Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Fiqh Muamalah

Bai’ul Wafa’

DISUSUN OLEH :

 AL ILMI
 DEDE KOSASIH
 NOOR KHOLIK
 YUNITA D.W

DOSEN
ABDULLOH IMAM PANATAGAMA

MAHASISWA EKONOMI PERBANKAN SYARIAH


SEMESTER II STIE PURWAKARTA
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillahi Robbil’aalamin,
Dengan segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT, Yang Maha pengasih lagi
Maha penyayang, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta telah
memberikan kesabaran yang besar kepada kita semua, sehingga kita dapat bersyukur
kepadaNya Insya Allah apa yang diberikanNya menjadi barakah, ibadah dan lebih
mendekatkan kita kepada Allah SWT.
Makalah ini telah tersusun kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam
pembahasan dan penyusunan Makalah ini masih kurang sempurna, karena pengetahuan
dan pengalaman yang kami miliki masih sangat terbatas. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari rekan-rekan semua. Oleh
karena itu, kami tetap berharap semoga makalah ini berguna bagi kami khususnya dan
bagi pihak-pihak yang memerlukan agar dapat menambah pengetahuan.makalah ini
tidak akan selesai tanpa bantuan, bimbingan, dan semangat dari berbagai pihak.
Oleh karena itu dalam kesempatan ini pula kami menyampaikan terima kasih
kepada:
Allah SWT atas karuniaNya yang telah memberikan segala yang dibutuhkan oleh kami
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini, kedua Orang Tua, Dosen dan teman-teman
semua yang telah mensuport kami dalam belajar, untuk keseluruhan, kiranya tidak ada
balasan yang baik kecuali datangnya dari Allah SWT.
Akhirnya semoga makalah ini berguna sebagai informasi dan pengetahuan bagi
kepentingan kita semua.
Wassalammu’alaikum Wr. Wb

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2
BAB I 3
Pendahuluan 3
Latar Belakang 3
Rumusan Masalah 4
Tujuan Pembuatan Makalah 4
BAB II 5
 Definisi Bai Wafa’? 5
 Sejarah Bai’ Wafa 8
 Hukum Bai’ Wafa’ Menurut Ulama 8
 Ketentuan Bai' Al Wafa 9
 Aplikasi Bai’ Wafa/ Bay Istighlal Di Bank Islam 9
 Apakah Bai’ Wafa’ Tergolong Gharar ? 10
BAB III 12
Penutup 12
Kesimpulan 12
Saran 13
BAB IV 14
Daftar Pustaka 14

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah jual beli kredit dalam kajian disiplin ilmu fikih, agaknya tidak pernah menempati
posisi pembahasan yang mandiri, komprehensif dan integral.Oleh karena itu, wajar jika
dalam berbagai literatur tak satu pun yang mengungkapkan pengertian istilah tersebut
secara terminologi.
Meski demikian, Admin menganggap penting untuk mengemukakan pengertian istilah
ini, baik dari satu sisi literal maupun dalam konteks peristilahan fikih, tentu saja sebatas
kemampuan penulis. Hal ini diharapkan menjadi wacana awal dalam memahami
persoalan yang tengah kita bahas.
Kata al-bai’  adalah masdar dari kata kerja yang berarti lawan dari membeli atau
menyerahkan barang dan menerima harganya. Secara etimologi al-bai’ berarti menjual
dan membeli.
Defenisi al-bai’ secara terminologi sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq
adalah :
“Yang dimaksud dengan jual beli menurut syara’ adalah saling menukar harta dengan
harta secara suka sama suka, atau pemindahan hak milik dengan adanya penggantian
menurut cara yang dibolehkan”.

Selanjutnya, Wahbah al-Zuhaili memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan


jual beli disini adalah suatu akad (transaksi) yang terdiri dari ijab qabul”.
Dari definisi di atas, dapat dikemukakan beberapa hal tentang jual beli:
1. Jual beli adalah satu bagian muamalah berbentuk transaksi. 
2. Jual beli tersebut diwujudkan dengan ijab qabul. 
3. Jual beli yang dilaksanakan tersebut bertujuan atau dengan motif mencari
keuntungan.
Sedangkan pengertian kredit adalah sesuatu yang dibayar secara berangsur-angsur, baik
itu jual beli maupun dalam pinjam meminjam.

3
1.2 Rumusan Masalah
 Apa yang dimaksud bai wafa’?
 Bagaimana sejarah bay’ wafa
 Bagaimana hukum bay’ wafa’ menurut ulama
 Apa saja ketentuan bai' al wafa
 Bagaimana aplikasi bay’ wafa/ bay istighlal di bank islam
 Apakah bay’ wafa’ tergolong gharar ?

1.3 Tujuan Pembuatan Makalah


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh
dosen pembimbing mata kuliah Fiqih Mu’amalah.

4
BAB II
PEMBAHASAN

I. Definisi Jual Beli Wafa’


Bai` Wafa` adalah suatu transaksi (akad) jual-beli dimana penjual mengatakan
kepada pembeli ‘saya jual barang ini dengan cara saya berhutang kepadamu yang
hutangnya engkau berikan padaku dengan kesepakatan (janji) jika saya telah melunasi
hutang tersebut maka barang itu kembali jadi milikku lagi.’ (Al Jurjani Ali bin
Muhammad bin Ali, Kitab At Ta`rifaat, p. 69.)
Definisi Bay’ Wafa’ Menurut Kitab Fiqh Riba Dr.Abdul Azhim Jalaluddin Abu Zaid,
hlm 537.

‫أن يبيعه العين بألف مثال على أنه اذا رد عليه الثمن رد عليه العين المبيعة‬
Seseorang menjual sebuah benda seharga 1000 dengan syarat jika penjual itu
mengembalikan uangnya (harganya), maka pembeli tersebut mengembalikan benda
yang dibelinya itu kepada penjual semula. Menurut Ibnul `Abidin, Bay` Al Wafa`
adalah: Suatu akad dimana seorang yang membutuhkan uang menjual barang kepada
seseorang yang memiliki uang cash. Barang yang dijual tersebut tidak dapat dipindah-
pindah (real estate/property/‘iqar) dengan kesepakatan kapan ia dapat mengembalikan
harga barang tersebut maka ia dapat meminta kembali barang itu. (Ibnul `Abidin,
Raddul Muhtar, vol.iv/p.257)
 Adapun definisi jual beli wafa’ menurut beberapa pendapat sebagai
berikut :
• Definisi menurut Fiqh Sunnah
seorang yang membutuhkan uang menjual real estate/real property (barang yang tidak
dapat dipindah-pindahkan seperti; rumah) dengan kesepakatan jika ia dapat melunasi
(mengembalikan) harga tersebut maka ia dapat mengambil (memiliki) kembali barang
itu. ( Sayyid Sabiq, Fiqh As-sunnah, vol.iii / p.166 )

5
• Definisi Yakan Zuhdi : Bai` Wafa` adalah: Suatu akad jual beli yang mana pembeli
berkomitmen setelah sempurna akad bai` untuk mengembalikan barang yang dibelinya
kepada penjualnya sebagai ganti pengembalian harga barang tersebut. (Yakan Zuhdi,
`Aqdul Bai`, p.131)
• Definisi Majallah al-Ahkam al-’adliyah Turki Usmani :Bay’ al-wafa’ is a contract
whereby the owner of an estate (house or land) sells it, with a condition that he will
have it back once he returns its price to the buyer (See Articles 118 and 396-403 of
Majallat al-Ahkam al-Adliyah).
• Definisi Mustafa Ahmad Zarqa :Mustafa Ahmad Zarqa mendefinisilan, Bay wafa
ialah. “:Dua jual beli yang dilakukan oleh dua pihak yang dibarengi dengan syarat
bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu
yang ditentukan telah tiba”.
Tenggang waktu pembelian kembali dapat terjadi 1 tahun atau 2 tahun.
 Nama-nama Bay’ wafa
• Pada awal perkembangannya di Syiria, bay’ wafa’ disebut juga bay itha’ah
• Di Mesir dinamakan Bay al-Amanah
• Ulama Syafiiyah menyebutnya bay ‘uhdah dan bay ma’ad
• Ulama Hanabilah menyebutnya bay amanah
• Hanfiyah menyebutnya selain bay wafa, juga bay jaiz (artinya jual beli dibolehkan
karena bersih dari riba). Innu Abidin Radd al-Mukhtar, Jilid 4, hlm. 246.
 Asset (obyek akad) bay’ wafa’
Asset yang dijual dalam bay’ wafa’ biasanya rumah (property), sawah, kebun
(benda-benda ‘iqar = benda yang tidak bergerak). Misalnya, Ahmad membutuhkan uang
untuk suatu keperluan, maka ia menjual kebun kurmanya seluas 10 hektar kepada
seseorang dengan harga 500 dinar dalam waktu dua tahun. Keduanya sepakat, jika
waktu sudah berakhir, maka Ahmad membeli kembali kebun kurmanya seharga
penjualan semula, yaitu Rp 500 dinar. Oleh karena akad yang digunakan adalah akad
jual beli, maka pembeli boleh memanfaatkan (menikmati) hasil kebun tersebut,
sehingga kebun itu mendatangkan keuntungan baginya, Tetapi kebun tersebut tidak
boleh dijual kepada orang lain.
Berdasarkan konsep jual beli wafa tersebut, jelas bahwa bay wafa ini berbeda dengan
rahn (gadai), karena rahn adaah bentuk gadaian (jaminan hutang). Sementara barang
yang digadaikan tidak boleh dimanfaatkan murtahin (pemberi hutang/gadai), kecuali
jaminan itu berupa hewan tunggangan. Jika pemberi hutang memanfaatkan barang

6
tersebut, maka praktik itu tergolong riba, sesuai hadits Nab Saw. Setiap pinjaman di
mana pemberi hutang menarik manfaat dari hutang tersebut, maka ia termasuk riba.
Dalam bay’ wafa, status asset yang dijual bukanlah borg (gadaian), karena bay’ wafa
adalah bentuk jual beli, sehingga asset yang dibeli pembeli (buyer) menjadi miliknya,
makanya pembeli dengan bebas dapat memanfaatkannya dan menikmati hasilnya. hanya
ia tidak boleh menjual asset itu kepada orang lain. Hal ini disebut bay’ maushufah biz
zimmah, artinya, jual beli yang disifati dengan tanggungan menjual kembali kepada
penjual semula, yakni pembeli berkewajiban menjual kembali asset itu kepada penjual
semula.

 Perbedaan Bay wafa’ dengan gadai (rahn).


N Rahn Bay’ wafa
o
1 Pembeli tidak sepenuhnya Pembeli sepenuhnya memiliki barang
memiliki barang yang dibeli yang dibeli, tetapi mausufah biz zimmah
(tersifati dengan tanggungan)
2 Barang gadaian tidak boleh Barang yang sudah dibeli bebas
dimanfaatkan penerima dimanfaatkan pembeli selama jangka
gadai, kecuali hewan waktu yang disepakati
kenderaan dan atau izin
pemilik
3 Biaya yang diperlukan Biaya yang diperlukan untuk
untuk pemeliharaan barang pemeliharaan barang menjadi tanggung
gadaian menjadi tanggung jawab pembeli
jawab pemilik barang
4 Status asset tetap milik yang Status asset menjadi milik pembeli
menggadaikan selama jangka waktu yang disepakati
5 Jika barang gadaian rusak Jika barang rusak sedikit, akad tetap
menjadi tanggung jawab berlangsung, kecuali rusak parah atau
murtahin (penerima rusak total.
gadaian), baik rusak kecil
atau besar

 Persamaan Rahn dan Bay’ Wafa


No Persamaan

7
1 Kedua belah pihak sama-sama tidak boleh memindah tangankan barang
itu kepada pihak ketiga
2 Baik rahn maupun bay wafa, pihak I (penjual/penggadai) sama-sama
mendapatkan uang dengan menyerahkan barang
3 Jika terjadi kerusakan barang, maka kerusakan itu ditanggung murtahin
dan pembeli, kecuali yang rusak sedikit (sesuai ‘urf)
4 Ketika hutang (uang penjualan) dikembalikan kepada pembeli (pada saat
jatuh tempo) maka pembeli wajib memberikan barang kepada penjual
semula

 Manfaat bay’ wafa’


Menghindarkan masyarakat dari pinjaman riba dan Sebagai sarana tolong menolong
antara pemilik dana dengan orang yang memerlukan dana.

II. Sejarah Bay’ Wafa


Menurut Abu Zahroh, tokoh ulama Mesir kontemporer yang terkemuka, Bay’ wafa
sebagai praktik muamalat muncul di Asia Tengah (Bukhara dan Balkhan) pada
pertengahan abad kelima Hijriyah dan selanjutnya merambat ke Timur Tengah.
Menurut Mustafa Ahmad Zarqa, bay’ wafa baru mendapatkan justifikasi para ulama
Hanafi setelah bay wafa menjadi ‘urf dalam masyarakat Bukhara dan Balkhan, Jadi
proses penerimaaannya dalam hukum syariah memakan waktu cukup lama .
Munculnya bay’ wafa’ disebabkan oleh para pemilik modal tidak mau lagi memberikan
hutang kepada orang-orang yang memerlukan uang, jika mereka tidak mendapatkan
imbalan apapun. Hal ini menyulitkan masyarakat yang membutuhkan uang cash.
Kondisi ini mendesak mereka untuk menciptakan akad tersendiri, sehingga keperluan
masyarakat terpenuhi dan keinginan orang-orang pemilik dana pun terealisasi. Jalan
keluar yang mereka ciptakan adalah bay’ wafa’. (Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al-
Mazahib al-Islamiyah,Mesir dar al-Fikti al-’Araby, hlm. 243)
Menurut Anas Zarqo, transaksi bay’ wafa dibutuhkan masyarakat, karena dengan jual
beli ini, keperluan masyarakat yang membutuhkan uang terpenuhi, dan pada saat yang
sama mereka terhindar dari riba. Ulama Hanafiyah membolehkan wafa’ ini didasarkan
pada dalil istihsan ‘urfi, yakni istihsan karena praktik itu telah menjadi ‘urf dalam
masyarakat serta jual beli ini memang dibutuhkan masyarakat (hajiyat). Oleh karena
bay’ wafa telah menjadi urf dan diterima baik di tengah masyarakat, maka pemerintahan

8
Turki Usmani melalui Majallah Ahkam al-Adliyah, pada tahun 1876 M,
memamasukkan bay’ wafa dalam Kodifikasi Undang-Undang Turki tersebut.

III. Hukum Bay’ wafa’ menurut Ulama


Hanafiyah membolehkannya dan beberapa negara telah mengakui/ memasukkannya
dalam perundang-undangan perdata, seperti Turki Usmani dan Lebanon. Syafi’iyah,
Malikiyah dan Hanabilah tidak setuju dengan kebolehan bay’ wafa’.
Dasar atau dalil Syafiiyah dan Malikiyah ialah ada 2 :
1. Berpegang pada kaedah :
“Yang dipandang dalam akad-akad adalah maksud dan tujuan akad, bukan lapaz
formal”.
2. Dalil Sadd al-Zari’ah, yaitu untuk mencegah terjadinya riba
Jual beli dengan hak membeli kembali adalah jual-beli yang dilangsungkan dengan
syarat bahwa barang yang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila
tenggang waktu yang disepakati telah tiba

IV. Ketentuan bai' al  wafa’


 Dalam jual-beli yang bergantung pada hak penebusan, penjual dapat
mengembalikan uang seharga barang yang dijual dan menuntut barangnya
dikembalikan.
 Pembeli berkewajiban mengembalikan barang dan menuntut uangnya kembali
seharga barang itu.
 Barang dalam jual-beli yang bergantung pada hak penebusan, tidak boleh dijual
kepada pihak lain, baik oleh penjual maupun oleh pembeli, kecuali ada
kesepakatan di antara para pihak.

9
 Kerusakan  barang dalam jual-beli dengan hak penebusan adalah tanggung
jawab pihak yang menguasainya.
 Penjual dalam jual-beli dengan hak penebusan berhak untuk membeli kembali
atau tidak terhadap barang yang telah rusak.
 Hak membeli kembali dalam bai’ wafa dapat diwariskan.

V. Aplikasi Bai’ wafa’/ bay istighlal di Bank Islam


Tahap 1. Pemilik menjual rumahnya kepada bank dengan harga tertentu
Tahap 2. Bank menyewakan/mengontrakkan rumah yang dibeli itu kepada pemilik tadi
untuk jangka waktu tertentu.
Tahap 3. Setelah masa sewa/kontrak selesai, pemilik pertama akan membeli kembali
rumahnya dari bank.
Celah Profitabilitas Bank Islam:
1. Tingkat sewa pada jangka waktu tertentu
2. Harga rumah yang lebih tinggi pada saat berakhirnya akad.
Dari bay’ wafa ke bay’ istighlal
1. Pada perkembangan selanjutnya bay’ wafa berkembang menjadi bay’ Istighlal
2. Bay’ istighlal ini hampir sama dengan Bay’ Wafa’, namun pada Bay Istighlal, benda
yang dijual tersebut disewa kembali oleh penjual.
3. Bay’ Istighlal ini telah dicantumkan pada Kitab Undang-Undang Perdata Turki
(Majallah al-Ahkam al-’adliyah, pasal 119.
 Definisi Bay Istighlal

‫ع من‬ee‫تري ينتف‬ee‫بيع أي أن المش‬ee‫و هو أن تباع العين بيع الوفاء علي أن تستأجر البائع الم‬
‫المبيع باجارته للبائع نفسه‬
Yaitu barang dijual secara bay’ wafa, selanjutnya penjual menyewa kembali barang
tersebut. Artinya, pembeli mengambil manfaat dari barang tersebut dengan
menyewakannya kepada penjual sendiri (Kitab Fiqh Riba, Abdul Azhim Jalaluddin Abu
Zaid, Beirut Muassah ar-Risalah, 2004, hlm 540). ”This transaction of sale and
leaseback is similar to Bay’ al-wafa’ contract or bay’ al-istighlal which can be
considered as a form of Bay’ al-wafa’ contract, allowed by some fuqaha’, but not by
Majma’ al-Fiqh al-Islami in Jeddah in 1412AH (1992).

VI. Apakah bay’ wafa’ tergolong Gharar ?

10
Dari perspektif studi akad, kelihatannya pada bay wafa terdapat dua bentuk akad,
yakni jual beli dan gadai. Lalu apakah bay wafa ini tergolong gharar karena akadnya
tidak jelas, apakah jual beli atau rahn ? Praktik ini dibolehkan berdasarkan ‘urf dan
istihsan.
Akadnya bukan jual beli murni dan juga bukan rahn murni, tetapi kombinasi
keduanya. Bay wafa’ bukan gharar, tetapi sebuah kontrak baru yang hak/kewajiban para
pihak cukup jelas. Demikian pula status asset yang dijadikan obyek dalam kontrak ini
sangat jelas. Analogikan kepada Sewa-beli pada leasing?
Jika cara berpikir kita atau ulama masa lampau (berijtihad) dalam kasus ini,
sempit, dan mencocok-cocokkan saja konsep “baru” ini dengan jual beli atau rahn atau
akad-akad yang lain, maka jual beli bisa mengandung gharar, karena tidak jelas apakah
akadnya jual beli atau rahn. Cara berijtihad seperti itu jelas tidak tepat, karena akad-
akad bentuk baru selalu muncul dalam masyarakat. Jadi akad tersebut tidak harus sama
dengan jual beli murni atau rahn murni atau juga ijarah murni.
Kasus munculnya akad bentuk baru saat ini antara lain adalah sewa-beli (lease
and purchase) dalam lembaga leasing. Adiwarman Karim dalam buku Bank Islam,
memandangnya gharar dan haram, karena akadnya tidak jelas apakah sewa atau jual beli
dan proses kepemilikan menjadi kabur. Ijtihad seperti itu dikarenakan metodenya
mencocok-cocokkan suatu akad baru dengan akad-akad fiqh klasik. Ketika di dalamnya
terdapat ketidakjelasan apakah jual beli atau sewa, maka lantas divonis gharar.
Dalam ijtihad di bidang muamalah diperlukan ilmu falsafah tasyri’ fil muamalah dan
ushul fiqh yang komprehensif. Padahal akad sewa beli (bay al-takjiri) tersebut adalah
bentuk akad baru, sebagai kombinasi ijarah dan jual beli.
Mengenai proses kepemilikan dan hak-hak yang melekat pada kontrak itu
disesuaikan dengan penjanjian para pihak. Misalnya jika terjadi kerusakan asset, dapat
disepakati, ditanggung oleh nasabah. Status kepemilikan asset dapat juga disepakati
dalam klausul akad. Bahwa asset tersebut tetap menjadi milik perusahaan leasing,
sepanjang masa pembayaran sewa belum lunas. Jika cicilan sewa telah lunas, maka
otomatis asset tersebut menjadi milik nasabah, tanpa membuat akad baru, tetapi cukup
dibunyikan pada akad pertama. Redaksinya bisa berbunyi, jika cicilan sewa telah lunas
dalam jangka waktu tertentu, maka asset tersebut menjadi milik nasabah dengan beli.
jika metode ijtihad seperti itu yang dilaksanakan, maka para ahli ekonomi islam, akan
kesulitan menemukan nama akad konsinyasi saat ini, apakah wakalah, wadiah atau
jual beli. Ketika tidak ada yang tepat, lalu dikatakan gharar. Metode seperti ini jelas
sangat tidak tepat. Jadi akadnya tidak murni jual beli atau wakalah atau wadi’ah. Tetapi

11
bisa gabungan antara berbagai akad. Jika disebut jual beli tidak tepat sepenuhnya,
karena barang bisa tidak jadi dibeli pedagang. Disebut titipan, ternyata barang tersebut
ditip untuk dijual. Disebutkan wakalah untuk menjual, ternyata kadang-kadang wakalah
untuk menjual tidak terlaksana. Jadi nama akadnya ya konsinyasi, sebuah bentuk baru
akad dalam kegiatan perdagangan. Demikian juga akad waralaba (franchising) yang
banyak diterapkan saat ini.

BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
 Bai` Wafa` adalah suatu transaksi (akad) jual-beli dimana penjual mengatakan
kepada pembeli ‘saya jual barang ini dengan cara saya berhutang kepadamu
yang hutangnya engkau berikan padaku dengan kesepakatan (janji) jika saya
telah melunasi hutang tersebut maka barang itu kembali jadi milikku lagi.’ (Al
Jurjani Ali bin Muhammad bin Ali, Kitab At Ta`rifaat, p. 69.)
 Hukum Bay’ wafa’ menurut Ulama
o Hanafiyah membolehkannya dan beberapa negara telah mengakui/
memasukkannya dalam perundang-undangan perdata, seperti Turki Usmani
o Lebanon. Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah tidak setuju dengan kebolehan
bay’ wafa’.
Dasar atau dalil Syafiiyah dan Malikiyah ialah ada 2 :
1. Berpegang pada kaedah :

12
“Yang dipandang dalam akad-akad adalah maksud dan tujuan akad,
bukan lafaz formal”.
2. Dalil Sadd al-Zari’ah, yaitu untuk mencegah terjadinya riba
Jual beli dengan hak membeli kembali adalah jual-beli yang dilangsungkan
dengan syarat bahwa barang yang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh
penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah tiba
 Aplikasi Bay’ wafa/ bay istighlal di Bank Islam
Tahap 1. Pemilik menjual rumahnya kepada bank dengan harga tertentu
Tahap 2. Bank menyewakan/mengontrakkan rumah yang dibeli itu kepada
pemilik tadi untuk jangka waktu tertentu.
Tahap 3. Setelah masa sewa/kontrak selesai, pemilik pertama akan membeli
kembali rumahnya dari bank.
Celah Profitabilitas Bank Islam:
1. Tingkat sewa pada jangka waktu tertentu
2. Harga rumah yang lebih tinggi pada saat berakhirnya akad.
Dari bay’ wafa ke bay’ istighlal
1. Pada perkembangan selanjutnya bay’ wafa berkembang menjadi bay’ Istighlal
2. Bay’ istighlal ini hampir sama dengan Bay’ Wafa’, namun pada Bay Istighlal,
benda yang dijual tersebut disewa kembali oleh penjual.

3.2 Saran
Makalah ini hanya sebagian kecil saja menguraikan tentang ‘Bai’ Wafa’’.
Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna banyak sekali kesalahan
dan kekurangan, baik dari segi penulisan maupun dari penyusunan. Hal ini
disebabkan karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Oleh karena itu, penyusaun
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca.
Akhirnya penyusun mengucapkan Alhamdulillah atas terselesaikannya makalah ini.

13
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
 Mustafa Edwin Nasution, Jangan Pinggirkan Studi Ekonomi Syariah, Republika
online, Senin, 07 Nopember 2005.
 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 4, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
 Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2007
 Tulisan dan Slide Materi Bp. Agustianto
 Bahan-bahan lainnya.

14

Anda mungkin juga menyukai