Ada tiga macam kepemimpinan dalam masyarakat Minangkabau yaitu dapat diuraikan sebagai berikut:
Penghulu sejak era Datuak Perpatih Nan Sabatang dan Datuak Ketumanggungan, berfungsi sebagai
pemimpin dalam kaum sukunya. Ia sebagai leader melindungi kepentingan anak kemenakan (masyarakat)
yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab kepada kaumnya, karena ia dipilih oleh kaumnya (ninik mamak
kaum dan mandeh/ perempuan dalam kaum) dengan kriteria antara lain: baligh, berakal sehat, sopan
santun, ramah tamah, rendah hati,, punya keteladanan, punya gezah/ kharisma, punya harta dsb. Proses
kader secara informal adat calon penghulu sudah teruji dalam memimpin mulai pengalaman berharga
dalam memimpin lingkungan mamak rumah (adik – kakak – kapanakan saparuik), se-jurai, sampai ke
kaum suku dan dihormati suku lain di nagari.
Penghulu di dalam adat Minangkabau disebut penghulu dengan panggilan sehari-hari “Datuak“. Penghulu
itu hulu (ketua) dalam kaum suku di nagari. Tugasnya luas meliputi segala persoalan dan masalah yang
terkait dengan anak kemenakan dan kaumnya, maka datuk itu sebenarnya ketua Ninik Mamak. Penghulu
dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh beberapa perangkat yang disebut dengan pemangku adat,
yakni manti, malim dandubalang di samping wakilnya langsung disebut panungkek.
Panungkek dapat mewakili penghulu dalam tugas-tugas umum masyarakat adat seperti alek (pesta/
kenduri) kaum sukunya, menghadiri ucok/ ucapan (undangan) alek di luar paruik, jurai dan atau di luar
alek sukunya di nagari. Menghadiri suatu rapat (musyawarah) dan dalam tugas yang prinsipil seperti
memimpin rapat “urang nan ampat jinih” atau mengambil keputusan dalam suku/ kaum penghulu tidak
boleh diwakili olehpanungkek.
. Penghulu Adat
Penghulu merupakan ketua ninik mamak dalam sukunya. Ia mempunyai otoritas mengurus adat,
karenanya disebut tagak di pintu adat. Pemimpin adat disebut penghulu merupakan pemimpin yang
tertinggi dalam sebuah suku, kepemimpinannya kompleks di samping bersifat privat yakni memimpin
anak dan kemenakannya juga memimpin kaumnya, juga memimpin sukunya dalam berhubungan dengan
suku-suku lain dalam nagari.
. Manti Adat
Manti disebut-sebut asal katanya dari menteri. Kedudukannya berada pada pintu susah. Ia banyak
disusahkan menyelesaikan yang kusut dan menjernihkan yang keruh. Dalam alek ia yang mempalegakan
kato untuk mencari kata mufakat sebagai pertimbangan pengambilan keputusan adat. “Biang tabuak
gantiang putuih” (keputusan) berada di tangan penghulu.pemerintahan adat. Manti juga mempunyai tugas
mengawasi kaum sukunya dalam praktek “adat mamakai” baik adat nan sabana adat, adat nan teradat,
adat nan diadatkan dan adat istiadat.
. Malin Adat
Malin salah seorang pembantu penghulu dalam bidang agama. Tugasnya mulai dari pengajaran mengaji,
menunaikan Rukun Islam juga menunjukan dan mengajari kapanakan (masyarakat) berakhlak atau taat
mengamalkan agama Islam serta mengarahkan kapanakan ke jalan yang lurus dan diredhai oleh Allah swt.
Tugas malim ini dibantu “urang jinih nan ampek” yakni: (1) imam, (2) katik, (3) bila dan (4) qadhi.
. Dubalan Adat
Dubalang merupakan seorang pembantu penghulu dalam bidang ketahanan dan keamanan. Dubalang
berasal dari kata hulubalang, yang bertugas menjaga huru hara yang mengancam ketahanan dan kemanan
baik dalam lingkungan kaum sukunya maupun salingka nagari. Karena beratnya tugas dubalang, disebut
posisinya tagak di pintu mati.
Keempat orang ampek jinih ini merupakan jabatan pemangku adat yang diturunkan secara turn temurun
dari mamak ke kapanakan. Pewarisan pusaka itu digariskan nilai petitih ssb.:
Mamak adalah saudara laki-laki dari pihak ibu. Semua saudara laki-laki ibu baik adik maupun kakaknya
yang sudah dewasa/ menikah disebut mamak. Secara khusus mamak bukanlah sekedar saudara laki-laki
ibu akan tetapi mamak adalah seseorang yang dituakan dan dianggap cakap dan bertanggung jawab
terhadap kelangsungan sistim matrilineal di Minangkabau.
Di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau laki-laki memiliki dua fungsi, yaitu sebagai kepala
keluarga/ rumah tangga (tunganai) dan sebagai mamak. Artinya laki-laki itu juga menjadi pemimpin dari
adik-adik dan kapanakannya. Sebagai seorang mamak ia diharapkan mengawasi adik dan kemenakannya
yang perempuan serta mengurus dalam hal-hal yang berhubungan dengan tata cara bernagari atau
bermasyarakat, hal ini menjadi tanggung jawab mamak, seperti mamang adat berikut:
Artinya jadi seorang mamak itu di samping memelihara anak-anaknya (sebagai ayah di rumah anaknya)
juga harus membimbing kemenakan (di dalam kaum sukunya), memelihara kampung jan binaso.
“Tungku tigo sajarangan” alam yang sesungguhnya adalah 3 tungku disusun di atasnya dijarangkan
periuk/ belanga/ kuali dijarangkan dan di dalamnya ada makanan/ minuman yang mau dimasak. “Tali tigo
sapilin” adalah 3 jurai tali yang dijalin menjadi satu tali dan kuat. Tungku itu panas, di situ kayu bersilang,
api dihidupkan dengan bahan bakar kayu, di saat itu pula nasi menjadi masak. Fakta empiris kekuatan
susunan 3 tungku sajarangan itu bersinergi dengan energi panas api yang dihidup karena kayu disilang-
silangkan di dalamnya.
Basilang kayu dalam tungku
Filosofinya, ketiga unsur kepemimpinan Minang itu bila bermusyawarah dapat menghasilkan keputusan
yang bulat dan punya kekuatan menghadapi persoalan yang dihadapi. Sistim tungku tigo sajarangan dan
tali tigo sapilin adalah (1) anggo tanggo (AD/ART), (2) raso jo pareso (UU) dan (3) alua jo patuik
(hukum). Leadernya merupakan kepemimpinan kolektif 3 unsur fungsionaris (1) ninik mamak, (2) alim
ulama, dan (3) cadiak pandai.
Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud dengan tungku tigo sajarangan akan dijelaskan unsur-unsur yang
terkait dalam tungku tigo sajarangan itu sebagai berikut:
1. Ninik Mamak
Di dalam urusan adat Minangkabau Ninik Mamak adalah orang yang dituakan berfungsi KK dalam
rumah tangga kaum paruk/ jurai. Ninik mamak merupakan unsur mamak rumah/ jurai tunggania/ mamak
kapalo kaum/ mamak kapalo warih dan ninik mamak kaum suku yang kepimpinannya diketuai/
dipenghului penghulu (datuk). Penghulu diperkuat urang nan ampek jinih dan urang jinih nan ampek.
Dalam adat Minangkabau telah dijelaskan bahwa mamak itu adalah pemimpin dan yang dipimpinnya
adalah anak kemenakan (masyarakat).
Kedudukan mamak dalam adat Minangkabau adalah memegang gelar pusako dan menguasai sako yaitu
warisan kehormatan dan harta termasuk lahan (hutan, ladang dan sawah). Walaupun sawah itu dpelihara
dan digunakan kaum perempuan, tetapi penguasaannya atas harta tersebut dipegang mamak tunganai/
lelaki tertua di dalam paruik.. Kumpulan mamak-mamak tadi dan diketuai tunganai di paruik/ jurai dan
diketuai penghulu dalam kaum suku semuanya itu Ninik Mamak.
Mamak rumah di rumah tangga orang tuanya yaitu rumah gadang, mereka mempunyai tiga kewajiban:
(1) Memelihara harta pusaka dan mengusahakan bagaimana cara menambah harta kaumnya;
(3) Menunjukajari serta menegakan hukum dalam pelanggaran hukum adat, agama dan negara.
Mamak yang barajo jo penghulu (ketua mamak) di Minang tugasnya adalah menjalankan pemerintahan
adat. Kalau tersandung minta fatwa dari ulama dan diperintahkan penghulu untuk diamalkan anak
kapanakan (rakyat) di bawah pengawasan ninik mamak.
2. Alim Ulama
Alim Ulama adalah orang yang alim dan tahu tentang agama. Seseorang yang alim adalah orang yang
memeliki ilmu agama yang sangat luas dan memiliki iman kuat. Alim ulama ini disebut juga
dengan suluah bendang dalam nagari, makasudnya alim ulama berfungsi sebagai penerang kehidupan di
masyarakat yang bertugas mengurus persoalan ibadah masyarakat dalam nagari di samping itu, ia juga
bertugas untuk mengelola lembaga pendidikan yang diadakan di mesjid-mesjid dan surau-surau. Kalau
nama saja alim tak banyak ilmu dan tak kuat iman bisa beraku: banyak alim rusak agama/ banyak cadiak
rusak nagari.
Kedudukan alim ulama dihormati kerena ilmu dan keteladanan imannya. Jika penghulu tingginya karena
ditinggikan (dianjuang) dan gadangnya karena diamba dan jabatan penghulu ini dipegangnya secara turun
temurun, tetapi seseorang ulama dalam masyarakat adalah karena ilmu yang dituntutnya dan ia
menduduki jabatan ulama karena kemampuan pribadinya, ketaatan dengan kesungguhannya. Jabatan ini
tidak dapat diturunkan, kecuali kalau anak atau kemenakannya mau menuntut ilmu agama dan ia mampu
pula menjadi panutan masyarakat tentang agama. Walaupun seseorang itu mempunyai ilmu yang tinggi
dalam bidang agama tapi tidak mampu menyebarkannya lewat tabligh-tabligh dan belum diakui
kepemimpinannya sebagai ulama oleh masyarakat belumlah boleh disebut ulama.
Fungsi alim ulama dalam masyarakat adalah pengikat tali lahir batin dan memberi contoh dan teladan/
panutan dan sebagai suluh bendang dalam nagari. Ulama itu berkewajiban menunjukkan yang baik dan
yang buruk, menyatakan yang terlarang (nahi) dan tersuruh (amar) oleh agama Islam. Tegasnya tugas
ulama di Minang memberi fatwa.
3. Cerdik Pandai
Cerdik pandai artinya kumpulan orang pandai-pandai atau disebut cerdik cendikia. Orang yang cerdik
ialah orang yang cepat mengerti dan berfikir cepat dan pandai mencari pemecahan suatu masalah serta
sangat teliti.
Kedudukan kaum cerdik pandai di Minang sejalan fungsinya “teliti”. Orang yang dapat mempergunakan
ilmu dan pengetahuannya untuk kepentingan hidup, pribadi dan untuk masyarakat karena kemampuannya
dan kecerdikannya dalam kehidupan di masyarakat. Cerdik cendekia pasti jadi orang cerdik pandai.
Kepemimpinan seorang cerdik pandai itu diakui masyarakat dan bersama-sama dengan penghulu dan alim
ulama menjadi pemimpin kolektif pula di nagari dan kepemimpinannya didudukan oleh anak kapanakan
di suku/ nagarinya. Tugasnya kalau ulama memberi fatwa, perintah pada penghulu dan teliti pada cadiak
pandai.
2. Hubungan Kerja KAN dan Pemerintahan Nagari (Wali Nagari + Bamus)
KAN (Kerapatan Adat Nagari) dulu pernah namanya KN (Kerapatan Nagari) ketika pemerintahan nagari
setangkup dengan pemerintahan adat, yakni ketika itu Kapalo Nagari (Penghulu Palo) dipilih dari
penghulu dalam KN (Kerapatan Nagari). Penghulu Palo itu berfungsi sebagai eksekutif, KN ketika itu
berfungsi legislatif dan yudikatif. Kemudian dalam perjalanan sejarah nagari Minang KN berubah
menjadi DPRW (Dewan Perwakilan Rakyat Wilayah), DPRN (Dewan Perwakilan Rakyat Nagari), BMN
(Badan Musyawarah Nagari) ditunjuk Muspika, kemudian menjadi KAN tahun 1983 (UU5/79 + Perda
13/1982) masih terasa berfungsi legislatif dan yudikatif.
Di era otonomi dengan Perda 9/ 2000 diamandemen dengan Perda 2/2007 KAN tetap ada tetapi sudah
dimarjinalkan dan dihapus secara tidak langsung fungsinya sebagai legislatif dan yudikatif di nagari.
Tahun 1999 posisi KAN digantikan BMAS dalam pemerintahan dan Tahun 2007 posisi KAN digusur
Bamus. Sebenarnya masih ada peluang, tergantung komitmen nagari dan dikukuhkan Pemkab (Perda,
Perbup atau AK Bupati) kembali menempatkan KAN sebagai berfungsi yudikatif menyelesaikan sengketa
nagari secara mekanisme informal di samping bersama Bamus menjadi legislatif sebagai lembaga tempat
bermusyawarah, dan wali nagari sebagai eksekutif/ kepala pemerintah nagari.
KAN sejak awal setidaknya menjalankan tupoksi sesuai kewenangan dan tanggung jawabnya, yakni di
samping mengembangkan kekayaan Nagari, pembinaan dan pengembangan adat, peningkatan
Kesejahteraan masyarakat Nagari dan keuangan Nagari yang paling penting lagi adalah fungsi pelaksana
perdamaian adat (penegak hukum secara adat) dan hukum pada umumnya secara mekanisme informal.
Peranan KAN ini semakin terpinggirkan dengan keluarnya Perda 9/ 2000 dan Perda 2/ 2007. Perda ini
merugikan dan tidak adil (blamming the victims) terhadap masyarakat adat. KAN (termasuk unsur ninik
mamak) dalam pemilihan Bamus disamabesarkan dan disamakan posisinya dengan unsur Pemuda
(kapanakan), Bundo Kandung, Alim Ulama dan Cadik Pandai. Padahal semua unsur itu kecuali pemuda
berada dalam unsur KAN seluruhnya sejak dahulu.
Akibat disamakan posisi KAN dengan unsur-unsur nagari tadi oleh Perda di era otonomi ini berakibat
fatal, memicu konflik kelembagaan di nagari. Suasana kehidupan bernagari semakin tidak bisa
direvitalisasikan yang pada gilirannya Pemerintahan Nagari (Wali Nagari + Bamus) sulit memacu
kinerjanya merevitalisasi kehidupan bernagari, karena suasana gaduh dan konflik di nagari melelahkan
berfikir dan tak terarah bekerja.
Pengalaman pemilihan Bamus, betapa banyak kasus di nagari KAN dilecehkan unsur Pemuda di samping
3 unsur lainnya (CP, AU dan BK), karena salah memahami Perda di era otonomi ini. Dianggap
KAN samo gadang dengan unsur lainnya termasuk Pemuda. Kondisi ini memicu kapanakan
(pemuda) mandago mamak., yang dalam hukum adat dapat dijatuhkan sanksi hukum adat. Hal itu
disebabkan karena merasa sama besar dalam pemilihan Bamus dan KAN sendiri kurang pandai pula
memposisikan diri sebagai lembaga besar di nagari. Kalau sudah merasa sama besar pemuda dengan
KAN dalam persaingan politik bisa-bisa muncul ucapan mandago itu: apo juo lai urusan yang tuo-tuo
nan babaju hitam kolai. Itu ungkapan meniadakan ninik mamak dan mandagomamak.
Ungkapan mandago itu muncul dari kapanakan bisa-bisa takabauitu, karena melanggar komitmen
kaumnya sendiri, memilih dan melewakan yang berbaju hitam itu dengan menyembelih kerbau. Dalam
persaingan politik ala demokrasi yang tidak berakar pada budaya Minang, ungkapan itu bisa terjadi setiap
saat, meski tidak dibenarkan oleh nilai adat dan syarak sebagai acuan.
B. D I S T R I B U S I K E K U A S A A N
Para scholars ilmu politik telah menciptakan beberapa model yang berbeda untuk
menganalisis soal distribusi kekuasaan. Setidaknya ada tigamodel yang ditawarkan para
sarjana ilmu politik dalam memahaini distribusikekuasaan (Andrain, 1992 : 154),
Pertama
Kelompok atau klas yang memerintah (pemerintah), yang terdiri dari sedikit orang
melaksanakan fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmatinya.
Kedua
Klas yang diperintah, yang berjumlah banyak dan berkecendrungan dimobilisasi oleh
penguasa dengan cara-cara yang kurang lebih berdasar hukum dan juga paksaan.
2. Model Pluralis. Asumsi yang terbangun dalam masyarakat yang relatif d e m o k r a t i s
adalah setiap individu menjadi satu anggota s u a t u kelompok atau lebih
berdasar pada preferensinya atas kepentingan-kepentingan yang melatar belakanginya. Dalam
konteks sini kelompok berfungsi sebagai wadah perjuangank e p e n t i n g a n
para anggota dan menjadi perantara antara p a r a anggotanya,
sehingga yang dimaksud dengan model elite yang berkuasa di sini
i a l a h p a r a k e l o m p o k y a n g s a l i n g b e r s a i n g d a n berdialektika sesama kelompok lain
dalam mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat pemerintah deini terlaksananya
keinginandan kebutuhan kelompok.
3. Model kekuasaan popular. Asumsi yang mendasari model populis ataukerakyatan adalah
demokrasi. Di mana pada sistem politik demokrasi (liberal) yang dibangun adalah sikap
individualisme. Individualisme s e n d i r i diasumsikan sebagai setiap warga
negara yang telah dewasa mempunyai hak meimilih dalam peinilihan
umum setiap, warga negara yang sudah dewasa yang mempunyai ininat yang besar untuk
aktif dalam proses politik, setiap warga negara yang dewasa mempunyai kemampuan unutk
mengadakan penilaian tehadap proses politik karena mereka memiliki informasi yang memadai.
Menurut Paul Coun (dalam Surbakti, 1992: 89) secara umum terdapat light cars peralihan
kewenangan. yakni: pertama, turun menurun,yang dimaksud derngan peralihan
kewenangan secara turun menurun ialah j a b a t a n a t a u k e w e n a n g a n y a n g d i a l i h k a n
k e p a d a k e t u n i n a n a t a u k e l u a r g a pemegang jabatan terdahulu. Hal ini dapat dilihat
dalam sistem politik yangutonarid dan / atau otokrasi tradisional, kedua peralihan
kewenangan dengancaraptharcyalaiiperalihankewenangan melalui kontrak sosial yang
berbentuk pemulihan umum baik yang dilakukan secara langeung ataupun melalui badan perwakilan
rakyat. Hal ml dlpraktikan dalam sistem politik yang demokratis.Dan ketiga, peralihan
kewenangan melalui paksaan peralihan kewenangans e c a r a p a k s a a n i a l a h j a b a t a n a t a u
kewenangan terpalcsa dialihkan kepada o r a n g a t a u k e l o m p o k l a i n d e n g a n
tidak menurut prosedur yang s u d a b disepakati tetapi melalui tindak
inkonstitusional-kekerasan, seperti paksaantak berdarah revolusi, dan/ atau kudeta.
C a r a p a n d a n g l a i n u n t u k m e l i h a t s i r k u l a s i e l i t e d a l a h a t a u y a n g d a p a t terjadi,
sebagai berikut :
a. In divid u – in divid u dari strata ba wah berha sil memasu ki rua ng elite
y a n g sudah ada
C.SISTEMMUSYAWARAHDAN MUFAKAT
Di minangkabau terdapat dua sistem yang berpengaruh terhadap politik pemerintahan adat. kedua sistem
tersebut sudah sangat dikenal sekali, yaitu bodi caniago dan koto piliang. Pada topik lain sudah di
jelaskan bahwa bodi caniago menerapkan sistem demokrasi dan koto piliang menerapkan sistem otokrasi.
Selain mempengaruhi politik pemerintahan, kedua sistem ini juga mempengaruhi watak masyarakat
minangkabau.
Dalam sebuah ungkapan dijelaskan :
Berdasarkan ungkapan tersebut, didapati bahwa di dalam minangkabau ada dua penerapan sekaligus
kedua sistem tersebut. Sehingga lahirlah sebuah penerapan pemerintahan adat yang khas di
minangkabau.
Demokrasi bodi caniago dapat disebut juga dengan demokrasi murni. Dimana demokrasi yang dipakai
adalah demokrasi langsung. Seseorang yang disebut mamak langsung berhubungan dengan
kemenakannya. Mamak, khususnya pangulu tidak memiliki tingkatan, atau memiliki kedudukan yang
sama. Bodi caniago lebih mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam segala permasalahan yang
terjadi dalam kehidupan. Karena memang prinsipnya adalah musyawarah tersebut biasanya tidak ada
permasalahan yang tidak dapat terselesaikan. Kalau dalam adat minangkabau biasanya disebut “indak ado
kusuik nan indak salasai, indak ado karuah nan indak janiah”.
Sedangkan koto piliang di sebut juga dengan demokrasi tidak langsung. Dimana seorang mamak pangulu
tidak langsung berhubungan dengan rakyatnya. Hal tersebut dikarenakan dalam aliran ini pangulu
memiliki tingkatan-tingkatan. Tingkatan tersebut dimulai dari mamak tungganai, yang berhubungan
dengan tingkat di atasnya yaitu pangulu andiko. Pangulu andiko berhubungan dengan tingkat di atasnya
yang disebut dengan pangulu kaampek suku. Lalu pangulu kaampek suku ini berhubungan dengan
pangulu pucuak. Pangulu pucuak adalah tingkatan yang paling atas dalam suatu nagari. sistem ini dikenal
juga dalam minangkabau dengan “bajanjang naik, batanggo turun”.
Kedua sistem inilah yang menjadi dasar-dasar lahirnya sistem yang khas diminangkabau yang kita
sebutkan tadi. Dapat terlihat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari pengaruh dari kedua sistem ini.
Pada saat tertentu masyarakat menerapkan sistem bodi caniago, namun pada saat yang lain sistem koto
piliang pun digunakan. Semua hal tersebut disesuaikan dengan keadaannya, tergantung kepada
permasalahan yang terjadi.
Jika dilihat dari sudut pemimpin, diminangkabau pemimpin sangatlah fleksibel atau lentur. Semua itu
menggambarkan kebijaksaan dan kearifan seorang pemimpin. Dalam adat di jelaskan “kandua
badantiang-dantiang, tagang bajelo-jelo”. Unngkapan tersebut menjelaskan, bahwa seorang pemimpin
bukanlah orang yang kaku dalam menyelesaikan tugasnya, namun memiliki kearifan dan kebijaksanaan.
Dilihat dari masyarakat, diminangkabau tentu mereka juga tidak bisa terus-terusan diperlakukan secara
otoriter oleh pemimpinnya. Namun tidak juga semua bisa dilaksanakan secara demokrasi. Masyarakat
mengharapkan untuk menjalankan kedua sistem ini secara beriringan sesuai dengan persoalannya.
Masyarakat dapat menerima demokrasi dan otokrasi dalam batas-batas tertentu. Dalam adat minangkabau
di ungkapkan “ kamanakan barajo kamamak, mamak barajo ka pangulu”. Jadi otokrasi yang diterapkan
mamak dan pangulu menuntuk demokrasi dibaliknya.
Ungkapan tersebut memberitahukan kepada pemimpin, suapaya tidak menerapkan otokrasi secara terus
menerus. Ungkapan tersebut juga mengandung arti bahwasanya kemenakan juga memiliki kekuasaan dan
dapat menjatuhkan pemimpin. Kekuasaan yang dimiliki kemenakan tersebut juga merupakan wujud dari
demokrasi minangkabau.
Sehingga ada pertemuan antara dua kehendak, pertama dari pihak pemimpin dan kedua dari pihak
kemenakan (rakyat). Sehingga melahirkan demokrasi yang khas dalam masyarakat minangkabau.
Demokrasi ini hingga sekarang masih dipakai oleh masyarakat minangkabau.