Anda di halaman 1dari 5

Glen Mahe, Ritual Ucapan Syukur

Suku Tana Ai Boganatar di Sikka


Fakta bahwa bumi Flores kaya dengan budaya terlihat dari keragaman tradisi
masyarakatnya. Etnis Tana Ai, -satu dari lima etnis di Sikka, misalnya memiliki
seremoni Glen Mahe, sebuah ungkapan syukur atas berkat Yang Maha Kuasa.
Sejatinya dilaksanakan sejak 20 November 2017 yang lalu, namun keramaian terasa
dalam dua hari terakhir (23-24/11). Ratusan warga mendatangi ritual adat yang
berada di tengah hutan rimbun berjarak sekira 400 meter dari pemukiman kampung.

Glen Mahe dilaksanakan setiap 5 tahun sekali atau lebih, tergantung pada hasil
pertemuan yang digelar Tana Puan atau kepala suku bersama Marang (panglima
perang) serta ketiga pemimpin suku Wulo, Ketang Kaliraga dan Lewar Lau Wolo.
Hasil perundingan tersebut lalu disampaikan kepada warga, atau anak suku, dan bila
disetujui maka Glen Mahe akan dilaksanakan sesuai jadwal waktu yang telah
disepakati.

“Glen Mahe selalu kami laksanakan sejak Mahe, pusat ritual adat didirikan sejak
tahun 1800-an, gunanya untuk mensyukuri apa yang diperoleh selama kurun waktu
tersebut dengan memberikan kurban kepada Ina Nian Tana dan leluhur yang sudah
meninggal,” ungkap Yohanes Yan Lewar, Marang asal kampung Boganatar, Desa
Hikong, Kecamatan Talibura kepada Mongabay Indonesia.

Saat di Mahe, para kepala suku dan Marang melantunkan doa, mensyukuri dan
meminta kepada Ina Nian Tana, Allah pencipta langit dan bumi, serta keselamatan
pada para leluhur atau nenek moyang yang telah meninggal.

 
Penyambutan tamu dari luar suku Mahe Boganatar oleh Marang dan para kepala
suku, dilakukan di depan pintu masuk menuju Mahe. Foto: Ebed de
Rosary/Mongabay Indonesia
 

Sarat Simbol Alam dan Relasi Sosial

Jarum jam menunjukan pukul 10.00 WITA, saat ratusan warga suku mulai
mendatangi Mahe, pusat digelarnya ritual. Meski hujan mengguyur dan jalan tanah
becek, tidak menyurutkan niat warga menyaksikan puncak ritual yang akan ditutup
dengan penyembelihan hewan kurban.

Marang dan segenap kepala suku berdiri di pintu masuk melakukan penyambutan
tamu dari luar Boganatar. Setiap undangan dan para tetamu yang hadir diberikan
berkat di dahi dan disuguhkan sirih pinang dan arak.

“Ritual Kahe Orong merupakan sapaan penerimaan kepada tamu undangan. Sebuah
bentuk penghormatan, penghargaan kepada para tamu yang hadir untuk
menyaksikan ritual adat,” papar Yosef Tote, seorang tetua adat menyebutkan.

Glen Mahe diawali dengan ritual Tabi Lalan artinya membersihkan Wua Mahe, lokasi
pusat digelarnya ritual adat, dengan membuat pondok dari Ilalang dan bambu yang
diambil di sekitar Mahe. Ritual berikutnya yaitu Roa Waning, atau membawa gong
dan gendang ke Wua Mahe, yang berlanjut dengan Sapi Rawin Dolo Wohon atau
membersihkan gendang dan Tage Waning Taba Gedang yaitu menyembelih seekor
ayam. Ritual berpuncak pada Takun Botik atau Guna, yaitu memberi persembahan 
kepada sang pemberi kekuatan lewat seekor hewan (babi) berukuran kecil.

Marang dan kepala suku sedang melaksanakan ritual Tudi Laba, untuk memohon
agar diberikan kebijaksanaan dan dilindungi dalam kehidupan dan agar keinginan
baik bisa terwujud. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia
 

Setelah melantunkan doa dan menari bersama di depan Kanga, mezbah atau altar
persembahan hewan kurban, satu per satu hewan pun disembelih. Dagingnya  lalu
dibagikan kepada segenap tamu dan warga suku yang hadir dalam ritual tersebut.

“Salah satu pesan dengan diadakannya ritual adat ini, yakni kita harus menjaga
kelestarian hutan dan alam kita. Mahe selalu berada di daerah yang sejuk, rimbun
dengan pepohonan, mencerminkan rasa cinta orang Tana Ai kepada bumi dan langit
ciptaan Ina Nian Tana, Ama Lero Wulan,” ucap Rafael Raga, ketua DPRD Sikka yang
hadir dalam acara ini.
Dia berharap agar pesan leluhur ini terus dilestarikan dengan menjaga hutan dan
mata air, serta tidak melakukan perambahan hutan dan pembakaran. Ucapan syukur
Glen Mahe katanya, merupakan respon dari berkat semesta alam atas segala
keberhasilan hasil panen dan rejeki yang diberikan oleh alam.

Etnis Tana Ai di Boganatar sebagian besar adalah petani. Dengan demikian menjaga
sumber kehidupan seperti hutan dan ekosistem menjadi sebuah keharusan bagi
mereka.

“Kami percaya alam dan lingkungan harus dijaga kelestariannya, agar bisa diwariskan
kepada anak cucu. Hutan dan mata air adalah simbol kehidupan yang harus dijaga,”
ungkap Yosef.

Para perempuan suku Lewar sedang menarikan tarian Togo, bentuk penghormatan
dan ucapan syukur kepada pencipta langit dan bumi dan para leluhur saat berada di
Mahe. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia
 

Mohon Kebijaksanaan

Ritual diakhiri dengan ucapan doa, Tudi Laba, yaitu permohonan yang dilantunkan
agar semua anak suku semakin bijak, pandai, rajin dan memiliki kemauan untuk
berbuat kebaikan bagi sesama dan alam semesta. Dalam ritual ini, orang yang
memiliki harapan tertentu, -seperti ingin berhasil dalam pekerjaan dan pendidikan
serta mohon kesembuhan, dapat membawa pesan yang disimbolkan dalam ayam
atau telur.

Selama ritual juga dilakukan Piong atau Takun Botik, sebuah ritual memberi makan
dan minum kepada leluhur, Wuha Mahe, Guna Dewa, serta Ina Nian Tana dan Ama
Lero Wulan Allah Pencipta Langit dan Bumi yang diletakkan di beberapa sudut
halaman rumah yang diletakkan  dalam wadah tempurung kelapa.

“Kami berharap agar secara keseluruhan panen tahun depan tidak akan terpengaruh
cuaca, hasilnya pun dapat bagus,” tutup Yan.

Sumber : https://www.mongabay.co.id/2017/12/02/glen-mahe-ritual-ucapan-syukur-suku-
tana-ai-boganatar-di-sikka/

Anda mungkin juga menyukai