Anda di halaman 1dari 5

Nama : Fikram Nurzaman Kahar

NIM : 1868041101

Mata Kuliah : Kajian Sastra, Tradisi, dan Folklore Lisan

Prodi : Pendidikan Antropologi

LEGENDA EMPAT SULTAN MALOKU KIE RAHA

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang pemuda tampan bernama Jafar Sidik. Ia
tinggal seorang diri di desa Limau Foramadiahi, Ternate. Di dalam hutan yang tak jauh dari
desa itu terdapat telaga yang berair amat jernih. Telaga Ake Santosa (Air Santosa) namanya.
Jafar Sadik sering duduk sendirian di sebuah batu besar yang berada di pinggir telaga Air
Santosa, terutama ketika ia beristirahat setelah berburu atau mencari kayu bakar di hutan.

Pada suatu senja, Jafar Sadik duduk di sebuah batu di telaga tersebut. Tiba-tiba
warna langit berubah menjadi jingga, tampak cahaya berwarna-warni turun ke bumi
mengarah ke dekat telaga. Ketika cahaya tersebut semakin mendekat, tampak lah tujuh
puteri bidadari dari kayangan tengah turun seraya memegang selendangnya. Jafar Sadik
segera bersembunyi di balik batang pohon besar. Jafar Sadik terperanjat dan tak
menyangka. Masing-masing bidadari mengenakan pakaian berwarna merah, jingga, kuning,
hijau, biru, nila, dan ungu. Ia ingin mengetahui apa yang akan dilakukan tujuh bidadari
berwajah amat jelita itu.

Tujuh bidadari tersebut melepaskan selendangnya dan meletakkannya di atas


bebatuan lalu mandi di telaga Ake Sentosa. Mereka mandi di kejernihan air telaga tersebut
dengan bercanda ria.

Jafar Sadik terus mengamati dan tertarik lah ia pada bidadari yang berselendang
warna ungu. Jafar Sadik berjalan mengendap-endap mendekati selendang-selendang yang
diletakkan begitu saja di atas bebatuan. Diambilnya selendang berwarna ungu dan
disembunyikan di balik bajunya.

Hari pun akan gelap, para bidadari tersebut berniat kembali ke kayangan. Mereka
naik ke tepi telaga dan mengambil selendangnya masing-masing namun salah seorang dari
mereka, yaitu Puteri Bungsu tampak kebingungan karena tidak menemukan selendangnya.
Enam orang kakaknya pun turut membantu untuk mencarikan selendang Puteri Bungsu.
Mereka bingung mengapa selendang puteri bungsu bisa hilang. Ketika melihat pelangi yang
mulai pudar, mereka pun harus terpaksa meninggalkan si Puteri Bungsu sendirian. Kakak-
kakanya pun berpesan, “Jaga-jaga nidiri laha-laha,”

Si Puteri Bungsu hanya bisa menangis meratapi nasibnya ditinggal oleh kakak-
kakaknya pergi ke kayangan. Ketika si Puteri Bungsu tengah meratapi nasibnya, Jafar Sadik
keluar dari tempat persembunyiannya dan mendekatinya. “Maaf adik, siapa kah kamu ini?
Mengapa engkau seorang diri saja di telaga ini? Tidak takut kah engkau di telaga ini seorang
diri?”

Betapa terkejutnya si Puteri Bungsu mendengar sapaan Jafar Sadik. Puteri Bungsu
menenangkan fikirannya lalu menjawab dengan tenang“Namaku Nursafa, aku kehilangan
selendangku hingga tak dapat terbang kembali ke kayangan,”

Jafar Sadik pun menyarankan agar si Puteri Bungsu ikut bersamanya. Boki Nursafa
pun menerima saran Jafar Sadik dan mengikutinya. Tidak lama kemudian setelah tinggal
bersama-sama, mereka pun menikah dilamar oleh Jafar Sadik sendiri. Selama mereka tinggal
serumah, Jafar Sadik menyembunyikan selendang Boki Nursafa di bubungan rumahnya.
Jafar Sadik juga berjanji agar tidak mencegah kepulangan isterinya saat selendangnya
ditemukan kelak. Hal itu lah yang mereka sepakati sebelum menikah.

Waktu terus berjalan, kehidupan keluarga Jafar Sidik terlihat rukun dan damai. Jafar
Sidik juga telah dikaruniai empat anak lelaki. Jafar Sidik mendidik empat anaknya itu dengan
baik. Ia membekali empat anak lelakinya itu dengan ajaran agama Islam. Jafar Sadik sangat
berharap empat anak lelakinya itu akan tumbuh menjadi orang-orang yang baik
kelakuannya dan kelak akan hidup dalam kebersamaan.

Walaupun telah hidup berbahagia dengan suami dan empat anaknya, namun Boki
Nur Safa tetap juga berniat kembali ke Kahyangan. Pada suatu hari ia melihat pelangi yang
muncul indah di atas bubungan rumah. Ketika ia tengah mengamati pelangi, mendadak
pandangannya terantuk pada sehelai kain berwarna ungu yang terselip di bubungan rumah.
Betapa terperanjatnya ia ketika berhasil mengambil kain yang tak lain selendangnya itu.

Betapa kecewanya ia pada suaminya. Selama mereka hidup bersama, suaminya telah
berbohong padanya. Kekecewaan yang dirasakannya berubah menjadi kemarahan. Ia akan
kembali ke Kahyangan tanpa lagi berpamitan dengan suaminya.

Sebelum berangkat, Boki Nursafa menghampiri empat anak lelakinya dan berpesan,
"Hendaklah kalian senantiasa hidup rukun dan saling menolong. Saling sayang-
menyayangilah kalian berempat karena kalian berasal dari orangtua yang sama. Senantiasa
ingatlah kalian pada pesan ibu, taat dan patuhi perintah dan nasihat ayah kalian."

Boki Nur Safa lantas melilitkan selendangnya pada tubuhnya dan melayang,
terbanglah ia, kembali ke negeri Kahyangan. Empat anaknya hanya bisa menatap
kepulangan ibu mereka itu dengan tangis sedih. Semakin jauh tubuh ibu mereka, semakin
keras tangisan empat anak itu.

Jafar Sadik terperanjat ketika pulang dari Iadang dan mendapati empat anak
lelakinya menangis. "Apa yang terjadi?" tanyanya. "Mana ibu kalian?"

Empat anak lelaki itu lantas menceritakan kejadian berkenaan dengan ibu mereka
yang telah kembali ke Kahyangan. Jafar Sadik sangat sedih. Sungguh, ingin ia terus bersama
dengan istri yang amat dicintainya itu untuk mengasuh dan merawat empat anak lelaki
mereka. Namun, semua harapan dan keinginannya itu telah musnah, menguap bagai air
embun terkena panasnya sinar sang matahari.

Jafar Sadik sendirian mengasuh, merawat, dan mendidik empat anak lelakinya.
Senantiasa di didiknya empat anaknya itu dengan ajaran agama Islam. Empat anak itu pun
tumbuh membesar seiring berjalannya sang waktu. Keempatnya tumbuh menjadi pemuda-
pemuda yang baik perangainya dan taat beragama.

Namun pada suatu hari Jafar sadik mengajak anaknya yang paling bungsu untuk
mencari Ibunya, dalam perjalanan Jafar Sadik selalu memohon dan berdoa kepada yang
Maha Kuasa agar di berikan petunjuk supaya segera menemukan istrinya Boki Siti Nursafa
yang telah kembali ke kayangan. Dalam perjalan, tiba-tiba seluruh pepohonan di hutan
bergoyang kencang seperti kedatangan angin ribut, Jafar Sadik dan anak bungsunya terdiam
sejenak sambil melirik ke atas rintihan pohon.

Tiba-tiba Jafar Sadik dan anaknya terkejut dengan kedatangan seekor burung garuda
besar dan memiliki kepala dua yang kemudian menghampiri mereka, “Tuan mau kemana?
Siapa tau saya bisa membantu?”

Jafar Sadik dan anaknya pun kaget karena mendengar burung berkepala dua bisa
berbicara. “Tak usah heran saya GOHEBA saya siap menghatarkan Tuan bertemu istri Tuan
di kayangan”.

“Terima kasih Goheba atas bantuannya dengan senang saya dan anak saya akan
menerimanya”. Jawabnya. “Naiklah ke pangkuanku Tuan, saya akan antarkan ke kayangan
untuk bertemu istri Tuan”.

Tak menunggu lama Jafar sadik dan anaknya lalu menaiki pangkuan burung Goheba
yang siap untuk mengatarkan meraka bertemu dengan Boki Siti Nursafa. Tibalah mereka di
negeri kayangan. Namun kedatangan mereka di ketahui oleh Raja Kayangan yang
merupakan ayah dari Boki Siti Nursafa.

Tanpa berlama-lama, Jafar Sadik dan anaknya langsung menghampiri Sang Raja
Kayangan, “Ada apa gerangan anda ke sini?” tanya sang Raja. “Tuan saya ingin bertemu istri
saya dan membawanya pergi, tolong indahkan permintaan kami,” jawab Jafar Sadik.
“Permitaan anda bisa saya terima tetapi ada syaratnya” (raja). “Apapun syaratnya saya akan
siap memenuhinya,” jawab Jafar Sadik. “Baiklah syaratnya kau harus bisa membedakan
serta harus tepat menujuk yang istrimu, ketujuh anak telah berjejer di belakang kalian, jika
kau salah tunjuk maka kepalamu akan dipenggal,”

Jafar Sadik berbalik dan melihat ke tujuh putri yang sedang berdiri dengan semua
wajah yang sama. Jafar sadik pun sempat kebingungan. Tiba – tiba datang seekor lalat
menghampirinya lalu berbisik, “Saya bisa membantu Tuan asal Tuan berjanji, kelak di bumi
nanti sebelum semua makanan di sentuah, saya yang harus duluan menyentuhnya”.

Jafar Sadik pun menyepakati perjanjian dengan lalat “Tuan perhatikan kalau nanti
aku hinggap di mana dari tujuh putri itu, dialah istri Tuan,” lalu sang lalat terbang dan
hinggap di salah satu pipi dari ke tujuh putri tersebut. Tanpa ragu – ragu lagi Jafar sadik pun
menujuk tangan ke salah putri itu lalu berkata “Dialah istriku”. Setelah itu sang Raja
Kayangan akhir menerima Jafar Sadik sebagai menantunya. Lalu Boki Siti Nursafa dan Jafar
Sadik direstui oleh Raja Kayangan dan mengijinkan mereka kembali serta hidup bersama di
bumi. Sebelum perjalanan kembali mereka di berikan berbagai macam hadiah dari sang Raja
Kayangan.

Di saat mereka akan kembali, anak bungsu mereka menangis dan tak mau kembali
ke bumi, Boki Nursafa dan Jafar Sadik membujuknya agar berhenti menangis namum
bujukan rayuan tak di berhasil membuat anak bungsu mereka berhenti menangis, Sang
kakek yang merupakan Raja Kayangan pun menghampiri dan ikut membujuknya tetapi
bujuk rayuan kali ini berhasil, sebelum anak bungsu itu berhenti menangis dia di berikan dan
pakikan sebuah kopiah di atas kepalanya, kopiah itu kemudian berubah menjadi Mahkota
yang indah serta di hiasi batu-batuan dari intan, permata, zamrud bahkan mahkota yang
awalnya kopiah itu tiba-tiba ditumbuhi rambut. “Wahai cucu ku mahkota itu nanti akan
menjadikan kau pemimpin di negeri mu, maka amanahlah terhadap rakyat mu nanti”.

Mereka bertigapun kembali ke bumi.......

Ketika negeri mereka terbagi menjadi empat wilayah kekuasaan (Moloku Kie Raha),
ke semua anak Jafar Sidik ditunjuk menjadi pemimpin-pemimpinnya. Anak sulung Jafar Sidik
menjadi sultan Moti (dipindah ke jailolo menjadi Kesultanan Jilolo) dia adalah Sultan
Darajati. Anak keduanya menjadi sultan di Makian (dipindahkan ke Bacan menjadi
Kesultanan Bacan) dia adalah Sultan Kitjil Buka. Anak ketiganya menjadi sultan di Tidore di
adalah Sultan Suhadjati. Anak bungsu Jafar Sidik dan Boki Siti Nursafa menjadi sultan di
Ternate. Dia adalah Kaitjil Bab Mansyur Malamo atau Sultan Cico Bunga. Syahdan, para
pemimpin Maluku di kemudian hari berasal dari empat anak lelaki Jafar Sidik itu dan Boki Sti
Nursafa. Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa sebenarnya, mereka 8 bersaudara.
Masih ada empat orang putri yaitu: Boki Saharnawi, yang menurunkan raja-raja Banggai;
Boki Sadarnawi, yang menurunkan raja-raja Tobungku; Boki Sagarnawi, yang menurunkan
raja-raja Loloda; dan Boki Cita Dewi, yang menurunkan Marsaoli dan Mardike.

https://supriyantorsenen.blogspot.com/2017/02/cerita-rakyak-moloku-kie-raha-
jafar.html#.Xb8BPc5S_IU

http://anasmsaleh4493.blogspot.com/2018/08/prosesi-adat-lufu-kie.html
Informasi dari Narasumber:

Siti Khadijah Mabang di Makassar

(Minggu, 03 Nopember 2019 pukul 17.15)

“Itu tidak tahu juga mitos atau apa, tapi betulan itu... Berbeda kalau di sini, tiada
peninggalan kayangan kalau di sana ada, itu ‘Stampa’ itu, bukti kayangan. Itu dia punya
hiasan-hiasan batu permata, sampai sekarang orang tidak bisa dapat kecuali itu yang satu,
katanya ada juga di Hong Kong tapi yang lain tidak ada itu. Itu mahkota (stampa), setiap
ganti sultan, dia ditaruh ke bawah di depannya putera-putera mahkota, jadi di sana tidak
ada yang baku iri-iri. Itu mahkota, dia akan lompat sendiri ke kepalanya salah satu putera
mahkota, dia sendiri yang pilih (lantik). Terakhir itu... Dia lompat ke kepalanya sultan siapa
itu ee, ada dulu fotonya itu, Mam tidak bawa, Mam lupa padahal kacil begini itu foto.. Sultan
Djabir Syah, nah itu... Jadi di dia yang terakhir itu (lompat ke kepalanya Sultan Iskandar
Djabir Syah). Setelah hilang itu, satu permatanya, sudah tidak bisa lompat lagi,”

“Jadi setiap hari jum’at, itu dipotong,”

“Oh panjang sendiri dih Mam?”

“Iya, dia panjang sendiri”

“Ternate yang paling bungsu...(di antara semua bersaudara), terus Jailolo baru
Tidore... Eh tidak, Tidore dulu baru Jailolo baru Bacan yang terakhir. Jadi mereka itu empat
bersaudara,”

Anda mungkin juga menyukai