Anda di halaman 1dari 17

HUKUM POTONG TANGAN DAN CAMBUK

Makalah :
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi Tafsir Klasik bi al-Ra’yi

Dosen Pengampu:
Islamiyah, M. Th.I

Disusun Oleh:

Al farisi
Ahmad kholil

PRORAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI ILMU USHULUDDIN DARUSSALAM
BANGKALAN
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah hirabbil ‘amin puji shukur kami haturkan kehadirat Allah


swt, yang telah menciptakan, mengatur dan menguasai seluruh makhluk di dunia
dan di akhirat. Semoga kita senantiasa mendapat limpahan rahmat dan rid}o-Nya.
S{alawat beserta salam semuga tetap tercurahkan kepada Rasulullah saw, yang
telah membimbing manusia menuju kejalan yang lurus untuk mencapai kejayaan
dan kemuliaan.

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Dosen pengampu yang telah


membimbing dan memberi arahan terhadap kami sehingga makalah yang ber
judul. “Hukum Potong Tangan Dan Cambuk”, terselesaikan tepat pada waktunya,
juga kami ucapkan terimakasih kepada seluruh teman-teman sekalian yang telah
ikut andil dan ikut serta.

Selanjutnya ribuan maaf kami haturkan apabila ada kesalahan karena itu
bukanla sebuah kesengajaan melainkan murni ketidak tahuan kami dan keritik
serta saran yang membangun sangat kami harapkan demi kebaikan dan perbaikan
untuk selanjutnya.

Bangkalan, 20 Oktober 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Allah swt menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia (hudan li
al-na>s)1 dan sebagai pemberi jalan keluar dari kegelapan menuju cahaya. 2 Dan
juga al-Qur’an merupakan kitab petunjuk bagi Umat Islam. Di dalamnya berisi
pedoman dan tuntunan dalam menjalankan kehidupan di Dunia,3 maka dari itu,
jelas bahwa ayat-ayat al-Qur’an merupakan petunjuk untuk kehidupan umat
manusia untuk mendapatkan kebahagiaan di Dunia dan Akhirat.
Untuk memahami al-Qur’an yang sebagian besar yang ayat-ayatnya masih
bersifat global (Ijmali>), maka dari itu untuk mewujudkan fungsinya sebagai
petunjuk dan pedoman bagi umat manusia maka dibutuhkan upaya pemahaman
yang lebih yang disebut dengan tafsir.4
Tujuan syariat Islam adalah untuk merealisasikan maslahat dengan berusaha
mangambil manfaat dan menolak mudarat. Dasar kemaslahatan yang akan
diwujudkan oleh syariat Islam adalah bermaksud untuk memelihara eksistensi
manusia dengan menjaga agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta yang lebih
dikenal dengan istilah Maqa>shid al-Shar’i>ah. Berkaitan dengan harta, ajaran
Islam melarang umatnya untuk memperoleh dan memanfaatkan harta dengan cara
yang haram. Hal ini, misalnya, bisa dilihat dalam hal mencuri. Al-Qur’an dengan
tegas menjelaskan hukum dan sanksinya (QS. al-Ma>’idah: 38). Sedangkan
hukum islam yang berkaitan dengan nasab, yaitu surah al-Nu>r: 2 yang
menerangkan akan keharaman zina.

1
(QS. al-Baqarah: 185; QS. ‘a>li-‘Imra>n: 4; QS. Yu>nus: 57)
2
(QS. al-Ma>’idah: 16; QS. Ibra>him: 1; QS. al-Hadi>d: 9)
3
(QS. al-Isra: 9)
4
Muhammad ‘Abd al-Az}i>m al-Zarqani>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Juz II
(Mesir: Must}afa> Bab al-Halabi>, t.th), hal, 8
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian al-Sa>riq (pencuri) dan Zina
2. Apa Dasar Hukum Bagi Pelaku Pencuri dan Zina
3. Bagaimana Munasabah QS. al-Ma>’idah: 38 dan QS. al-Nu>r: 2
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk Mengetahui Pengertian al-Sa>riq (pencuri) dan Zina
2. Untuk Mengetahui Dasar Hukum Bagi Pelaku Pencuri dan Zina
3. Untuk Mengetahui Munasabah QS. al-Ma>’idah: 38 dan QS. al-Nu>r: 2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian al-Sa>riq (pencuri) dan Zina


1. Definisi al-Sa>riq (pencuri)

Kata al-Sa>riq merupakan bentuk isim fa>’il (pelaku) yang berasal


dari kata kerja saraqa-yasriqu yang berarti mencuri.5 Sedangkan secara istilah
ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya. Menurut ‘Ali> bin
Muhammad al-Jurjani> Sariqah dalam syariat Islam yang pelakunya harus
diberi hukuman potong tangan adalah mengambil sejumlah harta seniai
sepuluh dirham yang masih berlaku, disimpan ditempat penyimpanannya atau
dijaga dan dilakukan oleh seorang mukallaf secara sembunyi-sembunyi serta
tidak terdapat unsur syubhat, sehingga kalau barang itu kurang dari sepuluh
dirham yang masih berlaku maka tidak dapat dikategorikan sebagai pencurian
yang pelakunya diancam hukuman potong tangan.6

Menurut Al-Rāghib al-Aṣfahāni> dalam al-Mufra>da>t fi> Ghari>b


al-Qur’a>n menjelaskan bahwa al-sa>riq adalah mengambil sesuatu yang
bukan miliknya dengan cara sembunyi-sembunyi. ‘Ibnu Manẓur mengatakan
bahwa di kalangan orang Arab, sa>riq adalah seseorang yang datang secara
sembunyi-sembunyi ke suatu tempat penyimpanan kemudian mengambil
sesuatu bukan miliknya.7 Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili> lafad
saraqa artinya mencuri atau mengambil sesuatu yang dilakukan secara
sembuyni-sembunyi dari tempat penyimpanan.8

5
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indo, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997)
6
Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag, Masyrofah, S. Ag., M.Si, Fiqih Jinayah, Jakarta, Amzah, 2015,
99-100
7
Ibn Manẓur, Lisa>n Al-‘Ara>b (Kairo: Dār Al-Ma’ārif), 1998.
8
Nailul Rahmi, “Hukuman Potong Tangan Perspektif Al-Quran Dan Hadis”, Jurnal Ulunnuha,
vol. 7, no. 2 (2018), 55.
Dari beberapa pengertian yang dipaparkan ulama di atas dapat
disimpulkan bahwasanya al-sa>riq adalah mengambil sesuatu yang
dipelihara yang nilainya sama dengan sepuluh dirham, dan ada di tempat
penyimpanan atau dalam penjagaan dan dilakukan oleh seorang mukallaf
secara sembunyi-sembunyi.

2. Pengrtian zina
Menurut kamus besar bahasa Indonesia zina adalah perbuatan
bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh
hubungan pernikahan, atau seorang perempuan yang bukan istrinya dengan
seorang laki-laki yang bukan suaminya.9
Kata zina (‫ )زنى‬secara etimologi berasal dari akar kata yang terdiri dari
huruf za>’, nu>n, dan ya>’ yang berarti “berbuat zina” atau melakukan
hubungan badan tanpa ikatan yang sah menurut agama (hukum Islam). Dalam
bahasa Arab, terdapat dua versi mengenai penulisan kata zina. Pertama, kata
zina> (‫ )زنا‬dengan alif mamdudah. Kedua (‫ )زنى‬zina> dengan alif layyinah.10
Menurut Al-Lihyani, penulisan dengan alif layyinah, seperti (‫)زنى‬
berasal dari penduduk Hijaz, sedangkan penulisan dengan alif mamdudah
seperti zina’a (‫ ) زناء‬adalah dari Bani Tamim. Akan tetapi di dalam kitab Aṣ-
َّ ‫ )ال‬dijelaskan bahwa (‫ )زنا‬dengan alif tegak berasal dari
Ṣah}ḥa>ḥ (‫حَّا ُح‬W ‫ص‬
penduduk Najed.11
Sedangkan secara terminologi zina berarti melakukan hubungan seksual
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak atau belum diikat
oleh suatu pernikahan.12
Dan adapun menurut para ulama dalam pengertian zina sebagai berikut.
Menurut Hamka, zina yaitu segala persetubuhan yang tidak disahkan dengan
nikah, atau yang tidak sah nikahnya. 13 Sedangkan menurut Quresh shihabzina
9
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008), 1571.
10
M Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007),
1135
11
M Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007),
1135
12
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), 34
13
Hamka, Tafsir Al-Azhar, cet.2 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 50
adalah persentuhan dua alat kelamin dari jenis yang berbeda yang tidak
terkait oleh akad nikah atau kepemilikan, dan tidak juga disebabkan oleh
syubhat (kesamaran).14
Pada umumnya, pangkal dari perbuatan zina adalah dari pandangan
mata, dari itu Allah memprioritaskan perintah untuk memalingkan pandangan
mata sebelum perintah untuk menjaga kemaluan, karena banyak musibah
besar yang asalnya dari pandangan, kemudian khayalan, berlanjut pada
langkah nyata, kemudian terjadilah musibah yang merupakan kesalahan besar
yaitu zina.15
      
           
      
       ........................
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa
yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
Menampakkan perhiasannya”16

B. Dasar Hukum Potong Tangan dan Dera


1. Dasar hukum potong tangan
Dasar hukum potong tangan bagi pelaku pencuri terdapat dalam surah al-
Ma>’idah ayat 38:

     


        
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”17

Latar belakang turunnya ayat tersebut didasarkan pada salah satu


riwayat yang menyebutkan bahwa Tu’mah bin Ubairiq dari keturunan Bani
14
M.Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera
hati, 2002), Jilid 9, 280.
15
Jundulloh Ababil, Zina Penyebab Melarat, (Jawa Timur: Yayasan PP Al-Furqon, 2013), 167
16
(QS. al-Nu>r: 30-31)
17
(QS. al-Ma>’idah: 38)
Zafir yang mencuri baju perang milik Qatadah Ibn Nu’man yang tersimpan
dalam karung tepung. Kemudian Tu’mah mengambil baju tersebut dan
menyimpannya di rumah Zaid. Tanpa disadari bagian bawah karung tepung
tersebut bocor dan membuat tepung berceceran. Karena Qatadah sadar baju
besinya dicuri, lalu ia mengikuti bekas ceceran tersebut sampai ke rumah
Zaid, dan mengambil baju besinya itu di rumah Zaid dan Zaid pun dituduh
telah mencurinya. Tetapi Zaid menolak dan orang-orang disekitarnya
menyaksikan bahwa itu pemberian dari Tu’mah. Maka Qatadah mengadukan
peristiwa ini kepada Rasulullah, dan kemudian turunlah surah al-Madiah:
38.18
Menurut al-Ra>zi> ayat ‫ السارق والسا رقة‬dibaca marfu’ oleh Sibawaih
dan Akhfasy sebagai mubtada’ sedangkan khabar-nya adalah dibuang dan
taqdirnya “‫ذا‬WWW‫ ”حكمهما ك‬Pendapat ini juga dipilih oleh al-Farra’, bahwa
membacanya dengan marfu’ lebih utama daripada membaca dengan nas}ab,
sebab alif la>m pada lafad al-sa>riq dan al-sa>riqatu menempati tempat ‫الذي‬
sehingga taqdirnya (‫ )الذي سرق فاقطعوا یده‬, dan huruf fa>’ pada khabar karena ia
menjadi jaza>’, dan juga dikuatkan dengan kalimat setelahnya (‫)جزاء بما كسبا‬.
Jadi maksud ayat ini menurut al-Ra>zi> adalah menunjukkan bahwa syarat
dan balasan bagi pencuri disyari’atkan karena pencurian yang dilakukan.19
Pada lafadz (‫“ )فاقطعوا أيديهما‬potonglah kedua tangan-tangannya”, Allah
tidak berfirman (‫اقطعوا يديهما‬WW‫( )ف‬potonglah kedua tangannya). Menurut al-
Khalil bin ‘Ahmad dan al-Farra>’ bahwa, setiap anggota yang ada pada tubuh
manusia, apabila disebutkan untuk dua orang, maka sesuatu itu harus
dijamakkan. Oleh karena itu Allah berfirman ( ‫اقطعوا أيديهما‬WW‫)ف‬, dan tidak
berfirman: (‫اقطعوا يديهما‬WW‫)ف‬. Maksudnya adalah, potonglah tangan si ini dan
tangan si itu.20
Ibnu al-Arabi> berkata, ini berdasarkan pendapat yang menyatakan
bahwa yang boleh dipotong hanyalah tangan kanan, padahal tidak demikian.
Akan tetapi, yang boleh dipotong itu tangan-tangan dan kaki-kaki. Dengan
18
Al-Wahidi, Asbāb Nuzul Al-Qur’ān, (Beirut: Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1991), 188.
19
Al-Razi>, Mafa>tih} al-Ghaib Jil, XI, (Bairu>t: Da>r al-Fikr, 1981), 228-230
20
Al-Razi>, Mafa>tih} al-Ghaib,................................. , 228-230
demikian, firman Allah: (‫اقطعوا أيديهما‬W‫ )ف‬itu kembali kepada empat perkara,
yang terhimpun pada dua anggota yaitu tangan dan kaki. Sebab kata ‫هما‬
adalah tathniah. Dengan demikian, firman Allah itu diungkapkan secara
fasih.21
Menurut al-Qurth}bi> pencuri yang dipotong tangannya adalah
pencuri yang harta curiannya mencapai seperempat dinar atau yang nilainya
sama dengan seperempat dinar. Ini adalah pendapat Umar bin Khathab,
‘Utsman bin Affan yang diriwayatkan dari Ali. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Umar bin Abdul Aziz, Al-Laits, Asy-Syafi’i dan Abu
Tsur.22
Menurut al-Qurt}ubi> makna dari lafadz (‫اقطعوا‬WWWWWWWW‫)ف‬
“potonglah”,bermakna al-iba>nah (penjelasan) dan al-izaalah
(penghilangan). Penghilangan atau pemotongan ini tidak diwajibkan kecuali
dengan terpenuhinya beberapa syarat yang perlu diperhitungkan
keberadaannya, pada orang yang melakukan pencurian, sesuatu yang dicuri,
maupun tempat yang dicuri.23 Menurut al-Qurthubi pencuri yang dipotong
tangannya adalah pencuri yang harta curiannya mencapai seperempat dinar.24
Para ulama sepakat bahwa tangan yang dipotong adalah tangan kanan
berdasarkan qira>’ah Ibnu Mas’ud (‫اقطعوا أیمنھما‬WW‫ )ف‬namun mereka berbeda
pendapat dibagian mana tangan tersebut dipotong. Fuqah’ Mesir (al-amshar)
berpendapat dipotong pada pergelangan tidak di siku atau dipangkal lengan,
Khawarij berpendapat dipotong dipangkal lengan. Dalil Jumhur adalah
riwayat yang menjelaskan bahwa Rasul saw.memotong tangan pencuri dari
pergelangan, begitu juga pendapat ‘Ali>, ‘Umar bin Khat}a>b, mereka
memotong tangan pencuri pada sambungan pergelangan, inilah yang

21
Al-Qurt}ubi>, Tafsi>r al-Qurt}ubi>, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 415-416
22
Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Dar al-
Fikr, Beirut, tt.) juz 5, . 111.
23
Al-Qurt}ubi>, Tafsi>r al-Qurt}ubi>,..........................., 400.
24
Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari> al-Qurt}ubi>, Al-Jami’ li Ahka>m al-Qur’a>n,
(Bairu>t: Dar al-Fikr, tt). juz 5, hal, 111.
diamalkan. Tapi jika dia mencuri untuk yang keduakalinya maka dipotong
tangannya yang kiri berdasarkan ittifaq para fuqaha.25
At-T{abari> menjelaskan bahwa potong tangan adalah balasan terhadap
perbuatan mencuri yang dilakukan keduanya dari Allah. At-T{abari juga
menjelaskan bahwa Umar bin Khatab menyuruh agar memberikan hukuman
yang keras (berat) kepada pencuri dalam kasus pencurian.Umar mengatakan
“potonglah tangan-tangan mereka lalu kai-kaki mereka”. ‫وهلل عزيز خكيم‬
maksud firman Allah ini menurut at-Thabari adalah bahwa Allah maha
Perkasa dalam memberikan hukuman kepada laki-laki atau perempuan yang
melakukan pencurian serta selain mereka berdua yang melakukan
kedurhakaan kepada Allah, sesungguhnya Allah maha bijaksana dalam
memberikan keputusan dan hukuman kepada mereka. Ayat ini juga bermakna
“oleh karena itu janganlah kamu berlebih-lebihan dalam memberikan
hukuman , hai orang-orang mukmin, terhadap orang pencuri dan selain
mereka dari orang-orang yang melakukan kejahatan yang wajib diberikan
hukuman. Karena sesungguhnya Allah dengan hikmah-Nya memutuskan
keputusan untuk mereka dan pengetahuan Allah menunjukkan kebaikan
kepada mereka dan kepadamu.26
2. Dasar Hukum Cabuk Bagi Pelaku Zina
Dasar hukum cambuk bagi pelaku zina yang masih bujang adalah surah al-
Nu>r ayat 2:
       
           
      
 
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”27

25
Muhammad ‘Ali> al-S{s}a>buni>, Tafsi>r ‘A<ya>t al-‘Ahka>m min al-Qur’a> al-Kari>m,
Juz II, (Bairu>t: Da>r Ibnu ‘As}s}a> s}ah, 2004), 440
26
Al-T{abari>, Tafsi>r al- T{abari, Juz 3, (Bairu>t: Mu’assah al-Risa>lah, 1994), 90
27
(QS. al-Nu>r: 2)
Wahbah al-Zuhhaili> menafsirkan, ayat ini menjadi titik awal penjelasan
tentang sejumlah hukum yang disyariatkan dalam ayat sebelumnya, yaitu ayat
pertama di atas. Ayat ini menjelaskan hukum hadd perbuatan zina. Makna ayat ini
adalah, bahwa hukum bagi perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina
status merdeka, baligh, berakal, belum berstatus muh}s}a>n (belum pernah
menikah) yaitu hukum dera sebanyak seratus kali.28 Menurut al-Tabari>
rahimahullah dan mufassir lainnya menafsirkan bahwa yang dimaksud pezina
dalam ayat ini adalah pezina ghairu muh}s}an (belum menikah). Sedangkan untuk
pezina muh}s}an (sudah menikah) maka hukumannya adalah had ranjam. 29
‘Abu> Ja’far Muhammad bin Jarir al-T{abari> menafsirkan, “Bagi laki-laki
atau perempuan yang berzina, dan keduanya adalah merdeka, gadis atau jejaka,
hendaknya kamu cambuk mereka 100 kali cambukan, sebagai hukuman atas
perbuatan dan kemaksiatan mereka.” Firman-Nya: “Dan janganlah belaskasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah.”
Maksudnya adalah, wahai orang-orang yang beriman, janganlah rasa kasihanmu
(rasa lembut-lembut dan kasih sayang) terhadap laki-laki dan perempuan yang
berzina, mencegahmu. Firma-nya: “Untuk (menjalankan) agama Allah.”
Maksudnya adalah dalam hal ketaatan kalian kepada Allah, terhadap perintah-Nya
kepada kalian, yaitu menegakkan hukum Allah yang telah ditetapkannya kepada
kalian.30
Menurut al-Qurt}ubi>, Allah swt. sebenarnya cukup menyebutkan al-
Za>ni>, tetapi dalam ayat tersebut disebutkan laki-laki dan perempuan yang
berzina sehingga menjadi, ‫الزانية والزاني‬. Menyikapi hal tersebut ada ulama yang
mengatakan bahwa penyebutan kedua lafad ini untuk ta'kid (menguatkan).
Penyebutan kedua itu dijelaskan untuk menghilangkan prasangka bahwa hanya
pihak laki-laki yang menyetubuhi (aktif), sementara perempuan hanya
menerimanya (pasif) sehingga ia bisa terhindar dari hukuman hadd. Dengan

28
Wahbah al-Zuhaili>, Tafsi>r al-Muni>r fiy’ al-‘Aqidah wash-Sharii’ah wal Manhaj jilid 9,
(Darul Fikr, Damaskus, 2005), cet, 8, 407.
29
Muhammad bin Jarir At-T{{abari>, Jami’u al-Baya>n fi> Ta’wil al-Qur’a>n, (Kairo: Dar Al-
Hadits, 2010), jz:VIII, 337-338.
30
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-T{abari>. Tafsir Al-T{abari>,(Jakarta: Pustaka Azzam,
2009). Jilid 18, 872.
demikian gaya bahasa seperti ini memang ditujukan untuk menghilangkan
keraguan-keraguan, bahkan dikalangan ulama sekalipun, khususnya Imam ash-
Sha>fi’i> sebab mereka berpendapat, tidak ada kafarat bagi istri yang disegamai
(suaminya) di bulan Ramadan.31
Selanjutnya Allah swt. memerintahkan kepada pelaku zina agar dicambuk,
dengan menggunakan kata (‫دوا‬WWW‫ )فجل‬dan tidak menggunakan kata (‫ربوا‬WWW‫)فض‬
“pukullah” itu memberi isyarat bahwa tujuan hukum ini adalah untuk memukul
hingga rasa sakitnya sampai ke kulit. Hal tersebut disebabkan, disamping karena
dosanya yang besar, deraan juga ditujukan untuk menjerakan. Dan diantara ulama
ada yang berpendapat bahwa orang yang berzina ketika dicambuk bajunya harus
dilepas, kecuali pakaian yang menutupi auratnya.32
Menurut al-Qurt}ubi> pukulan yang harus dilaksanakan adalah pukulan
yang menyakitkan, tetapi tidak melukai dan mengelupas kulit, sementara
pemukulny atidak boleh mengangkat tangannya hingga ketiaknya. ‘Umar pernah
menghadiri pelaksanaan hukum dera lalu ia berkata kepada pemukulnya, pukullah
ia, sementara ketikmu tidak kelihatan dan berilah tiap anggota haknya.33
Secara z}a>hir, ayat ini menjelaskan bahwa hukuman hadd bagi pelaku
perzinaan secara mutlak adalah dera seratus kali. Akan tetapi, dalam as-Sunnah
terdapat keterangan yang qat}’i>, dan mutawati>r yang membedakan antara
pelaku perzinaan yang berstatus muh}s}a>n dan yang belum berstaus muh}s}a>n.
34
Adapun hukuman bagi pelaku perzinaan yang telah menikah. Hal ini ditetapkan
oleh sunnah Nabi saw yang diriwayatkan secara mutawati>r dan diikuti oleh
sahabat setelah beliau. Dan juga dalam riwayat yang sahih Rasulullah pernah
pernah menerrapkan hukum ranjam kepada Ma’iz dan Ghamidiyah.35

31
Muhammad bin ‘Ubay al-Qurt}ubi>, Al-Jami’ li ‘Ahka>m al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Jil, 22,
(Bairu>t: Mu’assasah al-Risalah, 2006), 160
32
Muhammad ‘Ali> al-S{s}a>buni>, Tafsi>r ‘A<ya>t al-‘Ahka>m min al-Qur’a> al-Kari>m,
Juz II, (Bairu>t: Da>r Ibnu ‘As}s}a> s}ah, 2004)
33
al-Qurt}ubi>, Al-Jami’ li Ahka>m al-Qur’a>n(Bairu>t: Dar al-Fikr, tt). juz 12, 163
34
al-Zuhaili>, Tafsi>r al-Muni>r,..........................................., 407
35
Muhammad ‘Ali> al-S{s}a>buni>, Tafsi>r ‘A<ya>t al-‘Ahka>m min al-Qur’a> al-Kari>m,
Juz II, (Bairu>t: Da>r Ibnu ‘As}s}a> s}ah, 2004), 12
Salah satu Hadis yang membedakan antara hukuman pezina yang belum
menikah dengan yang sudah menikah yaitu hadis yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah
bin alS{a>mit, Rasulullah bersabda:

‫خذوا عين خذوا عين قد جعل اهلل هلن سبيال البكر بالبكر جلد مائة ونفي سنة والثيب بالثيب‬
‫جلت مائة والرجم‬
“Ambillah hukum dariku, ambillah hukum dariku, sesungguhnya Allah telah
memberi jalan kepda mereka: bujang yang berzina dengan lajang hukumannya
cambuk seratus kali dan diasingkan setahun, dan yang telah menikah yang berzina
dengan yang telah nikah hukumannya cambuk seratus kali dan ranjam”.36

Dalam pelaksanaannya harus disaksikan oleh banyak orang supaya menjadi


efek jerah bagi pelakunyan dan peringatan terhadap yang lain agar tidak
melakukan hal yang sama sebagaimana Firman-Nya:
     
“..........dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.”37

Menurut al-S{a>buni> kata (‫ )طائفة‬pada dasarnya berupa isim fa>’il bentuk


mu’annas dari kata (‫واف‬W‫ )الط‬yang berarti mengitari dan berkeliling.38 Menueurut
al-T{abari> minimal orang yang menyaksikan hukuman cambuk tersebut adalah
empat orang, pendapat ini diqiyaskan sesuai dengan jumlah saksi yang harus
terpenuhi untuk menetapkan terjadinya pidana perzinahan.39
Dalam syari‘at Islam, penetapan dan implementasi hukuman, baik hukuman
cambuk atau yang lainnya, mempunyai beberapa maksud dan tujuan, yaitu:40
a. PencegahanPencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia
tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Di samping mencegah pelaku,
pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia
tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa
hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang
36
(RH>. Muslim, Abu> Daud dan al-Tirmidi)
37
(QS. al-Nu>r: 2)
38
Muhammad ‘Ali> al-S{s}a>buni>, Tafsi>r ‘A<ya>t al-‘Ahka>m ,................................. hal, 8
39
Muhammad Ibn Ahmad al-Qurt}ubi>, al-Jami’ li Ahkam al-Qura’n, Voll. XXI, (Kairo: Dar al-
Ghad al-jadid, 2014), 119.
40
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jana’i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’i,(Kairo:
Al-Maktabah At-Taufiqiyah, 2009) Jz.I, 609-610.
lain yang juga melakukan perbuatan yang sama. Menurut Ibnu Hammam
dalam Fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya
perbuatan dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan.
b. Perbaikan dan Pendidikan Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman
adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan
menyadari kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syari’at Islam
terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul
dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena
takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya
terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat rida dari Allah Ta’ala.
c. Kemaslahatan Masyarakat
Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan bukan berarti
membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti
dikatakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai
rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah
untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang
yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus
bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya.
Dari beberapa penafsiran di atas jika di kaitkan dengan kriteria tafsir bi al-
ra’yi maka tidak termasuk pada kategori tafsi>r bi al-ra’yi al-maz}mu>mah
(penafsiran yang tercela), karena pada penafsiran tersebut ulama tidak
menafsirkan menurut hawa nafsu mereka dan tidak mengabaikan kaidah-kaidah
tafsir, akan tetapi mereka menafsirkan dengan menggunakan kaidah kebahasaan
yaitu melalui petunjuk lafad itu sendiri sehingga ayat yang ditafsirkan tidak begitu
jauh dari dimaksud lafad yang dikendaki. Dan juga mereka tidak mengklaim
bahwa mereka penafsiran mereka yang paling benar dari penafsiran-penafsiran
yang lain
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan sebagaimana berikut:
1. Al-sa>riq adalah mengambil sesuatu yang dipelihara yang nilainya sama
dengan sepuluh dirham, dan ada di tempat penyimpanan atau dalam
penjagaan dan dilakukan oleh seorang mukallaf secara sembunyi-sembunyi.
Ssedangkan zina adalah persentuhan dua alat kelamin dari jenis yang berbeda
yang tidak terkait oleh akad nikah atau kepemilikan, dan tidak juga
disebabkan oleh shubha>t (kesamaran).
2. Hukum yang terkandung dalam surah al-Ma>’idah ayat 38, yaitu hukuman
tentang poton tangan bagi pencuri yang barang curiannya itu senilai empat
dirham, dan tangan yang dipotong adalah tangan kanan jika mencuri lagi
maka tangan kiri yang dipotong. Sedangkan hukum yang terkandung dalam
surah al-Nu>r ayat 2 adalah hukuman tentang hukum cambuk bagi pelaku
zina yang belum menikah
3. Dari beberapa penafsiran di atas jika di kaitkan dengan kriteria tafsir bi al-
Ra’yi maka tidak termasuk pada kategori tafsi>r bi al-ra’yi al-maz}mu>mah
(penafsiran yang tercela), karena pada penafsiran tersebut ulama tidak
menafsirkan menurut hawa nafsu mereka dan tidak mengabaikan kaidah-
kaidah tafsir, akan tetapi mereka menafsirkan dengan menggunakan kaidah
kebahasaan yaitu melalui petunjuk lafad itu sendiri sehingga ayat yang
ditafsirkan tidak begitu jauh dari dimaksud lafad yang dikendaki. Dan juga
mereka tidak mengklaim bahwa mereka penafsiran mereka yang paling benar
dari penafsiran-penafsiran yang lain.
B. Saran
Kami sangat menyadari bahwa apa yang kami tulis di dalam makalah ini
masih sangat jauh dari kata sempurna, karena kami selaku insan biasa yang tek
pernah lepas dari slah dan lupa, maka dari itu kami sangat mengharap kritikan dan
masukan dari para pembaca makalah ini terkhusus kepada dosen pengampu agar
bisa menjadi bahan perbaikan bagi kami.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Zarqani>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Juz II. Mesir:
Must}afa> Bab al-Halabi>, t.th.
Ababil Jundulloh, (2013). Zina Penyebab Melarat. Jawa Timur: Yayasan PP Al-
Furqon.
Al-Jashsh, Ahkam al-Qur’an. T.t: Dar al-Fkri, Mesir t.t. juz, II.
Al-Qurt}ubi>, (2008).Tafsi>r al-Qurt}ubi>, Jakarta: Pustaka Azzam.
Al-Qurt}ubi>, (2014). al-Jami’ li Ahkam al-Qura’n, Voll. XXI. Kairo: Dar al-
Ghad al-jadid.
Al-Qurt}ubi>, Al-Jami’ li Ahka>m al-Qur’a>n. Bairu>t: Dar al-Fikr, tt. juz 5.
Al-Razi>, (1981). Mafa>tih} al-Ghaib Jil, XI. Bairu>t: Da>r al-Fikr.
Al-S{s}a>buni>, Muhammad ‘Ali>. (2004). Tafsi>r ‘A<ya>t al-‘Ahka>m min
al-Qur’a> al-Kari>m, Juz II. Bairu>t: Da>r Ibnu ‘As}s}a> s}ah.
Al-T{{abari>. (2010), Jami’u al-Baya>n fi> Ta’wil al-Qur’a>n, Kairo: Dar Al-
Hadits, juz:VIII.
Al-T{abari>, (1994). Tafsi>r al- T{abari, Juz 3. Bairu>t: Mu’assah al-Risa>lah.
Al-T{abari>. (2009). Tafsir Al-T{abari>. Jakarta: Pustaka Azzam, Jilid 18.
Al-Wahidi, (1991). Asba>b Nuzul Al-Qur’a>n. Beirut: Dār Al-Kutub
Al-‘Ilmiyah.
Audah Abdul Qadir, (2009). At-Tasyri’ Al-Jana’i al-Islami Muqaranan bi al-
Qanun al-Wadh’i. Kairo: Al-Maktabah At-Taufiqiyah, Jz.I.
Departemen Pendidikan Nasional, (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
Hamka, (1983). Tafsir Al-Azhar, cet.2 Jakarta: Pustaka Panjimas.
Ibn Manẓur, (1998). Lisa>n al-‘Arab. Kairo: Dār Al-Ma’ārif.
Irfan Nurul, (2015). Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Amzah.
Munawwir Warson Ahmad, (1997). Al-Munawwir Kamus Arab Indo, Surabaya:
Pustaka Progressif.
Nailul Rahmi, (2018). “Hukuman Potong Tangan Perspektif Al-Quran Dan
Hadis”, Jurnal Ulunnuha, vol. 7, no. 2
Al-Qurt}ubi>, Al-Jami’ li ‘Ahka>m al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Jil, 22. Bairu>t:
Mu’assasah al-Risalah, 2006).
Shihab Quraish, (2007). Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, Jakarta:
Lentera Hati,
Shihab Quraish. (2002). Tafsir al-Misbah pesan, Kesan Dan Keserasian Al-
Quran, Jakarta: Lentera hati, Jilid 9
Zuhaili> (Al) Wahbah. (2005).Tafsi>r al-Muni>r fiy’ al-‘Aqidah wash-Sharii’ah
wal Manhaj jilid 9. Darul Fikr, Damaskus.

Anda mungkin juga menyukai