Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan

nasional. Menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2009 pembangunan kesehatan

adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa indonesia yang

bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi

setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya,

sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara

sosial dan ekonomis. Ini ditandai dengan diterbtkan Undang-Undang Sistem Jaminan

Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) yang

mengamanatkan kepada pemeritah dan komunitas kesehatan untuk dapat

menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau bagi seluruh

masyarakat. Pemerintah juga harus dapat menjamin tersedianya pelayanan kesehatan

sampai ke daerah terpencil dan penduduk miskin (Kemenkes, 2013).

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) melaksanakan pengelolaan kesehatan

bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung. Subsistem upaya kesehatan

menurut SKN adalah bentuk dan cara penyelenggaraan upaya kesehatan yang

paripurna, terpadu, dan berkualitas; meliputi upaya peningkatan, pencegahan,

pengobatan, dan pemulihan yang diselenggarakan guna menjamin tercapainya derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Terdapat tiga tingkatan upaya

1
2

kesehatan, yaitu upaya kesehatan primer, upaya kesehatan sekunder, upaya kesehatan

tersier (Kemenkes RI, 2012).

Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat

kesehatan yang optimal (Kemenkes RI, 2011). Program pembangunan kesehatan

nasional mencakup lima aspek Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) yaitu bidang :

Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Ibu dan Anak termasuk

Keluarga Berencana, Pemberantasan Penyakit Menular dan Pengobatan. Untuk dapat

melaksanakan Pelayanan Kesehatan Dasar khususnya bidang pengobatan dibutuhkan

obat, oleh karena itu obat perlu dikelola dengan baik. Salah satu pengelolaan obat

adalah dengan perencanaan agar persedaan sesuai dengan peraturan yang sudah

ditetapkan.

Tujuan manajemen obat adalah tersedianya obat setiap saat dibutuhkan baik

mengenai jenis, jumlah maupun kualitas secara efisien, dengan demikian manajemen

obat dapat dipakai sebagai proses penggerakan dan pemberdayaan semua sumber

daya yang dimiliki untuk dimanfaatkan dalam rangka mewujudkan ketersediaan obat

setiap saat dibutuhkan untuk operasional yang efektif dan efisien (Syair, 2013). Untuk

menjaga ketersediaan obat dan kualitas obat di instansi kesehatan seperti Puskesmas

maka hal terpenting yang harus diperhatikan selama proses pengelolaan obat yaitu

proses perencanaan dan pengadaan obat (Athijah,dkk. 2010).

Puskesmas adalah pusat kesehatan masyarakat yang dikenal sebagai tempat

pelayanan primer. Untuk menjalankan tugas tersebut, puskesmas perlu didukung

adanya unit-unit pembantu yang mempunyai tugas spesifik, diantaranya adalah unit
3

rekam medis. Unit rekam medis bertanggung jawab terhadap pengelolaan data pasien

menjadi informasi kesehatan yang berguna bagi pengambilan keputusan (Savitri,

2011). Tujuan rekam medis adalah untuk menunjang tercapainya tertib administrasi

dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan. Tanpa didukung suatu sistem

pengelolaan rekam medis yang baik dan benar, maka tertib administrasi tidak akan

berhasil (Depkes RI, 2014).

Dalam melakukan kegiatan perencanaan obat ini diperlukan kemampuan

Manajerial melalui sistem yang baik. Kemampuan manajerial dilihat dari alokasi

masukan melalui suatu proses dalam menghasilkan keluaran tertentu. Tujuan sistem

tersebut adalah mengubah sarana masukan menjadi suatu nilai tertentu (keluaran)

yang dapat memenuhi kebutuhan (Febriawati, 2013). Proses perencanaan dan

pengadaan menjadi bagian yang begitu penting dalam pengelolaan obat dalam

menunjang ketersediaan obat di Puskesmas. Kegiatan pengadaan obat di Puskesmas

meliputi penyusunan daftar permintaan obat yang sesuai kebutuhan, pengajuan

kebutuhan permintaan obat kepada Dinas Kesehatan Daerah Gudang Obat dengan

menggunakan formulir daftar permintaan obat serta penerimaan dan pengecekan

jumlah obat (Depkes RI. 2015).

Salah satu prasyarat penting dari pelayanan kesehatan masyarakat yang

bermutu adalah tersedianya obat yang cukup, baik dalam hal jenis maupun jumlah

setiap saat diperlukan. Di berbagai puskesmas hal ini sering sulit tercapai karena

terbatasnya anggaran yang tersedia untuk pembelanjaan obat oleh kabupaten. Studi

yang dilakukan oleh Proyek Pengkajian Sumber Daya Kesehatan (PPSDK) bidang

Farmasi menemukan bahwa paling tidak 42% puskesmas pernah mengalami


4

kekosongan obat (stock out) selama periode pelayananan. Beberapa jenis obat yang

sering stock out terutama adalah obat-obat yang paling umum diresepkan seperti

misalnya ampisilin, amoksisilin dan parasetamol. Waktu kekosongan obat bervariasi

mulai dari 2-5 hari hingga lebih dari 1 bulan. Sementara, di Indonesia sendiri salah

satu Rencana Strategis Kementrian Kesehatan 2015-2019 yaitu meningkatkan akses,

kemandirian, dan mutu persediaan farmasi dan alat kesehatan, dengan sasaran yang

akan dicapai yaitu persentase keteresediaan obat dan vaksin di Puskesmas dari 75,5%

status awal 2014 menjadi 90,0% pada tahun 2019 (Kemeskes, 2015).

Pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), prosedur pengadaan obat

mengalami perubahan dari era sebelumnya. Sebelum era JKN, Menteri kesehatan

melakukan pengendalian dan pengawasan obat dengan Menunjuk BUMN, BUMD

dan/atau Badan Usaha Milik Swasta; atau menugaskan BUMN yang bergerak di

bidang farmasi. Selanjutnya, melakukan pelelangan dengan negosiasi serta membuat

rujukan obat pada Daftar Obat Esensial Nasional. Sedangkan pada era JKN, menteri

Kesehatan melakukan pengendalian dan pengawasan dengan Pengadaan obat melalui

e-katalog secara on-line. Pembelian obat melalui E-purchasing dilakukan

Kementrian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi sesuai yang ada dalam

e-katalog, dan tidak melakukan pelelangan dan negosiasi dan rujukan obat pada

Formularium Nasional (Goulding, 2011).

Berdasarkan data Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan

Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2015, ketersediaan obat

publik dan perbekalan kesehatan di Indonesia mencapai 77%. Angka ini di Provinsi

aceh mencapai 78,52%. Kabupaten Aceh Selatan merupakan salah satu daerah tingkat
5

II di Provinsi Aceh, dimana ketersediaan obat di Kabupaten Aceh Selatan baru

mencapai angka 60%. Hal ini disebabkan salah satunya karena jumlah apoteker yang

ada di Kabupaten aceh selatan belum mencukupi angka maksimal (Dinkes Aceh

Selatan, 2018)

Pada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan, perencanaan kebutuhan obat

masih dilakukan secara manual dan dan sangat sederhana karena keterbatasan sumber

daya yang dimiliki Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan, sehingga sulit untuk

menganalisis kebutuhan obat yang akurat, efektif dan efisien. Disamping itu masih

terdapat permintaan obat tertentu dari UPTD yang tidak sesuai dengan perencanaan

kebutuhan yang diusulkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan (terdapat

obat tertentu yang mengalami kekurangan dan kelebihan) sehingga penggunaan

anggaran kurang efektif dan efisien (Dinkes Aceh Selatan, 2018)

Perencanaan obat di Pukesmas Peulumat Kecamatan Labuhanhaji Timur

dilakukan untuk menentukan jenis dan jumlah kebutuhan obat. Pukesmas tersebut

adalah dalam tahan perencanaan obat melakukan pengamatan terhadap kebutuhan

obat bulan sebelumnya yang terdapat di Lembar Permintaan dan Lembar Pemakaian

Obat (LPLPO). Perencanaan kebutuhan obat yang akan datang didasarkan dari

banyak jumlah pasien per tahun dengan keluhan penyakit tertentu, maka diketahui

jenis obat apa yang banyak digunakan untuk mengatasi keluhan tersebut dan berapa

banyak jumlah obat yang dibutuhkan. Sebelum melakukan permintaan obat, terlebih

darhulu dilakukan permbuatan lembar permintaan dan lembar pemakaian obat


6

(LPLPO) yang diusulkan ke dinas kesehaan untuk melakukan pengadaan obat yang

telah ditentukan.

Berdasarkan wawancara awal yang dilakukan bersama pimpinan Puskesmas

Peulumat dan penanggung jawab obat puskesmas, didapatkan informasi bahwa

manajemen obat pada era JKN mengakibatkan puskesmas sulit dalam pengadaan

obat. Perencanaan kebutuhan obat dimulai dengan penyusunan rencana kebutuhan

obat yang dimulai dari kompilasi data puskesmas kemudian disesuaikan dengan stok

yang ada dan aturan yang berlaku untuk dilanjutkan kepada tahap pengadaan obatnya.

Pada era JKN, kepala puskesmas memaparkan bahwa Puskesmas Peulumat memiliki

kewenangan untuk membeli obat secara langsung dari pabrik obat yang bersangkutan

selain dari obat yang disediakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan.

Puskesmas Peulumat juga memiliki anggaran yang cukup untuk membeli obat,

namun pihak pabrik obat terkesan enggan untuk menjual obat yang dibutuhkan ke

puskesmas, sementara obat tersebut beredar di pasaran.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis tertarik

melakukan penelitian tentang “Analisis Perencanaan Obat di Pukesmas Peulumat

Kecamatan Labuhanhaji Timur Kabupaten Aceh Selatan”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka maka yang menjadi rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah Perencanaan obat di pukesmas Peulumat

Kecamatan Labuhanhaji Timur Kabupaten Aceh Selatan.


7

1.3 Tujuan Penelitan

1.3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

analisis perencanaan obat di pukesmas Peulumat Kecamatan Labuhanhaji Timur

Kabupaten Aceh Selatan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui sistem perencanaan obat di pukesmas Peulumat Kecamatan

Labuhanhaji Timur Kabupaten Aceh Selatan

2. Untuk mengetahui pengaruh sistem perencanaan obat terhadap keperluan obat

pada pasien di pukesmas Peulumat Kecamatan Labuhanhaji Timur Kabupaten

Aceh Selatan

1.4 Manfaat Penelitan

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Bagi Tempat Penelitian

Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan di dalam memberikan

pelayanan kesehatan yang maksimal, serta merinci dengan cermat tentang kebutuhan

obat-obatan yang akan dibutuhkan oleh setiap pasien yang berkunjung sesuai dengan

penyakit yang diderita.

2. Penelitian Lain

Sebagai bahan perbandingan dan masukan untuk melakukan penelitian

selanjutnya tentang pengadaan obat-obat di setiap instansi kesehatan serta pedoman

untuk jenis penelitan lain atau penambahan variabel penelitan yang lebih lengkap

dengan metode penelitian yang berbeda.


8

1.4.2 Manfaat Aplikatif

1. Bagi Instansi Kesehatan

Informasi yang diperoleh dari penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan

bagi pemerintah sehingga kecukupan dan kelengkapan terhadap kebutuhan kesehatan

yang berkenaan dengan obat-obatan yang diperlukan dapat tersedia agar kesehatan

masyarakat akan lebih terjaga.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai dokumen dan sumber bahan bacaan untuk menambah wawasan

mahasiswi fakultas kesehatan masyarakat di Universitas Tengku Umar Melaboh.

Anda mungkin juga menyukai