Anda di halaman 1dari 19

KEWENANGAN LEMBAGA PENYELESAIAN

SENGKETA PERBANKAN SYARIAH


Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012

THE AUTHORITY OF DISPUTE SETTLEMENT


INSTITUTION OF SHARIA BANKING
An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 93/PUU-X/2012

Abdul Rasyid & Tiska Andita Putri


Fakultas Humaniora Jurusan Business Law Universitas Bina Nusantara
Kampus Kijang Jl. Kemanggisan Illir III No. 45 Palmerah, Jakarta 11480
Email: arasyid@binus.edu; anditatiska@gmail.com

Naskah diterima: 12 Oktober 2017; revisi: 19 Juli 2019; disetujui 19 Agustus 2019

http://dx.doi.org/10.29123/jy.v12i2.256

ABSTRAK menyimpulkan bahwa Putusan Nomor 93/PUU-X/2012


terkait kewenangan penyelesaian sengketa perbankan
Sejak diamandemennya Undang-Undang Nomor 7
syariah dianggap sudah tepat, memutuskan bahwa
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan Undang-
penyelesaian sengketa perbankan syariah harus
Undang Nomor 3 Tahun 2006, kompetensi absolut
melalui peradilan agama sesuai dengan kompetensi
peradilan agama diperluas. Pasal 55 Undang-Undang
absolutnya. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
telah menghilangkan dualisme penyelesaian sengketa
memperkuat kewenangan peradilan agama dalam
perbankan syariah.
menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Polemik
muncul ketika Penjelasan Pasal 55 ayat (2) juga Kata kunci: kompetensi, perbankan syariah, Mahkamah
memberikan kewenangan kepada peradilan umum Konstitusi.
menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Masalah ini
lalu diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut Mahkamah Konstitusi, Penjelasan Pasal 55 ABSTRACT
ayat (2) bertentangan dengan UUD NRI RI 1945 dan Since the amendment of Law Number 7 of 1989
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan concerning Religious Courts with Law Number 3 of
Mahkamah Konstitusi masih menimbulkan perdebatan 2006, the absolute competence of religious courts was,
karena hanya menghapus Penjelasan Pasal 55 ayat (2), expand. Article 55 of Law Number 21 of 2008 concerning
bukan menghapus pasalnya. Permasalahan yang akan Sharia Banking strengthens the authority of the religious
dibahas dalam tulisan ini adalah lembaga peradilan court in resolving sharia banking disputes. Polemic
manakah yang berwenang menyelesaikan sengketa arises when the elucidation of Article 55 paragraph (2)
perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi also allowed the general court to resolve sharia banking
Nomor 93/PUU-X/2012? Penelitian ini menggunakan disputes. This issue then submitted by judicial review to
metodologi penelitian yuridis normatif. Penelitian ini the Constitutional Court. According to the Constitutional

Kewenangan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Abdul Rasyid & Tiska Andita Putri) | 159
Court, elucidation of Article 55 paragraph (2) is contrary research concludes that Constitutional Court Decision
to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia Number 93/PUU-X/2012 related to the authority to settle
and has no binding legal force. The Constitutional Court sharia banking disputes considered appropriate decides
Decision still raises debate because it only removes that the settlement of sharia banking disputes must go
the elucidation of Article 55 paragraph (2), instead of through religious courts by its absolute competence. The
deleting the article. The issues that will discuss in this Constitutional Court’s decision has eliminated dualism
paper are which judicial institution has the authority to in the settlement of sharia banking disputes.
settle sharia banking disputes after the Constitutional
Keywords: competence, sharia banking, Constitutional
Court Decision Number 93/PUU-X/2012? This research
Court.
uses a normative juridical research methodology. This

I. PENDAHULUAN prinsip syariah, antara lain meliputi: (a) bank


A. Latar Belakang syariah; (b) lembaga keuangan mikro syariah;
(c) asuransi syariah; (d) reasuransi syariah;
Sejak diamandemennya Undang-Undang
(e) reksa dana syariah; (f) obligasi syariah dan
Nomor 7 Tahun 1989 dengan Undang-Undang
surat berharga berjangka menengah syariah;
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama,
(g) sekuritas syariah; (h) pembiayaan syariah;
kompetensi absolut peradilan agama diperluas.
(i) pegadaian syariah; (j) dana pensiun lembaga
Di samping diberikan kewenangan untuk
keuangan syariah; dan (k) bisnis syariah.
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa di tingkat pertama antara orang-orang Kewenangan pengadilan agama dalam
yang beragama Islam di bidang perkawinan, menyelesaikan sengketa perbankan diperkuat
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan kembali dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang
shadaqah, peradilan agama juga berwenang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Syariah yang menyatakan bahwa: “Penyelesaian
sengketa di bidang ekonomi syariah. Hal ini diatur sengketa perbankan syariah dilakukan oleh
secara eksplisit dalam Pasal 49 huruf (i) Undang- pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.”
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Namun permasalahan muncul ketika Pasal 55
Pertama Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan 2008 juga memberi peluang kepada para pihak
sebagai berikut: “Pengadilan Agama bertugas yang bersengketa untuk menyelesaikan perkara
dan berwenang memeriksa, memutus, dan mereka melalui pengadilan negeri, apabila
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara disepakati bersama dalam isi akad. Bunyi Pasal
orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) 55 ayat (2) tersebut sebagai berikut: “Dalam hal
perkawinan; (b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) para pihak telah memperjanjikan penyelesaian
wakaf; (f) zakat; (g) infaq; (h) shadaqah; dan (i) sengketa selain sebagaimana dimaksud pada
ekonomi syariah.” ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai
dengan isi akad.”
Dalam penjelasannya, yang dimaksud
dengan ‘ekonomi syariah’ adalah perbuatan Dalam penjelasan pasal di atas, yang
atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut dimaksud dengan ‘penyelesaian sengketa

160 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 159 - 177


dilakukan sesuai dengan isi akad’ adalah upaya Nomor 93/PUU-X/2012, mengabulkan sebagian
sebagai berikut: a. musyawarah; b. mediasi permohonan pemohon, menyatakan bahwa
perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang
Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak
Peradilan Umum. mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Penyelesaian sengketa perbankan syariah Lebih lanjut dalam salah satu


melalui mekanisme penyelesaian sengketa pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi
alternatif di luar pengadilan seperti musyawarah, menyatakan bahwa adanya pilihan tempat
mediasi, dan arbitrase syariah merupakan penyelesaian sengketa (choice of forum) untuk
langkah yang tepat dan layak untuk diapresasi. menyelesaikan sengketa perbankan syariah
Namun permasalahan muncul ketika pengadilan sebagaimana tersebut dalam Penjelasan Pasal
negeri juga diberikan kewenangan yang sama 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
dalam menyelesaikan sengketa perbankan 2008 akan menyebabkan adanya tumpang tindih
syariah. Terjadi dualisme penyelesaian sengketa, kewenangan untuk mengadili, karena ada dua
ketidakpastian hukum serta tumpang tindih peradilan yang diberikan kewenangan untuk
kewenangan dalam menyelesaikan suatu menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
perkara yang sama oleh dua lembaga peradilan Padahal dalam Undang-Undang Nomor 50
yang berbeda. Padahal, kewenangan ini jelas Tahun 2009 tentang Peradilan Agama secara
merupakan kewenangan pengadilan agama tegas dinyatakan bahwa peradilan agamalah yang
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 huruf (i) berwenang menyelesaikan tersebut.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Adanya putusan Mahkamah Konstitusi
Perubahan Pertama Atas Undang-Undang Nomor
tersebut, maka permasalahan dualisme dalam
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
penyelesaian sengketa perbankan syariah
Adanya dualisme dalam penyelesaian dianggap telah selesai. Pengadilan agama menjadi
sengketa perbankan syariah, sehingga satu-satunya pengadilan yang berwenang dalam
menimbulkan ketidakpastian hukum. DA, direktur menyelesaikan sengketa perbankan syariah, akan
CV BEC, mengajukan permohonan uji materi tetapi pada kenyataannya putusan Mahkamah
Pasal 55 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor Konstitusi tersebut masih menimbulkan masalah.
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang Terdapat argumentasi yang mengatakan bahwa
mengatur tentang penyelesaian sengketa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 kepada menghapuskan Penjelasan Pasal 55 ayat (2)
Mahkamah Konstitusi. Menurut pemohon, Pasal Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, tapi
55 ayat (2) dan (3) tidak memberikan kepastian tidak menghapus pasalnya, sehingga pasal
hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28 tersebut masih tetap berlaku. Oleh karena itu,
UUD NRI 1945. para pihak yang bersengketa tetap mempunyai
kebebasan untuk memilih tempat yang mereka
Pada tanggal 29 Agustus 2013,
sepakati dalam menyelesaikan sengketanya.
Mahkamah Konstitusi membuat Putusan

Kewenangan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Abdul Rasyid & Tiska Andita Putri) | 161
B. Rumusan Masalah Berdasarkan pasal di atas dapat dipahami
bahwa bank syariah dalam menjalankan kegiatan
Berdasarkan latar belakang permasalahan
usahanya harus berdasarkan kepada prinsip syariah.
di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam
Prinsip syariah sebagaimana yang diatur dalam
tulisan ini adalah lembaga peradilan manakah
Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
yang berwenang menyelesaikan sengketa
2008 adalah “prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012?
oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah.” Lembaga yang
C. Tujuan dan Kegunaan memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bidang perbankan syariah dan lembaga keuangan
dan menganalisis lembaga peradilan manakah syariah lainnya adalah Dewan Syariah Nasional
yang berwenang menyelesaikan sengketa Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) (Anshori,
perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah 2009: 5). Semua fatwa DSN-MUI terkait dengan
Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. Adapun lembaga perbankan syariah dan keuangan syariah
kegunaan dan manfaat yang diperoleh dari harus dipatuhi oleh bank syariah.
penelitian ini adalah untuk menemukan alternatif Terkait dengan hal di atas, menurut Pasal
jalan keluar dalam mengatasi permasalahan 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
ketidakpastian hukum serta dualisme pilihan menyatakan bahwa: “perbankan syariah dalam
forum penyelesaian sengketa perbankan syariah melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip
yang masih tetap terjadi pasca putusan Mahkamah Syariah …” Dalam penjelasannya yang dimaksud
Konstitusi. dengan kegiatan usaha yang berasaskan prinsip
syariah, antara lain adalah kegiatan usaha yang
D. Tinjauan Pustaka tidak mengandung unsur:
1. Definisi Perbankan Syariah
1. riba, yaitu penambahan pendapatan secara
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pertukaran barang sejenis yang tidak sama
yang dimaksud dengan perbankan syariah adalah kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan
“segala sesuatu yang menyangkut tentang (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-
bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup meminjam yang mensyaratkan nasabah
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan penerima fasilitas mengembalikan dana
proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.” yang diterima melebihi pokok pinjaman
Sedangkan yang dimaksud dengan bank syariah karena berjalannya waktu (nasi’ah);
menurut Pasal 1 ayat (7) adalah “bank yang
2. maisir, yaitu transaksi yang digantungkan
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan
prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas
bersifat untung-untungan;
bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat
syariah.” 3. gharar, yaitu transaksi yang objeknya
tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui

162 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 159 - 177


keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan bank syariah (Rasyid, 2015a). Kata ‘bank syariah’
pada saat transaksi dilakukan, kecuali juga tidak disebutkan secara eksplisit. Undang-
diatur lain dalam syariah; undang ini hanya menyatakan bahwa bank
boleh beroperasi berdasarkan prinsip pembagian
4. haram, yaitu transaksi yang objeknya
hasil keuntungan atau prinsip bagi hasil (profit
dilarang dalam syariah; atau
sharing) (lihat: Pasal 1 butir 12 dan Pasal 6 huruf
5. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan m). Tidak disebutkannya kata ‘syariah’ atau
ketidakadilan bagi pihak lainnya. ‘Islam’ secara eksplisit dalam undang-undang
ini disebabkan masih tidak kondusifnya situasi
Lima unsur di atas harus diperhatikan
politik pada saat itu. Pemerintah masih ‘alergi’
dan dipenuhi oleh lembaga perbankan syariah
dengan penggunaan kata ‘syariah’ atau ‘Islam’
dalam menjalankan kegiatan usahanya. Apabila
(Sjahdeini, 2000).
unsur tersebut tidak terpenuhi berimplikasi pada
ketidakvalidan usaha yang dijalankan. Pada tahun 1998, Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan diamandemen
2. Landasan Hukum Perbankan Syariah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 7
Pada tingkat konstitusi, legitimasi Tahun 1992 yang tidak mengatur secara eksplisit
perbankan syariah di Indonesia tertuang tentang perbankan syariah, ketentuan-ketentuan
pada Pasal 29 UUD NRI 1945, yakni bahwa mengenai perbankan syariah dalam Undang-
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Undang Nomor 10 Tahun 1998 lebih lengkap
Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap- (exhaustive) dan sangat membantu perkembangan
tiap penduduk untuk memeluk agamanya perbankan syariah di Indonesia. Undang-
masing-masing dan untuk beribadah menurut Undang Nomor 10 Tahun 1998 secara tegas
agamanya dan kepercayaannya itu (Anshori, menggunakan kata bank syariah dan mengatur
2009: 2). Sedangkan pada tingkat undang- secara jelas bahwa bank, baik bank umum dan
undang, eksistensi lembaga perbankan syariah bank perkreditan rakyat, dapat beroperasi dan
mempunyai legitimasi yang kuat karena diatur melakukan pembiayaan berdasarkan pada prinsip
secara spesifik dalam Undang-Undang Nomor 21 syariah (lihat: Pasal 1 butir 12; Pasal 7 huruf c;
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pasal 8 ayat (1) dan (2); Pasal 11 ayat (1) dan
(4a); Pasal 13; Pasal 29 ayat (3); dan Pasal 37
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor
ayat (1) huruf c) (Rasyid, 2015a).
21 Tahun 2008, landasan hukum perbankan
syariah berdasarkan kepada Undang-Undang Meskipun telah mengatur lembaga
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. perbankan syariah dengan cukup konprehensif,
Secara substansi, undang-undang ini merupakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
peraturan perbankan nasional yang muatannya Perbankan masih dianggap belum cukup
lebih banyak mengatur lembaga perbankan mendukung operasional perbankan syariah
konvensional dibandingkan lembaga perbankan di Indonesia. Di samping itu, bank syariah
syariah. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun mempunyai karakteristik yang berbeda dengan
1992 tidak banyak pasal yang mengatur tentang bank konvensional, sehingga pengaturan bank

Kewenangan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Abdul Rasyid & Tiska Andita Putri) | 163
syariah dan bank konvensional dalam satu peraturan-peraturan umum lainnya yang terkait
undang-undang yang sama dipandang tidak dengan perbankan.
mencukupi. Perlu adanya undang-undang khusus
yang mengatur bisnis perbankan syariah secara 3. Kewenangan Pengadilan Agama dalam
konprehensif sebagaimana halnya Malaysia Mengadili Sengketa
yang memiliki Islamic Banking Act, yakni
undang-undang khusus yang mengatur lembaga Kata ‘kewenangan’ sering disebut juga
dengan ‘kompetensi,’ yang berasal dari bahasa
perbankan syariah. Oleh karena itu, kehadiran
undang-undang khusus perbankan syariah Belanda ‘competentie.’ Ketiga kata tersebut
dianggap mempunyai makna yang sama (Rasyid,
merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk
diwujudkan. Berdasarkan berbagai argumentasi1998: 25). Menurut Pasal 24 UUD NRI 1945 yang
berbunyi: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
di atas, pada akhirnya Undang-Undang Nomor 21
sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disahkan.
kehakiman menurut undang-undang.” Pasal ini
Selain peraturan perundang-undangan menyatakan secara eksplisit bahwa Mahkamah
di atas, terdapat sumber hukum lain tentang Agung merupakan salah satu lembaga peradilan
perbankan syariah. Sumber hukum tersebut yang menjalankan kekuasaan kehakiman dalam
antara lain adalah sebagai berikut: melakukan fungsi dan kewenangan peradilan
1. Ketentuan perundang-undangan dibantu dengan badan-badan kekuasaan peradilan
khususnya KHUPerdata tentang yang lain (Harahap, 2001: 99). Badan-badan
Perikatan dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang kekuasaan lain tersebut diatur secara jelas dalam
Perlindungan Konsumen; Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
2. Peraturan-peraturan Bank Indonesia tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan
dan Otoritas Jasa Keuangan tentang
perbankan syariah; sebagai berikut:
3. Fatwa-fatwa Dewan Syariah
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Nasional Majelis Ulama Indonesia
sebuah Mahkamah Agung dan badan
(DSN-MUI);
peradilan yang berada di bawahnya dalam
4. Putusan-putusan Pengadilan Agama
lingkungan peradilan umum, lingkungan
Indonesia dan putusan-putusan
peradilan agama, lingkungan peradilan
Badan Arbitrase Syariah Indonesia
militer, lingkungan peradilan tata usaha
(Basyarnas);
negara, dan oleh sebuah Mahkamah
5. Berbagai pandangan/doktrin dari
Konstitusi.”
para ilmuwan hukum mengenai
aspek-aspek hukum berbagai produk
keuangan syariah (Sjahdeini, 2014: Berdasarkan pasal di atas, Mahkamah
4). Agung merupakan pengadilan negara tertinggi
dari empat badan peradilan yang disebutkan
Peraturan-peraturan di atas merupakan
di atas. Dengan kata lain, empat lingkungan
sumber hukum dan panduan bagi perbankan
peradilan yaitu peradilan umum, peradilan
syariah dalam menjalankan aktivitasnya. Di
agama, peradilan militer, dan peradilan tata
samping berdasarkan kepada hukum syariah
usaha negara merupakan lembaga di bawah
yang telah dikodifikasi dalam berbagai peraturan,
Mahkamah Agung yang melaksanakan fungsi
perbankan syariah juga merujuk kepada
dan kewenangan kekuasaan kehakiman.

164 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 159 - 177


Masing-masing peradilan tersebut mempunyai eksplisit dalam penjelasan pasal tersebut.
kompetensi yang telah diatur dalam undang- Kekuasan relatif ini mempunyai arti penting,
undang. Dalam batas-batas kompetensi itulah terutama terkait dengan domisili penggugat dan
masing-masing lembaga peradilan melaksanakan tergugat dalam suatu perkara. Hal ini juga terkait
fungsi kewenangan mengadili. Lingkungan erat dalam menentukan ke pengadilan agama
peradilan umum hanya kompeten memeriksa dan mana para pihak akan mengajukan perkara dan
memutus perkara pidana umum, perdata adat, dan hak eksepsi tergugat dalam penyelesaian suatu
perdata barat. Kompetensi peradilan tata usaha sengketa (Suadi, 2017: 37).
negara hanya memeriksa dan memutus perkara
Kekuasaan absolut adalah kekuasaan yang
tata usaha negara. Kompetensi peradilan militer
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis
hanya menjangkau perkara tindak pidana militer
pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam
dan tindak pidana umum yang dilakukan oknum
perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis
anggota TNI. Demikian pula peradilan agama,
pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya.
wilayah kompetensinya hanya terbatas pada
Sebagai contoh pengadilan agama berkuasa atas
bidang-bidang tertentu sebagaimana yang telah
perkawinan bagi orang yang beragama Islam,
ditetapkan undang-undang (Hasan, 2010: 123).
sedangkan orang selain beragama Islam menjadi
Di samping itu, berbicara tentang kekuasaan kekuasaan peradilan umum (Rasyid, 1998: 25-
peradilan dalam kaitannya dengan hukum acara 27). Oleh karena itu, pengadilan agama harus
perdata, dikenal istilah ‘kekuasan relatif’ dan memeriksa secara teliti apakah perkara yang
‘kekuasaan absolut.’ Kekuasaan relatif diartikan diajukan kepadanya termasuk dalam kekuasaan
sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis absolutnya atau tidak. Apabila perkara tersebut
dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan masuk dalam kekuasaan absolutnya, maka
kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan pengadilan agama harus menerima perkara
sama tingkatan lainnya. Sebagai contoh antara tersebut dan tidak boleh menolaknya. Namun
Pengadilan Negeri Magelang dengan Pengadilan apabila pengadilan agama menerima perkara di
Negeri Ponorogo, dan antara Pengadilan Agama luar kekuasaan absolutnya, maka pihak tergugat
Batanghari dan Pengadilan Agama Muaro dapat mengajukan keberatan yang disebut
Jambi. Kekuasaan relatif ini penting sehubungan dengan eksepsi absolut. Eksepsi absolut ini dapat
dengan pengadilan mana orang akan mengajukan diajukan oleh tergugat sejak tergugat menjawab
perkaranya, dan juga dengan hak eksepsi tergugat. pertama gugatan bahkan boleh diajukan kapan
saja sampai di tingkat banding atau di tingkat
Kekuasaan relatif pengadilan agama diatur
kasasi (Suadi, 2017: 37).
dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 yang menyatakan bahwa: “Pengadilan Kewenangan masing-masing lingkungan
agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu peradilan bersifat absolut. Apa yang telah
kota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi ditetapkan menjadi kewenangan dalam suatu
kotamadya atau kabupaten.” Namun meskipun lingkungan peradilan, maka menjadi kewenangan
demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya mutlak bagi peradilan tersebut untuk memeriksa
pengecualian dalam menentukan kewenangan dan memutus perkara. Kewenangan mutlak ini
relatif ini sebagaimana yang dinyatakan secara dinamakan dengan ‘kompetensi absolut’ atau

Kewenangan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Abdul Rasyid & Tiska Andita Putri) | 165
‘yurisdiksi absolut.’ Oleh karena itu, setiap 4. Sengketa Perbankan Syariah
perkara yang tidak termasuk dalam bidang
Kata ‘sengketa’ dalam bahasa Inggris
kewenangan suatu lembaga peradilan tertentu,
dikenal dengan kata ‘conflict’ dan ‘dispute.’
maka peradilan tersebut tidak berwenang untuk
Kedua kata tersebut mengandung makna
mengadili (Harahap, 2001: 101-102).
tentang adanya perselisihan, percekcokan atau
Terkait dengan kewenangan absolut perbedaan kepentingan antara dua pihak atau
peradilan agama, awalnya diatur secara jelas lebih. Kata ‘conflict’ diserap ke dalam bahasa
dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Indonesia menjadi ‘konflik,’ sedangkan ‘dispute’
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, di diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
mana kewenangannya hanya terbatas pada menjadi ‘sengketa’ (Mujahidin, 2010: 46-
penyelesaian sengketa atau perkara-perkara 47). Kata ‘konflik’ dan ‘sengketa’ kadangkala
perdata perkawinan, warisan, wasiat, hibah, digunakan secara bergantian. Namun, kedua kata
wakaf, sedekah berdasarkan asas personalitas tersebut pada dasarnya mempunyai perbedaan
keislaman. yang mendasar.

Kewenangan absolut peradilan agama Konflik merupakan situasi di mana dua


diperluas dalam menyelesaikan sengketa pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan
ekonomi syariah semenjak diamandemennya kepentingan. Konflik tidak akan berkembang
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1998 dengan menjadi sengketa jika pihak yang merasa
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Undang- dirugikan menyatakan rasa ketidakpuasannya.
Undang Nomor 3 Tahun 2006 diamandemen Namun, konflik tersebut akan berkembang
kembali dengan Undang-Undang Nomor 50 menjadi sengketa jika pihak yang merasa
Tahun 2009. Secara substansi tidak terdapat dirugikan menyatakan rasa ketidakpuasannya,
perubahan kompetensi absolut peradilan agama baik secara langsung kepada pihak yang dianggap
dalam undang-undang terakhir ini. sebagai penyebab kerugian, maupun kepada
pihak lain. Berdasarkan penjelasan di atas dapat
Diamandemennya Undang-Undang
dipahami bahwa konflik tidak dapat dihindari,
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
namun sengketa bisa dihindari apabila konflik
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,
bisa diantisipasi. Dengan kata lain, sengketa akan
kewenangan absolut peradilan agama semakin
terjadi ketika konflik tidak dapat dikelola dengan
luas dan memperkokoh eksistensinya sebagai
baik (Rasyid, 2015b: 182; Mujahidin, 2010: 47;
salah satu lembaga peradilan di Indonesia.
Usman, 2013: 3).
Kemudian, kewenangan absolut peradilan agama
dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah Dalam kegiatan perbankan syariah,
juga diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 21 sengketa bisa terjadi antara bank syariah dengan
tentang Perbankan Syariah, di mana Pasal 55 ayat nasabah. Pada umumnya, faktor utama terjadinya
(1) menyatakan bahwa: “penyelesaian sengketa sengketa dikarenakan tidak terpenuhinya akad
perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan yang telah diperjanjikan antara bank syariah
dalam lingkungan peradilan agama.” dengan nasabah atau tidak terpenuhinya prinsip
syariah dalam akad tersebut (Mujahidin, 2010:

166 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 159 - 177


41). Terkait dengan akad (kontrak) tersebut, suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian
menurut Suadi (2017: 7), terdapat beberapa hukum normatif seringkali disebut juga dengan
bentuk akad yang dapat menimbulkan sengketa penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian
sehingga mesti diwaspadai, bentuk-bentuk akad yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan
tersebut sebagai berikut: perundang-undangan dan bahan pustaka (Soejono
& Abdurahman, 2003: 56).
a. Salah satu pihak menemukan fakta
bahwa syarat-syaratnya suatu akad, Penelitian ini pada prinsipnya berusaha
baik syarat subjektif maupun syarat
objektif ternyata tidak terpenuhi menganalisis pertimbangan hukum hakim
sehingga menuntut pembatalan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
kontrak;
93/PUU-X/2012, dan implikasinya dalam
b. Akad diputus oleh salah satu pihak penyelesaian sengketa perbankan syariah di
tanpa persetujuan pihak lain, dan Indonesia. Hal ini penting untuk dilakukan
terdapat perbedaan pendapat dalam
menginterprestasikan isi akad oleh mengingat masih terdapat berbagai multitafsir
para pihak sehinga menimbulkan yang muncul atas putusan Mahkamah Konstitusi
sengketa hukum;
tersebut.
c. Karena salah satu pihak tidak
memenuhi prestasi sebagaimana Alat pengumpulan data penelitian ini
yang telah diperjanjikan; melalui studi kepustakaan guna menghimpun
d. Terjadinya perbuatan melawan semua informasi yang sesuai dengan topik atau
hukum (onrechtmatige daad); dan masalah yang sedang diteliti. Informasi tersebut
e. Adanya risiko yang tidak diduga pada dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan
saat pembuatan akad/force majeure/ penelitian, peraturan-peraturan, sumber tertulis
overmach. baik dalam bentuk cetak maupun elektronik.
Bahan penelitian kepustakaan tersebut terdiri dari
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
bahan primer dan bahan sekunder. Bahan hukum
dipahami bahwa sengketa bisa terjadi antara bank
primer mencakup produk hukum yang menjadi
syariah dengan nasabah. Pada umumya sengketa
objek kajian dan perangkat hukum yang menjadi
tersebut terjadi dikarenakan tidak terlaksananya
alat analisisnya. Sedangkan bahan hukum
perjanjian yang telah disepakati dengan baik.
sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
Oleh karena itu, pemahaman yang baik akan
penjelasan mengenai hukum-hukum primer
kontrak (akad) yang akan dilakukan penting
seperti hasil-hasil penelitian atau pendapat para
untuk diketahui sehingga sengketa bisa dihindari.
pakar hukum.

II. METODE
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan metode
Pada tanggal 29 Agustus 2013, Mahkamah
penelitian yang bersifat yuridis normatif.
Konstitusi menjatuhkan Putusan Nomor 93/
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian
PUU-X/2012 mengenai Judicial Review
yang mengkaji berbagai peraturan perundang-
Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun
undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap
2008 tentang Perbankan Syariah terhadap UUD

Kewenangan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Abdul Rasyid & Tiska Andita Putri) | 167
NRI 1945 yang diajukan oleh DA. Putusan kepastian hukum menjadi tidak ada. Sedangkan
ini secara umum terkait dengan Pasal 55 ayat ayat (3) tidak perlu terbit apabila tidak ada ayat
(2) dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun (2) Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah yang mengatur 2008 tentang Perbankan Syariah.
tentang penyelesaian sengketa. Pasal 55 Undang-
Menurut pertimbangan Mahkamah
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Konstitusi, antara lain, akad (perjanjian)
Syariah berbunyi sebagai berikut:
merupakan undang-undang bagi mereka yang
(1) Penyelesaian sengketa perbankan membuatnya sesuai dengan ketentuan Pasal
syariah dilakukan oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan agama. 1338 KHUPerdata, namun suatu akad tidak
(2) Dalam hal para pihak telah boleh bertentangan dengan undang-undang.
memperjanjikan penyelesaian
Terlebih lagi undang-undang yang telah
sengketa selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelesaian menetapkan adanya kekuasaan mutlak bagi
sengketa dilakukan sesuai dengan isi suatu badan peradilan yang mengikat para
akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana pihak yang melakukan perjanjian. Oleh sebab
dimaksud pada ayat (2) tidak boleh itu, kejelasan dalam penyusunan perjanjian
bertentangan dengan prinsip syariah. merupakan suatu keharusan. Selanjutnya, pilihan
forum (choice of forum) sebagaimana diatur
Pasal 55 ayat (2) dalam penjelasannya
dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-
dijabarkan sebagai berikut: “yang dimaksud
Undang Nomor 21 Tahun 2008 menimbulkan
dengan ‘penyelesaian sengketa dilakukan sesuai
persoalan konstitusionalitas yang pada akhirnya
dengan isi akad’ adalah upaya sebagai berikut: a.
dapat memunculkan ketidakpastian hukum dan
musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui
kerugian bagi nasabah dan unit usaha syariah.
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.”
Di samping adanya ketidakpastian hukum
Menurut pemohon, Pasal 55 ayat (2) dan
dan menimbulkan kerugian, Pasal 55 ayat (2)
(3) menimbulkan ketidakpastian hukum dan
juga menimbulkan tumpang tindih kewenangan
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI
untuk mengadili, karena ada dua lembaga
1945 yang secara tegas mengatur bahwa undang-
peradilan yang diberikan kewenangan untuk
undang harus menjamin adanya kepastian hukum
menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
dan keadilan. Lebih lanjut menurutnya, terdapat
Sedangkan Undang-Undang Peradilan Agama
kontradiksi antara Pasal 55 ayat (1), (2), dan (3).
secara tegas menyatakan bahwa peradilan agama
Ayat (1) secara tegas mengatur apabila terjadi
berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi
perselisihan atau sengketa perbankan syariah
syariah termasuk di dalamnya perbankan syariah.
maka harus dilaksanakan di pengadilan dalam
ruang lingkup peradilan agama. Namun ayat (2)- Dalam amar putusannya, Mahkamah
nya memberi pilihan kepada para pihak yang Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon
bersengketa untuk memilih pengadilan lain, yakni sebagian, menyatakan bahwa Penjelasan Pasal
pengadilan umum, untuk menyelesaikan sengketa 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
mereka berdasarkan isi akad yang disepakati. Hal 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan
ini bisa melahirkan multitafsir sehingga makna dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai

168 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 159 - 177


kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan putusan Berdasarkan penjelasan di atas dapat
tersebut, maka bisa diambil kesimpulan bahwa dipahami bahwa Pasal 1338 KUHPerdata
penyelesaian sengketa perbankan syariah menjamin kepastian hukum bagi para pihak yang
sepenuhnya menjadi kewenangan absolut sepakat dalam perjanjian untuk menyelesaikan
pengadilan agama. Peradilan lain, yakni peradilan sengketa/menundukkan diri kepada lembaga
umum tidak berwenang untuk menyelesaikan selain peradilan agama. Hal ini juga tidak
sengketa perbankan syariah. kontradiktif karena para pihak diberi kebebasan
untuk memilih forum yang lain namun tetap
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
menggunakan prinsip syariah (Pramono, 2015).
masih menimbulkan polemik di kalangan
para praktisi dan akademisi. Argumentasi Senada dengan pendapat di atas, menurut
yang dinyatakan adalah bahwa dalam Rusyad, selaku akademisi yang juga berprofesi
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya sebagai pengacara pada beberapa kasus perbankan
menghapuskan Penjelasan Pasal 55 ayat (2), syariah, dengan dikeluarkannya Putusan
bukan menghapus pasal-nya, sehingga Pasal 55 Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
ayat (2) tersebut masih tetap berlaku. Para pihak tidak menjadikan pengadilan agama sebagai satu-
tetap diberikan kebebasan untuk menentukan satunya pengadilan yang berwenang mengatasi
forum penyelesaian sengketa sesuai dengan isi masalah perbankan syariah. Menurutnya, Pasal 55
akad yang mereka sepakati (asas kebebasan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
berkontrak). Jadi apabila mereka sepakat di terkait penyelesaian sengketa perbankan syariah
dalam kontrak menunjuk pengadilan negeri tetap esksis, yang dihapus hanya penjelasannya
sebagai forum penyelesaian sengketa mereka, saja. Oleh karena itu, pilihan forum dalam
maka hal tersebut dibolehkan. Ini membuktikan penyelesaian sengketa perbankan syariah masih
bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat digunakan.
bukan merupakan kompetensi absolut peradilan
Pengadilan negeri dapat dijadikan forum
agama. Ini juga sejalan dengan asas pacta sunt
penyelesaian sengketa tersebut apabila disepakati
servanda yang disimpulkan dalam Pasal 1338
oleh para pihak yang bersengketa sesuai dengan
ayat (1) KUHPerdata bahwa: “semua perjanjian
isi akad. Walaupun dalam Pasal 49 huruf (i)
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
undang bagi mereka yang membuatnya.”
Peradilan Agama menyatakan bahwa sengketa
Para pihak harus mematuhi dan ekonomi syariah termasuk dalam kewenangan
menghormati perjanjian yang dibuatnya karena peradilan agama. Asas lex specialis derogat
persetujuan tersebut merupakan undang-undang berlaku dalam masalah ini, di mana Undang-
bagi kedua belah pihak. Hal ini diperkuat kembali Undang Nomor 21 Tahun 2008 menjadi peraturan
oleh Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yang yang dijadikan sebagai dasar dalam segala hal
mengatakan: “perjanjian-perjanjian tidak dapat yang berkaitan dengan bank syariah termasuk
ditarik kembali selain dengan sepakat kedua dalam penyelesaian sengketanya.
belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh
Rusyad mengatakan bahwa pada praktiknya
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.”
di pengadilan agama jarang ditemukan perkara

Kewenangan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Abdul Rasyid & Tiska Andita Putri) | 169
ekonomi syariah. Pihak bank syariah lebih umum dan kesusilaan (Pasal 1337 KUHPerdata).
memilih pengadilan negeri sebagai forum Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) Undang-
penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
(Rusyad, 2018). Agama, jelas menyatakan bawah perkara ekonomi
syariah, termasuk perbankan syariah merupakan
Dari hasil penelusuran penulis melalui
kewenangan absolut peradilan agama. Hal ini
situs Mahkamah Agung menggambarkan bahwa
diperkuat kembali dalam Pasal 55 ayat (1) yang
masih terdapat lembaga perbankan syariah/unit
menyatakan bahwa sengketa perbankan syariah
usaha syariah yang menyelesaikan sengketanya
diselesaikan di pengadilan dalam lingkungan
melalui pengadilan negeri pasca putusan
peradilan agama.
Mahkamah Konstitusi. Setidak-tidaknya terdapat
Berbicara mengenai kompetensi absolut
empat bank, yaitu Bank Syariah Mandiri, Bank
antar lingkungan peradilan, empat lingkungan
Mega Syariah, Bank Syariah Bukopin, dan Unit
peradilan yang ada, yaitu peradilan umum,
Usaha Maybank Syariah yang menyelesaikan
peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan
sengketanya melalui jalur pengadilan negeri
tata usaha negara, sebagai pelaksana fungsi
pasca putusan Mahkamah Konstitusi sampai
dan kewenangan kekuasaan kehakiman, telah
dengan tahun 2017.
ditentukan batas-batas kekuasaannya oleh undang-

Tabel 1. Sengketa Perbankan Syariah Melalui Pengadilan Negeri

Nomor Putusan
Nama Bank Pengadilan Negeri Tahun
Pengadilan Negeri
Bank Syariah Mandiri 04/PDT.G/2013/PN.JKT.PST Jakarta Pusat 2013
Bank Mega Syariah 75/Pdt.G/2014/PN.Krg Karanganyar 2014
Bank Syariah Bukopin 641/Pdt.G/2016/PN.Tng Tangerang 2016
Bank Syariah Bukopin 607/Pdt.G/2014/PN.Bdg Bandung 2014
Maybank Syariah 10/Pdt.G/2017/PN.Dps Denpasar 2017

Sumber: https://putusan.mahkamahagung.go.id/

Penulis sepakat dengan argumentasi di atas,


undang dalam melaksanakan fungsi kewenangan
bahwa berdasarkan asas kebebasan berkontrak,
mengadili. Masing-masing lingkungan peradilan
semua orang bebas untuk membuat perjanjian,
telah diatur kewenangannya dan kewenangan
bebas menentukan sendiri isi dan syarat-syarat
tersebut bersifat absolut. Dengan kata lain,
perjanjian, dan bebas untuk menundukkan diri
peradilan hanya berwenang memeriksa dan
kepada hukum mana perjanjian yang mereka
memutus perkara berdasarkan kewenangan yang
buat. Intinya mereka bebas membuat semua
telah ditentukan, dan sebaliknya tidak berwenang
perjanjian, namun yang perlu diingat kebebasan
menyelesaikan perkara di luar kewenangannya.
tersebut tidaklah bersifat mutlak. Dengan kata
lain, kebebasan tersebut dibatasi; tidak boleh Menurut Harahap (2001: 102) tujuan
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban dan rasio penentuan batas kewenangan setiap

170 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 159 - 177


lingkungan peradilan agar terbina suatu hukum yang bersifat umum) dalam hal kompetensi
pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang tertib peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa
antar masing-masing lingkungan. Masing- ekonomi syariah.
masing berjalan sesuai dengan rel yang telah
Penting untuk diperhatikan bahwa
ditentukan untuk mereka lalui. Tidak saling
salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
berebut kewenangan. Di samping itu juga bisa
mengaplikasikan kedua asas tersebut adalah
memberi ketenteraman dan kepastian hukum
harus dalam regim hukum yang sama. Seperti
bagi pihak yang berperkara. Dengan adanya
contoh, sama-sama di bidang keperdataan atau
pembatasan kompetensi absolut bagi masing-
sama-sama di bidang peradilan. Asas ini tidak
masing lingkungan peradilan, memberi arah
dapat diberlakukan pada regim hukum yang
yang lebih pasti bagi setiap anggota masyarakat
berbeda, seperti antara hukum pidana dengan
pencari keadilan untuk mengajukan perkara.
hukum perdata. Dalam konteks permasalahan di
Apabila kekuasaan absolut masing-masing
atas, asas hukum lex post erior derogat legi priori
lingkungan peradilan tidak ditentukan, maka
tidak dapat diterapkan, karena Undang-Undang
akan tercipta kekuasaan hakim yang kacau balau
Nomor 3 Tahun 2006 adalah undang-undang
dan penegakan kepastian hukum akan hancur
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
berantakan.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan
Terkait dengan permasalahan di atas, Bagir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 adalah
Manan mempertanyakan apakah boleh ada dua undang-undang tentang perbankan syariah.
forum untuk menyelesaikan sengketa untuk
Kedua undang-undang tersebut berada
suatu hukum substantif yang sama dan subjek
dalam regim hukum yang berbeda. Begitu juga
hukum yang sama. Menurutnya, perbedaan
halnya dengan asas hukum lex specialis derogat
forum diperbolehkan apabila hukum substantif
legi generali yang tidak dapat diberlakukan atas
dan subjek yang akan menjadi pihak atau salah
kedua undang-undang tersebut di atas, karena di
satu berbeda dengan subjek pada umumnya.
samping berbeda regim, hukum keduanya juga
Apabila perbedaan forum dilakukan sedangkan
tidak sederajat. Keduanya bersifat spesialis.
hukum substantif yang akan ditegakkan sama,
Undang-Undang Peradilan Agama adalah lex
dan subjek yang berperkara juga sama, maka
specialis dari Undang-Undang Kekuasaan
akan menimbulkan disparitas putusan yang pada
Kehakiman, sedangkan Undang-Undang
akhirnya akan menimbulkan ketidakpastian
Perbankan Syariah adalah lex specialis dari
hukum (Hasan, 2010: x). Kemudian, apakah
Undang-Undang Perbankan. Dengan demikian
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tidak
Perbankan Syariah dapat dianggap mengubah
dapat mengesampingkan Undang-Undang Nomor
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
3 Tahun 2006, apalagi memindahkan wewenang
Peradilan Agama dengan diberlakukannya asas
peradilan agama ke peradilan lain (Hasan, 2010:
hukum lex post erior derogat legi priori (hukum
xii-xiii).
yang lebih baru menyampingkan hukum yang
lebih lama) dan lex specialis derogat legi generali Terkait dengan permasalahan di atas,
(hukum yang bersifat khusus menyampingkan menurut Muda (2016: 37-50), Putusan Mahkamah

Kewenangan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Abdul Rasyid & Tiska Andita Putri) | 171
Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 terkait merupakan kewenangan pengadilan agama.
kewenangan penyelesaian sengketa sejatinya, Kesepakatan Pimpinanan Mahkamah Agung
dengan berbagai penafsiran yang digunakannya, tersebut memperkuat Putusan Mahkamah
sudahlah tepat dan bijak dengan menggunakan Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. Oleh karena
logika formal sehingga terbentuklah itu, apabila ada sengketa perbankan syariah
keadilan legal dalam putusan tersebut, yaitu diajukan ke pengadilan umum, maka sengketa
penyelesaian sengketa perbankan syariah harus tersebut akan diputus dengan putusan Niet
melalui peradilan agama yang sesuai dengan Ontvankelijke Verklaard (NO), yaitu gugatan
kompetensinya; dengan menggunakan hukum tidak dapat diterima karena mengandung
Islam dalam menyelesaikan sengketa perbankan. cacat formil. Cacat formal tersebut adalah
cacat obscuur libel, ne bis in idem, atau melanggar
Menurut Yasardin, hakim agung, pasca
kompetensi absolut atau relatif. Namun faktanya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/
di lapangan masih juga terdapat beberapa kasus
PUU-X/2012, penyelesaian sengketa perbankan
sengketa perbankan syariah yang masih diajukan,
syariah merupakan kewenangan absolut
diproses, dan diputus oleh pengadilan umum.
pengadilan agama. Menurutnya, argumentasi
Menanggapi hal tersebut, Yasardin mengatakan
yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah
bahwa putusan pengadilan umum tersebut pada
Konstitusi hanya menghapus Penjelasan
akhirnya akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung
Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21
apabila sampai pada tahapan kasasi (Yasardin,
Tahun 2008 dan tidak menghapus pasalnya,
2018).
sehingga masih memberikan peluang bagi para
pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan Menurut penulis, kesepakatan Pimpinan
sengketanya melalui pengadilan umum, pada Mahkamah Agung dalam rapat pleno,
dasarnya tidak beralasan. Apabila diperhatikan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,
secara saksama pertimbangan hakim Mahkamah tidaklah cukup untuk memperkuat kompetensi
Konstitusi sangat jelas, yang dipermasalahkan absolut pengadilan agama dalam menyelesaikan
dalam judicial review tersebut adalah sengketa perbankan syariah, karena faktanya
terkait dengan dualisme kewenangan antara masih terdapat kasus yang diajukan ke pengadilan
pengadilan agama dan pengadilan umum dalam umum. Oleh karena itu, untuk memperkuat
menyelesaikan sengketa perbankan syariah yang kompetensi absolut pengadilan agama dalam
mengakibatkan ketidakpastian hukum. Putusan menyelesaikan sengketa perbankan syariah, dan
Mahkamah Konstitusi mempertegas kewenangan menghilangkan perdebatan yang berkelanjutan
pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/
perbankan syariah sebagaimana yang telah diatur PUU-X/2012, sudah semestinya Mahkamah
sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 3 Agung mengeluarkan peraturan, baik berupa
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama (Yasardin, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) atau
2018). Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang
menegaskan kewenangan absolut pengadilan
Menurut Yasardin, dalam rapat pleno
agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan
Pimpinan Mahkamah Agung juga telah disepakati
syariah.
bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah

172 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 159 - 177


SEMA atau PERMA tersebut nantinya aturan-aturan yang telah ditetapkan, sehingga
disosialisasikan ke seluruh pengadilan, akademisi, menimbulkan ketidakpastian hukum. Diharapkan
praktisi, dan lembaga perbankan syariah untuk pengadilan agama akan membuktikan bahwa
diketahui dan ditaati, sehingga ke depan tidak ada ia mampu menyelesaikan sengketa perbankan
lagi perdebatan dan diselesaikannya sengketa- syariah dengan baik dan layak dipercaya.
sengketa perbankan syariah ke pengadilan umum.
Semenjak diberikan kewenangan dalam
Tidak bisa dipungkiri, permasalahan di menyelesaikan sengketa ekonomi syariah
atas muncul karena masih adanya pihak-pihak, pada tahun 2006, dan dengan lahirnya Putusan
termasuk lembaga perbankan syariah sendiri, yang Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012,
meragukan kemampuan pengadilan agama dalam pengadilan agama terus berbenah diri. Namun
menyelesaikan sengketa perbankan syariah. dalam pantauan penulis, tidak ada persiapan
Selama ini pengadilan agama dianggap sebagai khusus yang dilakukan oleh pengadilan umum
lembaga pengadilan yang hanya menyelesaikan dalam menyelesaikan sengketa perbankan
perkara-perkara perdata terkait dengan nikah, syariah, baik setelah lahirnya Undang-Undang
talak, dan rujuk saja. Sehingga kemampuannya Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah Syariah maupun pasca Putusan Mahkamah
diragukan. Jika boleh dianalogikan, keraguan Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang masih
atas kemampuan pengadilan agama dalam memperdebatkan kewenangan pengadilan agama
menyelesaikan sengketa perbankan syariah di dan pengadilan umum dalam menyelesaikan
atas sama halnya dengan keraguan ketika adanya sengketa perbankan syariah.
keinginan untuk mendirikan bank tanpa bunga.
Menurut Manan (2016), berbagai usaha
Terdapat berbagai pihak yang meragukan dan
telah dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam
mempertanyakan apakah mungkin bank tanpa
mempersiapkan pengadilan agama dalam
bunga bisa beroperasi (Arifin, 2000: 18).
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Seiring dengan perjalanan waktu, keraguan Dari segi sarana dan prasarana, saat ini hampir
tersebut terbantahkan. Fakta di lapangan semua gedung pengadilan agama dan pengadilan
menunjukkan bahwa bank tanpa bunga (bank tinggi agama dibangun dengan fasilitas kantor
syariah) dapat eksis dan beroperasi dengan yang memadai, sama halnya dengan sarana dan
baik. Bank syariah saat ini telah berkembang prasarana yang dimiliki oleh lembaga peradilan
dengan pesat. Berbagai negara, baik negara lainnya. Hampir seluruh kantor pengadilan
muslim maupun non-muslim berlomba-lomba agama dan pengadilan tinggi agama tersebut
mendirikan bank syariah. Keraguan berwujud difasilitasi dengan perangkat informasi dan
menjadi keyakinan, bahwa bank tanpa bunga teknologi dalam proses penyelesaian perkara.
dapat beroperasi dengan baik dan menjadi Untuk meningkatkan kualitas para hakim dalam
lembaga keuangan alternatif. Oleh karena itu, menyelesaikan sengketa perbankan syariah,
keraguan akan kemampuan pengadilan agama Mahkamah Agung telah mengadakan berbagai
dalam menyelesaikan sengketa perbankan kerjasama dalam bidang pendidikan, baik
syariah boleh saja terjadi, namun jangan S2 dan S3 di bidang hukum bisnis/ekonomi
sampai keraguan tersebut sampai melanggar syariah, dengan berbagai universitas negeri

Kewenangan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Abdul Rasyid & Tiska Andita Putri) | 173
maupun swasta. Saat ini telah banyak para Kegiatan Sertifikasi Hakim Ekonomi
hakim yang mengambil kuliah S2 dan S3 di Syariah diadakan oleh Mahkamah Agung
bidang ekonomi syariah. Di samping pendidikan bekerja sama dengan berbagai lembaga terkait
formal, Mahkamah Agung juga melibatkan para seperti MUI, DSN, Basyarnas, OJK, dan DPS.
hakim pengadilan agama dalam pendidikan non- Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami
formal. Sebagai contoh dengan mengikuti short bahwa hakim yang akan menyelesaikan sengketa
training tentang keuangan syariah di Markfiled ekonomi syariah adalah hakim khusus yang
Institute of Higher Education (MIHE) Leicester mempunyai pemahaman yang baik tentang
Inggris, dan mengikuti diklat ekonomi syariah di ekonomi syariah. Oleh karena itu, kekhawatiran
Sekolah Tinggi Peradilan, Universitas Al-Imam akan kemampuan para hakim pengadilan agama
Muhammad Ibnu Saud, Riyadh, Saudi Arabia dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah
pada tahun 2015. mestinya tidak harus diperdebatkan lagi.

Dari segi peraturan perundang-undangan, Terkait dengan pembahasan di atas, pada


Mahkamah Agung juga telah menyusun tanggal 22 Desember 2016, Mahkamah Agung
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) kembali menerbitkan PERMA Nomor 14 Tahun
dan mengeluarkan PERMA Nomor 2 Tahun 2008 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, yang Ekonomi Syariah. PERMA ini lalu diumumkan
mengharuskan para hakim di pengadilan agama dan diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor
merujuk kepada KHES dalam menyelesaikan 5029 pada tanggal 29 Desember 2016. Poin
sengketa ekonomi syariah. Dengan kata lain, terpenting yang diatur dalam PERMA Nomor
KHES merupakan sumber materil para hakim di 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian
pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa Sengketa Ekonomi Syariah ini adalah terkait
perbankan dan ekonomi syariah. dengan tata cara pemeriksaan perkara. PERMA
ini mengatur secara eksplisit bahwa perkara
Mahkamah Agung juga mengeluarkan
ekonomi syariah dapat diajukan dengan dua
PERMA Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi
mekanisme, yakni melalui gugatan sederhana
Hakim Ekonomi Syariah. Berdasarkan PERMA
(small claim court) dan gugatan dengan acara
ini, hanya hakim yang telah tersertifikasi saja
biasa (lihat: Pasal 2 PERMA Nomor 14 Tahun
yang boleh menyelesaikan sengketa ekonomi
2016).
syariah, termasuk perbankan syariah. Para hakim
di pengadilan agama tersebut telah dinyatakan Pengaturan ini pada prinsipnya
lulus seleksi administrasi, kompetensi, integritas, membedakan tata cara pemeriksaan perkara
dan pelatihan menjadi hakim ekonomi syariah. dengan nilai objek materil yang nilainya kecil
Tujuan dilakukannya sertifikasi hakim ekonomi dan besar, dengan tujuan supaya perkara ekonomi
syariah untuk meningkatkan efektivitas syariah dapat diselesaikan dengan cepat,
penanganan perkara-perkara ekonomi syariah di sederhana, dan biaya murah. Di samping itu,
pengadilan agama/mahkamah syariah, sebagai pembagian dua mekanisme tersebut dilakukan
bagian dari upaya penegakan hukum ekonomi karena hukum acara perdata yang ada, seperti
syariah yang memenuhi rasa keadilan (lihat: Reglemen Indonesia yang diperbarui Herzien
Pasal 3 PERMA Nomor 5). Inlandsch Reglement, Rechtreglement voor de

174 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 159 - 177


Buitengewesten (RBg) tidak mengatur secara pengadilan tata usaha negara dan pihak lawan
jelas tentang itu. mengajukan ke pengadilan agama. Lalu masing-
masing pengadilan memberikan putusan yang
Terkait dengan tata cara pemeriksaan
berbeda-beda sehingga menjadi kacau balau dan
perkara dengan gugatan sederhana, Pasal 3 ayat
tidak ada lagi penegakan dan kepastian hukum.
(2) PERMA Nomor 14 Tahun 2016 menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan Pengadilan agama juga harus berbenah
perkara dengan acara/gugatan sederhana adalah mempersiapkan diri dalam menyelesaikan
“pemeriksaan terhadap perkara ekonomi syariah sengketa perbankan dan ekonomi syariah sebagai
yang nilainya paling banyak Rp200.000.000,- kewenangan baru yang dimilikinya. Berbeda
(dua ratus juta rupiah).” Selanjutnya, Pasal 3 ayat dengan pengadilan umum yang tidak melakukan
(3) menyatakan bahwa pemeriksaan perkara/ persiapan khusus dalam menyelesaikan sengketa
gugatan sederhana tersebut merujuk kepada perbankan, sehingga apabila tetap dipaksakan
PERMA Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara untuk menangani sengketa perbankan syariah,
Penyelesaian Gugatan Sederhana kecuali hal-hal dikhawatirkan putusannya tidak sesuai dengan
yang diatur secara khusus dalam PERMA ini. prinsip syariah. Di pengadilan agama, kualitas
hakim dan panitera dalam ilmu ekonomi syariah
Berdasarkan pasal di atas, dapat dipahami
terus ditingkatkan. Berbagai sarana dan prasarana
bahwa perkara ekonomi syariah dengan nilai
dengan fasilitas yang baik juga telah dimiliki,
maksimal dua ratus juta rupiah dapat diselesaikan
sehingga persepsi inferior terhadap kapabilitas
dengan tata cara sederhana. Pemeriksaan dengan
hakim dalam menyelesaikan sengketa perbankan
acara sederhana harus selesai paling lama
syariah tidak mesti ada lagi. Usaha yang harus
dua puluh lima hari sejak hari sidang pertama
dilakukan terus-menerus oleh pengadilan
(PERMA Nomor 2 Tahun 2015). Adapun perkara
agama adalah membangun trust (kepercayaan)
ekonomi syariah yang nilainya di atas dua ratus
masyarakat/pelaku ekonomi syariah terhadap
juta rupiah, diselesaikan dengan acara biasa yang
pengadilan agama, agar mereka yakin bahwa
dilakukan dengan berpedoman pada hukum acara
pengadilan agama mampu dan siap untuk
yang berlaku (lihat: Pasal 7 ayat (1)).
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah yang
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diajukan kepadanya.
dipahami bahwa penyelesaian sengketa perbankan
syariah merupakan kewenangan absolut IV. KESIMPULAN
peradilan agama. Tidak tepat apabila dikatakan
Putusan Mahkamah Konstitusi pada
memberikan kewenangan absolut kepada
hakikatnya diharapkan dapat memberikan
kepada dua pengadilan dalam menyelesaikan
kepastian hukum. Hakim Mahkamah Konstitusi
sengketa perbankan syariah tidak menimbulkan
haruslah hati-hati dan bijak dalam mengeluarkan
ketidakpastian hukum. Namun sebaliknya,
suatu putusan. Putusan Mahkamah Konstitusi
penyelesaian sengketa akan menjadi semakin
Nomor 93/PUU-X/2012 terkait kewenangan
tidak jelas. Para pihak akan memilih lembaga
penyelesaian sengketa perbankan syariah
peradilan yang mereka suka. Pihak penggugat
dianggap sudah tepat, memutuskan bahwa
bisa mengajukan ke pengadilan umum, atau

Kewenangan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Abdul Rasyid & Tiska Andita Putri) | 175
penyelesaian sengketa perbankan syariah Mahkamah Agung mesti mempertegas
harus melalui peradilan agama sesuai dengan dari dua pengadilan tersebut, mana yang lebih
kompetensi absolutnya, sebagaimana yang diatur berwenang dalam menyelesaikan sengketa
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 perbankan syariah. Kesepakatan Pimpinan
tentang Peradilan Agama. Dengan kata lain, Mahkamah Agung dalam rapat pleno tersebut
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah bisa dipertegas kembali dalam bentuk Surat
menghilangkan dualisme penyelesaian sengketa Edaran Mahkamah Agung (SEMA) atau
perbankan syariah, dan memperkuat eksistensi Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). SEMA
peradilan agama sebagai satu-satunya lembaga atau PERMA tersebut nantinya disosialisasikan
peradilan yang berwenang menyelesaikan ke seluruh pengadilan, akademisi, praktisi, dan
sengketa perbankan syariah. Namun di sisi lain, lembaga perbankan syariah untuk diketahui
putusan Mahkamah Konstitusi menimbulkan dan ditaati. Diharapkan ke depan tidak ada lagi
penafsiran baru. Putusan Mahkamah Konstitusi perdebatan dualisme penyelesaian sengketa
hanya menghapus Penjelasan Pasal 55 ayat (2) perbankan syariah, hingga bisa memberikan
Undang-Undang Nomor 21 tentang Perbankan kepastian hukum.
Syariah, tapi tidak menghapus pasalnya.
Sehingga membuka peluang bagi para pihak
yang bersengketa untuk tetap menyelesaikan
sengketanya di pengadilan negeri. DAFTAR ACUAN

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Anshori, A.G. (2009). Hukum perbankan syariah
masih ada beberapa lembaga perbankan syariah (UU No. 21 Tahun 2008). Bandung: PT Refika
yang menyelesaikan sengketanya di pengadilan Aditama.
negeri pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Hal
Arifin, Z. (2000). Memahami bank syariah: Lingkup,
ini memperkuat pendapat bahwa peradilan agama peluang, tantangan & prospek. Jakarta:
bukanlah satu-satunya badan peradilan yang AlvaBet.
berwenang menyelesaikan sengketa perbankan
syariah. Harahap, Y.M. (2001). Kedudukan kewenangan &
acara peradilan agama UU No. 7 Tahun 1989.
Dualisme dan ketidakpastian hukum Jakarta: Sinar Grafika.
dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah
Hasan, H.H. (2010). Kompetensi peradilan agama
masih tetap terjadi. Di samping itu, kesepakatan
dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah.
Pimpinan Mahkamah Agung dalam rapat
Jakarta: Gramata Publishing.
pleno yang menegaskan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, bahwa Manan, A. (2016). Kebijakan MA-RI menyambut
sengketa perbankan syariah menjadi kewenangan ekonomi syariah sebagai kompetensi peradilan
pengadilan agama juga dianggap tidaklah cukup. agama. Kuliah Umum tentang Penyelesaian
Oleh karena itu, peran Mahkamah Agung sebagai Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia:
lembaga tertinggi peradilan yang membawahi Peluang dan Tantangan. Diadakan oleh Jurusan

peradilan agama dan peradilan negeri sangat Business Law, Binus University.

diperlukan.

176 | Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 159 - 177


Muda, I. (2016, April). Penafsiran hukum yang Suadi, A. (2017). Penyelesaian sengketa ekonomi
membentuk keadilan legal dalam penyelesaian syariah: Teori & praktik. Jakarta: Kencana.
sengketa perbankan syariah: Kajian Putusan
Usman, R. (2013). Pilihan Penyelesaian Sengketa
Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.
di luar pengadilan. Bandung: PT Citra Aditya
Jurnal Yudisial, 9(1), 37-50.
Bakti.
Mujahidin, A. (2010). Kewenangan & prosedur
Yasardin, (2018). Wawancara pada tanggal 15
penyelesaian sengketa ekonomi syariah di
November 2018 di Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Indonesia.
Pramono, N. (2015). Konsekuensi hukum akad yang
mencantumkan pilihan hukum penyelesaian
sengketa syariah pasca putusan MK No. 93/2012
dikaitkan dengan Pasal 1338 Kuhpdt. Paper
dipresentasikan pada Seminar Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah dengan Nasabah
Pasca Putusan MK Terkait Pasal 55 Ayat 2 UU
Perbankan Syariah. Jakarta: Hotel Sahid.

Rasyid, A. (2015b). Penyelesaian sengketa bisnis di


luar pengadilan. Dalam Shidarta, Rasyid, A.,
& Sofian, A. (Eds). Aspek hukum ekonomi &
bisnis. Jakarta: Binus Media & Publishing.

________. (2015a). Hukum perbankan syariah di


Indonesia. Diakses dari http://business-law.
binus.ac.id/2015/06/02/hukum-perbankan-
syariah-di-indonesia/

Rasyid, R.A. (1998). Hukum acara peradilan agama.


Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Rusyad, A. (2018). Wawancara pada tanggal 27 Juni


2018 di Universitas Bina Nusatara.

Sjahdeini, S.R. (2000, Agustus-September).


Perbankan syariah suatu alternatif kebutuhan
pembiayaan masyarakat. Jurnal Hukum Bisnis,
20, 8-15.

____________. (2014). Perbankan syariah: Produk-


produk & aspek-aspek hukumnya. Jakarta:
Kencana.

Soejono & Abdurahman, H. (2003). Metode penelitian


hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Kewenangan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Abdul Rasyid & Tiska Andita Putri) | 177

Anda mungkin juga menyukai