Anda di halaman 1dari 5

Sumber Nenek 69 tahun Suku Minang di padang Di masyarakat minang tampuk pemegang kepemimpinan di dalam keluarga besar ada

pada tangan mamak-mamak (saudara laki-laki dari ibu). Orang minang sangat menghormati mamak, segala hal yang berhubungan dengan keluarga akan diambil dengan jalan musyawarah dan mufakat oleh mamak-mamak dalam satu rumah gadang (rumah keluarga besar). Sifat dasar yang selalu terbuka dalam mengambil keputusan dengan cara mufakat menunjukan bahwa orang minang itu toleran dalam berpendapat, hal ini mengindikasikan bahwa orang minang memiliki dimensi openness. Mamak juga berperan dalam mengayomi anak kemenakan dari saudara-saudaranya, hal ini dijelaskan seorang nenek ini yang tertuang dalam falsafah adat anak dipangku kamanakan dibimbiang, urang kampuang dipatenggangkan, maksudnya selain membesarkan anaknya sendiri, mamak harus dapat membimbing keponakan-keponakan seperti anak sendiri, dan bersikap bijak terhadap masyarakat. Hubungan dengan masyarakat yang baik mengindikasikan tingkat extraversion yang tinggi di masyarakat minang, orang minang akan selalu menghargai dan menjadi teman yang baik, akan tetapi tidak berlebihan terhadap orang asing. Peran penting dalam mengayomi keluarga besar menjadi keharusan yang mutlak bagi mamak-mamak di masyarakat minang, ini menggambarkan dimensi conscientiousness tentang pengorganisiran peran kepemimpinan dalam melindungi keluarga dan mendisiplinkan anak kemenakan. Pada pernikahan masyarakat minang biasanya diawali dengan perjodohan. Perjodohan ini sampai sekarang masih ada dan sebenarnya proses penjodohan ini di minangkabau dinilai bukanlah suatu pemaksaan, memang ada kepatuhan terhadap keluarga yang membuat anak-anak pada zaman dulu menerima saja perjodohan itu. Pada hal ini agreeableness mungkin terkait dengan rasa percayaan anak terhadap keluarga tinggi, dan cenderung menerima yang terbaik bagi keluarga. Pada beberapa kasus perceraian juga terjadi, akan tetapi sepertinya perceraian tersebut bukanlah hal yang perlu diratapi, seperti yang dikatakan nenek Ini, ayah tu dulu manikah jo amak wakatu amak umua 15 tahun, amak bini kaduo ayah tu mah, sabalum e ayah tu lah babini lo jo urang, tapi lah carai sabalum mampabini amak nyo. Lah nikah kami ndak, ayah tu rambang mato lo kiroe, nyo babini lo setelah baranak ampek jo amak, tapi amak ndak ambiak pusiang bana do, kok kapai pai lah nyo, kok kapulang pulang lah, ndak ado nan kamanagahan e do.. artinya ayah (sang kakek) itu menikahi nenek waktu nenek umur 15 tahun, nenek istrinya yang kedua sebelumnya kakek sudah beristri, tapi sudah cerai sebelum menikahi nenek. Setelah menikah, rupanya kakek ini jelalatan pula, dia akhirnya memperistri orang lain setelah memiliki empat anak bersama nenek, tapi nenek nggak ambil pusing, kalau kakek mau pergi silahkan, kalau mau pulang silahkan, nenek gak akan ngatur.. Dari penuturan diatas sepertinya jelas nenek tidak begitu cemas terhadap perceraian pernikahan seperti yang dialami perempuan pada umumnya, realitanya masyarakat minang dahulu memang banyak istri dan banyak suami tapi bukan dalam konteks poligami. Kecemasan (neuroticism) tidak begitu muncul

pada masyarakat minang, hal ini mungkin karena masyrakat minang memiliki tali persaudaraan yang kuat, adanya dukungan keluarga terhadap anak-anak yang selalu diayomi keluarga besar terutama mamakmamaknya.

Sumber Laki-laki 49 tahun Suku Minang di padang Orang minang itu taratur dalam bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama dan adat. Segala hal dalam hidup bermasyarakat itu diatur sedemikian rupa, seperti halnya berbicara, masyarakat minang menggunakan kato nan ampek (kata yang empat), yaitu; kato mandaki (kata mendaki) adalah cara bergaul dengan yang lebih tua, tidak berbicara kasar, mendengarkan nasehat-nasehat, dan tidak membantah ucapan orang yang lebih tua, yang kedua kato manurun (kata menurun) merupakan cara bergaul dengan yang lebih kecil, memberikan kasih sayang, mengayomi seperti seorang kakak dengan adik. Kemudian kato mandata (kata mendatar) itu merupakan tata cara berbicara dengan teman sejawat, bercanda, saling berbagi dan terakhir kato malereang (kata melereng) ini merupakan cara berhubungan dengan orang yang dihormati dan disegani, seperti sumando (suami dari adik atau kakak), ipa bisan (ipar besan), dan lain-lain. Cara berperilaku yang berbeda terhadap orang yang berbeda mencerminkan keramahan, bersahabat, simpatik dan peduli terhadap orang lain, karakter ini cenderung dapat di kategorikan sebagai agreeableness dan aspek moral. Akan tetapi keramahan orang minang tidak mengindikasikan suka mengalah terutama pada kaum laki-laki dan malah cenderung mempertahankan pendapat jika dianggap benar, tidak suka jadi pengikut dan tidak menghindari konflik, seperti pepatah minang menyatakan musuah pantang dicari, kok basuo pantang dielakan.. (musuh pantang dicari, jika bertemu pantang dihindarkan). Orang minang itu orang yang sangat peka terhadap sindiran, kiasan, ereang gendeang (gesture), raso pareso (perasaan), seperti yang di cerminkan dalam pepatah : " Alun takilek lah takalam, bulanlah sangkok tigo puluah, bulan taliek lah dimakan, lah tantu tampek bakeh tumbuah, takilek ikan dalam aia, ikan takilek jalo tibo tantu jantan batinonyo ". Maksudnya : sebelum diterangkan sejelas-jelasnya sudah harus mengerti gelapnya (masalahnya), bulan itu menandakan perhitungan yang matang akan masalah yang sudah terjadi, dari mana akar permasalahannya, dan sudah jelas duduk persoalannya. Pernyataan ini dapat merujuk ke opennes dan perasaan yang sensitive terhadap perasaan.

Selain itu semua anak laki-laki di minangkabau pasti akan menjadi mamak di keluarga, mamak itu adalah pemimpin bagi kaumnya, setiap pemimpin haruslan memiliki sifat seperti yang tergambar pada baju kebesaran datuak (pemimpin) di minang kabau, baju itu terdiri dari : Deta (Destar) dengan kerutan-kerutan yang mencerminkan isi kepala yang banyak pengetahuan dan huku-hukum, memiliki pemikiran yang tidak bisa ditebak anak kemenakan, kalau kerutan itu ditarik dapat melebar yang mencerminkan pemikiran yang lapang. Kerutan sendiri memiliki arti dalam menyelesaikan masalah harus berpikir dulu dengan bijak (mencerminkan kening yang berkerut) dan tidak memutuskan sesuatu dengan gtergesa-gesa. Baju gadang langan, baju hitam gadang langan, langan tasenseng bukan dek bangih, pangipeh angek nak nyo dingin, pahampeh abu nak nyo habih artinya, baju hitam besar lengan, lengan tersinsing bukan karena marah, pengipas hangat supaya dingin, pengipas debu supaya habis. Baju yang besar mencerminkan kelapangan dada, lengan besar mencerminkan ringan tangan. Sarawa (celana), basarawa hitam gadang kaki, kapanuruik alue nan luruih, kapanampuah jalan pasa dalam kampung, koto jo nagari, langkah salasai jo ukuran (bercelana hitam besar kaki, kepenurut alur yang lurus, kepenempuh jalan yang pasar dalam kampung, koto dan nagari langkah selesai dengan ukuran), memiliki makna cepat kaki melangkah menyelesaikan masalah. Sasampiang (sesamping), dapat berarti menjunjung tinggi kebenaran dan menjaga malu, dan sebaliknya mendukung anak perbuatan anak kemenakan selagi berhubungan dengan yang baik, intinya disini menjaga martabat. Cawek (ikat pinggang), berarti mempersatukan masyarakat Sandang, sandang pahapuih paluah di kaniang, pambungkuih nan tingga bajapuik, pangampuang nan tacicie babinjek, adalah bahwa seorang penghulu siap menerima anak kemenakan yang telah kembali dari keingkarannya dan tunduk kepada kebenaran menurut adat. Begitu juga segala ketinggalan ditiap-tiap bidang moril maupun materil selalu dijemput atau dicukupkan menurut semestinya. Keris, ini mencerminkan kekuatan seorang pemimpin, keris condong ke kiri bukan kekanan berarti pemimpin yang arif dan bijaksana harus berfikir dahulu sebelum menggunakan kekuasaannya dalam bertindak. Tungkek, berarti pemimpin harus lurus, jangan sampai condong, berpegangan lah kepada keadilan.

Dasar pernyataan baju kebesaran penghulu ini, menyangkut semua dimensi dari big five kecuali neuroticism.

Sumber Perempuan 21 th Suku Minang di Padang

Anak gadih (gadis) minang biasanya pemalu, tidak begitu terbuka terhadap lingkungan, terutama laki-laki, biasanya dulu anak perempuan diminang kebanyakan di pinggit, tidak bebas berhubungan dengan laki-laki. Dalam berpakaian sikap malu selalu ditekankan kepada anak perempuan, kalau dulu memakai selendang sebagai kerudung, sekarang memakai jilbab, dan memakai baju yang menutup aurat. Penekanan budaya malu sekarang sudah semakin luntur di berbagai daerah terutama kota besar. Kehidupan yang bermalu sudah menjadi kehidupan yang katanya emansipasi. Kebudayaan malu ini merupakan asas harga diri dalam masyarakat minang, sampai-sampai disimbolkan ke baju kebesaran datuak seperti yang di sebutkan sebelumnya, dengan memakai sesamping yang berarti menjaga malu. Dimensi ini tidak ditemui pada big five personality. Orang minang juga cerdik, pandai bertutur kata yang baik. Hal ini karena diminang ada tata karma berbahasa yang baik dengan kato nan ampek. Aspek ini juga tidak terdapat pada big five. Masyarakat minang adalah masyarakat yang 100% beragama Islam, semua perilaku dan aturan adat itu sesuai dengan aturan agama Islam, seperti yang dinyatakan dalam pepatahnya Adat basandi syara, syara basandi kitabullah, syara mangato adat mamakai, alam takambang jadi guru (adat bersendi ke syariat, syariat bersendi ke kitabullah, syariat menjelaskan adat menggunakan, alam semesta jadikan guru), jika ada salah seorang dari masyarakat minang keluar dari agama Islam, orang tersebut tidak akan diakui lagi sebagai orang minang, dan akan dibuang sepajang hayat. Kalau dilihat ke big five dimensi yang cocok dengan kesadaran beragama seperti ini tidak ada. Orang minang adalah perantau yang pandai bergaul dengan orang banyak, hampir tidak pernah orang minang merantau dan menjadi pemulung, biasanya orang minang dapat menjadi pedagang yang sukses atau menjadi pejabat dan setidaknya serba berkecukupan. Merantau seperti yang diungkapkan dalam ungkapan Ka rantau madang dahulu, babuah babungo alun (lebih baik pergi merantau karena dikampung belum berguna) ini merupakan perjalanan spiritual sebagai ujian untuk anak laki-laki dalam proses pendewasaan, diharapkan dengan merantau cakrawala pemikiran terbuka dan lebih memahami arti kehidupan yang sebenarnya. Disinilah orang minang menjadi pribadi yang mandiri dan tau menempatkan diri di masyarakat sejalan dengan pengalaman hidupnya. Hal ini terkait dengan conscientiousness meliputi kesadaran diri dalam prinsip dan realitas hidup.

Sumber Laki-laki 48 tahun Suku Jawa di sumatera utara Orang jawa adalah orang yang disiplin, mampu mengorganisir waktu dengan baik, biasanya orang jawa memiliki semangat bekerja yang keras. Pengorganisasian ini meliputi kesadaran akan tugas dan peran dalam pekerjaan, akan tetapi orientasi orang jawa untuk bekerja mengindikasikan harapan akan imbalan yang sesuai. Karakter ini termasuk dalam dimensi conscientiousness big five personality. Orang jawa cenderung sederhana dibandingkan mereka yang tinggal di kota. Kekeluargaan masih kuat. Gotong royong dan toleransinya masih sangat kuat. Orang jawa cenderung lebih ramah dan lebih

sopan santun terhadap orang yang lebih tua dari mereka yang lebih muda. Gaya hidup mereka pun tidak banyak pilih-pilih dan tidak gengsian, menerima hidup apa adanya. Kesederhanaan mencerminkan tingkat openness dan agreeableness yang cukup baik. Ada kecenderungan menahan perasaan apabila terkait dengan norma dan etika dalam masyarakat, orang jawa cenderung menyembunyikan ketidaksukaannya terhadap orang lain. Ini mengarah kepada kesadaran moral yang baik. Akan tetapi hal ini juga akan berujung kepada emosi yang meluap suatu ketika sehingga orang jawa cenderung tampak sebagai orang yang temperamental.

Sumber Laki-laki 19 tahun Suku Jawa di Sumatera Utara Orang jawa memiliki kepribadian yang ramah, bersahabat, dan akomodatif, sehingga orang jawa mudah diterima di mana saja. Sifat yang lemah lembut dan bersahabat juga jangan dipandang miring dan dapat dipermainkan, karena orang jawa filosofi tiga nga, ngalah, ngalih dan ngamuk. Dari segi extraversion yang tinggi jawa di sumatera lebih ke agreeableness tinggi sebagai orang yang cenderung mengalah dan menghindari konflik dengan tingkat neuroticism yang tinggi. Adat istiadat dijunjung tinggi oleh masyarakat jawa yang ada disumatera, kebudayaan tersebut tidak pernah berubah. Keberagaman acara adat yang ada dalam kebudayaan jawa juga amat sangat menarik, terutama pada acara adat pernikahan dan peringatan 7 bulanan seorang wanita jawa yang hamil (biasa disebut TINGKEBAN). Akan tetapi sebagian besar anak-anak suku jawa disumatera tidak semuanya dapat berbahasa jawa yang baik, bahasa jawa yang dipakai sudah terdistorsi dengan bahasa-bahasa sesuai dengan tempat tinggal mereka di sumatera. Sifat menjunjung adat yang tinggi diadaptasi dengan sedimikian rupa sehingga dimensi Openness lebih cenderung dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman setempat. Rasa kebersamaan melekat kuat pada masyarakat jawa, seperti penuturan subjek Sebagai seorang pemuda suku jawa yang lahir di Sumatera tidak pernah menciutkan jiwa saya atas pengakuan diri sebagai seorang pemuda jawa sejati. Untuk hal ini kami masyarakat jawa yang terlahir dan berdomisili di Sumatera memiliki suatu Organisasi yang dapat memperstukan ideologi kami atas masyarakat suku jawa, organisasi ini bernama PUJAKESUMA (Putera Jawa Kelahiran Sumatera). Dalam perjalanananya organisasi ini cukup mewadahi keseluruhan masyarakat jawa yang ada di wilayah tempat tinggal saya yang keseluruhannya juga merupakan masyarat suku jawa. Ini mencerminkan kesadaran akan identitas budaya yang mereka punya sesuai dengan dimensi conscientiousness.

Anda mungkin juga menyukai