Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

BADAN WAKAF INDONESIA (BWI)


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Wakaf
Dosen Pengampu:
Drs. H. Syamsul Falah, M.Ag. & Dr. H. Ali Khosim, S.H.I., M.Ag.

Disusun oleh :
Laras lestari : 1203010072
Rivan maulana : 1203010025
Syahril fadly : 1203010074

JURUSAN HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2022
KATA PENGENTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami,sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini sesuai dengan
waktu yang ditentukan. Tanpa adanya Berkat dan Rahmat Allah SWT, tidak mungkin rasanya
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.Terlebih kami ingin mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang mendukung dan membantu kami untuk menyelesaikan
makalah tugas kelompok yang berjudul “BADAN WAKAF DI INDONESIA (BWI)” yang di
ampu oleh bapak Drs. H. Syamsul Falah, M.Ag. dan Dr. H. Ali Khosim, S.H.I., M.Ag.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah tugas kelompok pada mata kuliah Hukum
Wakaf program studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karna itu kritik dan saran yang
membangun di butuhkan demi kesempurnaan makalah ini. tidak lupa kami ucapkan terimakasih
kepada semua belah pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
Besar harapan semoga tulisan sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi semua
pembaca. Khususnya bagi kami selaku penulis dan umumnya bagi mahasiswa-mahasiswi untuk
menambah pengetahuan.

Penulis

Bandung, November 2022

i
DAFTAR ISI
KATA PENGENTAR..................................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................................2
A. Latar Belakang..............................................................................................................................2
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................3
1. Mengapa harus ada badan wakaf di indonesia?...........................................................................3
2. Lembaga apa saja yang mengelola badan wakaf di indonesia?....................................................3
3. Bagaimana peran badan wakaf di indonesia?...............................................................................3
C. Tujuan Masalah.............................................................................................................................3
1. Untuk mengetahui adanya badan wakaf di indonesia..................................................................3
2. Untuk mengetahui lembaga apa saja yang mengelola badan wakaf di indonesia.........................3
3. Untuk mengetahui bagaimana peran badan wakaf di indonesia...................................................3
BAB II.........................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................4
A. BADAN WAKAF DI INDONESIA..............................................................................................4
B. LEMBAGA WAKAF DI INDONESIA........................................................................................6
C. PERAN BADAN WAKAF DI INDONESIA................................................................................6
BAB III......................................................................................................................................................10
PENUTUP.................................................................................................................................................10
A. Kesimpulan..................................................................................................................................10
B. Kritik dan Saran..........................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia peraturan mengenai wakaf selama ini tertuang dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Peraturan Pemerintah No.
28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Selain itu, juga tertuang dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI), berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Terakhir, lahirnya
Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 159; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4459, selanjutnya
dalam disertasi ini akan disingkat menjadi UU wakaf ) dan Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 41 tahun 2004 Tentang Wakaf (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 105; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 4667). Dalam Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum
wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadat dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.Pada Pasal 16 Undang-undang
No. 41 Tahun 2004 telah adanya objek wakaf baru berupa benda bergerak dan juga benda tetap.
Dengan diakomodirnya benda bergerak sebagai objek wakaf dalam UU ini meberi
peluang agar harta wakaf tersebut dikembangkan secara produktif. Hal ini sangat memungkinkan
agar pengelolanya atau nazhir bersikap profesional untuk menginvestasikan dana wakaf berupa
uang tersebut pada bidang-bidang usaha yang berkembang seperti perkebunan, pertanian dan
bisa juga menginvestasikan pada bidang pertambangan.Wakaf merupakan bentuk Filantropy
Islam (Islamic Philanthrophy)yang perlu diberdayakan untuk kepentingan umat.
Dalam sejarah perkembangan Islam, wakaf berperan penting dalam mendukung pendirian
mesjid, pesantren, majlis taklim, sekolah, rumah sakit, panti asuhan, lembaga pendidikan serta
lembaga sosial Islam lainnya. Harta benda yang diwakafkan dapat berupa tanah ataupun benda
milik lainnya. Juhaya S. Praja menjelaskan bahwa benda yang dapat diwakafkan bukan hanya
tanah milik, melainkan juga dapat berupa benda milik lainnya, benda tetap yang disebut al-‘aqr
atau benda bergerak yang disebut al-musya’.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa wakaf merupakan sumber daya ekonomi yang
dapat dikembangkan untuk meningkatkan kegiatan-kegiatan ekonomi, disamping kegiatan-
kegiatan yang bersifat keagamaan dan sosial. Artinya pemanfaatan wakaf tidak hanya sebatas
untuk kegiatan sosial belaka, namun juga hendaknya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan
ekonomi yang bersifat makro, seperti pertanian, perikanan, peternakan, industri, pertambangan,
dan lainnya. Tanahnya tetap saja merupakan tanah wakaf, namun hasil dari tanah wakaf tersebut
dapat dimanfaatkan.
Dalam hal ini untuk memahami lebih dalam, maka kelompok kami akan membahas
badan wakaf di indonesia, kemudian lembaga wakaf yang ada di indonesia, dan peran badan
wakaf di indonesia

1
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa harus ada badan wakaf di indonesia?
2. Lembaga apa saja yang mengelola badan wakaf di indonesia?
3. Bagaimana peran badan wakaf di indonesia?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui adanya badan wakaf di indonesia
2. Untuk mengetahui lembaga apa saja yang mengelola badan wakaf di indonesia
3. Untuk mengetahui bagaimana peran badan wakaf di indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. BADAN WAKAF DI INDONESIA

Sebagai bentuk nyata pengembangan paradigma wakaf baru, UU Wakaf menekankan


pentingnya suatu lembaga nasional yang secara khusus bertanggung jawab melakukan
pembinaan, pengelolaan, dan pengawasan, yaitu Badan Wakaf Indonesia (BWI), yang
dapat bertindak sebagai nazhir yakni mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.
BWI merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugasnya,yang berkedudukan
di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di
provinsi atau kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan.BWI mempunyai tugas dan
kewenangan:
1. Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta
benda wakaf;
2. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan
internasional;
3. Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta
benda wakaf;
4. Memberhentikan dan mengganti nazhir;
5. Memberikan persetujuan atas pertukaran harta benda wakaf;
6. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintahan dalam penyusunan
kebijakan dibidang perwakafan

Dalam melaksanakan tugas tersebut diatas BWI dapat melakukan kerjasama dengan
instansi Pemerintahan baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli,
badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.Terkait dengan tugas dalam
membina nazhir, maka BWI dan Kementrian dapat pembinaan, dalam bentuk:
1. Penyiapan sarana dan prasarana penunjang operasional nazhir wakaf baik
perorangan, organisasi, dan badan hukum;
2. Penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas, pengkoordinasian,
pemberdayaan, dan pengembangan terhadap harta benda wakaf;
3. Penyediaan fasilitas proses sertifikasi wakaf;
4. Penyiapan dang pengadaan blangko-blangko Akte Ikrar Wakaf (AIW), baik wakaf
benda tidak bergerak dan/atau benda bergerak;
5. Penyiapan penyuluhan penerangan didaerah untuk melakukan pembinaan dan
pengembangan wakaf kepada nazhir sesuai dengan lingkupnya; dan
6. Pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam dan luar negeri dalam
pengembangan dan pemberdayaan wakaf.
Tugas BWI sebagai badan yang mengorganisir lembaga kenazhiran, menempati posisi
sebagai motivator, fasilitator, regulator, koordinator, dan edukasi. Dijelaskan lebih lanjut, (1)
Fungsi motivator, BWI mempunyai tugas sebagai lembaga yang memberikan rangsangan atau
stimulasi terhadap lembaga nazhir yang ada agar memaksimalkan fungsi pengelolaan secara
profesional dalam rangka kesejahteraan masyarakat banyak; (2) Fungsi fasilitator, BWI
memberikan fasilitas-fasilitas yang memungkinkan terhadap para nazhir, baik yang bersifat fisik
maupun non fisik dalam mengoptimalkan peran pengelolaan, pengembangan pelaporan, dan
pengawasan kelembagaan; (3) Fungsi regulasi, BWI menjadi pihak yang membantu memantau
seluruh kebijakan dan peraturan perundang-undangan perwakafan yang dianggap tidak relefan
dengan perkembangan kekinian untuk kemudian menyusun dan/atau mengusulkan perubahan
kebijakan bersama pihak-pihak lain, baik bersifat internal maupun eksternal; (4) Fungsi
koordinasi, BWI menjadi lembaga yang mengkoordinir seluruh arah kebijakan kenazhiran di
Indonesia dalam menjalankan program-program yang bersifat nasional; (5) Fungsi edukasi, BWI
mempunyai tugas pemberdayaan secara nasional dalam memasyarakatkan dunia perwakafan
ditengah-tengah masyarakat melalui jalur pendidikan, baik formal maupun informal, seperti:
seminar, pelatihan kenazhiran, work shop perwakafan, dan kegiatan-kegiatan lain yang relevan
terhadap peningkatan pemahaman masyarakat tentang perwakafan.Tugas-tugas diatas tentu tak
mudah diwujudkan. Jadi, dibutuhkan profesionalisme, perencanaan yang matang keseriusan,
kerjasama, dan tentu saja amanah dalam mengemban tanggung jawab. Untuk itu, BWI
merancang visi dan misi, serta strategi implementasi. Visi BWI adalah “Terwujudnya lembaga
independen yang dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas untuk
mengembangkan perwakafan nasional dan internasional”. Sedangkan misinya yaitu “Menjadikan
Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga profesional yang mampu mewujudkan potensi dan
manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan pemberdayaan
masyarakat”.Strategi BWI telah membuat peraturan dan kebijakan di bidang perwakafan guna
untuk meningkatkan tugasnya, yaitu:
1) Peraturan BWI Nomor 1 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja BWI;
2) Peraturan BWI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Penyusunan Rekomendasi
Terhadap Permohonan Penukaran/Perubahan Status Harta Benda Wakaf;
3) Peraturan BWI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan
Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang;
4) Peraturan BWI Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pedoman Penerimaan Wakaf Uang Bagi
Nadzir BWI;
5) Peraturan BWI Nomor 2 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Nadzir Wakaf
Uang;
6) Peraturan BWI Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan
Harta Benda Wakaf.
Pengawasan terhadap perwakafan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik aktif maupun
pasif. Pengawasan aktif dilakukan dengan melakukan pemeriksaan langsung terhadap nazhir atas
pengelolaan wakaf, sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Pengawasan pasif dilakukan
dengan melakukan pengamatan atas berbagai laporan yang disampaikan nazhir yang berkaitan
dengan pengelolaan wakaf. Pengawasan BWI dilakukan lebih ditujukan kepada aspek

4
transparansi serta tata kelola wakaf yang profesional guna meningkatkan public trust pada
institusi wakaf nasional sehingga masyarakat tertarik untuk mendukung program dan agenda
yang ditawarkan oleh BWI.
B. LEMBAGA WAKAF DI INDONESIA
Lembaga wakaf sebagai pranata sosial yang telah berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman. Perkembangan sejarah fikih wakaf telah berlangsung sejalan
dengan tuntutan kebutuhan masyarakat yang menyangkut segala aspek kehidupan. Wakaf
telah ber-transformasi menjadi suatu lembaga keagamaan yang berpotensi melakukan
perubahan dalam bidang kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat.
Wakaf yang ajarkan oleh Islam mempunyai sandaran ideologis yang amat kental dan
kuat sebagai kelanjutan ajaran tauhid, yaitu segala sesuatu yang berpuncak pada
keyakinan terhadap keesaan Tuhan yang berbarengan dengan kesadaran akan perwujudan
keadilan sosial. Islam mengajarkan kepada umatnya agar meletakkan persoalan harta
(kekayaan dunia) dalam tujuan yang relatif, yaitu harta yang dimiliki seseorang atau
sebuah lembaga harus mempunyai kandungan nilai-nilai sosial (humanistik). Sehingga
pemahaman Islam terhadap wakaf yang berpijak pada pemahaman atas prinsip secara
sosial harta kekayaan. Islam berpedoman bahwa segala kepemilikan termasuk harta,
adalah milik Allah. Dia mengamanatkan kepada manusia untuk mengelola hartanya dan
mengeluarkannya sebagai infak sesuai yang digariskan agama. Menurut Imam Suhadi,
bahwa pemilikan dalam Islam itu harus disertai tanggung jawab moral Artinya, segala
sesuatu (harta benda) yang selama ini dimiliki secara moral. harus diyakini secara
ideologi bahwa ada sebagian darinya menjadi hak bagi pihak lain, yaitu untuk
kesejahteraan sesama, seperti fakir miskin atau didermakan ke lembaga-lembaga sosial,
lembaga kemanusiaan, atau lembaga pemberdayaan lainnya. Institusi perwakafan
mempunyai asas keseimbangan atau keseluruhan dalam hidup. Asas keseimbangan dalam
kehidupan atau keselarasan dalam hidup merupakan asas hukum yang universal. Asas
tersebut diambil dari maksud tujuan perwakafan ialah ibadah atau pengabdian kepada
Allah swt, merupakan keseimbangan antara manusia (makhluk) dengan Khaliq
(pencipta), keseimbangan tersebut akan menimbulkan keserasian dirinya dengan hati
nuraninya dan mewujudkan ketentraman dan ketertiban dalam hidup. Sebagai salah satu
lembaga Islam yang bersifat sosial kemasyarakatan, dalam wakaf terkandung nilai ibadah
dalam arti sebagai sarana untuk mendekatkan diri dan pengabdian kepada Allah swt, akan
tetapi juga tidak diragukan bahwa wakaf termasuk bidang muamalah. Wakaf
merupakanibadah kebendaan (maliyah), terletak pada wilayah ijtihad khususnya yang
berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukkan, dan lain-lain.
C. PERAN BADAN WAKAF DI INDONESIA
1. Peran Badan Wakaf Indonesia sebagai Regulator dan Operator
Dualisme peran memang kerap terjadi pada lembaga negara seperti KPK, BUMN,
Ombudsman, dan lain sebagainya. Namun, dualisme peran pada BWI menimbulkan
masalah pada pengelolaan wakaf. Permasalahan dan kendala internal maupun eksternal
terus menjadi tantangan dalam memajukan sistemperwakafan di Indonesia.
Permasalahan-permasalahan seperti keterbatasan dana yang dimiliki BWI, kurangnya
pembinaan dan pengawasan terhadap Nazhir, hingga tidak adanya database wakaf yang
akurat dalam pengembangan wakaf menjadi permasalahan yang tak kunjung usai.
Tentunya, masalah-masalah tersebut tidak bisa dilepaskan dari peranan BWI selaku
badan khusus yang dibentuk untuk pengembangan wakaf nasional. Jika melihat Badan
Wakaf Indonesia yang berperan sebagai regulator dan operator sebagaimana tercantum
dalam pasal 49 UU Wakaf ternyata menimbulkan masalah tersendiri. Penggabungan dua
peran tersebut dalam satu lembaga bernama BWI tentunya membuat BWI tidak efisien
dalam pengembangan wakaf yang begitu besar di Indonesia ini. BWI tidak akan
maksimal untuk menjalankan peran dengan beban kerja yang begitu
banyak.Penggabungan dua peran dalam satu lembaga bernama BWI ini akan
menimbulkan Conflict of Interest dan tumpang tindih kewenangan, dimana BWI sebagai
operator atau pengelola juga diharuskan untuk membuat regulasi yang mengatur
pengelolaan wakaf sehingga independensi dari pembuatan kebijakan pengelolaan wakaf
ini akan terganggu dengan peran kenazhiran dari BWI. Adanya Conflict of Interest ini
dapat mendorong terjadinya pelanggaran bahkan korupsi karena akan cenderung lebih
memikirkan kepentingan kelompok dibanding kepentingan bersama. Dualisme peran juga
dapat menyebabkan BWI tidak fokus untuk menjalankan tugasnya apakah sebagai
operator yang mengelola dan mengembangkan wakaf atau sebagai regulator yang
membuat aturan, membina dan mengawasi para Nazhir. Terlebih, BWI sendiri juga
merupakan Nazhirsehingga menjadi sebuah pertanyaan siapakah yang akan memberikan
pembinaan dan pengawasan atas pengelolaan wakaf kepada BWI selaku Nazhir.Selain
itu, adanya dualisme peran dalam tubuh BWI ini juga dapat mengakibatkan tidak
terurusnya Nazhir lain di luar BWI sehingga dapat melemahkan dan membuat
pengembangan wakaf nasional tidak maksimal. Tentu dalam mengelola wakaf, BWI
ingin melakukan yang terbaik dengan segala upayanya. Namun perlu diperhatikan bahwa
BWI disini juga sebagai regulator yang melakukan pembinaan. Sehingga jika BWI
sebagai Nazhir disibukkan untuk mengelola wakaf, maka pembinaan kepada Nazhir
lainnya dalam rangka menjalankan peran regulator akan dikesampingkan dan membuat
tidak terurusnya Nazhir di luar BWI. Begitupun sebaliknya, jika BWI selaku regulator
memberikan pembinaan dan pengawasan dengan maksimal kepada Nazhir lain, maka
dapat saja peran sebagai operator dalam mengelola wakaf akan terabaikan.
2. Reformasi Peran Badan Wakaf Indonesia
Melihatnya banyaknya permasalahan yang timbul akibat dualisme peran BWI dalam
menjalankan tugasnya, maka dirasa perlu dilakukan reformasi peran BWI dalam rangka
efektivitasi dan optimalisasi perwakafan nasional. Perlu diingat bahwa tujuan
dibentuknya BWI ini adalah untuk mengembangkan perwakafan nasional. Tentu jika
BWI sebagai lembaga utama dalam ekosistem perwakafan nasional memiliki
permasalahan di dalamnya, juga akan turut mempengaruhi ekosistem perwakafan secara
keseluruhan sehingga haruslah segera diperbaiki. Dengan memperbaiki permasalahan
yang ada dalam tubuh BWI, juga akan memperbaiki ekosistem wakaf nasional yang ada.

6
Pemisahan peran BWI sehingga hanya fokus pada satu peran saja dapat menjadi
salah satu solusi dari masalah dualisme peran BWI. Tentunya dalam pemisahan peran
BWI ini terdapat dua kemungkinan yang dapat ditempuh, yaitu menjadikan BWI sebagai
lembaga yang hanya fokus berperan sebagai operator atau dapat juga menjadikan BWI
sebagai lembaga yang fokus berperan sebagai regulator. Kedua kemungkinan itu dapat
saja terjadi hingga harus diambil jalan yang paling baik sehingga dapat mengoptimalisasi
pengembangan perwakafan nasional. Dalam menentukan peran terbaik yang dapat
diambil tentunya perlu melihat dan mempertimbangkan berbagai aspek pula.
Opsi pertama yaitu menjadikan BWI sebagai operator yang mengakibatkan
hilangnya peran BWI sebagai regulator. Dalam opsi ini, peran regulator diberikan
seluruhnya pada Kementerian Agama dalam melakukan pembinaan, persetujuan,
pemberhentian Nazhir hingga membuat aturan terkait perwakafan nasional.
Jika melihat pada prinsipnya, BWI ini merupakan lembaga independen
sebagaimana diatur dalam UU Wakaf. Adanya lembaga independen di Indonesiatermasuk
BWI, dilatarbelakangi karena ketidakpercayaan, ketidakmampuan ataupun kekosongan
fungsi lembaga dalam mengurus suatu persoalan. Jika dirasa suatu persoalan tersebut
telah dapat dikelola dengan baik, maka tidak perlu lagi adanya lembaga independen.
Lembaga independen yang dibentuk dengan latar belakang dan alasan pembentukan yang
lemah justru dapat menimbulkan permasalahan baru. Awalnya, lembaga independen
ditujukan untuk melakukan efisiensi. Namun karena latar belakang dan alasan yang
kurang kuat yang ada justru sebaliknya, yaitu terjadinya inefisiensi karena menambah
beban pembiayaan negara ditambah dengan adanya “persaingan” dengan institusi lain.
Melihat pada opsi kedua, yaitu menjadikan BWI sebagai lembaga independen
yang fokus berperan sebagai regulator juga perlu dipertimbangkan dari berbagai sisi. Opsi
kedua ini menjadikan BWI hanya berperan dalam melakukan pembinaan, persetujuan,
maupun pemberhentian Nazhir. Sementara peran operator dapat diserahkan kepada
Nazhir dari yayasan, organisasi masyarakat, atau perorangan. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwasanya masyarakat akan lebih percaya dengan Nazhir yang
berada di lingkungan sekitar yang lebih dekat dengannya. Tentunya yayasan, organisasi
masyarakat, maupun perseorangan sebagai Nazhir memiliki kedekatan yang intens
kepada masyarakat di daerahnya. Terlebih, pengelola wakaf baiknya berasal dari swasta
bukan lembaga negara ataupun dapat juga dari masyarakat dengan memanfaatkan potensi
lokal yang ada. Sementara lembaga negara dalam perwakafan hanyalah sebagai pembuat
aturan, pengawas, dan pembina lembaga pengelola wakaf yang telah ada.
Opsi kedua merupakan alternatif yang lebih memungkinkan untukditerapkan pada
saat ini. Hal tersebut mengingat sudah adanya banyak Nazhir dari yayasan,organisasi
masyarakat, hingga perseorangan yang dipercaya masyarakat sehingga BWI difokuskan
saja untuk melakukan pengawasan, pengembangan kompetensi dari Nazhir-Nazhir yang
telah ada dan pembuatan regulasi terkait. Dengan begitu, Nazhir lain tidak dirugikan
karena tetap dapat berjalan sebagaimana biasanya.
3. Wakaf sebagai Jalan Menuju Reforma Agraria
Dengan pelaksanaan kebijakan Reforma Agraria yang masih belum baik dalam
tataran pelaksananaan, Wakaf sebagai salah satu instrumen keagamaanyang dapat
dimanfaatkan menjadi upaya alternatif menuju Reforma Agraria yang diinginkan atau
yang dikenal dengan istilah Wakaf Agraria. Dalam Pasal 22 UU Wakaf pun dijelaskan
peruntukan wakaf bukan hanya berkelindan mengenai aspek keagamaan saja, namun
juga dapat diperuntukkan untuk kemajuan ekonomi ataupun kemajuan kesejahteraan
umum.Dalam mencapai wakaf yang bermanfaat di bidang agraria, tentunya harus
memiliki skema dan penataan yang baik sehingga dapat disosialisasikan kepada
masyarakat untuk meningkatkan pemahaman wakaf sebagai jalan menuju Reforma
Agraria ini. Setidaknya, harus terdapat skema dalam mewujudkan wakaf dalam rangka
Reforma Agraria, yaitu:
1) Memfokuskan penggunaan wakaf dalam rangka mengupayakanterciptanya Reforma
Agraria.
2) Wakaf tersebut dapat dimanfaatkan secara sosial-ekonomi.
3) Diperuntukkan bagi masyarakat sekitar khususnya yang sulit mendapat akses lahan.
4) Nazhir yang bertanggung jawab atas pengelolaan wakaf diserahkan kepada koperasi
petani.
Skema wakaf tersebut dapat dilakukan dengan baik seiring dengan adanya reformasi
peran Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang memfokuskan perannya hanya pada sektor
regulator. Dalam menjalankan skema ini, perlu dibentuk koperasi atau badan usaha
khusus petani yang nantinya peran Nazhir sebagai operator diberikan kepada koperasi
petani tersebut. Dengan demikian,pengelolaan wakaf akan dilakukan oleh koperasi petani
dan untuk dimanfaatkan oleh petani pula. Sementara itu, BWI sebagai lembaga regulator
berfokus untuk memberikan pendampingan dan pengawasan kepada Nazhir serta
melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait wakaf dalam rangka Reforma Agraria

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
UU Wakaf menekankan pentingnya suatu lembaga nasional yang secara khusus
bertanggung jawab melakukan pembinaan, pengelolaan, dan pengawasan, yaitu Badan
Wakaf Indonesia (BWI), yang dapat bertindak sebagai nazhir yakni mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf. BWI merupakan lembaga independen dalam
melaksanakan tugasnya,yang berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di provinsi atau kabupaten/kota sesuai
dengan kebutuhan.
Lembaga wakaf sebagai pranata sosial yang telah berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman. Perkembangan sejarah fikih wakaf telah berlangsung sejalan
dengan tuntutan kebutuhan masyarakat yang menyangkut segala aspek kehidupan.
Saat ini, peran Badan Wakaf Indonesia (BWI) dalam ekosistem nasional adalah
merangkap sebagai regulator dan sekaligus operator. Sebagai regulator, BWI berperan
melakukan pembuatan regulasi pendukung, pembinaan serta pengawasan terhadap
Nazhir. Sementara sebagai operator, BWI memiliki peran sebagai pengelola wakaf atau
yang biasa disebut Nazhir. Dualisme peran yang dimiliki BWI ini ternyata menimbulkan
permasalahan yang juga berakibat pada kurang optimalnya penyelenggaraan perwakafan
nasional. Terlebih, wakaf ini bukan hanya merupakan sarana ibadah, namun juga dapat
digunakan sebagai upaya menuju Reforma Agraria. Permasalahan dalam BWI ialah
ketidakfokusan BWI terhadap peran yang diberikan dan memungkinkan terjadinya
Conflict of Interest antara BWI sebagai Regulator maupun sebagai Operator.
Sebagai upaya upaya menghindari permasalahan tersebut, dapat dilakukan reformasi
peran dalam tubuh BWI itu sendiri. Reformasi yang dimaksud adalah dengan
memfokuskan BWI hanya sebagai lembaga yang memiliki peran regulator sehingga
mampu membuat regulasi perwakafan, pengawasan dan pembinaan Nazhir secara
maksimal tanpa ada konflik kepentingan didalamnya. Sementara peran operator
diserahkan sepenuhnya kepada yayasan, organisasi masyarakat, maupun masyarakat.
Dengan begitu, ekosistem perwakafan nasional dapat berjalan dengan lebih baik dan
independen. Reformasi peran BWI ini juga dapat mendorong dioptimalisasikannya wakaf
dalam rangka menuju Reforma Agraria.telah ber-transformasi menjadi suatu lembaga
keagamaan yang berpotensi melakukan perubahan dalam bidang kesejahteraan sosial
ekonomi masyarakat.
B. Kritik dan Saran
Kami sadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca semua demi
tercapainya kemaslahatan bersama.
Penulis memohon maaf dan berterima kasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk
kita semua. Aamiin ya Rabbal Aalamiin.

10
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kabisi dkk.. 2004. Hukum Wakaf. (Jakarta: Penerbit Ilman Press).
Hasanah, Uswatun. Peranan Badan Wakaf Indonesia dalam Pengembangan
Wakaf Uang di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Vol.42. No.2 (2012).
Abdul Halim, Op Cit., hlm. 44
Abdul Ghafur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Loc Cit
Mochtar Naim, dalam Abdul Halim, Op Cit., hlm. 4
Departemen Agama RI, 2005
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Jakarta, hlm. 8
Iman Suhadi, Loc Cit.
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Op Cit., hlm. 83
Munzir Qahar, Op Cit., hlm. 139
Jaid Mubarok, Op Cit., hlm. 38
Uswatun Hasanah, Op Cit., hlm. 4
Munzir Qahar, Op Cit., hlm. 138
Achmad Djunaidi, (Ketua), Op Cit., hlm. 27
Achmad Djamika, dalam Mohammad Daud Ali, Op Cit., hlm. 78
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Keempat, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hlm. 231
Ibid., hlm. 219
Pasal 49 UU Wakaf

Anda mungkin juga menyukai