Makalah Bai Wafa
Makalah Bai Wafa
Fiqh Muamalah
Bai’ul Wafa’
DISUSUN OLEH :
AL ILMI
DEDE KOSASIH
NOOR KHOLIK
YUNITA D.W
DOSEN
ABDULLOH IMAM PANATAGAMA
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2
BAB I 3
Pendahuluan 3
Latar Belakang 3
Rumusan Masalah 4
Tujuan Pembuatan Makalah 4
BAB II 5
Definisi Bai Wafa’? 5
Sejarah Bai’ Wafa 8
Hukum Bai’ Wafa’ Menurut Ulama 8
Ketentuan Bai' Al Wafa 9
Aplikasi Bai’ Wafa/ Bay Istighlal Di Bank Islam 9
Apakah Bai’ Wafa’ Tergolong Gharar ? 10
BAB III 12
Penutup 12
Kesimpulan 12
Saran 13
BAB IV 14
Daftar Pustaka 14
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
1.2 Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud bai wafa’?
Bagaimana sejarah bay’ wafa
Bagaimana hukum bay’ wafa’ menurut ulama
Apa saja ketentuan bai' al wafa
Bagaimana aplikasi bay’ wafa/ bay istighlal di bank islam
Apakah bay’ wafa’ tergolong gharar ?
4
BAB II
PEMBAHASAN
أن يبيعه العين بألف مثال على أنه اذا رد عليه الثمن رد عليه العين المبيعة
Seseorang menjual sebuah benda seharga 1000 dengan syarat jika penjual itu
mengembalikan uangnya (harganya), maka pembeli tersebut mengembalikan benda
yang dibelinya itu kepada penjual semula. Menurut Ibnul `Abidin, Bay` Al Wafa`
adalah: Suatu akad dimana seorang yang membutuhkan uang menjual barang kepada
seseorang yang memiliki uang cash. Barang yang dijual tersebut tidak dapat dipindah-
pindah (real estate/property/‘iqar) dengan kesepakatan kapan ia dapat mengembalikan
harga barang tersebut maka ia dapat meminta kembali barang itu. (Ibnul `Abidin,
Raddul Muhtar, vol.iv/p.257)
Adapun definisi jual beli wafa’ menurut beberapa pendapat sebagai
berikut :
• Definisi menurut Fiqh Sunnah
seorang yang membutuhkan uang menjual real estate/real property (barang yang tidak
dapat dipindah-pindahkan seperti; rumah) dengan kesepakatan jika ia dapat melunasi
(mengembalikan) harga tersebut maka ia dapat mengambil (memiliki) kembali barang
itu. ( Sayyid Sabiq, Fiqh As-sunnah, vol.iii / p.166 )
5
• Definisi Yakan Zuhdi : Bai` Wafa` adalah: Suatu akad jual beli yang mana pembeli
berkomitmen setelah sempurna akad bai` untuk mengembalikan barang yang dibelinya
kepada penjualnya sebagai ganti pengembalian harga barang tersebut. (Yakan Zuhdi,
`Aqdul Bai`, p.131)
• Definisi Majallah al-Ahkam al-’adliyah Turki Usmani :Bay’ al-wafa’ is a contract
whereby the owner of an estate (house or land) sells it, with a condition that he will
have it back once he returns its price to the buyer (See Articles 118 and 396-403 of
Majallat al-Ahkam al-Adliyah).
• Definisi Mustafa Ahmad Zarqa :Mustafa Ahmad Zarqa mendefinisilan, Bay wafa
ialah. “:Dua jual beli yang dilakukan oleh dua pihak yang dibarengi dengan syarat
bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu
yang ditentukan telah tiba”.
Tenggang waktu pembelian kembali dapat terjadi 1 tahun atau 2 tahun.
Nama-nama Bay’ wafa
• Pada awal perkembangannya di Syiria, bay’ wafa’ disebut juga bay itha’ah
• Di Mesir dinamakan Bay al-Amanah
• Ulama Syafiiyah menyebutnya bay ‘uhdah dan bay ma’ad
• Ulama Hanabilah menyebutnya bay amanah
• Hanfiyah menyebutnya selain bay wafa, juga bay jaiz (artinya jual beli dibolehkan
karena bersih dari riba). Innu Abidin Radd al-Mukhtar, Jilid 4, hlm. 246.
Asset (obyek akad) bay’ wafa’
Asset yang dijual dalam bay’ wafa’ biasanya rumah (property), sawah, kebun
(benda-benda ‘iqar = benda yang tidak bergerak). Misalnya, Ahmad membutuhkan uang
untuk suatu keperluan, maka ia menjual kebun kurmanya seluas 10 hektar kepada
seseorang dengan harga 500 dinar dalam waktu dua tahun. Keduanya sepakat, jika
waktu sudah berakhir, maka Ahmad membeli kembali kebun kurmanya seharga
penjualan semula, yaitu Rp 500 dinar. Oleh karena akad yang digunakan adalah akad
jual beli, maka pembeli boleh memanfaatkan (menikmati) hasil kebun tersebut,
sehingga kebun itu mendatangkan keuntungan baginya, Tetapi kebun tersebut tidak
boleh dijual kepada orang lain.
Berdasarkan konsep jual beli wafa tersebut, jelas bahwa bay wafa ini berbeda dengan
rahn (gadai), karena rahn adaah bentuk gadaian (jaminan hutang). Sementara barang
yang digadaikan tidak boleh dimanfaatkan murtahin (pemberi hutang/gadai), kecuali
jaminan itu berupa hewan tunggangan. Jika pemberi hutang memanfaatkan barang
6
tersebut, maka praktik itu tergolong riba, sesuai hadits Nab Saw. Setiap pinjaman di
mana pemberi hutang menarik manfaat dari hutang tersebut, maka ia termasuk riba.
Dalam bay’ wafa, status asset yang dijual bukanlah borg (gadaian), karena bay’ wafa
adalah bentuk jual beli, sehingga asset yang dibeli pembeli (buyer) menjadi miliknya,
makanya pembeli dengan bebas dapat memanfaatkannya dan menikmati hasilnya. hanya
ia tidak boleh menjual asset itu kepada orang lain. Hal ini disebut bay’ maushufah biz
zimmah, artinya, jual beli yang disifati dengan tanggungan menjual kembali kepada
penjual semula, yakni pembeli berkewajiban menjual kembali asset itu kepada penjual
semula.
7
1 Kedua belah pihak sama-sama tidak boleh memindah tangankan barang
itu kepada pihak ketiga
2 Baik rahn maupun bay wafa, pihak I (penjual/penggadai) sama-sama
mendapatkan uang dengan menyerahkan barang
3 Jika terjadi kerusakan barang, maka kerusakan itu ditanggung murtahin
dan pembeli, kecuali yang rusak sedikit (sesuai ‘urf)
4 Ketika hutang (uang penjualan) dikembalikan kepada pembeli (pada saat
jatuh tempo) maka pembeli wajib memberikan barang kepada penjual
semula
8
Turki Usmani melalui Majallah Ahkam al-Adliyah, pada tahun 1876 M,
memamasukkan bay’ wafa dalam Kodifikasi Undang-Undang Turki tersebut.
9
Kerusakan barang dalam jual-beli dengan hak penebusan adalah tanggung
jawab pihak yang menguasainya.
Penjual dalam jual-beli dengan hak penebusan berhak untuk membeli kembali
atau tidak terhadap barang yang telah rusak.
Hak membeli kembali dalam bai’ wafa dapat diwariskan.
ع منeeتري ينتفeeبيع أي أن المشeeو هو أن تباع العين بيع الوفاء علي أن تستأجر البائع الم
المبيع باجارته للبائع نفسه
Yaitu barang dijual secara bay’ wafa, selanjutnya penjual menyewa kembali barang
tersebut. Artinya, pembeli mengambil manfaat dari barang tersebut dengan
menyewakannya kepada penjual sendiri (Kitab Fiqh Riba, Abdul Azhim Jalaluddin Abu
Zaid, Beirut Muassah ar-Risalah, 2004, hlm 540). ”This transaction of sale and
leaseback is similar to Bay’ al-wafa’ contract or bay’ al-istighlal which can be
considered as a form of Bay’ al-wafa’ contract, allowed by some fuqaha’, but not by
Majma’ al-Fiqh al-Islami in Jeddah in 1412AH (1992).
10
Dari perspektif studi akad, kelihatannya pada bay wafa terdapat dua bentuk akad,
yakni jual beli dan gadai. Lalu apakah bay wafa ini tergolong gharar karena akadnya
tidak jelas, apakah jual beli atau rahn ? Praktik ini dibolehkan berdasarkan ‘urf dan
istihsan.
Akadnya bukan jual beli murni dan juga bukan rahn murni, tetapi kombinasi
keduanya. Bay wafa’ bukan gharar, tetapi sebuah kontrak baru yang hak/kewajiban para
pihak cukup jelas. Demikian pula status asset yang dijadikan obyek dalam kontrak ini
sangat jelas. Analogikan kepada Sewa-beli pada leasing?
Jika cara berpikir kita atau ulama masa lampau (berijtihad) dalam kasus ini,
sempit, dan mencocok-cocokkan saja konsep “baru” ini dengan jual beli atau rahn atau
akad-akad yang lain, maka jual beli bisa mengandung gharar, karena tidak jelas apakah
akadnya jual beli atau rahn. Cara berijtihad seperti itu jelas tidak tepat, karena akad-
akad bentuk baru selalu muncul dalam masyarakat. Jadi akad tersebut tidak harus sama
dengan jual beli murni atau rahn murni atau juga ijarah murni.
Kasus munculnya akad bentuk baru saat ini antara lain adalah sewa-beli (lease
and purchase) dalam lembaga leasing. Adiwarman Karim dalam buku Bank Islam,
memandangnya gharar dan haram, karena akadnya tidak jelas apakah sewa atau jual beli
dan proses kepemilikan menjadi kabur. Ijtihad seperti itu dikarenakan metodenya
mencocok-cocokkan suatu akad baru dengan akad-akad fiqh klasik. Ketika di dalamnya
terdapat ketidakjelasan apakah jual beli atau sewa, maka lantas divonis gharar.
Dalam ijtihad di bidang muamalah diperlukan ilmu falsafah tasyri’ fil muamalah dan
ushul fiqh yang komprehensif. Padahal akad sewa beli (bay al-takjiri) tersebut adalah
bentuk akad baru, sebagai kombinasi ijarah dan jual beli.
Mengenai proses kepemilikan dan hak-hak yang melekat pada kontrak itu
disesuaikan dengan penjanjian para pihak. Misalnya jika terjadi kerusakan asset, dapat
disepakati, ditanggung oleh nasabah. Status kepemilikan asset dapat juga disepakati
dalam klausul akad. Bahwa asset tersebut tetap menjadi milik perusahaan leasing,
sepanjang masa pembayaran sewa belum lunas. Jika cicilan sewa telah lunas, maka
otomatis asset tersebut menjadi milik nasabah, tanpa membuat akad baru, tetapi cukup
dibunyikan pada akad pertama. Redaksinya bisa berbunyi, jika cicilan sewa telah lunas
dalam jangka waktu tertentu, maka asset tersebut menjadi milik nasabah dengan beli.
jika metode ijtihad seperti itu yang dilaksanakan, maka para ahli ekonomi islam, akan
kesulitan menemukan nama akad konsinyasi saat ini, apakah wakalah, wadiah atau
jual beli. Ketika tidak ada yang tepat, lalu dikatakan gharar. Metode seperti ini jelas
sangat tidak tepat. Jadi akadnya tidak murni jual beli atau wakalah atau wadi’ah. Tetapi
11
bisa gabungan antara berbagai akad. Jika disebut jual beli tidak tepat sepenuhnya,
karena barang bisa tidak jadi dibeli pedagang. Disebut titipan, ternyata barang tersebut
ditip untuk dijual. Disebutkan wakalah untuk menjual, ternyata kadang-kadang wakalah
untuk menjual tidak terlaksana. Jadi nama akadnya ya konsinyasi, sebuah bentuk baru
akad dalam kegiatan perdagangan. Demikian juga akad waralaba (franchising) yang
banyak diterapkan saat ini.
BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Bai` Wafa` adalah suatu transaksi (akad) jual-beli dimana penjual mengatakan
kepada pembeli ‘saya jual barang ini dengan cara saya berhutang kepadamu
yang hutangnya engkau berikan padaku dengan kesepakatan (janji) jika saya
telah melunasi hutang tersebut maka barang itu kembali jadi milikku lagi.’ (Al
Jurjani Ali bin Muhammad bin Ali, Kitab At Ta`rifaat, p. 69.)
Hukum Bay’ wafa’ menurut Ulama
o Hanafiyah membolehkannya dan beberapa negara telah mengakui/
memasukkannya dalam perundang-undangan perdata, seperti Turki Usmani
o Lebanon. Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah tidak setuju dengan kebolehan
bay’ wafa’.
Dasar atau dalil Syafiiyah dan Malikiyah ialah ada 2 :
1. Berpegang pada kaedah :
12
“Yang dipandang dalam akad-akad adalah maksud dan tujuan akad,
bukan lafaz formal”.
2. Dalil Sadd al-Zari’ah, yaitu untuk mencegah terjadinya riba
Jual beli dengan hak membeli kembali adalah jual-beli yang dilangsungkan
dengan syarat bahwa barang yang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh
penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah tiba
Aplikasi Bay’ wafa/ bay istighlal di Bank Islam
Tahap 1. Pemilik menjual rumahnya kepada bank dengan harga tertentu
Tahap 2. Bank menyewakan/mengontrakkan rumah yang dibeli itu kepada
pemilik tadi untuk jangka waktu tertentu.
Tahap 3. Setelah masa sewa/kontrak selesai, pemilik pertama akan membeli
kembali rumahnya dari bank.
Celah Profitabilitas Bank Islam:
1. Tingkat sewa pada jangka waktu tertentu
2. Harga rumah yang lebih tinggi pada saat berakhirnya akad.
Dari bay’ wafa ke bay’ istighlal
1. Pada perkembangan selanjutnya bay’ wafa berkembang menjadi bay’ Istighlal
2. Bay’ istighlal ini hampir sama dengan Bay’ Wafa’, namun pada Bay Istighlal,
benda yang dijual tersebut disewa kembali oleh penjual.
3.2 Saran
Makalah ini hanya sebagian kecil saja menguraikan tentang ‘Bai’ Wafa’’.
Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna banyak sekali kesalahan
dan kekurangan, baik dari segi penulisan maupun dari penyusunan. Hal ini
disebabkan karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Oleh karena itu, penyusaun
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca.
Akhirnya penyusun mengucapkan Alhamdulillah atas terselesaikannya makalah ini.
13
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Mustafa Edwin Nasution, Jangan Pinggirkan Studi Ekonomi Syariah, Republika
online, Senin, 07 Nopember 2005.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 4, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2007
Tulisan dan Slide Materi Bp. Agustianto
Bahan-bahan lainnya.
14