Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

JUAL BELI DAN RIBA


Dosen Pengampu: Nurul Afifah, M.Pd.I

Disusun Oleh kelompok 10:


Kelas D/VI
Nama

NPM

Lara Shindy Cintya

1292377

Mutia Retno Maharti

1292687

Novi Citra Nuryanti

1292787

PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
2015
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan, kesempatan, dan kasih sayang yang di curahkan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas mandiri yang berupa makalah. Yang mana diharapkan dapat
memberikan manfaat dan dapat mendukung perkembangan pembelajarn mengenai
Jual Beli dan Riba yaitu pada mata kuliah Fiqh 2 yang di ampu oleh Ibu Nurul
Afifah, M.Pd.I yang mana telah diselesaikan tepat pada waktunya.
Harapan penulis, semoga makalah ini memberikan manfaat yang berarti
bagi pembaca pada umumnya dan bagi penyusun pada khususnya. Tiada gading
yang tak terak, kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk kebaikan di
kemudian hari.

Metro, 20 Maret 2015

Penulis

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3
A. Pengertia Jual Beli..................................................................................... 3
B. Landasan Hukum Jual beli ........................................................................ 3
C. Rukun Jual Beli ......................................................................................... 4
D. Syarat-syarat Jual Beli ............................................................................... 5
E. Klasifikasi Jual Beli .................................................................................. 8
F. Jual Beli yang Dilarang dalam Islam ........................................................ 10
G. Pengertian Riba ......................................................................................... 17
H. Dalil Keharaman Riba ............................................................................... 19
I. Macam-Macam Riba ................................................................................. 21
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 24
A. Kesimpulan ............................................................................................... 24
B. Pendapat Kelompok .................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26

iii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri
yakni membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjameminjam, bercocok tanam atau usaha-usaha yang lain, baik
dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.
Agar hubungan mereka berjalan dengan lancar dan teratur, maka
agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya.
Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata
AMALA-YUAMILI-MUAMALATAN yang berarti saling
bertindak, saling berbuat dan saling beramal. Menurut Louis
Maluf, pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang
berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia seperti
jual beli, perdagangan dan lain sebagainya.
Jual beli adalah kegiatan tukar-menukar barang dengan cara
tertentu yang setiap hari pasti dilakukan yang kadang kita tidak
tahu apakah sah ataupun tidak. Utang piutang juga suatu kegiatan
yang sangat kental dalam kehidupan manusia, dan kedua kegiatan
muamalah tersebut sangat erat dengan riba.
Oleh karena itu, pada makalah ini akan membahas tentang
jual beli beserta komponen-komponennya dan riba.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan jual beli?
2. Apa saja landasan hukum yang mendasari jual beli?
3. Apa saja yang termasuk rukun jual beli?
4. Apa syarat-syrat yang harus dipenuhi dalam melakukan jual beli?

5. Bagaimana pembagian dan jenis-jenis jual beli?


6. Jual beli apa sajakah yang dilarang dalam Islam?
7. Apa yang dimaksud dengan riba?
8. Apa saja dalil yang menerangkan tentang keharaman riba?
9. Apa saja jenis-jenis riba?

C. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memahami konsep mengenai jual beli.
2. Untuk mengetahui landasa hukum jual beli.
3. Untuk mengetahui rukun dalam melaksanakan jual beli.
4. Untuk mengetahui syarat-syarat terlaksananya jual beli.
5. Untuk mengetahui klasifikasi jual beli.
6. Untuk mengetahui jual beli yang dilarang dalam Islam.
7. Untuk memahami konsep mengenai riba.
8. Untuk mengetahui dalil yang menjelaskan tentang keharaman riba.
9. Untuk mengetahui jenis-jenis riba.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli
Jual beli merupakan dua kata yang memiliki arti berlawanan, namun
masing-masing sering digunakan untuk memberi arti kata yang lain secara
bergantian. Adapun secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan
harta.1 Dengan kata lain, jual beli adalah menukar suatu barang dengan
barang yang lain dengan cara yang tertentu. Sedangkan secara terminologis
jual beli dimaknai sebagai transaksi penukaran selain dengan fasilitas dan
kenikmatan.2 Jual beli juga didefinisikan berbeda-beda oleh para ulama.
Diantara para ulama tersebut antara lain:3
1. Menurut ulama Hanafiyah
Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang
dibolehkan).
2. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu':
Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.
3. Menurut Ibnu Qudaimah dalam kitab Al-Mugni:
Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.
Dari beberapa pengertian jual beli di atas, kemudian dapat ditarik
kesimpulan bahwa jual beli merupakan transaksi tukar menukar harta atau
barang yang dilakukan sesuai akad (perjanjian).
B. Landasan Hukum Jual Beli
Jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Quran, sunah, dan ijma'4, yakni:
1. Al-Quran




Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Ma La Yasa at-Tajira Jahluhu,
diterjemahkan oleh Abu Umar Basyir, Fikih Ekonomi Keuangan Islam (Jakarta: Darul Haq, 2008),
hlm 87.
2
Ibid.
3
Rachmat Syafe'I, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm73-74.
4
Ibid, hlm. 74-75.
1

Artinya:
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS.
Al-Baqarah: 275).








Artinya:
Janganlah kamu makan harta yang ada di antara kamu dengan jalan batil
melainkan dengan jalan jual-beli suka sama suka. (An-Nisa': 29).
2. As-sunah
Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik.
Beliau menjawab, Seseorang bekerja dengan tangannya dan jual-beli
yang mabrur. (HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya daru Rifa'ah Ibn
Rafi').
Maksud mabrur dalam hadis tersebut adalah jual-beli yang terhindar
dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.
Jual-beli harus dipastikan harus saling meridhoi.
(HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah).
3. Ijma'
Jual beli disyariatkan berdasarkan konsensus kaum Muslimin. Ulama
telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa
manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa
bantuan orang lain. Walaupun demikian, bantuan atau barang milik orang
lain yang dibutuhkan harus diganti dengan barang lain yang sesuai.
C. Rukun Jual Beli
Para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam menetapkan
rukun jual-beli. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli hanya ada dua,
yaitu ijab dan qabul yang mana telah menunjukkan pertukaran barang secara
ridha, baik engan ucapan maupun perbuatan.5

Ibn Abidin, Radd Al-Mukhtar Ala Dar Al-Mukhtar, juz IV hlm 5, seperti dikutip oleh
Rachmat Syafe'I, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm 76.

Sedangkan menurut jumhur ulama ada empat, yaitu:


1. Bai' (penjual)
2. Mustari (pembeli)
3. Shighat (ijab dan qabul)
4. Ma'qud 'alaih (benda atau barang).

D. Syarat Jual Beli


Dalam transaksi jual beli, tidak jarang terjadi pertentangan atau
perselisihan terkait dengan kegiatan jual-beli yang berlangsung. Oleh karena
itu, untuk menghindari pertentangan di antara umat manusia dan agar jual beli
dapat dilaksanakan secara sah serta memberi pengaruh yang tepat, perlu lah
untuk merealisasikan beberapa syarat terelaksananya jual beli. Secara umum,
tujuan penetapan syarat-syarat jual beli adalah untuk menjaga kemaslahatan
orang yang sedang akad, menghindari jual beli gharar (terdapat unsur
penipuan) dan lain-lain.
Dalam jual beli terdapat empat macam syarat yang harus terpenuhi,
yaitu syarat terjadinya akad (in'iqad), syarat sahnya akad, syarat
terlaksananya akad (nafadz), dan syarat lujum.6
1. Syarat terjadinya akad (in'iqad)
In'iqad adalah syarat-syarat yang telah ditetapkan syara'. Apabila
persyaratan ini tidak terpenuhi, maka jual beli terhitung batal. Mengenai
syarat ini, ulama Hanafiyah telah menetapkan empat syarat, yaitu:
a. Syarat aqid (orang yang ber-akad)
Terdapat dua syarat yang perlu dipenuhi oleh aqid, sebagai
berikut:
1) Berakal dan mumayyiz
Ulama Syafi'iyah mensyariatkan bahwa aqid harus baligh. Namun
demikian, ulama-ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah tidak
mensyaratkan bahwa aqid haruslah dewasa atau baligh.

Ibid, hlm. 76-85.

2) Aqid harus dilakukan minimal oleh dua orang, yaitu pihak yang
menjual dan membeli. Adapun baik penjual maupun pembeli
haruslah dalam keadaan sukarela (tanpa paksaan) serta saling
meridho'i ketika melakukan jual beli.
b. Syarat dalam akad
Syarat ini hanya satu, yakni harus sesuai antara ijab
dan qabul. Walaupun demikian, dalam ijab-qabul terdapat
tiga syarat berikut ini.
1) Ahli akad
2) Qabul harus sesuai dengan ijab
3) Ijab dan qabul harus bersatu; yakni berhubungan antara ijab dan
qabul walaupun tempatnya tidak bersatu.
c. Tempat akad
Tempat akad harus bersatu atau berhubungan antara
ijab dan qabul.
d. Objek akad (Ma'qud 'alaih)
Ma'qud 'alaih harus memenuhi empat syarat:7
1) Ma'qud 'alaih harus ada. Tidak lah boleh akad atas barang-barang
yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, seperti jual beli buah
yang masih belum tampak, atau jual beli anak hewan yang masih
di dalam kandungan. Secara umum dalil yang digunakan
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa
Rasulullah SAW melarang jual belu buah yang belum tampak
hasilnya.
2) Harta harus kuat, tetap, dan bernilai, yakni benda yang mungkin
dimanfaatkan dan disimpan.
3) Benda tersebut milik sendiri atau menjadi wakil orang lain.
4) Dapat diserahkan.
5) Barang yang diperjualbelikan harus suci.
Alaudin Al-Kasyani, Badai' Ash-Shanai fi tartib Asy-Syarai, juz V, hlm 138-148, seperti
dikutip oleh Rachmat Syafei dalam buku Fiqh Muamalah, hlm. 78-79.
7

6) Barang yang dimaksud harus jelas dan diketahui oleh kedua orang
yang ber-akad.
2. Syarat pelaksanaan akad (nafadz)
Terdapat dua syarat pelaksanaan akad, sebagai berikut:
a. Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk akad.
b. Pada benda tersebut tidak terdapat hak milik orang lain.
Oleh karena itu, tidak diperkenankan menjual barang sewaan atau
barang gadai, sebab barang-barang tersebut bukan miliknya sendiri,
terkecuali jika diijinkan oleh pemilik sebenarnya, yakni jual beli yang
ditangguhkan (mauquf).
3. Syarat sahnya akad
Syarat ini terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Syarat umum
Merupakan syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk
jual beli yang telah ditetapkan syara'. Di antaranya adalah syrat-syarat
yang telah disebutkan sebelumnya. Termasuk juga harus terhindar dari
kecacatan jual beli, yaitu ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan
dengan waktu (tauqit), penipuan (gharar), kemadaratan, dan
persyaratan yang merusak lainnya.
b. Syarat khusus
Merupakan syarat-syarat yang hanya ada pada barang-barang
tertentu. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai
berikut:
1) Barang yang diperjualbelikan dapat dipegang, yaitu pada jual beli
benda yang harus dipegang sebab apabila dilepaskan akan rusak
atau hilang.
2) Harga awal harus diketahui, yaitu pada jual beli amanat.
3) Serah terima barang harus dilakukan sebelum berpisah, yaitu
untuk jual beli yang bendanya ada di tempat.
4) Terpenuhi syarat penerimaan.

5) Harus seimbang dalam ukuran timbangan, yaitu dalam jual beli


yang memakai ukuran atau timbangan.
6) Barang yang diperjualbelikan sudah menjadi tanggung jawab
pribadi. Oleh karena itu, tidak boleh menjual barang yang masih
berada di tangan penjual.
4. Syarat lujum (kepastian)
Syarat ini hanya ada satu, yakni akad jual beli harus terlepas atau
terbebas dari khiyar yang berkaitan dengan kedua pihak yang ber-akad
dan menyebabkan batalnya akad. Khiyar sendiri artinya boleh memilih
antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkannya dalam arti
ditarik kembali atau tidak jadi jual beli. Ditetapkannya khiyar oleh syara'
adalah bahwa agar kedua orang yang ber-akad jual beli dapat memikirkan
kemaslahatan masing-masing lebih jauh lagi, supaya tidak akan terjadi
penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu.

E. Klasifikasi Jual Beli


Adiwarman A. Karim dalam buku Fikih Ekonomi Keuangan Islam
mengklasifikasikan jual beli menjadi tiga macam, yaitu:8
1. Klasifikasi jual beli dari sisi objek dagangan
Ditinjau dari sisi inim jual beli dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.
b. Jual beli ash-sharf atau Money Changer, yakni penukaran uang
dengan uang.
c. Jual beli muqayadhah atau barter, yakni menukar barang dengan
barang.
2. Klasifikasi jual beli dari sisi standarisasi harga
Jual beli dibagi menjadi tiga, sebagai berikut:
a. Jual beli bargain (tawar-menawar)
Merupakan jual beli dimana modal barang yang dijual tidak
diberitahukan oleh penjual.
8

Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Op. cit., hlm 88-89.

b. Jual beli amanah


Merupakan jual neli dimana harga modal barang dagangan
diberitahukan oleh si penjual.
c. Jual beli muzayadah (lelang)
Merupakan jual beli dengan cara penjual menawarkan barang
dagangannya, lalu para pembeli saling menawar dengan menambah
jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu si penjual akan
menjual dengan harga tertinggi dari para pembeli tersebut.
Kebalikan dari jual bel jenis ini adalah jual beli munaqashah
(obral) yang merupakan tipe jual beli dimana si pembeli menawarkan
diri untuk membeli barang dengan kriteria tertentu, lalu para penjual
berlomba menwarkan dagangannya, kemudian si pembeli akan
membeli dengan harga termurah yang ditawarkan penjual.
3. Klasifikasi jual beli dilihat dari cara pembayaran
Ditinjau dari sisi ini, jual beli terbagi menjadi empat bagian sebagai
berikut:
a. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.
b. Jual beli dengan pembayaran tertunda.
c. Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
d. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran yang sama-sama
tertunda.
Adapun menurut Al-Juhaili (1989), pada umumnya jual beli dibagi
menjadi empat macam berdasarkan pertukarannya, yaitu:
1. Jual beli saham (pesanan)
Jual beli saham merupakan jual beli dengan cara menyerahkan
terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
2. Jual beli muayadhah (barter)
Merupakan jual beli dengan cara menukar barang dengan barang.
Misalnya, menukar baju dengan dengan sepatu.

3. Jual beli muthlaq


Merupakan jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati
sebagai alat pertukaran, seperti uang.
4. Jual beli alat penukar dengan alat penukar
Jual beli jenis ini adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai
alat penukar dengan alat penukar lainnya, misalnya uang perak dengan
uang emas.
Selain itu, jual beli pun dibagi menjadi empat bagian jika dilihat
berdasarkan segi harga, yakni:
1. Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah).
2. Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual sesuai dengan harga
aslinya (at-tauliyah).
3. Jual beli rugi (ak-khasarah).
4. Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetai
kedua orang yang ber-akad saling meridho'i; jual beli semacam inilah
yang berkembang sekarang.9

F. Jual Beli yang Dilarang dalam Islam


Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah AlJuhaili meringkasnya sebagai berikut.10
1. Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
Jumhur ulama telah sepakat bahwa jual beli dianggap sahih apabila
dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu
ber-tasharruf secara bebas dan baik. mereka yang diasumsikan tidak sah
jual-belinya adalah sebagai berikut.
a. Jual beli orang gila
Selain orang gila, mereka yang sejenis dengan orang gila, seperti
orang mabuk atau sakalor, juga tidak dipandang sah dalam melakukan
jual beli.
9
Wahbah Al-Juhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, juz IV, hlm 595-596, seperti dikutip
oleh Rachmat Syafe'I dalam Fiqh Muamalah hlm 101-102.
10
Ibid, hlm 93-101.

10

b. Jual beli anak kecil


Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli anak kecil (belum
mumayyiz) dipandang tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara yang
ringan atau sepele. Menurut ulama Syafi'iyah, jual beli anak
mumayyiz yang belum baligh tidaklah sah dikarenakan tidak ada
ahliah. Adapun menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah,
jual beli anak kecil dipandang sah-sah saja apabila diijinkan walinya.
c. Jual beli orang buta
Jual beli orang buta dikategorikan sahih menurut jumhur jika
barang yang dibelinya diberi sifat, dalam artian dijelaskan sifat-sifat
barang yang dimaksud. Sedangkan menurut ulama Syafi'iyah jual beli
orang buta tidaklah sah karena orang buta tidak dapat membedakan
barang yang jelek dan yang baik.
d. Jual beli terpaksa
Menurut ulama Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa sama
seperti jual beli fudhul (jual beli tanpa seiijin pemiliknya), yakni
ditangguhkan (mauquf). Oleh karena itu, keabsahannya ditangguhkan
sampai hilang rasa terpaksa. Menurut ulama Malikiyah, jual beli ini
tidaklah lazim karena baginya ada khiyar. Sementara itu, menurut
ulama Syafiiyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak lah sah sebab
tidak ada keridhoan ketika akad.
e. Jual beli fudhul
Merupakan jual beli milik orang tanpa seijin pemiliknya. Menurut
ulama Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli jenis ini adalah
ditangguhkan sampai ada ijin dari pemiliknya. Sedangkan menurut
ulama Hanabilah dan Syafi'iyah, jual beli fudhul tidak sah.
f. Jual beli orang yang terhalang
Yang dimaksud terhalang adalah terhalang karena kebodohan,
bangkrut, ataupun sakit.

11

g. Jual beli malja'


Jual beli malja' merupakan jual beli orang yang sedang dalam
bahaya; tujuannya adalah menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli
tersebut, menurut ulama Hanafiyah, adalah fasid, dan menurut ulama
Hanabilah adalah batal.
2. Terlarang sebab Shighat
Ulama fiqih telah sepakat bahwa sah tidaknya jual beli adalah
didasarkan pada keridhoan di antara pihak yang ber-akad, ada kesesuaian
di antara ijab dan qabul; berada di satu tempat, dan tidak terpisah oleh
suatu pemisah. Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut
dipandang tidak sah. Berikut ini adalah macam-macam jual beli yang
dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para ulama:
a. Jual beli mu'athah
Merupakan jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad,
berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai
ijab-qabul.
b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan
Para ulama fiqih sepakat bahwa jual beli melalui surat atau utusan
adalah sah. Tempat berakad adalah sampainya surat dari aqid pertama
dan aqid kedua. Namun, apabila qabul melebihi tempat, seperti surat
tidak sampai ke tangan orang yang dimaksud, akad tersebut dipandang
tidak sah.
c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan
Akad dengan isyarat atau tulisan dipandang sah khususnya bagi
yang uzur sebab sama dengan ucapan. Selain itu, isyarat juga
menunjukkan apa yang ada di dalam hati aqid. Namun, jika isyarat
tidak dapat dipahami serta tulisannya jelek (tidak terbaca), akad
menjadi tidak sah.
d. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad

12

Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada di
tempat akad adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat in'iqad
(terjadinya akad).
e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
Berdasarkan kesepakatan ulama, jual beli semacam ini dipandang
tidak sah. Akan tetapi, dalam hal yang lebih baik seperti meninggikan
harga, menurut ulama Hanafiyah membolehkannya, sedangkan ulama
Syafi'iyah menganggapnya tidak sah.
f. Jual beli munjiz
Merupakan jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat atau
ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Menurut ulama
Hanafiyah, jual beli ini dipandang fasid. Sedangkan jumhur ulama
memandang jual beli munjiz ini batal.
3. Terlarang sebab ma'qud alaih (barang jualan)
Secara umum, ma'qud alaih merupakan harta yang digunakan
sebagai alat pertukaran oleh orang yang ber-akad, yang biasa disebut
mabi' (barang jualan) dan harga.
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma'qud
alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat
diserahkan, dapat disaksikan oleh orang-orang yang ber-akad, tidak
bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan dari syara'.
Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama namun
masih menjadi perdebatan diantara ulama lainnya, diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau
dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, misalnya burung
yang ada di udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan
ketetapan syara'.

13

c. Jual beli gharar


Merupakan jual beli barang yang mengandung kesamaran.
Menurut Ibn Jazi Al-Maliki, gharar yang dilarang ada 10 macam:11
1) Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih
dalam kandungan induknya.
2) Tidak diketahui harga dan barang,
3) Tidak diketahui sifat barang atau harga,
4) Tidak diketahui ukuran barang dan harga,
5) Tidak diketahui masa yang akan datang, misalnya, Saya akan
menjual barang ini jika Malik datang.
6) Menghargakan dua kali pada satu barang.
7) Menjualkan barang yang diharapkan selamat,
8) Jual beli husha', misalnya pembeli memegang tingkat, jika tongkat
jatuh wajib membeli.
9) Jual beli munabadzhah, yaitu jual beli dengan cara lempar
melempari, seperti seseorang melempar bajunya, kemudian yang
lain pun melempar bajunya maka jadilah jual beli.
10) Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain, maka wajib
membelinya.
d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis,
seperti khamar. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang barang
yang terkena najis (al-mutanajis) yang tidak mungkin dihilangkan,
seperti minyak yang terkena bangkai tikus. Ulama Hanafiyah
membolehkannya untukm barang yang tidak untuk dimakan,
sedangkan Ulama Malikiyah membolehkannya setelah dibersihkan.
e. Jual beli air
Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki, seperti air sumur
yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh jumhur ulama
11

Al-Qawain Al-Fiqhiyah, hlm. 256, seperti dikutip oleh Rafmat Syafe'i dalam buku Fiqih
Muamalah, hlm 98.

14

madzhab empat. Sebaliknya ulama Zhahiriyyah melarang secara


mutlak. Juga disepakati larangan atas jual beli air yang mubah, yakni
yang semua manusia boleh memanfaatkannya.
f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini adalah fasid
sedangkan menurut jumhur batal

sebab akan mendatangkan

pertentangan diantara manusia.


g. Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad (gaib), tidak dapat
dilihat
Menurut Ulama Hanafiyah, jual beli ini dibolehkan tanpa harus
menyebutkan sifat sifatnya, tetapi pembeli berhak khiyar ketika
melihatnya. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah menyatakan tidak sah,
sedangkan Ulama Malikiyah membolehkannya bila disebutkan sifatsifatnya dan mensyaratkan 5 (lima) macam:
1) Harus jauh sekali tempatnya
2) Tidak boleh dekat sekali tempatnya
3) Bukan pemiliknya harus ikut memberi gambaran
4) Harus meringkas sifat-sifat barang secara menyeluruh
5) Penjual tidak boleh memberi syarat
h. Jual beli sesuatu sebelum dipegang
Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat
dipindahkan sebelum dipegang, tetapi untuk barang yang tetap
diperbolehkan. Sebaliknya,, Ulama Syafi.iyah melarangnya secara
mutlak. Ulama Malikiyah melarang atas makanan, sedangkan Ulama
Hanabilah melarang atas makanan yang diukur.
i. Jual beli buah buahan atau tumbuhan
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah
ada buah, tetapi belum matang, akadnya fasid menurut ulama
Hanafiyah dan batal menurut Jumhur ulama. Adapun jika buahbuahan atau tumbuhan itu telah matang, akadnya dibolehkan.

15

4. Terlarang sebab Syara


Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan
dan

rukunnya.

Namun

demikian,

ada

beberapa

masalah

yang

diperselisihkan diantara para ulama, diantaranya berikut ini.


a. Jual beli riba
Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama Hanafiyah,
tetapi batal menurut jumhur ulama.
b. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
Menurut ulama Hanafiyah termasuk fasid (rusak) dan terjadi akad
atas nilainya, sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal sebab
ada nash yang jelas dari hadis Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah
SAW mengharamkan jual beli khamar, bangkai, anjing, dan patung.
c. Jual beli barang dari pencegatan barang
Yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju tempat
yang dituju sehingga orang yang menjegatnya akan mendapatkan
keuntungan. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu makruh
tahrim. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat, pembeli boleh
khiyar. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu
termasuk fasid.
d. Jual beli waktu adzan Jumat
Yakni bagi laki laki yang berkewajiban melaksanakan shalat
Jumat. Menurut ulama Hanafiyah pada waktu azan pertama, seangkan
menurut ulama lainnya, azan ketika khatib sudah berada di mimbar.
Ulama Hanafiyah menghukuminya makruh tahrim, sedangkan ulama
Syafiiyah menghukumi sahih haram. Tidak jadi pendapat yang
masyhur di kalangan ulama Malikiyah, dan tidak sah menurut ulama
hanabilah.
e. Jual beli anggur untuk dijadikan khammar
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah zahirnya sahih, tetapi
makruh, sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah
batal.

16

f. Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil


Hal itu dilarang sampai anaknya besar dan dapat mandiri.
g. Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
Seseorang telah sepakat akan membeli suatu barang, namun
masih dalam khiyar, kemudian datang orang lain yang menyuruh
untuk membatalkannya sebab ia akan membelinya dengan harga lebih
tinggi.
h. Jual beli memakai syarat
Menurut ulama Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti,
Saya akan membeli baju ini dengan syarat bagian yang rusak dijahit
dulu. Begitu pula menurut ulama Malikiyah membolehkannya jika
bermanfaat. Menurut ulama Syafiiyah dibolehkan jika syarat
maslahat bagi salah satu pihak yang melangsungkan akad, sedangkan
menurut ulama Hanabilah, tidak dibolehkan jika hanya bermanfaat
bagi salah satu yang akad.

G. Pengertian Riba
Riba menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu:
1. Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan
dari sesuatu yang dihutangkan.
2. Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah
membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada
orang lain.
3. Berlebihan atau menggelembung.12
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al Mali
ialah: Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui
pertimbangannya menurut ukuran syara, ketika berakad atau dengan
mengakhirkan tukaran kedua belah pihak salah satu keduanya.

12

Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,2005). hlm. 57.

17

Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad


yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak
menurut aturan syara atau terlambat salah satunya.13
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum
terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara
bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba
pinjaman adalah haram. Adapun dalil yang terkait dengan perbuatan riba,
berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadits. Di antara ayat tentang riba adalah
sebagai berikut:










Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan. QS Ali Imran : 130.











Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya). QS. Rum : 39.
Dan di antara hadits yang terkait dengan riba adalah :



:





:




Dari Jabir r.a Rasulullah SAW telah melaknat (mengutuk) orang yang
makan riba, wakilnya, penulisnya dan dua saksinya. HR. Muslim.

13

Ibid. Hlm. 58

18

H. Dalil Keharaman Riba


Riba diharamkan berdasarkan Al-Quran, As-Sunah, dan Ijma:
1. Al-Quran


Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (AlBaqarah : 275)
Juga terdapat firman Allah SWT yang lainnya:
Hai orang-orang yang
tinggalkanlah
beriman.
pernyataan

beriman, bertakwalah

sisa-sisa

Jika

kamu

perang

riba. jika

memang

tidak melakukannya,

kepada Allah
kamu

orang

maka

dan
yang

terimalah

dari Allah dan rasul Nya dan jika kalian

bertobat maka bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat


zalim dan tidak pula dizalimi. (QS. Al-Baqarah : 278- 279)
2. As-Sunah
Hadits Abu Hurairah
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi SAW. Bersabda,
Tinggalkanlah tujuh dosa yang dapat membinasakan. Sahabat
bertanya, Apakah itu, ya Rasulullah? Jawab Nabi, (1) Syirik
(mempersekutukan Allah); (2) Berbuat sihir (tenung); (3) Membunuh
jiwa yang diharamkan Allah, kecuali yang hak; (4) Makan harta riba; (5)
Makan harta anak yatim; (6) Melarikan diri dari perang jihad pada saat
berjuang; dan (7) Menuduh wanita mukminat yang sopan (berkeluarga)
dengan tuduhan zina
3. Ijma
Seluruh ulama sepakat bahwa riba diharamkan dalam islam.14
Dasar Logis Pelarang Riba
Salah satu dasar pemikiran utama yang paling sering dikemukakan
oleh para cendikiawan muslim adalah keberadaan riba dalam ekonomi
merupakan bentuk eksploitasi sosial dan ekonomi, yang merusak inti ajaran
14

Rachmat Syafei, Op. cit., hlm:261.

19

islam tentang keadilan sosial. Karena itu, penghapusan bunga dari sistem
ekonomi ditujukan untuk memberikan keadilan, ekonomi, keadilan sosial,
dan perilaku ekonomi yang benar secara etis dan moral.
Riba, yang mempresentasikan keuntungan keuangan yang tidak setara
dan karena itu tidak dibenarkan, adalah berbeda dari perdagangan, yang
menghasilkan pertukaran nilai yang setara.dengan menghilangkan riba, tiap
pihak dalam akad mendapatkan imbalan yang adil dan setara, yang pada
akhirnya akan mengarah kepada distribusi penghasilan yang setara dan
kemudian kepada sistem ekonomi yang lebih adil.
Riba melanggar prinsip hak milik dalam Islam, Al-Quran dengan
jelas dan tegas melarang akuisisi terhadap milik orang lain melalui cara
yang tidak benar. Islam menganl dua tipe hak milik, yakni:
1. Hak milik yang merupakan hak kombinasi kerja individual dan sumber
daya alami,
2. Hak atau klaim hak milik yang didapat melalui pertukaran, pembayaran
yang dalam Islam disebut sebagai hak orang miskin untuk menggunakan
sumber daya yang menjadi hak mereka (zakat dan infak), bantuan tunai
dan warisan.15
Riba tidak dibenarkan karena bunga adalah hak milik yang diklaim di luar
kerangka hak millik individual sah yang diakui Islam dan bersifat instan
karena segera setelah akad pinjaman atas harta peminjam telah tercipta,
terlepas dari hasil dari usaha dimana uang tersebut digunakan.

I.

Macam-Macam Riba
1. Menurut Jumhur Ulama

15

Zamir Iqbal dan Abbas Marakhor, Pengantar keuangan Islam: Teori dan Praktik,
(Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 81-83.

20

Jumhur ulama16 membagi riba dalam dua bagian, yaitu


riba fadhl dan riba nasiah.
a. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah jual-beli yang mengandung unsur riba pada
barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda
tersebut. Oleh karena itu jika melaksanakan akad jual-beli
antarbarang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar
terhindar dari unsur riba.
b. Riba Nasi'ah
Menurut ulama Hanafiah,17 riba nasiah adalah: Dikerjakan oleh
orang jahiliyah, seperti seseorang membeli dua kilogram beras pasa
bulan Januari dan akan dibayar dengan dua setengah kilogram beras
pada bulan Februari. Contoh lain dari riba nasiah yang berlaku
secara umum sekarang adalah bunga bank.
Menurut pendapat setengah ulama, riba ada empat bagian, yaitu:18
a. Riba fadhli, yaitu menukarkan dua barang yang sejenis dengan tidak
sama.
b. Riba qardhi, yaitu utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang
mempiutangi.
c. Riba yad, yaitu bercerai dari tempat akad sebelum timbang terima.
d. Riba nasa', yaitu penukaran yang disyaratkan terlambat salah satu
dua barang.
Barang-barang yang berlaku riba padanya adalah emas, perka, dan
makanan yang menyenangkan atau

yang berguna untuk

yang

mengenyangkan seperti garam. Jual beli tersebut, kalau sama jenisnya


seperti emas dengan emas, gandum ddengan gandum, diperlukan tiga
syarat, yaitu tunai, timbang terima, serta sama timbangan atau
16
Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Miqtashid, juz II. hlm:129, seperti
dikutip oleh Rahmat Syafe'i dalam buku Fiqih Muamalah, hlm 262.
17
Alaudin Al-Kasani, Badai Ash-Shani fi Tartib Asy-Syarai, juz V.hlm: 183, seperti
dikutip oleh Rahmat Syafe'i dalam buku Fiqih Muamalah, hlm 262.
18
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cetakan ke- 25, (Bandung: CV Sinar Baru Bandung,
1992), hlm. 273.

21

sukatannya. Kalau berlainan jenisnya, satu 'ilat ribanya seperti emas


dengan perak, boleh tidak sama timbangannya, tetapi mesti tunai dan
timbang terima. Kalau berlainan jenis dan 'ilat ribanya, seperti perak
dengan beras, boleh dijual bagaimana saja seperti barang-barang lain,
berarti tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga itu.
2. Madzhab Malikiyah
Illat diharamkannya riba menurut ulama Malikiyah pada emas dan
perak adalah harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan,
mereka berbeda pendapat dalam hubungannya dengan riba nasiah dan
riba fadhl.
Illat diharamkannya ria nasiah dalam makanan adalah sekadar
makanan saja (makanan selain untuk mengobati), baik karena pada
makanan tersebut terdapat unsur penguat (makanan pokok) dan kuat
disimpan lama atau tidak ada kedua unsur tersebut.
Illat diharamkannya riba fadhl pada makanan adalah makanan
tersebut dipandang sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama,
seperti gandum, padi, jagung, dll.
3. Madzhab Syafii
Illat riba pada emas dan perak adalah harga, yakni kedua barang
tersebut dihargakan atau menjadi harga sesuatu. Begitu pula uang,
walaupin bukan terbuat dari emas, uang pun dapat menjadi harga sesuatu.
Illat pada makanan adalah segala sesuatu yang bisa dimakan dan
memenihi 3 kriteria berikut:
a. Sesuatu yang bisa ditunjukkan sebagai makanan atau makanan
pokok.
b. Makanan yang lezat atau yang dimaksudkan untuk melezatkan
makanan, seperti ditetapkan dalam nash adalah kurma, diqiyaskan
padanya, seperti tin dan anggur kering.
c. Makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan
memperbaiki makanan, yakni obat. Ulama syafiiyah antara lain

22

beralasan bahwa makanan yang dimaksudkan adalah untuk


menyehatkan badan termasuk pula obat untuk menyehatkan badan.
Menurut ulama Syafiiyah, jika makanan tersebut berbeda jenisnya,
seperti menjual gandum dengan jagung, dibolehkan adanya tambahan.
Selain itu dipandang tidak riba walaupun ada tambahan jika asalnya tidak
sama meskipun bentuknya sama, seperti menjual tepung gandum dengan
tepung jagung.19

4. Madzhab Hambali
Pada madzhab ini terdapat tiga riwayat tentang illat riba, yang
paling mashyur adalah seperti pendapat ulama Hanafiah. Hanya saja,
ulama Hanabilah mengharamkan pada setiap jual beli sejenis yang
ditimbang dengan kurma.
Riwayat kedua adalah sama dengan illat yang dikemukakan oleh
ulama Syafiiyah.
Riwayat ketiga, selain pada emas dan perak adalah setiap makanan
yang ditimbang, sedangkan pada makanan yang tidak ditimbang tidak
dikategorikan riba walaupun ada tambahan. Demikian juga pada sesuatu
yang tidak dimakan manusia. Hal itu sesuai dengan pendapat Said Ibn
Musayyab yang mendasarkan pendapatnya pada hadist Rasullulah SAW :
Tidak ada riba, kecuali pada yang ditimbang atau dari yang dimakan
dan diminum.20
5. Madzhab Zhahiri
Menurut golongan ini, riba tidak dapat di illatkan, sebab ditetapkan
dengan nash saja. Kesimpulan dari pendapat para ulama di atas antara
lain: illat riba menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah timbangan
atau ukuran (alkail wa alwajn), sedangkan menurut ulama Malikiyah
adalah makanan pokok dan makanan tahan lama, dan menurut ulama
Syafiiyah adalah makanan.
19
20

Prof. DR. H. Rachmat Syafei, MA, Op. cit., hlm: 267-268


Ibid

23

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya, didapat beberapa intisari,
yaitu sebagai berikut:
1. Jual beli merupakan transaksi tukar menukar harta atau barang yang
dilakukan sesuai akad (perjanjian).
2. Jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Quran, sunah, dan ijma'.
3. Rukun jual beli ada empat, yakni Bai' (penjual), Mustari (pembeli),
Shighat (ijab dan qabul), dan Ma'qud 'alaih (benda atau barang).
4. Dalam jual beli terdapat empat macam syarat yang harus terpenuhi, yaitu
syarat terjadinya akad (in'iqad), syarat sahnya akad, syarat terlaksananya
akad (nafadz), dan syarat lujum.
5. Jual beli dibagi menjadi empat macam berdasarkan pertukarannya, yaitu
jual beli saham, jual beli muayadhah (barter), jual beli muthlaq, jual beli
alat penukar dengan alat penukar.
6. Terdapat beberapa jenis jual beli yang dilarang dalam Islam dilihat dari
sebab ahliah (ahli akad), sebab shighat, sebab ma'qud alaih (barang
jualan), dan sebab syara'.
7. Riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli
maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip
muamalat dalam Islam.
8. Riba diharamkan berdasarkan Al-Quran, As-Sunah, dan Ijma.
9. Salah satu dasar pemikiran utama yang paling sering dikemukakan oleh
para cendikiawan muslim adalah keberadaan riba dalam ekonomi
merupakan bentuk eksploitasi sosial dan ekonomi, yang merusak inti
ajaran islam tentang keadilan sosial.
10. Secara umum, riba dibagi menjadi dua, yaitu yaitu riba fadhl dan riba
nasiah.

24

B. Pendapat Kelompok
Jual beli dapat dikatakan sebagai transaksi yang paling sering dilakukan
manusia. Telah disebutkan juga bahwa manusia adalah makhluk social yang
membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu cara
yang paling umum dilakukan untuk menjalankan fungsi social tersebut adalah
jual beli.
Dalam melakukan jual beli, sejalan juga dengan kenyataan bahwa kita
adalah Muslim, ada banyak hal yang sangat perlu diperhatikan. Sebagai
contoh, rukun dan syarat jual beli adalah dua poin penting dalam melakukan
jual beli. Selain itu, terdapat pula beragam jenis jual beli yang dilarang oleh
Islam sehingga jual beli tersebut pula lah yang harus dihindari. Termasuk
juga riba, yang merupakan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jualbeli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan
prinsip muamalat dalam Islam, merupakan perbuatan haram yang telah
dijelaskan pula di dalam Al-Quran.
Selebihnya, hal menarik yang ditemukan mengenai pembahasan jual
beli adalah ketidakmampuan kita terlepas dari pendapat-pendapat ulama
mengenai pembahasan jual beli. Ada beberapa ulama yang memiliki pendapat
berbeda, bahkan kerap kali bertentangan, berkenaan dengan satu topic. Hal ini
harusnya membuat kita semakin bijak ketika memilih untuk diri kita sendiri
pendapat mana yang akan kita ikuti. Serta, kita juga perlu bersikap lebih bijak
terhadap mereka yang tidak memiliki persamaan pemahaman dengan diri
kita.

25

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Ma La Yasa at-Tajira Jahluhu,
diterjemahkan oleh Abu Umar Basyir, 2008, Fikih Ekonomi Keuangan
Islam, Jakarta: Darul Haq.
H. Sulaiman Rasjid, 1992, Fiqh Islam, Cetakan ke- 25, Bandung: CV Sinar Baru
Bandung.
Hendi Suhendi, 2005, Fiqih Muamalah, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.
Rachmat Syafe'i, 2001, Fiqih Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia.
Zamir Iqbal dan Abbas Marakhor, 2008, Pengantar keuangan Islam: Teori dan
Praktik, Jakarta: Kencana.

26

Anda mungkin juga menyukai