Anda di halaman 1dari 3

Ushul Fiqih

Pengertian dan Sejarah

ISYA ALWI ZULFANI


II IAT B

A. Pengertian

Dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas pengertian ushul fiqh dan sejarahnya.
Setidaknya pembahasan ini diharapkan akan bisa memberikan gambarang perbedaan antara fiqih
dan ushul fiqih.

Ushul fiqih merupakan istilah untuk (seperangkat) dalil-dalil dari hukum-hukum syariat
sekaligus pengetahuan tentang metode penunjukan dalilnya atas hukum-hukum syariat secara
global, bukan terperinci.Dari keterangan di atas, kita dapat memahami perbedaan obyek kajian
antara fiqih dan ushul fiqih. Wilayah pembahasan dalam fiqih ialah hukum tentang sebuah
persoalan. Misalkan saja, ada sebuah persoalan, maka melalui fiqih kita akan membahas hukum
persoalan tersebut apakah wajib, sunah, haram, dan lain sebagainya.Dari keterangan di atas, kita
dapat memahami perbedaan obyek kajian antara fiqih dan ushul fiqih. Wilayah pembahasan
dalam fiqih ialah hukum tentang sebuah persoalan. Misalkan saja, ada sebuah persoalan, maka
melalui fiqih kita akan membahas hukum persoalan tersebut apakah wajib, sunah, haram, dan
lain sebagainya.

Secara singkat, yang dibahas dalam fiqih ialah, “Ini hukumnya apa?” Oleh karena itu, jelas
bahwa persoalan yang dibahas dalam fiqih sifatnya terperinci, artinya berlaku pada persoalan
tersebut, namun tidak pada lainnya.

Fiqih berbeda dengan ushul fiqih. Wilayah yang dibahas ushul fiqih ialah pendefinisian apa
itu hukum? Apa itu wajib, sunah, dan lain sebagainya? Bagaimana caranya melahirkan sebuah
hukum? Bagaimana bisa sesuatu dikatakan wajib? Siapa saja yang bisa mengeluarkan putusan
hukum? Dan lain sebagainya.

Berdasarkan definisi di atas, dapat dipahami bahwa wilayah kajian ushul fiqih adalah dalil-
dalil yang bersifat global (bukan dalil-dalil tematik sebagaimana wilayah kajian ilmu fiqih) dan
penggunaan dasar-dasar hukum syariat, baik yang disepakati imam empat (muttafaq alaih) atau
sebaliknya, tidak disepakati semua imam.
B. Sejarah

Pada abad pertama masa nabi muhammad saw belum ada ushul fiqih dan kaidah kaidahnya.
Saat nabi muhammada saw masih hidup, hukum islam langsung diputuskan oleh nabi
muhammad saw berdasarkan wahyu dari Allah swt yang terkandung dalam Al- Quran. Jadi,
hukum yang nabi keluarkan tidak memakai ushul fiqh.

Kemudian, pada masa sahabat (setelah Nabi saw wafat). Dalam berfatwa dan membuat
putusan hukum Islam, para sahabat langsung mengacu pana nash (Al-Qur’an dan hadits) yang
mereka pahami dengan pemahaman bahasa Arab mereka yang masih orisinil. Arti orisinil di sini
adalah belum tercemari oleh faktor-faktor luar yang mempengaruhi kemampuan kebahasaan
mereka dalam memahami nash.

Pasca-generasi sahabat, wilayah kekuasaan Islam semakin luas. Sehingga pemeluk Islam
semakin banyak dari berbagai bangsa dengan tipikal sosial dan geografis yang plural (beragam),
terjadilah asimilasi bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain. Akibatnya, orisinilitas bahasa Arab
mulai terancam. Sehingga banyak kerancuan dalam memahami nash. Hal ini mendorong untuk
dibakukannya batasan dan kaidah bahasa demi menjaga orisinalitas yang telah hilang. Dengan
demikian, pemahaman atas nash tetap terkontrol sebagaimana saat dipahami oleh penerima nash
tempo dulu.

Dua Aliran Ushul Fiqh

Masa Pembentukan hukum islam berlangsung lama sampai mucul dua aliran ushul fiqih
dengan metode yang berbeda. Yaitu madrasah Ahlu al-Hadits (tekstualis) dan madrasah Ahlu al-
Ra’yu (rasionalis). Perbedannya, Ahlu al-Hadits membatasi kajiannya pada Al-Qur’an dan hadits
Nabi. Mereka sangat berhati-hati dan tidak mau melangkah lebih jauh. Mereka tidak mendukung
kajian nalar, Sedangkan Ahlu al-Ra’yu lebih menggunakan rasio dalam menetapkan hukum
Islam. Prinsip mereka hanya untuk kemaslahatan umat.

Pada fase ini tidak hanya muncul dua aliran tersebut yang membuat kompleksitas kajian
hukum Islam. Muncul pula kelompok yang melenceng dari dari batas wajar. Mereka lebih
menggunakan nafsu untuk menjadikan dalil. Kondisi memprihatinkan ini semakin mendesak
untuk segara disusun batasan dan bahasan dalil-dalil syara’ serta cara menggunakannya. Dari sini
lah mulai terbentuk ilmu ushul fiqih.
Kondifikasi Ushul Fiqih

Selang 200 tahun berlalu. Ushul fiqih mulai tersebar luas di sela-sala hukum fikih. Hal ini
karena setiap imam mujtahid dari empat imam (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) selalu
memaparkan dalil pada setiap hukum yang dikeluarkan, berikut metode pengambilannya. Semua
metode dan hujah-hujah ini tercakup dalam kaidah-kaidah ushul fiqih.

Orang yang pertama kali menghimpun kaidah yang tersebar itu dalam sebuah kitab
tersendiri adalah Imam Abu Yusuf (w. 798 M), penganut mazhab Hanafi. Hanya saja, karyanya
tidak sampai ke tangan kita. Sementara orang yang pertama kali menyusun kitab kaidah-kaidah
ushul fiqih dengan pembahasan yang sistematis, disertai penjelasan berikut metode penelitiannya
adalah Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i (w. 204 H), atau biasa dipanggil Imam Syafi’i.
Kitab itu diberi nama Ar-Risalah. Nasibnya lebih beruntung kitab ini sampai ke tangan kita.
Sehingga Imam Syafii disebut sebagai pencetus ushul fiqih.

Anda mungkin juga menyukai