Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

MANAHIJ MUHADDITSIN

“ Kitab Shahih Al-Bukhari I ”

DISUSUN OLEH

1. Ashabul Kahfi
2. Ahmad Shadri
3. Irsyad Dulkaiir
4. Alfat Yusuf Trisandi

DOSEN PENGAMPU
Azzam Elfata, Lc., M.A

JURUSAN ILMU ALQURAN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN ILMU ALQURAN
SUMATERA BARAT
2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kami Ucapkan atas kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya, kepada kami sehingga berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya yang berjudul “Kitab Shahih Al-Bukhari I” Kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada Ibu Bapak selaku Dosen yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan tugas
makalah ini.
Makalah ini berisikan tentang “Kitab Shahih Al-Bukhari I” yang akan penulis bahas lebih
dalam. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir, semoga dari makalah ini pembaca dapat
menambah pengetahuan mengenai “Kitab Shahih Al-Bukhari I”.

Padang, 9 Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................4
A. Latar Belakang..................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................5
C. Tujuan...............................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................6
A. Biografi Penulis.................................................................................................................6
B. Penilaian Ulama Terhadap Imam Al-Bukhari..................................................................9
C. Latar Belakang penyusunan Kitab..................................................................................12
D. Syarat-Syarat Imam Al-Bukhari Dalam Kitab Shahih....................................................14
BAB III PENUTUP......................................................................................................................17
A. Kesimpulan.....................................................................................................................17
B. Saran................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kitab-Kitab hadist dalam bentuk subjek-subjek khusus atau minat tertentu telah muncul
sejak abad pertama hijrah. Kodifikasi-kodifikasi yang muncul berbeda-beda, baik secara
kuantitas dan kualitasnya, sesuai dengan kapasitas masing-masing penyusunannya. Bahkan
banyak pula karya-karya yang muncul pada paruh pertama abad ke dua hijrah.
Pada akhir abad kedua sampai abad keempay hijrah perubahan terjadi dengan
munculnya kitab-kitab hadist yang hanya memuat hadist nabi dengan pengaturan sistematika
tertentu.
a. Ṡȃhih Al-Bukhari karya Imam Al-Bukhari (w.256H/870M)
b. Sahih Muslim karya Imam Muslim (w.261H/875M)
c. Sunan Abu Dawud karya Imam Abu Dawud (w.275H/888M),
d. Sunan at-Tirmizi karya Imam at-Tirmizi (w.279H/ 875M)
e. Sunan Ibn Majah karya Imam Ibn Majah (w.283H/896M) dan
f. Sunan al-Nasa’i karya Imam al-Nasa’i (w.303H/915M)
Abad ketiga hijriyah dinyatakan sebagai masa pemurnian dan penyempurnaan penulisan
kitab-kitab hadis. Periode ini berlangsung sejak masa pemerintahan Khalifah al-Makmun
(198-218 H) sampai kepada awal pemerintahan Khalifah al-Muqtadir (295-320 H) dari
Dinasti Abbasiyah. Pada periode ini para Ulama Hadis memusatkan perhatian mereka
kepada pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurnian Hadis-hadis Nabi s.a.w. hal
tersebut mereka lakukan, selain sebagai pemeliharaan terhadap Hadis Nabi, juga dalam
rangka antisipasi terhadap kegiatan pemalsuan Hadis yang semakin marak pada masa itu
Diantara kegiatan yang dilakukan oleh para Ulama Hadis dalam rangka pemeliharaan
kemurnian Hadis Nabi s.a.w pada masa ini adalah: perlawatan ke daerah-daerah,
pengklasifikasian Hadis kepada Marfu, Mawquf dan Maqthu’, serta penyeleksian kualitas
hadis dan pengklasifikasiannya kepada Shahih, Hasan, dan Daíf.
Pembahasan berikut secara khusus akan menguraikan tentang kitab Sahih susunan
Imam al-Bukhari yang dinilai menduduki peringkat teratas dari sederetan kitab-kitab Hadis.

1
Pembahasan ini diawali dengan pengungkapan riwayat hidup dan karya Imam Bukhari,
nama lengkap kitab hadisnya, jumlah hadis yang menjadi hasil karyanya, penilaian ulama
terhadap kitab-kitabnya, serta kitab-kitab syarahnya dengan sistematika pembahasannya.

B. Rumusan Masalah
1. Biografi Penulis
2. Bagaimana penilaian ulama terhadap Imam Al-Bukhari ?
3. Bagaimana Latar Belakang Penyusunan kitab ?
4. Apa saja syarat-syarat Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih ?

C. Tujuan
1. Untuk dapat mengetahui biografi dari penulis
2. Untuk dapat mengetahui penilaian ulama terhadap Imam Al-Bukhari
3. Untuk dapat mengetahui latar belakang penyusunan kitab
4. Untuk dapat mengetahui syarat-syarat Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Penulis
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-
Mughirah bin Bardizbah bin Badzdzibah al-Ju’fi. Ayahnya Syaikh Ismail terkenal dengan
panggilan Abu Hasan adalah seorang ulama hadis yang masyhur di Bukhara yang pernah
menjadi murid Imam Malik –Imam Darul HIijrah-. Ia juga salah satu sahabat dari Hammad
bin Ziyad dan Ibnu Mubarak, tabi’in masyhur dan diterima riwayatnya di kalangan ulama
hadis. Melihat pertemanan ayahnya ini, kita bias melihat bahwa al-BUkhari dibesarkan di
dalam sebuah lingkungan keluarga yang relijius dan dipenuhi semangan keilmuan. Imam
Ibnu Hibban mencantumkan biografi Syaikh Ismail dalam kitabnya Al-Tsiqat.
Silsilah keluarganya dimulai dari ayah buyutnya, Bardizbah atau Badzduzbah, yang
berasal dari Persia dan hingga meninggal tetap menganut agama majusi. Tetapi cahaya Allah
mulai menerangi keluarga ini saat ayah dari kakeknya Al-Mughirah menyatakan
kesilamannya di sepan gurunya, Yaman al-Ju’fi, Hakim serta mufti Buhkara saat itu.
Menurut kebiasaan, seorang suku atau kabilah, secara tidak langsung ia harus menisbahkan
silsilah keluarganya kepada seseorang atau kabilah tersebut. Maka nama Al-Ju’fi tidak bias
dihilangkan dari silsilah keluarga Imam Bukhari. Demikian dalam Islam, hal ini dikenal
dengan istilah “wala”.
Selain ayahnya dikenal sebagai seorang berilmu, juga sebagai ahli
wara’(menghindarkan diri dari hal-hal yang bersifat syubhat atau tidak jelas mengenai halal
ataupun haramnya) dan menjaga ketaqwaan. Dikisahkan sebelum ajal menjemputnya, ia
pernah mengatakan bahwa harta yang dimilikinya tidak ada sedikitpun yang berbau syubhat
apalagi haram.
Tapi sayangnya, ayahnya meninggal sewaktu Imam al-BUkahri belum beranjak dewasa.
Al-Bukhari dan adiknya termasuk beruntung karena ayahnya meninggalkan harta warisan
yang cukup untuk kehidupan yang selanjutnya. Ibundanyalah yang akhirnya
bertanggungjawab sebagai kepala keluarga. Tentang Ibunya, IBnu Hajar mengatkan, ibunda

3
Imam al-Bukhari adalah seorang ahli ibadah (efeksionis) yang tekun hingga sebagian besar
riwayat menjelaskan banyak terdapat karamah atau kelebihan-kelebihan yang diberikan
Allah kepadanya. Salah satunya adalah riwayat yang menceritakan sewaktu Imam al-
Bukhari kecilm pernah mengalami kehilangan penglihatan atau buta. Dokter yang paling
ahli pun tidak bias menyembuhkan hingga suatu malam ibunya bermimpi bertemu dengan
nabi Ibrahim yang berkata padanya, “Wahai ibu, disebabkan oleh banyak doa dan tangismu,
Allah akan mengembalikan penglihatan anakmu”. Selain itu, ketika shalat malam, Sang ibu
tak lupa untuk memanjatkan doa untuk kesembuhan anaknya. Maka sewaktu paginya
penglihatan Imam al-Bukhari kembali seperti semula.
Sejak ayahnya meninggal, pendidikan dan pertumbuhan Imam al-Bukhari sepenuhnya
dibawah bimbingan ibunya. Segera ia dimasukkan ke surau (kuttab) untuk mempelajari
berbagai macam ilmu keislaman dan terutama untuk mengahafal Alquran sebagaimana
kebiasaan anak-anak kecil waktu itu. Disanalah ia mulai mengenal Hadis Nabi. Abu Hatim
al-Warraq, seorang murid dan sekretarisnya mengatakan bahwa Imam al-Bukhari mengaku
mulai mengenal hadis semasa surau ini dan umurnya waktu itu sekitar sepuluh tahun, sekitar
204 atau 205 H. Suatu fase dimana menurut ulama hadis seorang dibolehkan untuk
mempelajari hadis Nabi sekaligus meriwayatkannya. Terlepas dari perselisihan akan ulama
yang melarangnya.
Bukhari mulai mempelajari hadis ketika usianya kurang dari sepuluh tahun . Beliau
melakukan pengembaraan ke Balkh, Naisabur, Rayy, Bagdad, Bashrah, Kuffah, Makkah,
Mesir, dan Syam. Meskipun usianya sangat muda, Bukhari memiliki kecerdasan dan
kemampuan menghafal yang luar biasa. Muhammad ibn Abi Hatim menyatakan bahwa ia
pernah mendengar Bukhari menceritakan bahwa dia dapat ilham untuk mampu menghafal
hadis. Ketika ditanya sejak usia berapa dia mendapat ilham tersebut, Bukhari menjawab
sejak usia sepuluh tahun atau bahkan kurang.
Kecerdasan Imam al-Bukhari tanda-tanda awal seorang ulama besar dalam diri al-
Bukhari mulai bersinar. Suatu hari di sebuah majelis ilmu dimana Allamah ad-
dakhili,sseorang ulama hadis di Bukhara mengajarkan hadis, al-Bukhari pun asyik
mendengarkan dan tekun mengikuti majelis tersebut hingga ketika Allamah ad-Dakhili
menyebutkan sebuah sanad hadis, Sufyan dari Abu Zubair dari Ibrahim, “Al-Bukhari
berkata, “bahwa Abu Zubair tidak pernah meriwayatkan dari Ibrahim. Sang guru pun gelisah

4
daterkejut. Tapi Al-Bukhari dengan tenang berakata,”Cobalah anda teliti sanad aslinya”.
Setelah ia meneliti sanad aslinya Al-Bukhari lah yang benar. Kata Sang guru, “Coba
jelaskan sanad tadi menurutmu”. Yang benar adalah Zubair, yaitu Zubair bin ‘Adi bukan
Abu Zubair dari Ibrahim. Ketika Imam al-Bukhari menceritakan kisah ini, seorang
bertanya,”unur berapa engkau saat itu?”Jawabnya, “sebelas tahun”.
Dari sini terlihat Imam al-Bukhari telah awal sekali bergelut dan mencintai hadis. Tidak
hanya berhenti disitu saja, ia juga mampu membedakan dan menghukumi manakah hadis
yang sahih dari yang tidak, memeriksa dengan teliti sebuah jalur periwayatan, menyebutkan
biografi para rawi dari berbagai segi terutama yang berkaitan dengan syarat-syarat
diterimanya riwayat mereka, membandingkan berbagai jalur periwayatan, juga
menyimpulkan masalah-masalah yang terkandung dalam sebuah matan hadis.
Selain Allamah ad-Dakhili, gutu-guru awalnya di Bukhara antara lain Muhammad bin
Salam al-Baikandi, Abdullah Muhammad bin al-Musnadi, dan Ibrahim bin Asy’ab. Bersama
para ulama ini, keilmuwan Imam al-Bukhari mengalami peningkatan sekaligus dating pula
pengakuan dari para ulama dan teman sejawatnya akan keluasan pengetahuan hadisnya.
Kadang mereka merasa minder dan khawatir jika dalam hal periwayatan suatu hadis dating
teguran pembenaran dari Imam al-Bukhari. Tak jarang teman-teman sejawatnya meminta
dirinya untuk menguji hafalan hadis dan membenarkan kesalahan dalam sebuah
periwayatan. Ahkan gurunya sendiri, Muhammad bin Salam Al-Bukandi juga merasakan hal
yang demikian. “Setiap kali Muhammad bin Ismail mengahadiri majleisku, pikiranku terasa
tidak berkonsentrasi dan senantiasa khawatir jika dia banyak membenarkan penyampaian
riwayat dariku”.
Sebelum kepergiannya keluar Bukhara untuk mencari ilmu, Salim bin Mujahid
menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu hajar al-Asqalani : “Ketika aku di
rumah Muhammad salam al-Baikandi, ia berkata padaku, cobalah carikan aku seorang anak
kecil yang ke dengar telah menghafal 70.000 hadis”. Segera aku mencari anak kecil tersebut.
Aku menemuinya dan kukatakan, “Apa benar engkau mengahafl 70.000 hadis? “Jawab
Imam al-Bukhari, “Benar , bahkan lebih dari itu. Aku tidak akan menyebutkan riwayat hadis
dari seorang sahabat atau tabi’in kecuali telah kuketahui asal sanad tersebut dan
mengafalnya sebagaimana aku menghafal Alquran dan Sunnah Rasul-Nya.”Dalam riwayat

5
lain diceritakan bahwa ia mengatakan,”Aku hafal hadis di luar kepala sebanyak seratus ribu
hadis sahih dan dua ratus ribu hadis lain yang tidak sahih.
Muhammad bin Salam al-Baikandi berkata pada Imam al-Bukhari “wahai al-Bukhari,
sebelum engkau pergi meninggalkan Bukhara, tolong engkau periksa kitabku, apakah ada
banyak kesalahan di dalamnya?”Seorang sahabatnya lalu bertanya,”apa kelebihan dari
pemuda ini hingga engkau adalah yang termahir dalam bidang hadis di Bukhara ini?,”Al-
Baikandi menjawab, “Pemuda ini tiada duanya”. Al-Bukhari pun segera memeriksa kitab
gurunya itu lalu memulai perjalanannya. Ternyata tugas yang diberikan tersebut menjadi
pertemuan terakhir sebelum gurunya meninggal dunia saat Al-Bukhari sedang dalam
perjalanan mencari ilmunya.
Dan pada saat beliau berusia mencapai enam puluh dua tahun, beliau wafat pada malam
Idul Fitri tahun 256 H atau pada tanggal 31 agustus 870 M. Sebelum wafat, beliau berpesan
agar jenazahnya dikafani tiga helai kain, tanpa baju dan sorban. Jenazah beliau dikuburkan
setelah zuhur di Khartank, nama sebuah desa di Samarkand. Beliau telah menempuh
perjalanan hidup yang panjang dihiasi amal mulia. Semoga Allah melimpahkan Rahmat dan
Ridho-Nya kepadanya.

B. Penilaian Ulama Terhadap Imam Al-Bukhari


Telah menjadi kesepakatan ulama dan umat islam bahwa Kitab Sahih al-Bukhari adalah
kitab yang paling otentik dan menduduki tempat terhoemat setelah Alquran. Ibn Shalah
misalnya mengemukakan, kitab yang paling otentik sesudah Alquran adalah Sahih al-
Bukhari dan Sahih Muslim. Pendapat ini diikuti dan dipopulerkan oleh Imam Nawawi
dengan menambahkan bahwa para ulama telah ijma’dalam masalah ini, sementara umat
Islam juga telah menerimanya. Sejalan dengan pendapat di atas, Subhi al-Shalih
mengemukakan bahwa kitab Sahih al-Bukhari dan Shahih Muslim adalah kitab yang paling
sahih sesudah Alquran, sesuai dengan kesepakatan umat. Sementara itu mayoritas ulama
berpendapat, kitab Shahih Bukhari lebih otentik dari kitab Sahih Muslim. Akan tetapi,
sebagian kecil dari ulama, seperti Abu Ali al-Naisaburi, Abu Muhammad ibn Hazm al-
Zahiri dan sebagian ulama Maghribi mengunggulkan sahih Muslim daripada Sahih Bukhari.
Alasan keunggulan Shahih Bukhari dan Shahih Muslim umumnya adalah ada pada
keunggulan pribadi Imam al-Bukhari daripada Imam Muslim, dan keketatan Bukhari dalam
memilih perawi daripada Muslim. Sementara alas an keunggulan Sahih Muslim dan Sahih

6
al-Bukhari lebih difokuskan kepada metode dan sistematika penyusunannya, dimana Sahih
Muslim lebih baik dan lebih teratur sistematikanya dibandingkan dengan Sahih Bukhari.
Meskipun dinilai paling otentik setelah Alquran dan menduduki tempat terhormat, kitab
Sahih al-Bukhari ternyata tidak luput dari kritik. Sahih al-bukhari mendapat kritik, baik dari
segi sanad maupun matannya, baik dari kalangan ulama (muslim) sendiri dan juga orang luar
islam (nonmuslim).
Diantara ulama Hadis masa lalu, seperti Dar Quthni dan Abu Ali al-Ghassani, menilai
bahwa sebagian hadis-hadis Bukhari ada yang daíf. Dar Quthni dalam Al-Istidrakat wa al-
Tatabbu’, mengkritik 200 buah Hadis dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Menurut
Imam nawawi, kritik tersebut berawal dari tuduhan bahwa dalam Hadis-hadis tersebut,
Bukhari tidak menepati dan memenuhi persyratan yang ia tetapkan. Kritik Daruquthni
berdasarkan kriteria yang ditetapkan sejumlah ahli hadis yang justru dinilai dari segi ilmu
hadis sangat lunak, karena berlawanan dengan kriteria jumhur ulama. Sementara daruquthni
menyoroti sanad dalam arti rangkaian perawi Hadis, para ahli lain menyoroti pribadi
perawinya. Dari kajian tentang sanad, Daruquthni mendapatkan adanya sanad yang terputus,
karenanya Hadis itu dinilai daíf. Namun, setelah diteliti, ternyata hadis yang dituduhkan
mursal itu terdapat dalam riwayat lain, sementara riwayat yang terdapat dalam Sahih al-
Bukhari tidak terputus. Pencantuman sanad yang mursal itu dimaksudkan sebagai
pembuktian bahwa hadis tersebut diriwayatkan pula oleh penulis Hadis lain dengan sanad
yang lain juga. Periwayatan semacam ini dalam ilmu Hadis disebut syahid atau hadis
muttabi’.
Sementara itu ada ahli Hadis lain yang menilai bahwa ada beberapa perawi dalam Sahih
al-Bukhari yang tidak memenuhi syarat untuk diterima hadisnya. Dalam hal ini Ibn Hajar
menegaskan bahwa itu tidak dapat diterima, kecuali apabila perawi-perawi itu terbukti jelas
mempunyai sifat-sifat atau melakukan hal-hal yang menyebabkan hadisnya ditolak. Setelah
diteliti, ternyata tidak ada satu perawi pun yang mempunyai sifat-sifat dan melakukan
perbuatan seperti itu. Syekh Ahmad Syakir berkomentar, seluruh Hadis Imam al-Bukhari
adalah sahih. Kritik Daruquthni dan lainnya hanya karena beberapa Hadis yang ada tidak
memenuhi persyaratan mereka. Namun, apabila hadis-hadis itu dikembalikan kepada
persyaratan ahli Hadis pada umumnya, semuanya sahih.

7
Kaum orientalis, seperti Ignaz Goldhizer, A.J.Wensik dan Maurice Bucaile, turut juga
mengajukan kritik, yang kemudian dikenal dengan kritik matan (materi) Hadis. Menurut
mereka, para ahli hadis terdahulu hanya mengkritik Hadis dari sanad atau perawi saja,
sehingga banyak Hadis yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari yang dikemudian hari ternyata
tidak sahih ditinjau dari segi sosial, politik, sains, dan lain-lain. Di antara Hadis yang dikritik
itu adalah Hadis yang berasal dari al-Zuhri, bahwa Rasulullah bersabda,”tidak diperintahkan
pergi kecuali menuju tiga masjid, yaitu Mesjid al-Haram, Mesjid al-Rasul, dan masjid al-
Aqsha”. Hadis ini menurut Goldhizer adalah hadis palsu yang sengaja dibuat Al-Zuhri untuk
kepentingan politik penguasa. Sedangkan hadis tentang “lalat masuk air minum”, “demam
berasal dari neraka” dan “perkembangan embrio”dikritik Maurice Bucaille Karen isinya
dinilai bertentangan dengan sains.
Ulama kontemporer, seperti Ahmad Amin dan Muhammad al-Ghazali, juga
mengajukan kritik terhadap Hadis Bukhari. Ahmad Amin mengatakan, meskipun al-Bukhari
tinggi reputasinya dan cermat pemikirannya, tetapi dia masih menetapkan Hadis-hadis yang
tidak sahih ditinjau segi perkembangan zaman dan penemuan ilmiah, karena penelitiannya
terbatas pada kriktik sanad saja. Di antara hadis yang dikritiknya adalah tentang”Seratus
tahun lagi tidak ada orang yang masih hidup di atas bumi”. Dan “barang siapa makan tujuh
kurma ajwah setiap hari, ia akan selamat dari racun maupun sihir pada hari itu sampai
malam”.
Muhammad al-Ghazali menyatakan bahwa apabila suatu hadis bertentangan dengan
sains atau sejarah yang sudah pasti, hadis itu harus ditolak meskipun ia terdapat dalam Sahih
al-Bukhari, sebab menurutnya Imam al-Bukhari itu bukan seorang yang ma’sum (terbebas
dari salah dan dosa). Seperti hadis tentang “Seandainya tidak ada Bani Israil , makanan dan
daging itu tidak akan busuk”, adalah hadis daíf (tidak sahih) karena tidak sesuai dengan
sains. Kata Muhammad al-Ghazali apa hubungan antara Bani israil dengan membusuknya
daging? Membusuknya daging adalah masalah alami, tidak ada kaitannya dengan Bani
israil.
Kritik-kritik dari kaum orientalis dan ulama kontemporer tersebut telah mendorong
lahirnya pembela Imam al-Bukhari untuk menyanggah kritik-kritik tersebut. Di antara
mereka adalah ahli hadis, Muhammad Mustafa ‘Azami dan Mustafa al-Sibaí. Sanggahan
mereka terhadap kritik-kritik tersebut semakin manambah kualitas Sahih al-Bukhari.

8
Sebagai akhir dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa Imam al-Bukhari adalah
seorang ulama yang telah berjasa menghimpun dan membukukan hadis-hadis Nabi yang
sahih. Beliau sangat cermat dan teliti dalam upaya memurnikan hadis dari bercampurnya
dengan fatwa sahabat dan tabiín serta pemalsuan hadis dari orang-orang yang tidak
bertanggungjawab.
Orientisitas dan kesahihan kitab Sahih al-Bukhari disepakati jumhur ulama dan umat
Islam dan menempati peringkat teratas setelah Alquran. Sementara mengenai peringkat
Sahih al-Bukhari terhadap Sahih Muslim dan sebaliknya ada sedikit perbedaan. Sebagian
besar ulama mengunggulkan Sahih al-Bukhari daripada Sahih Muslim, sedangkan sebagian
kecil dari mereka kebalikannya, mengunggulkan Sahih Muslim daripada Sahih al-Bukhari.
Banyaknya kritik yang ditujukan kepada kitab Sahih al-Bukhari dari segi sanad maupun
matan, justru semakin memantapkan kedudukan kitab tersebut pada posisi lebih terhormat
dari itu, hal tersebut mendorong munculnya ulama hadis sesudah al-Bukhari untuk membuat
syarah maupun ikhtisar kitab sahih itu, dan membuat jawaban yang lebih luas dan mendalam
terhadap kritik-kritik tersebut.

C. Latar Belakang penyusunan Kitab


Kitab Shahih al-Bukhari adalah kitab karya Amirul Mukminin fil Hadith yaitu
Muhammad bin Ismail bin al-Mughirah, berjudul lengkap al-Jami’ al-Shahih al-Musnad
min Hadithi Rasulillah SAW wa Sunanihi wa Ayyamihi. Beliau lahir di Bukhara, hari Jumat
tanggal 13 Syawal tahun 194 H dan wafat di bulan Syawal tahun 256 H di usia 62 tahun.
Ayahnya yang bernama Ismail adalah ulama Hadis dan ibunya adalah wanita salihah yang
rajin beribadah. Imam Bukhari saat usia 10 tahun sudah menghapal al-Qur’an, menghapal
kitab karya Imam Mubarak dan Imam Waki’. Selain itu, di usia yang masih muda tersebut
Imam Bukhari juga sudah menghapal sekitar 1000 Hadist.
Sebelum menulis kitab Shahih al-Bukhari, Imam Bukhari menulis kitab “Qadhaya al-
Shabah wa al-Tabi’in” dan kitab “Tarikh al-Kabir”. Nah, untuk kitab Sahih al-Bukhari ini
diawali dengan mimpi Imam Bukhari suatu hari bahwa Imam Bukhari berdiri di hadapan
Nabi SAW melindunginya dari siksaan dan celaan. Kisah tersebut dinukilkan dari Imam
Suyuti dalam kitab Tadrib al-Rawi. Kemudian, Imam Bukhari meminta kepada gurunya
untuk mengetahui tafsir mimpi tersebut. “sesungguhnya, suatu saat nanti engkau akan

9
menjadi pembela dan pemberantas kebohongan yang disangkakan kepada Nabi
SAW”. Begitulah jawaban dari guru Imam Bukhari menimpali tafsir mimpinya.
Di kesempatan lain setelah mimpi itu, Imam Bukhari bertemu dengan Ishaq bin
Rahawayh, Muhadist dari Khurasan. Pada pertemuan tersebut, Ishaq bin Rahawayh
menyampaikan kepada Imam Bukhari yang sekaligus menjadi muridnya “Jikalau engkau
mau mengumpulkan Hadis-Hadis Sahih Nabi SAW secara ringkas dan padat”. Hati Imam
Bukhari terenyuh dan seketika teringat tafsir mimpi kala itu. Mungkin inilah saatnya beliau
mengumpulkan dan menuliskan Hadis-Hadis Sahih Nabi SAW.
Mulailah Imam Bukhari mengumpulkan Hadis-Hadis Sahih. Beliau memulai menulis di
Mekah, acapkali di Madinah, dekat dengan makam Nabi SAW. Dalam penulisan kitab Sahih
Bukhari tersebut, Imam Bukhari jarang sekali keluar masjid untuk bertemu masyarakat
seperti biasanya. Sampai penulisan kitab tersebut selesai, kurang lebih 16 tahun kemudian.
Imam Bukari menyatakan bahwa “Saya tidak akan menuliskan satu Hadis pun dalam kitab
ini kecuali saya berwudhu sebelumnya, kemudian salat istikharah dua rakaat dan
memastikan kesahihan Hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun matan”.
Dari 600.000 ribu Hadis, Imam Bukhari memilih sekitar 7000-an Hadis Sahih, atau di
beberapa riwayat sebanyak 7275 Hadis Sahih atau lagi sekitar 7397 Hadis Sahih. Imam
Bukhari mensyaratkan pada dirinya sendiri bahwa Imam Bukhari tidak akan memasukkan
sanad kecuali dengan rijal atau perawi Hadis yang Tsiqah. Imam Bukhari juga tidak akan
memasukkan sanad kecuali Imam Bukhari pernah bertemu langsung sekaligus mengetahui
perihal jarh wa ta’dil dari seorang perawi tersebut. Apalagi, dalam ilmu Hadis,
proses talaqi atau bertemu langsung menjadi syarat utama ketersambungan sanad dalam
syarat sahihnya suatu Hadis.
Proses penulisan kitab Sahih Bukhari juga membuat Imam Bukhari mencurahkan
hampir seluruh waktu di tiap harinya untuk kesempurnaan kitab tersebut, tidak lain juga
supaya dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Imam Bukhari harus menapaki beratus-
ratus mil perjalanan untuk memastikan kebenaran Hadis yang akan beliau kumpulkan dan
tulis. Imam Bukhari berkata “Saya sudah pergi ke negeri Syam, Mesir dan Jazirah sebanyak
dua kali, pergi ke negeri Basrah sebanyak empat kali dan bermukim di Hijaz selama enam
tahun, dan entah berapa banyak kali saya pulang pergi ke Kufah dan Baghdad. Waktu
untuk istirahat juga terkuras untuk sibuk menulis. Sampai pada pengakuan para guru Imam

10
Bukhari yang termasuk dalam ulama Mutasyaddid seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Abu
Hatim al-Razi, Qutaybah bin Sa’id, ‘Ali bin al-Madini, Abu Bakar bin Abi Syaybah, Yahya
bin Ma’in, Ishaq bin Rahawayh bahwa kitab Sahih Bukhari adalah kitab yang dapat
dipertanggungjawabkan kredibilitasnya dan berada di level kedua setelah al-Qur’an sebagai
kitab rujukan.
Dari kitab Shahih Bukhari inilah mulai berdatangan murid-murid Imam Bukhari untuk
belajar langsung kepada beliau. Di antara murid-murid Imam Bukhari yang terkenal yaitu
Imam Muslim, al-Nasai dan al-Tirmidzi. Kemudian kitab Sahih Bukhari ini dituliskan
penjelasan lengkapnya dalam beberapa karya kitab. Di antaranya sekitar ada 8 kitab yaitu,
kitab A’lam al-Sunan, kitab Syarh pertama yang ditulis oleh al-Khattabi, kitab Fath al-
Bari yang ditulis oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, kitab Syarh Sahih al-Bukhari li Ibni
Batthal, kitab Kawakib al-Durari karangan Imam Kirmani, kitab Umdah al-Qari karangan
Badr al-Din al-Aini, kitab al-Tawsiah ‘ala al-Jami’ al-Sahih yang ditulis oleh Imam
Suyuthi, Isryad al-Sari karangan al-Qasthalani dan kitab Faidhu al-Bari karangan Anwar
Syah al-Kashmiri.

D. Syarat-Syarat Imam Al-Bukhari Dalam Kitab Shahih


Imam Bukhari dan Muslim tidak pernah menjelaskan suatu syarat dari syarat-syaratnya,
atau memaparkan tambahan dari syarat-syarat atas keshahihan haditsnya. Akan tetapi para
ulama yang giat melakukan pengkajian, penelusuran dan penelaahan terhadap uslub-uslub
keduanya menemukan apa yang mereka prediksi sebagai syarat-syarat keduanya, atau
merupakan syarat salah satu di antara keduanya.
Pernyataan yang paling baik dalam hal ini, bahwa yang dimaksud dengan syarat
Syaikhan, atau syarat salah satu di antara keduanya adalah hadits yang diriwayatkan dari
jalur para perawi yang terdapat pada dua kitab tersebut atau salah satunya, selain
memperhatikan tata cara yang diambil oleh Syaikhan dalam meriwayatkan hadits dari para
perawi itu.
Jika para ulama hadits menyatakan terhadap suatu hadist: “muttafaqun ‘alaiHi” maka
makna yang dimaksud mereka adalah kesepakatan syaikhan, artinya syaikhan (Bukhari dan
Muslim) sepakat atas keshahihannya, jadi bukan kesepakatan umat. Meski Ibnu Shalah
menyatakan: “Kesepakatan umat terhadap hadits itu merupakan keharusan dan telah
tercapai, sebab umat telah sepakat untuk menerima apa yang disepakati keduanya.”

11
Tidak disyaratkan bahwa hadits shahih itu harus ‘aziz, artinya tidak harus memiliki dua
(jalur) sanad. Sebab, baik di dalam Shahihain maupun selain kitab Shahihain terdapat hadits-
hadits shahih yang gharib. Ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama seperti Abu Ali al-
Jubbai al-Mu’tazili dan al-Hakim. Pernyataan mereka ini bertentangan dengan kesepakatan
umat.
Tingkatan-tingkatan Shahih :
Seperti yang telah dipaparkan bahwa para ulama telah menyebut sanad-sanad yang paling
shahih menurut pendapat mereka. Dengan demikian sebagai pelengkap syarat-syarat
keshahihan, perlu diutarakan bahwa hadits shahih itu juga bertingkat-tingkat.
a. Tingkatan yang paling tinggi (utama) yang diriwayatkan dengan sanad yang paling
shahih, seperti Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar.
b. Kemudian hadits-hadits yang diriwayatkan melalui jalur para perawi yang tingkatannya
lebih rendah dari sanad yang utama, seperti riwayat Hammad bin Salmah dari Tsabit dari
Anas.
c. Selain itu ada hadits-hadits yang diriwayatkan para perawi yang lebih rendah lagi
tingkatan keshahihannya, seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih dari Bapaknya dari Abu
Hurairah.
Berikut ini adalah rincian dari pembagian hadits-hadits shahih pada tujuh tingkatan:
1. Hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim (ini tingkatan yang paling tinggi)
2. Hadits yang diriwayatkan Bukhari
3. Hadist yang diriwayatkan Muslim
4. Hadist yang sesuai dengan syarat Bukhari Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkan
hadits tersebut
5. Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari, namun beliau tidak mengeluarkan hadits
tersebut
6. Hadits yang sesuai dengan syarat Muslim, namun beliau tidak mengeluarkan hadits
tersebut
7. Hadits yang dishahihkan imam-imam hadits selain Bukhari dan Muslim dan tidak
memenuhi syarat keduanya, seperti Ibnu Khuzamah dan Ibnu Hibban.
Lalu apa arti hadits-hadits shahih yang diterima oleh umat Islam itu? Yakni hadits-
hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dengan sanad bersambung, maka hukumnya

12
adalah shahih. Sedangkan hadits-hadist yang dihilangkan seorang rawi atau lebih pada awal
sanad –yang disebut dalam hadits mu’allaq- padahal dalam kitab Bukhari yang seperti itu
amat banyak, maka hal ini telah dijelaskan oleh Bukhari dalam berbagai bab dan
muqaddimah kitabnya, sehingga tidak ada sesuatupun yang terpangkas. Sementara di dalam
shahih Muslim tidak ada realita seperti itu, kecuali satu hadits saja yang terdapat pada bab
tayamum, yang tidak ada pada topik lain. Hukumnya sebagai berikut:
a. Kalau haditsnya menggunakan sighat jazm (bentuk kalimat yang bersifat pasti)
seperti pernyataan: amara (telah memerintahkan), dzakara (telah menyebutkan)
maka hukumnya shahih berdasarkan penyandaran (mudlaf ilaihi)
b. Kalau haditsnya tidak menggunakan shighat jazm, seperti pernyataan: yurwa
(diriwayatkan), yudzkar (disebutkan), yuhka (dikisahkan) atau ruwiya dan dzukira,
maka hukumnya tidak shahih berdasarkan penyandaran (mudlaf ilihi). Karena itu
tidak ada hadist lemah yang dimasukkan ke dalam kitab yang bernama shahih.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Diantara kitab sahih adalah kitab yang disusun oleh Imam al-Bukhari dan Imam
Muslim. Sedangkan kitab sunan adalah Sunan Abu Dauwd, Sunan al-Turmudzi, Sunan Al-
Nasaí, Sunan Ibn majah dan Sunan al-Darimi. Adapun yang termasuk kitab Musnad adalah
kitab Musnad Imam Ahmad Ibn Hambal, Musnad Abu al-Qasim al-Baghawi, dan Musnad
Utsman ibn Abi Syaibah.
Pembahasan berikut secara khusus akan menguraikan tentang kitab Sahih susunan
Imam al-Bukhari yang dinilai menduduki peringkat teratas dari sederetan kitab-kitab Hadis.
Pembahasan ini diawali dengan pengungkapan riwayat hidup dan karya Imam Bukhari,
nama lengkap kitab hadisnya, jumlah hadis yang menjadi hasil karyanya, penilaian ulama
terhadap kitab-kitabnya, serta kitab-kitab syarahnya dengan sistematika pembahasannya.
Kutub as-Sittah merupakan kitab Hadis yang pokok bagi umat Islam di seluruh dunia.
Di antara kitab-kitab hadits tersebut adalah Sahih Al-Bukhari yang dipandang dan diakui
sebagai kitab yang paling utama dan memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi oleh umat
Islam. Oleh karenanya, sudah menjadi kesepakatan bahwa karya Imam Bukhari merupakan
yang paling otentik dari semua kepustakaan mengenai hadist nabi. Keautentikan karya Imam
Bukhari oleh para sarjana Islam diungkapkan dengan pernyataan,”Buku yang paling autentik
setelah kitab Allah (Al-Qur’an) adalah Sahih al-Bukhari.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih sangat jauh dari kesemputnaan
disebabkan karena keterbatasan pengetahuan penulis, untuk itu saran masukan dan kritik
yang membangun sangat penulis harapkan untuk dijadikan pedoman dalam rangka
perbaikan dan kesempurnaan makalah ini dan mungkin untuk pembuatan tugas sejenis
dimasa yang akan datang.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abu Syahbah, Muhammad Fi Rihab as-Sunnah.1995.Cairo: Silsilah Buhuts al-Islamiyah


Abu Zahw, Muhammad. al Hadis wa al-Muhaddisun aw”Inayat al-Ummat al-Islamiyyah bi al
Sunnah al-Nabawiyyah .t.t.Mesir: Dar al-Fikr al Arab
Abu Syuhbah,Muhammad Al-Kutub al-Sittah, 1969.Kairo: Majmu’al-Buhuts al-Islamiyyah
Adib Shalih, Muhammad. Lamhat fi Ushul al-Hadis, 1399 H.Beirut: Al-Maktab al-Islami
Al-Asqalani , Ibnu Hajar .Muqaddimah Fath Al-Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari.1424/2004
M.Cairo: Dar al-Hadis
Al-‘Asqalani, Haafidz Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Fathu al-bāri Bisyarhi Shahihi al-
Bukhari/ Keterangan/Penjelasan Tentang Shahih Al-Bukhari, 1420 H/2000 M Bab
I, Libanon, Beirut: Daarul Fikri
Al-Asqalani, Ibnu Hajar .Hady al-Sari.tt.Riyad: Riasah Idarah al-Buhuts al-Islamiyah wa al-Ifta
wa al-Irsyad,
Al-Shalih, Subhi. Ulum-al-Hadis wa Musthalahuh.1998.Beirut: Daral Ilmi li-al-
Malayin, Al-Syuthi, Tadrib al-Rawi .1392 H.Madinah: Al-Maktabah al-Ilmiyyah
Az-Zahrani Muhammad, Ensiklopedia Kitab-Kitab Rujukan Hadis,2011.Jakarta: Darul Haqq

15
16

Anda mungkin juga menyukai