Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

KEPASUNDANAN
NAMA : Dr. Eden Komarudin Soeardi, M.Si.
Alamat : Jalan Siti Aisyah C6/75 – Griya Cempaka Arum
Gedebage – Kota Bandung
No. Kontak : 0811209390
email : eden.k.soeardi@unpas.ac.id
eksoeardi@gmail.com

1. Apa yang saudara ketahui tentang ke-Pasundanan ?


2. Mengapa kaum milenial sudah meninggalkan nilai-nilai
budayanya ?
LATAR BELAKANG
• Kondisi existing, globalisasi secara nyata telah menggeser nilai-nilai budaya lokal. Nilai budaya
asing yang berkembang begitu pesat di dalam kehidupan masyarakat, sehingga local wisdom
(kearifan lokal) di negara-negara berkembang mulai tergerus oleh budaya massa yang begitu
kuat mengakar.
• Mengakibatkan nilai-nilai budaya lokal terlupakan, tak terkecuali budaya dan nilai-nilai
warisan leluhur Sunda, yang telah menjadi kedirian urang Sunda.
• Dan hal ini dalam pandangan Saini KM merupakan pertanda kekalahan budaya.
• Nilai-nilai kearifan lokal Sunda yang beberapa masa sebelumnya menjadi landasan dalam
berperilaku seperti: keyakinan, pemahaman atau wawasan, adat kebiasaan atau etika, nilai
filsafat yang disisipkan dalam dongeng rakyat, peribahasa, dan sebagainya mulai tergantikan
oleh budaya baru yang merupakan efek globalisasi. (Ilham Choirul Anwar, 2021)
EFEK GLOBALISASI
• Banyak peribahasa yang dulu menjadi landasan perilaku masyarakat Sunda, seperti : "Indung suku
ge moal dibejaan" yang berarti “ibu jari pun tak akan diberi tahu." (anjuran untuk berkomitmen
saat menjaga rahasia ketika seseorang diberikan amanah). sekarang aib menjadi komoditas
• "Dikungkung teu diawur, dicangcang teu diparaban (Dikurung tidak dirawat, diikat tidak diberi
makan)". ditujukan pada suami yang tidak merawat istrinya dengan menafkahinya. saat ini,
praktek-praktek kekerasan kepada istri, istri bekerja laki-laki di rumah, menunggu hasil keringat
istri, dengan berlindung dibalik emansipasi, kerap kali terjadi.
• "cul dogdog tinggal igel" yang mengandung ajaran moral bahwa orang yang serakah akan tercela di
masyarakat, namun sekarang banyak orang yang serakah, lupa diri dan tidak bertanggung jawab.
• "nété tarajé nincak hambalan" yang mencerminkan pandangan mengenai ketertiban dan
kedisiplinan dalam mencapai suatu maksud yang diinginkan, namun saat ini tak sedikit berpola
ingin instan, tidak mau berproses, sehingga menghalalkan segala cara.
LANDASAN KEPASUNDANAN
• Dari sinilah titik keberangkatan Yayasan Pendidikan Tinggi (YPT) Pasundan,
mencoba untuk ngarawat, ngamumule tur ngaludang ngahudangkeun local
wisdom yang kita miliki sebagai getih Sunda, untuk membentengi diri dari imbas
negatif globalisasi, atau dengan kata lain memadu-madankan kedua sisi, sehingga
muncul yang dikatakan konsepsi “Think globally and act locally” (berpikir
secara global dan bertindak secara lokal).
• Ungkapan ini kemudian disusul oleh datangnya ungkapan yang senada
yaitu “Think locally and act globally” (berpikir secara lokal dan bertindak
secara global).
LANDASAN BERFIKIR YPT PASUNDAN
• Dengan “Think globally and act locally” mendorong visi di seluruh dunia tentang apa yang
dilakukan, tidak dilakukan, dan harus dilakukan untuk mengurangi secara adil beban dan
penyebab permasalahan yang buruk bagi dunia. Sementara bertindak secara lokal adalah
seruan kepada semua orang untuk menjadi peserta aktif, bukan lagi subjek pasif, dari apa
yang dilakukan untuk dan oleh mereka. (Arry Bainus dan Junita Budi Rachman, 2019)
• Ungkapan “Think globally and act locally” kerap dihadirkan untuk mengingatkan bahwa
masalah global pada era masa kini tak dapat diingkari terkait dengan masalah lokal,
atau masalah lokal tak lepas dari masalah global. Permasalahan global-lokal serius, dari
yang bersifat ringan sampai yang terberat. Solusi bagi permasalah global-lokal umumnya
membutuhkan konsensus, komitmen dan kerja sama dalam skala bilateral, multilateral,
regional dan global.
THINK LOCALLY ACT GLOBALLY
• Dengan demikian, “Think Globally, Act Locally” merupakan dorongan untuk memiliki wawasan
global namun dalam tindakan secara lokal sesuai dengan kearifan yang dipahami dilingkungan
setempat.
• Dengan memahami "Think global, act local" kita bisa menata strategi seperti apa yang harus kita
jalankan untuk merubah keadaan, atau mewujudkan pandangan idealisme. Pemahaman akan
wawasan lokal adalah modal utama dalam memulai perubahan apapun.
• Sebagai pelaku di tingkat lokal yang berupaya untuk mempertahankan dan ngamumule local
wisdom, local knowledge, local genious Sunda, Paguyuban Pasundan, dituntut menciptakan
konten (nilai-nilai kearifan lokal), lalu merumuskan bagaimana local wisdom yang harmonis
dengan global wisdom (termasuk Islam didalamnya).
THINK LOCALLY ACT GLOBALLY -
SUNDA
• Sebenarnya modalitas untuk itu dimiliki oleh kebudayaan Sunda, karena karakteristik
masyarakat Sunda adalah masyarakat yang terbuka, bahkan RH. Hidayat Suryalaga,
mengatakan terlalu terbuka, yang someah hade ka semah, yang mudah menerima pengaruh
dari luar.
• Namun ada keunikan dari karakteristik masyarakat Sunda adalah masyarakat kreatif, yang
tidak jarang mengkolaborasikan nilai-nilai baru dengan nilai-nilai lokal, dan menghasilkan
nilai baru atau budaya baru yang karakteristiknya berbeda dari nilai-nilai asalnya.
• Salahsatunya adalah mampu memadumadankan nilai lokal Sunda, dengan nilai Global Islam
dalam wujud harmonisasi Islam Sunda atau Sunda Islam, da Sunda mah geus Islam samemeh
Islam.
KEPASUNDANAN
• Paguyuban Pasundan memiliki tekad untuk mendokumenkan local
wisdom, local knowledge, local genious Sunda dalam Kepasundanan.
Mata Kuliah ini akan membicarakan tentang Sunda beserta nilai-
nilai, norma-norma perubahan yang terjadi atas kebudayaan Sunda
dan masyarakat pelakunya.
Apakah kepasundanan itu ?
• Paling tidak ada dua bentuk yang serupa sebelumnya, yaitu: Ke-Tamansiswa-an
dan ke-Muhammadiyah-an. Maka Ke-Pasundan-an menjadi mudah dipahami
maksudnya. Namun dari epistimologis, tentunya saja hal ini terkesan rancu.
• Baik Taman-siswa maupun Muhammadiyah merupakan nama/ideomatika yang
baku, sementara Pasundan merupakan bentukan kata berdasarkan kata baku
Sunda. Namun perlu kita komparasikan dengan pengertian Pasundan sebagai
nama lain dari Sunda yang mengandung arti domisili atau lokasi tempat Orang
Sunda bermukim/tinggal.
Apakah kepasundanan itu ?
• Jika alternatif terakhir yang digunakan, maka pengertian kepasundanan
adalah nilai-nilai Sunda yang dijalankan berdasarkan norma yang berlaku.
Namun apabila dikaitkan dengan organisasi PAGUYUBAN PASUNDAN,
nilai-nilai tersebut dilaksanakan melalui bidang pendidikan nasional yang
berorientasi pada pendidikan karakter (character building).
• Tentang hal tersebut, maka materi ke-Pasundan-an (selanjutnya disebut
sebagai Kepasundanan), adalah nilai-nilai budaya Sunda yang
ditransformasikan melalui kependidikan dengan tujuan untuk menghasilkan
manusia yang berbudaya, dalam percaturan persaingan peradaban global.
SEMANGAT KEPASUNDANAN
• Semangat Kapasundanan merupakan upaya sebagai harietage budaya dan transformasi
tradisi Sunda dalam kerangka budaya secara luas. secara garis besar dibagi menjadi 6
(enam) bagian:
a. Kasundaan,
b. Paguyuban Pasundan sebagai organisasi etno-modern,
c. Harmonisasi Islam dan Sunda,
d. Filsafat dan Nilai-nilai Sunda,
e. Konsepsi Tritangtu,
f. Jatidiri Kepasundanan.
KA-SUNDA-AN
• Pengaruh bahasa Sansekerta, pengaruh perdagangan bangsa-bangsa
Eropa dan Bangsa-Bangsa Arab telah memberikan sumbangan besar
tentang Sunda, namun pada akhirnya kami sepakat untuk
memberikan ruang terhadap pemahaman Sunda secara utuh, tidak
hanya berdasarkan pengaruh-pengaruh tersebut di atas. Bahkan
untuk mencari nama Sunda, kami (para penulis) mencoba mencari
pemahaman baru dengan meletakkan literasi tersebut sebagai
kepentingan pihak lain.
PAGUYUBAN PASUNDAN
• Hal ini menjadi bagian penting dalam pergerakan masyarakat sunda
menjelang kemerdekaan dan paska kemerdekaan. Organisasi etno-
modern, pada tahun kelahirannya mengalami gesekan gesekan dan
benturan-benturan gagasan.
• Namun waktu telah membuktikan, strategi pilihan bidang
pendidikan telah membawa Paguyuban Pasundan melampaui satu
abad (seratus tahun), dan terus berkembang tumbuh membangun jati
dirinya hingga sekarang.
HARMONISASI ISLAM DAN SUNDA
• Fenomena masyarakat sunda yang menerima Islam dengan suka cita dan
melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari telah memberikan inspirasi
kepada Haji Endang Saefudin Anshari untuk menyatakan secara retoris bahwa
“Islam teh Sunda dan Sunda teh Islam”artinya bahwa “Islam itu sama dengan
Sunda dan Sunda itu ya Islam”. Istilah ini tidak berlebihan kiranya apabila kita
menyaksikan bagaimana masyarakat sunda menjalani kehidupannya sehari-hari.
Kekuatan aqidah akan adanya satu-satunya Illâh (sesembahan) yang berhak
disembah dan pengamalan keislaman yang dipandu oleh kesadaran keimanan
yang mendalam telah menjadikan komunitas sunda identik dengan Islam.
HARMONISASI ISLAM DAN SUNDA
• Salah satu wujud dari keharmonisan antara nilai-nilai Agama Islam
dengan Kebudayaan Sunda yang dipraktekan oleh masyarakat Kampung
Naga adalah tradisi Hajat Sasih. Hajat sasih adalah sebuah tradisi yang
mencerminkan harmonisnya antara agama Islam dengan Kebudayaan
Sunda. Ketika Islam masuk ke Tatar Sunda, ia dihadapkan pada
kepercayaan yang telah ada sebelumnya. Kepercayaan yang diwarisi
secara turun-temurun dan dipengaruhi oleh berbagai kepercayaan yang
datang setelahnya yaitu agama Hindu dan Budha. (Nina Lubis, 2003 :
115)
FILSAFAT DAN NILAI-NILAI SUNDA
• Dalam kehidupan orang Sunda menerapkan ramah, bersikap baik, menjaga,
menjamu, dan membahagiakan setiap tamunya atau setiap orang. Hal itu tercermin
dalam pandangan hidup “Someah Hade ka Semah”. Semuanya itu ‘membungkus’
orang Sunda hingga dipandang pribadi yang menyenangkan. Suka humor, baik hati
dan taat beribadah atau rajin netepan/sholat.
• Berkaitan dengan filsafat (dalam bahasa Sunda falsafah atau palasipah), yang
kurang lebih sama dengan philosophy, memiliki arti berpikir tentang berpikir
(thinking about thinking) (Ted Honderich, 1995), bagi orang Sunda, kearifan hidup
dan buah pikiran, lebih banyak disampaikan secara lisan, karena tradisi tulisan
belum melembaga dalam masarakat Sunda lama.
KONSEPSI TRITANGTU
• Tri Tangtu adalah cara berpikir masyarakat tradisional Sunda. Tri tangtu
berasal dari bahasa Sunda, di mana kata tri atau tilu yang artinya tiga dan
tangtu yang artinya pasti atau tentu. Masyarakat tradisional Sunda
memaknai tri tangtu sebagai falsafah hidup yang berpedoman pada tiga hal
yang pasti yakni; Batara Tunggal yang terdiri dari Batara Keresa, Batara
Kawasa dan Batara Bima Karana. Cara berpikir dalam pola pembagian tiga
adalah umum untuk masyarakat Indonesia, karena orang Indonesia hidup
dalam pertanian ladang.
KONSEPSI TRITANGTU
• Dalam pandangan hidup orang Sunda, ditegaskan bahwa orang Sunda tidak
mengandalkan keyakinan hidupnya itu pada kekuatan diri sendiri saja, melainkan pada
kuasa yang lebih besar, pengguasa tertinggi, sumber dan tujuan dari segalanya, yang
disebut dengan berbagai nama, antara lain Gusti Nu Murbeg Alam. Tritangtu merupakan
keselarasan di antara 3 hal dalam hidup, yakni manusia, alam semesta, dan Tuhan.
• Menurut Stephanus Djunatan (2011), kebahagiaan tidak akan diperoleh jika tidak terjadi
keseimbangan hidup antara tiga ketentuan tersebut yakni manusia, alam, dan Tuhan.
Dengan kata lain, masyarakat Sunda meyakini kebahagiaan dan kesejahteraan hanya
akan diperoleh jika manusia dapat memelihara hubungan harmonis antara dirinya
dengan sesama, antara dirinya dengan Tuhan, dan juga antara dirinya dan alam.
JATIDIRI KEPASUNDANAN
Pengkuh Agamana, Jembar Budayana, Luhung Elmuna
Nyantri, Nyunda, Nyakola
Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh

Anda mungkin juga menyukai