NPM
1292377
1292687
1292787
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan, kesempatan, dan kasih sayang yang di curahkan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas mandiri yang berupa makalah. Yang mana diharapkan dapat
memberikan manfaat dan dapat mendukung perkembangan pembelajarn mengenai
Jual Beli dan Riba yaitu pada mata kuliah Fiqh 2 yang di ampu oleh Ibu Nurul
Afifah, M.Pd.I yang mana telah diselesaikan tepat pada waktunya.
Harapan penulis, semoga makalah ini memberikan manfaat yang berarti
bagi pembaca pada umumnya dan bagi penyusun pada khususnya. Tiada gading
yang tak terak, kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk kebaikan di
kemudian hari.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri
yakni membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjameminjam, bercocok tanam atau usaha-usaha yang lain, baik
dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.
Agar hubungan mereka berjalan dengan lancar dan teratur, maka
agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya.
Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata
AMALA-YUAMILI-MUAMALATAN yang berarti saling
bertindak, saling berbuat dan saling beramal. Menurut Louis
Maluf, pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang
berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia seperti
jual beli, perdagangan dan lain sebagainya.
Jual beli adalah kegiatan tukar-menukar barang dengan cara
tertentu yang setiap hari pasti dilakukan yang kadang kita tidak
tahu apakah sah ataupun tidak. Utang piutang juga suatu kegiatan
yang sangat kental dalam kehidupan manusia, dan kedua kegiatan
muamalah tersebut sangat erat dengan riba.
Oleh karena itu, pada makalah ini akan membahas tentang
jual beli beserta komponen-komponennya dan riba.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan jual beli?
2. Apa saja landasan hukum yang mendasari jual beli?
3. Apa saja yang termasuk rukun jual beli?
4. Apa syarat-syrat yang harus dipenuhi dalam melakukan jual beli?
C. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memahami konsep mengenai jual beli.
2. Untuk mengetahui landasa hukum jual beli.
3. Untuk mengetahui rukun dalam melaksanakan jual beli.
4. Untuk mengetahui syarat-syarat terlaksananya jual beli.
5. Untuk mengetahui klasifikasi jual beli.
6. Untuk mengetahui jual beli yang dilarang dalam Islam.
7. Untuk memahami konsep mengenai riba.
8. Untuk mengetahui dalil yang menjelaskan tentang keharaman riba.
9. Untuk mengetahui jenis-jenis riba.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli
Jual beli merupakan dua kata yang memiliki arti berlawanan, namun
masing-masing sering digunakan untuk memberi arti kata yang lain secara
bergantian. Adapun secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan
harta.1 Dengan kata lain, jual beli adalah menukar suatu barang dengan
barang yang lain dengan cara yang tertentu. Sedangkan secara terminologis
jual beli dimaknai sebagai transaksi penukaran selain dengan fasilitas dan
kenikmatan.2 Jual beli juga didefinisikan berbeda-beda oleh para ulama.
Diantara para ulama tersebut antara lain:3
1. Menurut ulama Hanafiyah
Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang
dibolehkan).
2. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu':
Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.
3. Menurut Ibnu Qudaimah dalam kitab Al-Mugni:
Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.
Dari beberapa pengertian jual beli di atas, kemudian dapat ditarik
kesimpulan bahwa jual beli merupakan transaksi tukar menukar harta atau
barang yang dilakukan sesuai akad (perjanjian).
B. Landasan Hukum Jual Beli
Jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Quran, sunah, dan ijma'4, yakni:
1. Al-Quran
Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Ma La Yasa at-Tajira Jahluhu,
diterjemahkan oleh Abu Umar Basyir, Fikih Ekonomi Keuangan Islam (Jakarta: Darul Haq, 2008),
hlm 87.
2
Ibid.
3
Rachmat Syafe'I, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm73-74.
4
Ibid, hlm. 74-75.
1
Artinya:
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS.
Al-Baqarah: 275).
Artinya:
Janganlah kamu makan harta yang ada di antara kamu dengan jalan batil
melainkan dengan jalan jual-beli suka sama suka. (An-Nisa': 29).
2. As-sunah
Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik.
Beliau menjawab, Seseorang bekerja dengan tangannya dan jual-beli
yang mabrur. (HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya daru Rifa'ah Ibn
Rafi').
Maksud mabrur dalam hadis tersebut adalah jual-beli yang terhindar
dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.
Jual-beli harus dipastikan harus saling meridhoi.
(HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah).
3. Ijma'
Jual beli disyariatkan berdasarkan konsensus kaum Muslimin. Ulama
telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa
manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa
bantuan orang lain. Walaupun demikian, bantuan atau barang milik orang
lain yang dibutuhkan harus diganti dengan barang lain yang sesuai.
C. Rukun Jual Beli
Para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam menetapkan
rukun jual-beli. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli hanya ada dua,
yaitu ijab dan qabul yang mana telah menunjukkan pertukaran barang secara
ridha, baik engan ucapan maupun perbuatan.5
Ibn Abidin, Radd Al-Mukhtar Ala Dar Al-Mukhtar, juz IV hlm 5, seperti dikutip oleh
Rachmat Syafe'I, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm 76.
2) Aqid harus dilakukan minimal oleh dua orang, yaitu pihak yang
menjual dan membeli. Adapun baik penjual maupun pembeli
haruslah dalam keadaan sukarela (tanpa paksaan) serta saling
meridho'i ketika melakukan jual beli.
b. Syarat dalam akad
Syarat ini hanya satu, yakni harus sesuai antara ijab
dan qabul. Walaupun demikian, dalam ijab-qabul terdapat
tiga syarat berikut ini.
1) Ahli akad
2) Qabul harus sesuai dengan ijab
3) Ijab dan qabul harus bersatu; yakni berhubungan antara ijab dan
qabul walaupun tempatnya tidak bersatu.
c. Tempat akad
Tempat akad harus bersatu atau berhubungan antara
ijab dan qabul.
d. Objek akad (Ma'qud 'alaih)
Ma'qud 'alaih harus memenuhi empat syarat:7
1) Ma'qud 'alaih harus ada. Tidak lah boleh akad atas barang-barang
yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, seperti jual beli buah
yang masih belum tampak, atau jual beli anak hewan yang masih
di dalam kandungan. Secara umum dalil yang digunakan
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa
Rasulullah SAW melarang jual belu buah yang belum tampak
hasilnya.
2) Harta harus kuat, tetap, dan bernilai, yakni benda yang mungkin
dimanfaatkan dan disimpan.
3) Benda tersebut milik sendiri atau menjadi wakil orang lain.
4) Dapat diserahkan.
5) Barang yang diperjualbelikan harus suci.
Alaudin Al-Kasyani, Badai' Ash-Shanai fi tartib Asy-Syarai, juz V, hlm 138-148, seperti
dikutip oleh Rachmat Syafei dalam buku Fiqh Muamalah, hlm. 78-79.
7
6) Barang yang dimaksud harus jelas dan diketahui oleh kedua orang
yang ber-akad.
2. Syarat pelaksanaan akad (nafadz)
Terdapat dua syarat pelaksanaan akad, sebagai berikut:
a. Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk akad.
b. Pada benda tersebut tidak terdapat hak milik orang lain.
Oleh karena itu, tidak diperkenankan menjual barang sewaan atau
barang gadai, sebab barang-barang tersebut bukan miliknya sendiri,
terkecuali jika diijinkan oleh pemilik sebenarnya, yakni jual beli yang
ditangguhkan (mauquf).
3. Syarat sahnya akad
Syarat ini terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Syarat umum
Merupakan syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk
jual beli yang telah ditetapkan syara'. Di antaranya adalah syrat-syarat
yang telah disebutkan sebelumnya. Termasuk juga harus terhindar dari
kecacatan jual beli, yaitu ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan
dengan waktu (tauqit), penipuan (gharar), kemadaratan, dan
persyaratan yang merusak lainnya.
b. Syarat khusus
Merupakan syarat-syarat yang hanya ada pada barang-barang
tertentu. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai
berikut:
1) Barang yang diperjualbelikan dapat dipegang, yaitu pada jual beli
benda yang harus dipegang sebab apabila dilepaskan akan rusak
atau hilang.
2) Harga awal harus diketahui, yaitu pada jual beli amanat.
3) Serah terima barang harus dilakukan sebelum berpisah, yaitu
untuk jual beli yang bendanya ada di tempat.
4) Terpenuhi syarat penerimaan.
10
11
12
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada di
tempat akad adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat in'iqad
(terjadinya akad).
e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
Berdasarkan kesepakatan ulama, jual beli semacam ini dipandang
tidak sah. Akan tetapi, dalam hal yang lebih baik seperti meninggikan
harga, menurut ulama Hanafiyah membolehkannya, sedangkan ulama
Syafi'iyah menganggapnya tidak sah.
f. Jual beli munjiz
Merupakan jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat atau
ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Menurut ulama
Hanafiyah, jual beli ini dipandang fasid. Sedangkan jumhur ulama
memandang jual beli munjiz ini batal.
3. Terlarang sebab ma'qud alaih (barang jualan)
Secara umum, ma'qud alaih merupakan harta yang digunakan
sebagai alat pertukaran oleh orang yang ber-akad, yang biasa disebut
mabi' (barang jualan) dan harga.
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma'qud
alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat
diserahkan, dapat disaksikan oleh orang-orang yang ber-akad, tidak
bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan dari syara'.
Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama namun
masih menjadi perdebatan diantara ulama lainnya, diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau
dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, misalnya burung
yang ada di udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan
ketetapan syara'.
13
Al-Qawain Al-Fiqhiyah, hlm. 256, seperti dikutip oleh Rafmat Syafe'i dalam buku Fiqih
Muamalah, hlm 98.
14
15
rukunnya.
Namun
demikian,
ada
beberapa
masalah
yang
16
G. Pengertian Riba
Riba menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu:
1. Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan
dari sesuatu yang dihutangkan.
2. Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah
membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada
orang lain.
3. Berlebihan atau menggelembung.12
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al Mali
ialah: Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui
pertimbangannya menurut ukuran syara, ketika berakad atau dengan
mengakhirkan tukaran kedua belah pihak salah satu keduanya.
12
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,2005). hlm. 57.
17
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan. QS Ali Imran : 130.
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya). QS. Rum : 39.
Dan di antara hadits yang terkait dengan riba adalah :
:
:
Dari Jabir r.a Rasulullah SAW telah melaknat (mengutuk) orang yang
makan riba, wakilnya, penulisnya dan dua saksinya. HR. Muslim.
13
Ibid. Hlm. 58
18
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (AlBaqarah : 275)
Juga terdapat firman Allah SWT yang lainnya:
Hai orang-orang yang
tinggalkanlah
beriman.
pernyataan
beriman, bertakwalah
sisa-sisa
Jika
kamu
perang
riba. jika
memang
tidak melakukannya,
kepada Allah
kamu
orang
maka
dan
yang
terimalah
19
islam tentang keadilan sosial. Karena itu, penghapusan bunga dari sistem
ekonomi ditujukan untuk memberikan keadilan, ekonomi, keadilan sosial,
dan perilaku ekonomi yang benar secara etis dan moral.
Riba, yang mempresentasikan keuntungan keuangan yang tidak setara
dan karena itu tidak dibenarkan, adalah berbeda dari perdagangan, yang
menghasilkan pertukaran nilai yang setara.dengan menghilangkan riba, tiap
pihak dalam akad mendapatkan imbalan yang adil dan setara, yang pada
akhirnya akan mengarah kepada distribusi penghasilan yang setara dan
kemudian kepada sistem ekonomi yang lebih adil.
Riba melanggar prinsip hak milik dalam Islam, Al-Quran dengan
jelas dan tegas melarang akuisisi terhadap milik orang lain melalui cara
yang tidak benar. Islam menganl dua tipe hak milik, yakni:
1. Hak milik yang merupakan hak kombinasi kerja individual dan sumber
daya alami,
2. Hak atau klaim hak milik yang didapat melalui pertukaran, pembayaran
yang dalam Islam disebut sebagai hak orang miskin untuk menggunakan
sumber daya yang menjadi hak mereka (zakat dan infak), bantuan tunai
dan warisan.15
Riba tidak dibenarkan karena bunga adalah hak milik yang diklaim di luar
kerangka hak millik individual sah yang diakui Islam dan bersifat instan
karena segera setelah akad pinjaman atas harta peminjam telah tercipta,
terlepas dari hasil dari usaha dimana uang tersebut digunakan.
I.
Macam-Macam Riba
1. Menurut Jumhur Ulama
15
Zamir Iqbal dan Abbas Marakhor, Pengantar keuangan Islam: Teori dan Praktik,
(Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 81-83.
20
yang
21
22
4. Madzhab Hambali
Pada madzhab ini terdapat tiga riwayat tentang illat riba, yang
paling mashyur adalah seperti pendapat ulama Hanafiah. Hanya saja,
ulama Hanabilah mengharamkan pada setiap jual beli sejenis yang
ditimbang dengan kurma.
Riwayat kedua adalah sama dengan illat yang dikemukakan oleh
ulama Syafiiyah.
Riwayat ketiga, selain pada emas dan perak adalah setiap makanan
yang ditimbang, sedangkan pada makanan yang tidak ditimbang tidak
dikategorikan riba walaupun ada tambahan. Demikian juga pada sesuatu
yang tidak dimakan manusia. Hal itu sesuai dengan pendapat Said Ibn
Musayyab yang mendasarkan pendapatnya pada hadist Rasullulah SAW :
Tidak ada riba, kecuali pada yang ditimbang atau dari yang dimakan
dan diminum.20
5. Madzhab Zhahiri
Menurut golongan ini, riba tidak dapat di illatkan, sebab ditetapkan
dengan nash saja. Kesimpulan dari pendapat para ulama di atas antara
lain: illat riba menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah timbangan
atau ukuran (alkail wa alwajn), sedangkan menurut ulama Malikiyah
adalah makanan pokok dan makanan tahan lama, dan menurut ulama
Syafiiyah adalah makanan.
19
20
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya, didapat beberapa intisari,
yaitu sebagai berikut:
1. Jual beli merupakan transaksi tukar menukar harta atau barang yang
dilakukan sesuai akad (perjanjian).
2. Jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Quran, sunah, dan ijma'.
3. Rukun jual beli ada empat, yakni Bai' (penjual), Mustari (pembeli),
Shighat (ijab dan qabul), dan Ma'qud 'alaih (benda atau barang).
4. Dalam jual beli terdapat empat macam syarat yang harus terpenuhi, yaitu
syarat terjadinya akad (in'iqad), syarat sahnya akad, syarat terlaksananya
akad (nafadz), dan syarat lujum.
5. Jual beli dibagi menjadi empat macam berdasarkan pertukarannya, yaitu
jual beli saham, jual beli muayadhah (barter), jual beli muthlaq, jual beli
alat penukar dengan alat penukar.
6. Terdapat beberapa jenis jual beli yang dilarang dalam Islam dilihat dari
sebab ahliah (ahli akad), sebab shighat, sebab ma'qud alaih (barang
jualan), dan sebab syara'.
7. Riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli
maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip
muamalat dalam Islam.
8. Riba diharamkan berdasarkan Al-Quran, As-Sunah, dan Ijma.
9. Salah satu dasar pemikiran utama yang paling sering dikemukakan oleh
para cendikiawan muslim adalah keberadaan riba dalam ekonomi
merupakan bentuk eksploitasi sosial dan ekonomi, yang merusak inti
ajaran islam tentang keadilan sosial.
10. Secara umum, riba dibagi menjadi dua, yaitu yaitu riba fadhl dan riba
nasiah.
24
B. Pendapat Kelompok
Jual beli dapat dikatakan sebagai transaksi yang paling sering dilakukan
manusia. Telah disebutkan juga bahwa manusia adalah makhluk social yang
membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu cara
yang paling umum dilakukan untuk menjalankan fungsi social tersebut adalah
jual beli.
Dalam melakukan jual beli, sejalan juga dengan kenyataan bahwa kita
adalah Muslim, ada banyak hal yang sangat perlu diperhatikan. Sebagai
contoh, rukun dan syarat jual beli adalah dua poin penting dalam melakukan
jual beli. Selain itu, terdapat pula beragam jenis jual beli yang dilarang oleh
Islam sehingga jual beli tersebut pula lah yang harus dihindari. Termasuk
juga riba, yang merupakan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jualbeli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan
prinsip muamalat dalam Islam, merupakan perbuatan haram yang telah
dijelaskan pula di dalam Al-Quran.
Selebihnya, hal menarik yang ditemukan mengenai pembahasan jual
beli adalah ketidakmampuan kita terlepas dari pendapat-pendapat ulama
mengenai pembahasan jual beli. Ada beberapa ulama yang memiliki pendapat
berbeda, bahkan kerap kali bertentangan, berkenaan dengan satu topic. Hal ini
harusnya membuat kita semakin bijak ketika memilih untuk diri kita sendiri
pendapat mana yang akan kita ikuti. Serta, kita juga perlu bersikap lebih bijak
terhadap mereka yang tidak memiliki persamaan pemahaman dengan diri
kita.
25
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Ma La Yasa at-Tajira Jahluhu,
diterjemahkan oleh Abu Umar Basyir, 2008, Fikih Ekonomi Keuangan
Islam, Jakarta: Darul Haq.
H. Sulaiman Rasjid, 1992, Fiqh Islam, Cetakan ke- 25, Bandung: CV Sinar Baru
Bandung.
Hendi Suhendi, 2005, Fiqih Muamalah, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.
Rachmat Syafe'i, 2001, Fiqih Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia.
Zamir Iqbal dan Abbas Marakhor, 2008, Pengantar keuangan Islam: Teori dan
Praktik, Jakarta: Kencana.
26