Anda di halaman 1dari 2

Mencermati Ajaran Karuhun

Oleh Jamaludin Wiartakusumah Ketika ribut-ribut soal melemahnya "daya saing" orang Sunda, bahkan di kampung halamannya sendiri, banyak kritik kemudian dialamatkan terhadap berbagai watak atau karakter manusia Sunda. Upaya introspeksi yang kemudian menyalahkan ajaran karuhun umumnya terpatri dalam bentuk pepatah yang mengandung nilai filsafat praktis petunjuk hidup. Someah hade ka semah (bersikap ramah kepada tamu) digugat. Ajaran karuhun itu dituding telah membuat mental orang Sunda lembek dan terlalu lunak kepada pendatang. Sebuah gugatan yang salah kaprah mengingat ujaran itu mempunyai nilai luhur dan universal untuk bersikap baik kepada sesama. Gugatan itu juga seolah menutup mata terhadap kenyataan bahwa sudah sejak dahulu kala Tatar Sunda didatangi orang dari berbagai penjuru Tanah Air. Banyak tokoh nasional dalam segala bidang-sejak sebelum kemerdekaan-pernah menetap di Bandung, dari Bung Karno yang menjadi insinyur dan mendirikan PNI sampai Affandi yang mendirikan Persagi. Di bidang militer, hampir dapat dipastikan seluruh jenderal, marsekal, dan laksamana pernah menetap di Bandung karena Seskogab berada di Bandung. Mereka sedikit banyak pernah berinteraksi dengan kebudayaan dan masyarakat Sunda serta alam Parahyangan. Manusia Sunda sudah lama berinteraksi dengan kebudayaan luar yang masuk, baik langsung melalui pendatang maupun pengaruh modernisasi plus westernisasi. Bisa jadi justru karena tidak lagi mengamalkan ajaran karuhun itulah manusia Sunda lalu terpuruk. Memahami ungkapan atau pepatah orangtua sebaiknya tidak hanya satu-dua kalimat, tetapi harus dicermati konteksnya, dan kalau mungkin memahami keseluruhan ajaran itu. Ada banyak petunjuk hidup warisan leluhur untuk setiap segi kehidupan. Masing-masing, tentu ada yang bersifat kontekstual atau kondisional. Harmoni Untuk hidup rukun, ada rumus hidup harmonis yang diungkap dalam runtut raut sauyunan (hidup rukun bersama). Kebersamaan hidup dirumuskan dalam satata sariksa (satu aturan bersama-sama memelihara). Konsep "daya saing" yang diserap dari luar tanpa penyesuaian dengan nilai yang dianut budaya lokal mengakibatkan keruhnya kondisi secara umum karena istilah itu dipahami sebagai hidup untuk bersaing di mana-mana dan dengan segala cara. Akibatnya, lihatlah di jalan raya. Bukannya saling memberi kemudahan bagi yang lain, tetapi malah saling serobot. Budaya antre dianggap sebagai ciri penakut, bukannya ciri manusia berbudaya tinggi. Sikap yang ada di masyarakat bukanlah "saling bersaing", tetapi justru sebaliknya, terutama dalam budaya desa, yaitu gotong royong, kerja sama atau saling membantu, saling mendukung, dan kalau bisa guyub untuk kebaikan bersama dalam konteks hidup bermasyarakat. Seperti terdapat dalam ajaran silih asah, silih asuh, silih asih. Siliwangi sendiri konon berasal dari kata silih wangi yang artinya saling mengharumkan nama, dalam pengertian saling mendorong dan mendukung mencapai prestasi. Sementara siger tengah (meletakkan mahkota di tengah kepala) menunjukkan sikap untuk hidup moderat. Harus seperti apa orang Sunda hidup, terdapat dalam pepatah hirup kudu masagi (hidup harus seperti bentuk bujur sangkar). Maksudnya hidup harus dijalani dalam kualitas yang sama di semua sisi, tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga etika dan keluhuran budi, mencari kehidupan yang lebih baik, tetapi juga dibarengi ibadah. Tidak hanya menjalin hubungan dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama manusia. Berusaha mencari bekal hidup di dunia dan sekaligus di akhirat nanti. Elmu tungtut dunya siar (ilmu dipelajari, kekayaan juga cari).

Dalam masalah kepemilikan atau properti, ada etika yang harus dijalankan, yaitu Mipit kudu amit, ngala kudu bebeja (mengambil milik orang lain harus minta izin/memberitahu pemiliknya terlebih dahulu). Setiap benda mempunyai pemiliknya dan orang harus minta izin untuk mendapatkannya atau melakukan jual-beli untuk memperolehnya. Bagaimana sebaiknya memecahkan masalah, ada caina herang laukna beunang (airnya jernih ikannya dapat). Uraikan dahulu permasalahan satu per satu sehingga semua kerumitan terurai dan menjadi jernih. Dalam kondisi jernih seperti itu-termasuk pikiran-penyelesaian setiap masalah dapat ditemukan. Berani menghadapi risiko Kumaha engke (bagaimana nanti) dianggap sikap nekat tanpa perhitungan dan dianggap sikap sembrono dalam menghadapai masalah. Sikap yang tentu saja disalahkan karena hanya dipahami sebagai tidak punya perencanaan yang baik dan matang. Segala sesuatu sepertinya dipikirkan belakangan. Padahal, untuk sampai mengatakan kalimat itu, orang sudah melalui proses berpikir cepat untuk menganalisis permasalahan yang terjadi. Tidak lantas berarti nekat, tetapi justru telah dapat menyimpulkan permasalahan, perencanaan, dan penyelesaian berbagai kemungkinan. Kumaha engke adalah bersiap untuk hal yang akan terjadi di luar yang diperkirakan. Sesungguhnya ini sikap optimistis, percaya diri, dan berani mengambil risiko. Bentuk lain adalah kop badak kop maung (siap menghadapi segala risiko terburuk). Sikap teguh tercermin dari teu unggut kalinduan teu gedag kaanginan (tidak goyah kena gempa, tidak berubah kena angin). Minimnya orang Sunda yang menjadi pemimpin, terutama dalam skala nasional, dianggap akibat sikap mental mangga ngiringan, kumaha saena, atau kumaha nu dibendo. Sikap ini sesungguhnya hanya berlaku dalam konteks hubungan kerja bawahan dan atasan. Orang harus tahu diri terhadap posisi, dan ungkapan tadi hanya menunjukkan sikap loyal yang hanya ditunjukkan bawahan kepada atasan yang memang dipercaya sepenuhnya dapat mengambil keputusan yang baik. Orang harus loyal pada lembaga tempatnya bekerja, pemimpin, dan negara. Sikap ini juga terdapat dalam Parentah gancang lakonan, panyaur geura temonan, pamundut gancang caosan (Her Suganda, 2006: 42). Dalam masalah ekonomi, seperti mengatur keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran, ada saeutik kudu mahi, loba kudu nyesa (sedikit harus cukup, banyak harus ada sisa). Ketika pendapatan sedikit, orang harus dapat mengaturnya sedemikian rupa sehingga mencukupi kebutuhan. Dari beberapa contoh di atas tampak, bukan ajaran karuhun yang harus dipermak, tetapi telaah lebih dalam yang harus dilakukan! JAMALUDIN WIARTAKUSUMAH Dosen Desain Itenas

Anda mungkin juga menyukai