Anda di halaman 1dari 5

Suku Kubu atau lebih dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba, merupakan

sebuah suku bangsa yang menghuni wilayah sekitar Sumatera Selatan dan Jambi, meski
sebagian besar dari mereka lebih banyak menetap di Jambi. Ada beberapa versi mengenai
nenek moyang dari Suku Anak Dalam. Salah satunya adalah bahwa Suku Anak Dalam
sebenarnya berasal dari Pagaruyung –Sumatera Barat, yang kemudian mengungsi ke Jambi.
Sebabnya, Suku Anak Dalam juga menganut sistem kekerabatan matrilineal (menurut garis
keturunan ibu) seperti orang-orang Minangkabau. Tapi ada juga versi lain, misalnya kisah bahwa
pada awalnya nenek moyang Suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat yang lari ke
sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas dan akhirnya menetap di sana. Kini, Taman Nasional
Bukit Dua Belas merupakan tempat berlindung bagi Suku Anak Dalam.

Umumnya, Suku Kubu atau Suku Anak Dalam hidup dari hasil berburu. Tapi ada juga yang
melakukan kegiatan pertanian. Meski semakin lama sumber daya alam semakin menipis di alam
tempat tinggal mereka. Mereka juga hidup secara berpindah pindah (nomaden).

-Sosiologis

Propinsi Jambi memiliki Jumlah Komunitas Adat (KAT) terbesar di Indonesia. KAT yang tingal
di Propinsi Jambi dikenal dengan sebutan “Orang Rimbo”, “Suku Anak Dalam” atau “Suku
Kubu”. Data Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Jambi
menyebutkan bahwa pada tahun 2013 jumlah total “ Orang Rimbo” berkisar 28.611 jiwa, 13.664
sudah dilakukan kegiatan permberdayaan dan 14.947 jiwa belum menerima kegiatan
pemberdayaan pemerintah.

Pemerintah telah memberikan perhatian kepada komunitas adat terpencil dalam aspek
pembangunan sejak tahun 1950-an. Pemerintah berusaha untuk meningkatkan serta memperbaiki
kualitas kehidupan sosial ekonomi mereka dengan cara : membangun tempat pelayanan
kesehatan, membangun tempat tinggal dan sebagainya. Proses pembangunan pada masa orde
lama identik dengan pembangunan fisik. Istilah pembangunan juga semakin berkembang sebagai
terjemahan dari beragam istilah asing, sehingga terkadang mengandung kerancuan makna.
Pembangunan sering disebut dengan istilah : development, growth and change, modernization
bahkan juga progress. Sejatinya pembangunan itu tidak hanya fisik saja, tapi juga non fisik, baik
proses maupun tujuan, baik duniawi maupun rohaniah. Indonesia yang Berkeadilan Sosial tanpa
Diskriminasi 111 (Mardikanto, 2010). Pembangunan juga mencakup perubahan sosial dan
kemasyarakatan.

Untuk penyebutan terhadap orang rimbo terbagi atas tiga sebutan yaitu :
1. Kubu, merupakan sebutan yang paling populer digunakan oleh orang Melayu dan masyarakat
Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh,
kotor dan menjijikan. Sebutan Kubu telah terlanjur populer terutama oleh berbagai tulisan
pegawai kolonial dan etnografer pada awal abad ini.

2. Suku Anak Dalam (SAD), sebutan ini digunakan oleh pemerintah melalui Departemen Sosial.
Suku Anak Dalam memiliki makna orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Karena itulah
dalam perspektif pemerintah mereka harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari
hutan dan dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT)
3. Orang Rimba ( Orang Rimbo) , adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini untuk menyebut
dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai etnis yang
mengembangkan kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari hutan. Sebutan ini adalah yang
paling proposional dan obyektif karena didasarkan kepada konsep Orang Rimbo itu sendiri.

-Filosofis
Adat Istiadat
Suku Anak Dalam memiliki sistem kekerabatan matrilineal. Mereka tinggal dalam keluarga kecil
dan keluarga besar. Keluarga kecil terdiri dari pasangan suami istri dengan anak-anak yang
belum menikah. Lalu ada keluarga besar yang terdiri dari beberapa keluarga kecil dari pihak
kerabat istri.

Anak laki-laki yang telah menikah harus tinggal bersama keluarga dan kerabat istri. Satu
keluarga besar tinggal di satu pekarangan yang terdiri dari 2 sampai 3 pondok. Di pondok-
pondok itulah keluarga-keluarga kecil tinggal.

Kepercayaan Suku Anak Dalam


Sebagian besar masyarakat Suku Anak Dalam masih menganut kepercayaan animisme. Namun
ada juga beberapa puluh keluarga yang telah memeluk agama Islam.

Pakaian Suku Anak Dalam


Karena merupakan masyarakat terasing, Suku Anak Dalam masih mengenakan pakaian yang
sangat sederhana. Para pria mengenakan cawat, sementara kaum wanita mengenakan bawahan
seadanya. Kain untuk menutup dada hanya dikenakan oleh kaum wanita saat mereka bertemu
dengan masyarakat dari luar suku.

Aturan Hidup Suku Anak Dalam


Seperti halnya pada setiap kelompok masyarakat, Suku Anak Alam juga memiliki aturan hidup
atau hukum adat yang harus ditaati oleh seluruh warganya. Ada 4 aturan hidup yang harus
dijalankan, yaitu:

1. Melangun
Melangun adalah sebuah kebiasaan hidup berpindah-pindah atau nomaden yang masih
dijalankan oleh Suku Anak Dalam. Perpidahan

baca juga: Suku Toraja - Sejarah, Kepercayaan, Budaya, Kelas Sosial & Upacara Kematian
dilakukan jika ada anggota keluarga yang meninggal. Mereka akan meninggalkan tempat
tersebut dan mencari tempat tinggal baru, sebagai cara untuk menghilangkan duka mereka
karena ditinggalkan oleh keluarga tercinta. Kegiatan Melangun akan terus dilakukan sampai
rasa sedih mereka hilang.

2. Pantang Dunia Terang


Dunia terang yang dimaksud adalah kehidupan di luar hutan rimba yang menjadi tempat
tinggal Suku Anak Dalam. Masyarakat yang tinggal di luar hutan rimba disebut sebagai
masyarakat terang. Berinteraksi dengan dunia terang terkadang juga dilakukan oleh etnis ini
meskipun sangat dibatasi.

3. Aturan Mandi
Suku Anak Dalam adalah kelompok masyarakat yang sederhana dan masih menjalani
kehidupan primitif. Suku Anak Dalam sangat membatasi diri mereka dalam aktivitas sehari-
hari, termasuk juga saat mandi.

Proses mandi hanya dilakukan dengan menyeburkan diri ke dalam sungai dan membasuh diri
hingga mereka merasa sudah bersih. Mereka tidak perlu menggunakan sabun, sampo, dan
lain-lain.

4. Larangan Berduaan Laki-laki & Perempuan


Aturan tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam Suku Anak Dalam ternyata
cukup keras dan keduanya dilarang berduaan. Jika ketahuan melanggar, maka akan dikenai
hukuman berupa kawin paksa. Namun sebelum dikawinkan, mereka harus menjalani
hukuman cambuk dengan rotan terlebih dahulu. Hukum adat ini dianggap sangat memalukan
bagi kedua belah pihak orangtua.

Pria dari masyarakat terang yang hendak masuk ke wilayah Suku Anak Dalam pun ada
aturannya. Pria ini harus ditemani dengan seorang pria dari Suku Anak Dalam dan idak bisa
masuk sendirian.

Setelah masuk ke wilayah tempat tinggal mereka, pria masyarakat terang harus meneriakkan
kalimat “ado jentan kiuna?” artinya “ada laki-laki di sana?”. Jika ada yang menjawab, barulah
mereka boleh masuk ke dalam hutan rimba.

-Yuridis
UUD 1945 mengatur keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum yang berbeda
dengan subyek hukum lainnya. Hal ini sudah tampak sejak UUD 1945 periode pertama di mana
pada bagian penjelasan UUD 1945 terdapat penjelasan mengenai “persekutuan hukum rakyat”
yaitu masyarakat hukum adat yang keberadaannya sudah ada sebelum proklamasi Republik
Indonesia.

Ketika dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, bagian penjelasan UUD 1945 dihapus
keberadaannya. Kemudian dasar hukum mengenai keberadaan masyarakat adat diletakkan pada
Batang Tubuh UUD 1945. Setidaknya terdapat tiga ketentuan utama dalam UUD 1945 yang
dapat menjadi dasar bagi keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Tiga ketentuan
tersebut yaitu Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945.

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu landasan konstitusional masyarakat adat
menyatakan pengakuan secara deklaratif bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan
dan hak-hak masyarakat hukum adat. Namun pengakuan tersebut memberikan batasan-batasan
atau persyaratan agar suatu komunitas dapat diakui keberadaan sebagai masyarakat hukum adat.
Ada empat persyaratan keberadaan masyarakat adat menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
antara lain: (a) Sepanjang masih hidup; (b) Sesuai dengan perkembangan masyarakat; (c) Prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (d) Diatur dalam undang-undang.

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 merupakan bentuk dari pengakuan bersyarat terhadap keberadaan
masyarakat hukum adat. Rikardo Simarmata menyebutkan model pengakuan bersyarat itu
merupakan model yang diwariskan oleh pemerintahan kolonial (Simarmata, 2006). Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan
dan hak-hak masyarakat adat diatur dalam undang-undang. Secara terminologis, frasa “diatur
dalam undang-undang” memiliki makna bahwa penjabaran ketentuan tentang pengakuan dan
penghormatan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat tidak harus dibuat dalam satu
undang-undang tersendiri. Hal ini berbeda dengan frasa “diatur dengan undang-undang” yang
mengharuskan penjabaran suatu ketentuan dengan undang-undang tersendiri. Jadi bila dilihat
secara gramatikal, maka untuk menjalankan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tidak harus dibentuk
sebuah undang-undang khusus tentang masyarakat adat.

Meskipun demikian, kebutuhan akan adanya sebuah undang-undang yang mengatur mengenai
masyarakat adat telah lama didorong oleh organisasi masyarakat adat seperti Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN), dan bahkan telah disambut oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dengan menyiapkan Draf Rancangan UndangUndang (RUU) tentang Pengakuan dan
Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA). Kebutuhan akan sebuah UU
tentang masyarakat hukum adat juga disampaikan oleh Mahkamah Konsitusi dalam Putusan MK
35. Hakim konstitusi menyampaikan:
Undang-Undang yang diperintahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945hingga saat ini
belum terbentuk. Oleh karena kebutuhan yang mendesak, banyak peraturan
perundang-undangan yang lahir sebelum Undang-Undang yang dimaksud terbentuk.

Jelas bahwa Putusan MK 35 menghendaki bahwa diperlukan sebuah undangundang khusus


mengenai masyarakat hukum adat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD
1945. Oleh karena itu, semua peraturan perundang-undangan baik pada level undang-undang,
peraturan pemerintah maupun peraturan daerah haruslah dianggap sebagai peraturan yang dibuat
untuk mengisi kekosongan undangundang khusus tentang masyarakat hukum adat.

Pengaturan masyarakat hukum adat dalam peraturan perundangundangan lainnya


Salah satu peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai masyarakat adat adalah
TAP MPR. No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
TAP MPR tersebut menentukan bahwa salah satu prinsip dalam pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam adalah “mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat
hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.”

Pengaturan lain mengenai masyarakat hukum adat juga terdapat di dalam Keputusan Presiden
No. 111 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Keputusan presiden ini
menempatkan masyarakat hukum adat sebagai 7 komunitas adat terpencil untuk dijadikan
sebagai pihak yang akan menerima programprogram pemberdayaan pemerintah karena lokasi
dan keadaannya dipandang terpencil.
Terdapat pula Surat Edaran Menteri Kehutanan yang berkaitan dengan keberadaan dan hak-hak
masyarakat adat atas hutan. Surat Edaran No. S.75/MenhutII/2004 tentang Surat Edaran Masalah
Hukum Adat dan Tuntutan Kompensasi/Ganti rugi oleh Masyarakat Hukum Adat yang
ditandatangani tanggal 12 Maret 2004 ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh
Indonesia.

Pengakuan Kewarganegaraan Suku Terpencil Seperti Suku Anak Dalam Ditinjau Dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
Status kewarganegaraan yang sangat penting bagi seorang penduduk seringkali terabaikan
bahkan oleh pemerintah desa terhadap masyarakat suku-suku yang masih bersifat primitive dan
tinggal di daerah pedalaman. Pengakuan kewarganegaraan masyarakat semestinya tidak boleh
dibedakan antara satu masyarakat dengan massyarakat lainnya.

Kewarganegaraan merupakan hakyang sangat mendasar. Bahkan kepemilikan tanah di Indonesia


hanya dapat dimiliki jika seseorang tersebut merupakan Warga Negara Indonesia (WNI).
Program kerja dan pengakuan terhadap kewarganegaraan itu sendiri harus terlepas dari hal-hal
yang berbau diskriminasi. Hal ini sebagaimana asas kewarganegaraan itu sendiri yang memiliki
asas non diskriminatif.

Sejalan dengan semangat tersebut, jika kita melakukan telaah lebih lanjut mengenai kandungan
pasal demi pasal Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, sudah
mengatur mengenai pemberantasan sikap diskriminatif atas suku, ras, dan etnis tertentu dalam
pengakuan kewarganegaraan. Hal inilah yang merupakan dasar dibuatnya undang-undang ini
untuk menggantikan undang-undang tentang kewarganegaraan sebelumnya. Dalam bagian
penjelasan undang-undang yang tidak dapat dipisahkan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 ini menjelaskan secara detail bahwa landasan filosofis dibuatnya undang-undang ini adalah
karena tidak sesuainya undang-undang mengenai kewarganegaraan sebelumnya dengan asas-asas
dalam Pancasila.

Asas non-diskriminatif merupakan salah satu bentuk realisasi undang-undang ini terhadap
pengakuan kewarganegaraan semua golongan masyarakat termasuk pada kelompok suku
terpencil seperti Suku Anak Dalam. Akan tetapi, hal ini tidak mulus berjalan hingga ke lapangan.
Hanya ada beberapa masyarakat Suku Anak Dalam yang memiliki bukti identitas
kewarganegaraan seperti halnya kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan akte lahir. Masih
banyak perilaku diskriminatif yang mereka rasakan dalam hal pengurusan identitas
kewarganegaraan di desa setempat. Hal ini dapat dikarenakan belum adanya aturan yang
memperjelas pengurusan hak kewarganegaraan pada suku terpencil. Dengan kata lain, semangat
untuk mengakui secara non-diskriminatif dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan ini belum ditopang oleh peraturan-peraturan yang diperlukan untuk
melaksanakannya secara teknis.

Anda mungkin juga menyukai