Anda di halaman 1dari 14

Ketepatan dalam menjelaskan terkait

Hukum Perikatan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum perdata

Dosen Pengajar Ustadz Munawir Sajali

Anggota kelompok:

Adam Torik Ramadhan 1220201001

Herry Suhardono 12202010

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM AZ-ZAYTUN INDONESIA

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kita kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Karena nikmat iman dan nikmat islam nya kita dapat
menyelesaikan tugas makalah pada waktunya. Sholawat serta salam semoga tercurah ruah-
kan kepada baginda besar kita Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya,kepada para
sahabatnya dan kepada para pengikutnya.

Alhamdulillah kita panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas untuk
mata kuliah Fiqh Siyasah dengan judul (Ketepatan dalam menjelaskan terkait Hukum
Perikatan)

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu,
kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahakan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dan pendidikan.

Indramayu, November 2022


DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................3
BAB I......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................4
I.1 Latar Belakang..............................................................................................................................4
I.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................4
II.3 Tujuan..........................................................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................6
II.1 Perikatan......................................................................................................................................6
II.1.1 Dasar Hukum Perikatan............................................................................................................7
II.1.2 Asas-asas dalam hukum perjanjian...........................................................................................7
II.2 Wanprestasi.................................................................................................................................8
II.2.1 Akibat-akibat wanprestasi........................................................................................................9
II.2.2 Jenis-jenis resiko.......................................................................................................................9
II.3 Hapusnya Perikatan...................................................................................................................10
II.4 Memorandum of Understanding (MoU)....................................................................................10
II.4.1 Ciri-Ciri Memorandum of Understanding...............................................................................11
II.4.2 Alasan-alasan Memorandum of Understanding.....................................................................11
II.4.3 Tujuan Memorandum of Understanding................................................................................11
BAB III..................................................................................................................................................13
PENUTUP.............................................................................................................................................13
III.1 Kesimpulan...............................................................................................................................13
III.2 Saran.........................................................................................................................................13
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan bermasyarakat setiap subjek hukum yakni orang maupun badan
hukum selalu berhadapan dengan berbagai aturan maupun norma, baik yang bersifat formal
maupun nonformal. Aturan sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat agar hubungan
antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib dan berjalan baik.

Sebagai makhluk sosial setiap manusia selalu mengadakan hubungan dengan manusia
lainnya. Hubungan ini terjadi sejak manusia dilahirkan sampai meninggal dunia. Timbulnya
hubungan antar manusia secara kodrati artinya makhluk hidup sebagai manusia itu
dikodratkan untuk selalu hidup bersama, menimbulkan satu jenis hukum yang ketentuanya
mengatur tentang kehidupan dan dinamakan hukum perdata. Segala sesuatu tentang
kehidupan manusia diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata (KUHPer). Didalam
KUHPer terdapat 4 buku yakni buku pertama mengenai orang, buku kedua mengenai benda,
buku ketiga mengenai perikatan dan buku keemapt mengenai pembuktian dan daluarsa.
Didalam sistem pengaturan hukum perikatan dalam buku III KUHPer menganut
sistem terbuka, yakni setiap orang dapat mengadakan perjanjian mengenai apapun sesuai
dengan kehendaknya, artinya dapat menyimpang dari apa yang telahh ditetapkan dalam buku
III KUHPer baik mengenai bentuk maupun isi perjanjian sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Untuk itu, dalam makalah ini akan membahas mengenai buku III KUHPer mengenai
perikatan yang terjadi antara para pihak.

I.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu perikatan dan apa saja asas-asasnya?


2. Apa itu wanprestasi?
3. Bagaimana hapusnya perikatan?
4. Apa itu Memorandum of Understanding?
II.3 Tujuan

1. Untuk lebih memahami apa itu perikatan beserta asas-asasnya


2. Untuk lebih memahami apa itu wanprestasi
3. Untuk mengetahui bagaimana hapusnya perikatan
4. Untuk mengetahui mengenai Memorandum of Understanding (MoU)
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Perikatan
Perikatan adaah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih yakni
pihak yang satu berhak atas prestais dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi begitu juga
sebaliknya.
Dalam bahsa belanda perikatan disebut verbintenissenrecht. Namun terdapat perbedaan
drai beberapa ahli hukum dalam memberikan istialah hukum perikatan misalnya Wirjono
Prodjodikoro. Menurut Wirjono dalam bukunya Asas-asa hukum perjanjian (bahas belanda:
het verbintenissenrecht) jadi, verbintenissenrecht oleh Wirjono diterjemahkan menjadi
hukum perjanjian bukan hukum perikatan. Sedangkan menurut R. Subekti menulis hukum
perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian, sebab dalam
buku III KUHPer memuat tentang perikatan yang timbul dari:
 Persetujuan atau perjanjian;
 Perbuatan yang melanggar hukum;
 Pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan
(zaakwaarnemiing)
Perjanjian dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst, sedangkan hukum perjanjian
disebut overeenkomstenrecht. Sementara itu, pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian,
perikatan dapat terjadi karena:
1) Perjanjian (kontrak), dan
2) Bukan dari perjanjian (dari undang-undang)
Perjanjian adalah peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain
untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka timbul suatu peristiwa berupa
hubungan hukum antara kedua belah pihak, hubungan hukum ini dinamakan sebagai
perikatan.
Dengan kata lain, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang
menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak
menimbulkan perikatan karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Oleh karena itu,
setiap anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian.
II.1.1 Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHPer terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1) Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2) Perikatan yang timbul dari undang-undang
Perikatan yang timbul dari undang-undang dapat dibagi menjadi dua yaitu:
 Perikatan karena undang-undang semata, misalnya kewajiban orang tua untuk
memelihara dan mendidik anak-anak yaitu hukum kewarisan
 Perikatan yang tejadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
menurut hukum terjadi karena perbuatan yang diperbolehkan (sah) dan yang
bertentangan dengan hukum (tidak sah).
3) Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi karena perbuatan melanggar hukum
(onrechmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming).

II.1.2 Asas-asas dalam hukum perjanjian


Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam buku III KUHPer yakni menganut asas
kebebasan berkontrak dan asas konsesualisme.
1. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat dalam pasal 1338 KUHPer yang menyebutkan
bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan sistem terbuka, artinya bahwa dalam membuat
perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya yang
dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketpihak ertiban
umum dan norma kesusilaan.
2. Asas konsesualisme
Asas konsesualisme artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata
sepakata antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas.
Dengan demikan, asas konsesualisme lazim disimpulkan dalam pasal 1320
KUHPer. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat
antara para pihak yang mengikatkan diri, cakap untuk membuat suatu perjanjia,
mengenai suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal.
Dengan kata lain dua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, yakni
jika salah satu pihak tidak dipenuhi maka pihak yang lain adapat minta pembatalan.
Dalam pasal 1454 KUHPer disebutkan jangka waktu permintaan pembatalan
perjanjian dibatasi hingga lima tahun, sedangkan dua syarat yang lain dinamakan
syaratsyarat objektif yakni jika salah satu syarat idak dipenuhi maka perjanjian batal
demi hukum. Artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada (null and void).
Dengan demikian jika dilihat dari syarat-syarat sahnya suatu perjanjian maka
dapat dibedakan menjadi dua bagian dari suatu perjanjiaan yaitu bagian inti dan
bagian bukan inti.
Dengan demikian akibat dari terjadinya perjanjian maka undang-undang menentukan
bahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang-undang. Oleh karena itu, semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya, hal ini sesuai dengan asas keprobadian bahwa perjanjian hanya megikat para
pihak yang membuatnya, kecuali kalau perjanjia itu unmtuk kepentingan pihak ketiga (barden
beding) yang diatyr dlam pasal 1318 KUHPer.
Dengan kata lain, persetujuan-persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan
adanya kata sepakat dari kedua belah pihak atau karena alasan-alasan oleh undang-undang
yang dinyatakan cukup untuk itu. Maksudnya persetujuian-persetujuan itu harus dilaksanakan
dengan itikad baik.
II.2 Wanprestasi
Wanprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan, misalnya ia alpa (lalai) atau ingkar janji.

Adapun bentuk dari wanprestasi bisa berupa empat kategori yakni:


 Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
 Melaksankan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
 Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
 Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Oleh karena itu kelalaian (wanprestasi) mempunyai akibat-akibat yang berat maka tidak
mudah untuk menyatakan bahwa seseorang lalai atau alpa.
Didalam pasal 1238 KUHPer menyebutkan bagaimana caranya memperingatkan
seseorang debitur “si berutang adalah lalai, bila ia dengan surat perinyah atau dengan sebuah
akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, jika ini menetapkan
bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Oleh
karena itu terhadap kelalaian atau kealpaan si debitur sebagai pihak yang melanggar
kewajiban dapat diberikan beberapa sanksi atau hukuman.
II.2.1 Akibat-akibat wanprestasi
Akibat-akibat wanprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan
wanprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga kategori yaitu:
 Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni:
a) Biaya adalah segala pengeluaran atau pengongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan oleh salah satu pihak
b) Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur
yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur
c) Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.
 Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Didalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam pasal 1247 dan pasal 1248
KUHPer. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa
kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau satu
pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang maka
harus dikembalikan sehingga perjanjian itu ditiadakan.
 Peralihan resiko
 Peralihan resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi sesuatu
peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek
perjanjian sesuai dengan pasal 1237 KUHPer. Oleh karena itu dalam hal adanya
perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu maka barang itu semenjak
perikatan dilahirkan adalah atas tanggungaqn (resiki) si berpiutan (pihak yang berhak
menerima barang).

II.2.2 Jenis-jenis resiko


Jenis-jenis resiko dapat digolongkan menjadi dua kategori, yakni risiko dalam perjanjian
sepihak dan risiko dalam perjanjian timbal balik;

 Risiko dalam perjanjian sepihak


Risiko dalam perjanjian sepihak diatur dalam pasal 1237 KUHPer yakni risiko
ditanggung oleh kreditur.
 Risiko dalam perjanjian timbal balik\
Risiko dalam perjanjian timbal balik terbagi menjadi tiga kategori yakni risiko jual
beli, risiko dalam tukar-menukar dan risiko dalam sewa menyewa.

II.3 Hapusnya Perikatan


Perikatan itu bisa dihapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan pasal 1381 KUHPer.
Ada 10 cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut:

a) Pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela


b) Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
c) Pembaharuan utang
d) Peerjumpaan utan atau kompensasi
e) Pencampuran utang
f) Pembebasan utang
g) Musnahnya barang yang terutang
h) Batal/pembatalan
i) Berlakunya suatu syarat batal
j) Lewat waktu.

II.4 Memorandum of Understanding (MoU)


Memorandum of Understanding (MoU) merupakan perkembangan baru dalam aspek
hukum dalam ekonomi karena di Indonesia istilah MoU baru akhir-akhir ini dikenal.
Sebelumnya, dalam ilmu ekonomi maupun ilmu hukum (hukum konvensional) tidak ada.
Istilah MoU belum begitu dibakukan dan dapat di istilahkan seperti nota kesepakatan
perjanjian pendahuluan. Menurut pendapat Munir Faudi, memorandum of understanding
merupakan terjemahan bahasa Indonesia yang paling pas dekat dengan nota kesepakatan.

Pada hakikatnya MoU merupakan suatu perjanjian pendahuluan yang nantinya akan
diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian pendahuluan nantinya akan diikuti dan dijabarkan
dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara lebih detail. Oleh karena itu MoU hanya
berisikan hal-hal pokok saja. Dengan demikian MoU harus memenuhi syarat-syarat sahnya
suatu perjanjian, yakni dalam pasal 1320 KUHPer.

Jika ingin mencari alasan yuridis untuk berlakunya MoU tidak terlalu sulit, hal ini
dikarenakan dalam hukum perjanjian kita menganut asas kebebasan berkontrak berdasarkan
pasal 1338 ayat 1 KUHPer yang diartikan bahwa apa pun yang dibuat sesuai kesepakatan
kedua belah pihak merupakan hukum yang berlaku baginya sehingga mengikat kedua belah
pihak tersebut, kecuali jika perjanjian itu bertentangan dengan hukum yang berlaku.

II.4.1 Ciri-Ciri Memorandum of Understanding


Ciri-Ciri Memorandum of Understanding adaah sebagai berikut:
a) Isinya ringkas, seringkali hanya satu halaman saja
b) Berisikan hal-hal yang pokok saja
c) Hanya bersifat pendahuluan dan yang akan diikuti oleh perjanjian lain yang lebih rinci
d) Mempunyai jangka waktu berlakunya (1 bulan, 6 bulan atau setahu); apabila dalam
jangka waktu tersebut tidak ditindak lanjuti dengan penandatanganan suatu perjanjian
yang lebih rinci, maka perjanjian tersebut akan batal, kecuali diperpanjang oleh para
pihak
e) Dibuat dalam bentuk perjanjian bawah tangan
f) Tidak ada kewajiaban yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk melakukan
suatu perjanjian yang lebih detail.

II.4.2 Alasan-alasan Memorandum of Understanding


Alasan-alasan dibuatnya MoU adalah sebagai berikut:
a) Karena prospek bisnisnya belum jelas sehingga belum bisa dipastikan.
b) Karena dianggap penandatangan kontrak masih lama dengan negosiasi yang alot
maka dibuat MoU yang akan berlaku untuk sementara waktu
c) Karena, tiap-tiap pihak dalam perjanjian masih ragu-ragu dan perlu waktu dalam
menandatangani suatu kontrak sehingga untuk sementara dibuatlan MoU
d) MoU dibuat dan ditandatangani oleh para eksekutif dari suatu perusahaan maka perlu
suatu perjanjian yang lebih rinci yang dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf-staf
yang berkaitan.

II.4.3 Tujuan Memorandum of Understanding


Didalam suatu perjanjian yang didahului dengan membuat MoU dimaksudkan supaya
memberikan kesempatan kepada pihak yang bersepakat untuk memperhitungkan apakah
saling menguntungkan atau tidak jika diadakan kerja sama sehingga agar MoU dapat
ditindaklanjuti dengan perjanjian dan dapat diterapkan sanksi-sanksi. Jika salah satu pihak
melakukan wanprestasi, tetapi jika sanksi-sanksi sudah dicantumkan dalam MoU akan
berakibat bertentangan dengan hukum perjanjian/perikatan karena dalam MoU belum ada
suatu hubungan hukum antara para pihak, yang berarti belum mengikat.
Dalam hukum perjanjian kedudukan MoU baik yang mengandung karakter sebagai
kontrak atau tidak mengandung kontrak hanyalah sebagai tahap pendahuluan untuk
mengadakan perikatan sehingga belum mengikat para pihak dan snksi pun belum dpat
diberlakukan.
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

 Perikatan adaah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih yakni
pihak yang satu berhak atas prestais dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi
begitu juga sebaliknya.
 Wanprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan, misalnya ia alpa (lalai) atau ingkar janji.
 Perikatan itu bisa dihapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan pasal 1381
KUHPer. Ada 10 cara penghapusan suatu perikatan salah satunya seperti pembayaran
yang merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela
 Memorandum of Understanding merupakan suatu perjanjian pendahuluan yang
nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian pendahuluan nantinya akan
diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara lebih detail.

III.2 Saran
DAFTAR ISI

Anda mungkin juga menyukai