Anda di halaman 1dari 21

PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID

MAKALAH

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Ekonomi Islam

DOSEN PENGAMPU :

WAHYUNI, S.Pd., M.E.

DISUSUN OLEH :

NURFADILAH
(NIM: 2102010001)
SRI WAHYUNI
(NIM: 2102010017)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUD DA’WAH WAL IRSYAD

(STAI-DDI) PINRANG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya dan atas berkat-Nya sehingga penulis bisa menyusun dan
menyelesaikan makalah tentang “Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid” ini dengan baik
dan tepat waktu guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Ekonomi Islam.

Dalam penulisan dan penyelesaian makalah ini penyusun tidak terlepas


dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyelesaian makalah ini.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bagi kami sebagai penulis merasa
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Pinrang, 18 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Masalah.............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
A. Biografi Singkat Abu Ubaid.........................................................................3
B. Hasil Karya Abu Ubaid.................................................................................3
C. Pemikiran Abu Ubaid Tentang Ekonomi......................................................4
1. Peranan Negara dalam Perekonomian.......................................................4
2. Sumber Penerimaan Keuangan Publik......................................................6
3. Pembelajaran Penerimaan Keuangan Publik...........................................10
4. Hukum Pertanahan..................................................................................11
5. Fungsi uang.............................................................................................15
BAB III KESIMPULAN........................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan ekspansi dakwah Islam, kawasan regional yang berada
dibawah kekuasaan Islam menjadi semakin luas, maka fenomena tersebut tentu
akan memicu perubahan terhadap kegiatan ekonomi masyarakat, hingga pada
abad ke-15 upaya pengembangan dan elaborasi pemikiran ekonomi berdasarkan
nilai dan prinsip syari’ah yang berlaku telah berubah dengan sekasama.1

Sehingga untuk menjabarkan bentuk dan konsep-konsep ekonomi yang


berkembang di tengah-tengah masyarakat dewasa ini, maka munculah para
pemikir-pemikir ekonomi Islam kalasik yang mencoba menjawab kesejangan
yang ada ditengah-tengah masyarakat, yang mana salah satu pemikir cendikiawan
muslim tersebut adalah (Abu Ubaid) yang mencoba mendalami tentang ekonomi
Islam itu, yang mana dalam ekonominya dia lebih menekankan prinsip keadilan
terhadap keuangan publik suatu negara, sehingga dia mengarang sebuah buku
yang terkenal, yaitu kitab al Amwal, yang bisa dijadikan sebagai suplemen dalam
kerangka memahami ekonomi Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi singkat Abu Ubaid?
2. Bagaimana corak pemikiran Abu Ubaid?
3. Bagaiaman metodologi kitab Al-Amwal?
4. Bagaiaman dikotomi masyarakat desa dan kota?
5. Bagaimana pandangan ekonomi menurut Abu Ubaid?

1
Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 21.

1
2

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui biografi singkat Abu ubaid.
2. Mengetahui corak pemikiran Abu Ubaid.
3. Mengetahui metodologi kitab Al-Amwal
4. Mengetahui dikotomi masyarakat desa dan kota
5. Mengetahui pandangan ekonomi menurut Abu Ubaid.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Abu Ubaid


Nama lengkap beliau ialah Abu Ubaid al-Qasim bin Salam bin Miskin bin
Zaid al-Azdhi. Hidup semasa Daulah Abassiah mulai dari khalifah al-Mahdi (158
H/775 M). Beliau dilahirkan dikota Bahra (harat) di Propinsi Khurasan pada tahun
154 H dan wafat di Makkah pada tahun 224 H. 2 Ayahnya keturunan Byzantium,
maula dari suku Azd.
Abu ubaid merupakan seorang ulama yang cerdas dan pintar sehingga
banyak ulama yang menyanjung dan memujinya. Menurut Qudamah as-Sarkhasy,
diantara Syafi’I, Ibnu Hambal, Ishaq dan Abu Ubaid maka Syafi’I yang paling
faham (faqih), Ibnu Hambal yang paling wara’ (hati-hati), Ishaq yang paling
hufadz (kuat hafalannya) dan Abu Ubaid lah yang paling pintar berbahasa Arab
(fasih)\. Menurut Ishaq, Abu Ubaid itu terpandai diantara aku, Syafi’I dan Ahmad
bin Hambal.
Menurut Ibnu Rohubah: “kita memerlukan orangseperti Abu Ubaid tetapi
Abu Ubaid tidak memerlukan kita!”. Sedangkan menurut Ahmad bin Hambal,
Abu Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Adapun
menurut Abu Bakar bin Anbari, Abu Ubaid membagi malamnya pada 3 (tiga)
bagian, sepertiganya untuk tidur, sepertiga kedua untuk shalat malam dan
sepertiga lainnya untuk mengarang.

B. Hasil Karya Abu Ubaid


Bagi Abu ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada
memukul pedang di jalam Allah. Beliau membuahkan hasil karyanya sebanyak 20
karangan baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qiraat, Fiqih, Syair, dan lainnya. Di
antara hasil karyanya yang terbesar dan terkenal adalah kitab Al-Amwal dalam

2
Rifa’at al-Audi, Min al-Turats: al-Iqtishad li al-Muslimin, (Mekkah: Rabithah ‘Alam al-Islami,
1986), Cet 4, h. 147

3
4

bidang fiqih. Kitab Al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang
lengkap tentang seuangan negara dalam Islam.
Isi buku ini dimulai dengan bab singkat tentang hak penguasa atas subyek
dan hak subyek yang berhubungan dengan penguasa. Dilanjutkan dengan bab
tentang jenis harta yang dikelolah penguasa untuk kepentingan subyek dan
basisnya merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Bab-bab lainnya
membahas tentang sumber penerimaan negara. Terhadap tiga jenis penerimaan
yang diidentifikasikan dalam bab ke dua, meliputi zakat (termaksud
ushr/sepersepuluh), seperlima dari rampasan perang (khums) dan dari harta
peninggalan atau terpendam (rikaz), kemudian fa’I yang termaksud didalamnya
kharaj, jizyah dan penerimaan lain yang diluar telah disebutkan, seperti barang
temuan, kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris dan lainya.
Kitab al-Amwal ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari
separuh pertama abad kedua Islam. Buku ini juga merupakan suatu ringkasan
tradisi asli (authentic) dari Nabi Saw dan laporan para sahabat dan para
pengikutnya tentang masalah ekonomi. Para penulis dan pakar-pakar ekonomi
banyak karyanya dari buku ini.
Abu Ubaid tidak semata-mata hanya mengungkapkan dari pendapat orang
lain, tetapi sebaliknya ia selalu mengungkapkan suatu preferensi untuk satu dari
beberapa pandangan yang dilaporkan atau dengan memberikan pendapatnya
sendiri tentang dasar dan alasan syariahnya. Misalnya, setelah melaporkan
berbagai pendapat tentang berapa banyak seorang penerima (mustahiq) dapat
menerima zakatnya, ia sangat tidak setuju terhadap mereka yang meletakkan suatu
batas tertnggi pada hibah semacam itu.

C. Pemikiran Abu Ubaid Tentang Ekonomi


1. Peranan Negara dalam Perekonomian
Pemikiran Abu Ubaid yang tertuang dalam kita Al-Amwal dengan
bahasan yang pertama adalah peranan negara dalam perekonomian yang
mengulas tentang hak negar atas rakyat dan hak rakyat atas negara, dimana
analisis yang digunakan beliau merujuk pada kaidah hadis-hadis yang
5

berkaitan dengan pemerintahan. Hasil implementasi dari analisis itu


direalisasikan dalam kaidah kontrak kekayaan bagi seluruh kaum muslimin. 3
Unsur-unsur kontrak itu meliputi:

a. Azas pengelolaan harta didasarkan atas ketakwaan kepada Allah Swt.


Jadi segala kegiatan pengelolaan harta
b. Keberadaan kekayaan pada komunitas kaum muslimin merupakan
tanggung jawab seutuhnya, dan kepala negara berkah menggunakannya
demi kepentingan seluruh kaum muslimin.
c. Setiap perbuatan dihadapkan dengan tanggung jawab, pemerintah harus
menjaga keamanan, meningkatkan kesejahteraan, melindungi hak-hak
rakyat, mengatur kekayaan publik dan menjamin terpeliharanya maqasid
syari’ah. (Ketaatan dalam menjalankan prinsip-prinsip syariah)

Abu Ubaid menjadikan keadilan sebagai perinsip dasar (basic


princivil) dalam misi kekhalifahan. Diriwayatkan dari imam Ali ra. “keadilan
adalah suatu hak dan pemerintahan wajib menegakkan hukum sesuai dengan
yang Allah syariatkan dan menjalankan amanat, ketika pemerintah melakukan
hal tersebut wajib bagi rakyat mendengar, mentaati, dan memenuhi panggilan
negara dan pemerintah”.

Khalifah dan pemerintah menempatkan hukum berdasarkan Al-qur’an


dan menyayangi rakyatnya sebagaimana lelaki menyayangi keluarganya.4
Maka, dengan diimplementasikannya landasan ini, kemaslahatan maqasid
akan terealisasi dan terpelihara dalam kehidupan.

Andil negara begitu besar dalam perekonomian suatu negara karena


tugas negara adalah menegakkan kehidupan sosial berdasarkan nilai-nilai
keadilan yang disyariatkan, seperti penerapan zakat dapat mengikis
kesenjangan sosial dan menumbuhkan kepedulian sosial. Dan dengan
mengatur administrasi keuangan negara seefektif mungkin sehingga
penyediaan kebutuhan pokok, fasilitas umum, distribusi pendapat dapat
3
Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Kitab al-Amwal, (Bairut: Dar al-Fikr, 1988), h. 13
4
Ibid
6

menjamin kemaslahatan umat sehingga terselenggara kegiatan ekonomi yang


berkeadilan. Dimana sasaran beliau adalah legitimasi atau sosio-politik-
ekonomi yang stabil dan adil.

Adapun pemikiran abu ubaid yg ke2 ini adalah mengenai

2. Sumber Penerimaan Keuangan Publik


Dalam Kitab Al-Amwal Abu Ubaid menitik beratkan pada praktek
yang dilakukan Rasulullah, Khulafaurasyidin, terutama Umar bin Khatab dan
Umar bin Abdul Azis sebagai contoh ideal dalam pengelolahan keuangan
publik. Institusi yang mengelola disebut Baitul Mal.

Sebelum terbentuknya Baitul Mal ini, pada saat itu terjadi perang
badar dimana pada waktu itu kaum muslimin mendapatkan harta rampasan
perang yang banyak, yang melimpah pada masa itu. Dan pada waktu itu
tempat penyimpanan kekayaan negara adalah masjid.

Setelah melalui perkembangan beberapa saat kemudian sumber


penerimaan keuangan publik pun bertambah seperti: kharaj, ‘usyr, dan
khumus.

•Kharaj adalah penghasilan atau tanah taklukan kaum muslimin


dengan jalan damai yang pemiliknya menawarkan untuk mengelolah tanah itu
sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian dari hasil
produksinya. Jumlah kharajnya setengah dari hasil produksi.

Mengenai hal ini akan dibahas lebih mendalam, namun yang perlu
diketahui bahwa dalam kitab Al-Amwal banyak harta yang diserahkan kepada
Rosulullah yang berasal dari kaum musyrikin, Pertama, adalah fa’I yaitu
berupa harta benda dan tanah yang mereka serahkan tanpa melalui
peperangan, inilah yang menjadi landasannya yaitu firman Allah SWT. Yang
artinya:
7

“Dan apa saja harta rampasan perang (fa’I) yang diberikan Allah
kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu
kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor unta [un,
tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terdadap siapa
yang dikehendaki-Nya”. (QS. Al-Hasyr: 6)

Kedua adalah harta shafi yang Rasulullah Saw dipilih dari ghanimah
(harta rampasan perang yang dapat dipindahkan) yang diperoleh kaum
muslimin sebelum harta itu dibagikan. Sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dari
Rasulullah Saw “berikanlah dari harta ghanimah bagian Rasulullah dan
shafi”.5 Ketiga harta 1/5 dari ghanimah yang telah dibagi. Menurut hadis yang
diriwayatkan dari Abi ‘aliyah, ia berkata: “Rasulullah Saw mengumpulkan
ghanimah dan beliau dibagi, ketika ada sesuatu yang jatuh Nabi
menempatkannya bagian untuk ka’bah bgaian untuk baitullah, kemudian
membagi sisa 1/5, untuk nabi satu bagian, ahli karabat satu bagian, anak
yatim satu bagian, orang miskin satu bagian, dan ibnu sabil satu bagian, abu
‘Aliyah berkata yang nabi jadikan satu bagian untuk ka’bah adalah bagian
Allah”.6

Namun yang perlu diketahui bahwa sebagaimana menurut takwil Umar


bin Khatab ada tiga harta yang masuk kedalam keuangan publik yaitu:
shadaqoh, fa’I dan khumus.

1. Shadaqoh/Zakat
Dalam hal ini, shadaqoh wajib atau yang disebut zakat harta seperti
zakat emas, perniagaan, unta, sapi, kambing, biji-bijian dan buah-buahan.
Dimana dari zakat harta ini di alokasikan untuk delapan golongan yang Allah
sebutkan dalam Al-Qur’an, tidak seorang pun berhak atas zakat tersebut
kecuali mereka dan merupakan kewajiban pada setiap harta apabila telah
mencapai nisab dan haul7 untuk dikeluarkan zakatnya.

5
Ibid., h. 19
6
Ibid., h. 20-21
7
Ibid., h. 21
8

Mengenai shadaqoh wajib ini, mulai disyariatkan pada tahun kedua


hijriyah, ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan hal ini seperti:

“…… dan dirikanlah shalat serta tunaikan zakt …” (QS. Al-Baqarah: 43).

“…… dan tunaikanlah zakat dari setiap harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersikan dan mensucikan mereka …” (QS. At-Taubah: 103).

“…… dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya (hendak dikeluarkan


zakatnya) …” (QS. Al-An’am: 141).

Abu Ubaid mengungkapkan ketentuan yang disepakati (tidak ada


ikhtilaf/perselisihan), yaitu apabila seseorang memiliki harta yang wajib
dizakati diantaranya 200 dirham, 20 dinar, 5 ekor unta, 30 ekor sapi, atau 40
ekor kambing. Konsekuensinya, bila seseorang memiliki salah satu diatas dari
awal haul sampai akhir, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya yang
dinamakan nishab oleh imam Malik dan penduduk madinah sedangkan
penduduk Iraq menyebutnya asal harta. 8

2. Fa’I
Fa’I menurut bahasa adalah ar-Rujuu’ berarti kembali, sedangkan
menurut istilah fiqh adalah sesuatu yang diambil dari harta ahli kitab dengan
cara damai tanpa peperangan atau setelah peperangan itu berakhir, disebut fa’I
karena Allah mengembalikan harta tersebut kepada kaum muslimin.
Sedangkan menurut fersi Abu Ubaid adalah sesuatu yang diambil dari
harta dzimmah perdamaian atas jizyah dari mereka, yang sebab itu jiwa
mereka dilindungi dan dihormati. Harta fa’I digunakan untuk kepentingan
pemerintah dan kesejahteraan umat.9 Bagian-bagian dari fa’I adalah:
a. Kharaj
Kharaj menurut bahasa al-ghullah yaitu penghasilan atau tanah taklukan
kaum muslimin dengan jalan damai yang pemiliknya menawarkan untuk
mengelolah tanah itu sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia

8
Ibid., h. 414
9
Ibid., h. 23
9

memberikan sebagian dari hasil produksinya. Jumlah kharajnya setengah


dari hasil produksi.
b. Jizyah
Jizyah adalah pajak tahunan yang wajib dibayarkan oleh seorang non-
muslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti,
ibadah dan harta merdeka atau budak yang tinggal diwilayah pemerintahan
Islam. Pada masa Rasulullah, ketika memerintahkan kepada Muadz ibn
Jabal atas ahli kitab di Yaman besarnya jizyah bagi masing-masing kepala
adalah:
1) 1 dinar atau
2) 30 ekor sapi – jizyahnya 1 ekor tabi’ (sapi umur 1 tahun)
3) 40 ekor sapi – jizyahnya 1 ekor musinnah (sapi umur 2+ tahun)
4) Penghasilan dari tanah 1/10 bila diairi dengan hujan dan 1/5 bila
menggunakan biaya.10
Diantara ahli kitab yang membayar jizyah yaitu penduduk Najran yang
beragama Kristen. Kewajiban membayar jizyah akan hilang setelah masuk
Islam. Persamaan antara kharaj (pajak tanah yang dibebankan kepada non
muslim) dan jizyah merupakan kewajiban atas ahli dzimmah (non muslim
merdeka yang hidup di negara muslim sebagai balasan karena membayar
pajak perorang) dan dibelanjakan berdasarkan penggunaan harta fa’I,
perbedaannya jizyah itu atas kepala dan kharaj atas tanah, jizyah gugur
saat masuk Islam dan kharaj tidak.
3. Khumus
Khumus menurut Abu Ubaid, adalah 1/5 ghanimah dari ahli harbi,
rikaz, dan luqathah. Dalam pembahasan khumus Abu Ubaid menyebutkan
bahwa harta yang terkena khumus, pertama, beliau menafsirkan itu
ghanimah, sesuai dengan firman Allah surat al-Anfal ayat 41. Kedua,
khumus dari harta yang diperoleh melalui penambangan dan harta yang
terpendam/rikaz. Ketiga, khumus pada harta yang dipendam hal,
sebagaimana terjadi ketika mujadih dari asy’sya’abi dimana seorang lelaki

10
Ibid., h. 31-32
10

menemukan 1000 dinar yang dipendam diluar kota kemudian datang


kepada umar dan umar mengambil 1/5 dari harta itu sebesar 200 dinar dan
sisanya diberikan kepada yang menemukan. Kemudian 200 dinar itu
dibagikan kepada kaum muslimin.
Namun, yang perlu diketahui bahwa Abu Ubaid menyatakan bahwa ada
tiga hukum yang dilakukan Umar pada harta benda yang dipendam:
pertama, bahwa harta itu diambil khumusnya dan sisanya diberikan kepada
yang menemukan; kedua, yang menemukan tidak diberikan harta itu,
namun diserahkan seluruhnya kepada Baitul Mal; ketiga, harta itu
diberikan seluruhnya kepada yang menemukan dan tidak diserahkan ke
Baitul Mal.11
4. ‘usyr
Al-‘usyr merupakan jama’ dari kata ‘usyrun yaitu satu bagian dari sepuluh.
Sedangkan menurut fuqoha terdapat dua pengertian, pertama ‘usyr zakat
yaitu sesuatu yang diambil pada zakat tanaman dan buah-buahan (QS. Al-
An’am: 141).12 Kedua, ‘usyr adalah sesuatu yang diambil dari harta kafir
dzimmi yang melintas untuk peniagaan. 13
3. Pembelajaran Penerimaan Keuangan Publik
Dalam masalah distribusi pendapatan memang erat kaitanya antara
penerimaan dan pembelanjaan/pengalokasian untuk kepentingan publik.
Begitu pula Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal-nya begitu jelas dan transparan
dalam membahas masalah keuangan publik yang terkait sekitar masalah
penerimaan dan pembelanjaan.
Abu Ubaid menyebutkan kaidah mendasar dalam membatasi orang
yang berhak atas kekayaan publik. Dengan menukil (memindahkan) prndapat
Umar sebagaimana diriwayatkan dari Aslam is berkata: “telah berkata Umar
R.a bahwa tidak seorang muslim kecuali hak atas harta menerima atau
menolak, setelah itu Umar membacakan surat al-Hasyr dari ayat 7-10 dan
berkata Umar: ayat ini memuat semuanya (manusia) dan tidak tersisa

11
Ibid., h. 353
12
Ibid., h. 243
13
Ibid., h. 23
11

seorang muslim kecuali ia mendapat hak akan harta itu (harta fa’I). Menurut
riwayat Ibnu Syibah, bahwa ketika Umar membentuk dewan membagi para
istri Rasulullah Saw yang dinikahi 12.000 dirham, bagian juwairiyah dan
shafiyah 6.000 dirham (karena keduanya fa’I dari Allah untuk Rasul-Nya)
kaum mujahirin syahid Badar masing-masing 5.000 dirham dan kaum anshar
yang syahid 4.000 dirham”.14
Selanjutnya, bahwa zakat diambil dari mereka yang kaya dan
dikembalikan kepada mereka yang membutuhksn yaitu 8 golongan yang
disebutkan Al-Qur’an. Bagaimanapun pendistribusian harta dalam Islam itu
sangat penting dimana Rasulullah telah memberi batasan, yaitu seseorang
yang memikul tanggungan (hidup) kaumnya, seseorang yang tertimpa
musibah besar dan memusnahkan harta bendanya dan seseorang yang tertimpa
kemiskinan.
Abu Ubaid pun mengkhususkan bab tersendiri mengenai persamaan
manusia dalam kekayaan publik. Mengenai hal ini, diantaranya
adalahkomentar Abu Bakar ra, ketika datang padanya harta (fa’I/ghanimah) ia
menjadikan (bagian) manusia sama, dan berkata: “aku menginginkan
terhindar dari meminta-minta dan memurnikan perjuangan (jihad) ku
bersama Rasulullah Saw, kelebihan mereka adalah disisi Allah, adapun
dalam hidup ini persamaan adalah hal yang baik”.15
Dalam pendistribusian kengeluaran dari penerimaan khumus (khumus,
ghanimah, khumus, barang tambang dan rikaz serta khumus lainnya) adalah
ketentuan dari Rasulullah Saw, dan pendistribusiannya kapan dan untuk siapa
tentu juga dengan ketentuan Rasulullah. Karena dana-dana publik merupkan
kekeyaan publik maka dialokasikan untuk kesejahteraan publik seperti,
kesejahteraan anak-anak, korban bencana, santunan dan lainnya.
4. Hukum Pertanahan
Pemikiran Abu Ubaid mengenai hubungan antara rakyat (warga
negara) dan negara demi stabilitas kesejahteraan rakyat dan negara selain

14
Ibid., h. 237
15
Ibid., h. 277
12

masalah administrasi keuangan publik yang terdapat dalam kitab al-Amwal,


beliau juga membicarai tentang hukum pertanahan.
Dimana hukum pertahanan ini mulai dibicarakan setelah masa hijrah
ke Madinah, karena perkembangan Islam cukup pesat dari masa
Rasulullahsampai Khulafarasyidin ketika perluasan wilayah dalam dunia
Islam, maka menuntut suatu permasalahan baru dalam hukum Islam berkaitan
dengan tanah yang berada pada wilayah taklukan tersebut. Untuk
menyelesaikan hal tersebut, menuntut pengaturan yang baru dan lebih baik.
Mengenai permasalahan wilayah taklukan, rujukan utama para ulama
adalah yaitu sejak zaman Rasulullah dengan menjadikan tanah Khaibar
sebagai tanah kharaj, hal ini merupakan tonggak utama pengaturan tanah
dalam negara Islam untuk kepentingan publik.
Para fuqaha membagi tanah yang berada pada wilayah negara Islam
menjadi tanah ‘usyr dan kharaj. Dan Abu Ubaid menyebutkan hukum tanah
‘usyr yang bukan kharaj ada 4 macam: Pertama; setiap tanah yang diserahkan
oleh pemiliknya kepada negara, seperti tanah Madinah, Thaif, Yaman, dan
Mekah. Kedua; setiap tanah yang diambil, kemudian kepala negara tidak
melihat menjadikannya fa’I, akan tetapi memandang menjadikannya
ghanimah yang dibagi empat dari 1/5 yang diambil diantara mereka yang turut
menaklukkan khususnya, seperti yang telah dilakukan Rasulullah saw
terhadap tanah khaibar. Ketiga; tanah biasa yang tidak digurusi dan digarap,
kemudian oleh kepala negara dipetakan kepada seseorang dijazirah arab atau
daerah lainnya, seperti yang telah dilakukan Rasulullah Saw dan
Khulafarasyidin yang meng’iqtha tanah Yaman, Yamamah, dan Basrah.
Keempat; setiap tanah mati yang dihidupkan oleh seorang muslim dengan
mengairinya dan menanaminya. Itulah tanah-tanah yang dikenakan aturan
‘usyr atau setengah dari ‘usyr apabila dari hasil tanah tersebut mencapai lima
wasaq. Berikut adalah hukum-hukum pertanahan yang dikemukakan oleh Abu
Ubaid.
1. Iqtha
13

Pengertian ‘iqtha ialah tanah yang diberikan oleh kepala negara


kepada seorang rakyatnya untuk menguasai sebidang tanah dengan
mengabaikan yang lainnya. Hal ini, pernah terjadi dimasa Rasulullah
dimana Rasulullah mewasiatkan tanah yang terdiri dari 7 kebin kepada
seorang pendeta yahudi, yaitu Mukhairik setelah masuk Islam.
Dalam kitab al-Amwal, Abu Ubaid menafsirkan tanah biasa yang
bisa dijadikan iqtha’ dan yang tidak bisa. Dan biasanya setiap
daerah/tanah yang dihuni pada masa yang lama, kemudian ditinggalkan
penghuninya maka keputusan hukum tanah itu diserahkan kepada kepala
negara. Kepala Negara, begitu juga setiap tanah yang mati (tidak
dianggap) tidak ada seorang yang mengelolanya dan tidak dimiliki orang
Islam maupun kafir. Umar ra. Mengirim surat kepada Abu Musa, “jika
tanah itu bukan tanah jizyah dan bukan tanah yang dialiri air jizyah,
maka aku akan meng’iqtha tanah itu baginya”. Disini jelas bahwa ’iqtha
itu terhadap tanah yang tidak dimiliki dan bukan tanah jizyah, jika
keadaan tanah tersebut demikian maka pengaturannya diserahkan kepada
kepala Negara.
Sementara pada kasus yang lain bahwa Rasulullah meng “iqthakan
tanah kepada Zubair yang ada pohon kurma dan pepohonan. Kami
melihata tanah itu pernah ada Rosulullah, ‘iqthakan kepada kaum Anshar
untuk mengelola dan mendiaminya. Kemudian tanah itu ditinggalkan,
maka Rasulullah meng’iqthakan kepada Zubair.
Dari Muhammad bin Ubaidillah as-Tsaqafi, beliau berkata,
seseorang laki-laki Basrah dari bani tsaqafi keluar, disebutkan orang
tersebut Nafi’ Abu Abdillah. Ia berkata kepada Umar ra, “sebelum kami
memiliki tanah di Basrah yang tidak termasuk tanah kharaj dan tidak
merugikan seorang dari kaum muslimin. Jika engkau memandang perlu
meng’iqthakan, maka aku lakukan, aku hanya mengambil satu petakan
untuk perlu meng’iqthakan, maka lakukanlah; aku hanya mengambil satu
petakan untuk kudaku saja, lalu umar menulis surat kepada Abu Musa al-
14

Asy’ari, jika tanah itu seperti yang diceritakan maka petakanlah


baginya.”
Dari penjelasan di atas, mengenai ‘iqtha hendaknya pemerintahan
menurut abu Ubaid tidak mengiqtha tanah kharaj. Alasannya karena tanah
kharaj adalah tanah yang produktif memberikan hasil dan dapat
menambah devisa Negara. Dan disisi lain dengan mempetakan tanah
bukan kharaj dapat memberi manfaat untuk bagi para pengembalan hewan
ternak, dimana hal ini dapat menambah pertambahan produksi hewan yang
sama pentingnya dengan masalah pertanian.
2. Ihya al-Mawat
Al-Mawat ialah tanah yang mati, tandus, tidak terurus, tidak ada
pemiliknya dan tidak dimanfaatkan. Sedangkan maksud ihya al-Mawat
adalah membuka kembali lahan yang mati itu dengan membersihkannya,
mengairi, mendirikan bangunan dan menanamkan kembali benih-benih
kehidupan pada lahan tersebut. Dalam hal ini negara berhak menguasai
tanah mati ini dengan menjadikannya milik umum yang semua
menfaatnya diserahkan untuk kemaslahatan umat.
Mengenai ihya al-Mawat ini Abu Ubaid membagi menjadi tiga macam:
a. Seseorang datang ke tanah tersebut lalu mengelola dan mendiaminya
kemudian datang orang lain yang memperbaharui tanaman dan
bangunan agar menjadi haknya tanah yang dikelola oleh orang
sebelumnya. Dalam hal ini perbuatan orang itu disebut al-irriqi al-
Zhalim; perbuatan atas sesuatu yang bukan haknya dan ingin
memilikinya. Adapun yang berhak atas tanah itu adalah yang
mengelola lebih awal, seperti hadis riwayat Abu Hisyam, Rasulullah
Saw bersabda, “siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka
tanah ini jadi miliknya dan tidak ada hak bagi irqi zhalim.”
b. Kepala negara mengiqtha’kan kepada seseorang tanah mati, dan tanah
itu menjadi milik penerima iqtha’, kemudian orang itu menyia-nyiakan
dengan tidak mengelola dan mendiaminya sehingga datang orang lain
lalu mengelola dan mendiami serta menyangka tanah ini tidak ada
15

yang mengurusi. Dalam hal ini, pendapat Abu Ubaid merujuk pada
yang dilakukan Umar ra, terhadap orang yang telah memperoleh tanah
iqtha’ pada masa Rasulullah. Kemudian ditelantarkan sampai pada
masa kekhalifahan Umar ra, dan tanah itu digarap oleh orang lain,
dengan berkata; “kalau bukan iqtha’ dari Rasulullah aku tidak akan
memberimu sedikitpun”.
c. Jika seseorang membangun tembok tanah apakah dengan iqtha’ dari
pemerintah atau tidak kemudian meninggalkannya pada waktu yang
lama dengan tidak mendiaminya. Abu Ubaid berkata; “pada sebagian
hadis dari Umar; bahwa ia memberi batas tiga tahun dan melarang
orang lain mendiami tempat tersebut”. Meka ketentuan Umar ini
mengandung arti, jika telah melewati masa tiga tahun dan tidak
menempatinya, kepala negaralah yang memutuskan dan dibolehkan
bagi kepala negara untuk menyerahkan kepada yang lain, yang mempu
dan bisa menempatinya.
Selanjutnya, menurut Abu Ubaid bila tanah produk ihya al-Mawat
ini menghasilkan sesuatu dengan mengairi dan menanaminya, maka
dikenakan zakat 1/10 untuk 8 mustahik zakat.
3. Hima
Dalam hal ini yang dinamakan hima adalah perlindungan, menurut
Abu Ubaid adalah tempat dari tanah yang tidak berpenduduk yang
dilindungi kepala negara untuk tempat mengembala hewan-hewan ternak.
Dimana tanah hima ini adalah tanah yang mendapat perlindungan dari
pemerintah, namun dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat hasil yang ada
pada tanah tersebut seperti air, rumput dan tanaman, hal ini sesuai dengan
sabda Rasulullah, “orang muslim adalah saudara bagi muslim yang
lainnya, yang memberi mereka keleluasaan air dan rumput”.16
5. Fungsi uang
Abu Ubaid mangakui adanya dua fungsi uang yang tidak
mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (medium of

16
Ibid., h. 308
16

Exchange). Tampaknya ia mendukung terhadap teori ekonomi mengenai


uang logam yang merujuk kepada kegunaan umum dan relatif
konstantanya nilai emas dan perak dibandingkan komoditas lain. Jika
kedua benda tersebut dijadikan komoditas maka nilai keduanya dapat
berubah pula karena dalam hal tersebut, keduanya akan memainkan peran
yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai penilaian dari
barang-barang lain.
BAB III
KESIMPULAN

1. Nama lengkap Abu Ubaid yaitu Al Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-
harawi Al-Azadi Al-Bagdady. Hidup masa Dulah Abbasiah mulai dari
khalifah al-Mahdi (158/775). Beliau dilahirkan dikota Bahra (harat) di
Provinsi khurasan pada tahun 154 H dan wafat di Makkah pada tahun 224 H.
Ayahnya keturunan Byzantium, maula dari suku Azd.
2. Tulisan-tulisan Abu Ubaid lahir pada masa kahlifah Dinasti Abassiyah, dan
tidak pernah ada masalah legitimasi, sehingga pemikirannya sering
menekankan pada kebijakan kahlifah untuk mebuat keputusan dengan hati-
hati. Di antara hasil karyanya yang terbesar dan terkenal adalah kitab Al-
Amwal dalam bidang fiqih.
3. Pemikiran Abu Ubaid tentang Ekonomi yaitu:
a. Peranan negara dalam perekonomian
b. Sumber penerimaan keuangan publik
c. Pembelanjaan Penerimaan Keuangan Publik
d. Hukum Pertanahan
e. Fungsi Uang

17
DAFTAR PUSTAKA

Al-Audi, Rifa’at. (1986). Min al-Turats: al-Iqtishad li al-Muslimin. Mekkah:


Rabithah ‘Alam al-Islami.

Marthon, Said Sa’ad. (2004). Ekonomi Islam. Jakarta: Zikrul Hakim.

Salam, Abu Ubaid al-Qasim. (1988). Kitab al-Amwal. Bairut: Dar al-Fikr.

Anda mungkin juga menyukai