Tidak sah shalat yang dikerjakan sebelum masuknya waktu ataupun setelah keluarnya waktu
kecuali ada halangan.
وس ُك ْم َوأَرْ ُجلَ ُك ْم ِإلَى ْال َك ْعبَي ِْن ۚ َوإِن ِ ِصاَل ِة فَا ْغ ِسلُوا ُوجُوهَ ُك ْم َوأَ ْي ِديَ ُك ْم إِلَى ْال َم َراف
ِ ق َوا ْم َسحُوا بِ ُر ُء َّ أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا قُ ْمتُ ْم إِلَى ال
ُكنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah…” [Al-Maa-idah: 6].
ْك فَطَهِّر
َ ََوثِيَاب
“Dan Pakaianmu bersihkanlah.” [Al-Muddatstsir: 4].
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ِ ْ فَ ْليَ ْم َسحْ هُ بِاْألَر، َولِيَ ْنظُرْ فِ ْي ِه َما فَإ ِ ْن َرأَى خَ بَثًا، فَ ْليُقَلِّبْ نَ ْعلَ ْي ِه،َإِ َذا َجا َء أَ َح ُد ُك ُم ْال َم ْس ِجد. “Jika salah
َ ض ثُ َّم لِي
ُصلِّ فِ ْي ِه َما
seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah ia membalik sandal dan
melihatnya. Jika ia melihat najis, maka hendaklah ia menggosokkannya dengan tanah.
Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.”[2]
Adapun dalil bagi disyaratkannya kesucian badan adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada ‘Ali. Dia menanyai beliau tentang madzi dan berkata:
Adapun dalil bagi sucinya tempat adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada para Sahabatnya di saat seorang Badui kencing di dalam masjid:
Catatan:
Barangsiapa telah shalat dan dia tidak tahu kalau dia terkena najis, maka shalatnya sah dan
tidak wajib mengulang. Jika dia mengetahuinya ketika shalat, maka jika memungkinkan
untuk menghilangkannya -seperti di sandal, atau pakaian yang lebih dari untuk menutup
aurat- maka dia harus melepaskannya dan menyempurnakan shalatnya. Jika tidak
memungkinkan untuk itu, maka dia tetap melanjutkan shalatnya dan tidak wajib mengulang.
Berdasarkan hadits Abu Sa’id: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat lalu
melepaskan kedua sandalnya. Maka orang-orang pun turut melepas sandal-sandal mereka.
Ketika selesai, beliau membalikkan badan dan berkata, ‘Kenapa kalian melepas sandal
kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami melihat Anda melepasnya, maka kami pun melepasnya.’
Beliau berkata, ‘Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan mengatakan bahwa pada kedua
sandalku terdapat najis. Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka
hendaklah membalik sandalnya dan melihatnya. Jika dia melihat najis, hendaklah ia
gosokkan ke tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.’”[6]
D. Menutup Aurat
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid…” [Al-A’raaf:
31].
Yaitu, tutupilah aurat kalian. Karena mereka dulu thawaf di Baitullah dengan telanjang. Juga
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ٍ ض إِالَّ بِ ِح َم
ار َ الَ يَ ْقبَ ُل هللا.
ٍ ِصالَةَ َحائ
“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan
penutup kepala (jilbab).” [7]
Aurat laki-laki antara pusar dan lutut. Sebagaimana dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib
Radhiyallahu anhum, dari ayahnya, dari kakeknya, secara marfu’:
ٌ َما بَ ْينَ ال ُّس َّر ِة َوالرُّ ْكبَ ِة عَوْ َرة. “Antara pusar dan lutut adalah aurat.” [8]
Dari Jarhad al-Aslami, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat ketika aku
mengenakan kain yang tersingkap hingga pahaku terlihat. Beliau bersabda:
Sedangkan bagi wanita, maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan kedua
telapak tangannya dalam shalat.
ٍ ض ِإالَّ بِ ِح َم
ار َ الَ يَ ْقبَ ُل هللا. “Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah pernah haidh
ٍ ِصالَةَ َحائ
(baligh) kecuali dengan mengenakan kain penutup.” [11]
E. Menghadap ke Kiblat
Boleh (shalat) dengan tidak menghadap ke Kiblat ketika dalam keadaan takut yang sangat
dan ketika shalat sunnat di atas kendaraan sewaktu dalam perjalanan.
Allah berfirman:
“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan…” [Al-Baqarah: 239].
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
shalat di atas kendaraannya menghadap ke arah mana saja dan shalat Witir di atasnya.
Namun, beliau tidak shalat wajib di atasnya.” [14]
Catatan:
Barangsiapa berusaha mencari arah Kiblat lalu ia shalat menghadap ke arah yang disangka
olehnya sebagai arah Kiblat, namun ternyata salah, maka dia tidak wajib mengulang.
Dari ‘Amir bin Rabi’ah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan di suatu malam yang gelap dan kami
tidak mengetahui arah Kiblat. Lalu tiap-tiap orang dari kami shalat menurut arahnya masing-
masing. Ketika tiba waktu pagi, kami ceritakan hal itu pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Lalu turunlah ayat:
F. Niat
Hendaklah orang yang ingin shalat meniatkan dan menentukan shalat yang hendak ia
kerjakan dengan hatinya, misalnya seperti (meniatkan) shalat Zhuhur, ‘Ashar, atau shalat
sunnahnya [16].
Tidak disyari’atkan mengucapkannya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
mengucapkannya. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau
mengucapan, “Allaahu Akbar,” dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya. Sebelumnya
beliau tidak melafazhkan niat sama sekali, dan tidak pula mengucapkan, “Aku shalat untuk
Allah, shalat ini, menghadap Kiblat, empat raka’at, sebagai imam atau makmum.”
Tidak juga mengucapkan, “Tunai atau qadha’…” Ini semua adalah bid’ah. Tidak seorang pun
meriwayatkannya dengan sanad shahih atau dha’if, musnad atau pun mursal. Tidak satu
lafazh pun. Tidak dari salah seorang Sahabat beliau, dan tidak pula dianggap baik oleh
Tabi’in, ataupun Imam yang empat. [17]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan
Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M] _______
Footnote
[1]. Telah disebutkan takhrijnya.
[2]. Telah disebutkan takhrijnya.
[3]. Telah disebutkan takhrijnya.
[4]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/42, dan 428 no. 331)], Shahiih Muslim (I/261 no. 333), Sunan at-
Tirmidzi (I/82 no. 125), Sunan Ibni Majah (I/203 no. 621), Sunan an-Nasa-i (I/184).
[5]. Telah disebutkan takhrijnya.
[6]. Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/353 no. 636).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 534)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/345 no. 627), Sunan at-Tirmidzi
(I/234 no. 375) dan Sunan Ibni Majah (I/215 no. 655).
[8]. Hasan: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 271)], diriwayatkan oleh ad-Daraquthni, Ahmad, dan Abu Dawud.
[9]. Shahih lighairihi: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 269)], Sunan at-Tirmidzi (IV/197 no. 2948), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(XI/52 no. 3995), lihat perkataan Ibnul Qayyim t tentang masalah ini dalam Tahdziibus Sunan (XVII/6).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 6690)] dan Sunan at-Tirmidzi (II/ 319 no. 1183).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 534)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/345 no. 627), Sunan at-Tirmidzi
(I/234 no. 375) dan Sunan Ibni Majah (I/ 215 no. 655).
[12]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/36 no. 6251)], Shahiih Muslim (I/298 no. 397).
[13]. Shahih: [Muwaththa’ al-Imam Malik (126/442)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VIII/199 no. 4535).
[14]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/487 no. 700 (69))], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/575 no. 1098), secara
mu’allaq.
[15]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 835)], Sunan at-Tirmidzi (I/216 no. 343), Sunan Ibni Majah (I/326 no. 1020),
dengan lafazh serupa, begitu pula pada al-Baihaqi (II/11).
[16]. Talkhiish Shifat ash-Shalaah, karya Syaikh al-Albani, hal. 12.
[17]. Zaadul Ma’aad (I/51). Home/Alwajiz : Shalat/Syarat-Syarat Sahnya Shalat 🔍 Kepiting Haram, Alasan Menikah Dalam
Islam, Hadis Tentang Niat, Pengertian Fitnah Dan Dalilnya, Bacaan Untuk Orang Sakit Parah
Referensi: https://almanhaj.or.id/936-syarat-syarat-sahnya-shalat.html
MATERI II : RUKUN-RUKUN SHOLAT
Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan
membentuk hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak
teranggap secara syar’i dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.
Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.
Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan
tidak sah dengan kesepakatan para ulama.
Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,
1. Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk melakukannya
kembali. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.
2. Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama
Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa
raka’at yang ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.
3. Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi dari
awal lagi karena ia tidak memasuki shalat dengan benar.
RUKUN-RUKUN SHOLAT
Rukun pertama: Berdiri bagi yang mampu
ٍ فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ْستَ ِط ْع فَ َعلَى َج ْن، f فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ْستَ ِط ْع فَقَا ِع ًدا، ص ِّل قَائِ ًما
ب َ
“Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk.
Jika tidak mampu lagi, maka kerjakanlah dengan tidur menyamping.”
HR. Bukhari no. 1117, dari ‘Imron bin Hushain.
ُّ صالَ ِة
الطهُو ُر َو َتحْ ِري ُم َها ال َّت ْكبِي ُر َو َتحْ لِيل ُ َها ال َّتسْ لِي ُم ُ ِم ْف َتا
َّ ح ال
“Pembuka shalat adalah thoharoh (bersuci). Yang mengharamkan dari hal-hal di luar
shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan
salam. ”
HR. Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 301.
Keadaan minimal dalam ruku’ adalah membungkukkan badan dan tangan berada di lutut.
Sedangkan yang dimaksudkan thuma’ninah adalah keadaan tenang di mana setiap
persendian juga ikut tenang. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengatakan pada orang yang jelek shalatnya sehingga ia pun disuruh untuk mengulangi
shalatnya, beliau bersabda,
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa thuma’ninah adalah sekadar membaca dzikir
yang wajib dalam ruku’.
Hendaklah sujud dilakukan pada tujuh bagian anggota badan: [1,2] Telapak tangan kanan
dan kiri, [3,4] Lutut kanan dan kiri, [5,6] Ujung kaki kanan dan kiri, dan [7] Dahi sekaligus
dengan hidung.
Rukun kesepuluh dan kesebelas: Duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah
ِ ُث َّم اسْ ج ُْد َح َّت ى َت ْط َمئِنَّ َسا، ُث َّم ارْ َفعْ َح َّت ى َت ْط َمئِنَّ َجالِ ًسا، ج ًدا
ج ًدا ِ ُث َّم اسْ ج ُْد َح َّتى َت ْط َمئِنَّ َسا
“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari sujud dan
thuma’ninalah ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali dan thuma’ninalah ketika
sujud.”[8]
ِ َّات هَّلِل
ُ حي َّ … َفإِ َذا َق َع َد أَ َح ُد ُك ْم فِى ال
ِ صالَ ِة َف ْل َيقُ ِل ال َّت
“Jika salah seorang antara kalian duduk (tasyahud) dalam shalat, maka ucapkanlah “at
tahiyatu lillah …”.”HR. Bukhari no. 831 dan Muslim no. 402, dari Ibnu Mas’ud
Bacaan tasyahud:
ِ الس الَ ُم َعلَ ْي َن ا َو َعلَى عِ َب ا ِد هَّللا َّ ، ك أَ ُّي َه ا ال َّن ِبىُّ َو َرحْ َم ُة هَّللا ِ َو َب َر َكا ُت ُه
َ الس الَ ُم َعلَ ْي َّ ات َو
ُ الط ِّي َب
َّ ، ات َّ َّات هَّلِل ِ َو
ُ الص لَ َو ُ حي ِ ال َّت
ُ أَ ْش َه ُد أَنْ الَ إِلَ َه إِال َّ هَّللا ُ َوأَ ْش َه ُد أَنَّ م َُح َّم ًدا َع ْب ُدهُ َو َرسُول ُه، ِين
َ صالِحَّ ال
“At tahiyaatu lillah wash sholaatu wath thoyyibaat. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu
wa rohmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin. Asy-
hadu an laa ilaha illallah, wa asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuluh. ” (Segala
ucapan penghormatan hanyalah milik Allah, begitu juga segala shalat dan amal shalih.
Semoga kesejahteraan tercurah kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah dengan
segenap karunia-Nya. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kami dan hamba-
hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
disembah dengan benar selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba
dan Rasul-Nya)
HR. Bukhari no. 6265 dan Muslim no. 402
إذا صلى أحدكم فليبدأ بتمجيد هللا والثناء عليه ثم يصلي على النبي صلى هللا عليه وسلم ثم يدعو بعد بما شاء
“Jika salah seorang di antara kalian hendak shalat, maka mulailah dengan menyanjung
dan memuji Allah, lalu bershalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
berdo’a setelah itu semau kalian.”
Riwayat ini disebutkan oleh Syaikh Al Albani dalam Fadh-lu Shalat ‘alan Nabi, hal. 86, Al Maktabah Al
Islamiy, Beirut, cetakan ketiga 1977
اركْ َعلَى م َُح َّم ٍد َو َعلَى ِ اللَّ ُه َّم َب، جي ٌد
ِ ك َحمِي ٌد َم َ إِ َّن، آل إِب َْراهِي َم َ صلَّي
ِ ْت َعلَى َ اللَّ ُه َّم
ِ ص ِّل َعلَى م َُح َّم ٍد َو َعلَى
َ َك َما، آل م َُح َّم ٍد
جي ٌد
ِ ك َحمِي ٌد َم َ إِ َّن، آل إِب َْراهِي َم
ِ ت َعلَى َ ار ْك
َ َك َما َب، آل م َُح َّم ٍدِ
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala
Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad
wa ‘ala aali Muhammad kamaa barrokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka
hamidun majiid.” HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406, dari Ka’ab bin ‘Ujroh
ُّ صالَ ِة
الطهُو ُر َو َتحْ ِري ُم َها ال َّت ْك ِبي ُر َو َتحْ لِيل ُ َها ال َّتسْ لِي ُم ُ ِم ْف َتا
َّ ح ال
“Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang
menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. ”
HR. Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 301
Yang termasuk dalam rukun di sini adalah salam yang pertama. Inilah pendapat ulama
Syafi’iyah, Malikiyah dan mayoritas ‘ulama.
Model salam ada empat:
1. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu
‘alaikum wa rahmatullah”.
2. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah wa barokatuh”, salam ke kiri
“Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”.
3. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu
‘alaikum”.
4. Salam sekali ke kanan “Assalamu’laikum”.
Lihat Sifat Shalat Nabi, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 188, Maktabah Al Ma’arif
Alasannya karena dalam hadits orang yang jelek shalatnya, digunakan kata “ tsumma“
dalam setiap rukun. Dan “tsumma” bermakna urutan.[17]
Semoga bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
MATERI III : TATA CARA SHOLAT SESUAI SUNNAH
Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau menghadap ke arah
Kiblat dan berdiri mendekat ke pembatas (sutrah).
ٍ َوإِ َّن َما لِ ُك ِّل امْ ِر،ِإِ َّن َما ْاألَعْ َما ُل ِبال ِّنيَّات.
ئ َما َن َوى
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Dan sesungguh-nya setiap orang hanya
mendapat (balasan) berdasarkan niatnya.”
هللَا ُ أَ ْك َب ُر.
“Allah Mahabesar.”
Beliau mengangkat kedua tangannya lalu meletakkan yang kanan di atas yang kiri di atas
dada. Beliau mengarahkan pandangannya ke tanah (tempat sujud). Kemudian membuka
bacaan dengan berbagai macam do’a (do’a istiftah), beliau memuji, menyanjung dan
memuliakan Allah.
Kemudian beliau memohon perlindungan kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk
(ta’awwudz).
Kemudian membaca:
ِ ْهللا الرَّ ح
من الرَّ ِحي ِْم ِ بسْ ِم.ِ
“Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.”
Dengan tidak nyaring. Kemudian membaca al-Faatihah dengan berhenti pada tiap-tiap ayat
(tartil). Seusai membaca al-Faatihah, beliau mengucapkan: “Aamiin,” dengan menjaharkan
(mengeraskan) dan memanjang-kan suaranya.
Serta memelankan bacaan pada shalat Zhuhur, ‘Ashar, raka’at ketiga dari shalat Maghrib
serta dua raka’at terakhir dari shalat ‘Isya’. Beliau juga mengeraskannya pada shalat Jum’at,
dua Hari Raya, Istisqa’, dan Gerhana. Beliau menjadikan dua raka’at terakhir lebih pendek
dari dua raka’at pertama kira-kira separuhnya, sekitar lima belas ayat, atau mencukupkan
dengan al-Faatihah.
Kemudian jika beliau selesai membaca, beliau diam sejenak. Setelah itu beliau mengangkat
kedua tangannya, bertakbir, dan ruku’. Beliau letakkan kedua telapak tangannya pada kedua
lutut lalu meregangkan jari-jemarinya. Beliau tekankan kedua tangannya pada kedua
lututnya seakan-akan menggenggamnya. Beliau regangkan kedua sikunya ke samping sambil
meratakan dan meluruskan punggungnya. Hingga andaikata dituangkan air di atasnya,
niscaya air itu tetap tenang (tidak tumpah).
Dalam rukun ini beliau mengucapkan banyak macam dzikir dan do’a. Terkadang
mengucapkan ini, terkadang pula yang itu. Beliau melarang membaca al-Qur-an dalam ruku’
dan sujud.
ك ْال َح ْم ُد
َ َر َّب َنا َول.
َ
“Ya Rabb kami, hanya bagi-Mu-lah segala pujian.”
Terkadang beliau membaca do’a lebih dari itu. Kemudian beliau bertakbir dan menyungkur
sujud. Beliau meletakkan kedua tangannya di atas tanah sebelum kedua lututnya. Beliau
bertelekan pada kedua telapak tangannya dan membuka (lengan)nya. Beliau Shallallahu
alaihi wa sallam merapatkan jari-jemarinya dan menghadapkannya ke Kiblat.
Beliau meletakkan sejajar dengan kedua bahunya dan terkadang sejajar kedua telinganya.
Beliau menempelkan hidung dan dahinya ke tanah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
Terkadang beliau juga membaca berbagai macam dzikir dan do’a, terkadang ini dan
terkadang itu. Beliau memerintahkan untuk bersungguh-sungguh dan memperbanyak do’a
pada rukun ini. Kemudian beliau mengangkat kepala sambil bertakbir, lantas menggelar kaki
kirinya dan mendudukinya (duduk iftirasy) dengan tenang.
Beliau tegakkan telapak kaki kanannya sambil menghadapkan jari-jari telapak kaki kanan
tersebut ke Kiblat. Lalu beliau mengucapkan:
ْ اللّ ُه َّم.
َوارْ ُز ْقنِي، َو َعافِنِي، َواهْ ِدنِي، َواجْ بُرْ نِي َوارْ َفعْ نِي،اغفِرْ لِـي َوارْ َح ْمنِى
“Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku, cukupilah kekurangan-ku, angkatlah derajatku,
tunjukilah aku, maafkanlah aku, dan berilah rizki kepadaku.”
Kemudian beliau bertakbir dan melakukan sujud kedua sebagaimana yang pertama lalu
mengangkat kepalanya sambil bertakbir. Kemudian bangkit duduk tegak di atas kaki kirinya
hingga tulang-tulang kembali pada tempatnya semula (duduk istirahat).
Kemudian bangkit ke raka’at kedua dengan bertumpu pada tanah. Beliau melakukan raka’at
kedua sebagaimana raka’at pertama. Hanya saja beliau melakukannya lebih singkat
daripada yang pertama. Kemudian beliau duduk tasyahhud seusai raka’at kedua.
Jika shalat terdiri dari dua rak’at, maka duduk iftirasy sebagaimana duduk di antara dua
sujud. Begitupula pada raka’at kedua dari shalat yang berjumlah tiga atau empat raka’at.
Jika beliau duduk tasyahhud, beliau letakkan telapak tangan kanannya di atas paha
kanannya dan meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya. Beliau buka tangan
kirinya dan menggenggamkan tangan kanannya di atas paha kanannya sambil menunjuk
dengan jari telunjuknya dan memusatkan pandangan padanya.
Beliau lantas membaca tahiyyat pada setiap dua raka’at. Beliau bershalawat bagi dirinya
sendiri pada tasyahhud awal maupun yang seterusnya. Dan beliau mensyari’atkan hal ini
pada umatnya. Dalam shalatnya beliau mengucapkan banyak do’a yang beraneka ragam.
Beliau kemudian mengucap salam sambil menoleh ke kanan dan mengucap: “
Begitupula pada yang kiri. Beliau terkadang menambah kalimat “ُ( َو َب َر َكا ُتهdan berkah-Nya)”
pada salam pertama.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi
Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan
Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M] _______ Footnote [1]. Diringkas dari Shifatu Shalaatin Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, karya Syaikh al-Albani.
Referensi: https://almanhaj.or.id/825-tata-cara-shalat.html
MATERI IV : JAMAK SHOLAT
Jamak shalat artinya mengerjakan dua shalat wajib di salah satu waktu, baik dengan mengerjakan di
waktu shalat yang pertama (jamak takdim) ataukah dikerjakan di waktu shalat yang kedua (jamak
takhir).
Shalat yang boleh dijamak adalah shalat Zhuhur dan shalat ‘Ashar, lalu shalat Maghrib dan shalat
‘Isya’.
Menjamak dua shalat ini dibolehkan menurut ijma’ (kesepakatan) para ulama. (Dinukil dari Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27: 287).
Allah Ta’ala berfirman,
َ ْس إِلَى َغ َس ِق اللَّي ِْل َوقُرْ آَ َن ْال َفجْ ِر إِنَّ قُرْ آَ َن ْال َفجْ ِر َك
ً ان َم ْشه
ُودا ِ صاَل َة لِ ُدلُوكِ ال َّشم
َّ َأق ِِم ال
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula
shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isra’: 78).
Waktu pertama yang disebutkan adalah waktu ‘duluk’. Yang dimaksudkan adalah waktu setelah
matahari tergelincir mengarah ke arah barat (arah matahari tenggelam). Adapun yang dimaksud
dengan waktu pertama adalah shalat Zhuhur yang berada di awal waktu duluk dan shalat Ashar yang
berada di akhir waktu duluk.
Waktu kedua adalah ‘ghasaqil lail’. Yang dimaksudkan adalah gelap malam. Shalat yang dikerjakan di
awal ghasaq adalah shalat Maghrib, sedangkan di akhirnya adalah shalat Isya.
Waktu ketiga adalah waktu fajar. Disebut dalam ayat dengan “Qur-anal Fajri”, yang dimaksud adalah
shalat fajar (shalat Shubuh). Shalat Shubuh disebut qur-anal fajri karena saat Shubuh adalah waktu
yang disunnahkan untuk memperlama bacaan Al Quran. Keutamaan membaca Al Quran saat itu
karena disaksikan oleh Allah, oleh malaikat malam dan malaikat siang.
Syaikh As Sa’di rahimahullah mengambil pelajaran dari ayat di atas bahwa Shalat Zhuhur dan Ashar
boleh dijamak di satu waktu karena ada uzur, begitu pula shalat Maghrib dan Isya. Karena Allah
menggabungkan masing-masing dari dua shalat tersebut untuk satu waktu bagi yang uzur.
Sedangkan bagi yang tidak mendapatkan uzur tetap dua waktu (tidak digabungkan). ( Taysirul Lathifil
Mannan, hal. 114-115).
Ibnu Taimiyah berkata, “Boleh menjamak shalat Maghrib dan Isya, begitu pula Zhuhur dan ‘Ashar
menurut kebanyakan ulama karena sebab safar ataupun sakit, begitu pula karena uzur lainnya.
Adapun melakukan shalat siang di malam hari (seperti shalat Ashar dikerjakan di waktu Maghrib,
pen) atau menunda shalat malam di siang hari (seperti shalat Shubuh dikerjakan tatkala matahari
sudah meninggi, pen), maka seperti itu tidak boleh meskipun ia adalah orang sakit atau musafir,
begitu pula tidak boleh karena alasan kesibukan lainnya. Hal ini disepakati oleh para ulama.”
(Majmu’ah Al Fatawa, 22: 30)
Sumber https://rumaysho.com/10904-jamak-shalat-itu-apa.html
Bagaimana Menjamak Sholat ?
Shalat yang dijama’ itu dilaksanakan sesuai dengan raka’at biasanya tanpa dikurangi. Misalnya,
shalat Zhuhur dan shalat Ashar yang dijama’, maka shalat dikerjakan empat raka’at, begitu juga
dengan shalat Ashar.
Ada lagi istilah yang terkenal dan kadang dianggap sama atau identik dengan jama’ yaitu qashar.
Kedua istilah ini terkadang dianggap sama oleh sebagian kaum Muslimin, padahal keduanya
berbeda.
Qashar shalat, sebagaimana didefinisikan para Ulama yaitu meringkas shalat yang empat rakaat
menjadi dua rakaat. Seperti shalat Zhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat
Shubuh tidak bisa diqashar. Shalat jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat
hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir).
Sedangkan menjama’ shalat bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan
orang yang sedang sakit atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang Muslim untuk
bolak-balik ke masjid. Dalam kondisi-kondisi ini, kita diperbolehkan menjama’ shalat. Ini berdasarkan
hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
ب َو ْال ِع َشا ِء ِب ْال َمدِي َن ِة ُّ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َبي َْن
ِ الظه ِْر َو ْال َعصْ ِر َو ْال َم ْغ ِر َ ِ َج َم َع َرسُو ُل هَّللا
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat
Maghrib dengan shalat Isya’ di Madinah. Imam Muslim menambahkan : فِي َغي ِْر َخ ْوفٍ َواَل َم َط ٍرBukan
karena takut, hujan dan musafir.”
Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, ketika menjelaskan hadits ini
mengatakan, “Mayoritas Ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila
ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikannya sebagai tradisi
(kebiasaan). Pendapat serupa juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq al-Marwazi dan Ibnu
Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma ketika mendengarkan hadist Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak
menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.
Seseorang yang menjama’ shalat karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya begitu juga
sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya. Seperti
melakukan shalat Dzuhur dua rakaat pada waktu Zhuhur dan shalat Ashar dua rakaat pada waktu
Ashar.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1431H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo
– Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran
085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Referensi: https://almanhaj.or.id/4823-bagaimana-menjama-shalat.html
MATERI V : QASHAR SHOLAT
Seorang musafir boleh mengqashar shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at asalkan
memenuhi empat syarat berikut:
Namun ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambali menyaratkan safar yang boleh shalatnya diqashar
adalah safar yang bukan maksiat. Yang ingin bermaksiat saat safar, tak boleh mengqashar shalat
seperti perampok jalanan. Karena keringanan tidak bisa diperoleh oleh pelaku maksiat. Jika
keringanan itu dibolehkan pada safar maksiat, itu sama saja mendukung maksiat.
Ketika awal safar berniat maksiat, lalu di tengah-tengah mengurungkannya dan bertaubat, maka
boleh mengqashar shalat dari safar yang tersisa selama safar tersebut sudah memenuhi jarak untuk
mengwq
Para ulama berselisih pendapat mengenai batasan jarak sehingga disebut safar sehingga boleh
mengqashar shalat. Ada tiga pendapat dalam hal ini:
a- Jarak disebut safar jika telah mencapai 48 mil atau 85 km. Ini pendapat kebanyakan ulama.
b- Disebut safar jika telah melakukan perjalanan dengan berjalan selama tiga hari tiga malam.
c- Tidak ada batasan untuk jarak safar, selama sudah disebut safar, maka sudah boleh mengqashar
shalat.
Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan madzhab Zhahiri.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak
memberikan batasan untuk jarak safar, tidak juga memberikan batasan waktu atau pun tempat.
Berbagai pendapat yang diutarakan dalam masalah ini saling kontradiksi. Dalil yang menyebutkan
adanya batasan tidak bisa dijadikan alasan karena saling kontradiksi.
Untuk menentukan batasan disebut safar amatlah sulit karena bumi sendiri sulit untuk diukur
dengan ukuran jarak tertentu dalam mayoritas safar. Pergerakan musafir pun berbeda-beda.
Hendaklah kita tetap membawa makna mutlak sebagaimana disebutkan oleh syari’at. Begitu pula
jika syari’at mengaitkan dengan sesuatu, kita juga harus menetapkan demikian pula.
Initnya, setiap musafir boleh mengqashar shalat di setiap keadaan yang disebut safar. Begitu pula
tetap berlaku berbagai hukum safar seperti mengqashar shalat, shalat di atas kendaraan dan
mengusap khuf.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 12-13).
Kesimpulan:
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat ketiga. Selama suatu perjalanan
disebut safar baik menempuh jarak dekat maupun jauh, maka boleh mengqashar shalat. Kalau mau
disebut safar, maka ia akan berkata, “saya akan safar”, bukan sekedar berkata, “saya akan pergi”.
(Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 481).
Kalau sulit untuk menentukan itu safar ataukah tidak, maka pendapat jumhur (mayoritas ulama) bisa
digunakan yaitu memakai jarak 85 km. Berarti jika telah menempuh jarak 85 km dari akhir bangunan
di kotanya, maka sudah disebut safar. Wallahu a’lam.
ِ وبِ ِذى احْلُلَْي َف ِة ر ْك َعَتنْي، صلَّى النَّىِب ُّ – صلى اهلل عليه وسلم – بِالْم ِدينَ ِة أ َْر َب ًعا ٍِ ِ ََع ْن أَن
َ س بْ ِن َمالك – رضى اهلل عنه – قَ َال
َ َ َ
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
shalat di Madinah empat raka’at, dan di Dzul Hulaifah (saat ini disebut dengan: Bir Ali) shalat
sebanyak dua raka’at.” (HR. Bukhari no. 1089 dan Muslim no. 690).
Referensi:
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait, juz ke-27, hal. 275-279.
MATERI IV : Shalat di atas Kendaraan
Jawaban:
Safar merupakan sepotong siksaan dalam hidup. Demikian yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Karena ketika safar, seseorang tidak bisa melakukan banyak aktivitasnya secara normal,
termasuk melaksanakan shalat. Di saat itulah kaum mukminin teruji. Siapa diantara mereka yang
sanggup bersabar sehingga tetap menjalankan kewajiban, ataukah menjadi pecundang kemudian
meremehkan kewajiban shalat.
Mengingat kita di atas kendaraan, bisa jadi tidak memungkinkan untuk shalat dengan sempurna.
Karena itu, ada beberapa catatan penting yang perlu kita perhatikan:
Pertama, shalat wajib harus dilakukan dengan cara sempurna, yaitu dengan berdiri, bisa rukuk, bisa
sujud, dan menghadap kiblat. Jika di atas sebuah kendaraan seseorang bisa shalat sambil berdiri,
bisa rukuk, bisa sujud, dan menghadap kiblat maka dia boleh shalat wajib di atas kendaraan
tersebut. Seperti orang yang shalat di kapal.
Kedua, jika di atas sebuah kendaraan seseorang tidak mungkin shalat sambil berdiri dan menghadap
kiblat, maka dia tidak boleh melaksanakan shalat wajib, KECUALI dengan dua syarat:
2. Tidak memungkinkan baginya untuk menghentikan kendaraan sejenak untuk shalat. Semacam
orang yang naik pesawat, kereta api, dst.
والسامء من فوقهم والبةل من أسفل مهنم، أن النيب صىل هللا عليه وسمل انهتى إىل مضيق هو وأحصابه وهو عىل راحلته
حفرضت الصالة فأمر املؤذن فأذن وأقام مث تقدم رسول هللا صىل هللا عليه وسمل عىل راحلته فصىل هبم يومئ إمياء جيعل
السجود أخفض من الركوع
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat berada di sebuah daerah yang
sempit ketika safar dan beliau di atas kendaraan. Ketika itu turun hujan, dan suasana tanah becek di
bawah mereka. Kemudian datanglah waktu shalat. Beliau memerintahkan muadzin untuk adzan dan
iqamah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maju dengan hewan tunggangannya dan
mengimami mereka. Beliau shalat dengan isyarat kepala, dimana sujudnya lebih rendah dari pada
rukuknya. (HR. Ahmad, dan Turmudzi. Hadis ini diperselisihkan statusnya oleh para ulama).
Ketiga, jika tidak bisa shalat sambil berdiri, cara shalat yang dibolehkan adalah duduk semampunya.
Dari Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فإن لم تستطع فعلى جنب، ًص ِّل قائما ً فإن لم تستطع فقاعدا
“Shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu, sambil duduk, dan jika tidak mampu shalatlah sambil
tiduran.” (HR. Bukhari 1117)
Keempat, jika di atas kendaraan mampu shalat sambil menghadap kiblat maka wajib shalat dengan
menghadap kiblat, meskipun sambil duduk. Namun jika tidak memungkinkan menghadap kiblat, dia
bisa shalat dengan menghadap sesuai arah kendaraan.
Allah berfirman,
“Allah tidak membebani satu jiwa kecuali sebatas kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286).
Kelima, ketentuan di atas hanya berlaku untuk shalat wajib. Adapun shalat sunah, boleh dilakukan
dengan duduk dan tidak menghadap kiblat, meskipun dua hal itu bisa dilakukan. Jabir bin
Abdillah radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
اكن يصيل التطوع وهو راكب يف غري القبةل أن النيب صىل هللا عليه وسمل
a. Duduk sesuai posisi normal orang naik kendaraan, punggung disandarkan di jok kursi, pandangan
mengarah ke depan bawah.
f. Duduk diantara dua sujud dengan posisi duduk sempurna, seperti ketika takbiratul ihram.
h. Ketika tasyahud mengacungkan isyarat jari telunjuk dan pandangan tertuju ke arah telunjuk.
Allahu a’lam
Referensi: https://konsultasisyariah.com/14796-tata-cara-shalat-di-atas-kendaraan.html