Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MAKALAH

USHUL FIQH
ISTINBAT HUKUM ISLAM

OLEH:
FEBRIANSYAH ARMANTO
NIM.1491014014

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI
2015

Page | 1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang mana atas berkah dan h i d a y a h - N y a k e p a d a
pen yusun dalam mengarungi proses pembelajaran akad emik di Jurusan
Hukum Keluarga Islam Fakultas S yariah Universitas Hasyim As y’ari.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan
kita Nabi besar Muhammad SAW.
Yang t elah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yan g terang
benderang dan penuh dengan ilmu pengetahuan.
D a l a m m e n y e l e s a i k a n m a k a l a h y a n g b e r j u d u l “ I S T I N B A T HUKUM ISLAM”
tidak terlepas dari bantuan para pihak,baik berupa sarana maupun kontribusi pemikiran. Oleh
karena itu,sudah sepatutnya penyusun menyampaikan ucapan terima kasih.

Jombang, 19 Desember 2015


Penyusun

Febriansyah Armanto
NIM.1491014014

Page | 2
Daftar Isi

Halaman Judul……………………...........................................1

Kata pengantar................................................................................ 2

Daftar isi......................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN.............................................................. 4

A. Latar Belakang........................................................................... 4

B. Rumusan Masalah….................................................................. 4

B. Tujuan........................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN.................................................................5

A.pengertian istinbat hukum.......................................................... 5

B.pembagian metode istinbat hukum............................................. 5

BAB III PENUTUP...................................................................... ..10

A.Kesinpuan................ ...................................................................10

B.Saran............................................................................................ 10

DAFTAR PUSTAKA

Page | 3
Bab I
Pendahuluan

A.LATAR BELAKANG

Al-Qur'an adalah kitab petunjuk bagi kemaslahatan hidup manusia, baik secara individual
maupun sosial. Syari'at dan hukum merupakan bagian dari bentuk petunjuk-petunjuk yang ada di
dalam Al-Qur'an. Firman Allah SWT:"Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat" (QS. Annisa': 105).Untuk mengambil
petunjuk hukum dari Al-Qur'an diperlukan pemahaman yang benar terhadap makna dan pesan
yang dikandung ayat. Namun memahaminya tidaklah semudah memahami kandungan Hadits.
Sebab ayat-ayat dan surat-surat yang ada di dalam mushaf Al-Qur'an tidak berurutan berdasarkan
sejarah turunnya. Selain itu Al-Qur'an juga memakai bahasa dan sastra Arab yang tinggi. yang
tidak mungkin bisa dipahami dengan baik kecuali dengan penguasaan bahasa Arab dan tata
bahasanya, ilmu Balagah dan sastra Arab Jahiliyah.Oleh karena itu, seseorang yang ingin
mengambil istinbat hukum dari Al-Qur'an dituntut untuk memenuhi beberapa persyaratan dan
memakai metode dan kaedah yang tepat dan benar.

B.RUMUSAN MASALAH

1.apakah yang di maksud dengan istinbat hukum?


2. apakah yang di maksud dengan istinbat lafdzi?
3. apakah yang di maksud dengan istinbat maknawi?

C.TUJUAN

Adapun tujuan atas terselesaikannya makalah yang berjudul “ISTINBAT HUKUM ISLAM “ ini
adalah untuk menambah wawasan serta pengetahuan pembaca khususnya mahasiswa dan
mahasiswi yang mempelajari makalah ini tentang istimbat hukum islam dan metodenya serta
sejarahnya. Selain dari pada itu terselesaikannya makalah yang berjudul “ISTINBAT HUKUM
ISLAM “ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah “USHUL FIQH”

Page | 4
Bab II
Pembahasan

A.Pengertian Istinbat Hukum

Pengertian Istinbat Menurut bahasa adalah mengeluarkan atau menetapkan, sebagaimana dalam
ungkapan
‫استخراج الماء من العين‬
Sedangkan menurut istilah berarti mengeluarkan makna-makna dari nash-nash yang terkandung
didalamnya dengan cara mengerahkan kemampuan atau potensi naluriyah.
Dari nash tersebut terbagi menjadi dua macam, yaitu yang berbentuk bahasa (lughawiyah) yang
biasa disebut lafdhiyah dan adakalanya tidak berbentuk bahasa, yang biasa disebut maknawiyah.
Dalam pembahasan berikutnya akan kami jelaskan tentang pembagian masing-masing.

B.pembagian metode istinbat hukum

I. Istinbat Lafdzi
Yaitu mengistinbatkan hukum atau mengambil suatu hukum ditinjau dari segi lafadznya. Para
ulama’ Ushul memakai kaidah bahasa berdasarkan makna tujuan ungkapan-ungkapan yang telah
ditetapkan oleh para ahli bahasa Arab, sesudah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber
dari kesusasteraan Arab.
Ada tiga cara untuk mengetahui makna yang tepat dari suatu lafadz atau uslub-nya:
1. Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawatir, telah terkenal serta telah menjadi
kebiasaan dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari, yang mana Imam Syafi’i menyebutnya
dengan Ilmu al-’Ammah. Yaitu sesuatu yang sudah menjadi maklum (umum).
2. Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu dan tidak diketahui oleh kelompok lain. Hal ini
dapat kita jumpai dalam istilah-istilah ilmiah. yang menurut Imam Syafi’i disebut ilmu al-
khasshah.
3. Berdasarkan hasil pamikiran akal nalar terhadap suatu lafadz.
Namun demikian tidaklah semua orang dapat menetapkan pengertian kata-kata itu berdasarkan
hasil pemikiran akal setiap orang, tetapi haruslah oleh yang ahlinya dalam bahasa itu, dan
mengerti tentang perkembangan pemakainnya di kalangan masyarakat.

Macam-macam Istinbat Lafdzi:


1. Khash
Dalam mendefinisikan kata khash para Ulama’ Ushul berbeda pendapat. Namun, pada
hakikatnya definisi tersebut memiliki pengertian yang sama.
Hukum Lafadz Khash.
Suatu lafadz dalam nash hukum syara’ yang menunjukan suatu lafadz tertentu adalah qath’i
bukan dhanny, selama tidak ada dalil-dalil lain yang mengubah maknanya. Oleh karena itu,
apabila lafadz khash dikemukakan dalam bentuk mutlak, tanpa batasan apapun maka lafadz itu
memberi faedah ketetapan hukum secara mutlak, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan
bila lafadz itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum
wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkan pada

Page | 5
makna yang lain. Demikian juga apabila lafadz itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahi),
ia memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada
qarinah atau indikasi yang memalingkan dari hal itu.
2. ’Amm
Lafadz ’Amm adalah suatu lafadz yang menunjukan suatu makna yang mencakup seluruh satuan
yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu (global). Tidak ada perbedaan dalam pengertian ’amm
tersebut apakah dinyatakan dengan lafadz plural (jamak) atau singular (tunggal). Para Ulama’
Ushul memberikan definisi ’amm salah satunya adalah menurut ulama’ Syafi’iyah, yang
berpendapat bahwa ’amm adalah : ”satu lafadz yang dari satu segi menunjukan dua makna atau
lebih.”
Hukum berhujjah dengan ’Amm:
Jumhur Ulama’ Ushul berpendapat bahwa dalalah menunjukan seluruh satuannya secar
dzanniyah, karena apa yang terkandung didalam lafadz ’amm itu kebanyakan yang dikehendaki
adalah beberapa atau sebagian dari satuan-satuannya saja. Karena itu dikalangan ulama’ terkenal
adanya kaidah :
”tidak ada satupun dari yang umum melainkan ia di takhsiskan (dibatasi).”
Jadi, tidak diperkenankan langsung berhujjah dengan dalil ’amm dalam menetapkan hukum.
Karena itu para mujtahid diwajibkan meneliti lebih dahulu apakah ada pen-takhsis-nya atau
tidak.
3. Amr (perintah)
Definisi amr menurut Jumhur Ulama’ adalah suatu permintaan dari atasan kepada bawahan
untuk mengerjakan suatu pekerjaan.
Bentuk Amr dan hakikatnya
Menurut Jumhur Ulama’, amr secara hakikat menunjukan wajib dan tidak bisa berpaling pada
arti lain. Kecuali bila ada qarinah. Pendapat ini dipegang oleh al-hamidi, As-Syafi’i, para
Fuqaha, kaum mutakallimin, seperti Al-Husein Al-Basari dan Al-Juba’i.
Golongan kedua, yaitu mazhab Abu Hasyim dan sekelompok ulama’ mutakallimin dari kalangan
Mu’tazilah menyatakan bahwa hakikat amr adalah nadb (Sunnah).
Golongan ketiga berpendapat bahwa amr itu musytarak antara wajib dan nadb, pendapat ini
dipengaruhi oleh Abu Mansur Al-Maturidi.
Pendapat keempat, Qadi Abu Bakr, Al-Gazali, dan lain-lain, menyatakan bahwa amr itu
maknanya bergantung pada dalil yang menunujukan maksudnya.
• Perintah sesudah larangan
Ada perbedaan pendapat ulama’ tentang dalalah amr sesudah nahi. Ada yang mengatakan bahwa
amr itu tetap wajib dikerjakan walaupun sebelumnya ada larangan untuk berbuat. Namun
demikian yang masyhur dikalangan ulama’ Ushul ialah amr sesudah nahi adalah ibahah
(Kebolehan).
• Perintah dan waktu mengerjakannya
Lafadz amr baik dalam Al-qur’an maupun al-Hadis pada hakikatnya adalah untuk mengerjakan
apa yang disuruh. Suruhan itu tidak harus segera dilaksanakan dalam waktu yang cepat ataupun
ditangguhkan. Semuanya itu dapat dipahami dengan adanya qarinah-qarinah (argumen) lain.
4. Nahi (larangan)
Definisi nahi adalah kebalikan dari amr yaitu lafadz yang menunjukan tuntutan untuk
meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan.

Page | 6
Makna Sighat Nahi :
a. Menurut Jumhur Ulama, pada dasarnya adalah menunjukan kepada tahrim, seperti firman
Allah SWT yang artinya : ”janganlah kamu mendekati zina”. (al-Isra’: 32)
Dari pernyataan diatas dapat disimpulakan bahwa, pada dasarnya larangan itu untuk
mengharamkan (sesuatu perbuatan yang dilarang).
b. Pendapat kedua, menyatakan bahwa pada dasarnya nahyi itu menunjukan pada karahah saja.
Mereka memiliki kaidah, pada dasarnya nahi itu menunujukan kepada karahah (perbuatan yang
dibenci).
Alasan mereka larangan itu karena buruknya perbuatan yang dilarang dan tidak mesti harus
haram. Diantara yang haram dan yang makruh, yang paling diyakini adalah yang makruh bukan
yang haram, apalagi pada dasarnya segala perbuatan itu adalah boleh dikerjakan.
5. Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat
mempersempit keluasan artinya. Sedangkan Muqayyad adalah suatu lafadz yang menunjukan
hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinnya.
Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad :
• Suatu lafadz dipakai dengan mutlaq pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan
dengan Muqayyad, keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
• Lafadz mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
• Lafadz mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya
ataupun sebab hukumnya.
• Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama.
• Mutlaq dan muqyyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
Hukum lafadz mutlaq dan muqayyad:
Lafadz mutlaq dan muqayad, masing-masing menunjukan kepada makna yang qath’i dalalah-
nya. Karena itu apabila lafadz tersebut mutlaq maka harus diamalkan sesuai dengan muthlaq-
nya. Dan apabila lafadz itu muqayyad, maka harus diamalkan sesuai dengan muqayyad-nya.
Yang demikian itu berlaku selama belum ada dalil yang memalingkan artinya dari muthlaq ke
muqayyad dan dari muqayyad ke mutlaq.

II. Istinbat Maknawi


a) Makna Dhahir
Penjelasan tentang dhahir atau (dhahirud dalalah) adalah termasuk pembicaraan tentang lafadh
ditinjau dari segi terang atau tidaknya arti yang terkandung di dalamnya.
Menurut para ulama ushul fiqh, dhahirud dalalah atau juga disebut dengan wadlihud dalalah
ialah lafadh yang menunjukkan kepada ketegasan arti yang dimaksudkan secara jelas dalam
lafadh itu sendiri, tidak tergantung kepada sesuatu hal di luar lafadh tersebut. Dengan kata lain,
dhahirud dalalah adalah lafadh yang terang arti yang ditunjuki, sehingga untuk sampai kepada
arti tersebut tidak perlu adanya sesuatu bantuan di luar lafadh itu.
Dilihat dari tingkat terangnya lafadh itu dalam menunjukkan kepada arti yang dimaksudkan,
maka dhahirud dalalah adalah dibagi menjadi empat macam, sedangkan urutan tingkat empat
macam tersebut dari yang terang kemudian yang lebih terang dan seterusnya meningkat kepada
yang lebih terang lagi, adalah sebagai berikut : dhahir, nash, mufassar kemudian muhkam.

Page | 7
1. Dhahir
Dhahir ialah suatu lafadh yang jelas dalalahnya menunjukkan kepada suatu arti asal tanpa
memerlukan factor lain diluar lafadh itu dan mungkin dapat ditakwilkan dalam arti yang lain,
dan mungkin juga dimasukkan.
Hukum dhahir adalah wajib diamalkan menurut arti yang ada pada lafadh itu kecuali ada dalil
lain yang men-ta’wil-kannya. Jika dhahir berupa lafadh mutlak harus diamalkan menurut
mutlaknya sampai ada dalil yang men-taqyid-kan (membatasi) kemutlakan tersebut, dan jika
dhahir itu berupa lafadh ’amm, maka harus diamalkan menurut keumumannya, sampai ada dalil
lain yang men-takhsis-kan (mengkhususkan) berlakunya keumuman tersebut atau diamalkan
menurut arti yang ada pada lafadh itu sampai ada dalil yang me-mansukh-kannya.
2. Nash
Nash ialah suatu lafadh yang tidak mungkin mengandung pengertian lain, selain yang
ditunjukkan oleh lafadh itu sendiri yang dapat ditakwilkan.
Sebagaimana hukum dhahir, nash juga harus diamalkan menurut arti yang ada pada nash tesebut
sampai ada dalil yang men-takwil-kan, yaitu kalau lafadh itu berupa lafadh mutlak harus
diamalkan atas kemutlakannya sampai ada dalil yang men-taqyid-kannya. Dan kalau nash itu
berupa lafadh ’amm harus diamalkan atas keumumannya sampai ada dalil yang mengkhususkan
atau diamalkan menurut arti yang ada pada lafadz tersebut sampai ada dalil yang me-mansukh-
kan.
3. Mufasshar
Mufasshar ialah suatu lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksud dengan
disusunnya lafadh itu yang tidak mungkin di-takwil-kan kepada yang lain, akan tetapi dapat
menerima nasakh (penghapusan) pada masa Rasulullah saw. Mufasshar dibedakan menjadi dua
macam, yaitu mufassar lidzatihi dan mufassar bighoirihi.
a. Mufasshar lidzatihi yaitu lafadh yang tidak membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk
terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan
b. Mufasshar bighoirih, yaitu lafadh yang membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk
terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan.
4. Muhkam
Muhkam ialah lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan (dengan
disusunnya) lafadh itu, dengan tidak mungkin ditakwilkan dan tidak dimansukhkan pada masa
Rasulullah saw.
Tidak di-mansukh-kannya muhkam, karena hukum-hukum yang tersebut merupakan hukum-
hukum yang pokok dalam agama, seperti ibadah hanyalah kepada Allah swt dll.

b) Makna Khafi
Pembicaraan tentang khafi atau lengkapnya disebut dengan khafiyud dalalah juga merupakan
bagian dari pembiraan tentang lafadh ditinjau dari segi terang atau tidaknya petunjuknya kepada
arti yang dimaksudkan. Khafiyud oleh para ulama ushul fiqh diartikan dengan : lafadh yang
tertutup (tidak terang) aartinya, oleh karena itu keadaan lafadh itu sendiri atau karena hal-hal
lain.
Para ulama membagi khafiyud dalalah menjadi empat macam, yaitu : Khafi, musykil, mujmal
dan mutasyabih.

Page | 8
1. Khafi
Khafi ialah suatu lafadh yng terang maknanya secara lahiriah tetapi pemakaiannya kepada
sebagian lafadhnya tidaklah mudah memerlukan pemikiran yang mendalam.
Sebab timbulnya khafi, ialah karena adanya sebagian satuan yang terkandung dalam lafadh itu
yang mempunyai nama tersendiri atau mempunyai nama tersendiri atau mempunyai sifat-sifat
tertentu yang membedakan dengan satuan yang lain.
2. Musykil
Musykil ialah lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan, untuk menjelaskan
maksudnya harus dibantu. Arti tidak mungkin diketahui kecuali dengan adanya dalil-dalil lain
yang menjelaskan maksudnya. Sebab terjadinya musykil yaitu, karena lafadh tersebut
mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda, baik arti hakiki maupun arti majazi, dan lafadz itu
sendiri tidak menentukan salah satu arti yang dimaksudkan. Atau terjadi pertentangan
pemahamannya dengan pemahaman lain, maka tidak akan dapat dipahami arti yang
dimaksudkan, kecuali dengan adanya dalil-dalil lain yang menjelaskannya.
3. Mujmal
Mujmal ialah lafadh yang terang arti yang dimaksudkan oleh karena keadaan lafadh itu sendiri,
dan tidak mungkin dapat diketahui arti yang dimaksudkan itu kecuali dengan adanya penjelasan
dari syara’.
4. Mutasyabih
Mutasyabih ialah lafadh yang tidak terang arti yang dimaksudkan karena pada lafadh itu sendiri
dan tidak dapat qarinah yang menjelaskannya.

Page | 9
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan

Dari pemaparan kami di atas bisa kita simpulkan bahwa istinbat adalah mengeluarkan makna-
makna dari nash-nash yang terkandung didalamnya dengan cara mengerahkan kemampuan atau
potensi naluriyah.
Sedangkan istinbat sendiri terbagi menjadi dua macam, yaitu istinbat secara lafdhi dan maknawi.
Yang termasuk dalam istinbath lafdhi adalah
1. Khash,
2. ’Amm,
3. ’Amr (perintah),
4. Nahi (larangan),
5. Muthlaq dan Muqayyad
Yang termasuk dalam Istinbat Maknawi adalah
a) Makna Dhahir
1. Dhahir
2. Nash
3. Mufasshar
4. Muhkam
b) Makna Khafi
1. Khafi
2. Musykil
3. Mujmal
4. Mutasyabih.
Dengan demikian, usai sudah pembahasan kita tentang istinbat beserta pembagiannya. Semoga
dari pemaparan singkat kami di atas dapat menambah pengetahuan kita dalam masalah istinbat.

B.Saran

Terima kasih kami ucapakan kepada para pembaca makalah ini khususnya mahasiswa dan
mahasiswi yang mempelajari makalah ini semoga makalah ini
dapat bermanf a’at bagi kita semua. Mun gkin makalah ini masih ban yak
ditemukan kesalahan dan mungkin masih jauh dari sempurna. untuk itu
k a m i memohon kritik dan sarannya yang bersifat membangun.

Page | 10
Daftar Pustaka

Al-Qur’an Al-Karim
Abu Zahrah, Muhammad. 2003. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus
Mu’in, Asymuni Rahman. 1986. Ushul Fiqh II. Jakarta : Departemen Agama
Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia

Page | 11

Anda mungkin juga menyukai