih hidup, akan mewaris atau tidak.
Bukankah dalam penggantian tempat yang biasa dimana tidak ada
masalah mengenai onwaardigheid (ketidakpatutan) --- orangpun tidak
bisa mengetahui, apakah seandainya orang yang digantikan masih
hidup ia benar-benar mewaris ? Sebab seandainya ia masih hidup,
tidak tertutup kemungkinan bahwa ia menolak warisan tersebut,
atau mungkin dicabut haknya mewaris dalam testamen si pewaris.
Skema :

P P

A B A B

C D C D

Gambar 1 Gambar 2

26
Pada gambar 1, Pewaris (P) meninggal dunia dan meninggalkan dua orang
anak, yaitu A (anak yang tidak patut mewaris) dan B, selain itu juga
meninggalkan dua orang cucu yaitu C dan D. Dalam hal ini ahliwaris P
adalah B, sedangkan C dan D tertutup hak warisnya oleh B. Para cucu
yaitu C dan D sebagai keluarga sedarah derajat 2 tidak dapat mewaris atas
dasar kedudukan sendiri, karena tertutup oleh B yang merupakan keluarga
sedarah derajat 1.
Pada gambar 2, Pewaris (P) meninggal dunia dan meninggalkan dua orang
anak, yaitu A dan B. A adalah anak yang tidak patut mewaris akan tetapi
telah meninggal lebih dahulu dari P dengan meninggalkan dua orang anak
atau cucu P, yaitu C dan D. Dalam hal ini ahliwaris P adalah B dan C, D
dengan menggantikan tempat A.

A B

C D E F G
Gambar 3

Pada gambar 3, Pewaris (P) meninggal dunia dan meninggalkan dua


orang anak, yaitu A dan B, yang mana keduanya adalah orang atau
anak yang tidak patut mewaris. Apabila A dan B masih hidup, maka
ahliwaris P adalah C, D, E, F dan G mewaris atas kedudukan sendiri
dan masing-masing mendapat 1/5 bagian; sedangkan apabila A dan
B telah mati lebih dulu dari P, maka para ahliwaris mewaris dengan
penggantian tempat, C mendapat 1/2 bagian dan D, E, F, G
bersama-sama 1/2 bagian atau masing-masing 1/8 bagian.
4. Bukan orang yang menolak warisan
Dalam Pasal 1058 KUH. Perdata disebutkan, bahwa :"Si
waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi waris':
Menjadi ahliwaris --- dalam KUH. Perdata --- tidak selamanya
menguntungkan, tetapi ada kemungkinan menjadi rugi; yaitu apabila
pasiva warisan ternyata lebih besar dibandingkan aktiva warisan
yang ada. Pasal 1045 menyebutkan bahwa : “Tiada seorangpun
diwajibkan menerima suatu warisan yang jatuh kepadanya”. Oleh
karena itu dikenal adanya hak untuk menolak warisan oleh ahliwaris.
Penolakan warisan harus dilakukan dengan tegas, dengan membuat
pernyataan di kepaniteraan Pengadilan Negeri di mana rumah
kematian berada (Pasal 1057). Seorang ahliwaris yang menolak

27
warisan menjadi kehilangan haknya untuk mewaris, atau
dikecualikan dari pewarisan.
Seorang yang telah menolak warisan tidak dapat digantikan
tempatnya, jika ia satu-satunya ahliwaris atau jika semua ahiiwaris
menolak warisan, maka sekalian keturunan mereka mewaris atas
dasar kedudukan sendiri (Pasal 1060).
5. Tidak disingkirkan oleh pewaris dalam surat wasiat
Pewaris adalah seorang pemilik harta warisan, oleh karena
itu pada dasarnya dialah orang yang paling berhak mengatur tentang
harta warisannya, melalui surat wasiat. Dalam paham KUH. Perdata,
pewaris mempunyai kewenangan yang sangat luas dalam membuat
dan menentukan isi surat wasiat, di satu pihak pewaris dapat
mengangkat orang lain --- orang yang tidak mempunyai hubungan
darah, jadi bukan ahliwaris undang-undang --- untuk menjadi
ahliwaris; di pihak lain dapat menyingkirkan keluarganya sendiri ---
ahliwaris undang-undang --- dari haknya atas harta warisan. Dalam
hal ini dapat dikatakan terdapat asas kebebasan dalam membuat
wasiat, baik menentukan siapa ahliwaris dan pembagian warisannya,
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang bersifat
memaksa.
Penyingkiran seorang ahliwaris dari haknya atas harta
warisan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Secara
tegas kalau memang dalam surat wasiat tersebut pewaris
menyebutkan tentang penyingkiran terhadap ahliwaris tertentu.
Dikatakan diam-diam, apabila pewaris melalui surat wasiat justru
memberikan seluruh harta warisannya kepada orang lain yang
ditunjuk --- bukan ahliwaris undang-undang --- walaupun pewaris
meninggalkan ahliwaris undang-undang.
Setiap orang dapat ditunjuk menjadi ahliwaris oleh pewaris
dalam surat wasiatnya, kecuali terhadap mereka yang oleh undang --
undang dinyatakan tidak berhak menikmati suatu pemberian dalam
surat wasiat. Hal ini diatur dalam Pasal 895 sampai dengan 912
KUH. Perdata. Sementara itu pewaris dapat menyingkirkan
keluarganya sendiri --- ahliwaris undang-undang --- dari haknya atas
harta warisan, sehingga tidak mendapat hak bagian warisan sama
sekali; hanya saja terhadap para "keluarga sedarah dalam garis lurus"
atau yang dinamakan para "legitimaris", undang-undang memberikan
pembatasannya. Terhadap mereka harus diberikan suatu jumlah
tertentu dari harta warisan yang telah ditentukan oleh undang -
undang atau yang disebut “legitieme portie” atau “bagian mutlak”.
Kelima syarat mewaris di atas dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu hal yang menimbulkan hubungan pewarisan dan hal yang

28
memutuskan hubungan pewarisan. Syarat pertama dan kedua
merupakan hal yang menimbulkan hubungan pewarisan, sedangkan
syarat ketiga sampai ke lima merupakan hal yang memutuskan
hubungan pewarisan, yaitu karena ketentuan undang-undang,
kehendak ahli waris sendiri dan kehendak pewaris dalam surat
wasiat.

29
LATIHAN SOAL

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi hukum


waris dalam Bab I. mengenai pengertian dan unsur-unsur pewarisan,
unsur-unsur pewarisan, dan syarat menjadi ahliwaris, kerjakan soal-
soal di bawah ini.

1. Jelaskan pengertian dan unsur-unsur pewarisan.


2. Jelaskan perbedaan konsep mewaris dan harta warisan dalam
hukum waris menurut KUH Perdata dengan konsep pewarisan
dalam Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat.
3. Jelaskan syarat-syarat menjadi ahliwaris.
4. Jelaskan mengenai orang yang dinyatakan tidak patut mewaris.

RANGKUMAN

Hukum Waris adalah aturan hukum yang mengatur tentang


akibat hukum dari matinya seseorang terhadap kekayaan yang
ditinggalkan, yaitu mengatur tentang bagaimanakah kekayaan itu
akan beralih kepada orang-orang yang berhak menerima warisan,
dan akibat peralihan kekayaan itu, baik dalam hubungan diantara
para ahliwaris maupun dalam hubungannya dengan pihak ketiga.
Pembagian warisan dibedakan menjadi dua, yaitu : pembagian
warisan menurut undang-undang dan pembagian warisan menurut
surat wasiat atau pewarisan testamenter.
Sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia ada tiga,
yaitu hukum waris dalam KUH Perdata, hukum waris Islam dan
hukum waris Adat. Ketiga sistem hukum waris tersebut harus
dipahami oleh mahasiswa hukum di Indonesia.
Untuk menjadi ahliwaris, seseorang harus memenuhi syarat
menjadi ahliwaris, yaitu ditunjuk menjadi ahliwaris, telah lahir pada
saat pewaris meninggal dunia atau saat terbukanya warisan, bukan
orang yang tidak patut mewaris, tidak menolak warisan, dan tidak
disingkirkan oleh pewaris melalui surat wasiat.

30

Anda mungkin juga menyukai