Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TAFSIR AYAT KAUNIYAH

Proses penciptaan jagat raya

Makalah ini di buat untuk memenuhi salah satu tugas dari


Dosen pembimbing :ABDUL RASYID

DI SUSUN OLEH

SITI SHAMIRA (2021.9.093)


MUSDALIFAH (2021.9.065)
HASIDAH

PRODI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN (STIQ)

KEPULAUAN RIAU

2022

i
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN......................................................................................................................

A. LATAR BELAKANG.......................................................................................................

B. RUMUSAN MASALAH...................................................................................................

C. TUJUAN
II. PEMBAHASAN........................................................................................................................

A. PENGERTIAN PENCIPTAAN JAGAT RAYA.............................................................

B. AYAT AYAT YANG MENJELASKAN PENCIPTAAN JAGAT


RAYA ...........................
C. PERAN TUHAN DALAM PENCIPTAAN JAGAT
RAYA.............................................................

III. KESIMPULAN..........................................................................................................................

IV. DAFTAR PUSTAKA

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya kepada kami sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Sholawat dan salam selalu
tercurah limpahkan kepada Baginda Nabi SAW, kepada para keluarganya, sohabatnya, dan
para pengikutnya.

Syukur Alhamdulillah kami bisa menyelesaikan makalah ini sesuai dengan apa yang di
harapkan para dosen dan rekan-rekan sekalian. Harapan kami tidak lain dan tidak bukan yaitu
memberikan sedikit tambahan wawasan kepada rekan-rekan sekalian guna memperbanya
perbendeharaan pengetahuan kita dalam beragama supaya menambah daya dobrak kita dalam
berdakwah menyebarkan agama Alloh SWT. Kami mengucapkan banyak-banyak terima
kasih kepada dosen pembimbing dan kepada rekan-rekan sekalian yang turut ikut membantu
dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami sangat
berharap sekali kritik dan saran dari pembaca supaya menambah kesempurnaan kami dalam
menulis makalah ini.

Akhir kata, saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadika
amal shaleh bagi kami.

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap ilmu, konsep atau teori, pasti merupakan produk dari masyarakat, atau bangsa
yang memiliki peradaban dan pandangan hidup (worldview). Pandangan hidup suatu
masyarakat adalah cara pandang mereka terhadap alam dan kehidupan.1 Ada beberapa faktor
penyang membuat pandangan hidup manusia, dan yang terpenting adalah faktor kepercayaan
terhadap Tuhan. Faktor ini penting karena mempunyai implikasi konseptual.

Masyarakat atau bangsa yang percaya pada wujud Tuhan akan memiliki pandangan hidup
berbeda dari yang tidak percaya pada Tuhan. Bagi masyarakat atau bangsa yang tidak
percaya pada Tuhan menganggap bahwa nilai moralitas adalah kesepakatan manusia (human
convention), yang standarnya adalah kebiasaan, adat, norma atau sekedar kepantasan.
Demikian pula realitas hanyalah fakta-fakta yang bersifat empiris yang dapat diindera atau
difahami oleh akal sebagai kebenaran. Kekuatan disebalik realitas empiris, bagi mereka, tidak
riil dan tidak dapat difahami dan dibuktikan kebenarannya meskipun sejatinya akal dapat
memahaminya.

Pandangan hidup dalam Islam tidak hanya sebatas pandangan terhadap alam dan kehidupan
nyata, tapi keseluruhan realitas wujud. Karena wujud Tuhan adalah wujud yang mutlak dan
tertinggi sedangkan alam semesta seisinya adalah bagian dari wujud itu, maka konsep Tuhan
sangat sentral dalam pandangan hidup Islam dan sudah tentu memiliki konsekuensi
konseptualnya
1
Para pengkaji peradaban, filsafat, sains, dan agama telah banyak menggunakan worldview sebagai matrik atau
framework. Ninian Smart menggunakannya untuk mengkaji agama. Syed Muhammad Naquib al-Attas, al-
Mawdudi, Sayyid Qutb, memakainya untuk menjelaskan bangunan konsep dalam islam. Alparslan Acikgence
memakainya untuk mengkaji sains.Atif Zayn memakainya untuk perbandingan ideologi.Thomas F. Wall untuk
kajian filsafat.Dan, Thomas S. Khun dengan konsep paradigma sejatinya menggunakan worldview bagi kajian
sains.Lihat, Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, Membangun Peradaban Dengan Ilmu. (Jakarta: Kalam Indonesia, 2010)
h. 142-144.

iv
Rumusan masalah

1.PENGERTIA JAGAT RAYA?


2.AYAT AYAT YANG MENJELASKAN TENTANG JAGAT RAYA?
3.PERAN TUHAN DALAM MENCIPTAKAN ALAM SEMESTA?

Tujuan masalah

1. MEMAHAMI PENGERTIAN PENCIPTAAN JAGAT RAYA!


2 . MENGETAHUI AYAT AYAT MENJELASKAN TENTANG JAGAT RAYA!
3. MENGETAHUI PERAN TUHAN DALAM MENCIPTKAN JAGAT RAYA!

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian penciptaan alam semesta

Alam semesta adalah fana. Ada penciptaan, proses dari ketiadaan menjadi ada,dan
akhirnya hancur. Bagaimanakah alam semesta tak berbatas tempat kita tinggal
initerbentuk? Bagaimanakah keseimbangan, keselarasan, dan keteraturan jagat raya
ini berkembang? Bagaimanakahbumi ini menjaditempat tinggal yang tepat dan terlindung
bagi kita?Aneka pertanyaan seperti ini telah menarik perhatian sejak manusia bermula.

Aneka pertanyaan seperti ini telah menarik perhatian sejakmanusia bermula. Para


ilmuwan dan filsuf yang mencari jawaban dengan kecerdasan dan akalsehat mereka sampai
pada kesimpulan bahwa rancangan dan keteraturan alamsemesta merupakan bukti keberadaan
Pencipta Mahatinggi yang menguasai seluruh jagat raya.

Al-Qur‟ān adalah pedoman yang bukan hanya ditujukan kepada manusia, tetapi juga
ditujukan kepada seluruh ciptaan Allah SWT. Dalam banyak ayat Allah sendiri bersumpah
atas nama berbagai ciptaan-Nya. Seperti matahari, bulan, dan bermacam-macam buah-
buahan, sehingga Alah menyuruh manusia agar melihat “kebijaksanaan luar biasa” yang
terdapat dalam ciptaan-Nya. Itulah sebabnya, baik ayat-ayat al-Qur‟ān maupun fenomena
alam yang ada dalam jiwa manusia maupun ciptaan-Nya sebagai tanda atau isyarat yang
mengabarkan hakekat atau realitas Allah. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:

ِّ‫ك َأنَّهۥُ َعلَ ٰى ُكل‬ ُّ ‫اق َوفِ ٓي َأنفُ ِس ِهمۡ َحتَّ ٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمۡ َأنَّهُ ۡٱل َح‬
ِ ‫ق ۗ َأ َولَمۡ يَ ۡك‬
َ ِّ‫ف بِ َرب‬ ِ َ‫َسنُ ِري ِهمۡ َءا ٰيَتِنَا فِي ٱأۡل ٓف‬
‫َش ۡي ٍء َش ِهي ٌد‬

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap


penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu
adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala
sesuatu?"

(QS. Fussilat 41: Ayat 53)

vi
Dalam al-Qur‟ān terdapat 750 ayat yang merujuk kepada fenomena alam. Hampir seluruh
ayat ini memerintahkan manusia untuk mempelajari kitab (hal-hal yang berhubungan) dengan
penciptaan dan merenungkan isinya.2 Penulis akan mengungkapkan pengertian bermulanya
penciptaan alam semesta dalam al-Qur‟ān, dengan menjelaskan makna lafal khalaqa yang
terdapat dalam beberapa ayat yang berhubungan dengan penciptaan jagat raya, kemudian
dilanjutkan dengan tafsiran lafad “kun fa yakun“ dan makna rataqa yang ada dalam surat QS.
Al-Anbiya‟: 30.

Kata” khalaqa” merupakan bentuk kata kerja lampau yang berarti „telah menciptakan‟. Dari
kata ini, kita dapati pula kata khalq (penciptaan), khaliq (pencipta), dan makhluq (ciptaan).
Para ulama kalam (teolog islam) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan penciptaan
dalam kata ini merupakan af‟al (perbuatan) khusus hanya untuk Allah saja, dan tidak untuk
yang lain. lihat surah Al-A‟raf/7: 543 (……Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi
hak-Nya. Maha suci Allah, Tuhan seluruh alam)

‫ش ۖ ي ُۡغ ِشي ٱلَّ ۡي َل‬ ۡ ۡ ‫ض فِي ِستَّ ِة َأي ٍَّام ثُ َّم‬ َ ‫ت َوٱَأۡل ۡر‬ َ َ‫ِإ َّن َربَّ ُك ُم ٱهَّلل ُ ٱلَّ ِذي خَ ل‬
ِ ‫ق ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬
ِ ‫ٱستَ َو ٰى َعلَى ٱل َع ۡر‬
ُ ‫ك ٱهَّلل‬ َ ‫ق َوٱَأۡلمۡ ُر ۗ تَبَا َر‬ ُ ‫ت بَِأمۡ ِر ِٓۦه ۗ َأاَل لَهُ ۡٱلخ َۡل‬
ِ ۢ ‫س َو ۡٱلقَ َم َر َوٱلنُّجُو َم ُم َس َّخ ٰ َر‬ َ ۡ‫ار يَ ۡطلُبُهۥُ َحثِيثًا َوٱل َّشم‬ َ َ‫ٱلنَّه‬
َ‫َربُّ ۡٱل ٰ َعلَ ِمين‬

Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu
Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya
dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-
Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Maha Suci Allah, Tuhan
seluruh alam."
(QS. Al-A'raf 7: Ayat 54)

2
Abdul Rahman Abdullah, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam (Rekonstruksi Pemikiran dalam
Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam), UII Press, Yogyakarta, 2002. H. 153
3
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟ān, Badan Litbang dan Diklat, Kementrian Agama RI dengan Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tafsir Ilmi, Penciptaan Jagat Raya Dalam Perspektif Al-Qur‟ān dan Sains.
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟ān. 2010. H.3

vii
Proses penciptaan ini, menurut mereka, dari sesuatu yang sebelumnya tidak ada,
seperti yang termaktub dalam kalimat Al-Qur‟ān : kun fayakun (“Jadilah, maka terjadilah”).4
Lafal ‫ كن‬di dalam al-Qur‟ān yang ditujukan dengan konteks penciptaan alam – secara umum
– disebut sebnayak 6 (enam) kali, yaitu AlBaqarah: 117, Ali Imrān: 47, Al-An‟ām: 73, An-
Nahl: 40, Mu‟mīn: 68, dan Yāsīn: 82.
Sebagaimana dapat terbaca pada ayat-ayat berikut:
ُ َ‫فَي‬
ُ‫كون‬ ‫ض ٰ ٓى َأمۡ رًا فَِإنَّ َما يَقُو ُل لَ ۥهُ ُكن‬ ِ ‫ت َوٱَأۡل ۡر‬
َ َ‫ض ۖ َوِإ َذا ق‬ ِ ‫بَ ِدي ُع ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬

"(Allah) Pencipta langit dan bumi. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya
berkata kepadanya, Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu."

B. Proses Penciptaan Alam Semesta


Allah menciptakan langit, bumi dan isinya yang merupakan bagian dari jagat raya
selama enam masa. Hal ini dijelaskan di dalam al-Qur‟ān, dan ternyata penjelasan tentang
masalah ini beragam dan terdapat dalam berbagai ayat yang tersebar dalam beberapa surah.
Ada di antara ayat itu yang menyatakan bahwa penciptaan selama enam masa itu meliputi
langit, bumi, dan isinya. Namun, ada juga ayat yang menerangkan tentang penciptaan langit
saja yang berlangsung selama dua masa, dan penciptaan bumi saja yang juga berlangsung
selama dua masa. Kemudian dijelaskan
pula bahwa penciptaan bumi dan isinya selama empat masa. Sehingga bila disatukan, maka
akan dapat disimpulkan bahwa waktu penciptaan langit, bumi, dan isinya adalah enam masa.
Al-Qur‟ān menyebutkan bahwa penciptaan langit dan bumi terjadi selama enam masa.
Informasi demikian diungkapkan sebanyak tujuh kali dalam Kitab Suci ini. Di antara ayat
yang menjelaskan hal ini adalah Surah Yunus/10: 3, yaitu:

ۖ ‫ش ۖ يُ َدبِّ ُر ٱَأۡلمۡ َر‬ ۡ ۡ ‫ض فِي ِستَّ ِة َأي ٍَّام ثُ َّم‬


َ ‫ت َوٱَأۡل ۡر‬ َ َ‫ِإ َّن َربَّ ُك ُم ٱهَّلل ُ ٱلَّ ِذي خَ ل‬
ِ ‫ق ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬
ِ ‫ٱست ََو ٰى َعلَى ٱل َع ۡر‬
‫يع ِإاَّل ِم ۢن بَ ۡع ِد ِإ ۡذنِِۦه‬
ٍ ِ‫ۚ َما ِمن َشف‬
َ‫ٱعبُ ُدوهُ ۚ َأفَاَل تَ َذ َّكرُون‬ ۡ َ‫ٰ َذلِ ُك ُم ٱهَّلل ُ َربُّ ُكمۡ ف‬

4
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟ān, Badan Litbang dan Diklat, Kementrian Agama RI dengan Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tafsir Ilmi, Penciptaan Jagat Raya Dalam Perspektif Al-Qur‟ān dan Sains.
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟ān. 2010. H.3

viii
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. tiada
seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian
Itulah Allah, Tuhan kamu, Maka sembahlah Dia. Maka Apakah kamu tidak mengambil
pelajaran? (Yunus: 3)

Pada permulaan ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dialah yang menciptakan langit dan bumi
dalam enam hari (masa). Hari yang dimaksud sebagai rentang waktu penciptaan, bukan
seperti hari yang dipahami manusia saat ini, yaitu hari sesudah terciptanya langit dan bumi.
Dengan demikian yang dimaksud dengan hari pada ayat ini adalah masa sebelum itu. Hari
atau masa yang disebut dalam ayat ini, dalam tuntunan agama, hanya Allah saja yang
mengetahuiberapa lamanya.

Sedangkan di dalam tafsir Depag RI menafsirkan, dari surat alFurqān: 59, ”yaum”
yang diterjemahkan sebagai “hari”, tetapi “hari” dalam ayat ini bukanlah hari yang lamanya
24 jam, tetapi yaum diartikan sebagai “masa”.5 Dalam surat Fushshilat: 9, yang dimaksud
dengan “hari atau masa” dalam ayat ini adalah waktu, karena hari dan malam belum ada di
saat langit dan bumi diciptakan.6
Sedang dalam surat as-Sajdah: 4, maksud enam masa dalam ayat ini bukanlah hari
(masa) yang dikenal seperti sekarang ini, tetapi adalah hari sebelum adanya langit dan bumi.7
Jadi makna yaum adalah masa dalam bentuk waktu dan terjadi sebelum adanya langit dan
bumi. Adapun mengenai lamanya sehari menurut agama hanya Allah yang mengetahui, sebab
dalam Al-Qur‟ān sendiri ada yang diterangkan bahwa sehari di sisi Allah sama dengan seribu
tahun, dalam firman-Nya yang disebutkan:

ِ ‫ك َكَأ ۡل‬
َ‫ف َسنَ ٍة ِّم َّما تَ ُع ُّدون‬ ِ ‫ك بِ ۡٱل َع َذا‬
َ ِّ‫ب َولَن ي ُۡخلِفَ ٱهَّلل ُ َو ۡع َد ۥهُ ۚ َوِإ َّن يَ ۡو ًما ِعن َد َرب‬ َ َ‫َويَ ۡست َۡع ِجلُون‬

5
Kementrian Agama RI.Al-Qur‟ān dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan). (Jakarta: Kementrian Agama RI. 2012) Jilid 7. h. 4
6
24 Kementrian Agama RI.Al-Qur‟ān dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan). (Jakarta: Kementrian Agama RI. 2012) Jilid 8. h. 595
7
Kementrian Agama RI.Al-Qur‟ān dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan). (Jakarta: Kementrian Agama RI. 2012) Jilid 7. h. 582

ix
“Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, Padahal Allah sekali-kali tidak
akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu
menurut perhitunganmu.” (al-Hajj: 47)

Dan ada pula yang diterangkan lima puluh ribu tahun seperti dalam firman-Nya:
ٓ
‫ت َۡع ُر ُج ۡٱل َم ٰلَِئ َكةُ َوٱلرُّ و ُح ِإلَ ۡي ِه فِي يَ ۡو ٍم َكانَ ِم ۡقدَا ُرهۥُ خَ مۡ ِسينَ َأ ۡلفَ َسنَ ٍة‬
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya
limapuluh ribu tahdan un.” (al-Ma‟ārij: 4).2

C. Peran Tuhan dalam Penciptaan Alam Semesta

Stephen Hawking termasuk salah satu ilmuwan yang percaya bahwa jagat raya ini
diciptakan dari suatu ketiadaan, yang ditandai dengan suatu peristiwa yang menakjubkan
yang disebut sebagai Big Bang. Ia adalah seorang saintis yang paling kontemporer yang bisa
disejajarkan dengan nama- nama seperti Einstein maupun Newton, dalam tulisannya A Brief
History of Time (1988) memberikan kesaksian mengenai hal itu.8

Secara logis, pertanyaan apakah waktu semesta ini memang ada titik awalnya tidaklah
relevan dengan pertanyaan apakah semesta diciptakan, atau ada tanpa pencipta. Pertanyaan
tetap sama, entah waktu memang punya titik awal atau waktu selalu ada.
Pertanyaannya adalah, apa yang dapat menjelaskan keberadaan ruang dan waktu, atau tidak
ada penjelasan sama sekali? Stephen Hawking, tidak biasanya, agak naif ketika dia
mengatakan, “Sejauh semesta ada titik awalnya, kita dapat mengira ada penciptanya.
Namun, seandainya semesta benar-benar sepenuhnya mencukupi pada dirinya sendiri, tidak
memiliki batas atau titik ujung, semesta tidak memiliki baik titik awal maupun akhir:
semesta hanya sekedar ada. Kalau begitu di mana tempat bagi Sang Pencipta?”

Abstraksi merupakan kemampuan menakjubkan dari pikiran manusia, yang telah melahirkan
bahasa dan sains modern. Namun, hal ini perlu diseimbangkan dengan perhatian pada

8
Berdasarkan Hawking, A Brief History of Time. From Big Bang to Black Holes, London, Bantam Press, 1988, h. 50. Dalam keseluruhan
tulisan yang menjadi best-seller itu Hawking dengan sangat meyakinkan menguraikan adanya awal dan akhir dari alam semesta, tetapi di
sini Hawking tidak membahas implikasi filosofis dan metafisis realitas dalam sains tersebut, yaitu mengenai kemungkinan penciptaan dan
eksistensi Allah. Agaknya dia secara ketat ingin tetap berdiri dalam posisinya sebagai seorang saintis.

x
Partikularitas dan kekonkretan yang didorong oleh seni dan, yang paling baik, oleh agama.
Jika tidak, abstraksi dapat menjadi penghalang dalam pencarian kebenaran utuh segala hal,
dan dalam arti itu membatasi pikiran manusia. Keterbatasan manusia yang sangat penting
adalah bahwa intelek bekerja secara diskursif. Maksudnya, intelek tidak dapat menangkap
hal-hal dalam satu pengalaman yang melingkupi segalanya. Intelek harus mempertimbangkan
satu demi satu, membuat kaitan dengan menarik kesimpulan dan ekstrapolasi, serta bergerak
secara teratur dari satu unsur ke unsur lainnya
Suatu intelek yang komprehensif, seperti milik Tuhan, mampu memahami segala hal
dalam satu tindakan intuitif, non diskursif. Tuhan tidak perlu menarik kesimpulan atau
membuat ekstrapolasi, karena Dia mengetahui segalanya dalam partikularitas penuhnya
melalui pemahaman langsung. Pengetahuan seperti itu tidak mungkin bagi manusia. Jadi,
inilah aspek lain

ketika pikiran manusia tidak akan pernah mampu memahami segalanya secara utuh,
dalam seluruh kepenuhannya, seperti yang sesungguhnya. Akhirnya tampak jelas bahwa
mungkin ada banyak semesta, artinya ruang-waktu terbatas, dan bentuk-bentuk eksistensi
selain yang ada dalam ruang-waktu ini. Jika Tuhan tidak terbatas, dapat ditebak ada banyak
hal yang harus dipahami sebelum segalanya dapat dimengerti.

Tak mungkin ada cara ketika kita dapat memperoleh pengetahuan tentang semesta
lain (karena, per definisi, semesta lain itu tidak memiliki kaitan spesial maupun temporal
dengan kita, yang berarti menutup segala bentuk pengetahuan), dan tidak mungkin ada cara
ketika pikiran manusia yang terbatas mampu melingkupi sekelompok data yang tak terbatas
(kecuali, kalau dapat diketahui bahwa itu merupakan pengulangan tak terbatas dari kelas data
yang terbatas, yang memang tidak mungkin). Jadi, tampaknya setelah semua pertimbangan
itu, jika segala hal mau dipahami, hanya Tuhan yang mampu memahaminya.

Apabila penemu listrik telah berusaha agar seluruh dunia mengenal dirinya, nama,
riwayat hidup, dan kisah penemuannya, apakah pencipta matahari lalai sehingga tidak
memberitahukan kepada kita bahwa Dia-lah penciptanya? Dan apakah ada kekuatan lain (di
luar manusia) yang menciptakannya, tidak logiskah apabila Dia mengumumkan tentang jati
dirinya? Kenyataannya sampai sekarang tidak ada seorangpun (makhluk) yang mengaku
sebagai pencipta langit, bumi, dan manusia, kecuali Allah Swt. Berikut ini firman Allah Swt
dengan nada menentang:
xi
ْ ُ‫ُوا لَ ٓۥهُ ۚ ِإ َّن ٱلَّ ِذينَ ت َۡد ُعونَ ِمن ُدو ِن ٱهَّلل ِ لَن يَ ۡخلُق‬
ْ ‫ٱستَ ِمع‬ ٓ
‫وا ُذبَابًا َولَ ِو‬ ۡ َ‫ل ف‬ٞ َ‫ب َمث‬ َ ‫ُر‬ِ ‫ٰيََأيُّهَا ٱلنَّاسُ ض‬
ُ‫ضعُفَ ٱلطَّالِبُ َو ۡٱل َم ۡطلُوب‬ َ ۚ ُ‫ٱلذبَابُ َش ۡيًئا اَّل يَ ۡستَنقِ ُذوهُ ِم ۡنه‬ ْ ‫ٱجتَ َمع‬
ُّ ‫ُوا لَهۥُ ۖ َوِإن يَ ۡسلُ ۡبهُ ُم‬ ۡ
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, Maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu.
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekalikali tidak dapat menciptakan seekor
lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari
mereka, Tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang
menyembah dan Amat lemah (pulalah) yang disembah.” (Al-Hajj: 73)

ْ ُ‫ث ِّم ۡثلِ ِٓۦه ِإن َكان‬


َ ٰ ‫وا‬
َ‫ص ِدقِين‬ ْ ُ‫فَ ۡليَ ۡأت‬
ٍ ‫وا بِ َح ِدي‬

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka
sendiri)?” (Ath-Thūr: 35). Apabila segala sesuatu dalam ala mini ciptaan Allah Swt, maka
secara otomatis hokum dan peraturan alam yang berlaku juga ketetapan Allah

xii
BAB III
PENUTUPAN
Simpulan
Teori tentang penciptaan alam yang dikemukakan oleh para ilmuwan ada 2, yaitu pertama
teori keadaan tetap yang dikemukakan oleh Hoyle, herman bondi, thomas Gold (1948). Teori
ini berdasarkan prinsip osmologi sempurna yang menyatakan bahwa alam semesta, dimana
pun dan bilamanapun selalu sama. Kedua teori the big bang. Menurut teori The Big
Bangalam semesta terjadi karena adanya ledakan dari titik tunggal yang bervolume nol.
Ledakan yang luar biasa dahsyat ini menandai mulainya alam semesta. Jadi, alam semesta
muncul dari ketiadaan, dengan kata lain bahwa alam semesta ini pastilah ada yang
menciptakan dari tidak ada menjadi ada.

Islam melihat alam sebagai sebuah ciptaan (makhluk) yang diatur dan dijaga oleh
Penciptanya yaitu Allah yang Maha Agung. Ketika orang bicara alam berarti tidak bisa lepas
dari konsep ketuhanan. Menurut Murtadha Muthahari konsep Islam tentang alam semesta
adalah konsep tauhid. Artinya, konsep ketuhananlah yang memiliki peranan penting dalam
tahap penciptaan alam semesta. Alam tidak terjadi dengan sendirinya tetapi ada kekuatan
yang Maha dahsyat, yang Maha tinggi yang melakoni skenario alam semesta. Kekuatan itu
adalah kekuatan Allah Sang Pencipta Alam.

Saran
Dari pembahasan dan kesimpulan yang telah penulis uraikan di depan, maka penulis
mengemukakan beberapa saran:
Mengkaji sains dari sudut pandang islam, bukan berarti „memaksa‟ untuk mendapatkan hasil
bahwa apa yang ditemukan sains ternyata telah dinyatakan dalam Al-Qur‟ān jauh sebelum
sains dapat mengungkapnya. Agama dan Ilmu Pengetahuan (sains) saling melengkapi. Peran
masingmasing tidak dapat digantikan yang lain. Maka untuk bias memahami agama kita
perlu sains, begitu juga sebaliknya.

xiii
Daftar Pustaka
Abdul Rahman Abdullah, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam
(Rekonstruksi Pemikiran dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam), UII
Press, Yogyakarta, 2002. H. 153
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟ān, Badan Litbang dan Diklat, Kementrian
Agama RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tafsir
Ilmi, Penciptaan Jagat Raya Dalam Perspektif Al-Qur‟ān dan Sains.
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟ān. 2010. H.3
Para pengkaji peradaban, filsafat, sains, dan agama telah banyak menggunakan
worldview sebagai matrik atau framework. Ninian Smart
menggunakannya untuk mengkaji agama. Syed Muhammad Naquib al-Attas, al-
Mawdudi, Sayyid Qutb, memakainya untuk menjelaskan bangunan
konsep dalam islam. Alparslan Acikgence memakainya untuk mengkaji
sains.Atif Zayn memakainya untuk perbandingan ideologi.Thomas F.
Wall untuk kajian filsafat.Dan, Thomas S. Khun dengan konsep
paradigma sejatinya menggunakan worldview bagi kajian sains.Lihat, Dr.
Hamid Fahmi Zarkasyi, Membangun Peradaban Dengan Ilmu. (Jakarta:
Kalam Indonesia, 2010) h. 142-144.

Kementrian Agama RI.Al-Qur‟ān dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan).


(Jakarta: Kementrian Agama RI. 2012) Jilid 7. h. 4
24 Kementrian Agama RI.Al-Qur‟ān dan Tafsirnya (Edisi yang
disempurnakan). (Jakarta: Kementrian Agama RI. 2012) Jilid 8. h. 595
Kementrian Agama RI.Al-Qur‟ān dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan).
(Jakarta: Kementrian Agama RI. 2012) Jilid 7. h. 582

xiv

Anda mungkin juga menyukai