Anda di halaman 1dari 33

Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah di 

Indonesia
Desember 30, 2014 · by Rais Rozali
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan
Pengaturan tentang perbankan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Belanda.
Untuk menertibkan peraktik lembaga pelepas uang yang banyak terjadi pada
waktu itu, dikeluarkanlah peraturan, baik dalam bentuk undang-undang maupun
berupa surat-surat keputusan resmi dari pihak pemerintah. Diantara lembaga
keuangan yang telah berdiri sejak zaman penjajahan tersebut, yaitu De Javashe
Bank N.V, tanggal 10 Oktober 1827 yang kemudian dikeluarkan undang-
undang De Javashe Bank Wet 1872. Bank inilah yang kemudian menjadi Bank
Indonesia, setelah melalui proses nasionalisasi pada tahun 1951, dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1951 yang mulai berlaku
tanggal 6 Desember 1951. [1]
Regulasi perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Noomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-
Pokok Perbankan. Undang-undang ini mengatur secara komprehensif sistem
perbankan yang berlaku pada masa itu. Dimana akan berhubungan dengan
kedudukan perbankan syariah pada masa berlakunya Undang-Undang ini adalah
adanya pengaturan mengenai pengertian “kredit” yang terdapat di dalamnya.
Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa Kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan pinjam
meminjam antara bank dengan lain pihak, dalam hal mana pihak peminjam
berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah
bunga yang ditetapkan. [2] Dari bunyi pasal di atas tampak pengertian, bahwa
usaha perbankan yang ada pada masa itu (perbankan konvensional)
operasionalnya menggunakan sistem kredit, tidak mungkin melaksanakan kredit
tanpa mengambil bunga.
Hal ini dikarenakan konsep bunga melekat dalam pengertian kredit itu sendiri.
Sehingga, tidak dimungkinkan perbankan syariah untuk didirikan, sebab kegiatan
usaha bank pada masa itu harus menggunakan bunga. Bahkan perbankan pada
masa itu ditentukan tingkat bunganya oleh pemerintah secara seragam, agar tidak
terjadi penentuan bunga yang sewenang-wenang oleh masing-masing bank dan
untuk menjaga stabilitas keuangan negara. [3]
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
PT Bank Muamalat Indonesia Tbk didirikan pada 1 November 1991, diprakarsai
oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pemerintah Indonesia, dan memulai
kegiatan operasinya pada 1 Mei 1992. Dengan dukungan nyata dari eksponen
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha
Muslim, pendirian Bank Muamalat juga menerima dukungan masyarakat, terbukti
dari komitmen pembelian saham Perseroan senilai Rp. 84 miliar pada saat
penandatanganan akta pendirian Perseroan. Selanjutnya, pada acara silaturahmi
peringatan pendirian tersebut di Istana Bogor, diperoleh tambahan komitmen dari
masyarakat Jawa Barat yang turut menanam modal senilai Rp. 106 miliar.

Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syariah ini
belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan
nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sitem syariah ini
hanya dikategorikan sebagai ‘bank dengan sistem bagi hasil’, tidak terdapat rician
landasan hukum syariah serta jnis-jenis usaha yang diperbolehkan. Sistem bagi
hasil dalam Undang-Undang ini hanya diuraikan sepintas lalu dan merupakan
‘sisipan’ belaka.[4] Ketentuan bagi hasil tersebut diatur dalam Pasal 6 Huruf i,
dimana disebutkan bahwa Bank Umum dapat menyediakan pembiayaan bagi
nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
dalam Peraturan Pemerintah. Kemudian dalam Pasal 13 huruf c, yang
menyebutkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat dapat menyediakan pembiayaan
bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan prinsip bagi hasil kemudian ditaungkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Peraturan
Pemerintah ini memberi makna bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank
Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-
mata berdasarkan prinsip bagi hasil.[5]Selanjutnya dalam Pasal Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 disebutkan bahwa prinsip bagi hasil adalah
prinsip bagi hasil berdasarkan Syari’at yang digunakan oleh bank berdasarkan
prinsip bagi hasil dalam:
1. menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan
dengan penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan
kepadanya;
2. menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan
dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan
investasi maupun modal kerja;
3. menetapkan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang
lazim dilakukan oleh bank dengan prinsip bagi hasil.
Pengertian prinsip bagi hasil dalam penyediaan dana kepada masyarakat dalam
bentuk pembiayaan, termasuk pula kegiatan usaha jual beli.

 
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
 
Perkembangan perbankan Syariah sangat pesat dan menjanjikan prospek yang
menguntungkan. Meskipun eksistensi bank Syariah di Indonesia secara formal
telah dimulai sejak tahun 1992 dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Namun, harus diakui bahwa Undang-Undang
tersebut memang belum memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap
pengembangan bank Syariah karena masih menggunakan istilah bank bagi hasil.
Pengertian bank bagi hasil yang dimaksudkan dalam Undang-Undang tersebut
belum sesuai dengan cakupan pengertian bank syariah yang relatif lebih luas dari
bank bagi hasil. Dengan tidak adanya pasal-pasal dalam Undang-Undang tersebut
yang mengatur bank Syariah, maka hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan
operasional yang secara khusus mengatur kegiatan usaha bank Syariah.
Tahun 1998 lahirlah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang
tersebut mengatur lebih rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat
dioperasikan dan dimplementasikan. Undang-Undang tersebut memberi arahan
bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan
mengkonversi diri secara tital menjadi bank syariah.[6] Walapun Undang-Undang
ini belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional
Perbankan Syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha Bank
Syariah berkembang cukup pesat.
Dalam penjelasan umumnya Undang-Undang ini mennyebutkan bahwa peranan
bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah perlu
ditingkatkan untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena
itu, Undang-undang ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi
masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada Bank
Umum untuk membuka kantor cabangnya yang khusus melakukan kegiatan
berdasarkan Prinsip Syariah.[7]
Ketentuan mengenai bank syariah diatur dalam Pasal 1, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 11, Pasal 13, Pasal, Pasal 29 dan Pasal 37. Pada Pasal 6 huruf m, disebutkan
bahwa Usaha Bank Umum adalah menyediakan pembiayaan dan atau melakukan
kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia. Kemudian dalam Pasal 13 huruf c, disebutkan
bahwa Usaha Bank Perkreditan Rakyat adalah menyediakan pembiayaan dan
penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Kemudian pada tahun 1999 lahir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia. Undang-Undang ini juga menetapkan bahwa Bank Indonesia
dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip Syariah.
Keberadaan kedua Undang-Undang tersebut telah mengamanatkan Bank
Indonesia untuk menyiapkan perangkat ketentuan dan fasilitas penunjang lainnya
yang mendukung operasional bank Syariah sehingga memberikan landasan
hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan
perbankan Syariah di Indonesia. Yaitu dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan
operasional dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia. Kedua Undang-Undang
tersebut selanjutnya menjadi dasar hukum bagi keberadaan dua sistem perbankan
di Indonesia, yaitu adanya dua sistem perbankan (konversional dan Syariah)
secara berdampingan dalam memberikan pelayanan jasa perbankan bagi
masyarakat.

Upaya pengembangan perbankan Syariah di Indonesia tidak semata hanya


merupakan konsekuensi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tetapi juga merupakan bagian dari upaya
penyehatan sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan
perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun
1997 membuktikan bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip Syariah dapat
bertahan ditengah gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi.
Kenyataan tersebut ditopang oleh karakteristik operasi bank Syariah yang
melarang bunga (riba), transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar) dan
spekulatif (maysir). Dengan kenyataan tersebut, pengembangan perbankan
Syariah diharapkan dapat meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional
yang sedemikian rupa dapat menciptakan perekonomian yang tangguh. Yaitu
perekonomian yang pertumbuhan sektor keuangannya sejalan dengan
pertumbuhan sektor riil.[8]
 
Undang undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 menyebutkan
bahwa guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus
memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa
Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan Syariah ini diatur jenis usaha,
ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan
bagi Bank Syariah maupun Unit Usaha Syariah yang merupakan bagian dari Bank
Umum Konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada
masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah
selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur
riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.
Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam
Undang-Undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah
compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia yang
direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah yang harus dibentuk pada
masing-masing Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Untuk menindaklanjuti
implementasi fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia ke dalam
Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk komite
perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan dari Bank
Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang komposisinya
berimbang. Setelah terbit Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan maka Fatwa Majelis Ulama Indonesia dikeluarkan dalam bentuk
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Undang undang Nomor 21 tahun 2008 memiliki beberapa ketentuan umum yang
menarik untuk dicermati. Ketentuan umum sebagaimana tersebut dalam Pasal 1
adalah merupakan sesuatu yang baru dan akan memberikan implikasi tertentu,
meliputi:

1. Istilah Bank Perkreditan Rakyat yang diubah menjadi Bank Pembiayaan


Rakyat Syariah. Perubahan ini untuk lebih menegaskan adanya perbedaan
antara kredit dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
2. Definisi Prinsip Syariah. Dalam definisi dimaksud memiliki dua pesan
penting yaitu (1) prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dan (2)
penetapan pihak/lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa yang
menjadi dasar prinsip syariah.
3. Penetapan Dewan Pengawas Syariah sebagai pihak terafiliasi seperti
halnya akuntan publik, konsultan dan penilai.
4. Definisi pembiayaan yang berubah secara signifikan dibandingkan definisi
yang ada dalam Undang-Undang sebelumnya tentang perbankan (Undang-
Undang Nomor 10 tahun 1998). Dalam definisi terbaru, pembiayaan dapat
berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa menyewa, transaksi jual beli,
transaksi pinjam meminjam dan transaksi sewa menyewa jasa (multijasa).
Kemudian Bank Syariah yang telah mendapatkan izin usaha setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ini, wajib
mencantumkan dengan jelas kata ”syariah” setelah kata ”bank” atau nama bank .
Sedangkan Unit Usaha Syariah yang telah mendapatkan izin usaha setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
ini, wajib mencantumkan dengan jelas frase ”Unit Usaha Syariah” setelah nama
Bank pada kantor Unit Usaha Syariah yang bersangkutan. Selain mendirikan
Bank Syariah atau UUS baru, pihak-pihak yang ingin melakukan kegiatan usaha
perbankan syariah dapat melakukan pengubahan (konversi) bank konvensional
menjadi Bank syariah. Pengubahan dari Bank Syariah menjadi bank konvensional
merupakan hal yang dilarang dalam UU ini.[9] Disamping itu, pendirian Bank
Umum Syariah baru dapat dilakukan dengan cara pemisahan (spin off) Unit Usaha
Syariah dari induknya yang dilakukan secara sukarela [10]atau dilakukan dalam
rangka memenuhi kewajiban.[11]
[1] A. Zuliansyah, Positivisasi: Hukum Islam Dalam Undang-Undang Perbankan
Syariah Di Indonesia, http://download.portalgaruda.org/article, diakses tanggal 29
November 2014, Pukul 16.45.
[2] Pasal 13 huruf c.
[3] A. Zuliansyah, Positivisasi: Hukum Islam Dalam Undang-Undang Perbankan
Syariah Di Indonesia, ibid.
[4] Muhammad Syafi’i Antonio, Islamic Banking: Bank syariah dari teori Ke
Praktek, Gema Insani Press, Jakarta:2001, hlm. 26.
[5] 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992.
[6] Muhammad Syafi’i Antonio, Islamic Banking: Bank syariah dari teori Ke
Praktek, ibid.
[7] Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
[8] Arpani, Perbankan Syari’ah Sebagai Pendukung Sistem Ekonomi
Naisonal, pa-kandangan.pta-banjarmasin.go.id/…/Mklh-Arpani5%20Perbankan
%2, diakses pada 29 November 2014, Pukul 19.12.

………………………………………………………………………………………
Regulasi Perbankan Syariah:

Kasus Indonesia

Secara periodic, pengaturan system perbankan di Indonesia diatur melalui


undang-undang tentang perbankan. Seiring dengan dinamika perkembangan sosial
ekonomi di tengah masyarakat di Indonesia, undang-undang yang mengatur
tentang perbankan kemudian mengalami beberapa kali perubahan. Menyangkut
perubahan regulasi yang mengakomodasi diberlakukannya bank syariah, tulisan
ini, secara periodik akan melihat sejak diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 1992
sampai diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2008.

Periode Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992


Titik terang pendirian lembaga bank dengan sistem syariah, secara yuridis,
muncul setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan. Dalam undang – undang ini, secara eksplisit dinyatakan, bahwa selain
menyediakan layanan berbasis bunga, bank umum dan bank perkreditan rakyat
dapat menyelenggarakan layanan penghimpunan dan pembiayaan dengan prinsip
bagi hasil.

Ketentuan penyelengaraan bank dengan system bagi hasil itu diatur dalam Bab II
bagian kedua tentang usaha bank umum dan bagian ketiga tentang usaha bank
perkreditan rakyat. Secara ekplisit, pada pasal 6 (m) disebutkan, bahwa salah satu
usaha bank umum adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan
prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah. Demikian pula pada pasal 13 (d) disebutkan, bahwa bank perkerditan
rakyat dapat menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi
hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. 
Ketentuan tentang bank bagi hasil, seperti ditungkan dalam dua pasal tersebut,
kemudian ditindalnajuti oleh PP No. 72 Tahun 1992. Ketentuan terpenting yang
berkaitan dengan system syariah pada peraturan tersebut adalah penegasan pada
pasal 2 (1) yang menyatakan, bahwa prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil
berdasarkan syariat.[8]

Penegasan dan penjelasan peraturan pemerintah ini pun menjadi tonggak bagi
pengembangan bank syariah di Indonesia. Apalagi, arah usaha yang harus
dilakukan itu oleh bank bagi hasil juga dijelaskan secara utuh pada pasal 6
peraturan tersebut. Pada pasal ini disebutkan;

1.     bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan uasahanya semata-
mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan tidak diperkenankan
melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil
2.     bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya tidak
berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha
yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Selain mengacu kepada kedua aturan di atas, operasionalisasi bank Islam juga
dikuatkan oleh surat edaran Bank Indonesia yang memuat ketentuan sebagai
berikut
Pertama, bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha semata-mata berdasar prinsip bagi
hasil.
Kedua, prinsip bagi hasil yang imaksudkan adalah prinsip bagi hasil yang
berdasarkan syariah.
Ketiga, bank berdasar prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah
Keempat, Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya
semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan
kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebaliknya, Bank
Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha tidak dengan prinsip
bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
bagi hasil.
Demikianlah regulasi pada periode ini secara tegas mengakomodasi
beeroperasinya bank dengan sistem syariah. Hanya saja, regulasi tersebut berlaku
secara terbatas, sehingga pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah
periode ini tidak mengalami perkembangan signifikan.

Periode Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998


Perkembangan regulasi perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan
disetujuinya Undang-Undang No. 10 tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan. Undang-undang ini, selain
secara tegas sistem menempatkan sistem perbankan syariah sebagai bagian tidak
terpisahkan dari sistem perbankan nasional, juga memperkokoh posisi dan
eksistensi industri bank syariah.
Salah satu perubahan mendasar dalam undang-undang ini adalah penegasan istilah
prinsip syariah, menggantikan istilah prinsip bagi hasil pada undang-undang
nomor 7 Tahun 1992. Bahkan, pengasan akan prinsip syariah ini juga dinyatakan
secara ekplisit dalam bentuk hukum perikatan dalam Islam. Pada pasal 1ayat 13
dinyatakan;
“Bahwa Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara
bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan/atau pembiayaan kegiatan
usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain,
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudlarabah), pembiayaan
berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang
dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal
berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya
pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain
(ijarah wal iqtina’) 
Secara umum, beberapa perubahan mendasar yang medorong penguatan
pengaturan eksistensi bank syariah dalam undang-undang ini meliputi hal-hal
sebagai berikut;
Pertama, penegasan kelembagaan dan operasional bank syariah. Dalam konteks
ini, bank umum ataupun bank prkreditan rakyat dapat melakukan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasar prinsip syariah.[10]Ketentuan ini sekaligus
memberikan suatu kebijakan dual banking system dalam system perbankan
nasional.
Kedua, konversi bank konvensional menjadi bank dengan prinsip syariah.
Ketiga, bank umum konvensional dapat menyelenggarakan kegiatan usaha
berdasar prinsip syariah, yakni dengan membuka unit usaha syariah yang dapat
beroperasi dalam setiap cabangnya.
Keempat, mengakomodasi pembentukan dan tugas dewan pengawas syaraih,
seperti tertuang dalam penjelasan atas UU Nomor 10 Tahun 1998 pasal 6 huruf m.
Keberadaan dewan pengawas ini memang menjadi salah satu badan yang
terintegrasi dalam struktur bank syariah.[11]
Sebagai wujud pelaksanaan undang-undang ini, Bank Indonesia kemudian
mengelurakan beragam ketentuan, baik berupa Surat Keputusan atau Peraturan
Bank Indonesia, yang memberikan landasan hukum lebih kuat bagi
pengembangan perbankan secara luas di Indonesia. Beberapa contoh ketentuan
regulasi yang dikeluarkan BI  dan berhubungan dengan operasional bank syariah
adalah sebagai berikut;
1.      Surat Keputusan Direksi BI No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999
tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Surat keputusan ini kemudian
diubah menjadi PBI No. 6/24/PBI/2004 tangggal 14 Oktober 2004 tentang Bank
Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan prinsip syariah. Surat
keputusan ini berisi seputar pengaturan pendirian, kelembagaan, dan operasi Bank
Umum Syariah.
2.      SK Direksi BI No. 32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 jo PBI No.
6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah. Dua
aturan BI ini berhubungan dengan mekanisme pendirian, struktur organisasi, dan
opersional Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
3.      PBI Nomor 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 jo PBI No.
7/26/PBI/2005 tanggal 8 Agustus 2005 tentang Pasar Uang Antarbank
Berdasarkan Prinsip Syariah.
4.      PBI Nomor 2/4/PBI/2000 tanggal 11 Februari tentang kliring bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Bank Umum Konvensional.
5.      PBI No 2/9/PBI2000tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Waadiah
Bank Indonesia.
Beragam ketentuan dalam undang-undang dan ketentuan BI di atas menjadi salah
penopang bagi kelangsungan operasi bank syariah dalam menjalankan usahanya.
Sehingga, tidaklah mengherankan, bila pasca pemberlakuan undang-undang ini,
pertumbuhan industri bank syariah mengalami peningkatan yang cukup pesat bila
dibandingkan dengan masa sebelumnya. Hal ini lantaran peraturan yang ada
memberikan peluang untuk untuk pengembangan jaringan perbankan syariah.
Secara umum, akomodasi terhadap prinsip syariah dalam undang-undang nomor
10 Tahun 1998 ini bertujuan untuk; pertama, memenuhi kebutuhan jasa perbankan
bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya
system perbankan syariah disamping system perbankan konevsensional, mobilitas
dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas. Kedua, membuka peluang
pembiayaan bagi bagi pengembangan usaha berdasarkan kemitraan, yakni
mengedepankan prinsip antar investor yang harmonis (mutual investor
relationship). Ketiga, memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang
memberikan rasa kenyamanan dan berkeadilan.[12]
Namun demikian, meskipun Undang-Undang ini telah mengakomodasi sistem
perbankan syariah, tetapi ia sebatas menjelaskan pembiayaan berdasar prinsip
syariah dan jenis-jenis prinsip syariah yang digunakan pada perbankan. Oleh
karena itu, sejatinya dibutuhkan pengaturan yang lebih spesifik, selaras dengan
karakteristik bank syariah, yakni mengembangkan nilai-nilai ajaran Islam dalam
sektor keuangan.
Periode Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Untuk mendukung dan memperkokoh keberadaan bank syariah, maka pada
tanggal 18 Juli tahun 2008, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah. Undang – undang ini memuat secara khusus
mengenai pengaturan tentang perbankan syariah secara komprehensif, yakni
meliputi1) asas, tujuan dan fungsi, 2) perizinan, bentuk badan hukum, anggaran
dasar dan kepemilikan, 3) jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana,
dan larangan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, 4). Pemegang sahama
pengendali, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, direksi dan tenaga kerja
asing, 5) tata kelola, prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko perbankan
syariah, 6) rahasia bank, 7) pembinaan dan pengawasan, hingga penyelesaian
sengketa perbankan.[13]
Sebagaimana dipaparkan dalam penjelasannya, bahwa kehadiran undang-undang
ini didasarkan atas pemikiran; pertama, memaksimalkan kontribusi seluruh elemn
masyarakat dalam pembangunan ekonomi nasional. Salah satunya adalah
mengintegrasikan sistem ekonomi berdasarkan syariah ke dalama system Hukum
Nasioanl. Kedua, prinsip bagi hasil yang dikembangkan perbankan syariah dapat
menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat berbagi
dalam memperoleh keuntungan maupun potensi risiko yang dapat timbul dari
usahanya. Ketiga, perbankan syariah memerlukan pendukung vital berupa Undang
– Undang yang mengatur secara spesifik bagi pengembangan lembaga tersebut.
[14]
  Implikasi terpenting dari undang-undang ini bagi keberadaan dan pengembangan
bank syariah adalah sebagai berikut;
Pertama, jaminan kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum menjadi landasan
mendasar sekaligus penting bagi pelaku usaha, khususnya mereka yang
menggunakan jasa perbankan syariah. Demikian pula, kepastian hukum demikian
ini akan turut membantu para investor, baik local maupun asing, untuk turut
menanamkan investasinya ke dalam perbankan syariah.
Kedua, pendingkatan dukungan pemerintah. Lahirnya undang-undang ini tentu
akan semakin meningkatkan dukungan pemerintah yang lebih nyata dalam
memajukan perbankan syariah. Tingkat dukungan pemerintah tersebut dapat
berupa peningkatan sosialisasi kepada masyarakat luas yang belum memiliki
pengetahuan yang memadai menyangkut perbankan syariah. Dengan adanya
undang-undang ini, secara formal, sosialisasi perbankan syariah akan memasuki
institusi-institusi formal, terutama dalam kurikulum di perguruan tinggi yang
memuat materi tentang perbankan syariah. Selain itu, dukungan pemerintah dapat
diwujudkan dalam mengundang investor, baik dari dalam maupun luar negeri,
untuk mengembangkan industry perbankan di tanah air.[15]
Ketiga, terintegrasinya peran BI dan DPS. Sebagai undang-undang yang khusus
mengatur perbankan syariah, Undang-Undang ini juga mengatur tentang masalah
kepatuhan syariah yang kewenangannya berada pada MUI dan direpresentasikan
oleh DPS pada masing-masing Bank syariah dan UUS. Oleh karena itu, untuk
menindaklanjuti implementasi fatwa MUI ke dalam Peraturan Bank Indonesia, di
dalam internal Bank Indonesia dibentuk komite pengawas syariah. Komite ini
beranggotan perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen agama, dan unsure
masyarakat.[16]
 Dalam konteks pengembangan bank syariah, lahirnya Undang-Undang ini juga
memberi peluang bagi bank syariah untuk memperluas pangsa pasarnya. Hal ini
dapat dilihat dari beragam peluang yang menjadi dasar pengaturan perbankan
syariahsebagai berikut;
Pertama, bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah tidak dapat
dikonversi menjadi bank konvensional, sementara bank konvensional dan
mengkonversi diri menjadi bank syariah.[17]
Kedua, penggabungan (merger) atau akuisisi antara bank syariah dengan bank
konvensional wajib menjadi bank syaraih.[18]
Ketiga,   bank umum konvensional yang memiliki unit usaha syariah harus
melakukan pemisahan (spin off) bilamana unit usaha syariah tersebut telah
mencapai asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya, atau
kegiatan unit usaha syariah tersebut telah berjalan selama lima belas tahun
semenjak diberlakukannya undang-undang ini.[19]
Keempat, akselerasi pengembangan bank syariah dapat dilakukan secara cepat
melalui kemungkinan pemilikan asing. Warga Negara asing dan/atau badan
hukum asing yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia
dapat mendirikan dan/atau memiliki bank umum syariah.[20]
Selain potensi pengembangan usaha komersial melalui beragam peluang di atas,
undang-undang ini juga menjalankan fungsi sosial dalam bentuk baitul mal, yakni
menerima dana yang berasal dari dana-dana zakat, infak dan sadaqah, hibah atau
dana sosial lainnya, sekaligus menyalurkan dana-dana tersebut melalui organisasi
pengelola zakat.[21]Demikian juga, bank syariah juga dapat menghimpun dana
sosial dari wakaf tunai dan menyalurkannya kepada lembaga pengelola wakaf
(nadzir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif).[22] 

Regulasi perbankan di Indonesia


Regulasi perbankan di Indonesia
1. Periode Undang-Undang No. 14 Tahun 1967
Pengaturan tentang perbankan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Belanda.
Untuk menertibkan praktik lembaga pelepas uang yang banyak terjadi pada waktu
itu, dikeluarkanlah peraturan, baik dalam bentuk undang-undang maupun berupa
surat-surat keputusan resmi dari pihak pemerintah. Diantara lembaga keuangan
yang telah berdiri sejak zaman penjajahan tersebut, yaitu De Javashe Bank N.V,
tanggal 10 Oktober 1827 yang kemudian dikeluarkan undang-undang De Javashe
Bank Wet 1992.[1] Bank inilah yang kenudian menjadi Bank Indoneisa, setelah
melalui proses nasionalisasi pada tahun 1951, dengan dikeluarkannya undang-
undang No. 24 Tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal 6 Desember 1951.
Regulasi perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967
dengan dikeluarkannya undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok
perbankan. Undang-undang ini mengatur secara komprehensif sistem perbankan
yang berlaku pada masa itu.[2] Yang akan berhubungan dengan kedudukan
perbankan syariah pada masa berlakunya undang-undang ini adalah adanya
pengaturan mengenai pengertian “kredit” yang terdapat di dalamnya. Bab I, pasal
13 huruf c menyebutkan : kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan
yang dapat disamakan denganitu berdasarkan persetujuan pinjam meminjam
antara bank dengan lain pihak dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang
ditetapkan.
Dari bunyi pasal diatas tampak pengertian, bahwa dalam usaha bank yang ada
pada masa ini (perbankan konvensional) yang dalam operasinya menggunakan
sistem kredit, tidak mungkin melaksanakan kredit tanpa mengambil bunga. Hal ini
dikarenakan, konsep bunga ini melekat pada dalam pengertian kredit itu sendiri.
Sehingga, tidak dimungkinkan pula untuk didirikan sistem perbankan syariah,
sebab pemahaman kegatan usaha bank pada masa itu haruslah dengan perangkat
bunga. Bahkan, perbankan pada masa itu ditentukan tingkat bunganya oleh
pemerintah secara seragam agar tidak terjadi penentuan bunga yang sewenang-
wenang oleh masing-masing bank dan menjaga stabilitas keuangan negara.[3]
2. Periode Deregulasi 1 Juni 1983
Pada awal tahun 1980-an, sistem pengendalian tingkat bunga oleh pemerintah ini
kemudian mengalami kesulitan. Bank-bank yang telah didirikan sangat tergantung
kepada tersediannya likuiditas Bank Indonesia. Demikian juga karena pemerintah
menentukan tingkat bunga maka tak ada persaingan antar bank. Hal ini kemudian
tabungan menjadi tidak menarik dan alokasi dana tidak efisien. Oleh karena itu,
pemerintah kemudian mengeluarkan deregulasi dibidang perbankan tanggal 1 Juni
Tahun 1983 yanh membuka belenggu penetapan tingakat bunga tersebut
sebenarnya dengan dibukanya belenggu tingkat bunga ini maka timbullah
kemungkinan bagi suatu bank untuk menentukan tingkat bunga sebesar 0%, yang
berarti merupakan penerapan sistem perbankan syariah melalui perjanjian murni
berdasarkan prinsip bagi hasil.[4]
Deregulasi 1 Juni 1983 ini ternyata tidak berdampak langsung atas pelaksanaan
sistem perbankan tanpa bunga. Sejak wacana pendirian sistem perbankan tanpa
bunga dibicarakan di Indonesia pada pertengahan tahun 1970-an, ada beberapa
alasan yang mengahambat terealisasinya ide ini, yaitu operasi bank Islam yang
menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur, oleh karena hal itu tidak sejalan
dengan Undang-Undang Pokok Perbankan yang berlaku, yaitu UU No. 14 Tahun
1967. konsep bank Islam dari segi politis juga dianggap berkonotasi ideologis,
merupakan bagian atau berkaitan denganh konsep negara Islam, sehingga hal itu
tidak dikehendaki pemerintah. Pada saat itu masih dipertanyakan, siapa yang
bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu, sementara pendirian bank
baru dari negara-negara Timur Tengah masih dicegah, antar lain oleh kebijakan
pembatasan bank asing yang ingin membuka kantor cabang di Indonesia.
Sedangkan, pendirian bank baru oleh orang Indonesia sendiri masih belum
dimungkinkan.[5]
Oleh karena belum dimungkinkannya pendirian bank baru, sedangkan bank-bank
yang ada masih belum menganggap sistem bank tanpa bunga sebagai bisnis yang
dapat menguntungkan, dan bank Islam belum dapat berdiri, maka digunakan
badan hukum koperasi sebagai bentuk hukumnya. Pemilihan badan hukum
koperasi sebagai wadah penerapan sistem perbankan syariah telah dimualai oleh
Koperasi Jasa Keahlian Teknosa di Bandung sejak awal tahun 1980-an.
Kemudian, di Jakarta didirikan Baitut Tamwil kedua dengan nama koperasi
simpan pinjam Ridho Gusti yang didirikan tanggal 25 September 1988.
3. Periode Pakto 1988
Pada tahun 1988, pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang bisnis
perbankan seluas-luasnya guna memobilisasi dana masyarakat untuk menunjang
pembangunan. Maka, dikeluarkanlah Paket Kebijaksanaan Pemerintah bulan
Oktober (PAKTO) pada tanggal 27 Oktober 1988 yang berisi tentang liberalisasi
perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain bank-bank yang
telah ada.
Setelah dikeluarkannya PAKTO, kemudian dimulailah pendirian Bank-bank
Perkreditan Rakyat Syariah di beberapa daerah di Indonesia. Yang pertama kali
memperoleh izin usaha adalah Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Berkah Amal
Sejahtera dan BPRS Dana Mardhatilla pada tanggal 19 Agustus 1991. Kemudian,
disusul oleh BPRS Amanah Rabbaniyah pada tanggal 24 Oktober di tahun yang
sama. Ketiga BPRS tersebut beroperasi di Bandung, dan kemudian berdiri BPRS
Hareukat pada tanggal 10 November 1991 di Aceh.[6]
4. Periode Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
Titik terang untuk pendirian lembaga bank dengan sistem syariah sebenarnya
telah muncul sejak awal tahun 1990-an. Setelah adanya rekomendasi dari
lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisaura, Bogor tanggal 19-
22 Agustus 1990, hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada
Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta
pada tanggal 22-25 Agustus 1990. berdasarkan amanat Munas tersebut, maka
dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.
Bank Muamalat Indonesia kemudian lahir sebagai kerja tim Perbankan MUI
tersebut. Akta pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada
tanggal 1 November 1991. Pada saat itu terkumpul komitmen pembelian saham
sebanyak Rp. 84 miliar. Pada 3 November 1991, pada acara silaturrahmi presiden
di istana Bogor, dapat dipenuhi total komitmen modal disetor awal sebesar Rp.
106.126.382,-. Dana tersebut berasal dari Presiden dan Wakil Presiden, sepuluh
Menteri Kabinet Pembangunan V, juga Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila,
Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti Pertiwi, PT PAL dan PIND
AD. Selanjutnya Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan sebagai
yayasan penopang bank Islam. Dengan terkumpulnya modal awal tersebut, pada
tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi.
Kemudian diikuti dengan kemunculan Undang-Undang No. 17 Tahun 1992
tentang Perbankan yang memperkenalkan sistem Perbankan bagi hasil. Dalam
undang-undang tersebut pada pasal 6 (m) dan pasal 13 huruf (c) menyatakan,
bahwa salah satu usaha bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat adalah
menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil dan
diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 119 Tahun 1992.
Pada intinya kedua pasal tersebut menerangkan, bahwa baik bank umum maupun
BPR dapat menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam PP tersebut. Arah yang akan
ditempuh harus jelas dalam undang-undang, bahwa mereka beroperasi
berdasarkan sistem bagi hasil.
Hal itu secara tegas ditemukan dalam ketentuan pasal 6 PP No.72 Tahun 1992,
yang berbunyi:[7]
a) Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-
mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan
usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
b) Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak
berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha
yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Ketentuan tentang bagi hasil dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 ini
dijelaskan lebih lanjut oleh PP No. 72 Tahun 1992. Mengenai hal-hal penting
yang diatur, diantaranya adalah pertimbangan didirikannya bank dengan prinsip
bagi hasil ini adalah merupakan pelayanan jasa perbankan yang dibutuhkan
masyarakat. Ketentuan yang terpenting yang berkaitan dengan sistem perbankan
syariah ini adalah penegasan pada pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa “prinsip
bagi hasil adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariah” (harus sesuai dengan
syariat Islam).
Dalam menjalankan perannya, bank Islam berlandaskan pda Undang-Undang No.
7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia yang pada pokoknya menetapkan hal-hal antara lain:
a. Bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat yang dilakukan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi
hasmil.
b. Prinsip bagi hasil yang dimaksudkan adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan
syariat Islam
c. Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah
d. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-
mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan
usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebaliknya, Bank Umum atau
Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha tidak dengan prinsip bagi hasil
(konvensional), tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip bagi hasil.
Pendirian Bank Muamalat Indonesia ini diikuti oleh perkembangan Bank-bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Namun demikian adanya dua jenis bank
tersebut belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah. Oleh
karena itu, maka dibangunlah lembaga-lemmbaga simpan pinjam yang disebut
Baitul Maal wat-Tamwil (BMT).[8]
5. Periode Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
Pada Tahun 1998, dikeluarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pada
undang-undang ini terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluan yang
lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Dari UU tersebut
dapat disimpulakan, bahwa sistem ,perbankan syariah dikembangkan dengan
tujuan sebagai berikut:
a. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima
konsep bunga. Dengan ditetapkannya sistem perbankan syariah yang
berdampingan dengan sistem perbankan konvensional, mobilitas dana masyarakat
dapat dilakukan secara lebih luas, terutama dari segmen yang selama ini belum
dapat tersentuh oleh sistem perbankan konvensional yang menerapkan sistem
bunga.
b. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip
kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah hubungan antar
investor yang harmonis (mutual investor relatioship). Sementara dalam bank
konvensional konsep yang diterapkan adalah hubungan debitor-kreditor (debitor
to creditor relatioship).
c. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan mayng memiliki
beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang
berkesinambungan (perpetual interest effect), membatasi kegiatan spekulasi
myang tidak prodiktif, pembiayaan ditujukan mkepada usaha-usaha yang lebih
memperhatikan munsur moral.
Undang-undang ini juga memberikan penegasan terhadap konsep perbankan Islam
dengan mengubah penyebutan “Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil” pada
Undang-Undang No.7 Tahun 1992, menjadi “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.
Penyebutan tersebut terdapat pada pasal 1 ayat (3), ayat (4), ayat (12) dan ayat
(13) yang menerrangkan tentang pengertian prinsip syariah dalam perbankan ini
juga terdapat penguatan kedudukan Hukum Islam bidang perikatan dalam tatanan
hukum positif. Pasal 1 ayat (13) ini menyebutkan sebagai berikut “bahwa prinsip
syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan
pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai denga syariah, antara lain, pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual-beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip
sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa
iqtina).
Masalah hukum yang diatur undang-undang ini selain berupa penegasan terhadap
eksistensi perbankan Islam di Indonesia adalah menyangkut kelembagaan dan
operasional bank Islam. Secara keseluruhan permasalahan hukum tersebut antara
lain meliputi: (a) macam bank Islam, (b) pendirian bank Islam, (c) Konversi bank
konvensional menjadi bank Islam, (d) pembukaan kantor cabang yang meliputi
sisi keuangan dan modal kerja, (e) Badan Pengawas Syariah dan Dewan Syariah
Nasional yang menyangkut mengenai fungsi DPS sebagai penasihat, mediator dan
perwakilan, (f) kegiatan usaha dan produk-produk bank Islam, (g) pengawasan
Bank Indonesia terhadap Bank Islam, (h) sanksi-sanksi pidana dan administrative.
Sebagai pelaksanaan dari undang-undang ini, kemudian diikuti dengan
dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk surat keputusan
atau SK direksi Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang lebih
kuat dan kesempatan yang luas bagi pengembangan perbankan syariah di
Indonesia. Pada masa awal sebagai pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan
operasional bank berdasarkan prinsip syariah dikeluarkan SK Direksi BI
No.32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip
Syariah, dan SK Direksi BI No.32/36/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank
Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Kedua SK tersebut kemudian
diganti dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI), yaitu untuk Bank Umum Syariah
diatur oleh PBI No.6/24.PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum
yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah jo PBI
No.7/PBI/2005 tanggal 25 Sepetember 2005 Tentang Perubahan Atas PBI
No.6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah, dan untuk Bank Perkreditan Rakyat Syariah diatur
dengan PBI No.6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Pemberlakuan UU No.10 Tahun 1998 ini merupakan momen pengembangna
perbankan syariah di Indonesia. UU tersebut membuka kesempatan untuk
pengembangan jaringan perbankan syariah, antara lain melalui izin pembukaan
Kantor Cabang Syariah (KCS) ,oleh bank konvensional. Dengan kata lain, bank
konvebsional dapat melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Landasan dan kepastian hukum yang kuat bagi para pelaku bisnis serta
masyarakat luas ini meliputi:
a. pengaturan aspek kelembagaan dan kegiatan usaha dan bank Islam sebagaimana
yang diamanatkan dalam Pasal 1 Ayat (3) UU No.10 Tahun 1998. Pasal tersebut
menjelaskan, bahwa bank umum dapat memilih untuk melakukan kegiatan usaha
berdasarkan sistem konvensional atau berdasarkan prinsip syariah atau melakukan
kedjua kegiatan tersebut. Dalam haml bank umum melakukan kegiatan usaha
berdasarkan syariah, maka kegiatan tersebut dilakukan dengan membuka satuan
kerja dan kantor cabang khusus, yaitu Unit Usaha Syariah dan Kantor Cabang
Syariah. Sedangkan, BPR harus memilih kegiatan usaha salah satu dari keduanya,
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah saja, atau berdasarkan
sistem konvensional saja
b. bank umum konvensional yang akan membuka kantor cabang syariah wajib
melaksanakan: (1) pembentukan Unit Usaha Syariah, (2) memiliki Dewan
Pengawas Syariah yang ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional, (3)
menyediakan modal kerja yang disisihkan oleh bank dalam suatu rekening
tersendiri atas nama UUS yang dapat digunakan untuk membayar biaya kantor
dan izin-izin berkaitan dengan kegiatan operasional maupun non operasional
Kantor Cabang Syariah.
Pada periode ini juga telah diatur mengenai ketentuan kliring instrument moneter
dan pasar uang antar bank. Di dalam penjelasan UU No.23 Tahun 1999 jo UU
No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia telah diamanatkan bahwa untuk
mengantisipasi perkembangan prinsip syariah, maka menjadi tugas dan fungsi BI
untuk mengakomodasi prinsip tersebut. Untuk mengatur kelancaran lalu lintas
pembayaran anatar bank serta pelaksanaan Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan
Prinsip Syariah (PUAS), telah dikeluarkan peraturan tersendiri sehubungan
dengan sifat khusus dari sistem perbankan syariah. Diantara peraturan tersebut
antara lain, Peraturan Bank Indonesia atau PBI No.2/4/PBI/2004 tanggal 11
Februari tentang kliring bagi Bank Umum Syariah dan UUS Bank Umum
Konvensional, PBI No.2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Giro Wajib
Minimum (GWM), yang kemudian khusus tentang perbankan syariah diatur lebih
lanjut oleh PBI No.6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah
dan Valuta Asing bagi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah dan PBI No.2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari
tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah jo PBI
No.7/26/PBI/2005 tanggal 8 Agustus 2005 tentang Perubahan Atas PBI
No.2/8/2000 tentang PUAS.
Demikian pula untuk mengatur tentang pengelolaan likuiditas bank Islam, Bank
Indonesia telah mengeluarkan PBI No.2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000
tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) jo PBI No.6/7/PBI/2004
tanggal 16 Februari 2004 tentang Perubahan Atas PBI No.2/9/PBI/2000 tentang
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan ketentuan tentang Fasilitas Pembiayaan
Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS) pada PBI No.5/3/PBI/2003 yang
dikeluarkan pada tanggal 4 Februari 2003 jo PBI No.5/3/PBI/2003 tentang
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah. Selain itu, agar
profitabilitas pengelolaan dana bank-bank Islam dapat ditingkatkan Bank
Indonesia telah melakukan koordinasi dengan instansi pemerintah yang terkait,
yaitu Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nonbank,
Direktorat Jenderal Asuransi, Bapepam dan sebagainya.
Namun demikian, pada periode UU No.10 Tahun 1998 ini juga dapat dilihat
adanya beberapa permasalahan hukum yang masih harus diatur lebih lanjut dan
pengaturan tersendiri yang perlu dipertimbangkan dalam regulasi perbankan
nasional yang akan datang. Masalah-masalah tersebut antara lain sebagai berikut:
(1) bank Islam tunduk pada dua sistem hukum yang berbeda, (2) Eksistensi
Dewan Pengawas Syariah, (3) pengawasan bank Islam masih berdasarkan
pendekatan konvensional, (4) bank sentral memakai standar interest, (5) belum
memadainya peraturan pelaksanaan bank Islam, (6) hukum perdata tetap menjadi
acuan dalam dokumentasi dan legitimasi.
Dari masalah-masalah tersebut, maka masih dirasakan pentingnya dikeluarkan
ketentuan tersendiri tentang sistem perbankan syariah. Untuk itulah maka
diupayakan pembuatan Rancangan Undang-Undang tersendiri tentang perbankan
syariah yang diharapkan sudah dapat dissahkan dalam waktu dekat. Demikian
pula perlu dipikirkan kedudukan perbankan syariah dalam pengaturan tentang
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan datang, sehingga jelas sistem
pengawasan yang akan diterapkan untuk Lembaga Keuangan Syariah, khususnya
bank Islam. Hal ini berkaitan dengan pengawasan terhadap kesesuaian operasional
bank Islam dengan ketentuan hukum Islam yang menjadi dasar operasionalnya.
Saat ini operasional perbankan syariah masih mengacu pada ketentuan fatwa
MUI. Hingga saat ini keduduka fatwa belumlah mendapat pengakuan yang kuat
dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, sehingga dalam pengaturan
kedepan, perlu pula dipertimbangkan pengukuhan kedudukan fatwa dalam tata
urutan perundang-undangan Indonesia dan kedudukan MUI bagi pengaturan umat
Islam agar masing-masing fatwa yang dikeluarkan oleh MUI memiliki kekuatan
hukum yang jelas.[9]
6. Periode Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
Undang Undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah, merupakan
sebagai kebijakan pemberlakukan yang ditentukan oleh kebijakan dasar dari
Peraturan Bank Indonesia, yang merupakan sebagai bank sentral indonesia untuk
mengatur dan mengawasi segala kegiatan perbankan di Indonesia.
Kegiatan perbankan syari’ah didasari oleh asas, tujuan dan fungsi dari Perbankan
Syariah didalam melakukan kegiatan usahanya yang berasaskan Prinsip
Syariah/Islam, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian, dengan bertujuan
untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat yaitu :
(1) untuk menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat,
(2) untuk menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu
menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial
lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat, (3) untuk
menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya
kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakil)
dan (4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mengenai masalah perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar dan
kepemilikan diatur oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syari’ah, dimana dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa setiap pihak yang
akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu
memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah (UUS) dari Bank Indonesia, ayat
(2).untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi persyaratan
sekurang-kurangnya tentang: (a.susunan organisasi dan kepengurusan,
b.permodalan, c. kepemilikan, d.keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan e.
kelayakan usaha), (3). persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Bank Indonesia, (4). Bank Syariah yang telah mendapat
izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan
jelas kata "syariah" pada penulisan nama banknya, (5). Bank Umum
Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frase "Unit Usaha Syariah" setelah
nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan, (6). Bank Konvensional hanya
dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin Bank
Indonesia, (7). Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum
Konvensional, (8). Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi
menjadi Bank Perkreditan Rakyat dan (9). (9) Bank Umum Konvensional yang
akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka
UUS di kantor pusat Bank dengan izin Bank Indonesia.
Terdapat pengaturan dalam Pasal 6 ayat 1 sampai dengan ayat 4, dimana terhadap
pembukaan kantor cabang Bank Syari’ah(UUS), dan jenis-jenis lainnya , begitu
pula terhadap pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis¬-jenis
kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS yaitu hanya dapat dilakukan dengan izin Bank
Indonesia. Dan kemudian untuk pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang,
wajib dilaporkan dan hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan
dari Bank Indonesia.
Sedangkan terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk
membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar
negeri, hal ini merupakan suatu ketentuan yang telah dinyata secara tegas oleh
Undang-Undang Bank Indonesia.
Mengenai bentuk Badan Hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas (diatur
dalam Pasal 7), sedangkan mengenai anggaran dasar Bank Syariah selain
memenuhi persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan adalah mengenai ketentuan : (a) pengangkatan
anggota direksi dan komisaris harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia, (b)
Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus menetapkan tugas
manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban
tahunan, penunjukkan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-
hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (Pasal 8).
Dalam hal mengenai pendirian dan kepemilikan Bank Syari’ah harus memenuhi
syarat-syarat : Bank Umum Syari’ah didirikan dan dimiliki oleh (a) warga negara
Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia, (b) warga negara Indonesia dan/atau
badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing
secara kemitraan; atau (c) pemerintah daerah.(ayat 1), sedangkan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: a).
warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya
warga negara Indonesia,b).pemerintah daerah; atau c).dua pihak atau lebih
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b (ayat 2) dan untuk kepemilikan
Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ((ayat 3) dari Pasal 9))
Terhadap pengaturan mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar,
serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah (terdapat dalam pasal 5 s/d Pasal 9)
dan mengenai besarnya modal yang disetor untuk mendirikan Bank Syari’ah
ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (pasal 10 dan Pasal 11). Terhadap
kegiatan saham bank syari’ah dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama,
dan kegiatan Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek
melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah/Islam
dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal (Pasal 11 dan
Pasal 12). Untuk ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan Bank Syari’ah
diatur oleh Pasal 13 sampai dengan Pasal 17, dimana harus selaras dengan
ketentuan Prinsip Syari’ah dan Peraturan Bank Indonesia.
Untuk pengaturan mengenai jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana
dan larangan bagi bank syariah dan UUS, diatur dalam Pasal 18 sampai dengan
Pasal 26, sedangkan mengenai pengaturan pemegang saham pengendalian, Dewan
Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Direksi dan Tenaga Kerja Asing diatur
dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33. Terhadap pengaturan Tata Kelola,
Prinsip Kehati-hatian dan Pengelolaan Risiko Perbankan Syari’ah diatur dan
dijelaskan dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 40, yang mengatur secara jelas
dan terperinci terhadap kegiatan perbankan syari’ah tersebut.
Kerasiaan Bank wajib dijaga mengenai nasabah penyimpan, nasabah investor,
investasinya dengan pengecualian untuk kepentingan penyidik pidana perpajakan,
pimpinan BI atas perintah menteri keuangan, untuk kepentingan peradilan dalam
perkara pidana ( diatur oleh Pasal 41 sampai Pasal 49).
Bank Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bank
Syariah(UUS), agar tetap memelihara tingkat kesehatan yang meliputi sekurang-
kurangnya mengenai kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas,
solvabilitas, kualitas manajemen yang menggambarkan kapabilitas dalam aspek
keuangan, kepatuhan terhadap Prinsip Syariah dan prinsip manajemen Islami,
serta aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank Syariah (UUS), dimana
kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Bank Syariah
(UUS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank
Indonesia. Dan selain itu Bank Syariah (UUS) wajib menyampaikan segala
keterangan dan penjelasan mengenai usahanya kepada Bank Indonesia menurut
tata cara yang telah ditetapkan.
Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), Bank Indonesia berwenang : (a) memeriksa dan mengambil
data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan Bank, (b) memeriksa dan
mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut
penilaian Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank dan (c)
memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening
simpanan maupun rekening Pembiayaan.
Bank Indonesia dapat menugasi kantor akuntan publik atau pihak lainnya untuk
dan atas nama Bank Indonesia, melaksanakan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2), sebagaimana persyaratan dan tata cara
pemeriksaan yang di atur dalam ayat (1) Peraturan Bank Indonesia dan Bank
Indonesia berwenang melakukan tindakan terhadap Bank Syariah apabila
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, dalam rangka
tindak lanjut mnelakukan pengawasan antara lain: (a) membatasi kewenangan
Rapat Umum Pemegang Saham, komisaris, direksi, dan pemegang saham, (b)
meminta pemegang saham menambah modal, (c) meminta pemegang saham
mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi Bank Syariah, (d) meminta
Bank Syariah menghapus pembukuaan penyaluran dana yang macet dan
memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya, (e) meminta Bank
Syariah melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank Syariah lain, (f)
meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih
seluruh kewajibannya, (g) meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan
seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain, dan (h) meminta
Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank
Syariah kepada pihak lain. (diatur oleh Pasal 50 sampai dengan Pasal 54).
Apabila Bank Syariah didalam melakukan kegiatan perbankan terdapat sengketa
terhadap pihak lain, maka penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dapat
dilakukan/diselesaikan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama,
apabila para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelesaian sengketa dapat
dilakukan sesuai dengan isi Akad dan didalam penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip
Syariah/Islam. (diatur dalam Pasal 55).
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral akan menetapkan sanksi administratif
kepada Bank Syariah (UUS), anggota dewan komisaris, anggota Dewan
Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak
melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak
memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini
(diatur dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 66), dan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi ketentuan
pidana sebagai akibat dari pelanggaran kerahasiaan bank.[10]

Bank Syariah

BANK SYARIAH
Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka
dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur
Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang
semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem
perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung
mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan
pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi
hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi
masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi,
investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan
dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi
keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan
yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah
menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh
golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan
berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan
hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan
harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan
produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan
bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat
spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan,
yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri
perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan
akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres
perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih
dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri
perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin
signifikan.
Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Untuk memberikan pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan
posisi serta cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan
syariah di Indonesia, selanjutnya Bank Indonesia pada tahun 2002 telah
menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Dalam
penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif,
antara lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-
perangkat terkait, trend perkembangan industri perbankan syariah di dunia
internasional dan perkembangan sistem keuangan syariah nasional yang mulai
mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih
makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem
Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan
lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti IFSB (Islamic Financial
Services Board), AAOIFI dan IIFM.
Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan
terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian
nasional. Oleh karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional
selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur
Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya
pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan kegiatan yang
mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada
tingkat nasional.
“Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” memuat visi, misi
dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis
dengan prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai
sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu pencapaian pangsa pasar
perbankan syariah yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan syariah
dalam aktivitas keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi
mulai terbentuknya integrasi dgn sektor keuangan syariah lainnya.
Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan
pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan
Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi
memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.
Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank
Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka
bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan
yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang
dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang
dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-
kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya
dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan
senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian
dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.
Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah
Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia,
maka Bank Indonesia telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan
Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yg
meliputi aspek-aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri
perbankan syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan
syariah nasional yang bersifat inklusif dan universal, pemetaan pasar secara lebih
akurat, pengembangan produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta
strategi komunikasi baru yang memposisikan perbankan syariah lebih dari sekedar
bank.
Selanjutnya berbagai program konkrit telah dan akan dilakukan sebagai tahap
implementasi dari grand strategy pengembangan pasar keuangan perbankan
syariah, antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I
tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking,
dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri
sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai
perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset
sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III tahun 2010
menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di
ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan pertumbuhan
industri sebesar 81%.
Kedua, program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek
positioning, differentiation, dan branding. Positioning baru bank syariah sebagai
perbankan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, aspek diferensiasi
dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan skema yang beragam,
transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi informasi yang
selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli investasi keuangan syariah yang
memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah “bank syariah lebih dari sekedar
bank atau beyond banking”.
Ketiga, program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar
perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah
sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua
segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.
Keempat, program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk
yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling
menguntungkan) dan dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar
nama produk yang mudah dipahami.
Kelima, program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang
kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan
dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank
syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip
syariah; dan
Keenam, program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien
melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media
cetak, elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman
tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai