Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS KASUS KORUPSI NAZARUDDIN DALAM KACAMATA

FILSAFAT HUKUM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah
Pengantar Filsafat Hukum Kelas D

Dosen Pengampu : Dr. Sukarmi, S.H., M.Hum.

Disusun Oleh :

Citra Puspawardhani

175010101111036

No. Absen : 38

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

2019
Nazaruddin Divonis 4 Tahun 10 Bulan Penjara

TEMPO.CO, Jakarta -- Terdakwa kasus suap Wisma Atlet Jakabaring,


Muhammad Nazaruddin, divonis hukuman penjara 4 tahun dan 10 bulan penjara
serta denda Rp 200 juta. Mantan Bendahara Partai Demokrat itu dinyatakan
terbukti bersalah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.

“Menjatuhkan pidana terhadap Muhammad Nazaruddin empat tahun dan


sepuluh bulan,” kata Ketua Majelis Hakim Dharmawati Ningsih di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat, 20 April 2012.

Selain itu, Nazaruddin juga harus membayar denda Rp 200 juta. “Apabila denda
itu tidak dibayar, diganti pidana kurungan empat bulan,” kata Dharmawati.

Hukuman yang dijatuhkan akan dikurangi dengan masa penahanan yang sudah
dijalani Nazaruddin. Namun majelis hakim menekankan selama Nazaruddin
menjalani perawatan di rumah sakit di luar penahanan tidak dihitung sebagai
masa penahanan.

Menanggapi vonis tersebut, Nazaruddin mengatakan akan berpikir terlebih dulu.


“Saya pikir-pikir dulu,” kata mantan anggota Dewan perwakilan Rakyat itu.
Selama waktu pikir-pikir seminggu, Nazar tetap akan ditahan.

Vonis yang dijatuhkan majelis hakim lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut
Umum yang menuntutnya tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider
enam bulan bui. Tim Jaksa Penuntut Umum pimpinan I Kadek Wiradana menilai
Nazar bersalah menerima suap Rp 4,6 miliar.

Nazaruddin dinilai terbukti bersalah menerima suap Rp 4,6 miliar berupa lima
lembar cek. Cek itu diserahkan Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah--
perusahaan pemenang lelang proyek Wisma Atlet--Mohammad El Idris kepada
dua pejabat bagian keuangan Grup Permai, Yulianis dan Oktarina Fury.
Selanjutnya cek disimpan dalam brankas perusahaan.
Nazar juga dinilai ikut andil membuat PT Duta menang lelang proyek senilai Rp
191 miliar tersebut. Caranya, dengan meminta anak buahnya, Direktur
Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang, bekerja sama dengan
Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam dalam mengupayakan
PT Duta sebagai kontraktor.

Kasus suap Wisma Atlet terungkap setelah petugas Komisi Pemberantasan


Korupsi menangkap basah Rosalina dan Wafid di kantor Kementerian Pemuda
dan Olahraga pada 21 April 2011. Saat penggeledahan, petugas KPK
menemukan tiga lembar cek senilai Rp 3,2 miliar yang diberikan Rosa ke Wafid.
Cek itu adalah jatah Kementerian dari PT Duta Graha Indah karena perusahaan
pimpinan Dudung Purwadi itu terpilih sebagai kontraktor proyek Wisma Atlet

A. KASUS POSISI

Melalui panjangnya proses pengadilan tindak pidana korupsi, akhirnya Hakim


Pengadilan Tipikor yang dipimpin oleh Dharmawati Ningsih pada hari Jumat
tanggal 20 April 2012, memberikan vonis 4 tahun 10 bulan serta denda Rp 200
juta kepada terdakwa M. Nazaruddin. Keputusan tersebut jauh lebih ringan
dibandingkan dengan tuntutan Jaksa. Selain itu pula, majelis hakim juga tidak
menyita harta kekayaan Nazaruddin sebagaimana layaknya putusan kasus pidana
korupsi lainnya. Sebagai perbandingan, Hakim pada kasus korupsi dengan
terdakwa Gayus Tambunan, memberikan vonis 7 tahun penjara dan denda Rp 300
juta. Lalu apakah kita layak menyatakan bahwa putusan hakim pada kasus korupsi
dengan terdakwa M. Nazaruddin tersebut jauh dari rasa keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian hukum ?

Dalam persidangan, Nazaruddin terbukti melanggar Pasal (11) Undang-


Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU No
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Majelis hakim
menganggap Nazaruddin, selaku penyelenggara negara, terbukti menerima suap
dari Manajer Marketing PT Duta Graha Indah (DGI) Mohammad El Idris sebesar
Rp 4,6 miliar. Hakim anggota Herdin Agusten membeberkan, pemberian cek dari
El Idris kepada terdakwa dilakukan melalui anak buah Nazaruddin,Yulianis dan
Oktarina Furi, selaku staf keuangan PT Permai Group. Pemberian itu merupakan
komitmen fee dari DGI ke PT Anak Negeri, anak perusahaan milik terdakwa.
Majelis melanjutkan, dengan tindakan korupsi tersebut, Nazaruddin telah
melakukan perilaku kejahatan luar biasa yang secara sistemik merugikan
kepentingan negara. Dalam menanggapi keputusan ‘ringan’ dari majelis hakim
ini, penulis mencoba mengingatkan kita semua beberapa hal diluar fakta
persidangan yang sesungguhnya dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan
beratnya hukuman Nazaruddin.

Pertama, status M. Nazaruddin sebagai anggota DPR komisi III, dimana


selayaknya seorang anggota DPR memberikan contoh perilaku pejabat negara
yang taat hukum. Apa yang kita lihat adalah sebuah perbuatan yang sangat tidak
layak dicontoh, dan terbukti dari tindakan tersebut bahwa majelis hakim
memutuskan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan telah bersalah. Kedua,
tindakan terdakwa yang melarikan diri hingga keluar negeri adalah wujud
tindakan tidak kooperatif dalam menghadapi kasus hukum yang menimpanya.
Disamping itu, kiranya perlu dipertimbangkan berapa besar biaya negara yang
digunakan untuk memulangkan Nazaruddin dari Kolombia. Perlu kita ingat
bahwa, negara melalui KPK harus merogoh kocek hingga 4 milyar rupiah untuk
memulangkan Nazaruddin kala itu. Ketiga, energi negara yang terkuras selama
proses penyidikan dan persidangan terdakwa M. Nazaruddin. Secara langsung, hal
ini tidaklah berkaitan dengan unsure kejahatan terdakwa, akan tetapi hal tersebut
hendaknya menjadi bagian dari pertimbangan hakim dalam memberikan
keputusan terkait kasus tersebut. Selama berhari-hari dan berbulan-bulan, negara
dan masyarakat dihujani berita mengenai berbagai ulah yang dilakukan
Nazaruddin. Mulai dari ucapannya didepan media, perilakunya, hingga berbagai
permainan psikologi yang dimunculkan baik oleh terdakwa maupun tim pembela
hukumnya telah memberikan dampak yang tidak ringan. Tentu saja terlepas dari
positif atau negatif dampak tersebut, pada kenyataanya masyarakat telah ikut larut
dalam dongeng korupsi yang merusak citra DPR sebagai bagaian dari pejabat
negara. Ketiga hal tersebut belum ditambah dengan berbagai cerita ataupun
dugaan terhadap kasus-kasus korupsi besar lainnya yang turut melibatkan nama-
nama terkenal di negara ini. Sebut saja salah satu nya adalah dugaan korupsi
Hambalang dan lainnya.

B. ANALISIS KASUS

Lantas apakah serta merta kita bisa membuktikan apakah putusan majelis

hakim yang menjatuhkan vonis 4 tahun 10 bulan penjara serta denda sebesar Rp

200 juta kepada Nazaruddin sebagai wujud ketidak adilan, bentuk ketidak

manfaatan, ataupun bagian dari ketidak pastian hukum di Indonesia ? Seorang

hakim dalam menjatuhkan putusan tidak hanya mempedomani pasal 183 KUHAP

semata mengenai dibutuhkannya minimal dua alat bukti, akan tetapi juga

diperlukan pertimbangan dari keyakinan hakim yang turut berdasarkan kepada

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam Undang-undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) menyatakan


bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,

dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat.”

Oleh karena itu dalam memberikan putusan, hakim harus berdasar pada

penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, dan

berkembang dalam masyarakat. Tentu saja hal tersebut sangat berkaitan erat

dengan situasi dan perkembangan sosial yang menyertai kasus tersebut. Jika

dicermati, sesungguhnya hal ini sejalan dengan studi mengenai kejahatan itu

sendiri dimana setidaknya ada 4 unsur yang harus diperhatikan dalam menilai

sebuah kejahatan, yaitu: (1) Kejahatan; (2) Pelaku; (3) Korban; dan (4) Reaksi

sosial.2 Untuk itu, tentu bukanlah sebuah hal yang tepat jika kita membandingkan

putusan antara sebuah kasus kejahatan dengan kejahatan yang lain sekalipun

kejahatan tersebut memiliki jenis yang sama. Hal ini dikarenakan, situasi yang

menyertai setiap kasus tentu akan sangat berbeda. Keadilan dapat diartikan

sebagai memberikan hak yang setara dengan kapasitas seseorang atau


pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional, tetapi juga bisa berarti

memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang menjadi jatahnya

berdasarkan prinsip keseimbangan.

Pada vonis majelis hakim persidangan M. Nazaruddin, hakim seolah tidak

mempertimbangkan beberapa faktor yang seharusnya dapat memberatkan

terdakwa seperti yang telah penulis kemukakan diatas. Fakta bahwa terdakwa

adalah seorang pejabat Negara (DPR) yang menerima gaji/pendapatan yang

berasal dari APBN serta tindakan terdakwa yang tidak kooperatif pada

kenyataannya tidak terlihat memberatkan terdakwa dalam putusan 4 tahun 10

bulan tersebut.

Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap,

konsisten, dan konsekuen, yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh

keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Pada kasus persidangan Nazaruddin,

majelis hakim menyatakan bahwa pasal yang tepat untuk dikenakan pada

Nazaruddin adalah pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 dimana ancaman hukuman

maksimal adalah 5 (lima) tahun penjara, sedangkan tuntutan jaksa penuntut umum

saat itu adalah pasal 12 huruf b dengan hukuman maksimal 20 (dua puluh) tahun

penjara. Perbedaan interpretasi hakim dan jaksa ini bisa jadi dikarenakan adanya

fakta persidangan yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan

perkenaan pasal. Namun jangan dilupakan bahwa hukum bukan sekedar hukum

materiil yang tercantum dalam undang-undang semata, reaksi sosial masyarakat

juga merupakan kontrak sosial yang tidak tertulis dalam kehidupan sosial.

Sedangkan dari sisi kemanfaatannya, hukum seyogyanya membawa

kegunaan dalam tata sinergis antara keadilan dan kepastiannya. Sehingga dalam

praktek, hukum membawa akibat (manfaat) kepada terciptanya rasa terlindungi

dan keteraturan dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Situasi sosial yang

mengikuti jalannya proses persidangan M. Nazaruddin memunculkan berbagai


polemik yang bisa merubah mindset masyarakat secara sistemik. Pola pikir

bahwa bencana korupsi yang menimpa negeri ini turut didukung dengan buruknya

penegakan hukum khususnya dalam tahapan putusan pengadilan. Secara

keseluruhan, sulit rasanya untuk kita mengatakan bahwa putusan majelis hakim

Pengadilan Tipikor yang memberikan hukuman 4 tahun 10 bulan kepada terdakwa

M. Nazaruddin telah memenuhi tujuan hukum dalam memberikan keadilan,

kemanfaatan, serta kepastian. Terlepas dari ada ataupun tidak ‘political will’ yang

bermain, banyak dari masyarakat yang menyatakan ketidak puasan terhadap

keputusan tersebut. Hal ini terlebih lagi ditambah dengan carut marutnya

pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia yang berjalan secara linier mengikuti

derasnya ancaman kejahatan korupsi di negara ini.


C. Berpikir Secara Kritis Mendalam dan Sistematis

Tri Rusmi dalam Perilaku Manusia (1996), mengatakan berpikir adalah suatu
proses sensasi, persepsi, dan memori/ ingatan, berpikir mengunakan lambang
(visual atau gambar), serta adanya suatu penarikan kesimpulan yang disertai
proses pemecahan masalah.

Oleh karena itu, menurut Ahli, berfikir kritis adalah suatu proses dimana
seseorang atau individu dituntut untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi
informasi untuk membuat sebuah penilaian atau keputusan berdasarkan
kemampuan,menerapkan ilmu pengetahuan dan pengalaman. (Pery &
Potter,2005). Menurut Bandman dan Bandman (1988), berpikir kritis adalah
pengujian secara rasional terhadap ide-ide, kesimpulan, pendapat, prinsip,
pemikiran, masalah, kepercayaan dan tindakan. Menurut Strader (1992), bepikir
kritis adalah suatu proses pengujian yang menitikberatkan pendapat tentang
kejadian atau fakta yang mutakhir dan menginterprestasikannya serta
mengevaluasi pandapat-pandapat tersebut untuk mendapatkan suatu kesimpulan
tentang adanya perspektif/ pandangan baru.

Pada pemaparan kasus dan analisis diatas, dapat dilakukan analisis


berdasarkan berpikir secara kritis mendalam dengan menggunakan 5W+1H
sebagai berikut :

1. What : masalah apa yang sedang dibahas?


Masalah yang sedang dibahas adalah mengenai kasus korupsi yang
dilakukan oleh Nazaruddin pada 2012 lalu.
2. Who : siapa yang mengalami masalah tersebut
Nazaruddin selaku tersangka yang di vonis penjara 4 tahun 10 bulan
3. Where :di mana masalah tersebut terjadi
Masalah tersebut terjadi di Jakarta, Pada saat itu status M. Nazaruddin
sebagai anggota DPR komisi III,
4. When : kapan masalah tersebut terjadi
Pada hari Jumat, 20 April 2012
5. Why : mengapa masalah tersebut bisa terjadi
Masalah tersebut bisa terjadi karena pada saat itu Nazaruddin menerima
pemberian suap sebesar Rp 4,6 miliar dari Manajer Marketing PT Duta
Graha Indah (DGI) Mohammad El Idris. Pemberian itu merupakan
komitmen fee dari DGI ke PT Anak Negeri, anak perusahaan milik
Nazaruddin.
6. How : bagaimana masalah tersebut terjadi atau diselesaikan
Karena Nazaruddin melakukan kejahatan luar biasa tersebut dan
merugikan keuangan negara, Nazaruddin divonis 4 tahun 10 bulan serta
denda Rp 200 juta.

Maka dapat disimpulkan dengan berpikir kritis bahwa Kasus Nazruddin


tersebut mengenai tindak pidan korupsi yang merugikan negara, dengan
posisinya sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya memberikan
contoh untuk masyarakat, tetapi dalam hal ini ia lalai dan menyimpangi dari apa
yang seharusnya ia lakukan.

Berpikir Sistematis, Sistematis menurut Abdulkadir Muhammad adalah


berpikir serta berbuat yang bersistem, yaitu berurutan , runtun, serta tidak
tumpang tindih. Sistematis juga dapat diartikan bahwa segala usaha untuk
menguraikan dan merumuskan sesuatu dalam hubungan yang teratur dan logis
sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu ,
mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut obyeknya.

Oleh karena itu, berpikir sistematis dalam analisis kasus ini seperti halnya
menghubungkan sebab akibat dan menjelaskannya secara sistematis. Dalam
kasus ini, Nazaruddin selaku penyelenggara negara, terbukti menerima suap dari
Manajer Marketing PT Duta Graha Indah (DGI) Mohammad El Idris sebesar Rp
4,6 miliar. Hakim anggota Herdin Agusten membeberkan, pemberian cek dari El
Idris kepada terdakwa dilakukan melalui anak buah Nazaruddin,Yulianis dan
Oktarina Furi, selaku staf keuangan PT Permai Group. Pemberian itu merupakan
komitmen fee dari DGI ke PT Anak Negeri, anak perusahaan milik Nazaruddin.
Dalam proses penangkapannya, Nazaruddin sempat pergi keluar negeri untuk
melarikan diri dan dalam hal ini menyulitkan negara dan menguras tenaga dan
uang untuk menjemput kembali Nazaruddin.
KESIMPULAN

Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap,


konsisten, dan konsekuen, yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh
keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Sedangkan dari sisi kemanfaatannya,
hukum seyogyanya membawa kegunaan dalam tata sinergis antara keadilan dan
kepastiannya. Sehingga dalam praktek, hukum membawa akibat (manfaat) kepada
terciptanya rasa terlindungi dan keteraturan dalam kehidupan bersama dalam
masyarakat. Dalam kasus di atas dapat disimpulkan bahwa vonis yang diberikan
hakim kepada Terdakwa M. Nazaruddin tidak sesuai dengan rasa keadilan karena
tidak memenuhi tujuan hukum dalam memberikan keadilan, kemanfaatan, serta
kepastian. Hal ini ditambah dengan parahnya pelaksanaan hukum di Indonesia
yang sudah dicemari dengan kepentingan politik dan kepentingan-kepentingan
lainnya. Masyarakat dapat melihat hal ini melalui proses yang telah berjalan.
Sehingga menyimpulkan keparahan pelaksanaan hukum di negeri kita

Anda mungkin juga menyukai