Anda di halaman 1dari 15

SUMBER-SUMBER KEUANGAN NEGARA DALAM

ISLAM (ZISWAF)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: Perpajakan dalam Islam

Dosen Pengampu: Hafidhah, S.E., M.Si, Ak. CA

Oleh:

1. Annisa Rahma Hidaya (190602132)


2. Ismail (190602111)
3. T. Hafidh Abrar (190602089)
4. Gita Rezki Ramadhani (190602068)
5. Al Faiq Fawwaz Raihan (190602094)

JURUSAN EKONOMI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY BANDA ACEH
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Sumber-Sumber Keuangan Negara
Dalam Islam (Ziswaf)” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas dosen pada mata kuliah “Perpajakan dalam Islam”. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang sumber-sumber keuangan negara
dalam islam (ziswaf) bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Hafidhah, S.E., M.Si, Ak. CA, selaku dosen
mata kuliah perpajakan dalam islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan membantu dalam pengerjaan
makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah yang
kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Banda Aceh, 07 Oktober 2021

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................................ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ iii
BAB I .................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................................1
A. Latar Belakang ........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................1
C. Tujuan ....................................................................................................................................1
BAB II ................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN ...................................................................................................................................2
A. Sumber-Sumber Pendapatan Negara Islam ..............................................................................2
B. Sumber-sumber pengeluaran negara islam ..............................................................................4
C. Kebijakan diambil oleh Rasul dan khalifah untuk mengelola keuangan negara .........................5
D. Progresif Sumber Keuangan Islam di Era Modern .....................................................................9
BAB III ............................................................................................................................................. 11
KESIMPULAN ................................................................................................................................... 11
A. Kesimpulan ........................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai alat negara tentunya harus mampu menerapkan sistem pengelolaan
keuangan secara islami, agar supaya terjadi keseimbangan antara pemilikan perorangan,
kelompok dan masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai keseimbangan
kepemilikan dalam suatu Negara. Menciptakan keseimbangan sosial, ekonomi untuk
mencegah kecemburuan sosial dalam suatu masyarakat atau negara. Untuk itu, sebuah
Negara harus mampu menciptakan sumber-sumber kuangan rakyat melalu berbagai aspek,
termasuk pengelolaan sumber keuangan sosial keagamaan.
Islam sebagai agama merupakan sumber segala-galanya, baik yang terkait dengan
masalah akidah maupun yang terkait dengan masalah muamalah yang meliputi bidang
ekonomi, politik, sosial, budaya dan lain-lainnya. Islam sebagai agama, harus mampu
memberikan kontribuis dalam mengatur dan menetapan sumber keuangan yang baik,
dalam menjamin kesejateraan penganutnya. Tentunya sumber-sumber kesejahteraan harus
diperoleh dengan jalan yang baik sesuai dengan syariat Islam. Kebijakan Negara harus
tetap dilakukan demi mencapai kesejahteraan secara merata. Oleh karena itu, dapat
dirumuskan bahwa Negara Islam dan sumber-sumber keuangannya sebagai suatu kesatuan
yang tidak terpisahkan harus melakukan inovasi disetiap zaman.1

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja sumber-sumber pendapatan negara islam?
2. Apa saja sumber-sumber pengeluaran negara islam?
3. Bagaimana kebijakan diambil oleh Rasul dan khalifah untuk mengelola keuangan
negara?
4. Bagaimana progresif Sumber Keuangan Islam di Era Modern?

C. Tujuan
1. Menjelaskan sumber-sumber pendapatan negara islam?
2. Menjelaskan sumber-sumber pengeluaran negara islam?
3. Menjelaskan kebijakan diambil oleh Rasul dan khalifah untuk mengelola keuangan
negara?
4. Menjelaskan progresif Sumber Keuangan Islam di Era Modern?

1
Asmawati Asmawati, ‘Progresif Sumber Keuangan Islam Di Era Klasik Dan Modern’, Al-Bayyinah, 3.2 (2019), 204–
19 <https://doi.org/10.35673/al-bayyinah.v3i2.493>.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sumber-Sumber Pendapatan Negara Islam


ZISWAF merupakan instrument pendapatan negara pada masa modern ini, berikut
pengertian dari ZISWAF:
1. Zakat
Zakat secara bahasa dari kata “zakkaan” yang berarti kesuburan, kesucian,
keberkahan, dan kebaikan. Zakat juga mempunyai makna lain yaitu al-barakah
(keberkahan), an-naam (pertumbuhan dan perkembangan), dan at-thaharah (kesucian)
(Wahyuddin, 2006: 21). Dalam pasal 1 Undang-Undang RI No.23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat. Zakat merupakan harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang
muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai
dengan syariat Islam.2
Zakat itu tebagi dua yaitu zakat fitrah dan zakat mal. Zakat mal adalah harta yang
wajib dikeluarkan umat Islam ketika sudah mencapai haul dan nisab.Zakat fitrah adalah
zakat yang wajib dikeluarkan umat muslim pada bulan ramadhan sampai menjelang
idul fitri yang bertujuan untuk mensucikan diri dari perbuatan dosa. Sedatkan zakat mal
zakat Abu Ubaid mengungkapkan ketentuan yang disepakati (tidak adaikhtilaf),
yaiyang wajib dikeluarkan umat muslim ketika sudah mencapi halu dan nisab. apabila
seseorang memiliki harta yang wajib dizakati diantaranya 200 dirham, 20 dinar, 5 ekor
unta, 30 ekor sapi, atau 40 ekor kambing.3
2. Infaq
Infaq menurut bahasa berasal dari kata “infaaqan” yang berarti mengeluarkan
sesuatu (harta). Menurut Kamus Bahasa Indonesia, infaq adalah Pemberian
(sumbangan) harta dan sebagainya (selain zakat wajib) untuk kebaikan (Depdikbud,
2005:330). infaq merupakan pengeluaran harta dengan sukarela tanpa ditentukan batas
waktu, jadi dapat kapan saja dan berapa saja. Perbedaan dengan zakat hanya dinilai dari
waktu pengeluarannya.
3. Sedekah
Sedekah menurut bahasa bersal dari kata “shadaqa” yang berarti benar. Menurut
(Al-Qardhawi, 1991: 39) bahwa shodaqoh itu berarti bukti kebenaran iman dan
membenarkan adanya hari kiamat. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, sedekah berarti
derma kepada orang miskin dan sebagainya (berdasarkan cinta kasih kepada manusia
(Depdikbud, 2005: 792). Dalam istilah syari’at Islam, sedekah mempunyai pengertian
yang sama dengan infaq, namun perbedaannya terletak pada bendanya. Infaq berkaitan

2
Shanty Tyas Paramita, ‘Implementasi Fungsi Actuating Dalam Pendayagunaan Dana Zakat Infaq Shodaqoh Dan
Wakaf (Ziswaf) Di Rumah Zakat Cabang Semarang’, 2018, 1–84 <http://eprints.walisongo.ac.id/8775/>.
3
Tina arfah Arfah, ‘Keuangan Publik Dalam Perspektif Ekonomi Islam’, Jurnal Islamika, 3.2 (2020), 24–35
<https://doi.org/10.37859/jsi.v3i2.2121>.

2
dengan materi, sedangkan sedekah berkaitan dengan materi dan non materi. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa sedekah merupakan amal kebaikan yang dilakukan
setiap muslim untuk mewujudkan kesejahteraan antar manusia.
4. Wakaf
Wakaf secara bahasa berasal dari kata waqafa-yaqifu yang artinya berhenti.
Perkataan wakaf juga dikenal dalam istilah ilmu tajwid yang bermakna menghentikan
bacaan, baik seterusnya maupun untuk mengambil nafas sementara. Bahkan wakaf
dengan makna berdiam ditempat juga dikaitkan dengan wukuf, yakni berdiam di
Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah ketika menunaikan ibadahh Haji (Wadjdy dan
Mursyid, 2007: 29). Menurut UU RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, istilah wakaf
merupakan perbuatan hukum waqif (orang yang memberi wakaf) untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.4
Pada masa ekonomi islam klasik yakni pada masa perekonomian Rasulullah SAW dan
sahabat terdapat instrumen lain dari pendapatan selain ZISWAF negara yakni sebagai
berikut:
1. Ghanimah
Ghanimah merupakan pendapatan negara yang didapatkan dari hasil
kemenangan dalam peperangan. Distribusi hasil ghanimah secara khusus diatur
langsung dalam Al-quran surah al-Anfal ayat 41. empat perlima dibagi kepada para
prajurit yang ikut dalam perang, sedangkan seperlimanya sendiri diberikan kepada
Allah, Rasul-Nya, karib kerabat Nabi, anak-anak yatim, kaum miskin dan ibnu sabil.
Dalam konteks perekonomian modern, pos penerimaan ini boleh saja menggolongkan
barang sitaan akibat pelanggaran hukum antar negara sebagai barang ghanimah.
2. Khumus
Khumus atau seperlima bagian dari pendapat ghanîmah akibat ekspedisi militer
yang dibenarkan oleh syariah, dan kemudian oleh negara dapat digunakan sebagai
biaya pembangunan. Ulama Syiah mengatakan bahwa sumber pendapatan apa pun
harus dikenakan khumus sebesar 20%. Sedangkan ulama sunni, beranggapan bahwa
ayat ini hanya berlaku untuk harta rampasan perang saja. ‘Uman Abu 'Ubayd
menyatakan bahwa yang dimaksud khumus itu bukan hasil perang saja, tapi juga
barang temuan dan barang tambang. Dengan demkian, di kalangan ulama sunni ada
sedikit perkembangan dan memaknai khumus.5
3. Fay
Fay adalah sama dengan ghanimah. Namun bedanya, ghanimah diperoleh setelah
menang dalam peperangan. Sedangkan, fay tidak dengan pertumpahan darah. Menurut
Muhammad Nejatullah Siddiqi, harta fayadalah pendapatan negara selain dari zakat.
Jadi termasuk di dalamnya: kharaj, jizyah, ghanimah, ‘usyur, dan pendapatan-

4
Paramita.
5
Muhammad Fudhail Rahman, ‘Sumber-Sumber Pendapatan Dan Pengeluaran Negara Islam’, Al-Iqtishad: Journal
of Islamic Economics, 5.2 (2015) <https://doi.org/10.15408/aiq.v5i2.2567>.

3
pendapatan dari usaha komersil pemerintah. Definisi ini lebih mempertimbangkan
kondisi ekonomi kontemporer saat ini yang strukturnya cukup berbeda dengan keadaan
pada masa Rasulullah.
4. Jizyah
Jizyah merupakan pajak yang hanya diberlakukan bagi warga negara non-
Muslim yang mampu. Bagi yang tidak mampu seperti mereka yang sudah uzur, cacat,
dan mereka yang memiliki kendala dalam ekonomi akan terbebas dari kewajiban ini.
Bahkan untuk kasus tertentu, negara harus memenuhi kebuhhuhan pendiudik bukan
Muslim tersebut akibat ketidak mampuan mereka memenuhi kebutuhan minimalnya,
sepanjang penduduk tersebut rela dalam pemerintahan Islam. Hal ini berkaitan erat
dengan fungsi pertama dari negara. Jadi pemenuhan kebutuhan tidak terbatas hanya
kepada penduduk Muslim saja.
5. Kharaj
Kharaj adalah pajak terhadap tanah, yang bila dikonversi ke Indonesia, ia dikenal
sebagai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Oleh karena itu, perbedaan mendasar antara
sistem kharâj dan sistem PBB adalah kharaj ditentukan berdasarkan tingkat kesuburan
produktivitas dari tanah (land productivity), dan bukan berdasarkan zona sebagaimana
dalam aturan sistem PBB (zona strategi). Hal ini bisa jadi dalam sistem kharaj, tanah
yang bersebelahan, yang satu ditanami buah kurma dan tanah lainnya ditanami buah
anggur, mereka harus membayar kharaj yang berbeda. Kharaj ini dibayarkan oleh
seluruh anggota masyarakat baik orang-orang Muslim maupun orang-orang non-
Muslim.6

B. Sumber-sumber pengeluaran negara islam


Dalam pos pengeluaran negara, tentu saja sangat dipengaruhi oleh fungsi negara
Islam itu sendiri. Sesuai dengan fungsinya, maka alokasi dana hendaknya meliputi
kesejahteraan sosial, pendidikan dan penelitian, infrastruktur, pertahanan dan keamanan,
dakwah Islam, dan lain-lain. Ada hal-hal tertentu yang perlu dipahami di negara Islam
terkait dengan pemasukan dan pengeluaran anggaran. Khususnya pada pengeluaran, ada
kekhususan atau karakteristik tersendiri terkait dengan pengeluaran. Karakteristik tersebut
sangat menonjol pada perhatian yang besar pada belanja atau pengeluaran bagi masyarakat
yang tidak mampu. Alokasi dengan dasar ketikdakmampuan menjadi barometer yang
cukup membedakannya dengan sistem belanja pada ekonomi konvensional. Di
konvensioanl, terlihat jelas ketergantungan perekonomian terhadap mekanisme pasar
begitu dominan. Bahkan sudah menjadi suatu idiologi bahwa penyerahan perekonomian
pada pasar akan berakhir pada kesejahteraan rakyat.
Karakteristik dalam sistem Islam, paling tidak dapat dibagi dua. Yaitu, karakateristik
pengeluaran terikat dan pengeluaran yang tidak terikat. Pengeluaran yang terikat adalah di
mana distribusi pengeluaran dari penerimaan dialokasikan hanya kepada objek tertentu.
Misalnya: zakat, khumus, dan wakaf. Pada pos zakat, akumulasi dana yang terhimpun tidak
dibenarkan oleh syariat untuk dipergunakan selain kepada delapan golongan mausia yang

6
Rahman.

4
berhak atas zakat, atau yang dikenal dengan mustahiq. Sementara, pengeluaran tidak
terikat, sesuai kondisi dan kebutuhan.
Muhammad Nejatullah Siddiqi, berpendapat bahwa besar subjek pembelanjaan
publik oleh suatu negara yang menerapkan ekonomi Islam tidaklah tetap. Hal ini berkaitan
dengan fungsi negara yang bersifat fungsional. Siddiqi menjelaskan karakterisitik belanja
publik sesuai dengan tiga macam fungsi negara. Pertama, fungsi negara berdasarkan
syariah yang bersifat permanen. Kedua, berdasarkan turunan syariah yang ditentukan oleh
ijtihad dengan melihat keadaan pada saat itu. Ketiga, fungsi negara pada satu waku dan
keadaaan berdasarkan kemauan masyarakat melalui sebuah keputusan syura.
C. Kebijakan diambil oleh Rasul dan khalifah untuk mengelola keuangan negara
1. Rasulullah SAW
Negara Islam (al-Daulah al-Islamiyah) terbentuk ketika Nabi Saw hijrah ke
Madinah. Pada masa awal, Muhammad Saw memberikan penekanan pada kebijakan
politiknya pada beberapa hal: membangun masjid, merehabilitasi muhijirin makkah di
madinah, menciptakan kedamaian dalam negara, mengeluarkan hak-hak dan kewajiban
warga negara, membuat konstitusi negara, menyusun pemerintah madinah, meletakan
dasar-dasar keuangan negara. Muhammad Saw meletakan kebijakan keuangan negara
setelah infrastruktur sosial dan politik terbangun dengan baik dan kokoh. Setelah
terciptanya stabilitas sosial ekonomi dan politik umat, baru kemudian Muhammad Saw
menetapkan kebijakan keuangan negara melalui sumber pemasukan dan pengeluaran
negara Madinah saat itu.
Pos pendapatan dan Pengeluaran negara di masa Muhammad Saw meliputi :
zakat, Harta hasil penaklukan wilayah baru oleh islam jenis harta ini ada dua: ghanimah
dan fai, jizyah, harta umum yaitu harta-harta yang diserahkan kepada baitul mal, seperti
sisa hasil rampasan perang yang telah dibagi, harta-harta yang diberikan Rasululah (
pembagian ghanimah untuk Rasul) untuk diproduk tifkan, dan lahan-lahan yang tak
bertuan dan belum dikelola secara produktif sangat dianjurkan Islam untuk digarap.
Semua sumber pemasukan keuangan negara di atas disimpan di baitul mal (kas
negara). Baitul Mal merupakan intitusi yang memiliki wewenang untuk menyimpan
pemasukan sebelum dibelanjakan untuk kepentingan negara Islam sesuai kebijakan
Muhammad Saw. Namun tidak semuanya dapat menutupi pembiayaan negara. Untuk
itu ada beberapa langkah yang diambil Rasul untuk menutupi pembiayaan negara:
 Meminta bantuan dari kaum muslimin sehingga berbagai kebutuhan dapat
terpenuhi.
 Miminjam peralatan non muslim dengan jaminan pengembalian dengan memberi
ganti rugi atas peralatan yang rusak tanpa membayar sewa atas penggunaannya
 Meminjam uang dari orang-orang tertentu.
 Menerapkan kebijakan insentif guna menjaga pengeluaran serta untuk meng-
antisipasi kerja dan produktifitas masyarakat muslim. Melalui kebijakan
terakhirnya, Rasul Saw memberikan apresiasi kepada orang yang bekerja,
beraktivitas, serta menafkahi keluarga dan mencela pengangguran.

5
Keseluruhan pos pemasukan dan pengeluaran negara di masa Rasul tidak dapat
dikalkusikan secara pasti. Selain disebabkan oleh tidak tercatatnya jumlah penerimaan
dan pengeluaran negara dengan rapi dan baik, juga disebabkan oleh:
 Jumlah orang Islam yang bisa membaca menulis sedikit dan jumlah orang yang
kenal dengan aritmatika sederhana sangat sedikiti sekali.
 Sebagian besar bukti pembayaran dibuat dalam bentuk yang sederhana baik yang
didistribusikan maupun yang diterima.
 Sebagian zakat hanya didistribusikan secara lokal
 Bukit-bukti penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda tidak umum digunakan.
 Pada kebanyakan kasus, ghanimah digunakan dan didistribusikan setelah terjadi
perperangan tertentu.
2. Abu Bakar As-Shiddiq (11-13H/632-634M)
Abu Bakar merupakan khalifah pertama dipilih dan dibait oleh sabahat. Setelah
pemilihan, beliau menyampaikan pidato kenegaraan yang pertama di mesjid Nabawi.
Pidato Abu Bakar tersebut berisikan, pertama, adanya kontrak sosial antara penguasa
dengan rakyatnya, kedua, rakyat perlu diminta melakukan kontrol sosial (social
control) terhadap pemimpinnya, ketiga, komitmen atau tekad seorang penguasa untuk
menegakkan keadilan dan HAM di kalangan masyarakatnya, keempat, seruan untuk
membela negara atau jihad dan terakhir, imbauan untuk jangan melupakan shalat
sebagai syarat mendapatkan keberkatan dari Allah. Isi pidato ini mencerminkan visi
dan misi pemerintahannya dan sekaligus menjadi basis dari setiap kebijakan yang
dikeluarkannya termasuk kebijakan keuangan negara.
Dalam kebijakan pemungutan zakat, Abu Bakar memiliki sikap tegas dan keras.
Beliau langsung memerangi para pemberontak dan pembangkang yang enggan
membayar zakat. Sikap tegas dan keras Abu Bakar ini dilatarbelakangi oleh
pandangannya terhadap kewajiban zakat. Kewajiban zakat merupakan simbol
penyatuan dan pengakuan suku-suku Arab terhadap kekuasaan Islam. Orang yang
enggan membayar zakat berarti menjadi pembakang. Setiap pembangkangan
konsekuensinya berhadapan dengan kekuasaan. Selain berdasarkan pandangan
tersebut, sikap keras Abu Bakar ini juga untuk mengantisipasi supaya jangan terjadi
gangguan politik yang lebih kuat lagi. Untuk itu, beliau langsung memerangi para
pemberontak dan pembangkang yang enggan membayar zakat.
Pos pemasukan keuangan negara di masa khalifah Abu Bakar selain dari zakat,
juga berasal dari shadakah, infak ghanimah, jizyah, dan kharaj. Pengelolaan dari
sumber-sumber ini tak jauh berbeda dengan kebijakan Rasulullah, sebagai kepala
negara sebelumnya. Hanya saja di masa Abu Bakar, peran Baitul Maal lebih
dikembangkan sebagai tempat pengumpulan harta yang diperoleh dari sumber-sumber
pemasukan keuangan negara. Untuk menjalankan operasional Baitul Maal, Abu Bakar
menunjuk dan mempercayakan kepada beberapa sahabat yang bertanggungjawab dan

6
bertugas mengelola pemasukan negara. Salah seorang sahabat yang diberi tugas
tersebut adalah Abu ‘Ubaidah.7
3. Umar Bin Khattab
Seperti pendahulunya, Umar bin Chattab begitu terpilih menjadi khalifah
langsung menyampaikan pidato kenegaraan. Pidato itu salah satunya memuat
kebijakan ekonomi yang menekankan soal pengelolaan aset-aset kekayaan negara
secara benar menurut ketentuan yang berlaku dan mengunakannya untuk kemakmuran
masyarakat Islam. Ada dua poin penting yang menjadi dasar Umar dalam pengelolaan
keuangan negara. Pertama, harta kekayaan negara diperoleh melalui cara benar, dan
kemudian didistribusikan kepada rakyat sesuai haknya. Harta yang dididstribusikan
tersebut diharapkan dapat mencegah tindakan kekerasan dan kebathilan dalam
masyarakat. Kedua, dalam mengurus dan mengelolaan harta kekayaan negara, Umar
sangat berhati-hati. Umar memisahkan mana yang harta kekayaan yang menjadi
haknya dan mana yang merupakan hak rakyat. Harta negara tidak dicampurkan dengan
harta pribadi dan sebaliknya. Pemasukan negara di era Umar meliputi zakat, khumus,
ghanimah, jizyah, kharaj, usyr (pajak pardagangan).
Setelah dikumpulan pendataan negara dari sumber, zakat, ghanimah, kharaj,
jizyah, ‘usyr dan hima di baitul mal maka Umar sebagai khalifah mengeluarkan
kebijakan pendistribusian. Khusus zakat, Umar mengambil sebuah langkah yang
mengundang banyak polemik yaitu tidak memberikan zakat kepada para muallaf,
sebagaimana ditetapkan dalam al-Quran dan hadist. Alasan Umar adalah pemberian
zakat kepada muallaf berfungsi untuk menjinakkan, menumbuhkan rasa simpatik dan
menghilangkan keraguan mereka pada Islam tidak diperlukan lagi, karena Islam telah
kuat seiring dengan luasanya wilayah kekuasaan Islam. Disamping itu, pemasukan dari
zakat juga didistribusikan Umar untuk biaya tebusan tentara Islam yang menjadi
tawanan perang musuh. Pendapatan dari ghanimah, kharaj, jizyah, ‘usyr dan hima
didistribusikan untuk, pembangunan fasilitas umum, seperti, perluasan masjidil Haram
dan Nabawi, mengangkat dan mengaji perangkat negara, pelayanan publik (umum),
kesejahteraan bagi orang jompo, pembelian peralatan perang, pengantian kain kelambu
Ka’bah (kiswah), lampu perangan mesjid, pengalian teluk mulai sungai Nil dan laut
Merah, pembangunan dua kota baru (Basrah dan Kuffah).
4. Usman Bin Affan
Pemerintahan Islam pada awal kepemimpinan Usman berjalan lancar. Usman
lebih banyak melanjutkan beberapa kebijakan politik dan ekonomi khalifah Umar bin
khattab. Pada masa selanjutnya, pemerintah Usman menghadapi beberapa gejolak
dalam negeri yang dipicu oleh sikap nepotisme Usman dalam mengangkat perangkat
negara dan menetapkan kebijakan ekonomi. Dalam pengangkatan gubernur, Usman
memberhentikan para gubernur yang diangkat di masa khalifah Umar dan kemudian
mengangkat orang-orang dekatnya. Selain mengangkat gubernur dari kalangan orang
dekatnya, Usman juga mengangkat beberapa pejabat penting kenegaraan, seperti Jabi

7
Asyari, ‘Melacak Sumber-Sumber Pendapatan Dan Pengeluaran Negara’, Keuangan Negara Dalam Islam, 10.1
(2009), 1–19.

7
bin Umar al-Mazni, sebagai petugas pajak di Kuffah, dan ‘Uqbah bin Umar petugas
baitul mal.
Meskipun roda pemerintahan Islam di masa Usman berjalan beberapa tahun saja,
namun dapat dicatat beberapa hal penting yang berhubungan dengan kebijakan
ekonomi khalifah Usman. Kebijakan ekonomi tersebut terdiri dari pengelolaan sumber
pendapatan keuangan negara seperti; zakat, harta waris yang tidak ada ahli warisnya,
ghanimah, jizyah, kharaj dan ‘usyur tijarah didistribusikan untuk belanja operasional
pemerintahan dan angkatan perang atau untuk pertahanan negara Islam. Biaya
operasional pemerintahan yang meliputi gaji para pejabat, biaya pembangunan gedung
pemerintahan, biaya admistrasi kenegaraan, tunjangan para pensiunan, gaji dan
tunjangan para gubernur di daerah-daerah, pembangunan fasilitas umum (mesjid dan
bendungan irigasi). Untuk angkatan perang, dialokasikan pada pembelian dan
pemeliharaan alat-alat perang.
5. Ali Bin Abi Thalib
Pada awal pemerintahan Ali, kondisi sosial kacau dan “suhu” politik dalam
negeri memanas. Hal ini disebabkan oleh kondisi tragis kematian Usman dan pecahnya
umat Islam ke dalam beberapa kelompok serta adanya kecurigaan orang dekat atau
kerabat Usman bahwa Ali merupakan aktor di belakang layar wafatnya Usman.
Klimaks dari persoalan ini terjadi berbagai perseteruan politik, pemberontakan dan
perang saudara, seperti perang jamal dan siffin. Jadi Ali menjalankan roda
pemerintahan di tengah kekacauan sosial dan memanasnya “suhu” politik. Tidak
banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Ali yang memberi kontribusi positif
terhadap perbaikan kehidupan sosial dan politik dalam negeri secara khusus dan umat
Islam umat umumnya.
Para ahli sejarah tidak banyak mengekspos kemajuan-kemajuan yang dicapai di
masa pemerintah Ali. Mayoritas penulis sejarah mengemukakan bahwa kekacauan
dalam negeri yang terjadi pada pemerintahan Ali, membuat ‘nyaris’ tidak ada kebijakan
yang luar biasa yang patut diabadikan dalam buku sejarah. Namun demikian, berikut
ini dikemukakan beberapa kebijakan politik dan ekonomi yang ada di masa Ali:
 Memecat kepala-kepala pemerintahan yang diangkat Usman, dan diangkat kepala–
kepala pemerintahan yang baru. Namun para kepala pemerintahan yang baru ini
tidak diizinkan untuk memasuki daerah tugasnya.
 Mengambil kembali tanah-tanah serta hibah yang telah diberikan dan dibagi-
bagikan Usman kepada para famili dan kerabat dekat dengan jalan ilegal.
 Memasukan kepenjara salah seorang pembantunya akibat menggelapkan uang
negara.
 Menarik diri sebagai penerima bantuan dana dari baitul mal
 Memberikan bantuan dana ke baitul mal sebesar 5.000,- dirham
 Memerintahkan kepada para pembantunya di daerah untuk menegakan keadilan
dan tidak mengecewakan rakyat.
 Melawan korupsi dan tindakan penindasan serta mengontrol pasar dalam tindak
penimbunan barang dan pasar gelap.

8
Terlepas dari dasar kebijakan dalam mengelola sumber-sumber dan pengeluaran
keuangan negara, namun dalam priode Rasul dan Sahabat terdapat kesamaan prinsip
yang dipegang:
 Tidak melakukan pengambilan kewajiban secara paksa sekaligun bagi orang kaya
 Muslim dan non-muslim diberlakukan sama secara adil tidak diskriminatif.
Kewajiban dikenakan kepada mereka secara proporsional terhadap manfaat yang
diterima pembayar.
 Berbagai pungutan tidak dipungut berdasarkan sumber daya/input yang digunakan,
melainkan atas hasil usaha
Sementara prinsip dalam pengeluaran adalah:
 Zakat dioalaksikan berdasarkan kewenangan Allah. Amil hanyalah pemegang
amanah pendistribusian untuk mencapai tujuan
 Pengeluaran dari pos pemasukan zakat, mengikuti prinsip pokok:
a. Belanja negara diambilkan dan diarahkan untuk mengwujudkan maslahah
b. Menghindari kesempitan (musaqqah) dan mudharat harus didahului dari pada
melakukan perbaikan
c. Manfaaat publik yang didistribusikan mesti seimbang dengan penderitaan yang
ditanggung
d. Jika suatu bentuk diperlukan untuk tegaknya syariat Islam maka belanja itu
harus diwujudkan
D. Progresif Sumber Keuangan Islam di Era Modern
Pada masa modern berbagai macam lembaga keuangan Negara Islam yang sifatnya
non bank berupa zakat cukup berkembang pesat. Pelaksanaan dan pengelolaan zakat yang
semakin berkembang tersebut, peraturan mengenai zakat pun ikut berkembang untuk
menunjang kebutuhan pengelolaan zakat. Landasan yuridis pengelolaan zakat di Indonesia
dalam bentuk Undang-Undang pertama kali ditetapkan pada tahun 1999 yakni UU No. 38
Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat yang telah diubah dengan UU No. 23 Tahun 2011.
UU zakat yang baru muncul akibat adanya keluhan terhadap UU lama yang dinilai belum
memfasilitasi pengelolaan zakat yang didasarkan tata kelola yang baik (good corporate
governance). Undang-Undang zakat baru ini mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak
diatur dalam UU No. 38 Tahun 1999, antara lain mengenai syarat pendirian Lembaga Amil
Zakat (LAZ) yang harus berbentuk organisasi kemasyarakatan. Sanksi kriminal terhadap
amil yang melakukan pengelolaan zakat tanpa izin, serta pola hubungan antara LAZ
dengan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, ditujukan agar zakat mampu
memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan kesejahteraan umat. Di era perekonomian
modern saat ini, terlebih menghadapi era pasar bebas masyarakat Ekonomi Asean 2015,
tentu kontribusi zakat ini sangat dibutuhkan guna penguatan sumber daya manusia maupun
penopang daya beli ekonomi masyarakat. Pengelolaan zakat menurut Pasal 3 UU No. 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dimaksudkan agar zakat tersebut dapat berhasil

9
guna dan berdaya guna, sehingga dalam pengelolaannya zakat harus melalui suatu
pengorganisasian yang tepat. Pasal 3 Pengelolaan zakat bertujuan:
a. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan
b. Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan.
Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul mal dan baitut
tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana
yang non profit, seperti zakat, infak dan shadaqah. Sedangkan baitut tamwil sebagai usaha
pengumpulan dan dan penyaluran dana komersial. BMT sebagai lsembaga keuangan yang
ditumbuhkan dari peran masyarakat secara luas, tidak ada batasan ekonomi, sosial, bahkan
agama. Semua komponen masyarakat dapat berperan aktif dalam membangun sebuah
sistem keuangan yang lebih adil dan yang lebih penting mampu menjangkau lapisan
pengusaha yang terkecil sekalipun. BMT tidak digerakkan dengan laba semata, tetapi juga
motif sosial. Karena beroperasi dengan pola Syari‟ah. Sudah barang tentu kontrolnya tidak
saja dari aspek ekonomi saja atau kontrol dari luar, tetapi agama atau akidah menjadi faktor
pengontrol dari dalam yang lebih dominan.
Lembaga Zakat, Infak, Shadaqah dan Wakaf Lembaga ini merupakan lembaga yang
hanya ada dalam sistem keuangan Islam, karena Islam mendorong umatnya untuk menjadi
sukarelawan dalam beramal (volunteer). Dana ini hanya bisa di alokasikan untuk
kepentingan sosial atau peruntukan yang telah digariskan menurut Syariat Islam.
Selain keduan lembaga di atas, sumber-sumber keuangan Negara Islam dalam
bidang wakaf juga mendapatkan respon yang progresif. UU No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf telah mengakomodasi segala hal yang berhubungan tentang wakaf menuju kepada
wakaf produktif. Wakaf harus dikembangkan secara optimal dengan pengelolaan
profesional produktif untuk mencapai hasil yang nyata dalam kehidupan masyarakat.
Sumber keuangan Islam berupa wakaf di era modern sudah sangat progresif. Di zaman
klasik wakaf terbatas pada tanah milik, wakaf dalam bentuk barang bergerak dan tunai
masih belum dikenal. Lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, memberikan
peluang dan harapan dalam pendayagunaan wakaf melalui berbagai aspek, baik aspek
ekonomi maupun sosial. Benda wakaf dalam UU sudah memuat benda bergerak (wakaf
tunai), seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual,
hak sewa dan lain-lain. Hal ini memberi indikasi bahwa harta wakaf lebih ditingkatkan
pada pengelolaan dan pengembangan yang berorientasi produktif di era modern.

10
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Zakat, sedekah, infak dan wakaf (ZISWAF) merupakan instrument pendapatan
negara pada masa modern ini tidak jauh berbeda dengan sumber keuangan Islam di zaman
klasik yang meliputi zakat, ushur, uang tebusan peran, pinjaman, kharaj, khums, wakaf,
nawaib, jizyah, zakat fitrah, sedekah, ghanimah, fay. Dalam pos pengeluaran negara, tentu
saja sangat dipengaruhi oleh fungsi negara Islam itu sendiri. Sesuai dengan fungsinya,
maka alokasi dana hendaknya meliputi kesejahteraan sosial, pendidikan dan penelitian,
infrastruktur, pertahanan dan keamanan, dakwah Islam, dan lain-lain. Ada hal-hal tertentu
yang perlu dipahami di negara Islam terkait dengan pemasukan dan pengeluaran anggaran.
Khususnya pada pengeluaran, ada kekhususan atau karakteristik tersendiri terkait dengan
pengeluaran. Karakteristik tersebut sangat menonjol pada perhatian yang besar pada
belanja atau pengeluaran bagi masyarakat yang tidak mampu.
Dari kajian sejarah di era Rasul Saw dan Khalifaurrasyidin diperoleh informasi
bahwa sumber-sumber pendapatan dan pos pengeluaran keuangan negara terdiri dari zakat,
fai, ghanimah, jizyah, kharaj, usyur, infaq, shadakah, harta si mayit yang tidak memiliki
ahli waris dan harta umum. Berbagai kebijakan diambil oleh Rasul dan khalifah untuk
mengelola keuangan negara menganut berbagi prinsip baik dalam pemasukan keuangan
negara; tidak diskriminatif, proporsional terhadap manfaat yang diterima pembayar, dan
pungutan tidak dipungut berdasarkan sumber daya atau input yang digunakan, melainkan
atas hasil usaha, maupun dalam pengeluaran; zakat dioalaksikan berdasarkan kewenangan
Allah, dan belanja negara untuk mewujudkan maslahah.
Sumber keuangan Islam di era modern cukup progresif dengan berbagai inovasi
keuangan Islam. Penguatan bidang zakat dan wakaf dengan lahirnya UU zakat dan wakaf
yang mengatur pengelolaan zakat dan wakaf. Zakat dapat dilakukan secara online, sebagai
elaborasi zakat dengan era digital. Wakaf yang dikenal hanya sebatas benda tidak bergerak
(tanah), di era modern wakaf sudah mengkaper barang gerak dan atau wakaf tunai (wakaf
uang). Karakter sumber keuangan Islam di era modern lebih ditekankan pada penguatan
lembaga dan regulasi, harapannya sumber keuangan Islam dikelola secara produktif.

11
DAFTAR PUSTAKA

Arfah, Tina arfah, ‘Keuangan Publik Dalam Perspektif Ekonomi Islam’, Jurnal Islamika, 3.2 (2020), 24–35
<https://doi.org/10.37859/jsi.v3i2.2121>
Asmawati, Asmawati, ‘Progresif Sumber Keuangan Islam Di Era Klasik Dan Modern’, Al-Bayyinah, 3.2
(2019), 204–19 <https://doi.org/10.35673/al-bayyinah.v3i2.493>
Asyari, ‘Melacak Sumber-Sumber Pendapatan Dan Pengeluaran Negara’, Keuangan Negara Dalam Islam,
10.1 (2009), 1–19
Paramita, Shanty Tyas, ‘Implementasi Fungsi Actuating Dalam Pendayagunaan Dana Zakat Infaq
Shodaqoh Dan Wakaf (Ziswaf) Di Rumah Zakat Cabang Semarang’, 2018, 1–84
<http://eprints.walisongo.ac.id/8775/>
Rahman, Muhammad Fudhail, ‘Sumber-Sumber Pendapatan Dan Pengeluaran Negara Islam’, Al-Iqtishad:
Journal of Islamic Economics, 5.2 (2015) <https://doi.org/10.15408/aiq.v5i2.2567>

12

Anda mungkin juga menyukai