Anda di halaman 1dari 9

Makna “Silas” Menurut Kearifan Budaya Sunda Perspektif Filsafat Nilai: Relevansinya Bagi Pemberdayaan Masyarakat Miskin

( Firdaus Saleh, Soejadi, dan Lasiyo )

MAKNA “SILAS” MENURUT KEARIFAN BUDAYA SUNDA


PERSPEKTIF FILSAFAT NILAI:
RELEVANSINYA BAGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN
Firdaus Saleh 1, Soejadi 2 dan Lasiyo2
1
Kandidat Doktor Ilmu Filsafat Fakultas Filsafat UGM
2
Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta.
E-mail : firdaussaleh3@gmail.com

Makna silih asih, silih asah, silih asuh (Silas) sebagai kearifan budaya Sunda mengandung nilai
keharmonisan dalam membangun kualitas kemanusiaan, sehingga digunakan sebagai metode
pemberdayaan masyarakat miskin. Dalam perspektif filsafat nilai, makna nilai tersebut memiliki relevansi
bagi pemberdayaan masyarakat miskin, karena secara sistematika filsafat menunjukkan bahwa, silih
asih mengandung makna nilai ontologis, silih asah mengandung makna nilai epistemologis, dan silih
asuh mengandung nilai aksiologis. Pada hakikatnya, manusia miskin diakibatkan oleh ketidakberdayaan
mengoptimalkan fungsi susunan hakikat kodrat berupa jiwa (akal, rasa, karsa) dan raganya melalui
kehidupannya, sehingga dibutuhkan transformasi nilai pemberdayaan dalam hakikat kodrat manusia
yang menjadi subtansi dasarnya. Esensi makna nilai Silas bersifat universal sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila yang digunakan sebagai metode pemberdayaan masyarakat miskin dengan memiliki ciri-ciri
berfikir kefilsafatan, bersifat konseptual, runtut, dan sistematis. Dalam menginternalisasikan makna
tersebut, ternyata lebih kondusif pada masyarakat perdesaan daripada perkotaan, tetapi menghadapi
kendala mulai tergerusnya nilai tersebut dalam akulturasi dengan budaya luar, sehingga dibutuhkan
refungsionalisasi makna Silas dengan melakukan redefinisi dalam dimensi kekinian dan tidak mengubah
kandungan subtansi nilainya yang disosialisasikan kepada masyarakatnya.
Kata Kunci: Silas, kearifan, filsafat nilai.

THE MEANING OF “SILAS” BASED UPON THE SUNDANESE LOCAL WISDOM


PERSPECTIVE OF THE PHILOSOPHY OF VALUE:
THE RELEVANCE FOR THE EMPOWERMENT OF THE POOR SOCIETY

Abstract : The meaning of silih asih (loving each other), silih asah ( educating each other), and
silih asuh (caring each other) (Silas) as the Sundanese Local Wisdon contains the harmony value in
constructing the quality of humane, so that it is used as a method of empowering the poor society. In
the perspective philosophy of value, the meaning of that value has relevance toward the empowerment
of the poor society, since based upon the philosophical way; it shows that loving each other contains
the ontological value; educating each other contains the meaning of epistemological value, and caring
each other contains axiological value. Essentially, the poor people was caused by having lack power
to optimize the functions of basic capacity in the form of soul (mind, feeling, and deed/action) and the
physical appearance through a life. Therefore, it needs a transformation of empowerment value in the
essence of human being that becomes the essential substance. The essence of Silas meaning is universal
that is in accordance with Pancasila values used as the method of empowering the poor society having
the characteristics of: philosophical thinking, conceptual, coherent, and systematic. In internalizing
those meanings, it is more conducive in suburb people than the rural ones. However, this encounters
some obstacles of decreasing those values in acculturation with outside culture, that it requires to re-
functionalize the meaning of Silas by conducting redefinition in present dimension without changing the
content of its value essence.
Key words: Silas, wisdom, philosophy of value.

158
Sosiohumaniora, Volume 15 no. 2 Juli 2013: 158 - 166

PENDAHULUAN nilai dan objek materialnya adalah makna


Dalam kehidupan masyarakat Sun- silih asih, silih asah, silih asuh (silas) menurut
da terdapat kearifan budaya yang me- kearifan budaya Sunda. Cara penelitian di-
letakkan pentingnya keharmonisan hu- lakukan dengan mengumpulkan data yang
bungan antarmanusia dalam kehidupan dibutuhkan menggunakan studi kepustakaan
masyarakatnya yang saling ketergantungan (library research) sebagai data primer yang
dengan tidak melupakan jati-diri dan ha- berkaitan dengan literatur filsafat nilai dan
bitatnya masing-masing, yang bertujuan filsafat bahasa dalam memahami makna
untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan. Silas sebagai kearifan budaya Sunda, yang
diperoleh dari buku, jurnal ilmiah, laporan,
Kearifan budaya tersebut terdapat dalam
majalah, dan berbagai jenis penerbitan il-
konsep silih asih, silih asah, silih asuh (silas)
miah lainnya. Di samping itu, penelitian
yang mengandung nilai moral kebaikan
ini juga ditunjang oleh studi lapangan (field
dalam membangun kebersamaan melalui
research) terhadap objek penelitian sebagai
kehidupan masyarakatnya. Karena itu, kon- data sekunder melalui wawancara secara
sep tersebut diadopsi sebagai landasan nilai mendalam dengan menggunakan kuesioner
moral dalam pemberdayaan masyarakat (daftar pertanyaan), untuk memperoleh data
miskin melalui Program Nasional Pem- penunjang yang bersumber dari informan di
berdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri lokasi penelitian pada masyarakat perkotaan
Perkotaan maupun Perdesaan di tatar yang dipilih Kelurahan Pungkur Kecamatan
Pasundan. Regol Kota Bandung, karena kelurahan ini
Fenomena tersebut di atas perlu dinilai terbaik dalam melaksanakan PNPM
dipertanyakan kembali terhadap eksis- Mandiri Perkotaan. Sedangkan masyarakat
tensi konsep nilai itu dalam program perdesaan dilakukan Kecamatan Ranca-
pemberdayaan masyarakat miskin pada di- kalong Kabupaten Sumedang melaksanakan
mensi kekinian, karena dalam kehidupan PNPM Mandiri Perdesaan berbasis Budaya
masyarakat Sunda terdapat kecenderungan Sunda dalam Program Sauyunan.
mulai tergerusnya nilai-nilai kebersamaan Prosedur penelitian dilakukan melalui
yang berkembang ke arah individulistik pengumpulan data kepustakaan dan data
dan materialistik. Bagaimana esensi makna lapangan yang diolah melalui reduksi dan
Silas menurut kearifan budaya Sunda da- display data dalam pengorganisasian data
lam perspektif filsafat nilai relevansinya sesuai kepentingannya, kemudian dianalisis
bagi pemberdayaan masyarakat miskin dengan menggunakan analisis metode: his-
di perkotaan dan perdesaan. Karena da- toris, berkaitan dengan analisis terhadap
lam kehidupan masyarakat Sunda, per- objek penelitian yang sumber datanya bisa
masalahan kemiskinan merupakan suatu dihayati di masa lampau dan masa kini
hal bersifat mendasar yang membutuhkan menurut perkembangan zaman; semantik,
penanggulangan melalui pemberdayaan objek penelitian ditelusuri menurut asal-usul
masyarakat yang bertumpu kepada nilai- kata secara etimologis dalam memahami
nilai kearifan budayanya. Hal ini menarik arti yang sesungguhnya menurut kaidah
untuk dikaji agar memberikan manfaat se- bahasa yang digunakan; sintaksis, untuk
cara akademis maupun praksis berkaitan de- memahami hubungan kata dalam suatu ka-
ngan pelaksanaan Program Nasional Pem- limat dalam perspektif ilmu tata-kalimat dari
berdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri segi ilmu bahasa; hermeneutika, digunakan
Perdesaan dan Perkotaan di dua lokasi untuk menelaah keseluruhan data yang
penelitian tersebut. dihimpun dari sudut makna terkandung
METODE dalam objek penelitian yang direfleksikan
Penelitian ini menggunakan metode dalam kerangka pemikiran masa kini dengan
penelitian kualitatif dalam bidang ilmu fil- memperhatikan masa yang telah berjalan;
safat dengan berobjek formal berupa filsafat heuristika, bertujuan untuk manangkap arti
melalui verstehen (pemahaman) atas inti
159
Makna “Silas” Menurut Kearifan Budaya Sunda Perspektif Filsafat Nilai: Relevansinya Bagi Pemberdayaan Masyarakat Miskin
( Firdaus Saleh, Soejadi, dan Lasiyo )

Gambar 1. Alur Kajian Makna Silas Menurut Kearifan Budaya Sunda Perspektif Filsafat Nilai: Rel vansinya bagi
Pemberdayaan Masyarakat Miskin

‘fenomena’ realitas objektif yang merupakan rapkan konsep Silas sebagai kearifan lokal
bagian tidak terpisahkan dengan metode her- yang direnungkan secara menyeluruh untuk
meneutika; interpretasi, digunakan meng mengungkap kandungan makna nilainya;
interpretasikan makna yang terkandung analisis, untuk menganalisis keseluruhan
dalam objek penelitian pada dimensi ruang data yang diabstaksi untuk menangkap
dan waktu untuk menjelaskan bagaimana makna subtansial yang menjadi esensi
perubahan terjadi; deskripsi, digunakan un- objek penelitian; komprehensi, bertujuan
tuk mengungkapkan objek material yang menganalisis keseluruhan data dengan
dikaji agar mendapat gambaran secara menggunakan metode penelitian filsafat
jelas adanya peristiwa yang dinilai akurat untuk memecahkan rumusan masalah pe-
berhubungan dengan objek material pene- nelitian secara utuh dan evaluasi, bertujuan
litian. Pada teknik tahapan analisis data ini, untuk meneliti konsistensi logis antara ke-
juga digunakan pendekatan secara filosofis seluruhan data yang dianalisis melalui cara
melalui refleksi kefilsafatan dalam bentuk, dan prosedur penelitian untuk menjawab ru-
pendekatan: spekulasi, bertujuan memahami musan masalah sesuai dengan landasan teori
pengalaman masyarakat Sunda dalam mene- yang dipilih dalam penelitian filsafat.

160
Sosiohumaniora, Volume 15 no. 2 Juli 2013: 158 - 166

HASIL DAN PEMBAHASAN Makna konsep silas dalam perspektif


Hasil penelitian menunjukkan bahwa hermeneutik, memiliki keterkaitan dengan
kearifan lokal budaya Sunda terdapat dalam makna yang terkandung dalam kata pem-
budaya ide, budaya aktifitas, dan budaya ar- bentuknya, berupa kata silih dan kata
tefak melalui unsur-unsur kebudayaan, yang asih, asah, asuh yang menjadi esensi kan-
dijadikan pandangan hidup dan pedoman dungan nilainya. Kata silih berarti saling,
hidupnya dalam hubungan dengan Tuhan, mengandung makna nilai transformasi yang
alam semesta dan sesama manusia. Makna bersifat resiprokal dan saling memberikan
kearifan budaya Sunda merupakan suatu respon dengan penuh kesantunan. Kata
kearifan lokal (local wisdom) yang terdapat asih berarti cinta, mengandung makna nilai
dalam komunitas masyarakatnya, baik ontologis bahwa keberadaan ‘asih’ berasal
muncul dalam tradisi lisan maupun tulisan dari Tuhan Yang Maha Pengasih (Qur’an,
sebagai suatu kepribadian menjadikan iden- 55: 1,3), sehingga nilai asih menjadi lan-
titas kultural masyarakat berbentuk nilai, dasan kehidupan dalam membangun ke-
norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat dan harmonisan hidup manusia. Kata asah berarti
aturan khusus yang teruji kemampuannya menajamkan, mengandung makna nilai
menjadikan kebiasaan, sehingga dapat ber- epistemologi bahwa kemampuan me-ngasah
tahan terus-menerus (Sartini, 2009: 11). akal, rasa, dan karsa dalam diri manusia
Sumber kearifan budaya Sunda terdapat akan menghasilkan pengetahuan dan ilmu
dalam kebudayaan masyarakat masa lalu pengetahuan dalam kehidupannya. Kata
dan masa kini bersumber dari tradisi lisan asuh berarti membimbing, mengandung
berbentuk carita, nasihat, pantun, uga, makna nilai aksiologi bahwa dalam mem-
folklor lisan yang juga terdapat dalam bangun hubungan silaturrahmi didasari atas
bukti-bukti tertulis berbentuk prasasti dan saling menghargai kewajiban dan hak asa-
situs; naskah (manuscript) seperti babad, si manusia berlandaskan pada nilai-nilai
serat, carita, wawacan, karya sastra lainnya keharmonisan dalam membangun kualitas
yang bersifat tertulis. Subtansi yang ter- kemanusiaan.
kandung dalam kearifan lokal budaya Perpaduan kata silih dengan masing-
Sunda adalah nilai moral kebaikan sebagai masing kata asih, asah, asuh menjadikan
suatu keunggulan budaya mengungkap kata majemuk mengandung makna trans-
pikiran, perasaan, dan pengetahuan yang formasi nilai yang bersumber dari subtansi
mengandung kebijaksanaan (wisdom) yang makna nilai: asih, asah, asuh dalam ke-
terdapat dalam masyarakat sesuai identitas hidupan antar manusia dalam realitas ke-
budayanya. hidupan masyarakat, sehingga terbangun
Dalam masyarakat Sunda terdapat harmonisasi yang saling ketergantungan
kearifan budaya membangun kehidupan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan.
manusia dengan meletakkan pentingnya ke- Orientasi nilai yang terkandung dalam
harmonisan hubungan antarmanusia dalam makna silas pada hakikatnya untuk mening-
kehidupan masyarakat yang hidup saling katkan kualitas sumberdaya manusia da-
ketergantungan dengan tidak melupakan lam kehidupan sosialnya, sehingga dapat
jatidiri dan habitatnya untuk meningkatkan dijadikan metode pemberdayaan manusia
kualitas kemanusiaan, terdapat dalam kon- dalam kehidupan masyarakat sebagai
sep silih asih, silih asah, dan silih asuh landasan pendidikan masyarakat, baik
(silas) (Suryalaga, 2010:126). Konsep silas pendidikan keluarga, pendidikan formal
diidentifikasi, dikembangkan dalam ke- dan non-formal maupun pendidikan di ling-
budayaan Sunda masa lalu pada masa kungan masyarakat.
kepemimpinan Prabu Siliwangi sebagai Fenomena kemiskinan yang ter-
realisasi ‘keluhuran hati budi nurani’ yang jadi di lokasi penelitian menujukkan bah-
kemudian unsur-unsurnya digali oleh Bung wa, manusia miskin pada hakikatnya
Karno sebagai falsafat Pancasila (Hilmiana, akibat ketidakmampuan memenuhi ke-
2009: 31). butuhan hidupnya secara ‘layak’, karena
161
Makna “Silas” Menurut Kearifan Budaya Sunda Perspektif Filsafat Nilai: Relevansinya Bagi Pemberdayaan Masyarakat Miskin
( Firdaus Saleh, Soejadi, dan Lasiyo )

ketidakberdayaan mengoptimalkan fungsi arti ketidakmampuan diri menghadapi


susunan hakikat kodrat berupa jiwa (akal, tekanan kaum yang lebih kuat. Secara
rasa, karsa) dan raganya dalam satu- aksiologis, bahwa manusia miskin tidak
kesatuan yang bersifat monodualis pada terpenuhinya kebutuhan nilai-nilai utama
struktur sosial masyarakat yang kurang yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
memberikan peluang atas keberdayaan diri- dasar manusia secara layak, berupa sandang,
nya. Secara ontologis, bahwa keberadaan pangan, papan, kesehatan, pendidikan,
manusia miskin pada hakikatnya akibat pekerjaan, dan lain-lain, sehingga terjadi
ketidakmampuan mengoptimalkan potensi jurang (gap) dalam realitas sosial pada
unsur jiwa berupa akal dalam menghasilkan kebudayaan masyarakatnya (Ala, 1981:
pemikiran yang produktif menjadikan 5,10). Penyebabnya ketidakmampuan me-
dirinya tidak miskin, rasa yang dimiliki menuhi nilai-nilai utama ini, diidentifikasi
belum mampu saling simpati, empati, dan dalam kebudayaan manusia miskin adalah
peduli dalam membangun kehidupan yang dimilikinya nilai-nilai negatif berupa peri-
harmonis, karsa yang dimilikinya belum laku malas, kurang menghargai waktu,
mampu memunculkan budaya ide yang rendah diri, boros, tidak produktif, tidak
kreatif dan inovatif yang dapat direalisasikan kreatif dan inovatif, dan sifat-sifat perilaku
dalam budaya aktifitas untuk meningkatkan negatif lainnya.
kesejahteraan hidupnya. Oleh karena itu, untuk menanggulangi
Beranjak dari subtansi kemiskinan kemiskinan tersebut dilakukan pemberdayaan
dalam diri manusia yang berkembang da- masyarakat miskin melalui Program Na-
lam kehidupan masyarakatnya, maka akar sional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
penyebab kemiskinan dapat diakibatkan oleh Mandiri Perkotaan dan Perdesaan. Landasan
faktor kultural dan struktural yang bersifat pemberdayaan masyarakat miskin dalam
multidimensional. Secara epsitemologi, bah- hakikat kodrat manusia bertumpu pada
wa kebudayaan kemiskinan disebabkan oleh ‘daya’, yang dimaknai sebagai suatu ke-
perilaku “menyimpang”, dalam arti budaya kuatan yang ada dalam jiwa pada kesatuan
miskin yang tetap dipertahankan pada strata raganya. Secara ontologi, bahwa keberadaan
terbawah masyarakat kapitalistik dalam
daya pada diri manusia terdapat pada
merespon kondisi deprivasi ekonomi. Dalam
susunan hakikat kodrat berupa jiwa yang
pandangan struktural masyarakat, bahwa
terdiri dari unsur akal, rasa, karsa dalam
manusia miskin pada kehidupan masyarakat
kesatuan badannya yang mengandung unsur
strata terbawah mengalami tekanan dari luar
dirinya yang bersifat eksploitatif, sehingga benda mati (kimiawi), sifat-sifat naluriah
ketidakmampuan menghadapi tekanan ter- seperti binatang, dan sifat-sifat yang yang
sebut berakibat ketidakberdayaan dirinya. ada seperti tumbuhan yang pada hakikat
Kehidupan manusia miskin yang terjadi keberadaannya berasal dari sumber segala
dalam suatu rumah-tangga miskin yang hi- ‘kekuatan’, yaitu Tuhan Maha Kuasa (kausa
dup dalam suatu daerah, ternyata memiliki prima). Ketidakberdayaan mengoptimalkan
mata-rantai keterkaitan yang bersifat multi- fungsi susunan hakikat kodrat berupa ke-
dimensional yang menurut Chambers satuan jiwa (akal, rasa, karsa) dan raganya
(1983:145-148) diakibatkan faktor; ke- dalam diri manusia yang bersifat monodualis
miskinan dalam arti tidak terpenuhinya menjadi penyebab manusia kurang atau
standar hidup layak, kelemahan jasmani, tidak berdaya, sehingga berakibat pada
isolasi dalam arti bahwa hidupnya dalam kemiskinan dirinya. Manusia yang kurang
masyarakat kurang memperoleh aksebilitas atau tidak berdaya dalam memenuhi ke-
bagi kehidupannya, karena keterpencilan butuhan hidupnya secara ‘layak’ terdapat
atau sikap menyingkirkan dirinya akibat sikap pada suatu keluarga dalam komunitas mas-
rendah diri, kerentanan dalam arti ketidakpastian yarakat yang berada pada suatu wilayah
atas penghidupannya menghadapi pemenuhan tertentu disebut masyarakat miskin.
untuk hidup ‘layak’, ketidakberdayaan dalam
162
Sosiohumaniora, Volume 15 no. 2 Juli 2013: 158 - 166

Pemberdayaan masyarakat miskin Memaknai pemberdayaan masyarakat


pada hakikatnya adalah mendorong me- miskin dalam perspektif epistemologi, pada
numbuhkan kekuatan yang bersumber hakikatnya mentranformasikan nilai-nilai
pada susunan hakikatnya kodrat pada diri pengetahuan yang bersumber dari akal, rasa,
manusia miskin, yang diinisiasikan melalui dan karsa dalam dirinya melalui kehidupan
tranformasi nilai pemberdayaan yang be- masyarakat, agar memiliki keberdayaan
rasal dari stimulasi orang lain atau disebut diri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
‘pemberdaya’, sehingga tumbuh berkembang secara ‘layak’. Nilai-nilai pengetahuan ini
keberdayaan dirinya menjadikan manusia berkaitan dengan pemenuhan kelangsungan
berdaya yang hidupnya tidak miskin. Esensi kehidupan dalam penghidupannya yang
dari transformasi nilai keberdayaan dalam bersifat praksis, baik dari aspek ekonomi,
kehidupan manusia terjadi melalui interaksi sosial, budaya, dan politik. Sedangkan da-
sosial berlandaskan pada sifat hakikat lam perspektif aksiologis, bahwa dalam
kodrat manusia dalam menyeimbangkan pemberdayaan masyarakat terjadinya trans-
dirinya sebagai makhluk individu dan formasi nilai-nilai positif dari manusia
makhluk sosial yang bersifat monodualis. yang tidak miskin (pemberdaya) seperti;
Ketidakseimbangan manusia sebagai jujur, peduli, kerja keras, rajin, kreatif,
makhluk individu dalam keadaan miskin inovatif, menghargai waktu, produktif,
akan mencari solusi dengan berusaha dan percaya diri, selalu mau belajar, dan nilai-
berikhtiar memenuhi kebutuhan hidupnya nilai positif lainnya kepada manusia miskin
secara ‘layak’, sebagai upaya meningkatkan yang memiliki nilai negatif seperti malas,
keberdayaan dirinya. Dalam mencari solusi rendah diri, tidak menghargai waktu, boros,
tersebut membutuhkan stimulasi bantuan tidak produktif dan kreatif, dan nilai negatif
orang lain sebagai makhluk sosial. Karena lainnya menjadi nilai positif. Oleh karena
itu, pada diri manusia yang memiliki manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
keberdayaan harus selalu ada kemampuan diberi otonomi dan kewenangan untuk me-
untuk memberikan kepada diri sendiri dan ngembangkan eksistensi dirinya, sehingga
orang lain sebagaimana semestinya sebagai segala tindakan merupakan tanggungjawab
makhluk sosial, sehingga menjadikan ke- diri pribadi dan juga kepada Tuhannya.
wajiban moral sesuai nilai kemanusiaan yang Karena itu, membangun keberdayaan diri
adil dan beradab. Dalam kehidupan sosial dalam mengoptimalkan fungsi susunan
inilah terjadinya pemberdayaan masyarakat hakikat kodrat yang dimilikinya merupakan
miskin, yang pada hakikatnya mengandung kewajiban moral dalam kehidupan sosial
‘nilai transformasi’ dalam mendorong fungsi berdasarkan sifat hakikat kodratnya sebagai
susunan hakikat kodratnya yang bersifat makhluk individu dan makhluk sosial yang
monodualis menjadi lebih optimal dalam seimbang dalam membangun eksistensi
mengatasi kemiskinannya sebagai sebagai diri sebagai makhluk yang berdiri sendiri.
watak keadilan (Notonagoro, 1995: 98). Secara ontologis, keberdayaan manusia pada
Transformasi nilai ini terjadi dalam proses hakikatnya merupakan suatu tuntutan bagi
pemberdayaan masyarakat melalui tahapan; keberadaan eksistensi diri pribadi sebagai
penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan makhluk Tuhan yang telah mengaruniakan
(Wrihatnolo & Nugroho, 2007: 2). Dalam susunan hakikat kodratnya berupa jiwa dan
implementasinya, program pemberdayaan raganya, sehingga menjadikan kewajiban
masyarakat miskin, baik dalam masyarakat agar patuh dan taat melaksanakan perintah-
perkotaan maupun perdesaan masih ber- Nya dan menjauhi laranganNya. Esensi
kutat pada tahapan ‘pengkapasitasan’,
makna nilai silas menurut kearifan budaya
karena belum sepenuhnya menyentuh
esensi kemiskinan manusia berupa nilai Sunda pada hakikatnya merupakan upaya
keberdayaan dalam tahapan pendayaan meningkatkan kualitas sumberdaya ma-
dengan mengoptimalkan hakikat kodratnya nusia, karena mengandung transformasi
yang bersifat monopluralis sebagai lan- nilai pemberdayaan manusia. Secara onto-
dasannya. logi keberadaan kehidupan manusia di
163
Makna “Silas” Menurut Kearifan Budaya Sunda Perspektif Filsafat Nilai: Relevansinya Bagi Pemberdayaan Masyarakat Miskin
( Firdaus Saleh, Soejadi, dan Lasiyo )

dunia atas ‘asih’nya Tuhan Yang Pengasih, dalam bentuk materi dan non-materi kepada
sehingga kedudukan hakikat kodratnya se- warga masyarakat lainnya yang mengalami
bagai makhluk Tuhan dan juga makhluk kekurangberdayaan diri sebagai makhluk
berdiri sendiri sebagai satu-kesatuan bersifat sosial melalui proses pemberdayaan dalam
monodualis. Nilai asih yang dari Tuhan kehidupan masyarakat.
inilah menjadi landasan dalam membangun Proses pemberdayaan masyarakat
hubungan harmonisasi kehidupan untuk yang terkandung dalam konsep Silas me-
meningkatkan kualitas kemanusiaan. Nilai nurut kearifan budaya Sunda memiliki ciri-
asih sesama manusia merupakan nilai moral ciri berfikir kefilsafatan. Menurut Kattsoff
kebaikan dalam diri manusia bersumber dari (1987: 6-15), bahwa berfikir kefilsafatan
hati nurani yang dilandasi nilai religius yang berusaha menyusun suatu bagan konseptual
bersumber dari dalam jiwa diri manusia. yang harus bersifat koheren (runtut) dan
Karena itu, nilai asih dalam bentuk rasa asih sistematis, tidak terdapat suatu pertentangan
pada setiap orang akan berbeda-beda, ada dan terdapat suatu hubungan yang memiliki
yang bependapat sebagai suatu ‘kewajiban saling keterkaitan mencapai satu tujuan.
moral’ sebagaimana pemikiran filsuf Im- Tahapan pemberdayaan yang dimulai dari
manuel Kant dan landasan yang digunakan tahap ‘penyadaran’ dilandasi nilai asih
masyarakat kita lebih dipengaruhi oleh nilai dalam interaksi sosial berupa silih asih,
religius, tetapi ada yang berpendapat sebagai tahap ‘pengkapasitasan’ dilandasi nilai
suatu ‘kesukarelaan’ yang didasarkan pa- asah dalam interaksi sosial berupa silih
da kesadaran dirinya saja sebagaimana asah, tahap ‘pendayaan’ dilandasi nilai
pemikiran Mix Scheler (Wahana, 2004). asuh dalam interaksi sosial berupa silih
Karena itu, manusia sebagai makhluk asuh. Keberhasilan membangun nilai silas
Tuhan berkewajiban moral melakukan silas adalah meningkatkan kualitas kemanusiaan
dalam pemberdayaan masyarakat miskin dalam interaksi sosial masyarakat yang
yang dilandasi nilai moral kebaikan, yang menunjukkan terjadinya men-Silih-Wangi-
diamanatkan Tuhannya untuk membangun keun. Artinya, wangi menunjukkan kualitas
kualitas kemanusiaan. Upaya ini dilakukan kemanusiaan yang dapat ditrasformasikan
untuk mengoptimalkan fungsi susunan dari masyarakat yang kurang berdaya menjadi
hakikat kodrat jiwa (akal, rasa, karsa) dan manusia utama yang disebut Manusa Sunda
raganya yang merupakan esensi makna Nu-nyunda, dengan bercirikan ‘salapan
nilai silas dalam proses pemberdayaan mas- rawayan’ manusia utama berupa : cageur,
yarakat miskin. bageur, bener, pinter, singer, teger, pangger,
Dalam kehidupan sosial sifat hakikat wanter, cangker, sehingga menunjang
kodrat manusia ialah selalu berusaha mem- tercapainya kehidupan masyarakat yang
bangun keseimbangan sebagai makhluk tengtrem kartaraharja (Saleh, 2010:33).
individu meningkatkan kualitas diri, sehingga Silas merupakan kearifan lokal (local
pada saat mengalami kekurangberdayaan wisdom) budaya Sunda, tetapi makna nilai
membutuhkan transformasi nilai pem- yang terkandung di dalamnya bersifat uni-
berdayaan dari orang lain. Sebaliknya, pada versal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila,
saat manusia mengalami keberdayaan diri baik terkandung dalam nilai Ketuhanan,
sebagai makhluk sosial, maka merupakan Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, mau-
kewajiban moral mentransformasikan pun Keadilan. Nilai-nilai yang bersifat
nilai pemberdayaan kepada orang lain universal berlaku umum yang terdapat
yang mengalami kekurangberdayaan se- dalam Silas diakui kebenarannya, berkaitan
bagaimana mestinya. Dalam membangun dengan kemanusiaan sebagai wawasan
kehidupan masyarakat yang berharkat dan umat manusia di dunia yang bertumpu
bermartabat inilah dibutuhkan pemahaman pada pengakuan pada martabat manusia
warga masyarakat agar dalam realitasnya berlandaskan kodratnya (Magnis Suseno,
dapat menyeimbangkan dirinya sebagai 1999: 90). Adapun nilai-nilai Pancasila
makhluk individu berkualitas agar peduli digali dari kearifan budaya masyarakat
164
Sosiohumaniora, Volume 15 no. 2 Juli 2013: 158 - 166

Indonesia yang berasal dari berbagai kearifan kemanusiaan pada kehidupan masyarakatnya
budaya dari ragam suku-bangsa termasuk di terdapat dalam konsep silas. Makna silas
dalamnya budaya Sunda sebagaimana hasil dalam kearifan budaya Sunda menurut pers-
penelitian disertasi Hilmiana (2009). pektif sistematika filsafat menunjukkan
Kebudayaan Sunda mengalami akul- bahwa, silih asih mengandung makna nilai
turasi dengan berbagai kebudayaan mas- ontologis, silih asah mengandung makna
yarakat lainnya termasuk dengan budaya nilai epistemologis, silih asuh mengandung
global, sehingga berpengaruh positif maupun makna nilai aksiologis. Manusia miskin pada
negatif dalam perkembangan kebudayaan hakikatnya diakibatkan ketidakberdayaan
masyarakatnya. Pengaruh negatif terhadap mengoptimalkan fungsi susunan hakikat
kebudayaan Sunda dari adanya akulturasi kodrat berupa jiwa (akal, rasa, karsa) dan
dengan budaya global, menunjukkan bahwa raganya dalam kehidupannya, sehingga di-
nilai-nilai individualistik dan materialistik butuhkan transformasi nilai pemberdayaan
yang dikembangkan kapitalisme modern dalam hakikat kodrat manusia yang menjadi
telah mempengaruhi pola kebudayaan esensi pemberdayaan masyarakat miskin.
(pattern of culture) masyarakatnya, yang Dalam proses pemberdayaan mas-
terindentifikasi mulai tergerusnya nilai-nilai yarakat dilakukan melalui suatu tahapan
sosial dalam membangun kebersamaan yang
yang memiliki relevansi dengan konsep
terkandung dalam nilai silas ini. Karena
itu, dalam menginternalisasikan nilai silas silas, yang dimulai dari tahap ’penyadaran’
dalam program pemberdayaan masyarakat berlandaskan nilai asih melalui silih asih,
miskin menghadapi kendala berupa: tahap ’pengkapasitasan’ berlandaskan
(a) mulai tergerusnya nilai silas dalam nilai asah melalui silih asah, dan tahap
akulturasi dengan budaya luar, (b) kurangnya
’pendayaan’ berlandaskan nilai asuh
pemahaman masyarakat mengenai hubungan
relevansi makna nilai silas dengan program melalui silih asuh. Keberhasilan proses
tersebut, (c) kurangnya kesadaran kolektif pemberdayaan masyarakat berlandaskan
mereaktualisasikan dalam realitas kehidupan nilai silas yang berjalan baik dan benar dalam
melalui program ini, sehingga diperlukan kehidupan masyarakat akan menghasilkan
refungsionalisasi makna nilai silas dalam silih wangi, yang menunjukkan bahwa
berbagai program pemberdayaan masyarakat
makna nilai wangi sebagai kualitas ma-
miskin yang disosialisasaikan kepada
masyarakatnya. Dalam menginternalisasikan nusia utama dalam perspektif makhluk
nilai silas dalam program pemberdayaan individu, sehingga dalam kehidupan sosial
masyarakat miskin melalui Program akan menghasilkan masyarakat tengtrem
Nasional Pemberdayaan Masyarakat kartaraharja. Oleh karena itu, esensi makna
(PNPM) Mandiri Perkotaan dan Perdesaan,
nilai silas ini bersifat universal sesuai nilai-
ternyata lebih kondusif pada masyarakat
perdesaan karena lebih kuat membangun nilai Pancasila yang digunakan sebagai
kebersamaan hidup dalam mengembangkan metode pemberdayaan masyarakat memiliki
nilai sosial daripada masyarakat perkotaan. ciri-ciri berfikir kefilsafatan, yaitu bersifat;
SIMPULAN konseptual, koheren (runtut), dan sistematis.
Menginternalisasikan makna ni-
Esensi kearifan budaya Sunda me- lai silas dalam program pemberdayaan
ngandung nilai moral kebaikan dalam ke- masyarakat miskin lebih kondusif pada
hidupan masyarakat Sunda masa lalu hingga masyarakat perdesaan daripada perkotaan,
kini menjadi pedoman dan pandangan karena tergerusnya nilai-nilai sosial lebih
hidup masyarakatnya, yang muncul
kuat terjadi pada masyarakat perkotaan yang
dalam wujud budaya dan unsur-unsur
lebih bersifat individualistik. Kendala lain
kebudayannya. Nilai moral kebaikan dalam
yang dihadapi dalam menginternalisasikan
membangun kebersamaan meningkatkan kualitas
165
Makna “Silas” Menurut Kearifan Budaya Sunda Perspektif Filsafat Nilai: Relevansinya Bagi Pemberdayaan Masyarakat Miskin
( Firdaus Saleh, Soejadi, dan Lasiyo )

berupa; kurangnya pemahaman masyarakat Kattsoff, Louis O., (terjemahan). 1987.


mengenai hubungan relevansi makna Pengantar Filsafat, diterjemahkan
nilai silas dengan program tersebut, mulai oleh Soejono Soemargono. Yog-
tergerusnya nilai silas dalam akulturasi yakarta: Tiara Wacana.
budaya, kurangnya kesadaran kolektif Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif
mereaktualisasikannya dalam realitas ke- bidang Filsafat, Yogyakarta: Para-
hidupan masyarakat, sehingga diperlukan digma.
refungsionalisasi makna nilai silas sebagai
upaya revitalisasi dan mengatualisasikan Magnis Suseno, Franz. 1999. Berfilsafat
dalam program pemberdayaan masyarakat Dari Konteks, Cetakan Ketiga, Ja-
miskin yang disosialisasikan kepada mas- karta: Gramedia Pustaka Utama.
yarakat. Notonagoro. 1995. Pancasila Secara Ilmiah
DAFTAR PUSTAKA
Populer, Jakarta: Bumi Aksara.
Adiwidjaya, Soelaiman B. 1994. The
Sartini, 2009, Mutiara Kearifan Lokal
University Mission in The Reali-
Nusantara, Yogyakarta: Kepel Press.
zation of The “Silih Asih, Silih
Asah, Silih Asuh” Academic Life. Saleh, Firdaus. 2010. Orientasi Nilai Silih
Ala, Andre Bayo. 1981. Kemiskinan dan Asih, Silih Asah, Silih Asuh Da-
Strategi Memerangi Kemiskinan, lam Perspektif Kearifan Lokal
Yogyakarta: Liberty. Budaya Sunda Sebagai Landasan
Pembangunan CSR Di Jawa Barat,
Chamber, Robert, (terjemahan). 1987.
dalam Warta Bappeda Provinsi
Rural Development: Putting the
Last First, diterjemahkan oleh Jawa Barat, diterbitkan Bappeda
Pepep Sudradjat dalam buku Pem- Provinsi Jawa Barat, Volume 15,
bangunan Desa: Mulai dari Be- Nomor 4: 29 – 36.
lakang, Jakarta: Cetakan Kedua, Suryalaga, R. Hidayat. 2010. Kesundaan
LP3ES. Rawayan Jati, Bandung: Yayasan
Hilmiana. 2009. Pengaruh Perilaku Budaya Nur Hidayah.
Sunda dan Kepemimpinan Serta
Wahana, Paulus. 2004. Nilai Etika Aksiologis
Orientasi Gender Terhadap Etos
Kerja Di Lingkungan Bisnis Per- Max Scheler, Yogyakarta: Cetakan
bankan di Kotamadya Bandung, Pertama, Kanisius.
Program Doktor Ilmu Ekonomi, Wrihatnolo, Randy R. & Dwidjowijoto,
Program Pascasarjana, Bandung: Riant Nugroho. 2007. Manajemen
Universitas Katolik Parahyangan, Pemberdayaan : Sebuah Pengantar
Disertasi tidak diterbitkan. dan Panduan Untuk Pemberdayaan
Junus, H. Mahmud. 1996. Tarjamah Al Masyarakat. Jakarta: Cetakan Per-
Quran al karim, Bandung: Cetakan tama, Elex Media Komputindo.
Kesepuluh, Alma’arif.

166

Anda mungkin juga menyukai