Anda di halaman 1dari 12

BUKU PANDUAN JUM’AT

IMAM DAN KHATIB KECAMATAN PASIR PENYU

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PENGAMALAN AGAMA ISLAM (LP2A)


KECAMATAN PASIR PENYU
KABABUPATEN INDRAGIRI HULU
KATA PENGANTAR

‫السالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Alhamdulillāhi, Washshalātu wassalāmu ‘alā Rasūlillāh, wa’alāālihī washahbihī waman wālahu.


Segala puji dan syukur hanya milik Allah Ta’ala, atas rahmat dan karunia-Nya pengurus Lembaga
Pendidikan dan pengamalan Agama Islam (LP2A) Kecamatan Pasir Penyu dapat menyelesaikan
penyusunan Buku Panduan Khatib Jum’at untuk Kecamatan Pasir Penyu. Dalam penyusunan buku ini
senantiasa mengutamakan musyawarah dengan pihak terkait, untuk menetapkan kebijakan demi
kemaslahatan ummat.

Selanjutnya kami mengharapkan kepada Pengurus Masjid dan Khatib hal-hal sebagai berikut:

A. PENGURUS MASJID
1. Menjadwalkan Khatib setempat untuk mengisi jadwal yang kosong,
2. Menghubungi setiap khatib yang akan bertugas sehari sebelumnya, untuk memastikan
kehadirannya,
3. Menyiapkan Khatib Cadangan untuk pengganti Khatib yang berhalangan,
4. Memberikan pelayanan yang baik kepada Khatib
5. Melaporkan kepada pengurus LP2A jika ada khatib yang tidak mengisi jadwal tanpa
pemberitahuan,
6. Melaporkan kepada pengurus LP2A jika ada khatib yang isi khutbahnya meresahkan
masyarakat,
7. Untuk keseragaman waktu shalat, agar jam/arloji disesuaikan waktunya secara tepat dengan
Berita RRI pukul 07.00 WIB atau Dunia Dalam Berita TVRI pukul 21.00 WIB,
8. Memberitahukan kepada pengurus LP2A jika ada penggantian Nomor HP,
9. Hal-hal lain dapat dikoordinasikan dengan pengurus LP2A Kecamatan Pasir Penyu

B. KHATIB
1. Hadir 15 menit sebelum masuk waktu jum’at,
2. Apabila berhalangan hadir, segera megkonfirmasikannya kepada pengurus masjid yang
bersangkutan minimal 5 jam sebelumnya jum’at,
3. Memahami dan menguasai materi khutbah sebelum menyampaikannya,
4. Mengajak jama’ah untuk meningkatkan taqwa dan mempererat ukhuwah Islamiyah,
5. Menggunakan bahasa yang mudah difahami oleh jama’ah,
6. Meringkaskan khutbah (+ 15 menit) dan memendekkan shalat ,
7. Berpakaian yang pantas, suci dan rapi,
8. Memberitahukan kepada pengurus LP2A jika ada penggantian Nomor HP,
9. Hal-hal lain dapat dikoordinasikan dengan pengurus LP2A Kecamatan Pasir Penyu.

Demikian Buku Panduan ini dibuat, sebagai pedoman bagi para khatib dan Pengurus Masjid, jika
terdapat kesalahan dalam penyusunannya kami mohon kritik dan saran untuk perbaikan pada penerbitan
berikutnya.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa meridhoi usaha kita dan menjaga kita dari hal-hal yang dapat
merusak iman dan ukhuwah islamiyah. Aamiin

MENGETAHUI KETUA LP2A


KUA KEC. PASIR PENYU, KEC. PASIR PENYU

YUSRIANTO, S.HI ISROIHAN ISKANDAR, S.Ag


NIP. 19771020 2006 04 1 001
HUKUM AZAN JUM’AT 2 KALI

Adzan shalat pertama kali disyari’atkan oleh Islam adalah pada tahun pertama Hijriyah.
Di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab mengumandangkan adzan untuk
shalat Jumat hanya dilakukan sekali saja. Tetapi di zaman Khalifah Utsman bin Affan RA
menambah adzan satu kali lagi sebelum khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jumat
menjadi dua kali.

Ijtihad ini beliau lakukan karena melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat
tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu bahwa shalat
Jumat hendak dilaksanakan. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dijelaskan:

‫اإل َما ُم يَ ْو َم ال ُج ْمعَ ِة‬


ِ ‫س‬ ُ ‫ب بنَ يَ ِز ْي ٍد يَقُ ْو ُل إِ َّن األَذَانَ يَ ْو َم ال ُج ْمعَ ِة َكانَ أ َ َّولُهُ ِحيْنَ يَجْ ِل‬ َ ِ‫سائ‬َ ‫س ِم ْعتُ ال‬ َ ,َ‫ب قَال‬ َ ‫ع ْن‬
ٍ ِ‫سائ‬ َ
َ‫ع ْن ُه َما فَلَ َّما َكانَ فِ ْي ِخالَف ِة‬
َ ُ‫ي هللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع َم َر َر‬ ْ َ
ُ ‫سل َم َوأبِ ْي بَك ٍر َو‬ َّ َ
َ ‫عل ْي ِه َو‬َ ُ‫صلى هللا‬ َّ َ ِ‫س ْو ِل هللا‬
ُ ‫ع ْه ِد َر‬ ْ
َ ‫المنبَ ِر فِ ْي‬
ِ ‫على‬ َ َ
‫على‬َ َ
َ ‫اء فثبَتَ األ ْم ُر‬ َ َ َّ
ِ ‫على الز ْو َر‬ َ َ
َ ‫ث فأذانَ بِ ِه‬َ َ َّ
ِ ‫ان الثا ِل‬ َ َ
ِ ‫ان يَ ْو َم ال ُج ْمعَ ِة بِاألذ‬ ُ ‫عث َم‬ ْ َ َ ْ
ُ ‫عنهُ َو َكث ُر ْوا أ َم َر‬َ ُ‫ي هللا‬ َ ‫ض‬ ْ
ِ ‫عث َمانَ َر‬ ُ
َ‫ذَالِك‬
Dari Sa'ib ia berkata, "Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid, beliau berkata,
“Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu Bakar RA
dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa Khalifah
Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan
adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura' (nama pasar). Maka tetaplah
hal tersebut (sampai sekarang)". ( Shahih al-Bukhari: 865)

Yang dimaksud dengan adzan yang ketiga adalah adzan yang dilakukan sebelum khatib
naik ke mimbar. Sementara adzan pertama adalah adzan setelah khathib naik ke mimbar dan
adzan kedua adalah iqamah. Dari sinilah, Syaikh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath
al-Mu'in, mengatakan bahwa sunnah mengumandangkan adzan dua kali. Pertama sebelum khatib
naik ke mimbar dan yang kedua dilakukan setelah khatib naik di atas mimbar :

ُ‫ص َر فَاأل َ ْولَى بَ ْعدَه‬


َ َ ‫آخر بَ ْعدَهُ فَإِن اقَت‬
ِ ‫اح ٍد قَ ْب َل الفَجْ ِر َو‬
ِ ‫صبْحٍ َو‬ ِ ‫س ُّن أَذَان‬
ُ ‫َان ِل‬ َ ُ‫وي‬,
َ ‫صعُ ْو ِد‬ ُ َ‫َان ِل ْل ُج ْمعَ ِة أ َ َحدُ ُه َما بَ ْعد‬
ِ ‫َوأَذَان‬
ْ ‫الم ْنبَ َر َواألَخ َُر الَّذ‬
ُ‫ِي قَ ْبلَه‬ ِ ‫ب‬ ِ ‫َط ْي‬
ِ ‫الخ‬
"Disunnahkan adzan dua kali untuk shalatٍٍ ٍٍ ٍ Shubuh, yakni sebelum fajar dan
setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar.
Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jumat. Salah satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang
lain sebelumnya". (Fath al-Mu'in: 15)

Meskipun adzan tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, ternyata
ijtihad Sayyidina Utsman RA. tersebut tidak diingkari (dibantah) oleh para sahabat Nabi SAW
yang lain. Itulah yang disebut dengan “ijma sukuti”, yakni satu kesepakatan para sahabat Nabi
SAW terhadap hukum suatu kasus dengan cara tidak mengingkarinya. Diam berarti setuju pada
keputusan hukumnya. Dalam kitab al-Mawahib al-Ladunniyyah disebutkan :

َ ُ‫س ُك ْوتِيا ً ِألٍَ نَّ ُه ْم الَ يُ ْن ِك ُر ْونَه‬


‫علَ ْي ِه‬ ُ ً ‫ع ْنهُ َكانَ إِجْ َماعا‬
َ ُ‫ي هللا‬ ِ ‫عثْ َمانَ َر‬
َ ‫ض‬ ُ ‫ث ُ َّم إِ َّن فِ ْع َل‬
"Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. itu merupakan ijma'
sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain tidak menentang kebijakan
tersebut” (al-Mawahib al Laduniyah, juz II,: 249)

Apakah itu tidak mengubah sunah Rasul? Tentu Adzan dua kali tidak mengubah sunnah
Rasulullah SAW karena kita mengikuti Utsman bin Affan ra. itu juga berarti ikut Rasulullah
SAW. Beliau telah bersabda:

ْ ‫الرا ِش ِديْنَ ِم ْن بَ ْع ِد‬


‫ي‬ ِ َ‫سنَّ ِة ال ُخلَف‬
َّ ‫آء‬ ُ ِ‫فَعَلَ ْي ُك ْم ب‬
ُ ‫س َّنٍتِ ْي َو‬
"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-
Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal)
Apalagi adzan kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan RA itu, sama sekali
tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian dari para sahabat di kala itu. Jadi menurut istilah ushul
fiqh, adzan Jumat dua kali sudah menjadi “ijma’ sukuti”. Sehingga perbuatan itu memiliki
landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma' para sahabat. Perbedaan ini
adalah perbedaan dalam masalah furu’iyyah yang mungkin akan terus menjadi perbedaan hukum
di kalangan umat, tetapi yang terpenting bahwa adzan Jumat satu kali atau dua kali demi
melaksanakan syari’at Islam untuk mendapat ridla Allah SWT. Wallahu a’lam bis-shawab.

HUKUM BILAL JUM’AT

Para ulama sepakat bahwa shalat sunnat yang di lakukan setelah shalat jum'at adalah
sunnah dan termasuk rawatib ba'diyah Jum'at. seperti yang di riwayatkan oleh Imam Muslim dan
Imam Bukhari:

َ ُ‫صلَّى أ َ َحدُ ُك ْم ال ُج ْم َعةَ فَ ْلي‬


‫ص ِل بَ ْعدَهَا‬ َ ‫سلَّ َم ِإذَا‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ع ْنهُ قَال‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ُ‫ي هللا‬ ِ ‫ع ْن أَبِ ْي ُه َري َْرة َ َر‬
َ ‫ض‬ َ
ً ‫أ َ ْربَعا‬
”Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ”Jika salah
seorang di antara kalian shalat Jum’at hendaklah shalat empat rakaat setelahnya”. (HR.
Bukhari dan Muslim).

Sedangkan shalat sunnah sebelum shalat Jum'at terdapat dua kemungkinan. Pertama,
shalat sunnah mutlak, hukumnya sunnah. Waktu pelaksanannya berakhir pada saat imam
memulai khutbah.

Kedua, shalat sunnah qabliyyah Jum'at. Para ulama berbeda pendapat tentang shalat
sunnah qabliyyah Jum’at. Pertama, shalat qabliyyah Jum’ah dianjurkan untuk dilaksanakan
(sunnah). Pendapat ini di kemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Syafi'iyyah (menurut pendapat
yang dalilnya lebih tegas) dan pendapat Hanabilah dalam riwayat yang tidak masyhur. Kedua,
shalat qabliyyah Jum’at tidak disunnahkan menurut pendapat Imam Malik, sebagian Hanabilah
dalam riwayat yang masyhur

Adapun dalil yang menyatakan dianjurkannya shalat sunnah qabliyah Jum'at: Hadist
Rasulullah SAW

ِ ‫ض ٍة ِإالَّ َو َبيْنَ َيدَ ْي َها َر ْك َعت‬


‫َان‬ َ ‫صالَ ٍة َم ْف ُر ْو‬ ُّ ‫ع ْب ِدهللاِ ب ِْن‬
َ ‫الز َبي ِْر " َما ِم ْن‬ ِ ‫َّان ِم ْن َح ِد ْي‬
َ ‫ث‬ ٍ ‫ص َّح َحهُ اب ُْن ِحب‬
َ ‫َما‬
"Semua shalat fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua rakaat". (HR.Ibnu
Hibban yang telah dianggap shahih dari hadist Abdullah bin Zubair). Hadist ini secara umum
menerangkan adanya shalat sunnah qabliyah tanpa terkecuali shalat Jum'at.

Hadist Rasulullah SAW

ُ‫ب فَقَا َل لَه‬ ُ ‫سلَّ َم يَ ْخ‬


ُ ‫ط‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ َ‫سلَ ْيكٌ الغ‬
ُّ ِ‫طفَان‬
ُ ‫ي َو َر‬ ُ ‫ع ْنهُ قَا َل َجا َء‬ َ ُ‫ي هللا‬ َ ‫ض‬ِ ‫ع ْن أَبِي ُه َري َْرة َ َر‬
َ ‫َو‬
ْ ْ
‫ص ِل َركعَت َ ْي ِن َوت َ َج َّوز فِ ْي ِه َما‬ َ َ َ َ ْ َ َ ْ
َ ‫ قا َل ف‬.‫صليْتَ َركعَتَي ِْن ق ْب َل أن ت َِج ْي َء؟ قا َل ال‬ َّ َ َّ
َ ‫سل َم أ‬ َ
َ ‫عل ْي ِه َو‬ َّ
َ ُ ‫صلى هللا‬ َ ‫ي‬ َّ
ُّ ِ‫النب‬. ‫سنن ابن‬
‫ماجه‬
"Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. berkata: Sulayk al Ghathafani datang (ke masjid),
sedangkan Rasulullah saw sedang berkhutbah. Lalu Nabi SAW bertanya: Apakah kamu sudah
shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi SAW bersabda: Shalatlah dua
raka’at dan ringankan saja (jangan membaca surat panjang-panjang)” (Sunan Ibn Majah:
1104).

Berdasar dalil-dalin tersebut, Imam al Nawawi menegaskan dalam kitab al Majmu’ Syarh
al Muhadzdzab:
‫ َواأل َ ْك َم ُل أ َ ْربَ ٌع‬.‫َان بَ ْعدَهَا‬ ِ ‫صالَة ٌ َوأَقَلُّ َها َر ْك َعت‬
ِ ‫َان قَ ْبلَ َها َو َر ْك َعت‬ َ ‫س ُّن قَ ْبلَ َها َوبَ ْعدَهَا‬
َ ُ ‫ ت‬.‫سنَّ ِة ال ُج ْم َع ِة بَ ْعدَهَا َوقَ ْبلَ َها‬
ُ ‫ع فِ ْي‬ٌ ‫فَ ْر‬
َ
‫قَ ْبلَ َها َوأ ْربَ ٌع بَ ْعدَهَا‬

“(Cabang). Menerangkan tentang sunnah shalat Jum’at sebelumnya dan sesudahnya.


Disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum’at. Paling sedikit dua raka’at
sebelum dan sesudah shalat jum’at. Namun yang paling sempurna adalah shalat sunnah empat
raka’at sebelum dan sesudah shalat Jum’at”. (Al Majmu’, Juz 4: 9)

Adapun dalil yang menerangkan tidak dianjurkannya shalat sunnat qabliyah Jum'at
adalah sbb.:

Hadist dari Saib Bin Yazid: "Pada awalnya, adzan Jum'at dilakukan pada saat imam
berada di atas mimbar yaitu pada masa Nabi SAW, Abu bakar dan Umar, tetapi setelah zaman
Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat Utsman menambah adzan menjadi tiga kali
(memasukkan iqamat), menurut riwayat Imam Bukhari menambah adzan menjadi dua kali (tanpa
memasukkan iqamat). (H.R. riwayat Jama'ah kecuali Imam Muslim).

Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyim berpendapat, "Ketika Nabi keluar dari rumahnya
langsung naik mimbar kemudian Bilal mengumandangkan adzan. Setelah adzan selesai Nabi
SAW langsung berkhutbah tanpa adanya pemisah antara adzan dan khutbah, lantas kapan Nabi
SAW dan jama’ah itu melaksanakan shalat sunnat qabliyah Jum'at?

Dari dua pendapat dan dalilnya di atas jelas bahwa pendapat kedua adalah interpretasi
dari tidak shalatnya Nabi SAW sebelum naik ke mimbar untuk membaca khuthbah. Sedangkan
pendapat pertama berlandaskan dalil yang sudah sharih (argumen tegas dan jelas). Maka
pendapat pertama yang mensunnahkan shalat qabliyyah jum’ah tentu lebih kuat dan lebih unggul
(rajih).

Permasalahan ini semua adalah khilafiyah furu'iyyah (perbedaan dalam cabang hukum
agama) maka tidak boleh menyudutkan di antara dua pendapat di atas. Dalam kaidah fiqih
mengatakan “la yunkaru al-mukhtalaf fih wa innama yunkaru al- mujma' alaih” (Seseorang
boleh mengikuti salah satu pendapat yang diperselisihkan ulama dan tidak boleh mencegahnya
untuk melakukan hal itu, kecuali permasalahan yang telah disepakati). Wallahua’lam bish
shawab.

Sebelum khatib maju menyampaikan khutbahnya, terlebih dahulu biasanya kita


mendengar pembacaan tarqiyyah, bacaan sebagai tanda khatib akan segera naik ke atas mimbar.
Secara bahasa tarqiyyah berarti “menaikan”.

Petugas yang membacanya disebut muraqqi atau bilal, biasanya ia sekaligus bertindak
sebagai muadzin. Apakah tradisi pembacaan tarqiyyah oleh muraqqi tersebut disebut bid’ah dan
bagaimana hukumnya?

Sebelum dijawab mengenai status hukumnya, perlu diketahui terlebih dahulu bacaan
yang terkandung dalam tarqiyyah. Demikian teks pembacaan tarqiyyah yang terlaku di beberapa
daerah:

ِ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫ قَالَ َر‬،َ‫ع ْنهُ أَنَّهُ قَال‬


َ ُ‫ي هللا‬َ ‫ض‬ ِ ‫ع ْن أ َ ِبى ُه َري َْرة َ َر‬ َ ‫ي‬ َ ‫ ُر ِو‬،ِ‫ َو ُز ْم َرة َ ْال ُمؤْ ِمنِينَ َر ِح َم ُك ُم هللا‬، َ‫َم َعا ِش َر ْال ُم ْس ِل ِمين‬
‫صتُوا َوا ْس َمعُوا‬ ِ ‫ب فَقَ ْد لَغ َْوتَ (أ َ ْن‬ ُ ‫ َواْ ِإل َما ُم يَ ْخ‬،‫ت‬
ُ ‫ط‬ ْ ‫ص‬ ِ ‫اح ِبكَ يَ ْو َم ْال ُج ُم َع ِة أ َ ْن‬
ِ ‫ص‬َ ‫سلَّ َم ِإذَا قُ ْلتَ ِل‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ
َّ َ
×١ َ‫صتُوا َوا ْس َمعُوا َوأ ِطيعُوا لَ َعل ُك ْم ت ُ ْر َح ُمون‬ ِ ‫×) أ ْن‬٢ ِ‫َوأ َ ِطيعُوا َر ِح َم ُك ُم هللا‬
َ

Setelah bilal selesai membaca kalimat di atas, kemudian khatib maju menerima tongkat
dan ketika naik ke atas mimbar, bilal membaca doa shalawat di bawah ini:
ُ‫ي هللا‬
َ ‫ض‬ َ ‫ش ِفي ِعنَا َو َم ْوالَنَا ُم َح َّم ٍد َو‬
ِ ‫س ِل ْم َو َر‬ َ ‫علَى‬
َ ‫س ِي ِدنَا َو َح ِبي ِبنَا َو‬ َ ‫ص ِل‬ َ ‫ اللَّ ٰـ ُه َّم‬، ×٢ ‫س ِي ِدنَا ُم َح َّم ٍد‬
َ ‫ع َلى‬
َ ‫ص ِل‬ َ ‫اللَّ ٰـ ُه َّم‬
َ‫سو ِل هللاِ أَجْ َمعِين‬ ُ ‫ب َر‬ ْ َ ‫سادَتِنَا أ‬
ِ ‫ص َحا‬ َ ‫ع ْن‬َ ‫اركَ َوت َ َعالَى‬َ َ‫تَب‬

Kemudian setelah khatib berada di atas mimbar, bilal menghadap kiblat dan membaca
doa sebagai berikut:

َ‫ ِمنَ ْال ُم ْس ِل ِمين‬، َ‫ اللَّ ٰـ ُه َّم قَ ِو اْ ِإل ْسالَ َم َواْ ِإلي َمان‬،ٍ‫س ِي ِدنَا ُم َح َّمد‬
َ ‫علَى آ ِل‬ َ ‫علَى‬
َ ‫س ِي ِدنَا َو َم ْوالَنَا ُم َح َّم ٍد َو‬ َ ‫س ِل ْم‬
َ ‫ص ِل َو‬َ ‫اللَّ ٰـ ُه َّم‬
َ‫اخ ِت ْم لَنَا ِم ْنك‬
ْ ‫ب‬ ِ ‫ي ال ِدينَ َر‬ ْ ‫علَى ُم َعا ِن ِد‬َ ‫ص ْر ُه ْم‬ ِ ‫ اْألَحْ َي‬،ِ‫ َو ْال ُمؤْ ِمنِينَ َو ْال ُمؤْ ِمنَات‬،‫ت‬
ُ ‫ َوا ْن‬،ِ‫اء ِم ْن ُه ْم َواْأل َ ْم َوات‬ ِ ‫َو ْال ُم ْس ِل َما‬
َ‫اح ِمين‬
ِ ‫الر‬ َّ ‫ بِ َرحْ َمتِكَ يآأ َ ْر َح َم‬، َ‫اص ِرين‬ ِ َّ‫ يَا َخي َْر الن‬،‫ِب ْال َخي ِْر‬
Dari bacaan di atas, setidaknya mengandung empat hal. Pertama, anjuran mendengarkan
secara seksama khutbahnya khatib. Kedua, larangan berbicara saat khutbah berlangsung. Ketiga,
pembacaan shalawat kepada Nabi. Keempat, mendoakan kaum muslimin dan muslimat.
Keempat isi kandungan tarqiyyah tersebut merupakan hal yang positif.

Tradisi pembacaan tarqiyyah menurut mayoritas ulama adalah bid’ah hasanah (positif).
Meski tidak pernah ada di zaman Nabi dan tiga khalifah setelahnya, namun isi kandungan
tarqiyyah mengarah kepada hal yang positif. Tidak setiap hal yang baru disebut bid’ah yang
tercela—selama tercakup dalam dalil-dalil anjuran umum, maka tergolong hal yang baik,
sebagaimana ditegaskan oleh para ulama dalam kajian tentang bid’ah.

Syekh Syihabuddin al-Qalyubi mengatakan:

‫فرع‬- ‫اتخاذ المرقي المعروف بدعة حسنة لما فيها من الحث على الصالة عليه صلى هللا عليه وسلم بقراءة‬
‫اآلية المكرمة وطلب اإلنصات بقراءة الحديث الصحيح الذي كان صلى هللا عليه وسلم يقرؤه في خطبه ولم‬
‫يرد أنه وال الخلفاء بعده اتخذوا مرقيا‬
“(Sebuah cabangan permasalahan). Mengangkat muraqqi sebagaimana tradisi yang
terlaku adalah bid’ah yang baik karena mengandung hal yang positif berupa anjuran membaca
shalawat kepada Nabi dengan membaca ayat Al-Qur’an, anjuran diam saat khutbah dengan
menyebutkan dalil hadits shahih yang dibaca Nabi dalam beberapa khutbahnya. Tidak ada dalil
yang menyebutkan bahwa Nabi dan tiga khalifah setelahnya mengangkat seorang muraqqi.”
(Syekh Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala al-Mahalli, Beirut, Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 2009, juz 1, halaman 419).

Saat ditanya tentang ritual yang dilakukan muraqqi, Syekh Muhammad bin Ahmad al-
Ramli mengatakan:

‫فعلم أن هذا بدعة لكنها حسنة ففي قراءة اآلية الكريمة تنبيه وترغيب في اإلتيان بالصالة على النبي في هذا‬
‫اليوم العظيم المطلوب فيه إكثارها وفي قراءة الخبر بعد األذان وقبل الخطبة ميقظ للمكلف الجتناب الكالم‬
‫المحرم أو المكروه في هذا الوقت على اختالف العلماء فيه وقد كان النبي يقول هذا الخبر على المنبر في‬
‫خطبته إهـ‬
“Maka dapat diketahui bahwa tarqiyyah adalah bid’ah akan tetapi bid’ah yang baik.
Dalam pembacaan ayat suci Al-Qur’an (yang berkaitan anjuran membaca shalawat) merupakan
sebuah peringatan dan motivasi untuk mebaca shalawat kepada Nabi di hari Jumat ini yang
dianjurkan untuk memperbanyak bacaan shalawat. Pembacaan hadits setelah adzan dan sebelum
khutbah mengingatkan mukallaf untuk menjauhi perkataan yang diharamkan atau dimakruhkan
pada waktu ini (saat khutbah) sesuai dengan ikhtilaf ulama dalam masalah tersebut. Dan
sesungguhnya Rasulullah membaca hadits tersebut saat menyampaikan khutbahnya di atas
mimbar”. (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Fatawa al-Ramli Hamisy al-Fatawa al-
Kubra, juz.1, hal.276, Beirut-Dar al-Fikr, cetakan tahun 1983, tanpa keterangan cetak).

Bahkan, menurut pandangan Syekh Ibnu Hajar sebagaimana dikutip oleh Syekh
Sulaiman al-Jamal, tradisi muraqqi sama sekali tidak bisa disebut bid’ah, bahkan tarqiyyah
hukumnya sunah. Sebab tradisi tersebut memiliki dalil dalam hadits, yaitu saat melaksanakan
khutbah haji wada’, Rasulullah memerintahkan salah seorang sahabat untuk memberi instruksi
kepada jamaah untuk mendengarkan secara seksama khutbahnya Nabi.

Syekh Sulaiman al-Jamal menegaskan:

‫قال حج وأقول يستدل لذلك أي للسنة بأنه صلى هللا عليه وسلم أمر من يستنصت له الناس عند إرادته خطبة‬
‫منى في حجة الوداع وهذا شأن المرقى فال يدخل في حد البدعة أصال إهـ‬
“Syekh Ibnu Hajar berkata, saya mengatakan, dalil mengangkat muraqqi dari sunah Nabi
adalah bahwa Rasulullah memerintahkan seseorang untuk mengintruksikan manusia untuk diam
saat beliau Nabi hendak menyampaikan khutbah Mina di Haji wada’, yang demikian ini adalah
ciri khas dari seorang muraqqi, maka tradisi tarqiyyah sama sekali tidak masuk dalam kategori
bid’ah.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘ala Fath al-Wahhab, Beirut, Dar al-Fikr,
tanpa tahun, juz 2, halaman 35).

Simpulannya, tradisi pembacaan tarqiyyah merupakan hal yang baik untuk dilakukan dan
dilestarikan. Meski ulama masih berbeda pendapat mengenai status bid’ahnya, namun mereka
sepakat dalam satu titik kesimpulan yaitu tradisi tersebut bukan hal yang tercela, bahkan
mengandung banyak hal positif. Oleh karena itu, tidak ada sama sekali dasar yang kuat untuk
melarang atau memvonisnya sesat. Wallahu a’lam. (M. Mubasysyarum Bih)

SYARAT SAH KHUTBAH JUM’AT

Berikut syarat dua khutbah pada shalat Jumat menurut madzhab Syafi’i.

1- Khatib berdiri pada dua khutbah ketika ia mampu dan kedua khutbah dipisah dengan duduk.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

ْ ‫ب ُخ‬
‫ط َبتَي ِْن َي ْقعُد ُ َب ْينَ ُه َما‬ ُ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – َي ْخ‬
ُ ‫ط‬ ُّ ِ‫َكانَ النَّب‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan dua khutbah dan duduk di antara keduanya.”
(HR. Bukhari no. 928).

Juga dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

َ‫ َك َما ت َ ْف َعلُونَ اآلن‬، ‫ب قَائِ ًما ث ُ َّم َي ْقعُدُ ث ُ َّم يَقُو ُم‬ ُ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – َي ْخ‬
ُ ‫ط‬ ُّ ِ‫َكانَ النَّب‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhutbah sambil berdiri kemudian duduk lalu beliau
berdiri kembali. Itulah seperti yang kalian lakukan saat ini.” (HR. Bukhari no. 920 dan Muslim
no. 862)

2- Khutbah dilakukan kemudian shalat.

Hal ini berdasarkan banyak hadits yang menerangkannya dan adanya ijma’ atau kata sepakat
para ulama dalam hal ini.

3- Khatib suci dari hadats kecil maupun hadats besar, suci pula dari najis yang tidak dimaafkan
yaitu pada pakaian, badan dan tempat, begitu pula khatib harus menutup aurat.

Khutbah itu seperti shalat dan sebagai gantian dari dua raka’at yang ada pada shalat Zhuhur.
Oleh karenanya sama halnya dengan shalat, disyaratkan pula syarat sebagaimana shalat.
4- Rukun khutbah diucapkan dengan bahasa Arab.

Rukun khutbah mesti diucapkan dengan bahasa Arab walaupun rukun khutbah tersebut tidak
dipahami. Jika tidak ada yang paham bahasa Arab dan berlalunya waktu, maka semuanya
berdosa dan Jumatan tersebut diganti dengan shalat Zhuhur.

Adapun jika ada waktu yang memungkinkan untuk belajar bahasa Arab, maka rukun khutbah
yang ada boleh diterjemahkan dengan bahasa apa saja. Seperti ini Jumatannya jadi sah.

5- Berurutan dalam mengerjakan rukun khutbah, lalu berurutan pula dalam khutbah pertama dan
kedua, lalu shalat.

Jika ada jarak yang lama (yang dianggap oleh ‘urf itu lama) antara khutbah pertama dan kedua,
juga ada jarak yang lama antara kedua khutbah dan shalat, khutbah jadi tidak sah. Jika mampu,
wajib dibuat berurutan. Jika tidak, maka shalat Jumat diganti shalat Zhuhur.

6- Yang mendengarkan rukun khutbah adalah 40 orang yang membuat jumatan jadi sah.

Demikian semoga dipahami apa yang menjadi pemahaman dalam madzhab Syafi’i. Adapun
pendapat yang lainnya mengenai syarat khutbah Jumat di atas bisa membaca dua artikel penting
berikut:

Untuk rukun khutbah Jumat menurut madzhab Syafi’i akan dijelaskan pada kesempatan lainnya
insya Allah.

RUKUN KHUTBAH JUM’AT

Disebutkan sebelumnya bahwa rukun khutbah hendaklah diucapkan dengan bahasa Arab.

Adapun rukun khutbah tersebut ada lima sebagai berikut:

5- Mengucapkan Alhamdulillah, dengan bentuk ucapan apa pun yang mengandung pujian
pada Allah.

2- Bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ucapan apa pun yang
menunjukkan shalawat.

Di sini dipersyaratkan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut secara jelas,
seperti menyebut dengan Nabi, Rasul atau Muhammad. Tidak cukup dengan dhomir (kata ganti)
saja.

3- Wasiat takwa dengan bentuk lafazh apa pun.

Ketiga rukun di atas adalah rukun dari dua khutbah. Kedua barulah sah jika ada ketiga hal di
atas.

4- Membaca salah satu ayat dari Al Quran pada salah satu dari dua khutbah.

Ayat yang dibaca haruslah jelas, tidak cukup dengan hanya membaca ayat yang terdapat huruf
muqotho’ah (seperti alif laa mim) yang terdapat dalam awal surat.

5- Berdoa kepada kaum mukminin pada khutbah kedua dengan doa-doa yang sudah ma’ruf.
DZIKIR DAN DO’A

"Perumpamaan antara orang yang dzikir pada Tuhannya dan yang tidak, seperti antara
orang yang hidup dan yang mati.” Demikian sabda Rasulullah sebagaimana diriwayatkan Imam
Bukhari. Dzikir tentu bisa dilakukan kapan saja, baik dalam hati maupun lisan, salah satunya
adalah dzikir setelah melaksanaan sembahyang fardhu.

Selepas menunaikan shalat fardhu lima waktu, seseorang dianjurkan meluangkan waktu
sebentar untuk berdzikir. Amalan ini menjadi rutinitas (wirid) as-salafus shalih yang memiliki
dasar yang kuat dari Sunnah Nabi.

Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar pada Bâbul Adzkâr ba‘dash Shalâh mengatakan
bahwa ulama telah bersepakat (ijma’) tentang kesunnahan dzikir usai shalat yang ditopang oleh
banyak hadits shahih dengan jenis bacaan yang amat beragam.

Berikut ini adalah di antara rangkaian bacaan dzikir sesudah shalat maktubah yang
disusun pengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban, KH Muhammad bin Abdullah Faqih
(rahimahullâh) sebagaimana dikutip dari Majmû‘ah Maqrûât Yaumiyah wa Usbû‘iyyah. Beliau
mengutipnya antara lain dari hadits riwayat Muslim, Bukhari, Abu Dawud, serta kitab Bidâyatul
Hidâyah dan lainnya.

1. Membaca istighfar di bawah ini sebanyak tiga kali:

ُ ‫ي ْالقَي ُّْو ُم َوأَت ُ ْو‬


‫ب ِإلَ ْي ِه‬ ُّ ‫ِي َالاِلَهَ ا َِّال ُه َو ْال َح‬
ْ ‫×أ َ ْست َ ْغ ِف ُر هللاَ ْال َع ِظـي ِْم الَّذ‬٣

2. Memuji Allah dengan kalimat:

ْ َ‫ار ْكتَ يَا ذ‬


‫االـ َج َال ِل َواْ ِإل ْك َرام‬ َّ ‫اَللَّ ُه َّم أ َ ْنتَ ال‬
َّ ‫سالَ ُم َو ِم ْنكَ ال‬
َ َ‫س َال ُم تَب‬

Ini berdasarkan hadits riwayat Imam Muslim. Dalam riwayat lain sebagaimana dikutip Bidâyatul
Hidâyah:

‫ار ْكتَ َربَّنَا‬


َ َ‫س َال ِم تَب‬ َ َ‫س َال ِم َواَد ِْخ ْلنَا ْالـ َجنَّةَ د‬
َّ ‫ار ال‬ َّ ‫ َوإِلَيْكَ يَعُ ْودُ ال‬،‫س َال ُم‬
َ ‫س َال ُم فَ َحيِن‬
َّ ‫َاربَّنَا بِال‬ َّ ‫ َو ِم ْنكَ ال‬،‫سالَ ُم‬َّ ‫اَللَّ ُه َّم أ َ ْنتَ ال‬
ْ َ‫ َوت َ َعالَ ْيتَ يَا ذ‬.
‫االـ َج َال ِل َواْ ِإل ْك َرام‬

3. Lalu membaca:

ُّ‫اال َج ِد ِم ْنكَ ْال َجد‬


ْ َ‫ َو َال يَ ْنفَ ُع ذ‬، َ‫ي ِل َما َمنَعْت‬ َ ‫اَللَّ ُه َّم َال َمانِ َع ِل َما أ َ ْع‬.
َ ‫ َوالَ ُم ْع ِط‬، َ‫طيْت‬

Bacaan ini bisa kita temukan dalam riwayat Imam Muslim dan Imam Muslim (muttafaqun
‘alaih). Dalam Bidâyatul Hidâyah disebutkan:

ُّ‫اال َج ِد ِم ْنكَ ْال َجد‬


ْ َ‫ضيْتَ َو َال يَ ْنفَ ُع ذ‬
َ َ‫ َو َال َرآدَّ ِل َما ق‬، َ‫ي ِل َما َمنَعْت‬ َ ‫ اَللَّ ُه َّم َال َمانِ َع ِل َما أ َ ْع‬.
َ ‫ َوالَ ُم ْع ِط‬، َ‫طيْت‬

4. Berdoa agar diberi kemampuan untuk mengingat (dzikir), bersyukur, dan beribadah secara
baik kepada Allah:

َ‫ش ْك ِركَ َو ُحس ِْن ِعبَادَتِك‬ َ ‫اَللَّـ ُه َّم ا َ ِعنِي‬.


ُ ‫علَى ِذ ْك ِركَ َو‬
(HR Abu Dawud)
‫‪5. Dilanjutkan dengan membaca:‬‬

‫ْئ قَ ِدي ٌْر‬


‫شي ٍ‬ ‫‪َ .‬ال ِإلَهَ ِإ َّال هللاُ َوحْ دَهُ َال ش َِريْكَ لَهُ‪ ،‬لَهُ ْال ُم ْلكُ َولَهُ ْال َح ْمدُ يُحْ ِي ْي َوي ُِميْتُ َو ُه َو َ‬
‫علَى ُك ِل َ‬

‫)‪(dibaca tiga kali tiap selesai shalat fardhu, khusus setelah maghrib dan shubuh sepuluh kali‬‬

‫‪6. Memohon perlindungan dari ganasnya neraka:‬‬

‫اَللَّ ُه َّم أ َ ِج ْرنِـى ِمنَ النَّ ِ‬


‫ار‬

‫)‪(tujuh kali bakda maghrib dan shubuh‬‬

‫‪7. Membaca Ayat Kursi:‬‬

‫ي ْالقَيُّو ُم َال ت َأ ْ ُخذُهُ ِسنَةٌ َّو َالن َْو ٌم‪ ،‬لَهُ‬ ‫الر ِحي ِْم‪ .‬اَهللُ َال ِإلَهَ ِإ َّال ُه َو ْال َح ُّ‬ ‫الرحْ َم ِن َّ‬ ‫الر ِج ِيم‪ِ .‬بس ِْم هللاِ َّ‬ ‫ان َّ‬‫ط ِ‬‫ش ْي َ‬ ‫اَّللِ ِمنَ ال َّ‬ ‫عوذُ ِب َّ‬‫أَ ُ‬
‫طونَ‬ ‫ِي يَ ْشفَ ُع ِع ْندَهُ إِ َّال بِإ ِ ْذنِ ِه يَ ْعلَ ُم َمابَيْنَ أ َ ْي ِد ْي ِه ْم َو َماخ َْلفَ ُه ْم َو َال ي ُِح ْي ُ‬
‫ض َمن ذَا الَّذ ْ‬ ‫ت َو َمافِي اْأل َ ْر ِ‬ ‫س َم َاوا ِ‬ ‫َمافِي ال َّ‬
‫ي ْال َع ِظ ْي ُم‬
‫ظ ُه َما َو ُه َو ْال َع ِل ُّ‬ ‫ض َو َال َيـؤدُهُ ِح ْف ُ‬ ‫ت َواْأل َ ْر َ‬ ‫س َم َاوا ِ‬ ‫َيءٍ ِم ْن ِع ْل ِم ِه ِإ َّال ِب َما شَآ َء‪َ ،‬و ِس َع ُك ْر ِسيُّهُ ال َّ‬ ‫‪ِ .‬بش ْ‬

‫‪8. Membaca Surat al-Baqarah ayat 285-286‬‬

‫س ِل ِه َال نُفَ ِر ُق بَيْنَ أ َ َح ٍد ِم ْن‬ ‫سو ُل بِ َما أ ُ ْن ِز َل إِلَ ْي ِه ِم ْن َربِ ِه َو ْال ُمؤْ ِمنُونَ ‪ُ ،‬ك ٌّل آ َمنَ بِ َّ‬
‫اَّللِ َو َم َالئِ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر ُ‬ ‫الر ُ‬
‫آ َمنَ َّ‬
‫علَ ْي َها َما‬ ‫ت َو َ‬ ‫سا ِإ َّال ُو ْس َع َها‪ ،‬لَ َها َما َك َ‬
‫س َب ْ‬ ‫َّللاُ نَ ْف ً‬
‫ف َّ‬ ‫ير‪َ .‬ال يُ َك ِل ُ‬‫ص ُ‬ ‫غ ْف َرانَكَ َربَّنَا َو ِإلَيْكَ ْال َم ِ‬‫ط ْعنَا ُ‬ ‫س ِم ْعنَا َوأ َ َ‬‫س ِل ِه‪َ ،‬وقَالُوا َ‬
‫ُر ُ‬
‫علَى الَّذِينَ ِم ْن قَ ْب ِلنَا‪َ ،‬ربَّنَا‬ ‫ص ًرا َك َما َح َم ْلتَهُ َ‬ ‫علَ ْينَا ِإ ْ‬ ‫طأْنَا‪َ ،‬ربَّنَا َو َال تَحْ ِم ْل َ‬ ‫اخ ْذنَا إِ ْن نَسِينَا أ َ ْو أ َ ْخ َ‬
‫ت‪َ .‬ربَّنَا َال ت ُ َؤ ِ‬ ‫ا ْكت َ َ‬
‫سبَ ْ‬
‫علَى ْالقَ ْو ِم ْال َكافِ ِرينَ‬‫ص ْرنَا َ‬ ‫ار َح ْمنَا‪ ،‬أ َ ْنتَ َم ْو َالنَا فَا ْن ُ‬ ‫عنَّا َوا ْغ ِف ْر لَنَا َو ْ‬ ‫ْف َ‬ ‫طاقَةَ لَنَا بِ ِه‪َ ،‬واع ُ‬ ‫‪َ .‬و َال ت ُ َح ِم ْلنَا َما َال َ‬

‫‪9. Disambung dengan penggalan dari Surat Ali Imran:‬‬

‫يز ْال َح ِكي ُم‪ِ ،‬إ َّن الدِينَ ِع ْندَ َّ‬


‫َّللاِ‬ ‫ْط‪َ ،‬ال ِإ ٰلَهَ ِإ َّال ُه َو ا ْل َع ِز ُ‬‫َّللاُ أَنَّهُ َال ِإ ٰلَهَ ِإ َّال ُه َو َو ْال َم َالئِ َكةُ َوأُولُو ْال ِع ْل ِم قَائِ ًما ِب ْال ِقس ِ‬
‫ش ِهدَ َّ‬‫َ‬
‫اإلس َْال ُم‪ ،‬قُ ِل اللَّ ُه َّم َمالِكَ ْال ُم ْل ِك تُؤْ تِي ْال ُم ْلكَ َم ْن تَشَا ُء َوت َ ْن ِزعُ ْال ُم ْلكَ ِم َّم ْن تَشَا ُء َوت ُ ِع ُّز َم ْن تَشَا ُء َوت ُ ِذ ُّل َم ْن تَشَا ُء‪،‬‬ ‫ِْ‬
‫ي ِمنَ ْال َميِ ِ‬
‫ت‬ ‫ار فِي اللَّ ْي ِل‪َ ،‬وت ُ ْخ ِر ُج ْال َح َّ‬ ‫ار َوتُو ِل ُج النَّ َه َ‬ ‫ِير‪ .‬تُو ِل ُج اللَّ ْي َل فِي النَّ َه ِ‬‫َيءٍ قَد ٌ‬ ‫علَ ٰى ُك ِل ش ْ‬ ‫بِيَدِكَ ْال َخي ُْر‪ ،‬إِنَّكَ َ‬
‫ب‬
‫سا ٍ‬‫َوت ُ ْخ ِر ُج ْال َم ِيتَ ِمنَ ْال َحيِ‪َ ،‬وت َْر ُز ُق َم ْن تَشَا ُء ِبغَي ِْر ِح َ‬

‫‪10. Membaca Surat al-Ikhlas, Surat al-Falaq, Surat an-Nas, lalu Surat al-Fatihah‬‬

‫‪11. Membaca tasbih, hamdala, dan takbir masing-masing sebanyak 33 kali:‬‬

‫س ْب َحانَ هللاِ ×‪٣٣‬‬ ‫ُ‬


‫ا َ ْل َح ْمد َُِّللِ ×‪٣٣‬‬
‫اَهللُ ا َ ْكبَ ْر ×‪٣٣‬‬

‫‪12. Kemudian dilanjutkan dengan:‬‬

‫صي ًْال‪َ ،‬الإِلَهَ إِ َّال هللاُ َوحْ دَهُ َال ش َِريْكَ لَهُ‪ ،‬لَهُ ْال ُم ْلكُ َولَهُ‬ ‫اَهللُ ا َ ْكبَ ْر َكبِي ًْرا َو ْال َح ْمدُ َِّللِ َكثِي ًْرا َو ُ‬
‫س ْب َحانَ هللاِ بُ ْك َرة ً َوأ َ ِ‬
‫ـى ْال َع ِظي ِْم‬
‫ْئ قَ ِدي ٌْر‪َ ،‬و َال َح ْو َل َو َالقُ َّوة َ ِإ َّال ِبا هللِ ْال َع ِل ِ‬ ‫علَى ُك ِل َ‬
‫شي ٍ‬ ‫ض ُل ِذ ْك ِر فَا ْعلَ ْم أَنَّهُ ‪ْ .‬ال َح ْمدُيُحْ ِي ْي َوي ُِميْتُ َو ُه َو َ‬ ‫أ َ ْف َ‬

‫َالإِلَهَ إِ َّال هللاُ‬


‫‪(Dibaca 300 kali bakda shubuh, 100 kali bakda isya, 50 kali bakda dhuhur, 50 kali bakda ashar,‬‬
‫)‪dan 100 kali bakda maghrib‬‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
‫علَى ُم َح َّم ٍد‬ َ
(dibaca bakda shubuh 300 atau 100 kali)

‫سلَّ َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫الإِلَهَ إِ َّال هللاُ ُم َح َّمدٌ َر‬.َ
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬

13. Wirid kemudian ditutup dengan doa sesuai dengan harapan masing-masing.

HUKUM SHOLAT SUNAT QOBLIYAH DAN BA’DIYAH JUM’AT

Para ulama sepakat bahwa shalat sunnat yang di lakukan setelah shalat jum'at adalah
sunnah dan termasuk rawatib ba'diyah Jum'at. seperti yang di riwayatkan oleh Imam Muslim dan
Imam Bukhari:

َ ُ‫صلَّى أ َ َحدُ ُك ْم ال ُج ْمعَةَ فَ ْلي‬


‫ص ِل بَ ْعدَهَا‬ َ ‫سلَّ َم إِذَا‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ع ْنهُ قَال‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ُ‫ي هللا‬ ِ ‫ع ْن أَبِ ْي ُه َري َْرة َ َر‬
َ ‫ض‬ َ
ً ‫أ َ ْربَعا‬

”Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ”Jika salah
seorang di antara kalian shalat Jum’at hendaklah shalat empat rakaat setelahnya”. (HR.
Bukhari dan Muslim).

Sedangkan shalat sunnah sebelum shalat Jum'at terdapat dua kemungkinan. Pertama,
shalat sunnah mutlak, hukumnya sunnah. Waktu pelaksanannya berakhir pada saat imam
memulai khutbah.

Kedua, shalat sunnah qabliyyah Jum'at. Para ulama berbeda pendapat tentang shalat
sunnah qabliyyah Jum’at. Pertama, shalat qabliyyah Jum’ah dianjurkan untuk dilaksanakan
(sunnah). Pendapat ini di kemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Syafi'iyyah (menurut pendapat
yang dalilnya lebih tegas) dan pendapat Hanabilah dalam riwayat yang tidak masyhur. Kedua,
shalat qabliyyah Jum’at tidak disunnahkan menurut pendapat Imam Malik, sebagian Hanabilah
dalam riwayat yang masyhur

Adapun dalil yang menyatakan dianjurkannya shalat sunnah qabliyah Jum'at: Hadist
Rasulullah SAW

ِ ‫ض ٍة ِإالَّ َوبَيْنَ يَدَ ْي َها َر ْك َعت‬


‫َان‬ َ ‫صالَةٍ َم ْف ُر ْو‬ ُّ ‫ع ْب ِدهللاِ ب ِْن‬
َ ‫الزبَي ِْر " َما ِم ْن‬ ِ ‫َّان ِم ْن َح ِد ْي‬
َ ‫ث‬ ٍ ‫ص َّح َحهُ اب ُْن ِحب‬
َ ‫َما‬

"Semua shalat fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua rakaat". (HR.Ibnu
Hibban yang telah dianggap shahih dari hadist Abdullah bin Zubair). Hadist ini secara umum
menerangkan adanya shalat sunnah qabliyah tanpa terkecuali shalat Jum'at.

Hadist Rasulullah SAW

ُ‫ب فَقَا َل لَه‬ ُ ‫سلَّ َم يَ ْخ‬


ُ ‫ط‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ُ ‫ي َو َر‬ ُّ ِ‫طفَان‬ َ َ‫سلَ ْيكٌ الغ‬
ُ ‫ع ْنهُ قَا َل َجا َء‬ َ ُ‫ي هللا‬ َ ‫ض‬ِ ‫ع ْن أ َ ِبي ُه َري َْرة َ َر‬
َ ‫َو‬
َ َ‫ قَا َل ف‬.َ‫صلَّيْتَ َر ْك َعتَي ِْن قَ ْب َل أ َ ْن ت َِج ْي َء؟ قا َ َل ال‬
‫ص ِل َر ْك َعتَي ِْن َوت َ َج َّو ْز ِف ْي ِه َما‬ َ َ ‫سلَّ َم أ‬ َ ُ ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫النَّ ِب‬. ‫سنن ابن‬
‫ماجه‬
"Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. berkata: Sulayk al Ghathafani datang (ke masjid),
sedangkan Rasulullah saw sedang berkhutbah. Lalu Nabi SAW bertanya: Apakah kamu sudah
shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi SAW bersabda: Shalatlah dua
raka’at dan ringankan saja (jangan membaca surat panjang-panjang)” (Sunan Ibn Majah:
1104).

Berdasar dalil-dalil tersebut, Imam al Nawawi menegaskan dalam kitab al Majmu’ Syarh
al Muhadzdzab:

‫ َواأل َ ْك َم ُل أ َ ْربَ ٌع‬.‫َان َب ْعدَهَا‬ ِ ‫صالَة ٌ َوأَقَلُّ َها َر ْك َعت‬


ِ ‫َان قَ ْبلَ َها َو َر ْكعَت‬ َ ‫س ُّن قَ ْبلَ َها َو َب ْعدَهَا‬
َ ُ ‫ ت‬.‫سنَّ ِة ال ُج ْم َع ِة َب ْعدَهَا َوقَ ْبلَ َها‬
ُ ‫ع فِ ْي‬ ٌ ‫فَ ْر‬
‫قَ ْبلَ َها َوأ َ ْربَ ٌع َب ْعدَهَا‬

“(Cabang). Menerangkan tentang sunnah shalat Jum’at sebelumnya dan sesudahnya.


Disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum’at. Paling sedikit dua raka’at
sebelum dan sesudah shalat jum’at. Namun yang paling sempurna adalah shalat sunnah empat
raka’at sebelum dan sesudah shalat Jum’at”. (Al Majmu’, Juz 4: 9)

Adapun dalil yang menerangkan tidak dianjurkannya shalat sunnat qabliyah Jum'at
adalah sbb.:

Hadist dari Saib Bin Yazid: "Pada awalnya, adzan Jum'at dilakukan pada saat imam
berada di atas mimbar yaitu pada masa Nabi SAW, Abu bakar dan Umar, tetapi setelah zaman
Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat Utsman menambah adzan menjadi tiga kali
(memasukkan iqamat), menurut riwayat Imam Bukhari menambah adzan menjadi dua kali (tanpa
memasukkan iqamat). (H.R. riwayat Jama'ah kecuali Imam Muslim).

Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyim berpendapat, "Ketika Nabi keluar dari rumahnya
langsung naik mimbar kemudian Bilal mengumandangkan adzan. Setelah adzan selesai Nabi
SAW langsung berkhutbah tanpa adanya pemisah antara adzan dan khutbah, lantas kapan Nabi
SAW dan jama’ah itu melaksanakan shalat sunnat qabliyah Jum'at?

Dari dua pendapat dan dalilnya di atas jelas bahwa pendapat kedua adalah interpretasi
dari tidak shalatnya Nabi SAW sebelum naik ke mimbar untuk membaca khuthbah. Sedangkan
pendapat pertama berlandaskan dalil yang sudah sharih (argumen tegas dan jelas). Maka
pendapat pertama yang mensunnahkan shalat qabliyyah jum’ah tentu lebih kuat dan lebih unggul
(rajih).

Permasalahan ini semua adalah khilafiyah furu'iyyah (perbedaan dalam cabang hukum
agama) maka tidak boleh menyudutkan di antara dua pendapat di atas. Dalam kaidah fiqih
mengatakan “la yunkaru al-mukhtalaf fih wa innama yunkaru al- mujma' alaih” (Seseorang
boleh mengikuti salah satu pendapat yang diperselisihkan ulama dan tidak boleh mencegahnya
untuk melakukan hal itu, kecuali permasalahan yang telah disepakati). Wallahua’lam bish
shawab.

Anda mungkin juga menyukai