Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH BAAYUN MAULID

(KHAZANAH KEISLAMAN MASYARAKAT BANJAR)

Disusun Oleh :
Ramadhani Rahman
NIM : 18.11.1370
Mahrudin
NIM : 18.12.1420

Dosen Pembimbing :

Dr. H. Agus Salim, M.M.Pd

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

AL FALAH BANJARBARU

TAHUN AJARAN 2020/2021


DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN....................................................................1
1.1 Latar belakang........................................................................................1
1.2 Tujuan.....................................................................................................2
1.3 Rumusan masalah...................................................................................2
1.4 Manfaat...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................4
2.1 Penjelasan...............................................................................................4
2.2 Asal Usul................................................................................................4
BAB III PENUTUP...........................................................................28
3.1 Kesimpulan...........................................................................................28
3.2 Saran.....................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................30
1

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang

Masyarakat Suku Banjar yang mendiami daerah Kalimantan Selatan dikenal

sebagai kelompok suku bangsa yang berkehidupan religius. Meskipun

demikian, urang Banjar juga masih memegang teguh tradisi dan adat-istiadat yang

telah diwariskan oleh nenek moyang, terutama terlihat pada masyarakat yang

hidup di pedalaman. Penerapan adat-istiadat tersebut, misalnya, terlihat pada

tahapan siklus kehidupan urang Banjar (dan juga Dayak) yang dahulu menganut

ajaran kepercayaan Kaharingan dengan pola hidup yang berdasarkan keyakinan

kepada ajaran nenek moyang.

Seiring dengan masuk dan berkembangnya ajaran agama Islam dalam

kehidupan urang Banjar, maka terjadilah proses akulturasi antara ajaran yang

dibawa oleh para penyebar agama Islam dengan kebudayaan lokal yang sudah ada

sebelumnya, salah satunya mewujud dalam penyelenggaraan upacara Baayun

Mulud atau Baayun Anak.

Kehidupan masyarakat Banjar mengenal beberapa jenis upacara adat yang

terhimpun dalam bingkai upacara daur hidup. Rangkaian upacara daur hidup itu

sendiri meliputi upacara kehamilan, kelahiran, masa kanak-kanak menjelang

dewasa, perkawinan, dan kematian. Upacara Baayun Mulud/Baayun Anak

termasuk ke dalam upacara yang ditujukan untuk anak-anak menjelang dewasa,

tepatnya ketika usia si anak antara 0-5 tahun.

Sebenarnya, upacara ini telah menjadi ritual wajib yang sudah menjadi tradisi jauh

sebelum ajaran Islam dianut oleh orang-orang Suku Banjar. Dulu, upacara adat ini
2

dikenal dengan sebutan upacara Baayun Anak. Sejalan dengan masuknya Islam,

maka kemudian upacara Baayun Anak dipadukan dengan ajaran agama Islam dan

lantas disebut dengan istilah Baayun Mulud.

I.2 Tujuan

Makalah ini bertujuan mengetahui :

1. Asal usul baayun mulud

2. Waktu dan tempat pelaksaan baayun mulud

3. Peralatan dan bahan baayun mulud

4. Prosesi upacara baayun mulud

5. Pantangan dan larangan

6. Nilai – nilai baayun mulud

I.3 Rumusan masalah

1. Bagaimana asal usul baayun mulud

2. Kapan waktu dan tempat pelaksanaannya

3. Apa alat dan bahan baayun mulud

4. Bagaimana prosesi upacara baayun mulud

5. Apa pantangan dan larangannya

6. Apa nilai – nilai baayun mulud

I.4 Manfaat

Adapun manfaat yang didapat dengan pembuatan makalah ini yaitu :

1. Dapat mengetahui tenteng sejarah baayun mulud.


2. Dapat mengetahui waktu dan tempat baayun mulud.
3. Dapat mengetahui peralatan dan bahannya.
3

Dapat mengetahui tata pelaksanaannya, nilai – nilai, pantangan dan larangan

dalam baayun mulud.


4

BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Penjelasan

          Upacara Baayun Mulud atau Baayun Anak adalah salah satu bagian dari

rangkaian upacara daur hidup yang berlaku di dalam tradisi orang-orang Suku

Banjar yang sebagian besar berdomisili di Kalimantan Selatan. Selain sebagai

tradisi yang menjadi rangkaian dari upacara daur hidup urang (orang) Banjar,

upacara Baayun Mulud/Baayun Anak juga dapat dijadikan sebagai sarana upacara

tolak bala.

II.2 Asal Usul

1. Asal-usul

Masyarakat Suku Banjar yang mendiami daerah Kalimantan Selatan dikenal

sebagai kelompok suku bangsa yang berkehidupan religius. Meskipun demikian,

urang Banjar juga masih memegang teguh tradisi dan adat-istiadat yang telah

diwariskan oleh nenek moyang, terutama terlihat pada masyarakat yang hidup di

pedalaman. Penerapan adat-istiadat tersebut, misalnya, terlihat pada tahapan siklus

kehidupan urang Banjar (dan juga Dayak) yang dahulu menganut ajaran

kepercayaan Kaharingan dengan pola hidup yang berdasarkan keyakinan kepada

ajaran nenek moyang.

Seiring dengan masuk dan berkembangnya ajaran agama Islam dalam kehidupan

urang Banjar, maka terjadilah proses akulturasi antara ajaran yang dibawa oleh

para penyebar agama Islam dengan kebudayaan lokal yang sudah ada sebelumnya,

salah satunya mewujud dalam penyelenggaraan upacara Baayun Mulud atau

Baayun Anak.
5

Kehidupan masyarakat Banjar mengenal beberapa jenis upacara adat yang

terhimpun dalam bingkai upacara daur hidup. Rangkaian upacara daur hidup itu

sendiri meliputi upacara kehamilan, kelahiran, masa kanak-kanak menjelang

dewasa, perkawinan, dan kematian. Upacara Baayun Mulud/Baayun Anak

termasuk ke dalam upacara yang ditujukan untuk anak-anak menjelang dewasa,

tepatnya ketika usia si anak antara 0-5 tahun.

Sebenarnya, upacara ini telah menjadi ritual wajib yang sudah menjadi tradisi jauh

sebelum ajaran Islam dianut oleh orang-orang Suku Banjar. Dulu, upacara adat ini

dikenal dengan sebutan upacara Baayun Anak. Sejalan dengan masuknya Islam,

maka kemudian upacara Baayun Anak dipadukan dengan ajaran agama Islam dan

lantas disebut dengan istilah Baayun Mulud.

Sebelum beralkulturasi dengan ajaran Islam, upacara Baayun Anak dilaksanakan

sebagai sarana atau media untuk mengenalkan si anak kepada Datu Ujung, yakni

sosok leluhur yang digambarkan sakti mandraguna dan memiliki pengaruh yang

sangat besar. Urang Banjar pada zaman dahulu meyakini bahwa anak-anak

mereka bisa memperoleh keberkatan dalam hidupnya, tidak mudah menangis, dan

terhindar dari segala marabahaya. Untuk itu, pada zaman dahulu, setiap anak

harus melalui upacara Baayun Anak sebagai tanda penghormatan dan sekaligus

memberi persembahan kepada Datu Ujung (Data dari Museum Lambung

Mangkurat).

Pada perkembangannya, penerapan upacara adat Baayun Anak berakulturasi

dengan dakwah ajaran Islam. Penghormatan yang sebelumnya dipersembahkan

kepada leluhur, diselaraskan dengan ajaran Islam, yakni agar si anak dapat
6

mendapat sifat-sifat baik seperti yang dimiliki oleh Nabi Muhammad. Akulturasi

terhadap tradisi ini terjadi secara damai dan harmonis serta menjadi substansi

yang berbeda dengan sebelumnya karena tradisi lama berubah menjadi tradisi

baru yang bernafaskan Islam.

Selaras dengan itu, namanya pun berganti dari Baayun Anak menjadi Baayun

Mulud karena ritual adat ini diselenggarakan pada setiap bulan Mulud/Rabi’ul

Awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad. Ditelisik dari namanya, istilah “Baayun

Mulud” terdiri dari dua kata, yaitu “baayun” dan “mulud”. Kata “baayun” berarti

melakukan aktivitas ayunan/buaian, atau kegiatan mengayun bayi yang biasanya

dilakukan oleh seseorang untuk menidurkan anaknya. Sedangkan kata “mulud”,

berasal dari bahasa Arab “maulud”, merupakan ungkapan masyarakat Arab untuk

menyebut peristiwa kelahiran Nabi Muhammad. Dengan demikian, istilah Baayun

Mulud mempunyai arti sebagai berikut: “Kegiatan mengayun anak (bayi) sebagai

ungkapan syukur atas kelahiran Nabi Muhammad, sang pembawa rahmat bagi

sekalian alam”.

Baayun Anak atau Baayun Mulud adalah proses budaya yang menjadi salah satu

simbol kearifan dakwah ulama Banjar dalam mendialogkan makna hakiki ajaran

agama dengan budaya masyarakat Banjar. Maulid adalah simbol agama dan

menjadi salah satu manifestasi untuk menanamkan, memupuk, dan menambah

kecintaan sekaligus pembumian sosok manusia pilihan, manusia teladan, Nabi

pembawa Islam, untuk mengikuti ajaran dan petuahnya. Sedangkan Baayun Anak

menjadi penterjemahan dari manifestasi tersebut, karena dalam Baayun Anak


7

terangkum deskripsi biografi Nabi Muhammad sekaligus doa, upaya, dan harapan

untuk meneladaninya.

Mengayun anak ini ada yang mengayun biasa dan ada yang badundang.

Mengayun biasa adalah mengayun dengan berayun lepas sedang mengayun

badundang adalah mengayun dengan memegang tali ayunan. Yang lebih menarik

adalah menidurkan anak ini sang ibu sambil bernyanyi, bernyanyi dengan suara

merdu berayun-ayun atau mendayu-dayu. Lirik lagu ini sangat puitis. Liriknya

seperti ini :

“Guring – guring anakku guring..Guring diakan dalam pukungan..Anakku nang

bungas lagi bauntung..Hidup baiman mati baiman..”

Jika anaknya posisi berbaring lirik “ pukungan “ diganti dengan “ ayunan “.

Isi lirik ini adalah pujian anaknya yang cantik ( cakap ) dan doa agar anaknya

kelak kuat imannya dalam agama sampai akhir hayatnya.

Seandainya anaknya masih rewel tidak juga mau tidur, biasanya sang ibu berkata :

“His ! cacak ! anakku jangan diganggu inya sudah guring”.

Baayun anak ini terkadang sengaja diadakan pada acara Maulid Nabi yakni

tanggal 12 Rabiul Awal. Dengan maksud agar mendapat berkah kelahiran Nabi

Muhammad SAW.

Pada perkembangannya, maayun anak ini menjadi sebuah tradisi budaya yang

setiap tahun digelar dengan istilah “ Baayun Maulud” Baayun Maulud ini

sungguh berisi pesan-pesan religiusitas, filosofis dan local wisdom ( kearifan local

).

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan


8

Upacara Baayun Anak sebagai bagian tradisi dakwah Islam sebenarnya sudah

dikenal masyarakat Banjar sejak Kesultanan Banjar resmi menjadi kerajaan Islam,

yakni pada dekade kedua abad ke-14 Masehi. Pada awalnya, upacara ini hanya

diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga besar kerajaan yang lahir pada bulan

Safar karena bulan ini dipercaya sebagai bulan yang penuh bala atau malapetaka.

Oleh karena itu, untuk menghindari tertimpanya hal-hal yang tidak diinginkan

pada anak, maka si anak wajib diayun sebagai bentuk ritual tolak bala.

Seiring dengan berjalannya waktu, ritual adat ini juga populer di kalangan

masyarakat kebanyakan, khususnya orang Banjar yang tinggal di daerah hulu

sungai. Peruntukan upacara ini tidak lagi hanya bagi anak lahir di bulan Safar tapi

juga pada anak-anak Banjar yang dilahirkan pada bulan-bulan lainnya.

Dalam perkembangannya kemudian, tradisi Baayun Anak justru lebih dikenal

dengan sebutan Baayun Mulud. Tradisi ini rutin diselenggarakan saban tahun,

pada setiap tanggal 12 bulan Mulud atau Rabiul Awal tahun Hijriyah (dalam

penanggalan kalender Islam) untuk menyambut dan memperingati hari kelahiran

Nabi Muhammad (Maulid Nabi). Akan tetapi, jika upacara Baayun

Mulud/Baayun Anak dilaksanakan di luar tanggal tersebut juga diperbolehkan.

Upacara ini biasanya dimulai pada sekitar pukul 10.00 pagi.

Upacara Baayun Mulud dilakukan ketika anak berusia 0-5 tahun. Namun

biasanya, saat bayi berusia 40 hari, upacara ini sudah diselenggarakan

(Banjarmasin Post, 23 Februari 2010). Tempat pelaksanaan tradisi Baayun Anak

atau Baayun Mulud ini ada yang diselenggarakan di rumah, namun bisa juga

dilakukan di balai desa, masjid, atau di tempat yang lapang secara massal.
9

3. Peralatan dan Bahan

Peralatan dan bahan-bahan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upacara adat

Baayun Mulud antara lain sebagai berikut:

a. Ayunan (Baayun)

Ayunan dibuat dari tapih bahalai atau kain sarung wanita yang pada ujungnya

diikat dengan tali atau pengait. Ayunan ini biasanya digantungkan pada

penyangga ruangan tengah rumah. Pada tali tersebut diikatkan Yasin, daun

jariangau, kacang parang, dan katupat guntur, dengan tujuan sebagai penangkal jin

(mahluk halus) atau penyakit yang dapat mengganggu bayi. Posisi bayi yang

diayun ada yang dibaringkan dan ada pula posisi duduk dengan istilah

“dipukung”.

Kain ayunan ini terdiri atas 3 (tiga) lapis. Lapisan paling atas menggunakan kain

sarigading atau sasirangan (kain tenun khas Banjar). Pada zaman dahulu, kain

sasirangan yang bisa digunakan untuk ayunan dalam upacara Baayun Anak harus

bercorak tertentu, yakni motif bahindang (pelangi). Sedangkan lapisan tengah

menggunakan kain kuning (kain belacu yang diberi warna kuning dari sari

kunyit), dan lapisan paling bawah memakai kain bahalai (kain panjang tanpa

sambungan jahitan).

b. Hiasan Ayunan

Hiasan ayunan terdiri dari janur pohon nipah atau pohon kelapa atau pohon enau.

Jenis-jenis hiasan ayunan yang dipersiapkan dalam pelaksanaan upacara adat

Baayun Anak atau Baayun Mulud antara lain berbentuk tangga puteri, tangga
10

pangeran, payung singgasana, patah kankung, kembang serai, gelang-gelang atau

rantai, dan lain sebagainya.

Hiasan lain yang biasanya ditambahkan dapat berupa buah pisang, kue cucu, kue

cincin, dan hiasan-hiasan lain. Selain itu, pada tali ayunan juga diberi beraneka

macam pernak-pernik hiasan, misalnya anyaman janur hewan, katupat bangsur,

halilipan, kambang sarai, rantai, atau hiasan-hiasan dengan mengunakan buah-

buahan dan kue tradisional.

Penganan khas banjar

c. Piduduk

Piduduk adalah syarat upacara yang berupa bahan-bahan mentah. Bahan-bahan

yang termasuk dalam piduduk antara lain 3,5 liter beras, 1 biji gula merah, sedikit

garam (untuk anak laki-laki) atau sedikit garam ditambah dengan minyak goreng

(untuk anak perempuan).

d. Sesaji

Sesaji adalah perlengkapan atau syarat upacara. Sesaji yang diperlukan dalam

pelaksanaan upacara adat Baayun Mulud antara lain telur dan nasi lamak (lakatan)

atau nasi ketan bersantan. Sesaji disajikan di dalam piring yang diisi dengan

susunan nasi lamak, kue apem, kue cucur, inti kelapa, telur ayam rebus, papari,

pisang, dan tape ketan. Sesaji lainnya dan piduduk ditempatkan pada sebuah

ember ukuran kecil, yakni berupa beras, buah kelapa yang sudah dikupas kulitnya,

sebungkus garam, dan gula merah.

4. Tata Laksana

a. Tahap persiapan
11

Persiapan untuk melaksakan upacara baayun mulud secara umum dilakukan

sampai sesaat menjelang upacara dilaksanakan. Adapun persiapan yang harus

dilakukan adalah sebagai berikut:

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan dan mempersiapkan

tempat pelaksanaan upacara. Penentuan tempat upacara menjadi sangat urgen

apabila upacara baayun mulud yang hendak diselenggarakan diperkirakan atau

direncanakan diikuti oleh banyak peserta, seperti pada tahun 2007 yang diikuti

oleh 1800 peserta. Tempat pelaksanaan upacara biasanya diselenggarakan di

mesjid – mesjid yang mempunyai nilai – nilai historis dan dianggap keramat.

Setelah ditentukan tempatnya, kemudian disosialisasikan kepada segenap lapisan

masyarakat.

Setelah itu menghubungi kelompok – kelompok pembaca syair – syair pujian.

Sehari sebelum pelaksanaan upacara, para orang tua hendak mengayun anaknya

(baca : mengikuti upacara Baayun Mulud) atau keluarga yang hendak mengayun

orang tuanya menyerahkan piduduk kepada tokoh agama.

Setelah itu, dilanjutkan dengan membuat ayunan. Membuat ayunan bisa dilakukan

sehari sebelum pelaksanaan upacara, ataupun pada saat menjelang pelaksanaan

upacara. Namun ada juga yang mempersiapkan ayunan di rumahnya masing –

masing.

Para peserta sedang sibuk menghias ayunan

Kemudian, tali pengikat ayunan dihias dengan beraneka ragam hiasan seperti

janur yang telah dibuat beraneka ragam bentuk, buah – buahan dan kue – kue.
12

Biasanya, kegiatan menghias ayunan dilakukan pada pagi hari menjelang

pelaksanaan upacara.

Pada malam hari menjelang pelaksanaan upacara Baayun Mulud, para ibu sibuk

menyiapkan kelengkapan upacara, seperti kue dan makanan lainnya.

Mempersiapkan suguhan acara Baayun Mulud

Setelah semua kebutuhan upacara dipersiapkan, upacara Baayun Mulud segera

dimulai.

b. tahap pelaksanaan

pelaksanaan upacara Baayun Mulud ditandai oleh dua kegiatan penting, yaitu :

pembacaan syair – syair arab yang berisi pujian – pujian kepada Nabi Muhammad

SAW dan kegiatan mengayun anak. Adapun proses pelaksanaannya adalah

sebagai berikut :

Pada hari pelaksanaan upacara, para peserta akan mendatangi tempat pelaksanaan

upacara. Bagi yang berasal dari luar daerah biasanya datang menggunakan

angkutan umum. Ada juga yang datang ke lokasi acara sehari sebelum hari

pelaksanaan. Biasanya mereka tidur di rumah-rumah penduduk yang ada di sekitar

mesjid.

Para peserta upacara Baayun Mulud

Sedang menuju lokasi upacara

Peserta yang datang, biasanya langsung mencicipi penganan khas Banjar yang

telah disediakan. Setelah mencicipi hidangan tersebut, para peserta berkumpul di

dalam masjid.
13

Sekitar jam 10.00 pagi, acara segera dilaksanakan dengan dipimpin oleh tokoh

agama. Pemimpin upacara menjelaskan tentang maksud dan tujuan pelaksanaan

upacara Baayun Mulud.

Salah seorang peserta bersiap-siap untuk mengayun anak

Kemudiaan pemimpin upacara mempersilahkan yang bertugas membacakan syair

– syair pujian kepada Nabi Muhammad SAW.

Ketika para pembaca syair – syair sedang bersiap –siap, para orang tua segera

mengayun putra – putri mereka di dalam ayunan.

Ketika syair – syair tersebut dibacakan, para orang tua segera mengayun putra –

putri mereka yang berada di dalam ayunan secara perlahan – lahan dengan cara

menarik salendang yang diikat pada ayunan.

Para orang tua sedang mengayun anak

Setelah syair – syair barisi pujian kepada Nabi Muhammad SAW selesai

dibacakan, acara dilanjutkan adalah pembacaan ayat – ayat suci Al – Quran.

Kemudian dilanjutkan dengan ceramah agama.

Selanjutnya, upacara Baayun Mulud ditutup dengan pembacaan doa dan makan

bersama.

Prosesi Upacara

Setelah semua peralatan dan bahan tersedia, maka prosesi upacara adat Baayun

Mulud sudah siap untuk dilakukan. Pelaksanaan upacara ini biasanya

dilangsungkan pada pagi hari. Pertama-tama, ayunan digantungkan di tempat

upacara, yakni di ruangan bagian depan. Sebelumnya, ayunan tersebut telah diisi

dengan batu pipih sebagai pemberat.


14

Orang-orang yang hendak menyaksikan jalannya upacara Baayun Mulud ini bisa

siapa saja, termasuk warga dari lain kampung. Bahkan, tidak jarang pula ada

orang yang sudah tua ikut upacara ini karena mereka merasa pada waktu kecil

dulu tidak sempat melakukan Baayun Mulud. Para hadirin upacara ini diatur tata

letaknya, yaitu memadati bagian sisi ayunan. Kaum laki-laki berjajar pada bagian

depan ruang utama masjid atau rumah, tepatnya di barisan depan jajaran ayunan.

Sedangkan tamu perempuan berada di sisi kiri-kanan dan belakang ayunan.

Sementara itu, semua syarat upacara diletakkan di bawah ayunan. Demikian pula

di setiap tiang utama masjid diletakkan piduduk yang ditempatkan pada dua buah

piring makan, yakni beras kuning dengan inti kelapa yang diletakkan tepat di

tengah-tengahnya.

Setelah semua siap, maka dimulailah acara pembacaan Kitab Maulid Nabi.

Naskah syair-syair yang dibacakan tergantung pada keinginan bersama. Prosesi

dimulai dengan pembacaan Syair Maulid yang dipimpin oleh seorang Tuan Guru

(ulama) dengan diiringi irama tetabuhan rebana. Syair-syair Maulid yang umum

dibawakan pada acara Baayun Anak seperti syair Mawlud Barjanzi, Mawlud

Syaraf al-Anam, atau Mawlud al-Dayba’i..

Saat syair-syair itu dibacakan, tepatnya ketika akan memasuki kalimat asyraqal,

anak yang akan diayun dibawa ke tempat upacara. Setelah batu pipih yang tadi

diletakkan di dalam ayunan dikeluarkan, maka barulah anak tersebut dimasukkan

ke dalam ayunan. Pada saat yang sama, yakni ketika memasuki kalimat asyraqal,

semua hadirin berdiri sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad


15

karena saat-saat itulah dipercaya bahwa ruh Nabi Muhammad hadir untuk

menebar berkah bagi semua orang yang ada di situ.

Sembari para hadirin berdiri, anak yang berada di dalam ayunan itu mulai diayun-

ayunkan secara perlahan-lahan, yakni dengan menarik sehelai selendang yang

sebelumnya telah dikaitkan pada pangkal ayunan (Data dari Museum Lambung

Mangkurat). Dalam tradisi urang Banjar, dikenal dua macam cara mengayun,

yakni mengayun biasa dan mengayun badundang. Mengayun biasa adalah

mengayun dengan mengayun-ayunka ayunan secara lepas, sedangkan mengayun

badundang adalah mengayun dengan cara memegang tali ayunan.

Ketika momen pembacaan kalimat asyraqal berlangsung, ibu si anak yang sedang

diayun itu turut khidmat dan ikut melafalkan lantunan kalimat syair sambil

mengangkat anaknya ke pangkuan. Pada waktu yang bersamaan, Tuan Guru yang

memimpin pembacaan syair berjalan ke arah ibu si anak untuk memberikan

tapung tawar kepada si anak.

Tapung tawar adalah tahap prosesi dalam memberi berkat dengan mengusap jidat

anak dan memercikannya dengan air khusus yang biasanya disebut dengan air

tutungkal. Air ini terdiri dari campuran air, minyak buburih, dan rempah-rempah.

Setelah selesai prosesi tapung tawar, para hadirin duduk kembali. Pembacaan doa

dilakukan dengan pengulangan sebanyak 7 (tujuh) kali. Setelah tapung tawar, ada

sejumlah kalangan tertentu yang melanjutkan upacara ini dengan prosesi naik

turun tangga manisan tebu atau acara batumbang, namun ada juga yang langsung

ke acara penutup.
16

Prosesi upacara Baayun Mulud ditutup dengan pembacaan doa yaitu doa Khatam

al-Mawlud. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat suci Alquran dan

diakhiri dengan ceramah yang disampaikan oleh seorang ulama. Setelah semua

rangkaian acara dilaksanakan, maka tiba saatnya bagi seluruh hadirin untuk

menyantap makanan bersama-sama.

5. Doa dan Mantra

Sebagai upacara yang dilaksanakan untuk mensyukuri kelahiran Nabi Muhammad

SAW, maka upacara tersebut ditandai oleh pembacaan syair – syair yang berisi

pujian, shalawat dan doa–doa untuknya. Syair – syair tersebut dibaca dengan cara

dilagukan secara merdu dan indah. Adapun syair – syair yang dibaca dalam

upacara ini, di antaranya adalah : syair barzanji, syair syarafal anam dan syair

doba’i.

6. Pantangan dan Larangan

Dalam pelaksanaan upacara Baayun Mulud atau Baayun Anak, terdapat beberapa

pantangan atau larangan yang hingga kini masih dipatuhi. Pantangan-pantangan

tersebut antara lain:

Hiasan janur tidak diperbolehkan berbentuk burung.

Anak yang sedang diayun tidak boleh dalam keadaan tertidur sewaktu upacara

Baayun Mulud/Baayun Anak sedang berlangsung.

Ada sejumlah kalangan yang tidak memperbolehkan kaum wanita memasuki

ruang tempat di mana upacara Baayun Mulud/Baayun Anak dilaksanakan, namun


17

ada juga yang memperbolehkan dengan menempatkan kaum perempuan di sisi

kiri, kanan, dan belakang ayunan.

7. Nilai-nilai

Pelaksanaan upacara Baayun Mulud atau Baayun Anak, yang kemudian berpadu

dengan kebudayaan Islam, mengandung nilai-nilai sebagai berikut:

Meneladani dan mengambil berkah atas keluhuran dan kemuliaan yang dimiliki

oleh Nabi Muhammad.

Wujud nyata kearifan lokal dalam menterjemahkan hadits dan perintah Nabi

untuk menuntut ilmu sejak dari buaian (ayunan). Ilmu yang dituntut adalah ilmu

yang telah dianjurkan oleh Nabi, yakni mencakup ilmu dunia dan ilmu akhirat.

Dalam pelaksanaan upacara ini terkandung harapan agar si anak yang diayun

selalu mendapat kebaikan dalam menempuh kehidupan yang selanjutnya.

Sebagai bentuk pelestarian tradisi leluhur namun dengan tetap menjaga nilai-nilai

keislaman.

Sebagai salah satu upaya untuk mewariskan dan mengenalkan tradisi urang Banjar

kepada generasi muda penerus bangsa.

Selain itu, doa-doa dan berbagai perlengkapan yang digunakan dalam upacara

adat Baayun Mulud/Baayun Anak juga memuat nilai-nilai tertentu. Misalnya,

susunan bahan-bahan dalam piduduk, antara lain beras dimaksudkan agar paras

muka si anak menjadi lebih rupawan, kelapa dan gula memuat maksud supaya

tutur kata si anak menjadi halus dan senantiasa berkata-kata manis (baik), garam

dengan harapan agar pembawaan si anak menjadi berwibawa, dan minyak goreng
18

(bagi anak perempuan) ditujukan supaya si anak menjadi orang yang peka

terhadap sekitarnya.

Meneladani Nabi Lewat Tradisi Baayun Anak

Awalnya, tradisi ini adalah upacara nenek moyang orang Banjar yang masih

beragama Kaharingan (anismisme). Lalu, ratusan tahun silam, para pendakwah

dengan arif meniupkan ruh Islam dalam tradisi yang disebut Baayun Mulud ini.

Sarat nilai filosofis, pesan religiusitas, dan kearifan lokal (local wisdom).

Pada masyarakat Banjar, upacara mangarani (memberi nama) anak termasuk

dalam upacara daur hidup manusia. Setelah bayi dilahirkan, memberi nama yang

baik sebagai harapan bagi hidupnya kelak, merupakan sebuah kewajiban.

Pemberian nama dalam adat Banjar dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama

dilakukan langsung oleh bidan yang membantu kelahiran anak tersebut. Proses ini

terjadi saat bidan melakukan pemotongan tangking (tali/tangkai) pusat, pada saat

itu bidan akan memberikan nama sementara yang diperkirakan cocok untuk anak

tersebut.

Pada waktu pemotongan tang-king bayi itu akan di-lantak-kan (dimasukkan

seperti ditanam) serbuk rautan emas dan serbuk intan ke dalam lubang pangkal

pusatnya. Hal ini dimaksudkan agar si anak kelak kalau sudah dewasa memiliki

semangat keras dan hidup berharga seperti sifat intan dan emas.

Pada upacara ini akan dimulai dengan membaca ayat suci al-Quran kemudian

diteruskan dengan pemberian nama resmi kepada anak yang dilakukan oleh

patuan guru yang sudah ditunjuk. Begitu pemberian nama selesai diucapkan,

rambut si anak dipotong sedikit, pada bibirnya diisapkan garam, madu, dan air
19

kelapa. Ini dimaksudkan agar hidup si anak berguna bagi kehidupan manusia

seperti sifat benda tersebut. Anak yang sudah diberi nama ini akan dibawa

berkeliling oleh ayahnya untuk ditapung tawari dengan minyak likat baboreh.

Tapung tawar diberikan oleh beberapa orang tua yang hadir di acara tersebut

(terutama kakeknya) disertai doa-doa untuk si anak.

Upacara ini dilakukan di dalam masjid, pada ruangan tengah masjid dibuat ayunan

yang membentang pada tiang-tiang masjid. Ayunan yang dibuat ada tiga lapis,

lapisan atas digunakan kain sarigading (sasirangan), lapisan tengah kain kuning

(kain belacu yang diberi warna kuning dari sari kunyit), dan lapisan bawah

memakai kain bahalai (kain panjang tanpa sambungan jahitan). Pada bagian tali

ayunan diberi hiasan berupa anyaman janur berbentuk burung-burungan, ular-

ularan, katupat bangsur, halilipan, kambang sarai, rantai, hiasan-hiasan

mengunakan buah-buahan atau kue tradisional seperti cucur, cincin, kue gelang,

pisang, kelapa, dan lain-lain.

Kepada setiap orang tua yang mengikutsertakan anaknya pada upacara ini harus

menyerahkan piduduk, yaitu sebuah sasanggan yang berisi beras kurang lebih tiga

setengah liter, sebiji gula merah, sebiji kelapa, sebiji telur ayam, benang, jarum,

sebongkah garam, dan uang perak. Piduduk ini bukan seperti sarana kemusyrikan

seba-gaimana tuduhan kaum puritan, tetapi nantinya dimakan beramai-ramai oleh

orang yang hadir. Sebagai ungkapan rasa syukur sekaligus merekatkan ikatan

emosional masyarakat. Upacara baayun mulud ini sudah merupakan upacara

tahunan yang selalu digelar bersama-sama oleh masyarakat Banjar.


20

Dalam upacara nanti akan dibacakan berbagai syair, seperti syair Barzanji, syair

Syarafal Anam, dan syair Diba’i. Anak-anak yang ingin diayun akan dibawa saat

di-mulai pembacaan asyarakal, si anak langsung dimasukkan ke dalam ayunan

yang telah disediakan.

Saat pembacaan asyarakal dikumandangkan, anak dalam ayunan diayun secara

perlahan-lahan dengan cara menarik selendang yang diikat pada ayunan. Maksud

diayun pada saat itu adalah untuk mengambil berkah atas kemuliaan Nabi

Muhammad SAW, orang tua yang hadir ber-harap anak yang diayun menjadi

umat yang taat, bertakwa kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Baayun asal katanya dari ‘ayun’, jadi bisa diterjemahkan bebas ‘melakukan proses

ayunan/buaian’. Bayi yang mau ditidurkan biasanya akan diayun oleh ibunya,

ayunan ini mem-berikan kesan melayang-layang bagi si bayi sehingga ia bisa

tertidur lelap. Asal kata ‘mulud’ dari sebutan masyarakat untuk peristiwa maulud

Nabi. Demikian dalam catatan Museum Lambung Mangkurat.

Tradisi yang dilakukan secara massal ini sebagai pencerminan rasa syukur kepada

Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya atas kelahiran Nabi Muhammad

SAW yang membawa rahmat bagi sekalian alam, upacara ini diibaratkan

melakukan penyambutan berupa puji-pujian yang diucapkan dalam syair-syair

merdu.

Upacara baayun mulud dilaksanakan pada pagi hari dimulai pukul 10.00, lebih

afdhol apabila dilaksanakan bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal. Bagi

orang tua yang mendapat kesempatan untuk mengikutsertakan anaknya dalam

upacara ini akan merasa sangat bahagia dan beruntung. “Tradisi ini sarat dengan
21

sejarah, muatan nilai, filosofis, akulturasi dan prosesi budaya yang berharga bagi

perkembangan Islam di Kalsel,” terang Zulfa Jamalie tuli-sannya yang berjudul

“Kearifan Lokal Dakwah dalam Tradisi Baayun Anak di Banua Halat”.

Uniknya, peserta Baayun Mulud ini tidak terbatas pada bayi yang ada di kampung

yang melaksa-nakan saja, tetapi boleh saja peserta dari kampung lain ikut

meramaikan. Bahkan saat ini ada saja orang yang sudah dewasa ikut baayun.

“Tujuannya beragam, ada yang sekedar ingin ikut-ikutan tetapi sebagian besar

karena nazar, ingin sembuh dari penyakit, membuang sial, mencari berkah, serta

sebagai ucapan syukur setelah satu keinginan telah terwujud,” ujar Abdul Khaer,

alumni IAIN Antasari Banjarmasin.

Menurutnya, tradisi semacam ini haruslah tetap dilestarikan sebagai salah satu

bagian dari kekayaan khazanah budaya Nusantara. Terlebih, Baayun Mulud juga

merupakan sebuah keberhasilan para pendakwah dalam meniupkan ruh Islam

pada tradisi nenek moyang. “Sehingga, dengan cara seperti ini Islam bisa

membumi di kawasan Nusantara.” lanjutnya.

Setelah Islam diterima dan dinyatakan sebagai agama resmi kerajaan oleh pendiri

kerajaan Islam Banjar, Sultan Suriansyah, pada tanggal 24 September 1526, maka

sejak itulah Islam dengan cepat berkembang, terutama di daerah-daerah aliran

pinggir sungai (DAS) sebagai jalur utama transportasi dan perdagangan ketika itu.

Jalur masuknya Islam ke Banua Halat adalah, jalur lalu lintas sungai dari

Banjarmasin ke Marabahan, Margasari, terus ke Muara Muning, hingga Muara

Tabirai sampai ke Banua Gadang. Dari Banua Gadang dengan memudiki sungai
22

Tapin sampailah ke kampung Banua Halat. Besar kemungkinan Islam sudah

masuk ke daerah ini sekitar abad ke-16.

Sebelum Islam masuk, orang-orang Dayak Kaharingan yang berdiam di kampung

Banua Halat biasanya melaksanakan acara Aruh Ganal. Upacara ini dilaksanakan

secara meriah dan besar-besaran ketika pahumaan (ladang) menghasilkan banyak

padi, sehingga sebagai ungkapan rasa syukur sehabis panen mereka pun

melaksanakan Aruh Ganal, yang diisi oleh pembacaan mantra dari para Balian.

Tempat pelaksanaan upa-cara adalah Balai, semacam balairung besar.

Setelah Islam masuk dan berkembang serta berkat perjuangan dakwah para ulama,

akhir-nya upacara tersebut bisa “diislamisasikan”. Sehingga jika sebelumnya

upacara ini diisi dengan bacaan-bacaan balian, mantra-mantra, doa dan

persembahan kepada para dewa dan leluhur, nenek moyang di Balai, akhirnya

digantikan dengan pembacaan syair-syair maulud, yang berisi sejarah, perjuangan,

dan pujian terhadap Nabi Muhammad SAW, dilaksanakan di masjid, sedangkan

Sistem dan pola pelaksanaan upacara tetap. “Akulturasi terhadap tradisi ini terjadi

secara damai dan harmonis serta menjadi substansi yang berbeda dengan

sebelumnya, karena ia berubah dan menjadi tradisi baru yang bernafaskan Islam,”

demikian terang sejarawan Banjar, HA Gazali Usman.

Menurutnya, tradisi semacam ini merupakan sebuah keberhasilan para pendakwah

dalam melakukan islamisasi budaya-budaya lokal, sehingga selaras dengan nilai-

nilai Islam.

Menyoal Baayun Maulid Di Komplek Makam Sultan Suriansyah


23

I            Orang Banjar dahulu mempunyai pamali atau pantangan dengan

menyatakan jangan maayun anak dekat kuburan nanti kapidaraan,seharusnya di

masjid agar anak yang diayun hatinya terpaut dengan masjid.

Pada hari Selasa, 15 Februari 2011 di beberapa tempat di Kalsel akan

diselenggarakan tradisi baayun maulid yakni kegiatan mengayun anak (maayun

anak) bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw (12 Rabiul

Awal 1432 H). Baayun asal katanya “ayun’ yang diartikan “melakukan proses

ayunan”. Bayi yang mau ditidurkan dalam ayunan biasanya akan diayun oleh

ibunya Asal kata maulid berasal dari peristiwa maulid (kelahiran) Nabi

Muhammad Saw. Dengan demikian, baayun maulid diartikan sebagai kegiatan

mengayun bayi atau anak sambil membaca syair maulid atau bersamaan dengan

peringatan maulid Nabi Muhammad Saw. Orang Banjar, kadang menyebut maulid

dengan sebutan mulud, sehingga disebut baayun mulud atau ayun mulud.

Selain Kuin Utara Banjarmasin, tradisi baayun maulid tahun ini akan

dilaksanakan di Masjid Jami Teluk Dalam, Banjarmasin, dan di Masjid Al

Mukarramah desa Banua Halat Kiri, Kecamatan Tapin Utara Kabupaten Tapin.

Perbedaannya adalah jika di Teluk Dalam dan di Banua Halat bertempat di

masjid, maka di Kuin Utara mengambil tempat di areal komplek pekuburan yakni

Komplek Makam Sultan Suriansyah.

Pengaruh Tradisi Pra Islam

Prosesi maayun anak pada tradisi baayun maulid sesungguhnya menggambarkan

adanya akulturasi budaya antara unsur kepercayaan lama dan Islam. Sebelum
24

mendapat pengaruh Islam, maayun anak sudah dilaksanakan ketika masyarakat

masih menganut kepercayaan nenek moyang (ancestorworship).

Tradisi asalnya dilandasi oleh kepercayaan Kaharingan. Dalam perkembangannya,

upacara maayun anak mengalami akulturasi dengan agama Hindu dan Islam. Hal

tersebut dapat dibedakan dari: (a) maksud dan tujuan upacara; (b) Pelaksanaan

upacara; (c) Perlengkapan upacara; (d) Perlambang atau simbolika yang

dipengaruhi oleh unsur-unsur kepercayaan Kaharingan, Hindu, dan Islam.

Berdasarkan tradisi asalnya, tata cara maayun anak dalam upacara baayun maulid

sebenarnya berasal tradisi bapalas bidan sebagai sebuah tradisi yang berlandaskan

kepada kepercayaan Kaharingan. Dan ketika agama Hindu berkembang di daerah

ini maka berkembang pula budaya yang serupa dengan baayun anak yakni baayun

wayang (didahului oleh pertunjukan wayang), baayun topeng (didahului oleh

pertujukan topeng) dan baayun madihin (mengayun bayi sambil melagukan syair

madihin).

Ketika Islam masuk dan berkembang, upacara bapalas bidan tidak lantas hilang,

meski dalam pelaksanaannya mendapat pengaruh unsur Islam. Menurut Alfani

Daud (1997) seorang bayi yang baru lahir dinyatakan sebagai anak bidan sampai

dilaksanakannya upacara bapalas bidan, yakni suatu upacara pemberkatan yang

dilakukan oleh bidan terhadap si bayi dan ibunya.

Selain dilaksanakan oleh masyarakat Banjar yang tinggal di perdesaan, upacara

bapalas bidan juga dilaksanakan oleh orang Dayak Meratus. Setelah bayi lahir,

orang Dayak Meratus kemudian melaksanakan upacara bapalas bidan, yakni

memberi hadiah (piduduk) berupa lamang ketan, sumur-sumuran (aing terak),


25

beras, gula dan sedikit uang kepada bidan atau balian yang menolong. Biasanya

sekaligus pemberian nama kepada sang bayi. Termasuk nantinya saat anak sudah

mulai berjalan (turun) ke tanah dari rumah (umbun) juga dengan upacara mainjak

tanah, tetap dipimpin oleh balian.

Pelaksanaan bapalas bidan, biasanya dilakukan ketika bayi berumur 40 hari.

Bapalas bidan selain dimaksudkan sebagai balas jasa terhadap bidan, juga

merupakan penebus atas darah yang telah tumpah ketika melahirkan. Dengan

pelaksanaan palas bidan ini diharapkan tidak terjadi pertumpahan darah yang

diakibatkan oleh kecelakaan atau perkelahian di lingkungan tetangga maupun atas

keluarga sendiri. Karena menurut kepercayaan darah yang tumpah telah ditebus

oleh si anak pada upacara bapalas bidan tersebut.

Pada upacara bapalas bidan ini si anak dibuatkan buaian (ayunan) yang diberi

hiasan yang menarik, seperti udang-udangan, belalang dan urung ketupat berbagai

bentuk, serta digantungkan bermacam kue seperti cucur, cincin, apam, pisang dan

lain-lain.

Kepada bidan yang telah berjasa menolong persalinan itu diberikan hadiah

segantang beras, jarum, benang, seekor ayam (jika bayi lahir laki-laki, maka

diserahkan ayam jantan dan jika perempuan diberikan ayam betina), sebiji kelapa,

rempah-rempah dan bahan untuk menginang seperti sirih, kapur, pinang, gambir,

tembakau dan berupa uang.

Karena memang berasal dari tradisi pra-Islam, maka di antara perlengkapan

baayun maulid seperti ayunan dan piduduk mempunyai persamaan dengan


26

perlengkapan langgatan pada acara tradisional aruh ganal yang yang dilaksanakan

orang DayakMeratus.

Ketika Islam datang ke daerah ini, acara bapalas bidan dan maayun anak tidak

dilarang, hanya kebiasaan yang tidak sesuai sedikit demi sedikit ditinggalkan.

Begitupula berbagai perlengkapan, maksud dan tujuan, dan perlambang

(simbolika) juga disesuaikan atau diisi dengan nilai-nilai Islam. Maayun anak

kemudian dilaksanakan bersama-sama di mesjid bersamaan dengan peringatan

maulid Nabi Muhammad Saw.

Mengapa Harus di Mesjid?

Dibanding baayun maulid yang diselenggarakan di Kuin, tradisi baayun maulid di

masjid Banua Halat sudah berlangsung lama, sejak ratusan tahun silam. Meski

para ulama sepakat bahwa peringatan maulid nabi tidak pernah dilaksanakan di

masa Nabi Muhammad Saw masih hidup, generasi sahabat, dan bahkan masa tiga

generasi sesudahnya, namun umat muslim melaksanakannya sebagai pencerminan

rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya atas

kelahiran Nabi Muhammad Saw yang membawa rahmat bagi sekalian alam.

Adanya puji-pujian dan shalawat yang menyertai peringatan maulid nabi

merupakan sebuah simbol akan kecintaan kepada nabi dan sekaligus harapan umat

Islam yang selalu mengenang, meneladani kehidupan, dan mengharap syafaat dari

Rasulullah kelak di yaumil akhir kelak.

Terlepas dari motif masing-masing peserta baayun yang nota bene diikuti oleh

orang-orang tua, maka maksud maayun anak bersamaan dengan peringatan

maulid nabi adalah untuk membesarkan nabi sekaligus berharap berkah atas
27

kemuliaan Nabi Muhammad Saw, disertai doa agar sang anak yang diayun

menjadi umat yang taat, bertakwa kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, serta

kehidupannya sejak kecil maupun dewasa hatinya selalu terpaut untuk selalu

sholat berjamaah di masjid.

Mengacu kepada contoh penyelenggaraan baayun maulid di masjid Banua Halat,

maka jelas sekali bahwa penyelenggaraan baayun maulid di komplek Makam

Sultan Suriansyah yang nota bene komplek pekuburan kurang selaras dengan

filosofi agar anak yang diayun hatinya terpaut dengan masjid. Apalagi orang

Banjar dahulu mempunyai pamali atau pantangan dengan menyatakan jangan

maayun anak dekat kuburan nanti kapidaraan (diganggu makhlus halus/roh orang

mati).

Oleh karena itu, maka seyogyanya tradisi baayun maulid yang diselenggarakan

sekitar 7 tahun terakhir di komplek Makam Sultan Suriansyah, hendaknya untuk

tanggal 15 Februari 2011 mendatang dipindah lokasinya ke Masjid Sultan

Suriansyah. Sedangkan lokasi yang ditinggalkan tetap dapat difungsikan yakni

sebagai lokasi haul Sultan Suriansyah dan keluarga raja-raja Banjar lainnya.

Inilah dialetika agama dan budaya. Budaya berjalan seiring dengan agama dan

agama datang menuntun budaya. Sehingga dengan model relasi yang seperti itu

mereka tetap menjaga dan me-lestarikan sebuah tradisi dengan prinsip “setiap

budaya yang tidak merusak akidah dapat dibiarkan hidup”, sekaligus mewariskan

dan menjaga nilai-nilai dasar kecin-taan umat kepada Nabi Muhammad SAW,

untuk dijadikan panutan dan teladan dalam kehi-dupan.


28

BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan

Upacara Baayun Mulud atau yang juga dikenal dengan sebutan Baayun Anak

merupakan tradisi yang mencerminkan transformasi atau perubahan budaya dari

keyakinan lama (kepercayaan kepada ajaran leluhur) ke kebudayaan yang dibawa

oleh ajaran Islam dan menjadi agama kemudian dianut oleh mayoritas urang

Banjar. Namun, perubahan budaya tersebut berlangsung dengan damai dengan

tetap menghargai dan mengakomodasi budaya lama yang sudah terlanjur menjadi

pegangan hidup masyarakatnya.

Baayun Mulud atau Baayun Anak merupakan sebuah tradisi yang dapat dimaknai

sebagai suatu upaya untuk menyampaikan ajaran Islam dengan mengakomodir

budaya lokal serta lebih menyatu dengan lingkungan hidup masyarakat setempat.

Dakwah kultural memang menghendaki adanya kecerdikan dalam memahami

kondisi masyarakat dan kemudian mengemasnya sesuai dengan pesan-pesan yang

terkandung dalam dakwah Islam.

Dengan demikian, upacara adat Baayun Mulud atau Baayun Anak sudah menjadi

salah satu simbol pertemuan antara tradisi dan ajaran agama. Mengayun anak,

jelas sebuah tradisi lokal yang dilakukan oleh masyarakat Banjar dan Dayak

secara turun-temurun dari dulu hingga sekarang untuk menidurkan anak-anak.

Sedangkan memberi nama anak, berdoa, membaca shalawat, membaca Alquran,

dan silaturrahmi merupakan anjuran dan perintah agama Islam. Kedua ritus ini

secara harmoni telah bersatu dalam kegiatan Baayun Mulud/Baayun Anak, yang
29

bahkan secara khusus dilaksanakan sebagai peringatan sekaligus penghormatan

atas kelahiran Nabi Muhammad.

Pada masa sekarang ini, tradisi Baayun Mulu atau Baayun Anak kerap

diselenggarakan secara massal dan dijadikan agenda budaya tahunan khas

Kalimantan Selatan. Salah satunya seperti yang dihelat di Museum Lambung

Mangkurat, Kabupaten Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan, rutin setiap

tahun sekali sebagai salah satu sarana untuk menyebarluaskan informasi secara

langsung dalam bentuk peragaan pagelaran adat budaya yang Islami.

III.2 Saran

Dengan adanya makalah ini maka kita lebih mengenal dan menghargai aset

budaya sejarah banjar dengan menjaga dan melestarikannya agar tidak terlupakan.
30

Daftar pustaka

2009.baayun mulud dan upacara mempengirati kelahiran nabi Muhammd SAW di

Kalimantan Selatan.(Online), (http://melayuonline.com di akses 26 Februari

2012) .

Lemlita.2012. perayaan maulid nabid alam budaya masyarakat di Kalimantan

selatan.(Online), (http://lemlita.wordpress.com di akses 26 Februari 2012) .

2012. beritadaerahpuluhan ribu umat hadiri baayun mulud.(Online),

( http://www.kalselprov.go.id di akses 26 Februari 2012) .

2007. upacara baayun mulud, baayun topeng dan baayun wayang.(Online),

http://kerajaanbanjar.wordpress.com di akses 26 Februari 2012)

Anda mungkin juga menyukai