Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qadzaf

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata “menuduh adalah menunjuk dan
mengatakan bahwa seseorang berbuat kurang baik”. Satu dari dosa besar yang merusak
individu dan sosial adalah tuduhan. Tuduhan yang ditujukan seseorang kepada orang
lain merupakan perbuatan yang merugikan orang tersebut, tapi pada hakikatnya yang
paling merugi adalah pelaku itu sendiri. Saat seseorang menuduh orang lain, pada
dasarnya ia telah mencemarkan nama dan merusak jiwanya dengan perbuatan dosa.
Tuduhan merupakan perilaku menisbatkan kekurangan terhadap seseorang yang tidak
dimilikinya. Tuduhan merupakan perbuatan dosa besar. Allah Swt dalam al-Quran telah
melarang perbuatan ini serta memerintahkan untuk pelaku penuduhan dihukum didunia
dan mengingatkan pelakunya bakal mendapat azab yang sangat besar diakhirat. Imam
Shadiq as berkata, “Dosa menuduh orang lain yang tidak bersalah lebih berat dari
gunung yang tinggi”.1

1. Pengertian Qadzaf Secara Etimologi

Kata qadzaf merupakan bentuk masdar (verbal noun) dari kata qadzafa. Secara
etimologi, Abu al-Husain bin Faris bin Zakaria menjelaskan bahwa qadzaf adalah ‫الطرح و‬
‫ الرمي‬yang berarti melempar 45. Pengertian ini bersifat umum yang mencakup semua
bentuk lemparan, baik lemparan itu dilakukan dengan benda keras atau bukan. 2

Ini bisa dilihat dari firman Allah SWT surat Thaha ayat 39;

‫ك َم َحب ًَّة ِّم ِّنى َولِ ُتصْ َن َع َع ٰلى‬ ُ ‫ت َفا ْق ِذفِي ِه فِى ْال َي ِّم َف ْلي ُْلقِ ِه ْال َي ُّم ِبالسَّاح ِِل َيْأ ُخ ْذهُ َع ُدوٌّ لِّى َو َع ُدوٌّ لَّهُۥ ۚ َوَأ ْل َقي‬
َ ‫ْت َعلَ ْي‬ ِ ‫َأ ِن ا ْق ِذفِي ِه فِى ال َّتابُو‬
‫َع ْين ِٓى‬

Yaitu: "Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil),


maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir´aun) musuh-Ku dan
musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku;
dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku,

Menurut Imam Muhammad ibn Ismail al-Kahlani qadzaf adalah; “qadzaf secara bahasa
yaitu melempar atau melontar sesuatu” Qadzaf juga bermakna melempar batu. Kata
“batu” memberi indikasi bahwa lemparan yang dilakukan tersebut menimbulkan efek
tidak baik terhadap objek lemparan, karena batu tergolong benda keras yang dapat

1
Ainun Mardiyah, Skripsi: “Qadzaf Dalam Bentuk Kinayah (Studi Analisis Hukum Pidana
Islam)”, (Medan, UIN Sumatera Utara, 2019), H.17
2
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.29
menyakiti atau merusak objek lemparan tersebut. Jadi, “batu” yang bersifat keras
merupakan simbol bagi benda – benda keras lainnya sebagai alat lempar, seperti besi. 3

Menurut Wahbah al-Zuhaili, qadzaf secara bahasa yaitu: “ melempar dengan batu dan
sejenisnya, kemudian kata ar-ramyu (‫رمي‬22‫ )ال‬digunakan untuk hal yang tidak disukai
karena ada kemiripan antara kata al-hijarah (‫)الحجارة‬, larangan dan kata al-makaruhu (
‫ )المكاره‬, celaan. Keduanya merupakan efek dari al-Ramyu (‫ )الرمي‬. hal ini disebabkan
keduanya mengandung celaan atau merugi, sedangkan qadzaf merugikan dari segi
ucapan (menyakiti dengan perkataan)- dinamakan juga dengan (‫ )فرية‬kata dusta, kata
bohong – fa baris di bawah – karena dia berasal dari kata( ‫ )األفتراء‬fitnah dan ( ‫)ب الكذ‬
dusta.

Menurut al – Ashfahani, qadzaf secara etimologi adalah lemparan dari jauh. Pengertian
ini menunjukkan bahwa lemparan atau tuduhan yang dilontarkan oleh qadzif (pelaku
qadzaf ) dilakukan dari jarak jauh yang kadang kala qadzif dengan maqdzuf (objek qadzaf
) tidak berada pada satu tempat. Pengertian ini dipahami dari kata “jauh” yang
digunakan ar – Raghib Al-Ashfahani dalam defenisi tersebut. Oleh karena itu, berada
pada satu tempat antara qadzaf dan maqdzuf bukanlah menjadi syarat untuk terjadi
qadzaf dapat melakukan qadzaf kepada seseorang di mana pun ia berada sekalipun
tanpa dihadiri oleh maqdzuf.4

Dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha’ dijelaskan bahwa qadzaf secara bahasa berarti
melempar sesuatu dengan kekuatan. Pengertian qadzaf ini menjelaskan bahwa qadzif
dalam melakukan lemparan mempunyai kekuatan, baik kekuatan itu berupa kekuatan
fisik ataupun kekuatan hukum. Kedua kekuatan ini sama-sama menimbulkan efek
negatif bagi jasmani magzuf, sedangkan lemparan dengan kekuatan hukum dapat
menimbulkan efek negatif bagi jasmani maqdzuf, sedangkan lemparan dengan kekuatan
hukum dapat menimbulkan efek negatif terhadap jasmani dan rohani maqdzuf.

Ash-Shawi mengemukakan bahwa qadzaf itu kadang – kadang disebut juga dengan
istilah fariyah (membuat-buat), karena qadzaf merupakan bagian dari membuat – buat
sesuatu dan perbuatan dusta. Lebih lanjut dijelaskan bahwa qadzaf dikenal juga dengan
istilah ramyun (melempar sesuatu), karena lemparan menimbulkan rasa sakit bagi objek
lemparan.

Muhammad Syata al-Dimyati,bahwa qadzaf secara bahasa di pahami;

‫الرمي يقال قذف النواة اي رماها‬

”melempar, dikatakan ( ‫ )النواة قذف‬, artinya dia melempar suatu biji”.5

3
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.30
4
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.30-31
5
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.31-32
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli bahasa terdahulu dapat
disimpulkan bahwa pengertian qadzaf secara etimologi adalah melempar sesuatu
dengan batu atau kekuatan yang dilakukan dari jarak jauh. qadzaf secara bahasa dapat
dipahami bahwa qadzaf adalah melempar sesuatu terhadap seseorang baik dengan batu
maupun dengan benda lain yang pada dasarnya asal makna qadzaf adalah melempar.
Seseorang menggunakan batu atau benda keras tersebut merupakan alat yang biasa
digunakan untuk melempar. Qadzaf yang dimaksud di sini bukanlah melempar
seseorang,dengan batu melainkan melemparkan ungkapan atau menuduh seseorang
dengan kata-kata.6

2. Pengertian Qadzaf Secara Terminologi

Qadzaf menurut terminologi adalah ‫ بالحجارةونحوها الرمي‬yang artinya melempar dengan


batu. Adapun melakukan qadzaf kepada orang yang sudah menikah (baik perempuan
maupun laki-laki) secara istilah ilmu fiqh berarti menuduhnya melakukan zina atau
menafikan hubungan nasab anak kepada sang bapak. 7

Dalam istilah syara‟, qadzaf ada dua macam, yaitu :

a. Qadzaf yang diancam dengan hukuman had, dan

b. Qadzat yang diancam dengan hukuman ta‟zir.

Pengertian qadzaf yang diancam dengan hukuman had adalah “Menuduh orang yang
muhshan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan “Tuduhan yang menghilangkan
nasabnya”.

Sedangkan arti qadzaf yang diancam dengan hukuman ta‟zir adalah : "Menuduh dengan
tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan nasabnya, baik orang yang
dituduh itu muhshan maupun ghair muhshan”. Kelompok qadzaf macam yang kedua ini
mencakup perbuatan mencaci maki orang dan dapat dikenakan hukuman ta‟zir. 8

qadzaf dikemukakan dengan beberapa ungkapan dalam definisinya. Zainuddin al–Jiba’iy


al–Amiliy mengungkapkan pengertian Qadzaf dengan :

‫ أو اللواط‬, ‫و هو الرمي بالزنا‬.

“Tuduhan berbuat zina atau liwat”.

6
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.32-33
7
Muhammad Agus Prasetyo, Skripsi: Studi Komparatif Tentang Pembuktian Tindak
Pidana Menuduh Zina (Qadzaf) Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif”, (Semarang, UIN
Walisongo, 2017), H.34
8
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam), (Palembang, Rafah Press, 2020),
H.135
Zainuddin al–Jiba’iy al–Amiliy menjelaskkan qadzaf dengan ungkapan yang bersifat
umum. Menurut definisi ini, setiap orang yang melakukan tuduhan berbuat zina atau
liwath terhadap orang lain, tergolong perbuatan pidana qadzaf. 9

As-Sayyid Ahmad bin Umar Asy-Syathiriy menerangkan bahwa Qadzaf itu adalah :

‫الرمي بالزنا في معرض التعيير‬.

“Tuduhan berbuat zina dengan mengemukakan aibnya”.

Definisi ini sejalan dengan definisi yang terdapat dalam kitab Nihayat Al-Muhtaj yang
melengkapinya dengan kata-kata la Asy-syahadah (tanpa adanya saksi). Lebih lanjut
qadzaf didefinisikan dengan ungkapan :

55.‫الرمي بالزنا في معر ض التعيير ال الشهادة‬

“Tuduhan berbuat zina dengan mengemukakan aib seseorang tanpa adanya saksi”.

Dalam kitab al-Mu’tamad yang bermadzhab Hanbali dijelaskan bahwa Qadzaf secara
istilah adalah :

56‫ أو شهادة باحد هما و لم تــکمل البينة‬,‫وهو الرمي بالزنا أو لواط‬

“Menuduh seseorang berbuat zina atau liwath, atau kesaksian (orang yang baligh lagi
merdeka) tentang perbuatan zina atau liwath, yang tidak sempurna alat buktinya”. 10

Dalam kitab Syarh Fathu al-Qadir, fuqaha’ Hanafiah mendefenisikan qadzaf dengan
ungkapan :

8‫نسبة من أحصن إلى الزنـــا صريحـا أو داللة‬

“Menghubungkan orang-orang yang baik dengan perbuatan zina, baik secara Sharih
(jelas) ataupun secara dilalah (indikasi)”.

Menurut Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, qadzaf menurut istilah syara’;

59 ‫ الرمى بوطء يوجب الحد على المقذوف‬: ‫والشرعى‬

“menurut istilah syar’i, menuduh orang lain berzina yang mewajibkan hukuman had
terhadap orang menuduh”

Sementara menurut Muhammad Syata al-Dimyati;

60‫الرمي بالزنا في معرض التعيير أي في مقام هو التعبير أى التوبيع‬

“Qadzaf menurut istilah syara’ adalah melempartuduhan berbuat zina dengan maksud,
artinya ditempat yang diterangkan yaitu mencela”

Menurut Wahbah al-Zuhaili, qadzaf menurut istilah adalah;


9
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.33
10
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.33-34
61‫واما في األصطألح الشرعى فهو نسبه أدمى غيره لزنا أو قطع نسبه مسلم‬

”qadzaf menurut istilah syara’ adalah menasabkan seorang anak Adam dengan laki-laki
lain disebabkan zina atau memutuskan keturunan seorang Muslim”. 11

Dapat disimpulkan bahwa qadzaf adalah tuduhan berbuat zina atau liwath seorang
mukallaf terhadap mukallaf lain dengan mengemukakan aibnya atau meniadakan
keturunan seseorang karena ada indikasi tentang perbuatan tersebut yang tidak
dilengkapi dengan alat bukti atau saksi.

B. Pengertian Zina

Secara bahasa, kata zina berasal dari kosa kata bahasa Arab, yaitu kata zina-yazni-zinan
yang mempunyai arti berbuat zina, pelacuran, perbuatan terlarang. Secara harfiah, zina
berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji, dalam bahasa Belanda disebut overspel.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, zina mengandung makna sebagai berikut:

a. Perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh
hubungan pernikahan (perkawinan)

b. Perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang


perempuan yang bukan isterinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan
dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.

Ibnu rusyd mendefisinikan zina sebagai setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena
pernikahan yang sah, bukan karena semu (syubhat) dan bukan pula kepemilikan
terhadap budak.12

Jurjani berkata ada dua unsur yang memenuhi perbuatan zina, yaitu:

Pertama, heterosek dua jenis kelamin yang berlawanan. Maka jika dua orang yang
bermesraan misalnya bergandengan tangan, ciuman, pelukan, tetapi belum sampai
masuknya kelamin kedalam kelamin yang lain belum disebut zina. Dua, tidak adanya
kekelirun dalam perbuatan seks. Maksudnya disini seseorang melakukan seksual tapi
ada kekeliruan.

Menurut Dr. Mardani Didalam buku yang berjudul Tafsir Ahkam, perilaku zina ialah
masuknya penis ke dalam vagina tanpa ada ikatan pernikahan yang sah antara keduanya
dan dilakukan suka sama suka. Jika salah satu pihak melakukannya karena dipaksa atau
diperkosa maka yang dianggap melakukan perbuatan zina adalah memaksa atau
pemerkosa.13
11
Erwan, Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat Mazhab",
(Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020), H.35-36
12
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam), (Palembang, Rafah Press, 2020),
H.119-120
13
Sukarmi, Skripsi: "Pernikahan Akibat Zina Dalam Tafsir Ahkam (Analisis Tafsir Rawa'i
Al-Bayan Fi Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur'an)", (Lampung, UIN Raden Intan, 2019), H.27
Zina menurut fuqaha adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan tanpa ada
ikatan perkawinan yang sah, yaitu memasukkan kelamin laki-laki ke dalam kelamin
perempuan, minimal sampai batas hasyafah (kepala zakar). Atau bukan merupakan
hamba sahaya miliknya yang dinikahi.14

Definisi tentang zina menurut beberapa madzhab sebagimana yang telah dikutip oleh
Ahmad Wardi Muslich dalam bukunya, diantaranya:

1. Pendapat Malikiyah

Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang mukalaf terhadap farji manusia
(wanita) yang bukan miliknya secara disepakati dengan kesengajaan.

2. Pendapat Hanafiyah

Zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam qubul (kemaluan) seorang
perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiyar (tanpa paksaan) di dalam negeri
yang adil yang dilakukan oleh orang-orang kepadanya berlaku hukum islam dan wanita
tersebut bukan miliknya dan tidak ada syubhat dalam miliknya.

3. Pendapat Syafi'iyah

Zina adalah memasukkan zakar ke dalam farji yang diharamkan karena zatnya tanpa ada
syubhat dan menurut tabiatnya menimbulkan syahwat

4. Pendapat Hanabilah

Zina adalah melakukan perbuatan keji persetubuhan), baik terhadap qubul (farji)
maupun dubur.15

Zina menurut Islam adalah hubungan seksual secara illegal. Dalam pengertian lain, zina
adalah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh
hubungan perkawinan. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan bahwa zina adalah
persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena semu
nikah, dan bukan pula karena kepemilikan (terhadap budak). Pengertian demikian sudah
disepakati oleh para ulama.16

C. Penafsiran QS. Al-Isra:32


‫ة َو َسٓا َء َس ِبياًل‬2ً ‫ان ٰف ِح َش‬
َ ‫الز ٰن ٓى ۖ ِإ َّنهُۥ َك‬
ِّ ‫َواَل َت ْق َربُوا‬

14
Tamrin, Zina dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Musawa, Vol. 11 No.1 (Juni
2019), H.4
15
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam), (Palembang, Rafah Press, 2020),
H.120-121
16
Budi Kisworo, Zina Dalam Kajian Teologis Dan Sosiologis, Jurnal Hukum Islam, Vol. 1,
No.1, (2016), H.3
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.

Dalam tafsir Jalalin dijelaskan (Dan janganlah kalian mendekati zina) larangan untuk
melakukannya jelas lebih keras lagi (sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji) perbuatan yang buruk (dan seburuk-buruknya) sejelek-jelek (jalan) adalah
perbuatan zina itu.

Di dalam ayat ini Allah SWT melakukan perbincangan kepada nalar manusia tentang
kedudukan keturunan. Pada ayat sebelumnya dinyatakan bahwa manusia cenderung
mengabaikan anak keturunannya karena faktor ekonomi. Karena kendala ekonomi
keluarga terkadang manusia sampai membunuh janinnya sendiri. Memerlakukan anak
keturunannya bukan sebagai bagian darinya, sehingga ia melakukan tindakan yang sadis
dan tidak manusiawi. Kenyataan sosial dalam dalil perzinaan tersebut yang diakibatkan
oleh gaya hidup bebas dan kenyataan hidup menyimpang, dampaknya adalah lahirnya
janin yang belum siap untuk dilindungi. Sangat jelas ungkapan ayat Alquran bahwa apa
yang menjadi landasan berpikir manusia dalam melakukan penelantaran dan
pembunuhan anaknya karena faktor rizki adalah hal yang keliru. Setelah Allah SWT
berbicara tentang respon untuk memelihara anak keturunan dan meneruskan tugas
khalifahan Allah di muka bumi, maka Dia pun menghendaki manusia agar hidup dalam
kemuliaan. Allah SWT menetapkan kecenderungan melalui naluri manusia untuk
menjaga keturunan nasab sehingga dengan itu ia bisa memberikan kesenangan hidup
dan memberikan jaminan masa depannya. Naluri dan hasrat manusia timbul untuk
menyayangi anaknya dan memenuhi kebutuhannya adalah wujud dari kejelasan
keturunan dan kesesuaian yang dilalui dengan apa yang telah disyariatkan, yakni melalui
proses pernikahan. Demikian pula bila Allah SWT melarang perbuatan zina, maka
tujuannya adalah memelihara nasab dan menjaga keturunan dari kepunahan. Perbuatan
zina akan merusak keharmonisan keluarga, isteri akan hina dimata suami, anak wanita
akan harga dirinya di mata pengasuh (orang tua). 17

Menurut Wahba Azzuhaili, larangan mendekati zina dapat dimaknai pula pada larangan
untuk mendekati penyebab dan segala hal yang mendorong untuk melalukan kekejian
itu. Sesuai disebutkan fahisyah karena memang didalamnya terkandung pelanggaran
terhadap kehormatan diri manusia itu sendiri, adanya pencampuran nasab antara laki-
laki satu dengan lainnya, dampak pula pada penzaliman terhadap hak orang lain,
penghancuran pilar masayrakat dengan hancurnya tatanan keluarga, penyebaran dan
sumber kekacauan, menyebarkan penyakit kelamin yang dapat mematikan dan akan
berdampak pada kehinaan serta lemah dalam kehidupan.

Menurut Tafsir Kemenag RI terhadap ayat kedua, menyatakan bahwa surah ini
mengandung ketentuan hukum yang pasti, salah satunya hukum perzinaan. Kepada
pezina perempuan yang belum pernah menikah dan demikian pula pezina laki-laki yang
belum pernah menikah, keduanya diberi hukuman dera bila memenuhi syarat yang
membuktikan bahwa keduanya terbukti melakukan perbuatan zina. Terhadap penegak
17
Tamrin, Zina dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Musawa, Vol. 11 No.1 (Juni
2019), H.8
hukum, tidak boleh sedikit pun ada rasa hiba terhadap pelaku. Sikap ini dilakukan
sebagai bagian dari pencegahan atas terjadinya perbuatan serupa dan untuk
menegakkan ajaran agama. Demikian pula bahwa penegakan hukum tersebut sebagai
bagian dari konsekuensi keimanan kepada Allah adalah melaksanakan hukumNya. 18

D. Penafsiran QS. An-Nur:2-3

ْ ‫ون ِباهَّلل ِ َو ْال‬2


‫يَو ِم‬ َ 2‫ِين هَّللا ِ ِإنْ ُك ْن ُت ْم ُتْؤ ِم ُن‬ ٌ ‫ذ ُك ْم ِب ِه َما َرْأ‬2
ِ ‫فَة فِى د‬ ْ 2‫ َد ٍة ۖ َواَل َتْأ ُخ‬2‫ ٍد ِّم ْن ُه َما ِماَئ َة َج ْل‬2‫ َّل ٰو ِح‬2‫دُوا ُك‬2 ِ‫زانِى َفاجْ ل‬2
َّ 2‫الزانِيَ ُة َوال‬
َّ
‫ك‬ ْ
ٌ ‫ان ْو ُمش ِر‬ ‫َأ‬ َ ‫اَّل‬ ْ ‫اَل‬ ُ َّ ً َ ْ ‫َأ‬ ً َ ‫اَّل‬
ٍ ‫ الزانِى َين ِك ُح ِإ زا ِن َية ْو ُمش ِركة َوالزا ِن َية َين ِك ُح َهٓا ِإ ز‬.‫ِين‬ ْ ‫اَل‬ َّ ْ ٌ َ َ َ ْ ْ ْ
َ ‫ا ْل َءاخ ِِر ۖ َول َيش َهد َعذا َب ُه َما طٓاِئفة م َِّن المُْؤ ِمن‬
َ ‫ك َعلَى ْالمُْؤ ِمن‬
‫ِين‬ َ ِ‫ۚ َوحُرِّ َم ٰذل‬
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah
kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan
perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.

Kata (azzaniyatu wazani) azzani secara bahasa: berhubungan badan yang diharamkan
sedangkan menurut syara’ adalah berhubungan badan pria dan wanita yang tidak halal
dan bersifat syubhat. Qurthubi berpendapat kata “az-zani” dan “az-zaniyah” untuk
menguatkan (ta’kid), menghilangkan keraguan-raguan pihak pria yang menginginkan
dan pihak wanita hanya menerima, agar dapat terhindar dari hukuman had, hal ini
pernah dilontarkan sejumlah ulama as-Syafi’irah.

Zina juga merupakan perbuatan yang keji (fahisyah) sebagaimana tercantum dalam al-
Qur’an

‫وااللتي يأتين الفا حشة من نسا نكم‬

Dan juga ayat lain

‫والتقر بو االز نى إنه كا ن فا حشة وسا ء سبيال‬

Kata (fazliddu) maksudnya adalah orang yang berzina keduanya akan dicambuk.
(ro’fattan) maksudnya adalah larangan untuk meringankan cambukan bagi orang yang
berzina atau menghilangkan hukuman had secara keseluruhan, (dinillah) maksudnya
adalah dalam syariat dan hukum Allah swt. Menurut Imam Atha’ maksud dari kata ini
adalah larangan menghilangkan had atau hukuman dengan adanya permintaan maaf
dan sebagainya. (thaifah) maksudnya adalah sekelompok orang atau golongan,
(layankihu) maksudnya adalah akad menikah dalam konteks ini, artinya laki-laki pezina
menikahnya hanya boleh dengan perempuan pezina juga, (musyrikah) adalah wanita
yang menganut agama yang bukan agama samawi dan mereka tidak beriman kepada
18
Tamrin, Zina dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Musawa, Vol. 11 No.1 (Juni
2019), H.9
Allah swt, seperti halnya majusiyah ,wasaniyyah, mereka (musyrikah, majusiyyah,
watsaniyyah) berbeda dengan wanita kitabiyyah secara hukum, jika wanita kitabiyyah
maka boleh untuk dinikahi. Jika wanita musyrikah maka tidak diperbolehkan untuk
dinikahi.19

Mengenai penafsiran QS. An-Nur ayat 2 dalam tafsir Jalalain dijelaskan (Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina) kedua-duanya bukan muhshan atau orang yang
terpelihara dari berzina disebabkan telah kawin. Hadd bagi pelaku zina muhshan adalah
rajam, menurut keterangan dari Sunah. Huruf Al yang memasuki kedua lafal ini adalah Al
Maushulah sekaligus sebagai Mubtada, mengingat kedudukan Mubtada di sini mirip
dengan Syarat, maka Khabarnya kemasukan huruf Fa, sebagaimana yang disebutkan
dalam ayat berikutnya, yaitu, (maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali
dera) yakni sebanyak seratus kali pukulan. Jika dikatakan Jaladahu artinya ia memukul
kulit seseorang; makna yang dimaksud adalah mendera. Kemudian ditambahkan
hukuman pelaku zina yang bukan muhshan ini menurut keterangan dari Sunah, yaitu
harus diasingkan atau dibuang selama satu tahun penuh. Bagi hamba sahaya hanya
dikenakan hukuman separuh dari hukuman orang yang merdeka tadi (dan janganlah
belas kasihan kalian kepada keduanya mencegah kalian untuk menjalankan agama Allah)
yakni hukum-Nya, seumpamanya kalian melalaikan sesuatu dari hudud yang harus
diterima keduanya (jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat) yaitu hari
berbangkit. Dalam ungkapan ayat ini terkandung anjuran untuk melakukan pengertian
yang terkandung sebelum syarat. Ungkapan sebelum syarat tadi, yaitu kalimat "Dan
janganlah belas kasihan kalian kepada keduanya, mencegah kalian untuk menjalankan
hukum Allah", merupakan Jawab dari Syarat, atau menunjukkan kepada pengertian
Jawab Syarat (dan hendaklah hukuman mereka berdua disaksikan) dalam pelaksanaan
hukuman deranya (oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman) menurut suatu
pendapat para saksi itu cukup tiga orang saja; sedangkan menurut pendapat yang lain,
bahwa saksi-saksi itu jumlahnya harus sama dengan para saksi perbuatan zina, yaitu
sebanyak empat orang saksi laki-laki.

Mengenai tafsir QS. An-Nur ayat 3 dalam tafsir Jalalain dijelaskan (Laki-laki yang berzina
tidak menikahi)(melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-
laki yang musyrik) pasangan yang cocok buat masing-masingnya sebagaimana yang telah
disebutkan tadi (dan yang demikian itu diharamkan) menikahi perempuan-perempuan
yang berzina (atas orang-orang Mukmin) yang terpilih. Ayat ini diturunkan tatkala orang-
orang miskin dari kalangan sahabat Muhajirin berniat untuk mengawini para pelacur
orang-orang musyrik, karena mereka orang kaya-kaya. Kaum Muhajirin yang miskin
menyangka kekayaan yang dimilikinya itu akan dapat menanggung nafkah mereka.
Karena itu dikatakan, bahwa pengharaman ini khusus bagi para sahabat Muhajirin yang
miskin tadi. Tetapi menurut pendapat yang lain mengatakan pengharaman ini bersifat
umum dan menyeluruh, kemudian ayat ini dinasakh oleh firman-Nya yang lain, yaitu,
"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian..."(Q.S. An Nur, 32).
19
Sukarmi, Skripsi: “Pernikahan Akibat Zina Dalam Tafsir Ahkam (Analisis Tafsir Rawa’i
Al-Bayan Fi Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur’an)”, (Lampung, UIN Raden Intan, 2019), H.65-66
Menurut Wahba al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir dinyatakan bahwa dalam lafadz al-zani
pada ayat ini secara i’rab sebagai mubtada, khabr terdapat pada kata fajlidu. Sebagian
mengatakan khabr terdiri atas berita didahulukan dan terdapat kata yang terbuang fiima
yutla alaikum terhadap apa yang telah diwahyukan kepadamu). Fa dalam kalimat fajlidu
berkedudukan sebagai fa zaidah tambahan yang tidak memiliki pengaruh makna, tetapi
ketika berkedudukan sebagai fa fashilah maka huruf ini memiliki keterkaitan dengan
kalimat sebelumnya. Sehingga dalam kalimat ini terlihat sempurna dan saling mengikat
bahwa pelaku zina berkewajiban diberi hukuman. Penyebutan pelaku zina perempuan
yang berzina disebutkan lebih dahulu karena perzinaan sebagian besar terjadi karena
adanya sikap dan perbuatan dari seorang perempuan yang akhirnya memotivasi seorang
laki-laki berbuat zina. Selain itu dampak negatif dan aib yang ditimbulkan oleh perzinaan
lebih besar dari diri perempuan daripada bagi seorang lakilaki karena perempuan adalah
komponen dan objek pokok dalam perzinaan. 20

Dalam corak tafsir fiqh menguraikan bahwa, hukuman bagi para pezina mushan dan
ghoiru mushan banyak perbedaan pandangan. Menurut Mazhab Dzahiri pelaku zina
muhsan (pelaku zina yang telah kawin) mendapat hukuman rangkap: deradahulu
kemudian rajam berdasarkan Hadis Nabi: “Pelaku zina yang telah kawin atau pernah
kawin itu didera 100 kali dan dirajam”.

Berkaitan dengan hukuman bagi pezina, Imam Syafi’i juga berpendapat; hukuman rajam
(stoning to death), yang berarti hukuman matibagi pelaku zina muhsan sudah
seharusnya dibebankan atas pelaku zinaapabila perbuatan zina itu diketahui oleh empat
orang saksi. Bagi Imam Syafi’i hukuman dera sangat pantas diberikan kepada pelaku zina
muhsankarena si pelaku zina seharusnya (wajib) menjaga loyalitas dan nama
baikkeluarga, dan lagi perbuatan zina itu mengandung bahaya-bahaya yang besar bagi
keluarganya, masyarakat, dan negara.21

E. Penafsiran QS. Al-Furqan:65

َ ‫اب َج َه َّن َم ۖ ِإنَّ َع َذا َب َها َك‬


‫ان َغ َرامًا‬ َ ُ‫ِين َيقُول‬
َ ‫ون َر َّب َنا اصْ ِرفْ َع َّنا َع َذ‬ َ ‫َوالَّذ‬
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami,
sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".

Dalam tafsir Jalalain dijelaskan (Dan orang-orang yang berkata, "Ya Rabb kami!
Jauhkanlah azab Jahanam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang
kekal") yang abadi.

20
Tamrin, Zina dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Musawa, Vol. 11 No.1 (Juni
2019), H.5
21
Tamrin, Zina dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Musawa, Vol. 11 No.1 (Juni
2019), H.5-6
DAFTAR PUSTAKA

Prasetyo, Muhammad Agus. Skripsi: Studi Komparatif Tentang Pembuktian


Tindak Pidana Menuduh Zina (Qadzaf) Menurut Hukum Islam Dan
Hukum Positif", (Semarang, UIN Walisongo, 2017).
Mardiyah, Ainun. Skripsi: "Qadzaf Dalam Bentuk Kinayah (Studi Analisis
Hukum Pidana Islam)", (Medan, UIN Sumatera Utara, 2019).
Erwan. Skripsi: "Had Qadzaf Dengan Penggunaan Lafaz Perspektif Empat
Mazhab", (Riau, UIN Sultan Syarif Karim, 2020).
Marsaid. 2020. Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam). Palembang: Rafah
Press.
Kisworo, Budi. Zina Dalam Kajian Teologis Dan Sosiologis, Jurnal Hukum Islam,
Vol. 1, No.1, (2016).
Tamrin. Zina dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Musawa, Vol. 11 No.1
(Juni 2019).
Sukarmi. Skripsi: "Pernikahan Akibat Zina Dalam Tafsir Ahkam (Analisis Tafsir
Rawa'i Al-Bayan Fi Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur'an)", (Lampung,
UIN Raden Intan, 2019).

Anda mungkin juga menyukai