Anda di halaman 1dari 8

NILAI – NILAI MODERASI BERAGAMA DALAM

SEMBOYAN DAYAK KALIMANTAN BARAT ( STUDI


SEMBOYAN ADIL KA’TALINO, BACURAMIN KA’ SARUGA,
BASENGAT KA’ JUBATA ) :
Sejarah dayak kalimantan barat
Dayak tersebar di semua wilayah kabupaten, di pesisir dan pedalaman. Konsentrasi terbesar ada
di kabupaten Landak Sanggau, dan Bengkayang. Istilah Dayak digunakan pertama kali oleh
Rademaker tahun 1790 untuk menyebut komunitas yang sekarang kita kenal sebagai pribumi
yang beragama bukan Islam. Istilah ini sejajar dengan penggunaan istilah Melayu untuk
penduduk yang beragama Islam (Alloy, et al., 2008: 9). Istilah Dayak ini pada mulanya tidak
diterima oleh orang pribumi yang bersangkutan. Mereka tahu orang lain menggunakan istilah itu
untuk mereka dengan konotasi yang negatif. Apalagi kemudian seiring dengan konsep Dayak itu
tersirat pula makna kafir. Van Hulten (1992: 133) menceritakan pengalamannya ketika
bernegosiasi dengan orang Dayak di sebuah kampung. Orang kampung itu mengizinkan pastor
masuk dengan syarat tidak menyinggung orang kampung sebagai orang kafir. Dahulu bagi
pribumi bukan Islam, identitas Dayak dianggap sebagai sesuatu yang menghina dan memalukan.
Mereka menganggap istilah itu digunakan orang untuk menyebut mereka dalam konotasi
negative. Meskipun menolak menggunakan identitas Dayak, tetapi kalangan tertentu dari orang
yang disebut Dayak itu melihat ada satu ikatan emosional yang bisa dipakai untuk menyatukan
kekuatan politik pribumi bukan Islam.
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, sekitar tahun 1946, istilah Daja atau Daya digunakan oleh
Oevang Oeray dan kawan-kawan untuk menyatukan kekuatan politik dengan melahirkan Daja in
Action (DIA), yang kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Daya (PPD) di tahun 1945. PPD
yang mendapat 12 kursi di Kalimantan Barat pada Pemilihan Umum 1955 mengantarkan Oevang
Oeray menjadi gubernur di tahun 1960. Beberapa tahun kemudian kekuatan politis PPD meredup dan
penggunaan istilah Daya jarang digunakan lagi (Aju dan Zainuddin, 2013: 28-30). Pada fase ini,
identitas Dayak cenderung dianggap sebagai sesuatu yang negatif (Yusriadi, 2008:21) Hingga
kemudian, pada 1980-an, identitas Dayak mulai sering digunakan oleh orang pribumi, terutama para
aktivis, intelektual, dengan makna yang positif. Pada masa itu istilah Dayak menjadi pengikat untuk
bangkit dari keadaan yang disebut terpinggirkan (marginal). Penggunaan makna ini diterima secara
meluas, terlebih di masa itu jabatan politik memang bukan dipegang oleh orang Dayak. Padahal ada
anggapan umum bahwa orang Dayak adalah penduduk asli Kalimantan Barat. Di sini identitas
menjadi pengikat dari aspek budaya sehingga membentuk satu entitas baru dalam masyarakat
Kalimantan Barat. Bahkan di tahun 1990-an, istilah Dayak di Kalimantan Barat mulai dipakai pula
oleh kalangan pribumi yang memeluk agama Islam, yang sebelumnya lebih sering dikenal dengan
identitas Melayu, Senganan, atau Laut. Sejak saat itu istilah Dayak Islam pun diperkenalkan.
Makna Semboyan
Dalam setiap suku bangsa memiliki keberagaman dalam budaya dan bahasa, demikianlah dengan suku dayak yang ada
di Kalimantan Barat yang dalam keberagamannya mempererat ikatan persaudaran dengan semboyan Adil Ka’ Talino,
Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata. Semboyan ini dapat di ucapkan pada acara formal dan non formal.
Contohnya acara formal yaitu pertemuan forum dayak, musyawarah desa, dan rapat ketua adat atau kepala suku,
sedangkan non formal ialah dalam percakapan sehari, perjumpaan ditempat tertentu dengan sesama dayak atau diluar
dayak. Apabila semboyan ini diucapkan oleh orang diluar suku dayak, maka orang yang mengucapkannya sangat
disambut baik. Hal itu dilakukan sebagai penghargaan kepada orang tersebut yang sudah mau belajar, serta masuk
kedalam kebudayaan dayak. Setiap kali semboyan dikumandangkan, haruslah dijawab dengan kata arus, arus, arus.
Kata arus harus diucapkan sebanyak 3 kali sebagai simbol kekuatan. Makna semboyan ini Adil Ka’Talino, Bacuramin
Ka’ Saruga, Basengat Ka’Jubata. Adil Ka’ Talino memiliki arti bahwa manusia harus bersikap adil kepada sesama
manusia. Sedangkan, Bacuramin Ka’ Saruga memiliki pengertian bahwa manusia harus bersikap dan berbuat seperti
kehidupan di surga (perbuatan-perbuatan baik). Basengat Ka’ Jubata menandakan bahwa bernafas/hidup manusia
tergantung dari Tuhan sebagai sumber pemberi kehidupan. Semboyan ini menghimbau setiap individu untuk bersikap
adil, jujur, tidak diskriminatif terhadap sesama manusia, dan dengan mengedepankan perbuatan-perbuatan baik seperti
di surga. Pengertian secara keseluruhan ialah memberi perenungan bagaimana seharusnya manusia bersikap dan
bertutur kata. Semboyan ini membawa sebuah pengertian baru dalam kehidupan manusia untuk bersikap adil, jujur,
tidak diskriminatif terhadap sesama manusia dan dengan mengedepankan perbuatan-perbuatan baik seperti di surga.
Potret Nilai Moderasi Beragama dalam semboyan Adil
Ka’talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata.
Masyarakat adat hidup dalam tradisi yang sudah turun temurun terpelihara,
kehadiran peraturan pemerintah tidak dapat mengintegrasikan kehidupan masyarakat
adat. Hal ini membuat masyarakat adat semakin bertanya, bukankah pemerintah hadir
untuk mensejahterakan rakyat. Dalam pengamatan peneliti, masyarakat adat bersatu
memperperjuangkan kearifan lokal, sebagaimana kaitannya dengan pembakaran lahan
untuk ditanami padi sebagai sumber penghasilan masyarakat adat. Masyarakat adat
menempatkan peraturan adat, sebagai kebenaran yang mutlak sebagaimana peraturan
mengenai pasca panen padi lahan tersebut ditanami pohon ulin. Bahkan dalam
beberapa kasus sosial yang melibatkan orang dayak, peneliti melihat ada solidaritas
yang tinggi yang ditunjukan melalui tindakan. “Adil Ka’ Talino”memiliki arti berbuat
adil, seadil-adilnya kepada sesama baik dalam keputusan maupun Tindakan.
Bacuramin Ka’Saruga kehidupan sosial di dunia tentu sangatlah berbeda dengan kehidupan surga.
Bercermin kepada kehidupan surga memberikan sebuah pemahaman bahwa menghadirkan kedamaian
dalam kehidupan sosial. Sebagaimana yang menjadi keyakinan masyarakat dayak, bahwa kehadiran
Jubata ada di mana-mana. Hal tersebut, mendorong ciptaan-Nya untuk menghadirkan damai di manapun.
Dengan hadirnya kedamaian memampukan pelaku sosial untuk berbuat baik dengan berpatokan pada
norma, adat, dan tradisi. Dalam masyarakat dayak, meyakini adanya kehidupan setelah kematian yang
disebut Sebayant. Hal ini mendorong masyarakat adat berusaha menciptakan kehidupan sosial yang
mencerminkan kehidupan di surga. Realita sosial mengingatkan perjuangan masyarakat dayak tidaklah
mudah karena peraturan dan norma dapat dikompromi oleh manusia. Bercermin kepada kehidupan surga
memberikan gambaran bahwa kehidupan di dunia belum aman seutuhnya.
Dengan kehadiran semboyan mengatur terjalinnya interaksi sosial dalam menjalin relasi baik dengan
sesama dayak maupun orang diluar dayak. Melalui semboyan ini juga ada komunikasi didalamnya
sebagaimana penggunaannya, harus mendapat jawaban arus-arus sebanyak tiga kali dengan antusias
yang tinggi. Ketika bahasa menjadi media dalam menyampaikan gagasan, semboyan Adil Ka’Talino,
Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka Jubata berkontribusi dalam menanamkan nilai-nilai, doktrin, serta
ideologi. Bahkan ada pengalaman dibalik pengucapan semboyan ini, yaitu pengalaman bersama dalam
mencapai tujuan bersama.
Pertama, Adil Ka’Talino (relasi manusia dengan manusia) adalah suatu jaminan hidup bahwa manusia
bukanlah makhluk yang tertutup dalam kesadaran diri yang egois dan individual.Manusia Dayak
menyadari dirinya adalah pribadi yang relasional dan sosial. Memang secara oposisisonal orang dayak
Adil Ka’Talino tidak memiliki konsep tentang “Aku” dan “Aku yang lain, seperti yang dikonsepkan oleh Prof. Armada
Riyanto (Guru Besar Filsafat di STFT Widya Sasana) dalam Relasionalitas. Namun perkembangan
kesadaran “Aku” atau “Diri” dan “Sesama” berjalan serentak beriring-iringan karena sejatinya manusia
perlu membangun relasi kepada yang kelihatan yakni sesama kemudian kepada yang Transenden.

Kedua, Bacuramin Ka’ Saruga (relasi manusia dengan alam raya). Titik tolak dari prinsip kedua ini adalah
kesadaran masyarakat Dayak bahwa hidup bersama merupakan sebuah realitas yang kompleks dan
konfliktual. Manusia tidak hanya perlu membangun relasi dengan sesamanya saja tetapi juga dengan alam
Bacuramin Ka’ Saruga semesta ini. Bacuramin Ka’ Saruga ini juga merupakan prinsip yang mengantar orang pada pandangan
tentang surga. Karena surga adalah simbol perdamaian, ketenangan, sukacita dan kesempurnaan. Dengan
demikian, orang Dayak berusaha mengaktualisasikan hidup yang teratur dengan semangat “memandang”
surge.

Ketiga, Basengat Ka’ Jubata, prinsip hidup yang mengarahkan diri pada yang transensdental, yakni Allah
Sang Pemberi Hidup. Orang Dayak menyadari diri bahwa hidupnya merupakan suatu pemberian dari
yang transendental tersebut. Maka tidak heran bila orang Dayak sering kali melakukan ritual dalam
berbagai kegiatan dengan intensi mohon restu dan berkat dari Jubata (Sang Pemberi Hidup). Kesadaran
Basengat Ka’Jubata inilah yang menjadikan orang Dayak bergantung pada Yang Pemberi Hidup tersebut. Dengan memiliki
kesadaran ini, orang Dayak berusaha membangun relasi yang mendalam dengan–Nya. Kesadaran yang
mendalam ini membawa orang pada nilai yang hidup teratur karena mengarah pada “Kebaikan Tertinggi”.
KESIMPULAN

Setiap suku memiliki cara yang khas untuk mempererat persaudaraan yang ada, demikian dengan suku dayak
dalam pengucapan Adil Ka’Talino, Bacuramin Ka’ Saruga. Setiap respon yang diberikan merupakan transfer
semangat yang tidak disadari dapat menular. Bahkan dalam keberadaannya semboyan ini sangat diakui, dan
dapat membawa dampak besar baik di dalam suku dayak maupun diluar lingkungan dayak. Sebagaimana
artinya bersikap adil kepada sesama dalam tindakan dan perbuatan, bercermin kepada kehidupan surga, serta
menginggat kehidupan adalah pemberian Sang Pencipta. Dalam menjalankan peran dan fungsinya di tengah-
tengah masyarakat dayak bukanlah hal yang mudah. Mengingat kemajuan zaman yang semakin memudarkan
kearifan lokal, budaya dan tata cara diluar dayak sudah berbaur dengan tradisi yang ada. Nilai-nilai dan norma
masyarakat dalam perkembangannya semakin memudar, sehingga sampai pada titiknya akan hilang dan punah.
Jika tidak ada kesadaran dalam individu untuk menjaga sebagaimana keberadaannya , Serta hari ini kita
kaitkan dengan moderasi beragama aalah dasar pemahaman tentang cara beragama dengan ragam kultural serta
kita beragama tidak terlalu ekstrim.

Anda mungkin juga menyukai