ILMU BADI'
( KONSEP AL- MUQABALAH DI BEBERAPA AYAT DALAM AL-QUR'AN )
TUGAS INDIVIDU
Dalam bahasa Arab, gaya bahasa disebut dengan istilah uslub yang secara etimologi
berarti jalan di atas pepohonan, seni, bentuk, madzhab, dan seterusnya. Adapun secara
terminologis, uslub al-Qur’an atau gaya bahasa al-Qur’an berarti metode yang digunakan al-
Qur’an dalam menyusun ujaran-ujaran serta memilih kosa kata yang digunakannya.2
Menurut Wahbah al-Zuhaili yang dikutip Ahmad Muzakki dalam bukunya Stilistika
al-Qur’an, ia berpendapat bahwa karakteristik uslub al-Qur’an di antaranya adalah susunan
kalimat yang indah, berirama dan bersajak yang mengagumkan sehingga dapat dibedakan
dengan ungkapan-ungkapan lainnya, baik dalam bentuk syair, prosa, maupun pidato dengan
pemilihan lafal, struktur, dan ungkapannya yang indah. Kelembutan suara dalam menyusun
huruf, dan kesesuaian lafal dan makna. 3 Para ahli bahasa berbeda-beda dalam mendefinisikan
uslub, akan tetapi semua itu masih tetap dalam jalur yang satu bahwa uslub adalah sebuah
susunan kalimat yang memiliki keindahan sastra.
1
M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an: Di Tinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan
Ghaib, (Bandung: Mizan, 2006), h. 112
2
Abd. Rahman, Komunikasi dalam al-Qur’an, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h. 89
3
Ahmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an: Gaya Bahasa al-Qur’an dalam Konteks Komunikasi, (Malang: UIN
Malang Press, 2009), h. 38
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan muqabalah?
2. Bagaimana bentuk-bentuk muqabalah?
3. Bagaimana contoh muqabalah dalam ayat al-qur'an?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari muqabalah
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk muqabalah
3. Untuk mengetahui contoh muqabalah dalam ayat al-qur'an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Muqabalah
Secara etimologi, muqabalah berasal dari kata قبال- يقبل- قبلatas wazan - يفعلفعال- فعل
merupakan bentuk dari thulasi mujarrad yang berarti menerima atau mengambil. Adapun
kata مقابلةmerupakan bentuk masdar dari kata يقابل- قابلdengan tambahan alif atas wazan
يفاعل-لJJJ فاعyang arti dasarnya adalah القىyang berarti menjumpai, atau bermakna
berhadapan. Sedangkan مقابلةsecara isim masdar bermakna المالقاةyang berarti sesuatu yang
berhadapan dan المعارضةyang berarti perbandingan.4
Adapun secara terminologi menurut Imil Badi’ Ya’qub dan Misyal ‘Asyi dalam kitab
al-Mu’jam al-Mufassal fi al-Lughah wa al-Adab memberikan definisi bahwa muqabalah
merupakan bagian dalam Ilmu Badi’ yaitu mendatangkan dua makna yang bersesuaian
5
kemudian didatangkan kata yang berlawanan dengannya sesuai dengan urutan.
Seperti dalam syair:
ما أحسن الدين والدنيا إذا اجتمعا و أقبح الكفر واإلفالس في الرجل
“Indahnya agama dan dunia bila keduanya terpadu. Alangkah buruknya kekufuran dan
kemiskinan bila ada pada diri seseorang.”6
Pada syā’ir di atas, dapat dilihat bahwa kata أقبحberlawanan dengan kata أحسن, kata
الفقرberlawanan dengan kata الدين, sedangkan kata اإلفالسberlawanan dengan kata الدنيا.
Muqabalah merupakan salah satu bentuk keindahan al-Qur’an dari segi makna. 7
Muqabalah tidak sama dengan antonim. Akan tetapi, muqabalah menyejajarkan dua kata
terlebih dahulu kemudian mendatangkan makna yang berlawanan. Sebagai contoh :
ٰۤ
َ ب َويَ ْر ُج ْونَ َر ْح َمت َٗه َويَ َخافُ ْونَ َع َذابَ ٗۗه اِنَّ َع َذ
َاب َربِّكَ َكان ِ َك الَّ ِذيْنَ يَ ْدع ُْونَ يَ ْبتَ ُغ ْونَ اِ ٰلى َربِّ ِه ُم ا ْل َوuِول ِٕٕى
ُ س ْيلَةَ اَيُّ ُه ْم اَ ْق َر ُا
)٥٧ ( َم ْح ُذ ْو ًرا
4
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Maktabah al-Syarqiyyah, 2007), h. 606
5
Mil Badi’ Ya’qub dan Misyal ‘Ashi, al-Mu’jam al- fi al-Lughah wa al-Adab, (Beirut: Dār al-‘Ilm li al-
Malayin), h. 1181
6
Imil Badi’ Ya’qub dan Misyal ‘Ashi, al-Mu’jam al-mufassal..., h. 1181
7
Jalal al-Din al-Suyuti, Mu’taraq al-Aqran fi I’jaz al-Qur’an, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988),
Jilid I, h. 315
“ Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan
mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan
rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu
yang (harus) ditakuti.” (QS. al-Isra’/17: 57) “
Kata yarjuna (mengharap) dan kata rahmatuhu (rahmat) adalah dua kata yang
memiliki makna berdekatan,8 kemudian disejajarkan dengan dua kata yang berlawanan, yaitu
kata yakhafuna (takut) dan kata ʻadzabahu (siksa) yang juga memiliki kata berdekatan.
Penggunaan ayat al-Qur’an yang menggunakan uslub muqabalah banyak dijumpai pada
surah-surah pendek. Hal ini dikarenakan surah-surah tersebut umumnya menceritakan
tentang bagaimana Allah mengistimewakan orang-orang yang beriman dan menghinakan
orang-orang yang durhaka kepada-Nya.
B. Bentuk-bentuk Muqabalah
Secara garis besar, ulama balaghah berbeda-beda dalam membagi bentuk-bentuk
muqabalah. Sebagian ulama mengklasifikasikan muqabalah berdasarkan jumlah susunan
kata. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling masyhur di kalangan ulama balaghah.
Ada pula sebagian ulama yang mengategorikan muqabalah berdasarkan bentuk kata, seperti
yang dilakukan oleh Imam Jalaluddin al-Suyuti dan Imam Al-Zarkasyi.
Berdasarkan jumlah susunan kata, muqabalah terbagi ke dalam lima bentuk, yaitu
muqabalah itsna bi itsna, muqabalah tsalatsah bi tsalatsah, muqabalah arba’ah bi arba’ah,
muqabalah khamsah bi khamsah, dan muqabalah sittah bi sittah. Muqabalah dalam bentuk ini
banyak dipaparkan oleh ulama-ulama balaghah dalam karya mereka, seperti Ahmad al-
Hisyami dalam karyanya Jawahir al-Balaghah dan Ahmad Matlub dalam karyanya Funun al-
Balaghiyah. Akan tetapi ada juga ulama balaghah yang membagi muqabalah ini tidak hanya
sampai muqabalah sittah bi sittah. Seperti yang dilakukan oleh Muhammad al-Zarkasyi dan
Jalal al-Din al-Suyuti yang membagi muqabalah lebih dari enam paduan kata yang sepadan
dan saling berlawanan.
8
Ahmad Muzakki, Bahasa dan Sastra dalam al-Qur’an, (Malang: UIN-Malang Press, 2006), h. 101
Berdasarkan sifatnya, muqabalah terbagi kepada tiga9 bentuk yaitu, naqidhi, naziri,
dan khilafi. Adapun muqabalah khilafi merupakan muqabalah yang paling sempurna,
sehingga untuk mengetahuinya diperlukan pentakwilan. Sedangkan muqabalah naqidhi
merupakan muqabalah pada tingkatan kedua, dan muqabalah naziri pada tingkatan ketiga.
Muqabalah al-naqidhi adalah muqabalah yang bentuk kalimatnya merupakan suatu padanan
kata10. Maksudnya yaitu menghadapkan antara dua kata yang berbeda, akan tetapi merupakan
satu kategori atau tergolong ke dalam suatu sifat yang sama.
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus
menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa
yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya,
…”(QS. Al-Baqarah/2: 255)
Pada ayat ( التأخذه سنة وال نومtidak mengantuk dan tidak tidur), terjadi padanan kata
antara ( سنةngantuk dan ( نومtidur). Kedua kata tersebut tidak berlawanan, tetapi sepadan
karena ngantuk dan tidur keduanya termasuk ke dalam kategori tidur. Dengan demikian,
muqabalah bentuk ini tidak memuat kata-kata yang berlawanan, akan tetapi hanya berupa
padanan kata yang sejajar.
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan Kami balikbalikkan
mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka
9
Muhammad al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr), juz 3, h. 515
10
Jalal al-Din al-Suyuti, Mu’taraq al-Aqran..., h. 317
11
Muhammad al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, h. 516
pintu gua dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka
dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap
mereka.”(QS. Al-Kahfi/18: 18)
Pada ayat ( وتحسبهم ايقاظا وهم رقودdan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka
tidur), terjadi antonim antara ( ايقاظاbangun) dan ( رقودtidur). Hal ini dikarenakan bangun
adalah lawan kata dari tidur.
Adapun muqabalah khilafi adalah muqabalah yang bentuk kata berbeda dengan
bentuk awalnya. Maksudnya, kalimat kedua yang kedudukannya sebagai lawan bagi kalimat
pertama bukan dalam bentuk kalimat pertama, akan tetapi datang dalam bentuk lain yang
jenisnya hampir sama dengan kalimat kedua. Ulama balaghah mengatakan bahwa muqabalah
jenis ini merupakan muqabalah yang uslub keindahannya tertinggi dibandingkan dengan
muqabalah jenis lainnya.12
“Dan sesungguhnya Kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah
keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki
kebaikan bagi mereka.”(QS. Al-Jin/72: 10)
Imam al-Zarkasyi menjelaskan bahwa pada ayat ini Allah menghadapkan antara kata
( شرkeburukan) dengan ( رشداhidayah). Padahal keduanya merupakan dua hal yang berbeda.
Lawan dari kata hidayah adalah kesesatan dan lawan dari kebaikan adalah keburukan. Akan
tetapi dipasangkan kata keburukan dengan hidayah karena di dalam kata hidayah terhimpun
kata kebaikan yang menjadi lawan dari kejahatan. Dengan demikian, dipadankan kata شر
dengan kata رشدا, hal ini disebabkan kata رشدmengandung lawan kata yang masih sejenis
dengan kata شر.
QS Al-A'raf ayat 57
12
Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, 560
Yang jadi contoh Muqabalah dalam ayat ini adalah kalimat yuhillu lahum at-thayyibaat
(Menghalalkan bagi mereka segala yang baik) disandingkan dengan lawan maknanya secara
tertib yaitu kalimat yuharrimu ‘alaihim al-khabaaits (mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk).
QS Al-Hadid ayat 13
“Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada azab
Yang jadi contoh Muqabalah dalam ayat ini adalah kalimat baathinuhu fiih ar-rahmah
(Di sebelah dalamnya ada rahmat) disandingkan dengan lawan maknanya secara tertib yaitu
kalimat dzoohiruhu min qibalihi al-‘adzab (di sebelah luarnya dari situ ada azab).
QS Al-Hadid ayat 23
“Supaya kamu tidak berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu
jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu (QS. Al-Hadid: 23)”.
Yang jadi contoh Muqabalah dalam ayat ini adalah kalimat laa ta’sau ‘alaa maa
faatakum (tidak berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu) disandingkan dengan lawan
maknanya secara tertib yaitu kalimat laa tafrohuu bimaa aataakum (jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu).
QS Al-An'am ayat 125
ضيِّقًـا َح َر ًجـا
َ ُصـ ْد َره ِ َو َمنْ يُّـ ِر ْد أَنْ ُّي،سـاَل ِم
َ ضلَّـهُ يَ ْج َعـ ْل َ فَـ َمنْ يُّـ ِر ِد هللاُ أَنْ يَ ْه ِديَـهُ يَشْـ َر ْح.
ْ ص ْد َرهُ لِ ِإل
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia
melapangkan dadanya untuk menerima Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah
kesesatannya, niscaya Dia menjadikan dadanya sesak lagi sempit (QS. Al-An’am: 125)”.
Yang jadi contoh Muqabalah dalam ayat ini adalah kalimat man yuridillahu an
yahdiyahu yasyrah shadrahuu li al-islaam (Barang siapa yang Allah menghendaki akan
memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk menerima Islam)
disandingkan dengan lawan maknanya secara tertib yaitu kalimat man yurid an yudillahu
yaj’al shadrahuu dhayyiqan harojaa (barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya,
niscaya Dia menjadikan dadanya sesak lagi sempit).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam suatu perintah, Allah sering mengaitkan antara orang-orang yang mengerjakan
suatu perintah dengan orang-orang yang tidak mengerjakannya, antara orang-orang yang taat
dengan orang-orang yang durhaka, dan antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang
yang kafir. Hal ini memberikan sebuah kesan dan keunikan tersendiri bagi orang-orang yang
berusaha mentadabburi al-Qur’an.
B. Saran
Kita sebagai pelajar mahasiswa islam, hendaknya memahami hal-hal yang berkenaan
dengan ilmu balgha,seperti contohnya pada materi yang kita bahas ini. Karena materi ini
merupakan salah satu cabang dari ilmu balagha yang bisa membuat kita tahu susunan gaya
bahasa al-qur’an dan keindahan uslubnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Muzakki. Stilistika al-Qur’an: Gaya Bahasa al-Qur’an alldalamKonteks Komunikasi.
Cet. 1. Malang: UIN-Malang Press. 2009
Amatullah Amstrong. Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Terj.
Nashrullah dan Ahmad Baiquni. Cet. III. Bandung: Mizan. 2000
Amir al-Najjar. Ilmu Jiwa dalam Tasawuf; Studi Komperatif dengan Ilmu Jiwa
Kontemporer. Terj. Hasan Abrori. Cet. II. Jakarta: Pustaka Azzam. 2001
Fakhruddin al-Razi. Mafatih al-Gha’ib. Juz. 30. Beirut: Dar al-Fikr, 1981
Ibnu Hajar al-Asqalani. Fathul Bari. Terj. Gazirah Abdi Ummah. Jakarta: Pustaka Azzam.
2002
Imam al-Ghazali. Mutiara Ihya ‘Ulumuddin. Terj. Irwan Kurniawan. Cet. XVI. Bandung: PT
Mizan Pustaka. 2004