Anda di halaman 1dari 20

KARTEL

Oleh:
Decequen Putri Setiadi
Kelas

PEMERINTAH PROVINSI
DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
SMA NEGERI
2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam
senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan Semoga kita termasuk
dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga
selesainya makalah ini. Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini
dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,
menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya dapat
memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya
kekurangan, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang
dipaparkan. Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki kami. Oleh
sebab itu, kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang
bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.

Jakarta, 17 Agustus 1945


Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kartel................................................................................... 3
B. Syarat Terbentuknya Kartel................................................................... 5
C. Karakteristik Kartel............................................................................... 6
D. Jenis-jenis Kartel................................................................................... 7
E. Bentuk-bentuk Kartel............................................................................. 8
F. Praktik Kartel di Indonesia.................................................................... 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................ 15
B. Saran...................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kartel merupakan perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan oleh
pelaku usaha dengan pesaingnya dengan tujuan untuk mendapat keuntungan
secara berlebihan. Menurut ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999, perjanjian tersebut dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat. Setidak-tidaknya ada tiga unsur yang harus dibuktikan oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait dengan pelanggaran Pasal 11.
Pertama adalah keberadaan perjanjian yang dilakukan oleh para pelaku
usaha tersebut berkolusi yang merupakan bukti utama atau direct evidence di
mana para pelaku usaha saling berkoordinasi untuk mempengaruhi pemasaran
barang dan/atau jasa. Kedua, konspirasi antara pelaku usaha untuk
mempengaruhi pemasaran produksi barang dan/atau jasa. Pada kondisi
normal, jika direct evidence diperoleh maka tidak akan sulit pembuktiannya.
Akan tetapi, menjadi sulit jika tidak ditemukan perjanjian ataupun dokumen
yang menunjukkan adanya kesepakatan yang dibuat oleh para pelaku usaha.
Kartel dapat menimbulkan dampak berupa terjadinya praktik monopoli
dan tercederainya persaingan usaha sehat. Dampak ini tentunya akan
merugikan konsumen, pemerintah, juga pelaku usaha sendiri. Ada beberapa
isu terkait kartel, antara lain sulitnya pembuktian tentang adanya perjanjian
kartel. Walaupun perilaku kartel sudah disinyalir keberadaannya, tetapi cukup
sulit bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk dapat
menemukan alat bukti adanya perjanjian kartel itu. Hal ini dikarenakan, pada
perkembangannya pelaku usaha dengan pesaingnya mengadakan kesepakatan
di antara mereka (cartellist) secara tidak tertulis, sehingga KPPU

1
2

mendapatkan kendala dalam menemukan alat bukti telah dilakukannya


perjanjian.
Isu lain adalah tentang penilaian terhadap kartel yang tidak semudah
kata-kata yang tertuang dalam ketentuan hukum yang mengaturnya. Di dalam
praktik, fakta yang secara normatif yuridis sudah termasuk kategori kartel
sering kali secara praktis ekonomis belum merupakan kartel. Begitu pun
sebaliknya, perilaku yang terkesan legal menurut hukum (de jure), ternyata
secara fakta (de facto) sudah merupakan perilaku kartel. Fenomena di atas
memerlukan pembahasan lebih lanjut, terutama terkait pembuktian unsur-
unsur kartel dalam rangka penegakan hukum kartel, penilaian terhadap
eksistensi kartel dalam praktik, sekaligus penilaian dampak kartel terhadap
saingan usaha.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kartel?
2. Bagaimana syarat terbentuknya kartel?
3. Apa saja karakteristik kartel?
4. Apa saja jenis-jenis kartel?
5. Bagaimana bentuk-bentuk kartel?
6. Bagaimana praktik kartel di Indonesia?
7. Apa contoh kasus-kasus kartel yang pernah terjadi di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kartel
Dalam kamus Oxford, kartel atau cartel didefinisikan, “Cartel is a
group of separate business firms wich work together to increase profits by not
competing with each other”. Artinya, kartel adalah sebuah kelompok (grup)
dari berbagai badan hukum usaha yang berlainan yang bekerja sama untuk
menaikkan keuntungan masing-masing tanpa melalui persaingan usaha dengan
pelaku usaha lainnya. Mereka adalah sekelompok produsen atau pemilik usaha
yang membuat kesepakatan untuk melakukan penetapan harga, pengaturan
distribusi dan wilayah distribusi, termasuk membatasi suplai.
Dalam buku Black's Law Dictionary (kamus hukum dasar yang
berlaku di Amerika Serikat), praktik kartel (cartel) didefinisikan, “A
combination of producer of any product joined together to control its
productions its productions, sale and price, so as to obtain a monopoly and
restrict competition in any particular industry or commodity”. Artinya, kartel
merupakan kombinasi di antara berbagai kalangan produsen yang bergabung
bersama-sama untuk mengendalikan produksinya, harga penjualan, setidaknya
mewujudkan perilaku monopoli, dan membatasi adanya persaingan di
berbagai kelompok industri. Dari definisi tersebut, praktik kartel bisa
dilakukan oleh kalangan produsen mana pun atau untuk produk apa pun, mulai
dari kebutuhan pokok (primer) hingga barang kebutuhan tersier.
Pengertian kartel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dituliskan
kartel memiliki dua ciri yang menyatu, yaitu:
1. Organisasi perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi barang-
barang sejenis.
2. Persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan harga
komoditi tertentu.
Poin penting dalam definisi tersebut, bahwa kelompok-kelompok di
dalam suatu kartel terdiri atas kumpulan perusahaan-perusahaan besar yang

3
4

menghasilkan barang-barang yang sejenis. Dijelaskan pula, tujuan utamanya


berfokus pada pengendalian harga, sehingga harga yang terbentuk adalah
bukan harga persaingan. Definisi ini telah menyentuh pada aspek perilaku
monopoli.
Samuelson dan Nordhaus (2001: 186) dalam buku “Economics”
menuliskan pengertian kartel, “Cartel is an organization of independent firms,
producing similar products, that work together to raise prices and restrict
outputs”. Artinya, kartel adalah sebuah organisasi yang terbentuk dari
sekumpulan perusahaan-perusahaan independen yang memproduksi produk-
produk sejenis, serta bekerja sama untuk menaikkan harga dan membatasi
output (produksi). Poin penting pada definisi tersebut terletak pada tujuannya,
yaitu menaikkan harga dan membatasi output.
Seorang pakar hukum legal dan ekonom, Richard Postner dalam
bukunya “Economic Analysis of Law” (2007: 279) menuliskan pengertian
kartel, “A contract among competing seller to fix the price of product they sell
(or, what is the small thing, to limit their out put) is likely any other contract
in the sense that the parties would not sign it unless they expected it to make
them all better off”. Artinya, kartel menyatakan suatu kontrak atau
kesepakatan persaingan di antara para penjual untuk mengatur harga penjualan
yang bisa diartikan sebagai menaikkan harga ataupun membatasi produknya
yang setidaknya mirip dengan kontrak pada umumnya di mana anggota-
anggotanya tidak menginginkannya, kecuali mereka mengharapkan sesuatu
yang lebih baik. Definisi kartel oleh Postner lebih menekankan pada aspek
moralitas di mana praktik kartel sesungguhnya bukan sesuatu yang diinginkan
oleh setiap anggotanya, kecuali mereka hendak mengharapkan bisa
mendapatkan sesuatu yang lebih dari kesepakatan (kontrak) tersebut.
Praktik kartel atau kartel disebutkan pula dalam Pasal 11, Undang-
Undang No 5 Tahun 1999 tentang Monopoli dan Persaingan Usaha yang
dituliskan, “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi
dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan
5

terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Praktik
kartel di Indonesia adalah suatu bentuk perbuatan atau tindakan yang
melanggar hukum, karena akan membentuk suatu perilaku monopoli ataupun
bentuk perilaku persaingan usaha yang tidak sehat.
Memahami kartel perlu pula memahami prinsip dasar atau pengertian
dasar dari perilaku monopoli. Pengertian monopoli dalam bukan lagi
menitikberatkan pada jumlah pelaku usaha atau produsen, melainkan pada
perilakunya untuk mengendalikan harga dan distribusi output atau kapasitas
output. Jadi bisa saja perilaku monopoli tadi ditemukan pada struktur
persaingan yang terdiri atas beberapa perusahaan, biasanya sekitar 2-5
perusahaan besar atau ditemukan pada struktur pasar persaingan oligopoli.
Pasar persaingan yang memiliki cukup besar konsumen, tetapi hanya memiliki
beberapa produsen akan cukup kuat mengindikasikan adanya praktik
monopoli. Munculnya praktik kartel ataupun trust tidak lain adalah untuk
mewujudkan kekuatan (perilaku) monopoli.

B. Syarat Terbentuknya Kartel


Praktik kartel biasanya diwujudkan ke dalam sebuah kongsi dagang
tertentu yang memiliki jenis badan hukum tertentu pula. Semacam
perserikatan ini pula memiliki aturan atau ketentuan yang disepakati oleh
anggota-anggotanya. Untuk bisa terjadi praktik kartel harus memiliki
perjanjian atau kolusi di antara pelaku usaha. Ada dua bentuk kolusi yang
mengindikasikan terjadinya praktik kartel, yaitu:
1. Kolusi Eksplisit
Para anggota-anggotanya mengkomunikasikan kesepakatan mereka
secara yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian, data
audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakan-kebijakan tertulis, data
penjualan, dan data lainnya. Bentuk kolusi eksplisit tidak selalu harus
diwujudkan dalam asosiasi kecil, komunitas terbatas, paguyuban, dan lain
sebagainya. Ini berbeda dengan trust, karena pada trust diwujudkan ke
6

dalam asosiasi atau organisasi yang memiliki badan hukum yang cukup
jelas.

2. Kolusi Diam-diam (Implisit)


Para pelaku atau anggota-anggotanya tidak berkomunikasi secara
langsung atau tidak melakukan pertemuan terbuka (diliput oleh media).
Tetapi mereka para anggota kartel melakukan pertemuan secara tertutup,
biasanya dilakukan secara rahasia. Mereka ini pun terkadang
menggunakan organisasi berupa asosiasi yang fungsinya sebagai kedok
atau kamuflase. Dalam asosiasi tercantum mendukung persaingan usaha
yang sehat, tetapi dibalik semua itu hanya sebagai pengalihan. Menurut
KPPU, jenis kartel dengan kolusi implisit ini lebih sulit untuk dideteksi.
Dari semua kasus kartel di dunia, sekitar 30% di antaranya melibatkan
asosiasi. Mengenai larangan melakukan perjanjian tertutup diatur dalam
Pasal 15, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Monopoli dan
Persaingan Usaha.

C. Karakteristik Kartel
Perlu digarisbawahi, bahwa tidak semuanya jenis kolusi bisnis selalu
berkonotasi negatif terhadap persaingan usaha. Terdapat pula kolusi yang
positif, seperti kolusi dalam menggalang dana bantuan untuk anak-anak
miskin, bencana alam dan sebagainya, atau bentuk kolusi yang sama sekali
tidak berkaitan dengan bisnis dan persaingan. Itu sebabnya, kartel secara
umum haruslah memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Terdapat konspirasi (persekongkolan) di antara pelaku usaha.
2. Melibatkan peran dari senior perusahaan atau jabatan eksekutif
perusahaan.
3. Biasanya menggunakan asosiasi untuk menutupi persekongkolan tadi.
4. Melakukan price fixing atau tindakan untuk melakukan penetapan harga,
termasuk pula penetapan kuota produksi.
7

5. Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota-anggotanya yang melanggar


kesepakatan atau perjanjian.
6. Adanya distribusi informasi ke seluruh anggota kartel. Informasi yang
dimaksudkan berupa laporan keuangan, laporan penjualan, ataupun
laporan produksi.
7. Adanya mekanisme kompensasi bagi mereka para anggota yang memiliki
produksi lebih besar atau melebihi kuota yang telah ditetapkan bersama.
Kompensasi tersebut dapat berupa uang, saham, pembagian bunga deviden
yang lebih besar, ataupun bentuk kemitraan lain.

D. Jenis-jenis Kartel
Setelah mengetahui dan memahami bentuk perilaku dan praktik kartel,
perlu diketahui pula jenis-jenis kartel. Dalam hal ini, praktik kartel dapat
diidentifikasi atau dideteksi berdasarkan jenis-jenisnya sebagai berikut.
1. Kartel Daerah
Cakupan kartel ini biasanya menggunakan indikator regional atau
wilayah. Ada beragam bentuk dan polanya. Misalnya, kartel yang
membagi wilayah pemasarannya berdasarkan regional tertentu. Perusahaan
A menguasai Pulau Jawa, kemudian perusahaan B menguasai wilayah di
Kalimantan dan Sulawesi atau mungkin dibagi berdasarkan distrik ataupun
provinsi. Perusahaan A boleh memasukkan produknya ke wilayah
perusahaan B, tetapi tidak boleh melakukan pemasaran dengan agresif
seperti melakukan promo khusus regional.
2. Kartel Produksi
Model kartel yang memiliki bentuk kesepakatan untuk menetapkan
kuota produksi bagi anggota-anggotanya.
3. Kartel Harga
Model kartel yang dilakukan dengan melakukan kesepakatan untuk
menetapkan harga (price fixing) untuk meniadakan persaingan harga.
Modus praktik atau polanya bisa bervariasi. Mereka bisa menetapkan
harga terendah, termasuk kesepakatan harga untuk musim penjualan
8

(banting harga). Antara kartel harga dan kartel produksi biasanya tidak
saling terpisahkan atau biasanya menjadi satu kesepakatan.
4. Kartel Kondisi
Kesepakatan atau perjanjian bisnis yang mereka lakukan melalui
praktik kartel berdasarkan kondisi tertentu dalam perjanjian bisnis.
Misalnya, pembuatan sistem administrasi (prosedur) dalam pengambilan
kredit kendaraan bermotor, penyusunan mekanisme dalam penjualan tunai,
prosedur dalam pemberian diskon (potongan harga), bonus, dan
sebagainya.
5. Kartel Pembagian Laba
Model kartel yang dalam perjanjiannya berorientasi untuk
melakukan kesepakatan atas pembagian laba. Biasanya, pembagian laba
diberikan ke pihak (anggota) sebagai bentuk kompensasi atas kesepakatan
yang telah mereka setujui. Tujuannya tidak lain untuk semakin
memperkuat loyalitas di antara para anggota pelaku kartel.
Dalam dunia nyata, praktik kartel biasanya tidak hanya terbatas
untuk satu jenis kartel seperti yang disebutkan di atas. Tidak jarang pelaku
kartel dengan asosiasinya justru menggunakan keseluruhan kesepakatan
dalam 5 jenis kartel. Tujuannya tidak lain untuk semakin mempersempit
adanya persaingan dan tentunya membatasi peluang masuknya pendatang
baru. Jika aturan atau kesepakatan kartel ingin dihormati atau dipatuhi
anggota-anggotanya, tentu mereka bukan semata melakukan praktik kartel
harga maupun produksi, tetapi akan melakukan pula praktik kartel
pembagian laba.

E. Bentuk-bentuk Kartel
Jenis perjanjian horizontal yang paling dianggap paling merugikan
atau bahkan dapat berakibat mematikan persaingan adalah kartel. Terdapat
banyak bentuk kartel yang memungkinkan usaha yang bersaing membatasi
persaingan melalui kontrak di antaranya yaitu:
1. Kartel Harga Pokok (prijskartel)
9

Di dalam kartel harga pokok, anggota-anggota menciptakan


peraturan di antara mereka untuk perhitungan kalkulasi harga pokok dan
besarnya laba. Pada kartel jenis ini ditetapkan harga penjualan bagi para
anggota kartel. Benih dari persaingan kerap kali juga datang dari
perhitungan laba yang akan diperoleh suatu badan usaha. Dengan
menyeragamkan tingginya laba, maka persaingan di antara mereka dapat
dihindarkan.
2. Kartel Harga
Dalam kartel ini ditetapkan harga minimum untuk penjualan
barang-barang yang mereka produksi atau perdagangkan. Setiap anggota
tidak diperkenankan untuk menjual barang-barangnya dengan harga yang
lebih rendah daripada harga yang telah ditetapkan itu. Pada dasarnya
anggota-anggota itu diperbolehkan menjual di atas tanggung jawab
sendiri.
3. Kartel Kontingentering
Di dalam jenis kartel ini, masing-masing anggota kartel diberikan
jatah dalam banyaknya produksi yang diperbolehkan. Biasanya perusahaan
yang memproduksi lebih sedikit daripada jatah yang sisanya menurut
ketentuan, akan diberi premi hadiah, namun jika melakukan yang
sebaliknya maka akan di denda. Maksud dari pengaturan ini adalah untuk
mengadakan restriksi yang ketat terhadap banyaknya persediaan barang,
sehingga harga barang-barang yang mereka jual dapat dinaikkan. Ambisi
kartel kontingentering biasanya untuk mempermainkan jumlah persediaan
barang dengan cara menahan dan mengatur ketersediaan barang tetap
dalam kekuasaannya.
4. Kartel Kuota
Kartel kuota adalah pembagian volume pasar di antara para pesaing
usaha. Di sini ditetapkan volume produksi dan atau penjualan tertentu atau
ditentukan batas maksimal untuk volume produksi dan/atau penjualan
yang diperbolehkan, dan kuota tersebut biasanya dijamin oleh pengaturan
pasokan atau pembayaran pengimbangan dalam hal volume produksi atau
10

pemasaran yang telah ditetapkan dilewati. Kartel kuota bertujuan untuk


menaikkan tingkat harga.
5. Kartel Standar atau Kartel Tipe
Kartel standar dan kartel tipe adalah perjanjian yang dibuat antara
pelaku usaha mengenai standar, tipe, jenis atau ukuran tertentu yang harus
ditaati. Perjanjian tersebut mengakibatkan pembatasan produksi karena
pelaku usaha dihalangi untuk menggunakan standar dan tipe lain.
Perjanjian tersebut dengan cara yang khas tidak hanya menghambat
persaingan kualitas, melainkan secara tidak langsung mempengaruhi
persaingan harga di antara para anggota kartel.
6. Kartel Kondisi
Kartel kondisi adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha
mengenai standarisasi ketentuan perjanjian, yang tidak berkaitan langsung
dengan harga, tetapi berkaitan dengan unsur lain dalam perjanjian
bersangkutan. Perjanjian tersebut bertujuan untuk menghambat penjualan,
oleh karena anggota kartel tidak dimungkinkan untuk membuat perjanjian
lain dengan mitra kontrak individu. Setiap kondisi kurang lebih
mempengaruhi harga hal mana dapat terjadi melalui mekanisme pasar,
atau dengan memperhatikan pembagian risiko dari segi kalkulasi (tangung
jawab dan jaminan) serta melalui kondisi tambahan yang harus dipenuhi
(pengemasan, pengiriman, pelayanan).
7. Kartel Syarat
Dalam kartel ini memerlukan penetapan-penetapan di dalam
syarat-syarat penjualan misalnya kartel yang menetapkan standar kualitas
barang yang dihasilkan atau dijual, dan/atau menetapkan syarat-syarat
pengiriman, apakah ditetapkan loco gudang, Fob, C&F, Cif, embalase atau
pembungkusan dan syarat-syarat pengiriman lainnya. Tujuan yang
dimaksud oleh para anggota adalah keseragaman di antara anggota kartel.
Keseragaman itu perlu di dalam kebijakan harga, sehingga tidak akan
terjadi persaingan di antara mereka.
8. Kartel Laba atau Pool
11

Di dalam kartel laba dan kartel pool ini, anggota kartel biasanya
menemukan peraturan yang berhubungan dengan laba yang mereka
peroleh. Misalnya bahwa laba kotor harus disentralisasikan pada suatu kas
umum kartel, kemudian laba bersih kartel akan dibagikan di antara mereka
dengan perbandingan tertentu pula.

9. Kartel Rayon
Kartel rayon atau kadang-kadang juga disebut kartel wilayah
pemasaran untuk mereka. Penetapan wilayah ini kemudian diikuti oleh
penetapan harga untuk masing-masing daerah. Kartel rayon juga
menentukan suatu peraturan bahwa setiap anggota tidak diperkenankan
menjual barang-barangnya di daerah lain. Dengan ini dapat dicegah
persaingan di antara anggota, yang mungkin harga-harga barangnya
berlainan.
10. Kartel Penjualan atau Sindikat Penjualan atau Kantor Sentral Penjualan
Di dalam kartel penjualan ditentukan bahwa penjualan hasil
produksi dari anggota harus melewati sebuah badan tunggal ialah kantor
penjualan pusat. Melalui pemusatan penjualan seperti ini, maka persaingan
di antara mereka akan dapat dihindarkan.

F. Praktik Kartel di Indonesia


Prinsip dasar dari perilaku kartel adalah bentuk monopoli dan perilaku
monopoli. Dua kondisi tersebut sudah ada sejak berdirinya republik ini.
Praktik kartel tersebut merupakan warisan dari kongsi-kongsi perkebunan dan
dagang di era pemerintahan Hindia Belanda. Praktik monopoli ini pun
sesungguhnya telah tercantum di dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
berupa penguasaan sumber-sumber perekonomian yang menguasai hajat hidup
orang banyak. Sementara itu, negara NKRI terbentuk dan berkembang
bersamaan dengan berkembangnya wacana dan studi tentang persaingan dan
monopoli di dunia. Di Amerika Serikat sendiri, praktik kartel, trust, dan
monopoli barulah mulai disoroti sekitar dekade 1960-an. Mengingat di masa
12

setelah kemerdekaan hingga 1960-an belum banyak perusahaan-perusahaan


swasta, praktis perilaku kartel, trust, dan monopoli belum terlihat.
Perkembangan perilaku monopoli baru mulai terlihat setelah
memasuki era Orde Baru. Di awal dekade 1970-an, pemerintah mulai
memberikan perhatian kepada pihak swasta untuk didorong agar dapat
memenuhi target pencapaian substitusi impor. Dengan melibatkan modal
asing ataupun investor asing, pencapaian substitusi impor tidak terlalu lama
bisa diwujudkan. Praktik kartel dan monopoli di kalangan swasta semakin
mulai terlihat pada dekade 1980-an. Diduga praktik kartel dan monopoli
tersebut merupakan bentuk kesepakatan di antara pemerintah dan kalangan
investor (produsen), terutama kalangan investor asing yang melibatkan
kalangan produsen di dalam negeri. Apalagi sektor ekonomi yang digarap oleh
kalangan swasta tersebut membutuhkan biaya investasi yang cukup besar.
Pemerintah hanya bisa memberikan insentif atau perlakuan khusus kepada
hanya beberapa produsen di dalam negeri.
Salah satu praktik kartel yang paling dominan di masa itu adalah kartel
di antara produsen otomotif. Sebelum masa reformasi 1998, terdapat
pengaturan industri yang menetapkan segmen teknologi untuk pasar
kendaraan bermotor roda dua. Honda diberikan penguasaan untuk
memproduksi dan merakit kendaraan bermotor dengan teknologi 4 tak.
Sementara untuk Yamaha dan Suzuki diberikan penguasaan untuk motor
terteknologi 2 tak. Dalam hal ini, Honda tidak diperkenankan masuk (merakit
dan memproduksi) motor roda dua berteknologi 2 tak, kecuali diperbolehkan
masuk melalui impor yang berarti akan dikenakan PPn Bea Masuk yang
cukup mahal. Pada kelompok sedan, Toyota melalui ATPM-nya, yaitu Toyota
Astra Motor (TAM) mendapatkan kewenangan untuk bermitra dengan
pemerintah dalam menyediakan kendaraan-kendaraan dinas untuk pemerintah.
Sekalipun demikian, pihak TAM tidak diperkenankan untuk bermitra dengan
kalangan swasta dalam penyediaan kendaraan perkantoran, kecuali dengan
kesepakatan tertentu. Praktik kartel semacam ini masih terus berlangsung
13

hingga saat ini. Di kelompok sedan, mereka memiliki asosiasi sendiri yang
bernama Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia atau Gaikindo.
Pada tahun 2009 lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
berhasil membongkar praktik kartel dalam penetapan tarif layanan pesan
pendek atau short message service (SMS). Kartel tersebut melibatkan nama-
nama perusahaan operator seluler seperti PT Excelcomindo Pratama, Tbk., PT
Telkomsel, Tbk., PT Telkom (Persero), PT Bakrie Telecom, Tbk., PT Mobile-
8 Telecom, Tbk., dan PT Smart Telecom. Praktik kartel tersebut teridentifikasi
dilakukan selama periode dari tahun 2004-2008, serta merugikan konsumen
sebesar Rp 2,83 triliun. Praktik kartel dalam industri telepon seluler
sesungguhnya sudah terendus cukup lama, bukan semata pada layanan SMS,
melainkan pula pada penetapan tarif panggilan (call). Sekalipun pihak KPPU
berhasil mengeksekusi kasus tersebut, tetapi denda yang dikenakan untuk
masing-masing perusahaan tidaklah seberapa apabila dibandingkan dengan
kerugian konsumen yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Praktik
kartel oleh para operator telepon seluler ini pun semakin meluas, bahkan
semakin nyata membatasi masuknya pendatang baru. Kasus yang hampir
terungkap adalah kasus operator seluler asal Malaysia, yaitu Axis yang diduga
sempat mengalami tekanan industri (politik), akibat tidak mengikuti aturan
main dalam persaingan operator telepon seluler.
Pada tahun 2005, KPPU berhasil membongkar praktik kartel dalam
produksi garam di dalam negeri. Kesepakatan tertutup yang dilakukan oleh
sejumlah produsen tersebut mengatur pasokan garam yang disuplai dari
Sumatera Utara. Garam ternyata bukan hanya bermanfaat di rumah tangga,
melainkan bahan baku vital bagi sektor industri tertentu. Tidak main-main,
sektor industri yang sering membutuhkan pasokan garam adalah industri
perminyakan. Sektor-sektor lainnya yang cukup penting membutuhkan
pasokan garam seperti industri minuman, industri kimia, industri farmasi,
industri kertas, dan lain sebagainya. Begitu besar manfaatnya, tetapi bertolak
belakang apabila melihat nasib kesejahteraan para petani garam.
14

Pada tahun 2010, KPPU berhasil membongkar modus praktik kartel


dalam industri minyak goreng kemasan maupun minyak goreng curah.
Minyak goreng merupakan salah satu dari bahan kebutuhan pokok masyarakat
yang kedudukannya sejajar dengan kebutuhan pokok pangan. Praktik kartel
tersebut diketahui telah berlangsung selama periode April-Desember 2008
dengan modus price pararelism untuk jenis minyak goreng kemasan maupun
jenis minyak goreng curah. Kerugian konsumen ditaksir mencapai Rp 1,27
triliun untuk jenis minyak goreng kemasan (bermerek) dan sebesar Rp 374,3
miliar untuk jenis minyak goreng curah. Sekalipun demikian, kasus ini kandas
melalui kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA) atas pengajuan banding
oleh sebanyak 20 produsen minyak goreng lokal.
Praktik kartel ini pun ternyata merambah ke industri farmasi. Sekali
lagi, KPPU berhasil membongkar adanya kartel di dalam penyediaan obat-
obatan hipertensi jenis amplodipine besylate yang melibatkan PT. Pfizer
Indonesia dan PT Dexa Medica. Bentuk kartel yang dilakukan adalah jenis
kartel harga. Ini barulah praktik kartel untuk satu jenis obat-obatan yang
berhasil dibongkar. Diduga kuat, praktik kartel terjadi pula untuk obat-obatan
lainnya. Masalah kartel dalam industri farmasi di dalam negeri pernah
disinggung oleh mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadila yang mengeluhkan
tentang tata niaga perdagangan obat yang membuat harga obat-obatan menjadi
mahal.
KPPU sempat pula membongkar dan mengeksekusi praktik kartel di
kalangan operator transportasi udara di dalam negeri. Bentuk praktik kartel
yang dibongkar berupa praktik kartel dalam penetapan harga tiket dan tarif
fuel surcharge (avtur). Industri penerbangan di dalam negeri mulai tumbuh
dan berkembang sejak tahun 2005 dengan kemunculan nama-nama baru dalam
maskapai penerbangan nasional. Tidak disangka, kemunculan yang begitu
cepat tersebut justru semakin memperkuat jalinan komunikasi bisnis yang
berujung pada praktik kartel. Atas kasus tersebut, KPPU memberikan sanksi
kepada PT Sriwijaya, PT Metro Batavia, PT Lion Mentari Airlines, PT Wing
Abadi Airlines, PT Merpati Nusantara Airline (Persero), PT Travel Express
15

Aviation Services, dan PT Mandala Airlines. Akibat praktik kartel tersebut,


konsumen penerbangan mengalami kerugian dengan taksiran mencapai Rp
13,8 triliun selama periode dari tahun 2006-2008. Sekalipun sempat
mengajukan banding ke tingkat MA, tetapi pihak MA menolak gugatan
tersebut.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sama halnya dengan upaya untuk melakukan pemberantasan korupsi,
untuk memberantas praktik kartel maupun trust membutuhkan kemauan
politik (political will) dari pemerintah. Dibandingkan dengan KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi), lembaga komisioner seperti KPPU relatif kurang
populer di kalangan masyarakat. Padahal, isu kartel sesungguhnya cukup
dekat, bahkan berdampingan maupun beriringan dengan kepentingan politik di
dalam isu-isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menghadapi praktik kartel. Pada
tahun 2001, sejumlah konsumen pengguna telepon seluler di Surabaya sempat
melakukan ancaman pemboikotan regional terhadap sejumlah operator seluler.
Aksi serupa terjadi lagi di tahun 2012 atas indikasi mafia (kartel) di dalam
penyediaan layanan spam. Sejumlah kalangan konsumen menggalang
kampanye mengajak masyarakat untuk memboikot penggunaan layanan
telepon seluler. Sayangnya, persatuan sikap konsumen seperti ini tidaklah
selalu ada dalam setiap kasus kartel atas komoditi tertentu. Di sinilah titik
kekuatan para pelaku kartel maupun trust, yaitu posisi tawar di antara
produsen dan konsumen. Lembaga perlindungan konsumen tidak selalu dapat
menjamin, karena sikap ataupun keputusan dari lembaga perlindungan
konsumen tidak selalu mendapatkan dukungan politik dari penyelenggara
negara.

B. Saran
Dalam mengungkap perkara karel ini, mengingat dampak yang
signifikan yang ditimbulkan atas kartel baik terhadap pesaing maupun
konsumen, maka diperlukan penguatan kewenangan KPPU untuk
menggeledah maupun menyita dokumen.

16
DAFTAR PUSTAKA

Hukum Persaingan Usaha: Mendeteksi Praktik Kartel, Jurnal Hukum Bisnis Vol.
30 No. 2 Tahun 2011.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan


Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 Pedoman


Pelaksanaan Pasal 11 Tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/1t4c56cf0541b26/alat-bukti-kartel-
dipersoalkan.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/1t4c64259449ebf/1t4c64259449ebf/
kppu-pertahankan-ketentuan-minimal-satu-alat- bukti-dalam-kasus-
kartel.

Anda mungkin juga menyukai