Anda di halaman 1dari 159

e-book

MENJAWAB KERAGUAN
UMAT ISLAM
TERHADAP BANK SYARIAH
pkes publishing
Gd. Arthaloka, Gf.05
Jl. Jend Sudirman, Kav 2, Jakarta 10220
Telp. +62-21-2513984, Fax. +62-21-2512346
Email: pkes_data@yahoo.com, pkes.data@gmail.com
Milis. syariahnews@yahoogroups.com
Web. www.pkes.org & www.pkesinteraktif.com
Judul Buku:
Menjawab Keraguan Umat Islam
Terhadap Bank Syariah
Tim Penulis:
Ir. H. M. Nadratuzzaman Hosen, MS, M.Ec. Ph.D
AM Hasan Ali, MA
Ach. Bakhrul Muchtasib, SEI, M.Si
Tata Letak dan Cover:
Adji Waluyo Pariyatno, SP
ISBN: 978-979-16168-4-3
Cetakan I, November 2007
diterbitkan oleh:
Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (pkes publishing)
Gd. Arthaloka, Gf.05
Jl. Jend Sudirman, Kav 2, Jakarta 10220
Telp. +62-21-2513984, Fax. +62-21-2512346
Email: pkes_data@yahoo.com, pkes.data@gmail.com
Milis. syariahnews@yahoogroups.com
Web. www.pkes.org & www.pkesinteraktif.com
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
KATA PENGANTAR
Sekapur Sirih
Direktur Eksekutif PKES
Assalamualaikum Wr. Wb.
Pertama-tama kami bersyukur bahwa tim penulis buku
PKES: Menjawab Sepuluh Keraguan Terhadap Bank Syariah
telah menyelesaikan dengan baik. Mudah-mudahan buku
tersebut menjadi amal jariah bagi penulis.
Latar belakang ditulisnya buku ini didasarkan hasil
kegiatan-kegiatan PKES dalam bentuk siaran radio, PKES
interaktif, sarasehan ulama, sarasehan pondok pesantren,
pengajian di majelis talim, seminar di kampus, dan tanya
jawab di berbagai media massa Indonesia yang diasuh
oleh PKES, serta pertanyaan masyarakat luas melalui
PKES interaktif.
PKES mengidentifkasi sepuluh hal pokok yang menjadi
keraguan umat Islam terhadap bank syariah yaitu; uang
halal dan uang haram, pemanfaatan ATM bank konvensional
oleh nasabah syariah, offce channelling, perbedaan
murabahah dengan kredit konvensional, agunan pada
pembiayaan murabahah, mengapa revenue sharing tidak
proft loss sharing, batas dharurat bertransaksi dengan
bank konvensional, pelayanan IT pada bank syariah,
jaminan simpanan pada dana pihak ketiga, peran DSN dan
BI dalam pengembangan dual banking system.
Buku ini mencoba untuk menjawab keraguan tersebut dalam
rangka memperjelas pemahaman masyarakat. Dengan
harapan masyarakat bertambah tingkatan pemahamannya
terhadap ke sepuluh keraguan tersebut. Namun, kami
menyadari bahwa setelah membaca buku ini tidak semua
pembaca akan merasa puas, tapi kami meyakini para
pembaca dapat memahami uraian kami terhadap sepuluh
keraguan tersebut secara lebih komprehensif. Akhirnya,
kami serahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk kiranya
juga memberikan pemikiran tentang ekonomi syariah yang
merupakan khasanah keilmuan di dunia Islam.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak, khususnya kepada anggota PKES
yang telah memberikan bantuan moril dan materiilnya.
Selamat membaca!
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Ir. H. M. Nadratuzzaman Hosen, MS, M.Ec. Ph.D
Direktur Eksekutif PKES
SAMBUTAN
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla, Dzat Yang Maha
Kuasa, yang telah memberikan petunjuk ke jalan lurus bagi
hamba-hamba-Nya. Salawat dan salam, semoga selalu
tercurah kepada Rasulullah, Muhammad Saw, yang telah
membimbing umat Islam ke jalan yang lurus.
Saat ini, banyak umat Islam Indonesia, boleh jadi belum
menyadari dengan posisinya sebagai umat Islam itu sendiri.
Hal ini, antara lain terlihat dengan belum banyaknya umat
Islam yang memahami tentang praktek ekonomi Islam
atau syariah.
Adanya praktek ekonomi Islam yang dijalankan oleh
lembaga keuangan syariah (LKS) masih dianggap
sebagai fenomena yang baru. Padahal, jika ditelusuri
secara mendalam, adanya praktek ekonomi Islam secara
kelembagaan, sebetulnya bersumber pada khazanah yang
ada dalam berbagai kitab fqh muamalah, yang nota bene-
nya sering dikaji secara akademis di lingkungan perguruan
tinggi Islam atau pondok pesantren.
Oleh karena itu, diperlukan berbagai cara untuk
mengingatkan umat Islam, bahwa praktek bisnis yang
dijalankan telah sesuai dengan kaedah yang ada dalam
fqh muamalah. Apalagi, dalam operasional setiap lembaga
keuangan syariah mengharuskan adanya Dewan Pengawas
Syariah (DPS) yang berfungsi mengawasi operasional
lembaga tersebut agar tetap selaras dengan ketentuan
syariah Islam.
Patut kita syukuri bahwa Bank Indonesia dan Departemen
Keuangan, sebagai regulator dalam kegiatan bisnis syariah,
sangat mematuhi ketentuan yang ada dalam fatwa yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI). Fatwa-fatwa tersebut pada umumnya
bersumber dari khazanah klasik yang terdapat di dalam
kitab fqh mumalah yang perlu disosialisasikan ke tengah-
tengah masyarakat luas. Salah satunya melalui penerbitan
buku.
Buku yang dipersembahkan oleh tiga orang penulis ini turut
memperkaya khazanah intelektual kita pada umumnya
dan dalam bidang perbankan syariah pada khususnya.
Oleh karena itu, sungguh sewajarnya bila kami, selaku
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, memberikan penghargaan dan apresiasi atas
penulisan dan penerbitan buku ini.
Kami berharap dan bahkan berkepercayaan, buku ini sangat
bermanfaat bagi civitas akademika Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, maupun mahasiswa
fakultas syariah di STAIN-IAIN di Indonesia. Bahkan, bagi
para pembaca pada umumnya terutama berkaitan dengan
mata kuliah yang berkaitan dengannya.
Akhir kata, selamat membaca semoga bermanfaat.
Wassalamualaikum wr. wb.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Jakarta, 1 November 2007
Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
GLOSSARI
Adhafan Mudhaafan : Berlipat ganda
Agunan : Jaminan pada pembiayaan
Ahliyah : Kelayakan
Akad : Perikatan; kontrak
Al Ghunmu bil ghurmi : Keuntungan tergantung
dengan risiko
Al Kharaj bid dhaman : Hasil usaha tergantung
dengan biaya
An taradhin : Kerelaan kedua belah
pihak
Asymmetric information : Informasi yang tidak
simetri
ATM : Automatic Teller Machine;
anjungan tunai mandiri
Balance : Keseimbangan
Bank Konvensional : Bank yang beroperasi
dengan sistem bunga
Bank Syariah : Bank yang beroperasi
dengan sistem syariah
Baqa Ainihi : Zatnya tetap
Bathil : Yang salah
Capital : Modal
Cash : Tunai
Credit : Non tunai
Customer Service : Pelayanan nasabah
Dealer : Penjual motor atau
mobil
Developer : Pembangun rumah
Dharurat : Keterpaksaan
DPbS : Direktorat Perbankan
Syariah BI
DPS : Dewan Pengawas
Syariah
DSN : Dewan Syariah
Nasional
Dzanni : Tidak jelas; ragu
Enterpreneur : Kewirausahaan;
pengelola modal
Fatwa : Pendapat hukum
Flow concept : Konsep mengalir atau
berputar
Gharar : Ketidakjelasan
Goods : Barang-barang
Gross proft : Laba kotor
Halal : Boleh
Haq : Benar
Haram : Terlarang
Haram li dzatihi : Terlarang karena
dzatnya
Haram li ghairihi : Terlarang karena ada
faktor lain
Hibatus Tsawab : Pemberian yang
mengharapkan
imbalan
Hifdz ad-din : Melindungi agama
Hifdz al-aql : Melindungi akal
Hifdz al-mal : Melindungi harta
Hifdz an-nafz : Melindungi jiwa
Hifdz an-nasl : Melindungi keturunan
Ib : Islamic banking; logo
bagi kantor bank yang
memberikan layanan
transaksi syariah
Illat : Sebab
IMA : Investasi Antar Bank
Interest : Bunga
Investor : Pemodal
Iwadh : Pengganti
Kholiq : Pencipta
La dharara wa la dhirar : Tidak membahayakan bagi
sendiri dan orang lain
La tadzlimuna wa la tadzlimun : Tidak mendzalimi diri sendiri
dan orang lain
Lil Istighraq : Untuk umum
LKS : Lembaga Keuangan Syariah
Mafhum Mukhalafah : Pemahaman Terbalik
Mafhum : Pemahaman konstektual
Majazi : Kiasan
Makhdoh : Pokok
Mantuq : Pemahaman tekstual
Margin : Keuntungan
Market share : Pangsa pasar
Maskut anhu : Berdiam diri
Maslahah : Manfaat; mengandung
kebaikan
Mitslan bi Mitslin : Kualitasnya sama
Moral Hazard : Kecenderungan berbuat jahat
Mudharabah : Akad atau pembiayaan yang
mengacu pada prinsip bagi
hasil
Mudharib : Pengelola; enterpreneur
Mudzakarah : Forum untuk berdzikir atau
mengingat
MUI : Majelis Ulama Indonesia
Mukallaf : Yang mendapat beban
kewajiban
Murabahah : Jual beli yang harga jualnya
dinaikan dengan menyebutkan
harga awalnya
Musyarakah : Akad atau pembiayaan dalam
penyertaan modal
Najis Mughalladzah : Najis yang berat
Najis Mukhaffafah : Najis yang ringan
Net Proft : Keuntungan bersih
Nisbah Bagi Hasil : Rasio bagi hasil
Offce Channelling : Kantor bank yang memberi
layanan syariah
Out put : Keluaran; hasil
PBI : Peraturan Bank Indonesia
PKES : Pusat Komunikasi Ekonomi
Syariah
Proft and loss sharing : Pembagian hasil didasrkan
pada keuntungan dan kerugian
Qardh al-Hasan : Pinjaman Kebajikan
Qardh : Pinjaman
Qashar : Meringkas
Qathi : Tetap ; jelas
Qias : Analogi
Revenue Sharing : Pembagian hasil didasarkan
atas pendapatan
Riba buyu : Tambahan pada jual-beli;
istilah lain dari riba fadh
Riba duyun : Tambahan dari pinjaman;
istilah lain dari riba nasiah

Riba : Tambahan; bunga
Ribh : Keuntungan
Sad adz-dzariah : Memotong jalur yang terlarang
atau berbahaya
Sales Revenue : Pendapatan penjualan
Sawaan bi sawa in : Kuntitasnya sama
Service satisfaction : Pelayanan yang memuaskan
Services : Jasa-jasa
Shahibul Mal : Pemodal; investor
Social Oriented : Berorientasi sosial
Stock Concept : Konsep mengendap atau
tertahan
Syari : Sesuai dengan syariah
Tahakum : Membuat hukum
Teller : Kasir pada bank
Time value of money : Nilai waktu dari uang
Total Cost : Total biaya
Total Revenue : Total pendapatan
Ukhrawi : Bersifat akherat
Uslub : Struktur Kalimat
UUS : Unit Usaha Syariah
Wadiah : Titipan
Yadan bi yadin : Waktu penyerahan sama
Ziyadah al-buyu : Tambahan dari transaksi jual
beli
Ziyadah al-qurudh : Tambahan dari transaksi
pinjam meminjam
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................ i
Glossary .................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................. vi
A. Kupas Tuntas tentang Riba dan Bunga Bank.... 1
B. Keraguan 1 : Uang Halal dan Uang Haram........ 29
C. Keraguan 2 : Pemanfaatan ATM Bank
Konvensional oleh Nasabah Syariah.................. 37
D. Keraguan 3 : Offce Channelling......................... 43

E. Keraguan 4 : Perbedaan Murabahah dengan
Kredit Konvensional............................................ 49
F. Keraguan 5 : Agunan Pada Pembiayaan
Murabahah............................................................ 59
G. Keraguan 6 : Mengapa Revenue Sharing,
Tidak Proft and Loss Sharing ?........................... 66
H. Keraguan 7 : Batas Dharurat Bertransaksi
dengan Bank Konvensional. ................................ 86
I. Keraguan 8 : Pelayanan dan IT pada Bank Syariah.. 94
J. Keraguan 9 : Jaminan Simpanan pada Dana
Pihak Ketiga (DPK)..................................................... 108

K. Keraguan 10: Peran DSN-MUI dan BI dalam
Pengembangan Dual Banking System................... 114
Daftar Pustaka.............................................................. 116
Tentang Penulis............................................................ 120
***
MENJAWAB KERAGUAN
UMAT ISLAM TERHADAP
BANK SYARIAH
Kupas Tuntas
Tentang Riba
dan Bunga Bank
uatu hal yang banyak diyakini kalangan para ekonom
dan bisnisman bahwa ilmu ekonomi dan aktivitas
bisnis adalah sesuatu yang bersifat positif, jauh
dari norma-norma religius keagamaan. Pendapat
ini mungkin benar jika diterapkan di dalam agama dan
kepercayaan-keparcayaan lain yang memisahkan antara
urusan ibadah keagamaan dengan urusan berekonomi,
yang dianggap sebagai bentuk komersialisasi yang bersifat
keduniaan. Tetapi hal ini akan berbeda dengan Islam yang
melihat bahwa aqidah, syariah dan muamalah serta akhlak
adalah salah satu mata rantai yang tidak terpisahkan dari
sistem Islam itu sendiri. Hubungan diantaranya terjalin
sedemikian rupa sehingga merupakan suatu sistem yang
comprehensive dan universal.
Islam tidak hanya menuntut umatnya untuk sekedar
menjalankan ibadah ritual yang bersifat mahdhoh, ibadah
yang hanya bertendensi pada akhirat saja, atau yang hanya
bertujuan pada penciptaan hubungan kepada sang Khaliq
(muamalat maal khalqi). Tetapi, Islam juga mengatur
R I B A
DAN
B U N G A
S
Menjawab Keraguan Umat Islam 2
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
adanya ketentuan tuntutan kepada umatnya untuk
melakukan kegiatan yang bersifat keduniaan, sebagai
bentuk proses untuk pencapaian tujuan ukhrawinya.
Berekonomi adalah salah satu kegiatan duniawi yang
diatur untuk menciptakan harmonisasi hubungan antara
sesama umat manusia.
Secara jelas al-Quran telah menyebutkan dan mengatur
adanya tingkatan ibadah yang tidak hanya bersifat ukhrawi.
Al-Quran telah memberikan gambaran kepada umat
manusia untuk melakukan kegiatan yang bersifat duniawi,
diantaranya adalah berekonomi. Walaupun di dalam al-
Quran yang secara jelas dan bersifat qothi, penyebutan
terhadap ayat yang mengandung unsur ekonomi hanya
pada jual beli dan pelarangan riba, tetapi banyak ayat-
ayat lain yang dapat digunakan sebagai rujukan di dalam
melakukan kegiatan ekonomi.
Pengharaman terhadap praktik riba dikalangan umat Islam
sudah cukup jelas dan telah disepakati bersama dikalangan
para ulama. Tidak terdapat perbedaan pendapat di antara
mereka tentang haramnya riba, karena secara jelas telah
di nash di dalam al-Quran tentang bagaimana riba tidak
boleh dilakukan dalam interaksi sosial di masyarakat.
Riba didalamnya terdapat unsur ketidakadilan yang akan
ditimbulkannya, karena antara satu dengan yang lain akan
saling mengeksploitasi dan berlaku dzalim.
Yang menjadi permasalahan di kalangan ulama dan
bahkan menjadi polemik berkepanjangan adalah tentang
penentuan bunga pada lembaga keuangan yang telah
berkembang selama ini. Apakah bunga yang diberlakukan
di dalam lembaga keuangan termasuk di dalam unsur riba,
3 Menjawab Keraguan Umat Islam
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
atau bahkan praktik riba itu sendiri? Bunga dijadikan sebagai
penopang hidup dan berkembangnya lembaga keuangan,
oleh para kaum kapitalis di anggap sebagai penggerak
ekonomi, tanpa bunga perekonomian dunia tidak akan
pernah berkembang. Para ulama dan cendekia muslim
berbeda pendapat dalam memahami dan menentukan
apakah bunga dapat diberlakukan dan dijalani oleh setiap
orang, dengan dikaitkan pada nash tentang riba.
A. Persamaan Riba dan Bunga
Di dalam istilah bahasa, Bunga (interest) adalah uang
yang digunakan atau di bayar atas penggunaan uang.
Atau pekerjaan meminjamkan uang dengan mengenakan
tambahan nominal pada uang tersebut.
Konsep bunga (interest) mulai dikenal sejak zaman
pertengahan Latin yang disebut dengan istilah interesse
yang berarti pampasan karena kerugian atau bayaran
pampasan. Dalam undang-undang Romawi, interest
atau dalam bahasa Latin disebut id quod interest berarti
potongan yang diberikan akibat kerusakan atau kerugian
yang ditanggung si pemberi hutang akibat kegagalan
peminjam untuk mengembalikan pinjaman pada saat yang
ditentukan.
Menurut istilah lain bunga adalah pembayaran keatas
modal yang dipinjam dari pihak lain. Bunga dapat juga
diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh lembaga
keuangan yang berdasarkan prinsip konvensional kepada
nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga
Menjawab Keraguan Umat Islam 4
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
dapat juga diartikan sebagai harga yang harus dibayar
kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dengan yang
harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang
memperoleh pinjaman).
Dalam istilah lain bunga memiliki arti sebagai harga
atau kompensasi atau ganti rugi yang dibayarkan untuk
penggunaan uang selama suatu jangka waktu. Ini
dinyatakan dalam suatu prosentasi dari jumlah uang yang
dipinjamkan atau dipakai selama suatu jangka waktu.

Hal ini sama persis artian bunga dengan riba yang telah
dikenal di dalam agama Islam. Riba yang berasal dari
bahasa arab secara etimologi diartikan sebagai tambahan,
meningkat atau membesar. Sedangkan menurut istilah
teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara bathil, baik dalam transaksi jual
beli maupun pinjam meminjam yang bertentangan dengan
kaidah syari.
Secara istilah Imam Sarakhsi menjelaskan riba sebagai
bentuk tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis
tanpa adanya padanan (iwadh) yang dibenarkan syariah
atas penambahan tersebut. Sedang menurut Badr ad-Dien
al-Ayni prinsip utama riba adalah penambahan. Menurut
syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa
adanya transaksi bisnis riil.
Unsur kesamaan yang dimiliki antara bunga, yang
dijalankan di dalam perkembangan ekonomi kapitalis dan
dianut oleh lapisan masyarakat dunia, dengan riba yang
telah berkembang dan diwariskan oleh masa jahiliyah,
memberikan akibat hukum pelarangan terhadap bunga
5 Menjawab Keraguan Umat Islam
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
tersebut. Oleh karena, riba secara qothi telah di nash di
dalam al-Quran, haram hukumnya. Pengharaman terhadap
bunga karena adanya kesamaan illat dengan riba, yaitu
adanya tambahan.
Perkembangan ekonomi kapitalis, perumus konsep bunga,
yang telah mengakar dan serta telah merasuk di dalam
sendi-sendi sistem berekonomi masyarakat dunia, telah
memasung alam pikir seseorang, sehingga menganggap
praktek pembungaan pada setiap pinjaman atau transaksi
hutang piutang adalah suatu hal yang wajar dan selayaknya
untuk dilakukan. Rasionalisasi pola pikir yang dibangun
oleh mereka telah mengenyampingkan nilai keadilan yang
seharusnya sebagai prinsip dasar di dalam melakukan
kegiatan ekonomi. Sehingga tidak menimbulkan salah
satu diantaranya teraniaya.
Rumitnya persoalan mengenai bunga, yang tentunya tidak
mudah terpahami oleh orang awam, maka sangat berdasar
ketika bunga tersebut harus diberikan legalitas fatwa oleh
MUI, yang telah dikeluarkan pada tanggal 16 Desember
2003, menetapkan bahwa praktek pembungaan uang telah
dianggap memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman
Rasulullah SAW, yakni riba nasiah. Dengan mendefnisikan
bunga (interest) adalah tambahan yang dikenakan untuk
transaksi pinjaman uang yang diperhitungkan dari pokok
pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/
hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, dan
diperhitungkan secara pasti dimuka berdasarkan
persentase.
Istilah tersebut disamakan dengan istilah riba yang berarti
tambahan tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan
Menjawab Keraguan Umat Islam 6
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
dalam pembayaran yang dijanjikan sebelumnya.
B. Pelarangan Bunga
Nash al-Quran yang telah memberikan landasan dasar
di dalam mengambil dalil untuk menghukumi atau
menjustifkasi atas pelarangan bunga dapat disandarkan
pada surat al-Baqarah (2) ayat 275-279, Ali Imran (3) ayat
130, an-Nisa (4) ayat 161 dan surat ar-Rum (30) ayat 39.
Dari ayat-ayat tersebut telah di bahas tentang proses dari
pengharaman terhadap riba. Di dalam Bunga terdapat
unsur yang merupakan unsur yang dimiliki oleh riba,
yaitu pembebanan nilai tambah pada harta tanpa adanya
kegiatan yang haq.
Turunnya ayat tentang pengharaman riba terjadi melalui
empat tahapan. Di mana pada tahapan pertama turun pada
periode Makkah, Allah SWT tidak menegaskan keharaman
riba tetapi hanya memberikan isyarat bahwa riba di benci
dan tidak ada nilai kebaikannya di sisi Allah SWT. Hal ini
terkandung di dalam surat ar-Rum (30) ayat 39.
Sebagian besar sahabat dan ahli tafsir berpendapat bahwa
riba yang di maksud di sini adalah pemberian bukan
tambahan (riba) yang diharamkan. Berkata Ibnu Abbas,
Ibnu Jubair, Thowus dan Mujahid : Ayat ini turun terkait
dengan hibatus tsawab (pemberian yang mengharapkan
imbalan).
Menurut Ibnu Katsir di dalam ayat ini dikatakan sebagai
riba yang mubah, riba yang dihalalkan oleh Allah. Karena
7 Menjawab Keraguan Umat Islam
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
kata riba di sini terdefnisi sebagai hadiah yang diberikan
seseorang dengan mengharapkan imbalan yang lebih.
Tahapan kedua, turun pada periode madinah yang termaktub
pada surat an-Nisa ayat 161, yang telah memberikan
isyarat akan keharaman riba karena adanya madharat
yang terkandung di dalamnya, ayat ini memberikan
pembelajaran atas kejahatan yang ditimbulkan riba seperti
yang telah berkembang pada masyarakat Yahudi.
Tahapan ketiga, pada tahapan ini Allah telah memberikan
ketegasan atas haramnya riba, namun belum memberikan
arti haram pada keseluruhan unsur yang terdapat pada
riba. Bentuk riba yang diharamkan hanya pada unsur atau
sifat riba yang berlipat ganda (adhafan mudhoafah).
Penegasan yang diberikan ini terdapat pada nash al-Quran
surat Ali Imran (3) ayat 130.
Tahapan keempat, secara jelas Allah telah mengharamkan
riba secara keseluruhan dari semua bentuk tanpa ada
pengecualian, dan menutup segala kesangsian dan
keraguan atas pendapat tentang riba. Hal ini disampaikan
melalui frman Allah SWT pada surat al-Baqarah (2) ayat
275-278.
Meninggalkan riba adalah suatu kewajiban bagi setiap
orang yang beriman, tidak dikatakan beriman jika
seseorang masih melakukan praktek riba, karena antara
riba dan iman diisyaratkan pada ayat terakhir ini, tidak
pernah menyatu di dalam diri seseorang. Jika seseorang
melakukan praktek riba, maka itu bermakna ia tidak
percaya pada Allah dan janji-janji-Nya.
Menjawab Keraguan Umat Islam 8
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
Dianjurkan di dalam syariah Islam kepada setiap umatnya
untuk melakukan kebaikan kepada sesamanya yang
mempunyai nilai lebih dari shadaqah, yaitu kebaikan
kepada seseorang dengan memberikan kelonggaran waktu
ketika orang tersebut berhutang dan tidak bisa membayar
ketika sudah jatuh tempo. Maka Allah akan memberikan
pahala yang berlipat ganda kepada seseorang yang telah
menghutangkan hartanya dengan baik (qardh hasan),
ketika mengharap pinjamannya kembali pada saat itu,
akan tetapi tertunda karena si penghutang tidak sanggup
membayarnya, dan diterima penundaan itu dengan sabar
dan lapang dada, seperti yang telah dijanjikan di dalam
surat al-Hadid (57) ayat 11.
Rasulullah SAW mengkategorikan keharaman riba dengan
mengklasifkasikan pada tujuh dosa besar yang harus
ditinggalkan oleh umatnya. Dalam riwayat Abdullah Ibnu
Masud di katakan bahwa Rasulullah SAW melaknat para
pemakan riba, yang memberi dengan cara riba, para saksi
dalam masalah riba, dan para penulisnya. (HR. Abu Daud
dan Muslim).
Sering kali para ulama dan atau cendekiawan muslim
terjebak di dalam memberikan landasan hukum, pada
praktek bunga yang sangat mendominasi di dalam
perkembangan ekonomi selama ini. sebagian ada yang
menganggap bahwa unsur yang terkandung di dalam bunga
belum memenuhi kriteria yang terdapat pada arti riba. Hal
ini disandarkan pada makna riba yang diturunkan pada
surat Ali Imran (3) ayat 130. Di mana pada ayat ini makna
riba ditegaskan dengan arti kata jumlah yang berlipat-lipat
(adhafan Mudhoafah).
9 Menjawab Keraguan Umat Islam
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
Makna adhafan mudhoafah dalam tata bahasa arab
adalah bentuk kata jama yang merupakan sifat pada
bilangan harta, jika diartikan secara harfyah kata jama di
mulai dengan bilangan tiga (3), maka akan dikalikan dua
(2) menjadi enam (6). Misal, jika seseorang berhutang 100
ribu maka bayarnya harus 300 ribu di kali 2 menjadi 600
ribu.
Hal ini yang menyebabkan adanya ulama Islam berpendapat
bahwa bunga bukan diartikan sebagai bentuk riba dan
di perbolehkan dalam transaksi bisnis, karena dianggap
akan memberi manfaat bagi umat manusia, dengan
dalih untuk kepentingan umum (maslahah) karena di
masyarakat tradisional tingkat suku bunga nilainya masih
lebih rendah dari pada pembebanan terhadap hutang yang
telah di berikan oleh kaum rentenir. Sehingga Mufti besar
Mesir, Muhammad Abduh kemudian di teruskan oleh
muridnya Rasyid Rida, menyetujui deposito bank tabungan
di awal abad XX. Pembebanan bunga pada deposito
yang ditawarkan pada masyarakat dianggap tidak terlalu
memberatkan, karena hanya diambil dengan prosentase
lebih kecil dari jumlah dana tabungan.
Pendapat lain yang memperbolehkan bunga lebih banyak
terpengaruh dengan pola pikir yang beranggapan bahwa
nilai uang sekarang lebih berharga dari pada nilai uang di
masa yang akan datang. Yang diartikan sebagai terjadinya
suku bunga nominal yang hanya sekedar mengimbangi
laju infasi.
Bila suku bunga tersebut tidak mengimbangi laju infasi
maka sama halnya berarti bahwa pada hakikatnya pemilik
uang memberi subsidi kepada pihak yang meminjam.
Menjawab Keraguan Umat Islam 10
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
Karena pada saat terjadi infasi, uang yang dipinjamkan
tidak akan mencukupi untuk dibelikan pada barang yang
sama saat waktu meminjam.
C. Nilai Keadilan terhadap Pelarangan bunga
Di dalam inti ajaran agama Islam konsep nilai keadilan
adalah merupakan inti semua ajaran yang diwajibkan
untuk dilaksanakan pada setiap kegiatan. Adil kepada
setiap orang dan juga adil untuk diri sendiri merupakan
cerminan Islam dalam mengajarkan umatnya. Al-
Quran sendiri secara tegas menyatakan bahwa maksud
diwahyukannya, adalah untuk membangun keadilan dan
persamaan (al-Quran 57:25 dan 7:29). Adil menurut Islam
adalah tidak membahayakan bagi yang lain dan juga tidak
membahayakan bagi dirinya sendiri (Laa dharara wa laa
dhiraar) atau tidak melakukan tindakan yang mendzalimi
dirinya sendiri ataupun orang lain (laa tadzlimuuna wa laa
tudzlamuun).
Adil berarti juga dapat menempatkan sesuatu pada yang
haq. Tidak dapat dibenarkan bagi seseorang melakukan
tindakan yang bukan kewenangan dirinya, atau mengambil
sesuatu tanpa adanya perbuatan yang dibenarkan. Di
dalam unsur keadilan sering kali terjadi karena adanya
unsur eksploitasi kepada yang lain, melakukan tindakan
sewenang-wenang tanpa berpikir tentang akibat yang
akan ditimbulkannya dengan mengenyampingkan unsur
moralitas.
11 Menjawab Keraguan Umat Islam
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
Penerapan bunga pada prinsip ekonomi kapitalis lebih
bersifat individualistik, yang hanya berpikir untuk
kepentingan pribadinya tanpa memperdulikan keadaan
lingkungan sekitar. Beban bunga pada setiap dana yang
dipinjamkan kepada yang lain akan dapat memberatkan
dan menyulitkan ketika batas waktu pengembalian telah
datang. Di samping harus mengembalikan nominal pokok
dari dana yang di pinjam, seseorang harus memberikan
tambahan lebihan dari dana tersebut. Tidak dipedulikan
apakah orang tersebut mampu membayar atau tidak. Dan
jika saat batas waktu tidak dapat membayar maka beban
bunga secara otomatis akan bertambah.

Secara jelas dapat terlihat bahwa unsur eksploitasi yang
terdapat di dalamnya cukup kuat, dan ada salah satu
pihak yang terdzalimi, di mana seseorang yang meminjam
dana harus terbebani risiko. Kalau di dalam perbankan
lazimnya pemilik harta yang yang menitipkan dan atau
menginvestasikan uangnya seharusnya menaggung risiko
investasi bukan mendapat jaminan pengembalian seluruh
pokok investasi.
Tindakan tidak adil dapat kita lihat dalam praktek
perbankan selama ini, yaitu:
Bunga yang dibayarkan kepada nasabah pemilik 1.
dana bukan berdasarkan hasil usaha bank dan waktu
pemakaian uang yang sebenarnya, apalagi berdasarkan
hasil dan waktu pemakaian uang oleh nasabah pemakai
dana. Timbul pula kondisi dzalim dari nasabah pemilik
dana terhadap bank.
Bila bank tidak sanggup membayar sebagian atau 2.
seluruh bunga dan pokok uang simpanan nasabah
pemilik dana dari pembayaran nasabah pemakai dana,
Menjawab Keraguan Umat Islam 12
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
maka bank harus membayar dari modal dan harta lain
milik bank. Bila tak sanggup lagi, maka pemerintah
mengambil alih kewajiban bank dan selanjutnya jadi
beban rakyat. Timbul kondisi dzalim dari nasabah
pemilik dana dan pemilik bank kepada pemerintah dan
rakyat.
Bila nasabah pemakai dana tak sanggup membayar 3.
sebagian atau seluruh bunga dan pokok uang yang
dipakai maka bank mengambil pembayaran sisa
kewajiban nasabah pemakai dana dari pencapaian
jaminan. Timbul moral hazard.
Adanya kegiatan yang menjadikan uang sebagai 4.
komoditi. Padahal uang tidak dapat menghasilkan
sesuatu sampai uang itu berganti menjadi harta atau
hak pengguna harta. Timbul moral hazard.
Bunga yang harus dibayarkan oleh nasabah pemakai 5.
dana ditentukan berdasarkan jumlah uang dan jangka
waktu hak pemakaian uang bukan berdasarkan hasil
pemakaian uang oleh nasabah pemakai dana maupun
jenis transaksi yang dibiayai oleh bank. Timbul kondisi
dzalim dari bank terhadap nasabah pemakai dana.
Adanya keberpihakan sistem kepada orang yang 6.
memiliki uang untuk memperoleh hasil tanpa harus
bekerja, terlepas apakah uang tersebut digunakan atau
tidak untuk kegiatan yang memberikan nilai tambah.
13 Menjawab Keraguan Umat Islam
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
D. Pendapat Ulama tentang Bunga
Para ulama telah sepakat bahwa bunga Bank haram
hukumnya karena tergolong ke dalam riba, hal ini seperti
yang termaktub dalam Al-Quran dan Hadis, yang intinya
: Allah swt dan Rasulullah melaknat orang-orang yang
memakan riba.
Beberapa alasan mengapa bunga menjadi dilarang dalam
Islam, diantaranya adalah :
Bunga ( 1. interest), sebagai biaya produksi yang telah
ditetapkan sebelumnya cenderung menghalangi
terjadinya lapangan kerja penuh (full employment)
[M.A. Khan, 1986; Ahmad, 1952; Mannan, 1986].
Krisis-krisis moneter internasional terutama disebabkan 2.
oleh institusi yang memberlakukan bunga [M.A. Khan,
1986].
Siklus-siklus bisnis dalam kadar tertentu dinisbahkan 3.
kepada fenomena bunga [Ahmad, 1952; Suud,
1980].
Teori ekonomi modern yang berbasis bunga ini belum 4.
mampu memberikan justifkasi terhadap eksistensi
bunga [Khan dan Mirakhor, 1992].
Dalam Al-Quran dan Hadis, dinyatakan bahwa penarikan
bunga adalah tindakan pemerasan dan tidak adil sehingga
tidak sesuai dengan gagasan Islam tentang keadilan dan
hak-hak milik, Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
Menjawab Keraguan Umat Islam 14
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamakan riba....... (QS Al-Baqarah : 275).
Pendapat Prof. KH. Ibrahim Hosen tentang Bunga
Sebagai penguat, untuk menghilangkan keragu-raguan
di hati umat Islam, mengenai status hokum bunga bank
haram, di bawah ini dikutipkan pendapat Prof. KH. Ibrahim
Hosen. Tulisan ini merupakan cuplikan dari makalah yang
pernah disampaikan di forum Lokakarya Nasional MUI
yang diadakan di Cisarua pada tahun 1990. Intinya, tulisan
ini ingin menegaskan bantahan bagi pendapat orang atau
kelompok yang masih bersikukuh dengan hukum halalnya
bunga bank.
Pendapat yang mengatakan bahwa karena darurat maka
bunga bank menjadi boleh/halal.
Tepatkah dengan alasan darurat, bunga bank itu menjadi
boleh/halal? Menurut hemat saya mengatakan bahwa
bunga bank itu boleh/halal dengan alasan darurat adalah
tidak tepat. Kenapa? Sebab apa yang mereka katakan
sebagai darurat itu berlawanan dengan pengertian
darurat yang dikehendaki dalam dunia hukum Islam, yang
rumusannya sbb:
Sampainya seseorang pada batas suatu kondisi yang
apabila orang itu tidak melakukan hal-hal yang dilarang
maka akan binasa (rusak atau mati) atau mendekatinya.
15 Menjawab Keraguan Umat Islam
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
Sesuai dengan defnisi darurat di atas maka menurut
hemat saya adalah tidak tepat kalau darurat dijadikan
argumentasi untuk menghalalkan bunga bank.
Apakah mereka yang mendirikan bank itu kondisinya
sudah sampai batas itu? Apakah mereka-mereka yang
meminjam uang di bank itu kondisinya sudah sampai batas
tersebut?
Dan seandainya hal itu bisa diterima, juga tetap tidak dapat
dipertahankan. Sebab yang namanya darurat tentu ada
batas-batasnya dan ada masa berlakunya, sejalan dengan
kaidah :
Masa berlakunya darurat harus dibatasi/diperkirakan
sesuai dengan batas-batasnya/ukurannya.
Atas dasar ini seharusnya kalau pemerintah sudah
mendirikan bank maka pihak swasta tidak dibenarkan
untuk mendirikan bank lagi. Di samping itu kebolehan
mendirikan bank bagi pemerintah pun selamanya, dengan
pengertian pemerintah harus mengusahakan berdirinya
bank yang tanpa bunga. Demikian juga dalam kaitannya
dengan orang yang bermuamalah dengan bank, tentu
kebolehannya ada batas-batasnya, tidak terus-menerus.
Di samping itu untuk mengetahui kapan limit darurat itu
selesai/berhenti juga sulit.
Pendapat yang mengatakan kalau bunganya tidak berlipat
ganda boleh/halal.

Tepatkah alasan yang mengatakan bahwa kalau bunganya
tidak berlipat ganda boleh/halal dengan alasan mafhum
Menjawab Keraguan Umat Islam 16
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
mukhalafah ayat :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda(Ali Imron, 130).
Ushuliyyin telah konsensus bahwa qaid/keterangan yang
sudah ada faedahnya tidak ada mafhum mukhalafah, qaid/
keterangan yang sudah ada faedahnya itu antara lain:
1. Untuk menyesuaikan jawaban dengan pertanyaan.
Misalnya seorang mahasiswa bertanya kepada dosen
:apakah mahasiswa yang berbaju putih itu boleh masuk?.
Maka dosen menjawab : Oh ya, mahasiswa yang bajunya
putih itu boleh masuk. Ucapan dosen ini tidak bisa
dipahami (sebagai mafhum mukhalafahnya) bahwa yang
bajunya tidak putih tidak boleh masuk, itu tidak. Karena
keterangan yang berbaju putih tadi sudah ada faedahnya,
yaitu sekedar untuk menyesuaikan dengan pertanyaan
yang diajukan.
2. Menerangkan fakta/kejadian yang terjadi.
Contohnya seperti ayat 130 Ali Imron di atas. Kata Adlafan
Mudlafah, yang artinya berlipat ganda dalam ayat tersebut
sudah ada faedahnya, yaitu menerangkan fakta/kejadian
yang terjadi; dimana riba yang terjadi di zaman Jahiliyah
itu pada umumnya bunganya berlipat ganda. Oleh karena
itu maka Adlafan Mudhaafah tidak ada mafhum
mukhalafahnya; sehingga tidak dapat dipahami bahwa riba
yang bunganya tidak berlipat ganda maka hukumnya halal/
boleh, itu tidak. Dalam hal ini ulama telah konsensus.
Kalau seandainya ayat 130 Ali Imron di atas ada mafhum
mukhalafah-nya maka nash-nash lain senada atau sejenis
harus pula dipahami demikian (ada mafhum mukhalafah-
17 Menjawab Keraguan Umat Islam
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
nnya). Misalnya :
Al-Isra, 31 : dan janganlah kamu membunuh anak-
anak kamu karena takut kemiskinan. Sebagai mafhum
mukhalafah-nya maka kita boleh membunuh anak-anak
kita kalau motivasinya bukan karena miskin/tidak bisa
memberi makan. Nah, apakah memang demikian?
An-Nisa, 101 : apabila kamu bepergian di muka bumi
maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat,
jika kamu takut diserang orang-orang kafr. Sebagai
mafhum mukhalafah-nya berarti dalam kondisi aman
kita tidak dibenarkan meng-qashar shalat dalam waktu
bepergian. Nah, apakah memang demikian? Ulama
telah konsensus bahwa kebolehan mengqashar shalat
bagi musafr adalah mutlak, baik dalam kondisi khawatir
diserang musuh atau dalam keadaan aman.
An-Nisa, 23 : dan haram menikahi anak-anak istrimu
(anak tiri) yang dalam pemeliharaan/asuhanmu dari
istri yang telah kamu campuri. Sebagai mafhum
mukhalafahnya berarti kita boleh menikahi anak tiri,
kalau anak tiri itu tidak dalam pemeliharaan/asuhan
kita. Nah, apakah memang demikian?
Hadits Nabi : hendaklah kamu beristinjak dengan
tiga batu. Mafhum mukhalafah-nya berarti kita tidak
boleh/tidak sah beristinjak dengan selain tiga batu.
Nah, apakah demikian? Hal ini menunjukkan bahwa
ayat-ayat atau hadits semacam itu memang tidak
ada mafhum mukhalafah-nya. Dalam hal ini Ulama
telah konsensus. Jadi kalau kita mengatakan bahwa
Adl-afan Mudlaafah ada mafhum mukhalafah-
nya; sehingga dipahami bahwa riba yang bunganya
tidak berlipat ganda halal/mubah maka berarti kita
melanggar kaidah hukum Islam yang telah disepakati
oleh Ushuliyyin.
Menjawab Keraguan Umat Islam 18
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
Disamping itu pemahaman tersebutAdlafan Mudlaafah
ada mafhum mukhalafah-nya- juga kontra dengan mantuq
(penegasasn tekstual) ayat 278 Al-Baqarah :
dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka
bagimu pokok hartamu, tidak boleh menganiaya dan tidak
boleh dianiaya.
Menurut kaidah Ushl Fiqh apabila mafhum (pemahaman
kontekstual/ pengertian tersirat) berlawanan dengan
mantuq (penegasan tekstual/ pengertian tersurat) maka
yang dimenangkan adalah mantuq. Pemahaman mafhum
semacam itu menjadi gugur.
Atas dasar itu semua maka sekali lagi pendapat yang
mengatakan bahwa bunga bank itu boleh/halal apabila
tidak berlipat ganda adalah tidak benar.
Hal itu muncul dari orang-orang yang tidak memahami
metodologi penggalian hukum Islam sebagaimana diuraikan
dalam buku-buku Ushl Fiqh. Dengan tidak bepedoman dan
tidak mengikuti kaidah-kaidah hukum yang telah disepakati
oleh para Ulama tersebut akibatnya akan merusak ayat-
ayat al-Quran dan Hadits Nabi. Ini berbahaya.
3. Pendapat yang menyatakan bahwa bunga bank untuk
tujuan produktif boleh/halal.
Tepatkah pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank
untuk tujuan produktif boleh/halal dan untuk tujuan
konsumtif haram, dengan alasan karena riba di zaman
jahiliyah adalah bersifat konsumtif?
19 Menjawab Keraguan Umat Islam
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
Pendapat ini menurut hemat saya juga tidak tepat. Kenapa?
Karena kata riba dalam ayat Al-quran adalah memakai
al (al-riba). Al di sini adalah Liljinsi atau Lii-Istighraq yang
berarti umum. Jadi mencakup yang produktif dan konsumtif.
Kedua-duanya sama tidak ada bedanya, yakni sama-sama
haram.
Menurut kaidah-kaidah hukum Islam untuk mengeluarkan
/mengecualikan sesuatu diperlukan dalil yang mentahsis
(mengecualikan) baik naqli maupun aqli. Mengadakan
pentahsisan (pengecualian) tanpa dalil adalah Tahakum
(membuat-buat hukum sendiri/mengada-ada). Hal ini
sangat berbahaya.
Demikian juga apabila Al yang ada di kata RIBA tersebut
dimaksudkan sebagai AL Lilahdi, yang berarti menunjuk
kepada riba yang berlaku di zaman jahiiliyah maka tetap
tidak dapat diartikan bahwa yang bersifat produktif itu
halal/boleh. Sebab dalam kondisi semacam itu (Al-lilahdi)
maka berarti ayat tersebut mutlaq. Dalam hal ini tidak ada
dalil lain yang mentaqyidkannya (membatasinya). Oleh
karena itu maka ayat tersebut berlaku sesuai dengan
kemutlakannya, yakni baik produktif maupun konsumtif
sama saja, yaitu hukumnya haram.
4. Pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank itu
bukan riba dengan alasan bahwa bunga bank itu adalah
sewa.
Berdasarkan kaidah-kaidah ilmu fqih, pendapat ini juga
tidak tepat. Kenapa? Sebab dalam ilmu fqih disebutkan
bahwa diantara syarat sewa-menyewa ialah hendaknya
barang yang disewakan zatnya tetap (Baqa Ainihi). Untuk
Menjawab Keraguan Umat Islam 20
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
itu maka tidak syah menyewakan makanan atau minuman.
Sebab makanan dan minuman bila dimanfaatkan/diambil
manfaatnya zatnya akan habis. Demikian juga uang zatnya/
bendanya tidak tetap, sebab ia berputar, untuk itu maka
tidak sah untuk disewakan berdasarkan kaidah-kaidah
Ilmu Fiqih.
Atas dasar ini maka tidak tepat kalau hal ini dijadikan
argumentasi bagi halalnya atau bolehnya melakukan
bunga bank.
5. Pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank boleh/
halal dengan alasan bahwa hal itu adalah pemanfaatan
uang.
Tepatkah pendapat ini untuk dijadikan alasan pembenaran
bunga bank? Menurut hemat saya pandangan in juga tidak
tepat. Sebab berlawanan dengan hadits nabi:
setiap pinjaman yang menarik manfaat adalah riba.
Hadits di atas sekalipun keshalihannya diperselisihkan,
namun telah menjadi kaidah Fiqhiyah yang diakui
kebenaranya oleh para Ulama. Berdasarkan Hadits tersebut
secara jelas dapat kita pahami bahwa pemanfaatan uang
di balik pinjaman/hutang-piutang itulah yang namanya riba
yang di larang oleh Islam.
Selain itu pendapat di atas juga berlawanan dengan fatwa
Syekh Jadal Haq Ali Jadal Haq ketika menjadi Mufti besar
Mesir yang mengatakan bahwa setiap pinjaman/hutang
yang menarik manfaat adalah riba dan hukumnya haram,
sejalan dengan pengertian Hadits di atas.
21 Menjawab Keraguan Umat Islam
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
Beberapa alasan yang dijadikan oleh sementara kalangan
untuk menghalalkan bunga bank sebagaimana disebutkan
di atas mengingatkan kita terhadap alasan orang-orang
Arab Jahiliyah yang mengatakan bahwa riba itu sama
dengan jual beli (Innamal Balu Mitslurriba). Dalam uslub
(struktur kalimat) ini mereka ungkapkan dalam bentuk
Tasybih Maqlub untuk menunjukkan bahwa riba itu sama/
persis betul jual beli, menurut pandangan mereka (orang-
orang Arab Jahiliyah).
Ungkapan mereka yang menyamakan riba dengan jual beli
itu jelas tidak benar. Dan untuk ini Allah SWT membantah
dengan penegasannya :
Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
Sebagian besar mufassirin menyatakan bahwa hal ini
termasuk pembatalan qiyas dengan nash.
Dalam hal ini pengarang Tafsir Al-Manar menyebutkan
tentang perbedaan riba dengan jual beli di mana antara
lain disebutkan bahwa jual beli adalah transaksi dalam
bentuk penukaran barang yang satu dengan yang lain,
sedangkan riba adalah tambahan yang diambil dari orang
yang berhutang sebagai imbalan dari tempo penundaan
pembayaran hutangnya. Jadi tidak sama. Sisi lain agama
hanya menghalalkan suatu keuntungan yang diperoleh
lewat usaha, seperti keuntungan dalam jual-beli. Agama
tidak membenarkan menarik keuntungan dari orang lain
yang tidak ada imbalannya secara konkrit, yang pada
hakikatnya dalam hal ini adalah memakan harta benda
orang lain dengan cara batil, seperti apa yang terjadi pada
praktek riba.
Menjawab Keraguan Umat Islam 22
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
Jadi alasan itu mereka cari-cari yang tidak berlandaskan
dengan dalil atau kaidah-kaidah yang dibenarkan sepanjang
kajian ilmiah hukum Islam. Nauzu billah.
6. Pendapat yang menyatakan bahwa bunga bank sama
dengan riba yang dilakukan oleh perorangan.
Pendapat ini perlu kita bahas secara seksama. Inilah
maksud dari seminar pada hari ini. Menurut hemat saya
ayat-ayat yang melarang melakukan riba khitbahnya
ditujukan kepada perorangan atau individu, yaitu manusia
mukallaf. Dalam hal ini nash itu statusnya Qathiy.
Tugasnya tidak ditujukan kepada badan hukum, dalam
hal ini bank. Terhadap badan hukum yang melakukan riba
yang dikenal dengan istilah bunga masalahnya adalah
maskut anhu, tidak termasuk dalam cakupan ayat yang
melarang riba. Sebab pada waktu itu (turunnya ayat yang
melarang riba) bank itu belum ada. Ini adalah fakta. Oleh
karena masalahnya maskut anhu maka disinilah Ijtihad
memainkan peranannya. Untuk itu marilah hal ini kita
kaji secara seksama dengan mempergunakan lembaga
ijtihad.
Mencari Pemecahan
Untuk mencari jalan keluar guna memecahkan masalah
bunga bank (bank perkreditan/pinjam-meminjam/utang-
piutang) sepanjang kajian Ilmu Fiqih dan Ushl Fiqih menurut
hemat saya dapat dilakukan melalui dua pendekatan sbb:
Kaidah 1. Al-Ibrah Bikhusussibah La Biumumillafdhi
(yang dijadikan pedoman/pegangan adalah ksususnya
sebab bukan umumnya lafadh).
23 Menjawab Keraguan Umat Islam
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
Adakah Fiqih mengenal Badan Hukum ataukah tidak? 2.
Kaidah Al-Ibrah Bikhusussibah La Biumumillafdhi.

Kaidah ini adalah kebalikan kaidah yang dipegangi oleh
Jumhur yang menyatakan Al-Ibrah Bi ummumillafdhi la
bikhussusissabab; yang dijadikan pedoman/pegangan
adalah umumnya lafadh bukan khususnya sebab. Memang
yang kuat adalah kaidah yang dipegangi oleh Jumhur
tersebut. Akan tetapi menurut ketentuan Ushul Fiqih-,
hal itu berlaku kalau sebabnya tidak dominan. Dalam
kondisi sebabnya itu dominan maka yang berlaku adalah
kebalikannya, yaitu kaidah Al ibrah Bikhususissabab la
biumumillafadhi, artinya yang dijadikan pedoman adalah
khususnya sebab, bukan umumnya lafadh.
Kalau kita pelajari, ayat yang menerangkan haramnya
riba latar belakang turunnya adalah karena ada sebab,
yaitu praktek riba di zaman Jahiliyah yang dilakukan oleh
perorangan yang di dalamnya terjadi praktek penindasan
terselubung yang dilakukan oleh orang-orang kaya yang
memberi pinjaman terhadap orang-orang lemah yang
mendapatkan pinjaman yang seharusnya dibantu. Atas
dasar ini maka ayat riba tersebut hanya berlaku untuk
praktek riba d zaman Jahiliyah yang dilakukan oleh
perorangan dan praktek lain yang bisa diqiyaskan seperti
rentenir/lintah darat.
Mengenai bunga bank tidak termasuk ke dalam umumnya
lafadh riba. Sebab bank adalah badan hukum, bukan
perorangan; di mana sistem perbankan pada waktu itu
Menjawab Keraguan Umat Islam 24
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
(zaman Jahiliyah/permulaan Islam) belum ada.
Apabila kita melihat semangat ayat-ayat riba maka dapat
kita pahami bahwa riba yang dilarang itu adalah yang
dilakukan oleh perorangan. Mari kita renungkan secara
seksama ayat-ayat riba di bawah ini:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah
dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan menerangimu. Dan jika
kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak boleh menganiaya dan
tidak boleh dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu)
dalam kesukaran maka berilah tangguh waktu sampai ia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua
hutang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al-
Baqarah,278-280).
Dari ayat-ayat di atas dapat kita ketahui bahwa khihab
riba itu kepada pribadi atau perorangan. Dalam ayat-ayat
di atas nampak jelas. Dan faktanya memang bank belum
ada seperti telah disebutkan. Oleh karena tidak tercakup
pada ayat-ayat tentang riba tersebut maka bank statusnya
Maskut anhu. Oleh karena maskut anhu maka terbukalah
peranan Ijtihad. Untuk itu maka timbullah bermacam-
macam pandangan dan pendapat yang antara lain telah
disebutkan di atas. Untuk menghadapi masalah ini marilah
kita bicarakan apakah fqih itu mengenal badan hukum
ataukah tidak.
25 Menjawab Keraguan Umat Islam
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
E. Kelemahan Sistem Bunga
Kelemahan dari sistem bunga sendiri, antara lain :
Tabungan yang direncanakan tidak selalu sama dengan 1.
investasi yang direncanakan.
Suku bunga bukan faktor yang menjamin untuk 2.
menyamakan tingkat tabungan dengan tingkat
investasi, melainkan tingkat pendapatan.
Suku bunga yang tinggi akan mempengaruhi turunnya 3.
investasi, tingkat produksi, dan kesempatan kerja.
Suku bunga kecil pengaruhnya terhadap tabungan dan 4.
investasi.
Bukan suku bunga yang menjamin keseimbangan 5.
antara tabungan dan investasi, melainkan tingkat
investasi.
Perilaku spekulasi akan mempengaruhi ketidakstabilan 6.
mekanisme ekonomi dan berdampak pada terpuruknya
ekonomi.
F. Fatwa MUI tentang Bunga
Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan fatwa
tentang bunga bank (Interest/Faidah), yaitu :
Bunga ( 1. interest/faidah) adalah tambahan yang
dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-
qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman
tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok
tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan
secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan
persentase.
Riba adalah tambahan ( 2. ziyadah) tanpa imbalan yang
terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang
Menjawab Keraguan Umat Islam 26
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
diperjanjikan sebelumnya.
Praktek pembungaan haram hukumnya, baik yang 3.
dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian,
Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun
dilakukan oleh individu.
G. Pembagian Riba
Riba dari segi bahasa (lughat), artinya merupakan
tambahan atau kelebihan. Dalam ilmu fqh dikenal 3 (tiga)
jenis riba, yaitu :
Riba 1. Fadl/riba buyu, yaitu riba yang timbul akibat
pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria
sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya
(sawa-an bi sawa-in), dan sama waktu penyerahannya
(yadan bi yadin). Pertukaran ini mengandung gharar
(ketidakjelasan) bagi kedua belah pihak akan nilai
masing-masing barang yang dipertukarkan. Dalam
perbankan konvensional riba fadl dapat ditemui dalam
jual beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara
tunai (spot).
Riba 2. Nasiah/riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat
hutang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung
muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil
usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman).
Riba ini muncul karena adanya perbedaan, perubahan,
atau tambahan antara barang yang diserahkan
hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian.
Transaksinya mengandung pertukaran kewajiban
menanggung beban. Dalam perbankan konvensional
riba nasiah dapat ditemui dalam pembayaran bunga
27 Menjawab Keraguan Umat Islam
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, dan
giro.
Riba 3. Jahiliyah, yaitu hutang yang dibayar melebihi dari
pokok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu
mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang
telah ditetapkan. Dalam perbankan konvensional riba
jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada
transaksi kartu kredit.
Menjawab Keraguan Umat Islam 28
Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba
PKES Publishing
KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil ialah sebagai
berikut:
Bunga ( 1. interest/faidah) adalah tambahan yang
dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-
qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman
tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok
tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan
secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan
persentase.
Riba adalah tambahan ( 2. ziyadah) tanpa imbalan yang
terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang
diperjanjikan sebelumnya.
Menurut Prof. KH. Ibrahim Hosen untuk mencari jalan 3.
keluar guna memecahkan masalah bunga bank (bank
perkreditan/pinjam-meminjam/utang-piutang) dapat
dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu:
Kaidah Al-Ibrah Bikhusussibah La Biumumillafdhi
(yang dijadikan pedoman adalah khususnya sebab
bukan umumnya lafadh).
Adakah Fiqih mengenal Badan Hukum ataukah
tidak?
MENJAWAB KERAGUAN
UMAT ISLAM TERHADAP
BANK SYARIAH
Uang Halal dan
Uang Haram
1
Keraguan
Menjawab Keraguan Umat Islam 30
Uang Halal dan Uang Haram
PKES Publishing
uatu hari, dalam sebuah acara seminar ekonomi
dan keuangan syariah yang diadakan oleh Pusat
Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES), seorang
peserta bertanya, apa betul ada uang halal dan
uang haram?. Pertanyaan tersebut muncul karena ada
anggapan dari penanya bahwa uang di bank konvensional
itu haram dan tidak halal.
Sekilas pertanyaan ini memang sederhana, tetapi setelah
dicermati membutuh-kan jawaban yang serius. Pada
dasarnya, tidak ada istilah uang halal ataupun uang haram.
Hal ini seperti ditegaskan oleh (Alm) Prof. KH. Ibrahim
Hosen, ulama fqh Indonesia. KH. Ibrahim Hosen melihat
subtansi masalahnya ada pada perbuatan manusia, tidak
pada uang itu sendiri.
Lebih lanjut KH. Ibrahim Hosen menjelaskan, sesungguhnya
hukum Islam berhubungan dengan perbuatan manusia
mukallaf (beriman, balligh, dan berakal), baik berupa
tuntutan atau pilihan. Perbuatan manusia mukallaf tersebut
dikatakan hukum oleh para ulama fqh dengan pembagian
sebagaimana kita ketahui bersama, yaitu wajib, mandub
(sunnah), makruh, haram dan mubah.
Jadi, jelaslah bahwa hukum adalah berkaitan dengan
perbuatan atau tingkah laku. Hukum tidak berhubungan
dengan benda atau zat, akan tetapi hukum hanyalah
berhubungan dengan perbuatan, sehingga benda tidak
bisa disifati dengan haram atau halal.
Yang dimaksud dengan uang haram dalam kaitan hukum
Islam adalah uang yang diperoleh melalui jalan, cara atau
pekerjaan yang dilarang oleh agama. Jadi, ungkapan uang
S
31 Menjawab Keraguan Umat Islam
Uang Halal dan Uang Haram
PKES Publishing
haram adalah pengertian majazi atau kiasan. Namun,
hukum Islam mensifati benda sebagai najis. Najis ini
dapat dikategorikan dalam najis mughalladzah dan najis
mukhaffafah, sebagaimana kita ketahui benda najis
seperti air seni, tinja, darah, nanah dan daging babi.
Dengan menggunakan pendekatan halal yang bersifat
lighairihi (perbuatan) dan yang bersifat li zatihi (zatnya),
maka kita dapat memastikan bahwa uang haram tidak
bersifat najis (li zatihi), tetapi uang haram adalah hasil
perbuatan yang melanggar hukum Islam, sehingga
haramnya bersifat li ghairihi (perbuatan), bukan li zatihi.
Artinya, perbuatan manusia dalam memperoleh uang
menjadi batas antara yang halal dan yang haram. Karena
uang disepakati sebagai salah satu bentuk harta kekayaan,
maka banyak aktiftas kegiatan manusia diarahkan untuk
memperoleh uang tersebut. Ada sebagian manusia yang
memperoleh uang tersebut dengan cara yang halal dan
adapula sebagian manusia yang memperolehnya dengan
cara non halal atau haram.
Ajaran Islam telah menggariskan secara tegas antara
yang halal dan yang haram. Seperti dalam sebuah Hadits
Nabi disebutkan, al-halalu bayyinun walharamu bayyinun
wabainahuma umurun musyabbihat, perkara yang halal
itu sudah jelas begitupula dengan yang haram, sedangkan
diantara yang halal dan haram itu ada perkara yang tidak
jelas, maka hindarilah perkara yang tidak jelas.
Adapun contoh pemerolehan uang dengan cara yang
halal dalam ajaran Islam dapat melalui transaksi jual-
beli. Seperti yang telah ditegaskan dalam frman Allah Swt
dalam QS. Al-Baqarah [2]: 275, wa ahalla llahu al-baia
Menjawab Keraguan Umat Islam 32
Uang Halal dan Uang Haram
PKES Publishing
wa harrama ar-riba, Allah telah menghalalkan jual-beli
dan mengharamkan riba. Dalam hal ini, seorang penjual
akan memperoleh uang penjualan barangnya tetkala ada
seorang pembeli yang mengingingkan barang tersebut.
Terjadilah perpindahan hak milik dalam transaksi jual beli.
Pada awalnya, barang yang diperjualbelikan merupakan
milik penjual, sedangkan uang dijadikan alat transaksi
adalah milik pembeli. Setelah terjadi akad jual beli, barang
tersebut berpindah menjadi hak milik pembeli dan uang
tersebut menjadi milik penjual.
Sedangkan contoh pemerolehan uang dengan cara haram
atau non halal melalui praktek riba atau pembungaan
uang. Islam secara tegas mengharamkan praktek riba.
Pelakunya berarti memperoleh uang dengan cara haram.
Dalam hal ini, Allah Swt menegaskan melalui Rasul-Nya,
Muhammad Saw, bahwa praktek riba termasuk salah satu
kategori dosa besar yang pelakunya sama halnya dengan
orang yang berbuat zina.
***
Selaras dengan inti dari permasalahan ini, PKES telah
mengkampanyekan perilaku gerakan 3 H. Gerakan 3 H ini
bukan difahami sebagai bentuk perilaku halal, haram dan
hantam. Tetapi, 3 H di sini difahami sebagai perilaku gerakan
hidup yang mengacu pada prinsip (i) halal memperoleh, (ii)
halal mengkonsumsi dan (iii) halal memanfaatkan.
Halal memperoleh, berarti cara mendapatkan kekayaan
ataupun uang melalui jalan yang diperbolehkan dalam
ajaran Islam. Seperti, praktek jual beli dan sewa menyewa.
Adapun perilaku memperoleh uang dengan melalui jalan
33 Menjawab Keraguan Umat Islam
Uang Halal dan Uang Haram
PKES Publishing
non halal dapat dicontohkan dengan cara (i) mencuri, (ii)
mencopet, (iii) korupsi, (iv) melakukan praktek riba.
Halal mengkonsumsi, berarti cara mengkonsumsi barang
atau produk yang halal. Artinya, dalam melakukan kegiatan
konsumsi umat Islam harus harus selektif untuk memilih
barang yang akan dikonsumsi. Umat Islam harus dapat
membedakan antara barang yang halal dan barang yang
haram. Berkenaan dengan hal ini, sesungguhnya barang
yang halal itu jumlahnya lebih banyak dari pada barang
yang haram. Barang yang haram karena subtansi yang
dikandung-nya (haram li dzatihi) hanya berjumlah 4 (empat),
yaitu bangkai, darah, khamr dan babi. Tetapi, saat ini sudah
banyak produk olahan atau kosmetika yang tidak jarang
dicampur dengan barang haram, seperti lemak babi atau
gelatin. Akhir-nya, barang yang sudah tercampuri dengan
unsur haram, hukumnya juga haram untuk dikonsumsi.
Halal memanfaatkan, berarti cara memanfaatkan kekayaan
kita, termasuk uang yang kita miliki, sesuai dengan
syariah Islam. Misalnya, memberikan nafkah keluarga,
mengeluarkan zakat, berinfaq serta melakukan kegiatan
investasi yang dihalalkan. Adapun kegiatan investasi
yang diperbolehkan dalam ajaran Islam dapat berupa
penempatan modal atau uang di lembaga keuangan
syariah, seperti bank syariah, asuransi syariah, reksadana
syariah dan koperasi syariah.

***
Lebih lanjut mengenai penjelasan mengenai uang, dalam
tinjauan ilmu ekonomi Islam, diperoleh penjelasan bahwa
uang berfungsi sebagai alat tukar dan alat pengukur
Menjawab Keraguan Umat Islam 34
Uang Halal dan Uang Haram
PKES Publishing
suatu nilai barang. Pemahaman mengenai uang dalam
ekonomi Islam sudah pernah dikaji secara mendalam oleh
beberapa ekonom muslim terkenal, diantaranya ekonom
Imam al-Ghazali dalam kitabnya yang monumental, Kitab
Ihya Ulumuddin. Dalam pandangan Imam al-Ghazali, uang
diibaratkan sebagai cermin yang tidak berwarna tetapi
dapat mencerminkan warna yang ada. Dari pemikiran
ini dapatlah difahami bahwa uang itu hanya berfungsi
sebagai alat pengukur nilai dari satuan barang. Misal,
barang x nilai harganya Rp. 1000,- sedang barang y nilai
harganya Rp. 5000,-. Selain itu, dari pemikiran Imam al-
Ghazali di atas dapat difahami, bahwa uang juga berfungsi
sebagai alat tukar-menukar barang. Sampai di sini, fungsi
uang masih sejalan dengan kehendak syari. Tetapi, dalam
pandangan konvensional, uang tidak hanya difungsikan
sebagai alat transaksi ataupun alat pengukur nilai, lebih
dari itu, uang difungsikan sebagai alat spekulasi. Akhirnya,
dengan fungsi spekulasi ini, arah kegiatan perekonomian
konvensional menjadikan bunga sebagai instrumen dalam
kegiatan spekulasi.
Di sisi lain, Imam al-Ghazali juga memberikan ilustrasi
mengenai uang itu ibarat sebagai darah yang mengalir
dalam tubuh manusia. Jikalau darah yang mengalir dalam
tubuh manusia tersebut terhenti atau tersumbat dan tidak
mengalir dengan lancar, berarti manusia tersebut akan
mengalami kematian atau paling tidak akan merasakan
sakit dalam tubuhnya.
Begitu pula dengan uang, posisinya harus selalu berputar
dalam perekonomian suatu masyarakat. Satu kesalahan
besar dalam tinjauan ekonomi Islam, jika menghentikan
perputaran uang dalam perekonomian. Dalam hal ini, Islam
35 Menjawab Keraguan Umat Islam
Uang Halal dan Uang Haram
PKES Publishing
melarang keras penimbunan uang sehingga berakibat
pada berhentinya kegiatan perekonomian.
Beberapa ekonom modern, menjabarkan pemikiran Imam
al-Ghazali di atas dengan istilah fow concept. Dalam
konsep ini, uang difahami sebagai sesuatu yang harus
mengalir, seperti arus sungai yang mengalir. Bukan difahami
sebagai stock concept yang dapat ditahan oleh seseorang.
Hal ini, yang menjadi pembeda antara uang dalam
perspektif ekonomi Islam dengan uang dalam perspektif
konvensional. Para pemikir ekonomi konvensional
lebih suka memposisikan uang sebagai stock concept.
Pemahaman konvensional ini bertolak belakang dengan
prinsip uang yang diacu dalam ekonomi Islam. Pandangan
Islam mengenai uang ini sesuai dengan tuntunan dalam
QS al-Hasyr [59]: 7.
***
Menjawab Keraguan Umat Islam 36
Uang Halal dan Uang Haram
PKES Publishing
KESIMPULAN
Jadi, jelaslah bagi kita bahwa tidak ada istilah uang halal
ataupun uang haram. Masalahnya hanya terletak pada
bagaimana cara memperoleh uang tersebut, apakah
menggunakan cara yang halal atau haq (benar) atau
diperoleh melalui cara yang haram atau bathil (salah).
Masalahnya terletak dari asal usul diperolehnya uang
tersebut. Apakah uang tersebut diperoleh melalui cara
yang diperbolehkan oleh syariah Islam atau uang tersebut
diperoleh melalui cara yang yang tidak diperkenankan oleh
syariah Islam? Semoga Allah Swt menetapkan hati kita
untuk selalu berpegang pada perkara yang halal. Wallahu
alam bis showab.
MENJAWAB KERAGUAN
UMAT ISLAM TERHADAP
BANK SYARIAH
Pemanfaatan
ATM Bank
Konvensional
Oleh Nasabah
Bank Syariah
2
Keraguan
Menjawab Keraguan Umat Islam 38
Pemanfaatan ATM Konvensional
PKES Publishing
Saat ini, industri perbankan sudah memberikan
kemudahan-kemudahan dalam melakukan transaksinya.
Baik bank syariah ataupun bank konvensional, sama-sama
berlomba memberikan kemudahan kepada nasabahnya.
Semua ini, dalam rangka meningkatkan pelayanan yang
memuaskan (service satisfaction) bagi para nasabah yang
menggunakan jasa industri perbankan.
Salah satu dari fasilitas kemudahan yang dapat dinikmati
oleh nasabah adalah adanya ATM. ATM atau automatic
teller machine, difahami sebagai mesin yang berfungsi
sebagai teller atau kasir bank selama 24 jam sehari,
dimana nasabah dapat melakukan transaksi tanpa perlu
pergi ke bank.
***
Suatu hari Pak Ahmad, seorang nasabah bank syariah
yang tinggal di Bogor, melakukan transaksi menggunakan
ATM bank syariahnya di sebuah mesin ATM bank
konvensional. Apa yang dilakukan oleh Pak Ahmad bukan
karena ketidaksengajaan, tetapi Pak Ahmad melakukan
hal tersebut dengan penuh kesadaran, karena dari awal
ATM diperolehnya dari bank syariah yang ada di tangannya
dapat digunakan di gerai ATM bank konvensional lainnya.
Fakta ini tidak saja dialami oleh Pak Ahmad, tetapi dialami
juga oleh nasabah bank syariah lainnya, yang melakukan
transaksi via ATM bank konvensional. Adanya fasilitas
seperti ini, sesungguhnya memberikan nilai lebih bagi
pelayanan terhadap nasabah bank syariah. Dengan
dukungan teknologi informasi nasabah bank syariah dapat
bertransaksi secara on line di seluruh jaringan kantor
cabang bank syariah maupun jaringan bank induknya
39 Menjawab Keraguan Umat Islam
Pemanfaatan ATM Konvensional
PKES Publishing
(bank konvensional) serta dapat menggunakan ribuan ATM
yang tersebar di seluruh propinsi dan kota kabupaten.
Realita seperti ini bukannya diterima sepenuh hati oleh
umat Islam di Indonesia. Karena di benak sebagian umat
Islam masih menyisakan keraguan dengan keabsahan
dari praktek yang dilakukan oleh Pak Ahmad dan kawan-
kawan yang lain. Masalahnya, mereka masih ragu melihat
terjadinya percampuran uang di ATM tersebut. Mereka
beranggapan terjadi percampuran antara uang dari bank
konvensional dan uang dari bank syariah yang ada di ATM.
Percampuran tersebut bagi mereka merupakan sesuatu
yang tidak diperbolehkan.
Sesungguhnya, masalah di atas dapat teratasi jika mereka
mempunyai pemahaman yang sama mengenai sistem
operasional ATM pada industri perbankan. Kalau kita lihat
operasional ATM, sejatinya telah menerapkan teknologi
modern yang dapat memberikan informasi keuangan
bagi industri perbankan. Selain itu, ATM juga sudah dapat
memberikan pelaporan keuangan, yang secara otomatis
memisahkan pelaporan keuangan bank konvensional
dan pelaporan keuangan bank syariah. Sehingga, dalam
prakteknya tidak terjadi percampuran yang selama ini
masih diragukan oleh sebagian umat Islam.
Di sisi lain, jika ditinjau dari fungsi ATM itu sendiri, yang
memerankan fungsi sebagai teller atau kasir sebuah bank,
telah melakukan pembukuan keuangan sesuai dengan
transaksi yang dilakukan oleh nasabah bank. Penarikan
uang ataupun pemindahan uang ke rekening lain yang
dilakukan oleh nasabah, telah dibukukan seperti apa yang
dikerjakan oleh seorang teller ataupun kasir sebuah bank.
Menjawab Keraguan Umat Islam 40
Pemanfaatan ATM Konvensional
PKES Publishing
Nasabah bank syariah yang melakukan transaksi via ATM
bank konvensional, secara otomatis langsung terbukukan
dalam rekening di bank syariah tersebut. Apalagi saat ini
semuah nasabah sudah dapat memanfaatkan model ATM
Bersama yang hampir ada di setiap jaringan ATM bank yang
ada. Asal ada logo dan tanda ATM Bersama, kita dapat
melakukan transaksi via ATM pada bank tersebut.
Sekali lagi, operasional pada sistem ATM telah dapat
memberikan informasi pelaporan keuangan kepada
tiap bank yang tergabung dalam jaringan ATM tersebut.
Dengan kecanggihan sistem yang ada di ATM, berarti telah
membantu kemudahan melakukan transaksi bagi nasabah
bank syariah. Akhirnya, semoga keraguan yang selama ini
menghinggapi di sebagian hati umat Islam berubah menjadi
sebuah keyakinan dan ketetapan hati dalam melakukan
transaksi menggunakan ATM di bank konvensional.
***
Adalah KH Maruf Amin, Ketua Dewan Syariah Nasional
(DSN) MUI, yang selalu menandaskan dalam setiap
forum diskusi ataupun seminar, bahwa penggunaan ATM
bank konvensional bagi nasabah bank syariah bukan lagi
menjadi masalah. Hukumnya boleh dan tidak termasuk
perbuatan yang melanggar syariah Islam. Bahkan, adanya
fasilitas itu menjadi kemudahan tersendiri bagi nasabah
bank syariah.
Seperti kaedah umum dalam kegiatan muamalah, telah
ditegaskan bahwa al-ashlu f al-muamalah al-ibahah illa
an yakuna dalilun ala tahrimiha, pada dasarnya, semua
41 Menjawab Keraguan Umat Islam
Pemanfaatan ATM Konvensional
PKES Publishing
bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya. Dalil ini menegaskan bahwa selama
tidak ada dalil yang melarang, maka praktek tersebut,
yaitu pemanfaatan ATM bank konvesional oleh nasabah
bank syariah termasuk sesuatu yang di-mubah-kan atau
diperbolehkan. Wallahu alam bis showab.
Menjawab Keraguan Umat Islam 42
Pemanfaatan ATM Konvensional
PKES Publishing
KESIMPULAN
KH Maruf Amin, Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN)
MUI, yang selalu menandaskan bahwa penggunaan ATM
bank konvensional bagi nasabah bank syariah bukan lagi
menjadi masalah. Hukumnya boleh dan tidak termasuk
perbuatan yang melanggar syariah Islam. Bahkan, adanya
fasilitas itu menjadi kemudahan tersendiri bagi nasabah
bank syariah.
MENJAWAB KERAGUAN
UMAT ISLAM TERHADAP
BANK SYARIAH
Oce
Channelling
3
Keraguan
Menjawab Keraguan Umat Islam 44
Oce Channelling
PKES Publishing
Saat ini, masih ada di antara saudara kita yang masih
mempertanyakan keabsahan praktek offce channelling
yang dijalankan oleh beberapa bank konvensional. Mereka
masih ragu apa offce channelling tidak bertentangan
dengan syariah Islam. Karena, keberadaan offce
channelling merupakan bagian dari bank konvensional
itu sendiri, yang operasionalnya dianggap tidak sesuai
dengan syariah Islam karena menggunakan bunga sebagai
instrumen operasionalnya.
***
Dalam kontak tanya jawab ekonomi syariah yang dikelolah
oleh PKES, ada beberapa penanya yang bertanya mengenai
offce channelling, termasuk pertanyaan yang dikemukakan
oleh Sahabat Tommy. Berkaitan dengan pertanyaan
tentang offce channelling, perlu kami sampaikan bahwa
program offce channelling merupakan kebijakan cerdas
yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) pada awal
tahun 2006. Offce channelling merupakan layanan
syariah di cabang konvensional. Tujuan diadakannya offce
channelling dalam rangka memperluas jaringan perbankan
syariah di Indonesia yang saat ini masih sangat kurang.
Sebelum adanya offce channelling, pemain dalam industri
perbankan syariah masih terbatas pada tiga bank umum
syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank
Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Syariah Mega Indonesia
(BSMI) serta model unit usaha syariah (UUS) pada bank
konvensional semacam BNI Unit Usaha Syariah dan Bukopin
Unit Usaha Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah
45 Menjawab Keraguan Umat Islam
Oce Channelling
PKES Publishing
(BPRS). Offce channelling adalah istilah yang digunakan
BI untuk menggambarkan penggunaan kantor bank umum
(konvensional) dalam melayani transaksi-transaksi dengan
skim syariah, dengan syarat bank bersangkutan telah
memiliki UUS.
Landasan hukum adanya offce channelling adalah
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 8/3/2006. PBI ini
keluar tentu setelah mendapat persetujuan Dewan
Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia. Dalam
peraturan ini dijelaskan bahwa Unit Usaha Syariah pada
bank konvensional mempunyai tugas sebagai berikut: (i)
mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan Kantor Cabang
syariah dan atau Unit Syariah; (ii) menerima dan menata
usahakan laporan keuangan dari Kantor Cabang Syariah
dan atau Unit Syariah dalam rangka penyusunan laporan
gabungan; (iii) melakukan kegiatan lain sebagai kantor
induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah.
Dari sisi regulasi, mengenai rencana bank konvensional
yang ingin membuka layanan syariah diwajibkan
mencantumkan dalam rencana bisnis bank yang telah
mendapatkan penegasan dari Bank Indonesia. Layanan
syariah dapat dibuka: (i) dalam satu wilayah kerja Kantor
Bank Indonesia dengan Kantor Cabang Syariah induknya;
(ii) dengan menggunakan pola kerjasama antara Kantor
Cabang Syariah induknya dengan Kantor Cabang dan atau
Kantor Cabang Pembantu; dan (iii) dengan mempergunakan
sumber daya manusia sendiri bank yang telah memiliki
pengetahuan mengenai produk dan operasional Bank
Syariah.
Menjawab Keraguan Umat Islam 46
Oce Channelling
PKES Publishing
Diberlakukannya sistem offce channelling ini, diperkirakan
akan memberikan dampak yang positif terhadap
perkembangan industri bank syariah di masa mendatang.
Pertama, dengan diberlakukannya offce channelling,
tentu akan semakin memudahkan bagi nasabah untuk
melakukan transaksi syariah. Kedua, dengan semakin
mudahnya para nasabah untuk mendapatkan akses
layanan perbankan syariah, diperkirakan perkembangan
DPK akan semakin besar. Ketiga, offce channelling
diharapkan bisa meningkatkan pangsa pasar (market
share) perbankan syariah terhadap perbankan nasional.
Adapun bank yang sudah mempraktekkan offce
channelling diantaranya BNI Syariah, Bank Permata
Syariah, BTN Syariah. Pada tahun 2008 direncanakan akan
ada beberapa bank konvensional yang akan membuka
Unit Usaha Syariah dan diikuti dengan membuka offce
channelling sebagai langkah pengembangannya.
Mengenai keraguan sebagian umat Islam Indonesia apakah
dengan adanya kerjasama dengan bank konvensional
melalui offce channelling akan terjadi percampuran antara
yang halal dengan yang haram? Hal ini ditanggapi oleh
Ketua Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia,
KH. Maruf Amin, bahwa kerjasama antara bank syariah
dan bank konvensional, seperti offce channelling tidak
melanggar prinsip syariah, karena ada teknologi yang
mampu membuat dana itu benar-benar terpisah. Dengan
teknologi tersebut, dana yang diterima akan dimasukkan
langsung ke rekening syariah dan itu sudah memenuhi
sharia complience.
***
47 Menjawab Keraguan Umat Islam
Oce Channelling
PKES Publishing
Prinsipnya, tidak jauh berbeda dengan masalah
pemanfaatan ATM bank konvensional oleh nasabah bank
syariah. Sudah tidak ada yang perlu diragukan lagi. Dengan
adanya teknologi dalam sistem perbankan, dana yang
masuk ke bank yang membuka offce channelling sudah
benar-benar terpisah.
Bahwa dalam hal ini, adanya offce channelling telah
memudahkan nasabah bank konvensional yang ingin
mengkonversi ke syariah. Jadi, seorang nasabah yang
dananya tersimpan di bank konvensional, dengan adanya
sistem offce channelling, nasabah tersebut sudah tidak
repot lagi memindahkan dananya ke bank yang sudah
beroperasi dengan sistem syariah. Mereka tidak harus
pergi ke bank yang lain, karena bank punya dua layanan
dalam satu rumah. Istilahnya, hanya pindah kamar saja.
Dari kamar konvensional pindah ke kamar syariah. Dalam
hal ini, manfaat yang dinikmati oleh nasabah berbentuk
kecepatan dalam pelayanan tanpa harus berepot-repot
memindahkan dananya ke bank lain.
Sedangkan dari sisi bank, ada satu manfaat yang besar
bagi bank yang bersangkutan. Karena, nasabah tersebut
tidak pindah ke bank lain. Uang nasabah tersebut masih
dikelola oleh bank yang bersangkutan. Sehingga, dari sisi
penghimpunan dana, bank tersebut tidak akan merasa
kehilangan dana nasabah yang akan dipindahkan ke
layanan syariah. Uang nasabah yang tersimpan di bank,
tidak lagi dikelola secara ribawi atau dengan sistem bunga,
tetapi dikelola secara syari yang terhindar dari praktek
ribawi. Wallahu alam bis showab.
Menjawab Keraguan Umat Islam 48
Oce Channelling
PKES Publishing
KESIMPULAN
Offce channelling telah memudahkan nasabah bank
konvensional yang ingin mengkonversi ke syariah. Jadi,
seorang nasabah yang dananya tersimpan di bank
konvensional, dengan adanya sistem offce channelling,
nasabah tersebut sudah tidak repot lagi memindahkan
dananya ke bank yang sudah beroperasi dengan sistem
syariah.
MENJAWAB KERAGUAN
UMAT ISLAM TERHADAP
BANK SYARIAH
Pembiayaan
Murabahah
dan
Kredit Konvensional
4
Keraguan
Menjawab Keraguan Umat Islam 50
Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional
PKES Publishing
Ah, sama saja gak ada bedanya, praktek pembiayaan
murabahah dan kredit konvensional. Ini komentar
sekaligus keraguan beberapa pihak, termasuk umat Islam
sendiri, masih meragukan praktek yang dijalankan oleh
bank syariah dengan praktek yang dijalankan oleh bank
konvensional. Apa memang betul seperti itu?
***
elasnya, pernyataan di atas tidaklah benar. Ada
satu prinsip yang mendasar antara pembiayaan
murabahah yang disalurkan bank syariah dengan
kredit yang dikucurkan oleh bank konvensional.
Banyak kalangan di masyarakat yang beranggapan bahwa
antara murabahah dan kredit investasi tidak ada bedanya.
Hal ini, disebabkan karena masih banyak masyarakat
kita yang belum mengetahui karakteristik dari model
murabahah itu sendiri.
Prinsip dasar yang dipakai dalam praktek murabahah
adalah jual beli. Jual beli yang pembayarannya dilakukan
secara angsuran yang nilai marginnya sudah tercakup di
dalam harga jualnya. Sedangkan, kredit yang dipraktekkan
oleh industri keuangan konvensional didasarkan pada
prinsip pinjam meminjam yang menggunakan instrumen
bunga sebagai basis operasionalnya. Dari sisi ini, sudah
terlihat adanya perbedaan mendasar antara praktek
murabahah di industri keuangan syariah dan praktek kredit
investasi di industri keuangan konvensional.
Murabahah prinsipnya jual-beli, sedang kredit investasi
prinsipnya pinjaman. Pada prakteknya, murabahah tidak
J
51 Menjawab Keraguan Umat Islam
Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional
PKES Publishing
dibenarkan adanya pilihan beberapa harga yang biasa
dipraktekkan oleh industri jasa keuangan konvensional.
Misalnya, yang biasa terjadi di dealer motor, jika kita ingin
ambil motor di dealer, maka costumer service-nya akan
memberikan lembaran harga yang mencantumkan nilai
harga jual tunai dan nilai harga jual kredit dengan rentang
pembayaran yang telah ditentukan. Biasanya, dalam
lembaran itu disebutkan nilai harga jual kredit dengan
jangka waktu 1 tahun sampai dengan 3 tahun. Semakin
lama waktu pembayarannya maka semakin besar nilai
uang yang harus dibayarkan. Di sini, prinsip time value
of money, nilai waktu dari uang, berlaku. Prinsip ini, time
value of money, merupakan prinsip yang dipedomani oleh
praktisi ekonomi konvensional. Dari prinsip ini, lahirlah
instrumen bunga dalam operasional lembaga keuangan
konvensional.
Prinsip murabahah, tidak membenarkan adanya pilihan
harga yang biasa berlaku di konvensional. Jika sudah
disepakati 1 harga, maka tidak ada pengaruh terhadap
waktu pembayaran. Mau dibayar 1 tahun atau 3 tahun nilai
harganya tetap sama.
Misal, transaksi murabahah yang dilakukan nasabah sebuah
bank syariah, dalam bentuk pengadaan rumah. Dalam
hal ini, bank syariah terlebih dahulu melakukan transaksi
jual-beli secara tunai dengan pihak developer. Disepakati
harganya Rp. 75 juta. Bank syariah membayar secara
tunai. Selanjutnya, bank syariah melakukan transaksi jual-
beli dengan nasabah secara angsuran. Disepakati harga
jual secara angsuran sebesar Rp. 100 juta. Dalam hal ini,
tidak ada perbedaan nilai harga pembayaran, jika nasabah
tersebut membayar angsuran selama 1 tahun ataupun
Menjawab Keraguan Umat Islam 52
Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional
PKES Publishing
3 tahun. Nilai harganya tetap, Rp. 100 juta, baik dibayar
selama 1 tahun ataupun 3 tahun.
Praktek sekarang, yang dilakukan oleh sebagian industri
keuangan syariah, dengan menggunakan murabahah
sebagai produk yang ditawarkannya, ada yang masih belum
sesuai dengan konsep dasar awal dari murabahah. Hal ini,
bisa jadi dikarenakan faktor SDM yang belum memahami
betuk teori dan konsep dari murabahah. Sehingga, praktek
di lapangan mengindikasikan ke-miripan antara praktek
murabahah dengan praktek kredit investasi. Kondisi
seperti ini, memang perlu diluruskan sehingga tidak ada
kesan bahwa praktek murabahah sama dengan praktek
kredit pada industri jasa keuangan konvensional.
***
Adapun karakteristik pembiayaan murabahah yang biasa
dipraktekkan oleh industri jasa keuangan syariah adalah
sebagai berikut:
Pertama, akad yang digunakan dalam pembiayaan
murabahah adalah akad jual beli. Implikasi dari penggunaan
akad jual-beli mengharuskan adanya penjual, pembeli dan
barang yang diperjualbelikan. Penjual dalam hal ini adalah
bank syariah, sedangkan pembeli adalah nasabah yang
membutuhkan barang. Adapun kewajiban bank syariah,
selaku penjual, menyerahkan barang yang diperjualbelikan
kepada nasabah. Sedangkan nasabah berkewajiban
membayar harga barang tersebut. Berbeda dengan kredit
konvensional. Hubungan yang terjalin antara pihak bank
konvensional dengan nasabah adalah hubungan kreditur
dengan debitur.
53 Menjawab Keraguan Umat Islam
Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional
PKES Publishing
Kedua, harga yang ditetapkan oleh pihak penjual (bank
syariah) tidak dipengaruhi oleh frekuensi waktu pembayaran.
Artinya, praktek murabahah menghendaki hanya ada satu
harga, yaitu harga yang telah disepakati antara pihak bank
syariah dengan nasabah. Tidak tergantung dengan jangka
waktu pembayaran, seperti yang selama ini dipraktekkan
oleh industri jasa keuangan konvensional.
Praktek yang dijalankan oleh konvensional mengharuskan
adanya perbedaan pembayaran sesuai dengan jangka
waktu yang ditetapkan. Semakin lama waktu pembayaran
yang diinginkan oleh nasabah, semakin besar jumlah
tanggungan yang harus dibayar. Di sini, berlaku ketentuan
time value of money, nilai waktu dari uang.
Ketiga, keuntungan dalam pembiayaan murabahah
berbentuk margin penjualan yang sudah termasuk
harga jual. Keuntungan (ribh) tersebut sewajarnya dapat
dinegosiasikan antara pihak yang melakukan transaksi,
yaitu pihak bank syariah dengan nasabah. Kelemahan
praktek murabahah saat ini, belum berjalannya daya tawar
yang seharusnya dimiliki oleh nasabah. Sehingga posisi
nasabah sering kali agak terpaksa untuk menerima harga
yang ditawarkan oleh pihak bank syariah. Lain halnya,
dengan praktek kredit konvensional yang keuntungannya
didasarkan pada tingkat suku bunga. Nasabah yang
mendapatkan kredit dari bank konvensional dibebani
kewajiban membayar cicilan beserta bunga pinjaman
sekaligus.
Keempat, pembayaran harga barang dilakukan secara
tidak tunai. Artinya, nasabah membayar harga barang
tersebut dengan cara angsuran atau cicilan. Dalam hal ini,
Menjawab Keraguan Umat Islam 54
Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional
PKES Publishing
nasabah berhutang kepada pihak bank syariah, karena
belum melunasi kewajiban membayar harga barang yang
ditransaksikan. Sedangkan angsuran pada pembiayaan
murabahah tidak terikat dengan jangka waktu pembayaran
yang ditetapkan. Kesalahan besar, jika praktek murabahah
tergantung pada besaran waktu angsuran. Jika ini terjadi
pada pembiayaan murabahah, berarti sudah menyalahi
konsep awal dari murabahah. Karena, dari aspek substansi
sama dengan praktek kredit yang dipraktekkan oleh
industri jasa keuangan konvensional.
Kelima, dalam pembiayaan murabahah memungkinkan
adanya jaminan, karena sifat dari pembiayaan murabahah
merupakan jual-beli yang pembayarannya tidak dilakukan
secara tunai. Karena tidak dibayar secara tunai, maka
tanggungan pembayaran tersebut merupakan hutang yang
harus dibayar oleh nasabah. Dalam hal ini, bank syariah
memberlakukan prinsip kehati-hatian dengan mengenakan
jaminan pada nasabah. Saat ini, adanya jaminan pada
pembiayaan murabahah menjadi masalah tersendiri,
karena sebagian nasabah memahami operasional
bank syariah menafkan adanya jaminan atau agunan.
Pernyataan seperti ini perlu diluruskan.
***
Sebagai bahan tambahan, praktek murabahah
sesungguhnya bagian dari penjelasan mengenai jual-beli.
Dijelaskan bahwa model transaksi jual-beli yang lazim
terjadi di masyarakat dapat dipilah menjadi dua, yaitu (i)
transaksi jual-beli yang dilakukan secara tunai (cash), dan
(ii) transaksi jual-beli yang dilakukan tidak secara tunai
(credit).
55 Menjawab Keraguan Umat Islam
Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional
PKES Publishing
Transaksi jual-beli secara tunai tidak meninggalkan
masalah antara penjual dan pembeli. Karena, hak dan
kewajiban keduanya sudah ditunaikan. Hak penjual
menerima pembayaran dari pembeli telah dilaksanakan,
begitu pula hak pembeli untuk menerima barang dari
penjual. Sedangkan kewajiban kedua belah pihak juga
telah ditunaikan. Penjual telah menunaikan kewajibannya
menyerahkan barang dagangannya ke pembeli, begitu
pula pihak pembeli juga telah menyerahkan uang
pembayarannya kepada penjual.
Lain halnya, dengan model transaksi jual-beli yang dilakukan
dengan cara tidak tunai (credit). Masih menyisakan
masalah antara pihak penjual dan pembeli. Karena, ada
salah satu pihak yang belum menerima hak dan belum
menunaikan kewajibannya. Yaitu pihak penjual belum
menerima hak pembayaran uang dari pembeli, karena
pihak pembeli belum menunaikan kewajiban membayar
uang pembelian atas barang. Sedangkan kewajiban bagi
penjual untuk menyerahkan barang dagangannya ke
pembeli telah ditunaikan.
Dalam pandangan syariah Islam, penetapan harga
pada transaksi jual-beli ditentukan sewaktu akad.
Terlepas apakah pembayarannya dilakukan secara tunai
(cash) ataupun dibayar secara non tunai (credit) tidak
menentukan ke-shahih-an transaksi tersebut. Keduanya
dibenarkan secara syari. Misal, kata penjual, Saya jual
barang ini dengan harga Rp. 10.000,- terserah Anda
membayar secara tunai atau non tunai. Asumsinya, harga
yang telah ditawarkan penjual di atas sudah termasuk
margin penjualan. Dalam hal ini, margin atau keuntungan
dalam penjualan merupakan bagian dari ziyadah al-buyu
Menjawab Keraguan Umat Islam 56
Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional
PKES Publishing
(tambahan dari penjualan), bukannya ziyadah al-qurudh
(tambahan dari pinjaman).
Berkaitan dengan penjelasan mengenai riba, dapat
dipaparkan sebagai berikut. Pengertian mengenai riba
bukannya difahami sebagai ziyadah al-buyu (tambahan
dari haril penjualan), tetapi riba adalah tambahan dari
pinjaman (ziyadah al-qurudh). Pemahaman ini menegaskan
bahwa keuntungan jual beli, bukanlah termasuk riba. Baik
keuntungan tersebut diperoleh dari pembayaran secara
tunai (cash) ataupun diperoleh melalui pembayaran tidak
tunai (credit). Sedangkan setiap tambahan pinjaman
termasuk kategori riba. Seperti ditegaskan dalam sebuah
hadits, kullu qardhin jarra manfaatan fahuwa ar-riba,
setiap tambahan yang disertai dengan manfaat termasuk
dalam riba.
Masalahnya sekarang adalah timbulnya perbedaan jumlah
besaran harga tunai (cash) dan harga non tunai (credit)
yang tidak sama. Sejatinya, masalah ini tidak akan
muncul, jika transaksi jual-beli tersebut dilaksanakan
secara tunai (cash). Selaras dengan penjelasan di atas,
Imam Zaid bin Ali r.a, cicit Imam Ali bin Abi Thalib, pernah
melontarkan pendapat bahwa, harga tangguh (non tunai)
boleh lebih tinggi dari harga tunai. Artinya, perbedaan
harga yang terjadi dalam transaksi jual-beli secara tunai
(cash) dengan jual-beli non tunai tidak masalah. Karena,
keduanya bukan termasuk ziyadah al-qurudh (tambahan
dari hasil pinjaman), tetapi masuk dalam kategori ziyadah
al-buyu (tambahan dari penjualan atau keuntungan dari
jual-beli).
***
57 Menjawab Keraguan Umat Islam
Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional
PKES Publishing
Jadi, sangatlah berbeda antara praktek pembiayaan
murabahah yang dijalankan oleh lembaga keuangan
syariah dengan praktek kredit yang biasa dilakukan oleh
bank konvensional. Wallahu alam bis showab
Menjawab Keraguan Umat Islam 58
Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional
PKES Publishing
KESIMPULAN
Prinsip dasar yang dipakai dalam praktek murabahah
adalah jual beli. Jual beli yang pembayarannya dilakukan
secara angsuran yang nilai marginnya sudah tercakup di
dalam harga jualnya. Sedangkan, kredit yang dipraktekkan
oleh industri keuangan konvensional didasarkan pada
prinsip pinjam meminjam yang menggunakan instrumen
bunga sebagai basis operasionalnya.
Perbedaan harga yang terjadi dalam transaksi jual-
beli secara tunai (cash) dengan jual-beli non tunai tidak
masalah. Karena, keduanya bukan termasuk ziyadah al-
qurudh (tambahan dari hasil pinjaman), tetapi masuk
dalam kategori ziyadah al-buyu (tambahan dari penjualan
atau keuntungan dari jual-beli).
MENJAWAB KERAGUAN
UMAT ISLAM TERHADAP
BANK SYARIAH
Agunan
Pada
Pembiayaan
Murabahah
5
Keraguan
Menjawab Keraguan Umat Islam 60
Agunan Pada Pembiayaan Murabahah
PKES Publishing
Saat itu saya tertegun, setelah membaca sepucuk surat
dari seorang penanya. Masalahnya, pengirim surat
tersebut berkeinginan untuk memperoleh pembiayaan
dari bank dengan cara menjaminkan salah satu organ
tubuhnya yang vital (baca: ginjal). Dalam hati saya, tergetar
seraya mengucap subhanallah, Apa sudah tidak ada
jalan lain, sehingga saudara kita memberanikan diri untuk
memperoleh pembiayaan dengan cara menjaminkan organ
tubuhnya. Pertanyaannya, sepenting apa jaminan tersebut
dalam sistem perbankan? Apa memang merupakan suatu
kewajiban? Apalagi jika yang mensyaratkan jaminan
tersebut adalah bank syariah, apa bedanya dengan bank
konvensional? Realita ini menjadi permasalahan yang
sering dikeluhkan oleh umat Islam, sehingga sebagian dari
umat Islam sendiri masih meragukan terhadap eksistensi
bank syariah.
***
Memang betul, konsep bank syariah memberikan fasilitas
peminjaman uang dengan menggunakan akad qard
(pinjaman). Sifat pinjaman ini bersifat sosial dan tujuan
utamanya adalah social oriented bukan untuk mengejar
nilai komersial. Ilustrasi dari model qard dapat dijelaskan
sebagai berikut. Bank syariah memberikan pinjaman uang
ke seorang nasabah sejumlah Rp. 5 juta, maka kewajiban
bagi nasabah untuk mengembalikan pinjaman ke bank
sebesar Rp. 5 juta, tanpa tambahan sepeserpun. Jika, ada
tambahan maka sudah termasuk kategori riba nasiah.
Adapun agunan dalam model pinjaman qard sudah tidak
sesuai dengan hakekat dan fungsi fasilitas qard itu sendiri
pada bank syariah. Karena hakekat qard pada bank
syariah adalah memberikan pertolongan pada orang yang
61 Menjawab Keraguan Umat Islam
Agunan Pada Pembiayaan Murabahah
PKES Publishing
membutuhkan dana. Asumsinya, orang yang membutuhkan
dana adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu untuk
dijadikan agunan atau jaminan dalam model qard.
Fasilitas qard pada bank syariah tidak banyak digunakan
karena kurang memberikan keuntungan bagi bank syariah
tersebut. Biasanya, praktek qard dilimpahkan ke Baitul Mal
yang ada di bank syariah tersebut. Saat ini, bank syariah
lebih menyukai penyaluran pembiayaan kepada nasabah
yang berbasis pada akad jual-beli, semacam murabahah,
karena memberikan keuntungan bagi pihak bank syariah.
Sekarang bagaimana dengan agunan atau jaminan pada
beberapa pembiayaan yang dikembangkan oleh bank
syariah, semisal agunan pada pembiayaan musyarakah,
mudharabah atau murabahah? Sementara ini, bank
syariah memang mengenakan agunan atau jaminan pada
beberapa pembiayaan yang dikembangkannya. Alasan
utama adanya agunan pada bank syariah adalah untuk
melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan
dana pihak ketiga. Alasan semacam ini memang dapat
diterima, karena dana yang disalurkan ke masyarakat
bukan hanya dana milik bank sendiri, tetapi juga ada dana
yang berasal dari pihak ketiga yang harus dilindungi oleh
pihak bank syariah.
Dari perspektif fqh, adanya agunan yang dijalankan oleh
bank syariah dapat dibenarkan dari sisi memutus jalan
bagi nasabah untuk berbuat tidak disiplin (moral hazard)
dalam proses pembayaran. Metode semacam ini dalam
kajian fqh dikenal dengan istilah sad adz-dzariah.
Misalnya, dikhawatirkan nasabah tersebut mempunyai
niatan yang tidak baik dengan tidak melunasi kewajiban
Menjawab Keraguan Umat Islam 62
Agunan Pada Pembiayaan Murabahah
PKES Publishing
Dalam hal ini, agunan tersebut bukan menduduki posisi
yang diharuskan.
Sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia No 04/DSN-MUI/IV/2000, tentang
Murabahah, ditegaskan bahwa Agunan atau jaminan
dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius
dengan pesanannya. Selanjutnya, dijelaskan pula dalam
fatwa tersebut bahwa Bank dapat meminta nasabah
untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Melihat semangat yang terkandung dalam fatwa mengenai
murabahah tersebut, dapat difahami bahwa kedudukan
jaminan dalam pembiayaan murabahah bukanlah menjadi
sebuah kewajiban. Hal ini terlihat dari bahasa yang
ada dalam fatwa tersebut hanya menggunakan istilah
dibolehkan dan dapat, bukan menggunakan istilah
mewajibkan.
Selain itu, dapat difahami pula, kedudukan jaminan dalam
pembiayaan murabahah di bank syariah, adanya di luar
syarat, bukannya di dalam syarat. Hal ini, terlihat lain, jika
dibandingkan dengan jaminan yang disyaratkan oleh bank
konvensional dalam penyaluran kreditnya. Jaminan dalam
bank konvensional menjadi syarat mutlak yang harus
dipenuhi oleh nasabah.
Bahkan, jika kita membaca lagi kelanjutan keputusan
fatwa DSN-MUI mengenai murabahah tersebut, ditemukan
kejelasan makna, jika nasabah telah dinyatakan pailit dan
gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda
tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau
berdasarkan kesepakatan. Nyatalah bagi kita sekarang,
63 Menjawab Keraguan Umat Islam
Agunan Pada Pembiayaan Murabahah
PKES Publishing
bahwa Bank syariah tidak bisa memaksa nasabah untuk
membayar kewajiban jika kondisinya dalam pailit, sehingga
ia sanggup kembali melunasi hutangnya.
Berbeda dengan apa yang terjadi di bank konvensional.
Jika nasabah yang tidak mampu melunasi kredit yang
dikucurkan oleh bank konvensional, maka bank tersebut
dapat menyita agunan yang dijaminkannya. Bahkan, bank
konvensional dapat melelangnya untuk menutupi kewajiban
kredit yang masih menjadi tanggungan nasabah.
Di sisi lain, dalam fatwa DSN-MUI tentang murabahah
tersebut ditegaskan pula, adanya pelarangan bagi pihak
nasabah yang mampu membayar untuk menunda-nunda
pembayaran. Perbuatan semacam ini termasuk sesuatu
yang dilarang daram syariah Islam.
Dari sisi regulasi yang mengatur operasional bank syariah
juga menggunakan istilah dapat, bukan mewajibkan.
Selengkapnya, dapat kita telusuri di PBI No: 7/46/PBI/2005
pasal 9 ayat 1 huruf f, yang bunyi selengkapnya sebagai
berikut: Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan
agunan tambahan selain biaya yang dibiayai Bank.
Walaupun begitu, bank syariah saat ini memang harus
sangat selektif dalam menerapkan praktek agunan bagi
para nasabahnya. Artinya, dalam kondisi tertentu pihak
bank syariah harus betul-betul mengetahui karakteristik
sang nasabah. Dan bank syariah harus berani menetapkan
agunan tidak hanya didasarkan pada materi. Lebih dari
itu, agunan atau jaminan bisa jadi dapat berbentuk
rekomendasi seseorang atau jaminan dari pihak lain.
Menjawab Keraguan Umat Islam 64
Agunan Pada Pembiayaan Murabahah
PKES Publishing
Contohnya, si-fulan yang kebetulan ditakdirkan Allah tidak
mempunyai materi yang dapat dijaminkan atau diagunkan
untuk memperoleh satu pembiayaan dari bank syariah.
Si-fulan dapat memohon kepada seseorang yang dapat
dianggap mampu untuk memberikan jaminan atau mem-
berikan agunan dalam proses pengajuan pembiayaan pada
bank syariah. Orang yang menjadi penjamin tersebut diakui
oleh bank syariah sebagai orang yang mampu (ahliyah)
dalam memberikan jaminan bagi si-fulan.
***
Melihat data referensi yang bersumber dari fatwa DSN-
MUI dan Peraturan Bank Indonesia (PBI), sesungguhnya
jaminan yang dipersyarat-kan oleh pihak bank bukanlah
yang utama. Jaminan hanyalah nomor dua. Nomor yang
pertama dan menjadi prioritas penilaian dalam penyaluran
pembiayaan adalah kemampuan nasabah dalam
mengembalikan tanggungan kewajibannya kepada pihak
bank. Wallahu alam bis showab.
65 Menjawab Keraguan Umat Islam
Agunan Pada Pembiayaan Murabahah
PKES Publishing
KESIMPULAN
Dari perspektif fqh, adanya agunan yang dijalankan oleh
bank syariah dapat dibenarkan dari sisi memutus jalan
bagi nasabah untuk berbuat tidak disiplin (moral hazard)
dalam proses pembayaran. Metode semacam ini dalam
kajian fqh dikenal dengan istilah sad adz-dzariah.
Berdasarkan data referensi yang bersumber dari fatwa DSN-
MUI dan Peraturan Bank Indonesia (PBI), sesungguhnya
jaminan yang dipersyarat-kan oleh pihak bank bukanlah
yang utama. Jaminan hanyalah nomor dua. Nomor yang
pertama dan menjadi prioritas penilaian dalam penyaluran
pembiayaan adalah kemampuan nasabah dalam
mengembalikan tanggungan kewajibannya kepada pihak
bank.
MENJAWAB KERAGUAN
UMAT ISLAM TERHADAP
BANK SYARIAH
Mengapa
Revenue Sharing,
Tidak Prot-Loss
Sharing?
6
Keraguan
67 Menjawab Keraguan Umat Islam
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
A. Pengertian
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya
perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan
kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan
adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di
dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil
dalam sistem perbankan syariah merupakan ciri khusus
yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan
syariah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha
harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya
kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil
antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan
bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-
Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur
paksaan.
Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di
dalam perbankan syariah terdiri dari dua sistem, yaitu:
Proft Sharing 1.
Revenue Sharing 2.
1. Pengertian Proft Sharing
Proft sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi
keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian
laba. Proft secara istilah adalah perbedaan yang timbul
ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan
lebih besar dari biaya total (total cost).
Di dalam istilah lain proft sharing adalah perhitungan bagi
hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan
Menjawab Keraguan Umat Islam 68
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada perbankan
syariah istilah yang sering dipakai adalah proft and loss
sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian
antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas
hasil usaha yang telah dilakukan.
Sistem proft and loss sharing dalam pelaksanaannya
merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara
pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur)
dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di
antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam
usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi
kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian,
dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan
ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.
Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal
investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi
pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih
payahnya atas kerja yang telah dilakukannya.
Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan
dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan
terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan
selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia
bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada
angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya,
dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi
balance. Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan
bersih (net proft) yang merupakan lebihan dari selisih atas
pengurangan total cost terhadap total revenue.
69 Menjawab Keraguan Umat Islam
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
2. Pengertian Revenue Sharing
Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri
dari dua kata yaitu, revenue yang berarti; hasil, penghasilan,
pendapatan. Sharing adalah bentuk kata kerja dari share
yang berarti bagi atau bagian. Revenue sharing berarti
pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan.
Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil
uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan
barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang
dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue).
Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu
pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari
kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau
jasa dari suatu produksi tersebut.
Di dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari
total biaya (total cost) dan laba (proft). Laba bersih (net
proft) merupakan laba kotor (gross proft) dikurangi biaya
distribusi penjualan, administrasi dan keuangan.
Berdasarkan defnisi di atas dapat di ambil kesimpulan
bahwa arti revenue pada prinsip ekonomi dapat diartikan
sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan
produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran
atas barang ataupun jasa dikalikan dengan harga barang
tersebut. Unsur yang terdapat di dalam revenue meliputi
total harga pokok penjualan ditambah dengan total selisih
dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di
dalamnya meliputi modal (capital) ditambah dengan
keuntungannya (proft).
Menjawab Keraguan Umat Islam 70
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
Berbeda dengan revenue di dalam arti perbankan. Yang
dimaksud dengan revenue bagi bank adalah jumlah dari
penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran
dananya atau jasa atas pinjaman maupun titipan yang
diberikan oleh bank.
Revenue pada perbankan Syariah adalah hasil yang
diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi) ke
dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana
bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka
lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank.
Perbankan Syariah memperkenalkan sistem pada
masyarakat dengan istilah Revenue Sharing, yaitu sistem
bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan
dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana.
Lebih jelasnya Revenue sharing dalam arti perbankan
adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total
seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi
dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk
memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue sharing
berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan
dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang
digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk
pendanaan bank.
B. Perbedaan Mendasar Proft Loss Sharing dan Revenue
Sharing
Proft sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi
keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian
71 Menjawab Keraguan Umat Islam
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
laba. Proft secara istilah adalah perbedaan yang timbul
ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan
lebih besar dari biaya total (total cost). Secara defnitif
proft sharing diartikan : Distribusi beberapa bagian dari
laba pada para pegawai dari suatu perusahaan.
Hal ini dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan
yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-
tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran
mingguan atau bulanan.
Di dalam istilah lain proft sharing adalah perhitungan bagi
hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan
setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada perbankan
syariah istilah yang sering dipakai adalah proft and loss
sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian
antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas
hasil usaha yang telah dilakukan.
Sistem proft and loss sharing dalam pelaksanaannya
merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara
pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur)
dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di
antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam
usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi
kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian,
dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan
ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.
Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal
investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi
pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih
Menjawab Keraguan Umat Islam 72
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
payahnya atas kerja yang telah dilakukannya.
Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan
dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan
terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan
selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia
bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada
angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya,
dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi
balance. Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan
bersih (net proft) yang merupakan lebihan dari selisih atas
pengurangan total cost terhadap total revenue.

Hal inilah yang membedakan dengan revenue sharing di
mana pada sistem ini pembagian dari kerjasama usaha
dilakukan penghitungan berdasar pendapatan kotor
penjualan usaha (gross sales), tanpa harus di-kalkulasi-
kan terlebih dahulu rincian pengeluaran biaya operasional
usaha.
Pengeluaran biaya usaha pada sistem proft and loss
sharing dibebankan pada modal usaha atau pendapatan
usaha tersebut, artinya biaya akan ditanggung oleh pihak
pemodal (investor/shahibul maal). Sedang revenue
sharing, pengeluaran biaya usaha dibebankan pada pihak
pengelola modal (mudharib), biaya-biaya tersebut akan
ditanggung dari perolehan atas pembagian hasil yang
diterima pihak pengelola modal.
Di dalam pembagian proft and loss sharing modal usaha
dipisahkan terlebih dahulu, modal tidak termasuk di dalam
pembagian tersebut, sedang revenue sharing modal
masuk di dalam pembagian hasil usaha tersebut. Karena
73 Menjawab Keraguan Umat Islam
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
pembagian hasil didasarkan kepada pendapatan kotor dari
penjualan usaha (gross sales).
Pendistribusian revenue sharing pada bank syariah
hanya dilakukan atas investasi dana, dan tidak termasuk
pendapatan fee atau komisi atas jasa-jasa yang diberikan
oleh bank, karena pendapatan tersebut pertama-tama
harus dialokasikan untuk mendukung biaya operasional. Di
dalam proft and loss sharing pendapatan yang dibagikan
oleh bank adalah seluruh pendapatan, baik hasil investasi
dana maupun pendaptan fee atas jasa-jasa yang diberikan
oleh bank setelah dikurangi biaya-biaya operasional bank.
C. Alasan Penerapan Sistem Revenue Sharing
Secara umum di dalam perbankan syariah landasan sistem
yang ideal yang digunakan dalam sistem operasinya adalah
sistem proft and loss sharing, sistem inilah yang dapat
dijadikan ciri khusus bank syariah yang membedakan
dengan sistem bank konvensional. Sistem ini merupakan
model yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau
menjadi mudharib dari Siti Khadijah r.a.
Sebagai pengganti dari mekanisme bunga, sebagaian
ulama berpendapat bahwa dalam pembiayaan proyek-
proyek individual, instrumen yang paling baik adalah bagi
hasil (proft and loss sharing). Walaupun setelah banyak
pembiayaan yang diberikan, mereka mengakui bahwa
ketika mereka bergerak dari pembiayaan proyek individu ke
pembiayaan lembaga (institusional banking), mekanisme
bagi hasil menjadi kurang efsien untuk melakukan semua
Menjawab Keraguan Umat Islam 74
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
fungsi seperti yang dilakukan oleh perbankan modern,
yang berdasarkan pada mekanisme tingkat bunga.

Pemberlakuan sistem revenue sharing didasarkan kepada
kenyataan bahwa:
Dana yang dilemparkan oleh bank ke dalam bentuk 1.
pembiayaan adalah dana polling yang berasal dari
dana titipan (wadiah) serta bagi hasil (mudharabah
dan musyarakah) sehingga sulit untuk menelusuri
(mengidentifkasi) satu persatu sumber dana yang
dilemparkan ke dalam pembiayaan.
Perhitungan pendapatan dibagi dengan pendekatan 2.
ini lebih mudah, khusus untuk produk pembiayaan
bagi hasil, cara ini akan sangat membantu bank, di
mana bank tidak memerlukan petugas yang memiliki
spesifkasi khusus tentang bisnis tertentu untuk
dapat melakukan kontrol terhadap biaya-biaya yang
dikeluarkan nasabah.
Diasumsikan bahwa para nasabah belum terbiasa 3.
menerima kondisi berbagi hasil dan berbagi resiko. Di
mana bila bank mengalami kerugian nasabah akan
ikut menanggung resiko kerugian tersebut, berarti
berkurangnya dana mereka yang ditabung atau
disimpan pada bank.
Pada sistem ini kemungkinan tingkat perhitungan bagi 4.
hasil yang diterima pemilik dana akan lebih besar
dibandingkan tingkat suku bunga pasar yang berlaku.
Kondisi ini akan mempengaruhi para pemilik dana
untuk mengarahkan investasinya kepada bank syariah
yang nyatanya justru mampu memberikan hasil yang
optimal.
Penyaluran dana kepada sektor usaha menunjukkan 5.
adanya berbagai macam usaha yang mempunyai
75 Menjawab Keraguan Umat Islam
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
karakteristik biaya yang berbeda. Bank sebagai shahibul
maal kedua atau pemegang amanah shahibul maal
pertama menghadapi kesulitan untuk mengakui biaya-
biaya usaha yang dikeluarkan para nasabah pengusaha
sebagai mudharib. Padahal biaya-biaya yang sulit
diverifkasi inilah yang kemudian menjadi pengurang
seluruh pendapatan yang akan dibagihasilkan.
Ukuran kolektibilitas terhadap pembiayaan bagi 6.
hasil. Jika usaha yang dibiayai secara bagi hasil dan
menggunakan pola distribusi bagi untung (proft loss
sharing) menghadapi masalah seperti kerugian karena
sebab yang alami dan pengembalian menjadi nol,
terjadi perbedaan perlakuan. LEKS (Lembaga Ekonomi
Keuangan Syariah) menganggap itu sebagai suatu yang
normal, nature of business cycle, yang mengakibatkan
penurunan pendapatan, karena kerugian mengurangi
modal lembaga keuangan syariah tersebut. Sementara
Bank Sentral akan mengukurnya berdasarkan ukuran
pembiayaan biasa, memasukkannya ke dalam penilaian
kualitas aktiva produktif dengan kategori macet, artinya
nasabah terhambat dalam melunasi hutangnya kepada
lembaga keuangan tersebut.
Permasalahan pokok yang akan muncul sebagai akibat
dari penerapan sistem bagi hasil dengan sistem revenue
sharing, dengan mengesampingkan sistem proft and loss
sharing, adalah potensi terjadinya asymmetric information
antar kedua belah pihak. Perjanjian kerjasama usaha
dengan sistem proft and loss sharing dapat menimbulkan
penyalahgunaan informasi, terutama dalam hal penyajian
besaran biaya pada laporan keuangan dari hasil usaha
tersebut.
Menjawab Keraguan Umat Islam 76
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
Penyajian laporan keuangan dapat di manipulasi
sedemikian rupa, sehingga akan berpengaruh terhadap
hasil pokok dari keuntungan yang harus dibagihasilkan
antara kedua belah pihak. Keuntungan yang semestinya
di bagi akan berkurang oleh sebab manipulasi data dari
laporan keuangan tersebut.
Dimungkinkan timbulnya asymmetric information muncul
dari pihak pengelola dana (mudharib). Pengelola dana
yang melakukan usaha berpotensi untuk memanipulasi
data laporan keuangan, terutama dalam penyajian biaya-
biaya yang semestinya dikeluarkan. Biaya yang seharusnya
dikeluarkan akan menggelembung menjadi besar, sehingga
akan menggerus keuntungan usaha tersebut. Hal ini
berakibat pada kecilnya bagi hasil yang harus diberikan
kepada shahibul mal (pemilik dana/bank), bahkan tidak
menerima bagi hasil tersebut.
Umumnya, hal ini terjadi disebabkan oleh ketiadaan
standar biaya dalam usaha. Khususnya di Indonesia,
diseluruh kegiatan usaha tidak ada standar secara khusus
sebagai patokan baku besar-kecilnya biaya-biaya yang
mesti dikeluarkan. Sehingga bagi shahibul mal (bank) sulit
untuk mengestimasi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
pihak pengelola dana. Padahal besarnya biaya-biaya yang
sulit untuk diverifkasi ini pokok dari pengurang keuntungan
yang dibagihasilkan.
Kemudian hal inilah yang menjadi alasan dari diterapkannya
sistem revenue sharing sebagai prinsip operasional bank
syariah. Dengan sistem revenue sharing, biaya-biaya akan
lebih mudah untuk di estimasi. Sehingga besar-kecilnya
keuntungan dapat diukur.
77 Menjawab Keraguan Umat Islam
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
D. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Revenue Sharing
Ayat al-Quran yang secara jelas (qathi) memberikan ilustrasi
tentang aspek muamalah terekam dalam QS. al-Baqarah
[2]: 275-281, yaitu yang berkaitan dengan pembolehan jual-
beli (al-bai) dan pelarangan riba. Selebihnya banyak yang
bersifat dzanni (ijtihadi) dan hanya merupakan turunan
dari penjelasan ayat-ayat al-Quran atau hadits Nabi yang
bersifat qathi. Termasuk dalam hal ini adalah masalah
revenue sharing yang secara operasional merupakan hasil
ijtihad dari beberapa ulama fqh, di antaranya Imam Syafi,
dan Imam Hanbali.
Wacana revenue sharing baru berkembang dan menjadi
perdebatan antara ulama fqh tatkala mereka membahas
masalah mudharabah ataupun musyarakah. Konsep
mudharabah dalam literatur fqh terlihat sangat beragam
dan belum mempunyai kesatuan istilah yang baku. Hal ini
terindikasi dengan pemakaian kata yang beragam untuk
memaknai kata mudharabah. Penamaan macam syarikat
ini (mudharabah) adalah menurut umat Islam di Iraq,
dan mereka juga menamainya dengan (al-muamalah).
Dikatakan amaltu rajulan muamalatan yang berarti
adalah saya memberinya uang untuk mudharabah.
Para penduduk Hejaz menamainya dengan al-qiradh,
yaitu berasal dari kata qardh yang berarti al-qathu atau
pemotongan. Hal itu karena pemilik harta memotong dari
sebagian hartanya sebagai modal dan menyerahkan hak
pengurusannya kepada orang yang mengelolanya, dan
pengelola memotong untuk pemilik modal bagian dari
keuntungan sebagai hasil dari usaha dan kerjanya untuk
Menjawab Keraguan Umat Islam 78
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
dibagikan sesuai dengan kesepakatan bersama. Ayat al-
Quran yang menjadi landasan praktek mudharabah masih
bersifat umum terdapat dalam QS. al-Muzammil [73]: 20,
yang artinya:
dan sebagian orang-orang yang lain berjalan di muka
bumi mencari sebagian karunia Allah.... (QS. al-Muzammil
[73]: 20)
Ayat tersebut di atas masih bersifat umum dan belum
diperoleh pemahaman terhadap konsep revenue sharing.
Sistem revenue sharing yang diterapkan pada bank syariah
tidak terdapat aturan yang secara jelas membahas dan
ataupun menjadi sandaran pelaksanaannya pada kitab-
kitab fqh. Namun, sebagaimana sistem proft and loss
sharing, yang merupakan artian dari kontrak kerjasama
akad musyarakah dan mudharabah, revenue sharing-pun
dapat ditinjau penerapannya pada akad-akad tersebut.
Yang menjadi pokok permasalahan dan pembahasan
pada kaedah ini, bahwa pada revenue sharing prinsip
pembagiannya didasarkan pada pendapatan usaha
yang diterima, dan tanggungan biaya operasional yang
dibebankan pada pihak pengelola modal (mudharib).
Adapun pada sistem revenue sharing dapat ditinjau pada
pendapat-pendapat para fuqaha atas boleh dan tidaknya
bagi pengelola modal mengambil sebagian dari harta
mudharabah untuk keperluannya sebagai biaya dalam
menjalankan usaha.
Pada satu pendapatnya yang jelas/kuat Imam Syafi
melarang adanya pengambilan biaya bagi pengelola modal.
Pengelola modal tidak berhak mendapatkan biaya atas
79 Menjawab Keraguan Umat Islam
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
modal usaha, baik sedang melakukan bepergian dalam
menjalankan usaha ataupun tidak. Kecuali jika pihak
pemilik modal (shahibul maal) memberikan izin atas itu.
Karena boleh jadi biaya akan lebih besar dari keuntungan
yang sebenarnya didapat, berarti jika biaya diambil dari
dana mudharabah maka pengelola telah mengambil
bagian keuntungan yang seharusnya diterima oleh pemilik
modal. Tidak ada ketentuan bagi pengelola mengambil
biaya untuk keperluannya kecuali atas izin pemilik dana.
Sependapat dengan Imam Syafi seperti yang dikemukan
oleh para ulama madzhab Imam Hambali yang tidak
membolehkan pengambilan biaya pada harta mudharabah,
kecuali dibuat syarat di awal akad untuk memberikan biaya
kepada pengelola (mudharib) dalam hal bepergian (usaha)
maupun tidak.
Namun, dari pendapat yang lain, dari Imam SyafI,
mengatakan sah saja bila pengelola mengambil biaya
tersebut sekedar untuk tambahan biaya karena telah
melakukan bepergian (usaha), persewaan dan lain
sebagainya yang semestinya dilakukan dalam usaha. Biaya
tersebut dihitung dari keuntungan yang diperoleh, dan jika
tidak beruntung maka biaya dihitung sebagai kerugian.
Sebagian fuqaha seperti Ibrahim an-Nakhai, dan al Hasan
berpendapat bahwa pengelola modal mendapatkan biaya.
Begitu juga pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, ats-Tsauri
dan jumhur ulama bahwa pengelola mendapat biaya
makan dan pakaiannya selama ia melakukan perjalanan
(usaha), tetapi tidak mendapatkannya sedikitpun kalau
pengelola tidak melakukan usaha tersebut. Imam malik
menambahkan syarat atas hal ini jika modal tersebut
Menjawab Keraguan Umat Islam 80
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
bernilai besar dan memungkinkan untuk yang demikian
dan begitupun bahwa mudharib tidak mampu membiayai
dirinya sendiri.
Alasan yang dikemukakan oleh fuqaha yang mengatakan
biaya itu harus diberikan adalah jika biaya tidak diberikan
kepada pihak pengelola dari modal usaha tersebut maka
tentunya orang tidak akan bersedia untuk menjalankan
harta usaha sedang kontrak kerjasama usaha (mudharabah)
itu diperlukan. Sebab kenapa pengelola berhak mendapat
biaya selama menjalankan usaha dan tidak berhak jika
tidak melakukannya ialah karena seharusnya mudharib
dapat menjalankan pekerjaannya sendiri, namun hal
tersebut digunakan untuk melakukan usaha pada harta
mudharabah tersebut.
Pendapat Imam Malik membolehkan bagi pengelola
mengambil biaya dari harta mudharabah jika ia telah
melakukan/menjalankan usaha. Dicontohkan oleh Imam
Malik dengan alasan ada beberapa hal dalam pekerjaan
yang di luar tanggung jawab mudharib, seperti menagih
hutang, mengangkut barang-barang dan memuat barang-
barang dan lain-lain. pengelola dapat mengupah seseorang
agar melakukan pekerjaan tersebut bagi dirinya. Juga dapat
mengambil biaya untuk makan, pakaian dan apa-apa yang
digunakan untuk kebaikan, sesuai dengan jumlah modal.
Jika ada keuntungan pada usaha tersebut maka dilakukan
pembagian menurut ketentuan perjanjian yang telah
disepakati. Namun, bila terjadi kerugian pengelola tidak
harus mengganti apa yang telah dikeluarkan untuk dirinya
sendiri, ataupun mengganti kerugian tersebut. Kerugian
itu dibebankan kepada pemilik modal, diambil dari modal.
Sependapat dengan Imam Malik, Imam Hanaf membolehkan
81 Menjawab Keraguan Umat Islam
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
biaya diambil oleh pengelola atas segala keperluan yang
dibutuhkan oleh mudharib selama menjalankan usaha,
dan bahkan ketika sakitpun pengelola berhak mendapat
biaya pengobatan atas dana tersebut.
Merujuk pendapat-pendapat di atas sistem revenue sharing
pada perbankan syariah, yang membebankan biaya kepada
pengelola dapat dibenarkan sesuai dengan pendapat
Imam Syafi dan Imam Hambali. Bentuk pelarangan
pengambilan biaya pada akad kerjasama mudharabah, baik
pada saat bepergian dalam menjalankan usaha maupun
sedang menjalankan usaha di sekitar daerahnya sendiri,
dapat diartikan sebagai hal bahwa biaya operasional
usaha tersebut ditanggung sendiri oleh pengelola modal
(mudharib).
Dengan demikian revenue sharing dapat berlaku pada
sistem perbankan syariah sesuai atas pendapat Imam Syafi
dan Mazhab Imam Hambali. Yang melarang pengambilan
biaya pada harta mudharabah oleh pihak mudharib.
Menurut pendapat yang lain, jumhur ulama, diantaranya
Imam Maliki, Imam Hanaf, Ibrahim an-Nakhai dan
golongan az-Zadiyyah tanggungan biaya akan ditimpakan
pada modal usaha. Artinya revenue sharing tidak dapat
dibenarkan menurut jumhur ulama.
Pada dasarnya bahwa pengambilan biaya dilakukan atas
biaya-biaya yang sifatnya untuk perkembangan usaha, jika
biaya itu diambil maka akan memberi manfaat atas modal,
dan pengeluaran biaya itupun yang semestinya dapat
dikeluarkan untuk keperluan usaha. Biaya tidak dapat
dikeluarkan bila sifatnya untuk keperluan pribadi yang
Menjawab Keraguan Umat Islam 82
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
tidak akan mempengaruhi perkembangan usaha untuk
menghindari manfaat berlebih terhadap harta modal oleh
pengelola usaha.
Seperti yang menjadi pokok permasalahan pada proft and
loss sharing sekarang ini, bentuk pelarangan pengambilan
biaya tersebut untuk mencegah pembengkakan biaya atas
ketidakjujuran pengelola usaha yang merupakan bentuk
dari moral hazard.
Seperti yang telah diungkapkan oleh Wahbah Zuhaili bahwa
pengelola boleh mengupah seseorang untuk melakukan
kerja atau memperniagakan harta mudharabah itu, sebab
mengupah merupakan salah satu keperluan dalam usaha.
Juga boleh menyewa bangunan untuk menyimpan barang
dagangannya, sebab ia tidak dapat menjaga barang
tersebut jika tidak ditempatkan dalam bangunan itu. Boleh
juga pengelola menyewa kapal dan kendaraan-kendaraan
lain untuk keperluan kerja. Sebab hal itu merupakan salah
satu cara untuk mendapat keuntungan.
E. Jenis-jenis Akad Bagi Hasil
Bentuk-bentuk kontrak kerjasama bagi hasil dalam
perbankan syariah secara umum dapat dilakukan dalam
empat akad, yaitu Musyarakah, Mudharabah, Muzaraah
dan Musaqah. Namun, pada penerapannya prinsip yang
digunakan pada sistem bagi hasil, pada umumnya bank
syariah menggunakan kontrak kerjasama pada akad
Musyarakah dan Mudharabah.
83 Menjawab Keraguan Umat Islam
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
a. Musyarakah (Joint Venture Proft & Loss Sharing)
Adalah mencampurkan salah satu dari macam harta
dengan harta lainnya sehingga tidak dapat dibedakan
di antara keduanya. Dalam pengertian lain musyarakah
adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise)
dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Penerapan yang dilakukan Bank Syariah, musyarakah
adalah suatu kerjasama antara bank dan nasabah dan
bank setuju untuk membiayai usaha atau proyek secara
bersama-sama dengan nasabah sebagai inisiator proyek
dengan suatu jumlah berdasarkan prosentase tertentu
dari jumlah total biaya proyek dengan dasar pembagian
keuntungan dari hasil yang diperoleh dari usaha atau
proyek tersebut berdasarkan prosentase bagi-hasil yang
telah ditetapkan terlebih dahulu.
b. Mudharabah (Trustee Proft Sharing)
Adalah suatu pernyataan yang mengandung pengertian
bahwa seseorang memberi modal niaga kepada orang lain
agar modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungannya
dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian, sedang
kerugian ditanggung oleh pemilik modal.
Kontrak mudharabah dalam pelaksanaannya pada
Bank Syariah nasabah bertindak sebagai mudharib
yang mendapat pembiayaan usaha atas modal kontrak
mudharabah. Mudharib menerima dukungan dana dari
Menjawab Keraguan Umat Islam 84
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
bank, yang dengan dana tersebut mudharib dapat mulai
menjalankan usaha dengan membelanjakan dalam bentuk
barang dagangan untuk dijual kepada pembeli, dengan
tujuan agar memperoleh keuntungan (proft).
Adapun bentuk-bentuk mudharabah yang dilakukan dalam
perbankan syariah dari penghimpunan dan penyaluran
dana adalah:
Tabungan 1. Mudharabah. Yaitu, simpanan pihak ketiga
yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau
beberapa kali sesuai perjanjian.
Deposito 2. Mudharabah. Yaitu, merupakan investasi
melalui simpanan pihak ketiga (perseorangan atau
badan hukum) yang penarikannya hanya dapat
dilakukan dalam jangka waktu tertentu (jatuh tempo),
dengan mendapat imbalan bagi hasil.
Investai 3. Mudharabah Antar Bank (IMA). Yaitu, sarana
kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar
peserta pasar uang antar Bank Syariah berdasarkan
prinsip mudharabah di mana keuntungan akan
dibagikan kepada kedua belah pihak (pembeli dan
penjual sertifkat IMA) berdasarkan nisbah yang telah
disepakati sebelumnya.
85 Menjawab Keraguan Umat Islam
Mengapa Revenue Sharing, tidak Prot-Loss Sharing?
PKES Publishing
KESIMPULAN
Sistem proft and loss sharing dalam pelaksanaannya
merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara
pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur)
dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di
antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam
usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi
kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian,
dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan
ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.
Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan
bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan
yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang
telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.
Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank
yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan
kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung
bagi hasil untuk produk pendanaan bank.
MENJAWAB KERAGUAN
UMAT ISLAM TERHADAP
BANK SYARIAH
Batas
Darurat
Transaksi dengan
Bank Konvensional
7
Keraguan
87 Menjawab Keraguan Umat Islam
Batas Darurat Transaksi dengan Bank Konvensional
PKES Publishing
ebelum ada bank syariah yang beroperasional
di Indonesia, umat Islam masih diperbolehkan
menjalani transaksi dengan bank konvensional
atau bank ribawi, karena alasan dharurat. Masalah
ini, sering diutarakan oleh ulama-ulam kita yang tergabung
di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Termasuk ulama yang
getol menyuarakan masalah ini adalah KH. Maruf Amin.
Dalam setiap kesempatan, baik dalam forum ilmah seperti
seminar dan sarasehan, ataupun dalam forum yang
dihadiri oleh orang banyak seperti pengajian maupun
forum mudzakarah, selalu diungkapkan bahwa melakukan
transaksi dengan bank konvensional diperbolehkan bagi
umat Islam selama tidak ada bank syariah.
***
Suatu hari, tepatnya pada tanggal 30 September 2007,
PKES diundang oleh jamaah Masjid al-Fajar di Pekayon
Bekasi, untuk memberikan penjelasan mengenai praktek
ekonomi syariah yang diformulakan dalam bentuk lembaga
Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Seorang jamaah bertanya,
bagaimana jika dana BMT tersebut diendapkan di salah
satu bank swasta-konvensional, karena alasan pelayanan
(service) yang diberikan oleh bank tersebut sangat
memuaskan, disamping sistem teknologi yang dimiliki
selangkah lebih maju dibanding dengan bank lainnya.
Bagaimana tinjauan syariah Islam mengenai kondisi
seperti ini?
Dalam konteks permasalahan di atas, pertanyaan yang
muncul adalah dimanakah batas dharurat dalam menyoal
masalah tersebut? Seperti apa hukum Islam menjelaskan
permasalahan di atas dari perspektif aspek dharurat.
S
Menjawab Keraguan Umat Islam 88
Batas Darurat Transaksi dengan Bank Konvensional
PKES Publishing
Memaknai Dharurat
Kata dharurat mempunyai beberapa arti, termasuk di
antaranya berarti keterpaksaan, tidak lazim dan di luar
batas kenormalan. Jika kita melakukan perbuatan yang
masuk kategori wilayah dharurat, berarti karena ada alasan
keterpaksaan. Biasanya, sesuatu yang dharurat sudah tidak
lazim dan sudah masuk dalam batas yang tidaknormal.
Dalam kondisi seperti ini, hukum Islam masih memberikan
toleransi bagi umat Islam untuk melakukannya, karena
alasan keterpaksaan. Lain halnya, jika kondisinya normal,
hukum dharurat tidak dapat diberlakukan.
Sesungguhnya, kalau dilihat dari subtansi penetapan
hukum Islam, diarahkan untuk mewujudkan terealisasinya
perlindungan dalam lima perkara, yaitu (i) hifdz ad-din
(melindungi agama); (ii) hifdz an-nafs (melindungi jiwa); (iii)
hifdz al-aql (melindungi akal); (iv) hifdz al-mal (melindungi
harta); dan (v) hifdz an-nasl (melindungi keturunan). Begitu
pula dalam menetapkan kategori dharurat dalam hukum
Islam, selalu diarahkan untuk melindungi kepentingan
lima perkara di atas.
Contohnya, dalam kondisi tertentu kita terpaksa harus
memakan bangkai karena sudah tidak menemukan lagi
daging yang dimakan. Sekiranya tidak makan bangkai
tersebut, maka akan mengancam pada keselamatan jiwa.
Dalam kasus ini, berlakunya hukum dharurat, kebolehan
memakan bangkai, karena diarahkan untuk melindungi
jiwa (hifdz an-nafs).
89 Menjawab Keraguan Umat Islam
Batas Darurat Transaksi dengan Bank Konvensional
PKES Publishing
Contoh yang lain, dalam kondisi tertentu kita terpaksa harus
membunuh orang yang akan mencuri atau merampok harta
yang kita miliki. Karena pada dasarnya, menjadi kewajiban
bagi kita untuk melindungi harta kekayaan tersebut. Seperti
halnya syariah Islam menuntut kita untuk melindungi jiwa
yang melekat ditubuh kita. Dalam kasus ini, berlakunya
hukum dharurat, kebolehan membunuh orang lain, karena
diarahkan untuk melindungi harta (hifdz al-mal).
Dalam perspektif fqh, dharurat merupakan pintu terakhir,
karena sudah tidak ada lagi jalan lain. Oleh karenanya,
pemberlakuan hukum dharurat tidak dapat berlangsung
selama-lamanya. Ada batas waktunya. Batasnya, setelah
kondisi sudah kembali pada posisi yang normal. Artinya,
sudah ada pilihan lain yang telah sesuai dengan ketentuan
syariah Islam.
Kemudian, bagaimana dengan ketetapan berlakunya
hukum dharurat tatkala melakukan transaksi dengan
lembaga keuangan konvensional, seperti bank ribawi?
Batasannya seperti apa, kebolehan umat Islam melakukan
transaksi dengan bank konvensional? Atau dalam kondisi
bagaimana, toleransi hukum dharurat dapat dijalankan?
Mempertegas Batas
Dalam kasus kebolehan melakukan transaksi dengan
bank konvensional perlu ditegaskan batas demargasinya.
Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu:
(i) Berkaitan dengan operasional bank konvensional
yang menggunakan sistem ribawi (bunga), sesungguhnya
telah menyalahi ketentuan syariah Islam. Karena, dalam
tinjauan hukum Islam, mempraktekkan riba termasuk
Menjawab Keraguan Umat Islam 90
Batas Darurat Transaksi dengan Bank Konvensional
PKES Publishing
kategori perbuatan yang diharamkan. Hal ini, seperti telah
ditegaskan Allah Swt dalam QS al-Baqarah [2]: 275. Dalam
kondisi yang normal, ketentuan hukum ini sudah tidak dapat
ditawar lagi. Artinya, pengharaman melakukan transaksi
dengan bank konvensional berlaku secara mutlak. Tanpa
ada celah untuk memberikan kesempatan membolehkan
untuk melakukan transaksi ribawi.
(ii) Sebelumnya, perlu ditegaskan terlebih dahulu batasan
wilayah normal dan tidak normal, atau batasan kewajaran
dan ketidakwajaran. Yang dimaksud dengan batas normal
dalam masalah ini adalah sudah tersedianya jaringan
kantor bank syariah di suatu wilayah dan masyarakat
sudah dapat mengakses dengan mudah pelayanan yang
diberikan oleh bank syariah. Sehingga suatu kondisi
menjadi tidak normal, jika satu wilayah belum ada jaringan
kantor bank syariah atau kantor bank yang memberikan
pelayanan transaksi syariah. Apalagi, saat ini Direktorat
Perbankan Syariah BI telah menandai kantor bank yang
memberi layanan transaksi syariah dengan logo iB. Artinya,
bank yang ada logo tersebut sudah dapat memberikan
pelayanan transaksi syariah. Sehingga kita sudah dapat
memetakan wilayah yang masuk kategori normal dan
wilayah tidak normal dengan hanya melihat ada tidaknya
logo iB pada kantor bank tersebut.
(iii) Bagaimana jika kondisinya tidak normal atau tidak
dalam batas kewajaran? Jawabannya, kita dapat melakukan
transaksi dengan bank konvensional jika kondisi yang
terjadi tidak normal. Yaitu, satu kondisi dimana pada
wilayah tersebut belum tersedia kantor bank syariah atau
layanan transaksi syariah yang diberikan oleh bank yang
berlogo iB. Kondisi inilah yang disebut dharurat, sehingga
91 Menjawab Keraguan Umat Islam
Batas Darurat Transaksi dengan Bank Konvensional
PKES Publishing
kita masih mendapat toleransi melakukan transaksi
dengan bank konvensional.
Adapun saat ini kondisinya sudah memperlihatkan bahwa
jaringan bank syariah dan kantor layanan syariah, sudah
dapat ditemukan dihampir kota propinsi dan kota kabupaten
di wilayah Indonesia. Sehingga istilah dharurat, untuk saat
ini, sudah tidak relevan lagi. Lain halnya, dengan kondisi
pada periode belum adanya bank syariah di Indonesia,
yaitu sebelum tahun 1991. Dimana di Indonesia belum
ditemukan ada bank syariah satupun yang berdiri. Sehingga,
umat Islam Indonesia pada waktu itu masih diperbolehkan
melakukan transaksi dengan bank konvensional. Baru
setelah tahun 1991, di Indonesia diperkenalkan adanya
bank syariah. Melalui Bank Muamalat Indonesia (BMI),
umat Islam Indonesia mengenal adanya bank syariah.
(iv) Masalahnya sekarang yang menjadi batas dharurat
melakukan transaksi dengan bank konvensional, bukan
karena ada atau tidak adanya bank syariah. Tetapi, lebih dari
itu, penyebabnya dikarenakan faktor pelayanan (services)
yang diberikan oleh bank syariah belum begitu memuaskan
dengan pelayanan yang diberikan oleh salah satu bank
swasta konvensional. Apakah hal ini masih ditoleransi
sebagai gejala yang bersifat dharury (keterpaksaan) oleh
syariah Islam?
Faktor pelayanan (services) yang diberikan oleh bank
syariah bukanlah termasuk illat (penyebab) bagi berlakunya
hukum dharurat pada bank konvensional. Karena yang
menjadi pokok illat-nya di sini terletak pada ada atau
tidaknya bank syariah pada satu wilayah. Bukan terletak
pada pelayanan (services) yang diberikan oleh bank
Menjawab Keraguan Umat Islam 92
Batas Darurat Transaksi dengan Bank Konvensional
PKES Publishing
syariah. Apalagi, saat ini pilihan bagi umat Islam Indonesia
untuk bertransaksi dengan bank syariah tidak hanya satu.
Saat ini, sudah banyak bank syariah yang beroperasi di
Indonesia, baik yang full syariah, seperti Bank Muamalat
Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank
Syariah Mega Indonesia (BSMI), atau dalam bentuk Unit
Usaha Syariah (UUS), seperti BNI Unit Syariah dan Bank
Permata Unit Syariah, dll.
***
Jadi, bagi kita selaku umat Islam Indonesia, saat ini sudah
tidak lagi harus berlindung dari toleransi hukum dharurat.
Sudah saatnya, kita melepas baju dharurat berganti
dengan baju kemantapan dan keyakinan untuk melakukan
transaksi dengan bank syariah yang jaringannya sudah
didapati hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu, beberapa bank syariah yang beroperasi di
Indonesia sudah menawarkan fasilitas kemudahan bagi
nasabahnya untuk bertransaksi di jaringan ATM Bersama
dan ATM BCA. Di samping itu, ada Bank Syariah yang kartu
ATM-nya bisa dimanfaatkan pada jaringan ATM internasional
yang berlogo Cirrus dan Maestro. Dengan fasilitas ini, umat
Islam Indonesia yang berkeinginan menjalankan ibadah
haji sudah tidak lagi bersusah payah membawa uang
tunai. Dengan hanya menggesek ATM bank syariah yang
bertandakan logo Cirrus dan Maestro di Makkah atau
Madinah, umpamanya, kita sudah terbantu memperoleh
uang yang kita butuhkan. Wallahu alam bis showab.
93 Menjawab Keraguan Umat Islam
Batas Darurat Transaksi dengan Bank Konvensional
PKES Publishing
KESIMPULAN
Dalam perspektif fqh, dharurat merupakan pintu terakhir,
karena sudah tidak ada lagi jalan lain. Oleh karenanya,
pemberlakuan hukum dharurat tidak dapat berlangsung
selama-lamanya. Ada batas waktunya. Batasnya, setelah
kondisi sudah kembali pada posisi yang normal. Artinya,
sudah ada pilihan lain yang telah sesuai dengan ketentuan
syariah Islam.
Jadi, bagi kita selaku umat Islam Indonesia, saat ini sudah
tidak lagi harus berlindung dari toleransi hukum dharurat.
Sudah saatnya, kita melepas baju dharurat berganti
dengan baju kemantapan dan keyakinan untuk melakukan
transaksi dengan bank syariah yang jaringannya sudah
didapati hampir di seluruh wilayah Indonesia.
MENJAWAB KERAGUAN
UMAT ISLAM TERHADAP
BANK SYARIAH
Pelayanan
dan
IT
pada Bank Syariah
8
Keraguan
95 Menjawab Keraguan Umat Islam
Pelayanan dan IT pada Bank Syariah
PKES Publishing
Bank syariah kalah dengan bank konvensional dari sisi
pelayanan dan IT yang dimilikinya? Ah, itu pertanyaan
dan pernyataan yang tidak mendasar. Buktinya, saat ini
bank syariah dapat diterima oleh pasar (market) dan dapat
bersaing dengan bank konvensional. Pelayanan dan IT yang
dimiliki oleh bank syariah tidak kalah dengan pelayanan
dan IT yang dipunyai bank konvensional.
danya pernyataan di atas, sengaja dihembuskan
oleh para pihak yang berkeinginan mengkerdilkan
eksistensi bank syariah. Mereka, yang menganggap
sebelah mata adanya bank syariah, sengaja
membuat opini publik, untuk menumbuhkan keraguan di
hati umat Islam Indonesia, sehingga enggan bertransaksi
dengan bank syariah.
Oleh karena itu, pernyataan tersebut perlu diluruskan
dengan mengungkapkan fakta dan realita yang meneguhkan
keyakinan di hati umat Islam Indonesia, bahwa bank
syariah, dari sisi pelayanan dan IT yang dimilikinya, tidak
kalah dibanding dengan yang dipunyai bank konvensional.
Intinya, kita harus berani menyatakan bahwa bank syariah
dapat berkembang dan diterima oleh market.
Sebagai satu fakta yang tidak terbantahkan lagi, pada
kesempatan ini, kita mencoba mengemukakan data tentang
pelayanan dan teknologi yang sudah digunakan oleh bank
syariah. Data ini bersumber dari buku Tuntunan Praktis
Menggunakan Jasa Perbankan Syariah yang diterbitkan
oleh PKES pada bulan April 2007.
***
A
Menjawab Keraguan Umat Islam 96
Pelayanan dan IT pada Bank Syariah
PKES Publishing
Perbankan syariah di Indonesia saat ini terdiri dari 2 jenis
model. Pertama, adalah bank syariah dalam bentuk Bank
Umum Syariah (BUS) seperti Bank Muamalat (BMI), Bank
Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Syariah Mega Indonesia
(BSMI). BSM dan BSMI secara kelembagaan berdiri sendiri
yang keduanya sudah terpisah dari bank induknya, yaitu
bank konvensional Bank Mandiri dan Bank Mega. Kedua,
yaitu bank syariah dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS).
Secara kelembagaan UUS berada dalam struktur organisasi
bank induknya/bank konvensional, yang pengelolaannya
diketuai oleh seorang Kepala Divisi.
Dalam mengupayakan pengembangan perbankan syariah,
BI melalui Direktorat Perbankan Syariah mengeluarkan
kebijakan salah satu di antaranya adalah offce channeling.
Dengan adanya kebijakan tersebut maka nasabah dapat
memperoleh layanan jasa perbankan yang berprinsip
syariah di bank konvensional. Karena bank konvensional
tersebut sudah membuka unit layanan syariah dengan
menyediakan Syariah Channeling Outlet.
Dengan demikian diharapkan dapat lebih memudahkan dan
mendekatkan layanan bank syariah kepada masyarakat.
Meskipun demikian sistem dan prosedur dalam pengelolaan
operasional layanan perbankan syariah sepenuhnya
terpisah dari bank induknya/bank konvensional. Bank
konvensional yang memiliki unit layanan syariah adalah
BRI, BNI, Permata, BTN, BPD DKI, BPD Jabar, BPD Riau,
Bukopin, Danamon, BII, HSBC, Niaga, dan IFI.
Dengan dukungan teknologi informasi nasabah bank
syariah dapat bertransaksi secara on line di seluruh
jaringan kantor cabang bank syariah maupun jaringan bank
97 Menjawab Keraguan Umat Islam
Pelayanan dan IT pada Bank Syariah
PKES Publishing
induknya (bank konvensional) serta dapat menggunakan
ribuan ATM yang tersebar di seluruh provinsi.
Meskipun Bank Syariah telah menerapkan offce channelling
dengan menggunakan sarana layanan dan teknologi yang
dimiliki bank konvensional, seperti ATM, phone banking,
mobile banking (SMS), dan internet banking, namun
sistem pembukuan dan neraca keuangannya telah terpisah
dengan bank induknya/bank konvensional.
Secara rinci layanan jasa perbankan syariah yang
menggunakan teknologi informasi dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. On Line Real Time (informasi mutasi/perubahan dana
berlaku sama untuk semua jaringan pada waktu yang
bersamaan).
Seorang nasabah yang membuka rekening tabungan di
suatu bank syariah kantor cabang tertentu dapat melakukan
transaksi setor dan tarik uangnya di kantor cabang syariah
tersebut (ataupun bank konvesionalnya) di kantor cabang
lain atau di kota lain. Selain itu nasabah bank syariah dapat
melakukan tarik uang tunai atau transaksi perbankan
lainnya melalui ATM bank syariah dimaksud (ataupun ATM
bank konvensionalnya) atau pun jaringan ATM tertentu
yang terkoneksi dimana saja di kota lain.
Dengan sistem on line real time maka setiap mutasi
rekening, baik pengurangan ataupun penambahan saldo
yang dilakukan di kantor cabang/ATM manapun akan
sama. Begitu juga nasabah pembiayaan dapat melakukan
angsuran pinjamannya melalui setoran tunai atau
Menjawab Keraguan Umat Islam 98
Pelayanan dan IT pada Bank Syariah
PKES Publishing
autodebet tabungannya di kantor cabang syariah (atau
bank konvensionalnya) atau melalui ATM dimana saja di
kota lain. Hal ini juga berlaku untuk transaksi perbankan
yang dilakukan melalui phone banking, mobile banking
(SMS), dan internet banking. Dengan kata lain, bank yang
menyediakan fasilitas ATM, phone banking, e-banking
(internet dan SMS banking), merchant debit dan merchant
credit, maka bank tersebut sudah on line real time dalam
layanan perbankannya.
2. ATM (automatic teller machine).
Mesin ATM ini berfungsi sebagai teller atau kasir bank
selama 24 jam sehari dimana nasabah bank syariah dapat
melakukan transaksi perbankan tanpa perlu pergi ke
bank.
Fasilitas ATM suatu bank syariah menyediakan ftur
layanan perbankan yang berbeda-beda dengan ATM bank
syariah lainnya. Namun secara umum nasabah dapat
melakukan tarik uang tunai (dalam jumlah batas tertentu
per hari), informasi saldo, penggantian PIN (personal
identity number), transfer dana ke rekening lain pada
bank yang sama atau bank lain; pembayaran tagihan
telepon, listrik, air, pembayaran kartu kredit, internet, uang
kuliah, angsuran asuransi, pembayaran tagihan ponsel
pasca bayar, pembelian pulsa isi ulang ponsel pra-bayar,
pembayaran zakat, dan transaksi lainnya.
Kartu ATM biasanya dapat diperoleh 3 hari setelah
pembukaan rekening tabungan atau giro. (Kecuali Shar-e
produk tabungan Bank Muamalat yang kartu ATM-nya dapat
langsung diperoleh saat pembelian paket tabungan Shar-e)
99 Menjawab Keraguan Umat Islam
Pelayanan dan IT pada Bank Syariah
PKES Publishing
Bank syariah tertentu dapat menerbitkan kartu ATM nya
dengan menampilkan pas Foto nasabah, mencetak timbul
nama nasabah dan nomor kartu (embossed printed).
Sedangkan kartu ATM instant dapat diperoleh nasabah
langsung pada hari itu juga. Meskipun tidak tercetak foto,
nama dan nomor kartu, namun kartu ATM instant tetap
memiliki fungsi yang sama sebagaimana layaknya kartu
ATM. Atas pembuatan kartu ATM, beberapa bank syariah
membebankan biaya yang berkisar antara Rp 5.000
hingga Rp 7.500. Selain itu, nasabah dibebankan biaya
pengelolaan fasilitas ATM berkisar antara Rp 2.500 hingga
Rp 5.000 per bulan. Kartu ATM instant biasanya diberikan
kepada nasabah sebagai pengganti atas kartu ATM
yang hilang. Prosedur yang harus dilakukan bila seorang
nasabah kehilangan kartu ATM adalah sebagai berikut:
Segera menelepon phone banking bank syariah yang
bersangkutan guna melaporkan kehilangan kartu
ATM dengan menyebutkan nama dan nomor rekening
tabungan, lokasi kehilangan, dan data lainnya yang
mengindikasikan bahwa pelapor/penelepon adalah
benar pemilik rekening/pemilik kartu ATM. Pelaporan ini
penting dilakukan agar kartu ATM tidak disalahgunakan
oleh orang yang tidak bertanggung jawab
Mendatangi kantor bank syariah dimana nasabah
melakukan pembukaan rekening tabungannya.
Di kantor bank syariah, nasabah mengisi formulir
laporan kehilangan kartu ATM dan menandatanganinya,
dan melampirkan Surat Keterangan Hilang dari Kantor
Polisi setempat.
Membayar biaya administrasi pencetakan kartu ATM
baru.
Menjawab Keraguan Umat Islam 100
Pelayanan dan IT pada Bank Syariah
PKES Publishing
Kartu ATM bank syariah selain dapat digunakan pada
ATM bank syariah yang bersangkutan juga pada bank
konvensionalnya ataupun ATM bank lain yang termasuk
dalam jaringan:
a. ATM Bersama, yaitu: ATM Bank Muamalat, ATM BNI,
ATM BRI, ATM Bank Syariah Mandiri, ATM Mandiri, ATM
Danamon, ATM Niaga, ATM Permata, ATM Bank Jabar,
ATM Bank DKI, ATM BPD Riau, ATM Bank Bukopin, ATM
IFI, ATM Bank Syariah Mega, ATM Bank Mega, ATM
NISP, ATM BTPN, ATM Swadesi, ATM Bumiputera, ATM
Mayapada, ATM Bank Commonwealth, ATM Standart
Chartered, ATM ABN AMRO, ATM Argo, ATM Bank Artha
Niaga Kencana, ATM Bank Artos Indonesia, ATM Bank
Buana, ATM Bank Eksekutif, ATM Bank Ganesha, ATM
Bank HS 1906, ATM Bank Ina Perdana, ATM Bank
Lippo, ATM Bank Mayora, ATM Bank Mestika Dharma,
ATM Bank Nagari, ATM Bank Nusantara Parahyangan,
ATM Bank Panin, ATM BPD Aceh, ATM BPD Bali, ATM
BPD Bengkulu, ATM BPD DIY, ATM BPD Jambi, ATM BPD
Kalimantan Selatan, ATM BPD Kalimantan Tengah,
ATM BPD Kalimantan Timur, ATM BPD Lampung, ATM
BPD Maluku, ATM BPD NTB, ATM BPD NTT, ATM BPD
Papua, ATM BPD Sulawesi Selatan, ATM BPD Sulawesi
Tenggara, ATM BPD Sulawesi Utara, ATM BPD Sumatera
Utara, ATM Bank Jatim.
b. ATM ALTO yaitu ATM BII, ATM Bank Permata, ATM Bank
Artha Graha, ATM Bank Buana, ATM Bank Bukopin, ATM
Bank Danamon, ATM Bank Ekonomi, ATM Bank Eka
Bumi Artha, ATM Bank Haga, ATM Bank Harda, ATM
Bank Kesawana, ATM Bank Lippo, ATM Bank Nusantara
Parahyangan, ATM Bank Panin, ATM PT. Inti Sentral
Operasi.
101 Menjawab Keraguan Umat Islam
Pelayanan dan IT pada Bank Syariah
PKES Publishing
c. ATM Prima, yaitu: ATM ABN Amro, ATM Bank Buana
Indonesia, ATM Bank Bukopin, ATM Bank Bumi Artha,
ATM Bank Ekonomi, ATM Bank Eksekutif Internasional,
ATM Bank Haga, ATM Bank Haga Kita, ATM Bank Jateng,
ATM Bank Maspion, ATM Bank Mayapada, ATM Bank
Mega, ATM Bank Muamalat, ATM Bank of Tokyo, ATM
Bank Permata, ATM Bank Sumsel, ATM Bank Nusantara
Parahyangan, ATM Bank BRI, ATM Bank Jasa Jakarta,
ATM Bank NISP, ATM Bank UIB, ATM Bank Victoria, dan
ATM Bank Kaltim.
d. ATM Cirrus dan ATM Maestro yaitu jaringan ATM
internasional, sehingga nasabah bank syariah dapat
bertransaksi di luar negeri.
e. ATM MEPS (Malaysian Electronic Payment System)
yaitu jaringan internasional on line real time yang dapat
tarik tunai Ringgit di lebih dari 2.000 ATM di Malaysia
meliputi: MayBank, Hong Leong Bank, Affn Bank dan
Southern Bank.
f. ATM Bankcard yaitu ATM Malaysia yang berlogo stiker
ATM Bersama.
g. Kartu prabayar SUHC (Saudi Umrah & Haj Card) yaitu
kartu yang dapat tarik tunai mata uang SAR (Saudi
Arabian Real) di 700 ATM dan counter Bank Al-Rajhi di
seluruh Arab Saudi.
3. Phone Banking
Yaitu fasilitas layanan perbankan melalui telepon selama 24
jam sehari tanpa harus pergi ke bank. Dengan menyebutkan
Menjawab Keraguan Umat Islam 102
Pelayanan dan IT pada Bank Syariah
PKES Publishing
nomor rekening dan menekan kode PIN. Kode PIN tidak
boleh disebutkan/diberitahukan kepada operator phone
banking, karena kode PIN ini sangat rahasia.
Biasanya kode PIN terdiri atas 4 atau 6 digit. Hanya
dengan beban pulsa telepon lokal, nasabah bank syariah
dapat melakukan transaksi perbankan berupa informasi
saldo, mengubah PIN (Personal Identity Number),
pemindahbukuan antara rekening, pembayaran ZIS, histori
transaksi, dll.
4. E-banking
Yang dimaksud dengan e-banking adalah layanan
perbankan dengan menggunakan fasilitas mobile banking
melalui SMS dan internet banking. Kedua fasilitas tersebut
akan dijelaskan di bawah ini.
a. Mobile Banking: SMS
adalah layanan perbankan berbasis teknologi seluler yang
bisa diakses melalui ponsel. Dengan fasilitas ini nasabah
dapat bertransaksi perbankan melalui ponselnya dengan
mengirimkan SMS (Short Message Service). Semua
transaksi dilindungi dengan PIN (Personal Identity
Number) pribadi. Untuk dapat menikmati fasilitas mobile
banking melalui SMS nasabah bank syariah harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
Memiliki rekening tabungan atau giro
Menggunakan kartu ponsel berbasis GSM (Global
System for Mobile communication)
Menggunakan ponsel berfasilitas GPRS (General
Packet Radio Services)
Mengisi formulir permohonan mobile banking
103 Menjawab Keraguan Umat Islam
Pelayanan dan IT pada Bank Syariah
PKES Publishing
Mengubah PIN awal sebelum mulai bertransaksi
Memenuhi saldo minimal pada jumlah tertentu.
Selanjutnya nasabah harus melakukan pendaftaran yang
dapat dilakukan di seluruh kantor cabang secara gratis
atau melalui ATM, atau menghubungi phone banking
dengan mengikuti serangkaian tahapan/petunjuk
yang dipandu secara jelas dan mudah dimengerti.
Pendaftaran fasilitas mobile banking dapat juga di-
download dari website dengan menggunakan kabel
data, bluetooth, atau infra merah sesuai merk ponsel
atau dengan menggunakan fasilitas GPRS. Pastikan
ponsel telah tersedia fasilitas GPRS dan SIM card telah
diaktifkan fasilitas GPRS-nya.
Tahap-tahap pendaftaran biasanya dijelaskan dalam
brosur yang diterbitkan oleh bank syariah yang memiliki
fasilitas mobile banking dalam layanan produknya atau
pada website. Mobile banking memberikan tampilan
layar dan sistem pengoperasian menu drive. Tidak perlu
menulis kata demi kata, cukup memilih menu yang
disediakan sehingga terhindar dari kesalahan penulisan.
Fasilitas ini disediakan baik bagi ponsel dengan sistem
pra-bayar maupun pasca bayar, untuk semua provider
GSM.
Semua transaksi dilindungi PIN, setiap transaksi yang
dilakukan dicatat dan dapat disimpan dalam message
box ponsel nasabah maupun ponsel penerima.
Tarif biaya sesuai biaya SMS yang diberlakukan oleh
masing-masing provider GSM. Nasabah dibebankan
biaya SMS kirim dan biaya SMS terima. Transaksi yang
Menjawab Keraguan Umat Islam 104
Pelayanan dan IT pada Bank Syariah
PKES Publishing
dapat dilakukan dengan fasilitas mobile banking adalah:
informasi saldo, informasi 3 (tiga) transaksi terakhir,
mengganti PIN, info kurs mata uang valuta asing
tertentu, bill payment (atau pembayaran payment point,
seperti tagihan PLN, Telkom, dll), informasi lokasi ATM
bank yang bersangkutan, informasi lokasi kantor cabang
bank yang bersangkutan, transfer antar rekening bank
yang bersangkutan dan bank induknya/konvensional, isi
ulang pulsa beberapa provider GSM.
Nasabah yang sudah terdaftar dalam layanan fasilitas
mobile banking, harus lebih waspada antara lain segera
menghapus SMS perintah dari ponselnya, atau segera
menghubungi operator phone banking bank yang
bersangkutan untuk memblokir layanan SMS banking bila
kemudian kehilangan handphone atau SIM (Subscriber
Identity Module) card-nya.
b. Internet Banking
Yaitu layanan perbankan melalui internet yang dapat
diakses di mana saja tanpa batas waktu dan negara.
Dengan klik home page bank syariah tertentu, akan
ditemukan fasilitas layanan transaksi perbankan seperti:
transfer, cek saldo, pembayaran tagihan telepon, listrik,
dll.
5. Link Internasional
Adalah jaringan perbankan internasional yang dimiliki
bank syariah tertentu, untuk memudahkan nasabahnya
bertransaksi di luar negeri.
105 Menjawab Keraguan Umat Islam
Pelayanan dan IT pada Bank Syariah
PKES Publishing
Adapun fasilitas ATM yang memiliki jaringan internasional
adalah sebagai berikut:
Kartu ATM Cirrus dan ATM Maestro nasabah bank
syariah dapat melakukan tarik tunai mata uang di
seluruh dunia, khususnya untuk nasabah yang sedang
menunaikan ibadah haji dapat menarik uang Real (atau
SAR Saudi Arabia Real) ketika.
Kartu ATM MEPS nasabah bank syariah dapat
melakukan tarik tunai Ringgit di lebih dari 2000 ATM
di Malaysia
Kartu prabayar SUHC nasabah bank syariah dapat
melakukan tarik tunai SAR di 700 ATM dan counter
Bank Al-Rajhi di seluruh Arab Saudi, termasuk Jeddah,
Mekkah dan Madinah. Kartu prabayar ini terdiri dari
beberapa pecahan SAR.
6. Autodebit Payment Point
Payment point adalah layanan perbankan berupa
pembayaran tagihan seperti PLN, Telkom, PDAM, Ponsel,
asuransi, ZIS, uang kuliah, dll. Layanan autodebit payment
point yaitu transaksi pembayaran payment point secara
otomatis mendebit rekening tabungan melalui ATM, phone
banking, mobile banking, atau pun internet banking.
7. Merchant Debit dan Merchant Credit
Layanan kedua fasilitas ini adalah fungsi lain dari
kartu ATM, yaitu sebagai kartu belanja. Nasabah dapat
membayar tagihan belanjanya di toko swalayan tanpa
harus membawa uang tunai. Pada fasilitas merchant
debit, nasabah membayar tagihan belanjanya dengan
mendebit tabungannya secara otomatis. Sedangkan pada
Menjawab Keraguan Umat Islam 106
Pelayanan dan IT pada Bank Syariah
PKES Publishing
merchant credit, nasabah membayar tagihan belanjanya
dengan menggunakan kartu kredit. Bertransaksi dengan
menggunakan kedua fasilitas ini memiliki batasan/limit
jumlah tertentu.
8. Fasilitas Auto Save
Yaitu fasilitas transfer antara rekening giro dan rekening
tabungan secara otomatis.
***
Melihat fakta di atas, akan hilanglah keraguan di hati
umat Islam Indonesia mengenai pelayanan dan IT yang
dimiliki bank syariah. Keraguan tersebut akan berubah
menjadi satu keyakinan. Keyakinan yang menegaskan
bahwa pelayanan (services) dan IT yang dimiliki oleh
bank syariah, memperlihatkan adanya semangat untuk
selalu meningkatkan pelayanan yang memuaskan (service
satisfaction) pada customer dan menggunakan teknologi
informasi yang memadai dalam mengembangkan industri
keuangan syariah di Indonesia. Wallahu alam bis showab.
107 Menjawab Keraguan Umat Islam
Pelayanan dan IT pada Bank Syariah
PKES Publishing
KESIMPULAN
Pelayanan (services) dan IT yang dimiliki oleh bank
syariah, memperlihatkan adanya semangat untuk selalu
meningkatkan pelayanan yang memuaskan (service
satisfaction) pada customer dan menggunakan teknologi
informasi yang memadai dalam mengembangkan industri
keuangan syariah di Indonesia.
MENJAWAB KERAGUAN
UMAT ISLAM TERHADAP
BANK SYARIAH
Jaminan pada
Simpanan Dana
Pihak Ketiga
(DPK)
9
Keraguan
109 Menjawab Keraguan Umat Islam
Jaminan pada DPK
PKES Publishing
risis moneter yang melanda industri perbankan
nasional pada tahun 1998 masih menyisakan
bekas yang tak hilang di ingatan para nasabah
penyimpan. Mengapa? Karena, waktu itu terjadi
penarikan besar-besaran (rush) dana pihak ketiga (DPK)
di hampir semua bank yang ada di Indonesia. Nasabah
merasa khawatir dengan dananya yang tersimpan di bank
waktu itu. Apakah dananya yang tersimpan dalam bank,
masih dapat diambil lagi atau hilang?
Kecemasan inilah yang masih menghantui sebagian
nasabah (customer) di industri perbankan syariah di
Indonesia. Dalam benak nasabah bank syariah, masih saja
muncul seberkas keraguan, akan dananya yang tersimpan
di bank syariah. Apakah dananya di bank syariah aman,
atau sebaliknya, nasibnya sama saja seperti yang menimpa
di industri perbankan konvensional pada era krisis moneter
1998, jika suatu ketika terjadi krisis moneter jilid 2?
***
Sesungguhnya, kecemasan tersebut tidak bakal terjadi,
seandainya semua customer industri perbankan syariah
menyadari adanya UU No 24 tahun 2004. Undang-undang
ini mengatur tentang Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS). Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa setiap
bank wajib menjadi peserta LPS, termasuk bank syariah.
LPS adalah lembaga berbadan hukum yang independen
bertanggung jawab kepada Presiden RI.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) atau Indonesia Deposit
Insurance Corporation adalah suatu lembaga independen
yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan
K
Menjawab Keraguan Umat Islam 110
Jaminan pada DPK
PKES Publishing
di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan yang ditetapkan pada 22 September
2004. Undang-undang ini mulai berlaku efektif 12 bulan
sejak diundangkan sehingga pendirian dan operasional
LPS dimulai pada 22 September 2005. Setiap bank yang
melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia
wajib menjadi peserta penjaminan LPS.
Krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia
pada tahun 1998 ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank
yang mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan
masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi
krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa
kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh
kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan
masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan
dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998
tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank
Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998
tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank
Perkreditan Rakyat.
Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat
menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap
industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan
yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard
baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat. Untuk
mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa
aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas
sistem perbankan, program penjaminan yang sangat
luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem
penjaminan yang terbatas.
111 Menjawab Keraguan Umat Islam
Jaminan pada DPK
PKES Publishing
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana
masyarakat. Oleh karena itu maka UU LPS ditetapkan pada
22 September 2004.
LPS berfungsi menjamin simpanan nasabah bank dan
turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan
sesuai kewenangannya. Sejak tanggal 22 Maret 2007 dan
seterusnya, nilai simpanan yang dijamin LPS maksimum
sebesar Rp 100 juta per nasabah per bank, yang mencakup
pokok dan bunga/bagi hasil yang telah menjadi hak
nasabah. Bila nasabah bank memiliki simpanan lebih dari
Rp 100 juta maka sisa simpanannya akan dibayarkan dari
hasil likuidasi bank tersebut.
Tujuan kebijakan publik penjaminan LPS tersebut adalah
untuk melindungi simpanan nasabah kecil karena
berdasarkan data distribusi simpanan per 31 Desember
2006, rekening bersaldo sama atau kurang dari Rp 100
juta mencakup lebih dari 98% rekening simpanan.
LPS berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan
bank yang berbentuk giro, deposito, sertifkat deposito,
tabungan, dan jenis simpanan lainnya. Nilai simpanan
yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling
banyak Rp 100 juta. LPS wajib membayar klaim penjaminan
kepada nasabah penyimpan dari bank yang dicabut izin
usahanya. Jangka waktu pengajuan klaim penjaminan
oleh nasabah penyimpan kepada LPS adalah 5 tahun
sejak izin usaha bank dicabut. Anggota Dewan Komisioner
LPS adalah pejabat eselon I Departemen Keuangan
(yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dan diangkat oleh
Menjawab Keraguan Umat Islam 112
Jaminan pada DPK
PKES Publishing
Presiden RI) dan pejabat BI. Informasi lebih jauh dapat
diakses melalui www.lps.go.id.
***
Dengan adanya LPS, nasabah bank syariah akan merasa
aman. Tidak ada perasaan cemas dengan dananya yang
tersimpan di bank syariah. Karena, dana pihak ketiga
dijamin oleh LPS. Seandainya, suatu saat ada bank syariah
yang dilikuidasi Bank Indonesia, dana nasabahnya tetap
aman dan akan dikembalikan lagi ke nasabah. Wallahu
alam bis showab.
113 Menjawab Keraguan Umat Islam
Jaminan pada DPK
PKES Publishing
KESIMPULAN
Dengan adanya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),
nasabah bank syariah akan merasa aman. Karena, dana
pihak ketiga dijamin oleh LPS. Seandainya, suatu saat
ada bank syariah yang dilikuidasi Bank Indonesia, dana
nasabahnya tetap aman dan akan dikembalikan lagi ke
nasabah.
MENJAWAB KERAGUAN
UMAT ISLAM TERHADAP
BANK SYARIAH
Peran DSN-MUI
& BI dalam
Pengembangan
Dual Banking System
10
Keraguan
115 Menjawab Keraguan Umat Islam
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
A. MUI Sebagai Institusi Fatwa di Indonesia
Pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat
erat kaitannya dengan peran ulama dalam kehidupan
masyarakat lndonesia, tidak hanya pada persoalan
keagamaan namun juga pada persoalan politik. Gagasan
pembentukkan MUI bermula pada konferensi para ulama
di Jakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam
pada tanggal 30 September hingga 4 Oktober 1970 yang
mengajukan saran untuk memajukan kesatuan kaum
muslimin dalam kegiatan sosial dengan membentuk
sebuah majelis bagi para ulama Indonesia yang akan
diberi tugas untuk memberikan fatwa-fatwa. Namun, saran
tersebut baru mendapat tanggapan pada tahun 1974
ketika Pusat Dakwah Indonesia mengadakan Lokakarya
Nasional bagi juru dakwah muslim Indonesia, disepakati
bahwa pembentukkan majelis ulama harus diprakarsai. di
tingkat daerah. Hal ini mendapat dukungan dan Presiden
Soeharto yang kemudian pada tanggal 24 Mei 1975
mengemukakan alasan bahwa pemerintah menginginkan
kaum muslimin bersatu dan adanya kesadaran bahwa
masalah yang dihadapi bangsa tidak dapat diselesaikan
tanpa keikutsertaan ulama.
Sehingga pada tahun 1975, majelis-majelis daerah telah
terbentuk di hampir semua dari 26 propinsi di Indonesia.
Pada masa Orde Baru desakan untuk membentuk
semacam majelis ulama nasional nampak sangat jelas.
Pada tanggal 1 Juli 1975, pemerintah, dengan diwakili
Departemen Agama, mengumumkan penunjukkan sebuah
panitia persiapan pembentukkan majelis ulama tingkat
nasional. Panitia itu terdiri dari H. Sudirman, pensiunan
Menjawab Keraguan Umat Islam 116
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
jendral Angkatan Darat, selaku ketua, dan tiga orang
ulama selaku penasihat, yaitu: Dr Hamka, K.H. Abdullah
Syafi dan K.H. Syukri Ghozali. Pada tanggal 21-27 Juli
1975 dilangsungkan Muktamar Nasional Ulama. Para
peserta terdiri wakil-wakil majelis ulama daerah yang baru
dibentuk, para wakil pengurus pusat 10 Organisasi Islam
yang ada di Indonesia, sejumlah ulama bebas (yang tidak
mewakili Organisasi Islam tertentu) dan empat orang wakil
rohaniawan Islam ABRI. Pada akhir muktamar, tanggal 26
Juli 1975 terbentuk sebuah deklarasi yang ditandatangani
53 orang peserta, yang mengumumkan terbentuknya
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Dr. Hamka sebagai
ketua pertama.
Sesuai dengan perkembangannya MUI menghadapi
permasalah-an yang semakin luas. Seperti halnya dalam
menghadapi permasalahan ekonomi di Indonesia, dan
semakin berkembangnya pertumbuhan ekonomi syariah
dan lembaga keuangan syariah, maka MUI membentuk
sebuah lembaga yang bertugas untuk mendampingi
perkembangan tersebut. Yaitu membentuk Dewan Syariah
Nasional (DSN).
B. Fatwa; Fungsi dan Legalitasnya
Fungsi Fatwa
Fatwa merupakan salah satu metode dalam al-Quran dan
as-Sunnah yang berfungsi menerangkan hukum-hukum
syara, ajaran-ajarannya dan arahan-arahannya. Seperti
yang telah dijelaskan di atas bahwa penjelasan dari suatu
117 Menjawab Keraguan Umat Islam
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
hukum tersebut terkadang diberikan setelah adanya
pertanyaan atau permintaan seseorang atau sekelompok
orang dengan menggunakan perkataan (mereka bertanya
kepadamu). Sementara itu dalam as-Sunnah ada kalanya
Rasulullah Saw menerangkan hukum suatu masalah secara
berlangsung tanpa didahului pertanyaan dari seseorang.
Biasanya hal seperti ini dilakukan untuk menghilangkan
kesalahpahaman, untuk membetulkan pengertian,
mengajarkan kepada yang tidak tahu, memantapkan hati
orang yang sedang menuntun ilmu, untuk mengkhususkan
yang umum atau memberi qayid (ketetapan) bagi yang
mutlak, sebagai penjelasan Nabi terhadap al-Quran atau
untuk tujuan lainnya.
Legalitas Fatwa
Fatwa menempati kedudukan yang strategis dan sangat
penting, karena mufti (pemberi fatwa) sebagaimana
dikatakan oleh Imam Asy-Syatibi merupakan pelanjut tugas
Nabi Saw., sehingga ia berkedudukan sebagai khalifah dan
ahli waris Nabi.
Seseorang mufti menggantikan kedudukan Nabi Saw
dalam menyampaikan hukum-hukum syariat, mengajar
manusia, dan memberi peringatan kepada mereka agar
sadar dan berhati-hati. Disamping menyampaikan apa
yang diriwayatkan Nabi Saw mufti juga menggantikan
kedudukan Nabi dalam memutuskan hukum-hukum yang
digali dari dalil-dalil hkum-hukum melalui analisis-analisis
dan ijtihadnya, sehingga jika dilihat dari sisi ini seorang
mufti dapat dikatakan sebagai pencetus suatu hukum
yang wajib diikuti dan dilaksanakan keputusannya.
Menjawab Keraguan Umat Islam 118
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
C. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Dalam tubuh MUI, membuat dan mengeluarkan fatwa
merupakan kewenangan dari Komisi Fatwa Hukum Majelis
Ulama Indonesia (KFH-MUI) yang biasanya disebut Komisi
Fatwa. Komisi ini berdiri sejak pertama kali MUI dibentuk
pada tanggal 26 Juli 1975 (17 Rajab 1395 H).
Komisi Fatwa ini termasuk salah satu komisi di MUI
yang mendapat perhatian khusus, karena masyarakat
sangat membutuhkan nasehat keagamaan dari ulama
agar perubahan sosial yang ditimbulkan oleh kemajuan
ilmu pengetahuan, teknologi dan pembangunan, tidak
menjadikan masyarakat Indonesia menyimpang dari
kehidupan yang religius.
Komisi Fatwa ini merupakan salah satu komisi yang
menangani persoalan hukum. Tugasnya adalah menampung,
meneliti, membahas dan merumuskan rencana fatwa
berkaitan dengan hukum tentang masalah keagamaan
dan kemasyarakatan, terutama yang berhubungan dengan
pembangunan nasional.
Komisi Fatwa MUI bersifat responsif terhadap kasus-kasus
yang diajukan kepadanya atau adanya kasus-kasus yang
dinilai perlu diselesaikan melalui komisi Fatwa Hukum.
Komisi tidak hanya terkait untuk menyelesaikan persoalan
yang telah diprogramkan melainkan juga terkait untuk
menyelesaikan persoalan lain yang dinilai mendesak.
Pada dasarnya KFH-MUI menetapkan empat macam
produk keputusan yang dikeluarkan dan disampaikan baik
119 Menjawab Keraguan Umat Islam
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
kepada pemerintah, masyarakat maupun keduanya, yaitu:
Fatwa, keputusan KFHMUI yang menyangkut masalah 1.
agama Islam yang perlu dilaksanakan baik oleh
pemerintah maupun masyarakat demi kepentingan
pembangunan bangsa.
Nasehat, yaitu keputusan KFHWUI yang menyangkut 2.
masalah kemasyarakatan yang diharapkan dapat
dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat.
Anjuran, keputusan KFHMUI yang menyangkut masalah 3.
kemasyarakatan dalam rangka mendorong pemerintah
dan masyarakat untuk lebih intensif melaksanakannya
karena hal tersebut dianggap mengandung manfaat
yang besar.
Seruan, yaitu keputusan KFHMUI yang menyangkut 4.
masalah untuk tidak dilaksanakan atau sebaiknya
dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat.
D. Sejarah Singkat Tentang DSN
Sejalan dengan perkembangan lembaga-lembaga
keuangan syariah, ulama semakin tertuntut untuk turut
serta dalam memberikan masukan untuk kemajuan
lembaga tersebut.
Dalam rangka mengantisipasi tuntutan tersebut, MUI
membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) yang dianggap
sebagai langkah efsien untuk mengkoordinasikan ulama
dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan
masalah ekonomi atau keuangan. Disamping itu, DSN
diharapkan berfungsi sebagai pendorong penerapan
ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi. Oleh karena itu,
Menjawab Keraguan Umat Islam 120
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
DSN berperan serta secara proaktif dalam menanggapi
perkembangan masyarakat Indonesia dalam bidang
ekonomi dan keuangan.
Dewan Syariah Nasional, didirikan pada tahun 1999
berdasarkan keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor
Kp. 754/MUI/II/1999, tertanggal 10 Februari 1999, yang
ditandatangani oleh KH. Ali Yafe dan Drs. Nazri Adlani,
masing-masing selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum
MUI. Pada bagian konsideran Surat Keputusan tersebut,
antara lain dinyatakan bahwa hal yang melatarbelakangi
pembentukan DSN ialah dalam rangka mewujudkan
aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian
dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang
perekonamian/keuangan yang dilaksanakan sesuai
tuntutan syariat Islam.
Proses pembentukan DSN dengan diawali terlebih
dahulu dengan beberapa pertemuan yang dilakukan oleh
MUI. Diantaranya, keputusan Lokakarya Ulama pada
tanggal 29-30 Juli 1997 di Jakarta, dan hasil rapat tim
pembentukan Dewan Syariah Nasional tanggal 14 Oktober
1997. Pengurus Dewan Syariah Nasional yang dilantik oleh
mantan Menteri Agama RI (Prof. Malik Fajar, MSc) pada
bulan ramadhan 1421 H di Hotel Indonesia Jakarta Pusat,
terdiri atas Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Badan
Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional (BPH-DSN).
DSN yang beranggotakan 16 orang waktu itu dengan Ketua
Umum oleh KH. Ali Yafe dan Drs. H. Nazri Adlani sebagai
Sekretaris Umumnya. Sedangkan Ketua Pelaksana dan
Sekretaris Harian, masing-masing dijabat oleh KH. Maruf
Amin dan Drs. M. Ichwan Sam (SK.MUI. Nomor Kep.754/
MUI/1999).
121 Menjawab Keraguan Umat Islam
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
Secara umum, susunan pengurus DSN dapat dibedakan
menjadi dua : Pengurus yang bersifat umum dan badan
pelaksana harian. Pengurus DSN yang bersifat umum terdiri
atas: (a) ketua, (b) dua orang wakil ketua, (c) sekretaris, (d)
wakil sekretaris dan (e) anggota.
Pengurus umum DSN periode 2000 2005 terdiri atas 26
orang yang terdiri atas : 1 orang ketua, 2 orang wakil ketua,
1 orang sekretaris, 1 orang wakil sekretaris, dan 21 orang
anggota.
Badan pelaksana harian DSN terdiri atas : (a) ketua, (b)
wakil ketua (c) sekretaris, (d) wakil sekretaris (e) bendahara
dan (f) anggota. Badan pelaksana harian DSN periode
2000/2005 terdiri atas 13 orang yang terdiri atas : 1 orang
ketua, 1 orang wakil ketua, 1 orang sekretars, 1 orang wakil
sekretaris, 1 orang bendahara, dan 8 orang anggota.
Perbedaan antara susunan Pengurus Umum dengan
Badan Pelaksana Harian DSN terletak pada wakil ketua
dan bendahara. Dalam pengurus umum, terdapat 2 wakil
ketua; sedangkan dalam Badan Pelaksana Harian hanya
ada 1 wakil ketua; dan dalam Pengurus Umum tidak ada
bendahara, sedangkan dalam Bdan Pelaksana Harian
terdapat bendahara.
E. Kedudukan dan Keanggotaan DSN
DSN memiliki 2 kedudukan : pertama, ia berkedudukan
sebagai bagian dari MUI. Dengan kata lain, ia merupakan
perpanjangan tangan MUI dalam rangka turut serta
Menjawab Keraguan Umat Islam 122
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
mengembangkan lembaga keuangan syariah; dan kedua,
ia berkedudukan sebagai pembantu pihak-pihak terkait
dengan lembaga keuangan syariah, terutama pihak
Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
Anggota DSN terdiri atas tiga unsur : ulama, pakar
(ekonomi syariah, pen.), dan praktisi perbankan syariah.
Keanggotaan ulama, pakar, dan praktisi perbankan syariah
dalam DSN, ditunjuk dan diangkat oleh MUI dengan masa
bakti yang sama dengan periode masa bakti pengurus
MUI pusat (lima tahun). Sedangkan dalam buku petunjuk
Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia, dikatakan bahwa masa
bakti DSN adalah empat tahun.
F. Tugas dan Wewenang DSN
DSN memiliki tugas dan wewenang. Tugas tugas DSN yang
tercantum dalam Pedoman Dasar DSN-MUI adalah : (a)
menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah
dalam perekonomian pada umumnya dan pada keuangan
pada khususnya; (b) mengeluarkan fatwa mengenai jenis-
jenis kegiatan keuangan syariah; (c) mengeluarkan fatwa
mengenai produk dan jasa keuangan syariah; dan (d)
mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Sejumlah kewenangan DSN adalah : (a) mengeluarkan
fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah (DPS)
dimasing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi
landasan bagi ketentuan atas peraturan yang dikeluarkan
oleh instansi yang berwenang; (c) memberikan dan
123 Menjawab Keraguan Umat Islam
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk
sebagai DPS pada suatu lembaga keuangan syariah; (d)
mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah
yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah,
termasuk otoritas moneter (lembaga keuangan dalam
negeri dan luar negeri); (e) memberikan peringatan kepada
lembaga keuangan syariah untuk memberhentikan
penyimpangan dari fatwa yang dikeluarkan oleh DSN; dan
(f) mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk
mengambil tindakan apabila peringatan DSN diabaikan.
G. Mekanisme Kerja DSN
Mekanisme kerja yang disusun dalam keputusan MUI
mengenai Susunan Pengurus DSN, pada dasarnya
merupakan lanjutan dari tugas dan wewenang DSN yang
sudah dijelaskan sebelumnya. Dalam mekanisme kerja
DSN terdapat tiga unsur yang diperhatikan: DSN, Badan
Pelaksana Harian DSN, dan DPS.
Mekanisme kerja yang berkaitan dengan DSN adalah:
(a) DSN mensahkan rancangan fatwa yang disusun oleh
Badan Pelaksan Harian DSN; (b) DSN melakukan rapat
plenopaling tidaksatu kali dalam tiga bulan atau apabila
diperlukan; dan (c) DSN membuat laporan tahunan yang
berisi pernyataan yang dimuat dalam annual report (laporan
tahunan) mengenai lembaga keuangan syariah yang telah
dan tidak memenuhi segenap ketentuan syariah sesuai
dengan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN.
Mekanisme kerja yang berkaitan dengan Badan Pelaksana
Menjawab Keraguan Umat Islam 124
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
Harian DSN adalah: (a) Badan Pelakasana Harian
menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai
suatu produk lembaga keuangan syariah; (b) Sekretariat
yang dipimpin oleh sekretaris paling lambat setelah satu
hari kerja setelah menerima usulan atau pertanyaan,
menyampaikan permasalahan tersebut kepada ketua; (c)
Ketua Badan Pelaksana Harian bersama anggota dan staf
ahli selambat lambatnya 20 hari kerja setelah usulan atau
pertanyaan itu ada, membuat memorandum khusus yang
berisi telaah dan pembahasan pertanyaan atau usulan
yang ada; (d) Ketua Badan Pelaksana Harian membawa
hasil pembahasan tersebut kedalam rapat pleno DSN untuk
mendapat pengesahan; dan (e) fatwa atau memorandum
DSN ditandangani oleh Ketua dan Sekretaris DSN.
Mekanisme kerja yang berkaitan dengan DPS adalah:
(a) DPS melakukan pengawasan periodik pada
lembaga keuangan syariah yang berada di bawah
pengawasannya; (b) DPS berkewajiaban mengajukan usul-
usul pengembanga lembaga keuangan sariah kepada
pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN;
(c) DPS melaporkan perkembangan produk dan oprasional
lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN
sekurang-kurangnya 2 kali dalam satu tahun anggaran;
dan (d) DPS merumuskan permasalahan permasalahan
yang memerlukan pembahasan DSN.
Bagian terkhir dai pedoman DSN-MUI adalah pembiyayaan
DSN. Dalam bagian tersebut dikatakan bahwa: (a) DSN
memperoleh dana oprasional dari bantuan pemerintah
(Departemen Keuangan), Bank Indonesia, dan sumbangan
masyarakat; (b) DSN menerima dana iuran bulanan dari
setiap lembaga keuangan syariah yang ada; dan (c) DSN
125 Menjawab Keraguan Umat Islam
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
Mempertanggung-jawabkan keuangan atau sumbangan
kepada MUI.
H. Menjamin Operasional Bank Sesuai Syariah
Diantara cara menjamin bahwa oprasional bank Islam
tidak menyimpang dari tuntunan syariah adalah: (a)
mengangkat manajer atau pimpinan Bank yang sedikit
banyak menguasai mumalah; dan (b) pembentukan DPS
untuk mengawasi operasional Bank dari sudut syariah.
DPS adalah suatu dewan yang sengaja dibentuk untuk
mengawasi jalannya Bank Islam sehingga senantiasa
berjalan sesuai dengan syariah.
I. DPS, Kedudukan, Tugas dan Wewenangnya
Tugas DPS adalah mendiskusikan masalah-masalah dan
transaksi transakai usaha yang di hadapkan kepadanya;
dan ia menetapkan bahwa suatu transaksi sesuai atau tidak
sesuai dengan syarah. Sedangkan wewenang DPS adalah:
(a) Memberikan pedoman syariah kepada Bank untuk
pengerahan dana, penyaluran dana, dan kegiatan Bank
lainnya; dan (b) mengadakn perbaikan seandainya sua5tu
produk yang dijalankan dinilai tidak sesuai syariah.
Anggota DPS terdiri dari ahli syariah yang sedikit banyak
menguasai hukum dagang yang berlaku dan terbiasa
dengan kontrak- kontrak bisnis. Anggota DPS bersifat
independen, dalam arti bahwa mereka tidak tunduk kepada
pimpinan Bank yang diawasinya. Dalam rangka menjamin
Menjawab Keraguan Umat Islam 126
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
independensi DPS, Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
(a) anggota DPS bukan staf Bank; mereka tidak tunduk di
bawah kekuasaan administratif Bank; (b) mereka dipilih
oleh rapat umum pemegang saham (RUPS); (c) hononarium
mereka ditentukan RUPS; dan (c) DPS mempunyai sistem
kerja dan tugas-tugas tertentu sepeti halnya badan
pengawas lainnya.
Para anggota DPS dari masing masing Bank dapat
disatukan dengan sesuatu konsorsium DPS Di bawah
naungan MUI dengan bekerja sama dengan BI. Konsorsium
tingkat anggota anggota DPS tingkat nasional adalah DSN.
Sedangkan konsorsium tingkat internasional dibentuk
The Higher Shariah Supervisory Council oleh Internasioal
Association Islamic Banks, yang berkedudukan di kairo.
Sementara kedudukan DPS dapat dilihat dalam buku yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia dijelaskan bahwa DPS
memiliki Tiga kedudukan: Pertama, sebagai penasehat
dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha
Syariah dan pimpinan kantor cabang Syariah. Kedua,
Sebagai mediator antara Bank dengan DSN dalam
mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan
produk dan jasa bank yang memerlukan kajian dan
fatwa dari DSN. Ketiga, sebagai perwkailan DSN yang
ditempatkan pada Bank. DPS wajib melaporkan kegiatan
usaha dan perkembangan bank syariah yang diawasinya
kepada DSN satu kali dalam satu tahun (minimal), perlu
ditambahkan bahwa kedudukan DPS di Bank-Bank syariah
juga berkedudukan sebagai penjamin bahwa bank yang
diawasinya berjalan sesuai dengan prinsip syariah.
127 Menjawab Keraguan Umat Islam
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
Perkembangan perbankan sistem syariah di Indonesia
menuntut peran serta ulama yang lebih intensif dalam
menghadapi persoalan-persoalan dibidang ekonomi yang
tinggi kompleksitasnya. Oleh karena itu, dalam rangka
melengkapi lembaga lembaga fatwa yang sudah dimiliki
oleh berbagai ormas Islam di Indonesia, MUI membentuk
DSN yang secara khusus bertugas mengeluarkan fatwa
dan mengawasi pelaksanaan fatwa tersebut. Tugas
pengawasan tersebut didelegasikan kepada DPS masing
masing Bank.
J. Peran BI dalam Pengembangan Bank Syariah
Eksistensi bank syariah di Indonesia tidak dapat dilepaskan
dari peran Bank Indonesia (BI), selaku regulator yang
mengatur lalu lintas industri perbankan di Indonesia.
Sesuai dengan UU No 10 tahun 1998 tentang Perbankan,
di wilayah Indonesia diakui adanya industri perbankan
syariah, yang operasionalnya menundukkan pada aturan
yang ada dalam syariah Islam. Dari sisi ini, industri
perbankan di Indonesia sudah tidak lagi mengacu pada
prinsip single banking system, tetapi sudah menganut
prinsip dual banking system.
Artinya, pemain di industri perbankan sudah tidak lagi
dimonopoli oleh industri perbankan konvensional yang
didasarkan pada instrumen bunga. Tetapi, otoritas tertinggi
moneter sudah memberikan kesempatan bagi industri
perbankan syariah untuk tumbuh dan berkembang di
wilayah Indonesia.
Menjawab Keraguan Umat Islam 128
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
Kondisi ini di-back up dengan adanya sebuah Direktorat
yang khusus membawai operasional perbankan syariah
di Indonesia, yaitu Direktorat Perbankan Syariah (DPbS).
Salah satu tugas yang diemban oleh direktorat ini adalah
mengeluarkan regulasi operasional perbankan syariah dan
sekaligus mengawasi kinerja operasional bank syariah di
Indonesia. Di sisi lain, DPbS juga mempunyai tugas untuk
memperbesar porsi market share bank syariah di Indonesia,
dengan cara mengeluarkan regulasi ataupun aturan main
yang berkaitan dengan program pengembangan bank
syariah di Indonesia.
Salah satu program pengembangan bank syariah yang
sedang dilakukan oleh DPbS terwujud dalam bentuk program
akselerasi pengembangan bank syariah di Indonesia.
Dengan adanya program akselerasi ini, diharapkan terjadi
percepatan pengembangan bank syariah di Indonesia. Di
antara program akselerasi tersebut, direalisasikan dalam
bentuk program sosialisasi terhadap eksistensi bank
syariah di Indonesia.
Saat ini, program sosialisasi yang dilakukan oleh DPbS ada
yang dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak lain
seperti PKES, dan ada yang dilakukan oleh DPbS secara
langsung, seperti sosialisasi mengenai logo iB, yang
menjelaskan kepada masyarakat luas mengenai fasilitas
transaksi syariah yang diperoleh melalui kantor bank yang
bertanda logo iB.
129 Menjawab Keraguan Umat Islam
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
K. Fatwa-Fatwa DSN-MUI yang diadopsi menjadi PBI
Nuansa yang menggembirakan, terlihat dari semangat
yang besar lembaga DSN-MUI dan DPbS-BI untuk selalu
bekerja sama dalam mengembangkan industri perbankan
syariah di Indonesia. Hal ini terlihat dari kebijakan yang
dikeluarkan oleh DPbS-BI dengan memberlakukan fatwa-
fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI sebagai referensi
dalam penetapan Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Mengenai fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI
yang kemudian diadopsi oleh DPbS-BI sebagai Peraturan
Bank Indonesia dapat dijelaskan dalam tabel di halaman
berikut.
Menjawab Keraguan Umat Islam 130
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
Tabel Fatwa DSN-MUI: Tentang Akad-Akad Bank Syariah
yang Telah Menjadi Peraturan Bank Indonesia
No Perihal Akad Fatwa DSN-MUI Peraturan Bank Indonesia
1 Giro NO: 01/DSN-MUI/IV/2000 No.7/46/PBI/2005 Pasal 3 dan 4
2 Tabungan NO: 02/DSN-MUI/IV/2000 No.7/46/PBI/2005 Pasal 3 dan 5
3 Deposito NO: 03/DSN-MUI/IV/2000 No.7/46/PBI/2005 Pasal 5
4 Murabahah NO: 04/DSN-MUI/IV/2000 No.7/46/PBI/2005 Pasal 9 dan 10
5 Salam NO: 05/DSN-MUI/IV/2000 No.7/46/PBI/2005 Pasal 11 dan 12
6 Istisna NO: 06/DSN-MUI/IV/2000 No.7/46/PBI/2005 Pasal 13 dan 14
7 Mudharabah NO: 07/DSN-MUI/IV/2000 No.7/46/PBI/2005 Pasal 6 dan 7
8 Musyarakah NO: 08/DSN-MUI/IV/2000 No.7/46/PBI/2005 Pasal 8
9 Ijarah NO: 09/DSN-MUI/IV/2000 No.7/46/PBI/2005 Pasal 15 dan 17
10 Wakalah NO: 10/DSN-MUI/IV/2000 No.7/46/PBI/2005 Pasal 9 ayat 1 huruf d
11 Uang Muka dalam
Murabahah
NO: 13/DSN-MUI/IX/2000
No.7/46/PBI/2005 Pasal 9 ayat 1 huruf e
dan ayat 2
12 Sistem Distribusi Hasil
Usaha dalam Lembaga
Keuangan Syariah
NO: 14/DSN-MUI/IX/2000 No.7/46/PBI/2005 Pasal 8 huruf l
13 Prinsip Distribusi Hasil
Usaha dalam Lembaga
Keuangan Syariah
NO: 15/DSN-MUI/IX/2000 No.7/46/PBI/2005 Pasal 8 huruf l
14 Qardh NO: 19/DSN-MUI/IX/2000 No.7/46/PBI/2005 Pasal 18
15 Jual Beli Istisna Paralel NO: 22/DSN-MUI/III/2000 No.7/46/PBI/2005 Pasal 14
16
Potongan Pelunasan dalam
Murabahah
NO: 23/DSN-MUI/III/2002 No.7/46/PBI/2005 Pasal 10 ayat 1 dan 2
17
Ijarah al-Muntahiyah Bi
al-Tamlik
NO: 27/DSN-MUI/III/2002 No.7/46/PBI/2005 Pasal 16
18
Sertifkat Wadiah Bank
Indonesia (SWBI)
NO: 36 /DSN-MUI/X/2002 No.7/13/PBI/2005 Pasal 9 ayat a; pasal 11
19
Sertifkat Investasi
Mudharabah AntarBank
(IMA)
NO: 38 /DSN-MUI/X/2002 No.7/13/PBI/2005 Pasal 9 ayat b.
20 Ganti Rugi (Tawidh) No: 43/DSN-MUI/VIII/2004 No.7/46/PBI/2005 Pasal 19
21
Penyelesaian dalam
Murabahah Tak Mampu
Bayar
NO: 48/DSN-MUI/II/2005 No.7/46/PBI/2005 Pasal 20 ayat 1 dan 2
***

131 Menjawab Keraguan Umat Islam
Peran DSN MUI dan BI
PKES Publishing
KESIMPULAN
Dewan Syariah Nasional, didirikan pada tahun 1999
berdasarkan keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor
Kp. 754/MUI/II/1999, tertanggal 10 Februari 1999, yang
ditandatangani oleh KH. Ali Yafe dan Drs. Nazri Adlani,
masing-masing selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum
MUI. Pada bagian konsideran Surat Keputusan tersebut,
antara lain dinyatakan bahwa hal yang melatarbelakangi
pembentukan DSN ialah dalam rangka mewujudkan
aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian
dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang
perekonamian/keuangan yang dilaksanakan sesuai
tuntutan syariat Islam.
Bank Indonesia membentuk sebuah Direktorat yang
khusus membawahi operasional perbankan syariah di
Indonesia, yaitu Direktorat Perbankan Syariah (DPbS).
Salah satu tugas yang diemban oleh direktorat ini adalah
mengeluarkan regulasi operasional perbankan syariah dan
sekaligus mengawasi kinerja operasional bank syariah di
Indonesia. Di sisi lain, DPbS juga mempunyai tugas untuk
memperbesar porsi market share bank syariah di Indonesia,
dengan cara mengeluarkan regulasi ataupun aturan main
yang berkaitan dengan program pengembangan bank
syariah di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim dan Terjemahannya. Depag RI. 2000
Abdul Azis, et al.,(ed.) Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Abdullah Saeed. Bank Islam dan Bunga; Studi Kritis
dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan
Bunga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Cet. ke-1.
Abdurrahman Al Jaziri. Al Fiqh Alaa al Madzahibul
Arbaah, Lebanon : Darul Fikri, 1994. Jilid 3.
Bank Indonesia. Himpunan Ketentuan Perbankan Syariah
Indonesia Februari 2005-April 2006.
Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap
Ekonomi, Jakarta : Erlangga, 1994. Edisi ke-2 .
DSN-MUI. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional.
Edisi Revisi Tahun 2006. Penerbit: DSN-MUI dan
Bank Indonesia. Jakarta. 2006
Ibnu Rusyd al Qurthubi. Bidayatul Mujtahid. Riyad :
Muktabah Nazar Musthafa al Baaz, 1995. Jilid
ke-2.
Imam Malik ibnu Anas. Al Muwatta. Mesir dan Sudan:
Darul Haramain, 1992
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris
Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia, 1995.
Cet. ke-21
M. Syafi Antonio. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum.
Jakarta: Tazkia Institute dan BI, 1999. Cet. ke-I.
Mohammad Atho Mudzhar. Fatwa-fatwa Majelis Ulama
Indonesia: sebuah studi tentang pemikiran hukum
Islam di Indonesia 1975-1988.
Jakarta. Inis. 1993.
Muhammad Akram Khan. Ajaran Nabi Muhammad Saw
tentang Ekonomi (kumpulan hadits-hadits pilihan
tentang ekonomi). Bank Muamalat. Jakarta. 1996
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: UPP
AMP YKPN, 2002.
Prof. KH. Ibrahim Hosen. Filsafat Hukum Islam. Yayasan
IIQ. Jakarta. 1997.
Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah. Beirut : Darul Fikri, tt.
Cet. Ke-4. Jilid 2.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI, Konsep,
Produk dan Implementasi Operasional Bank
Syariah, Jakarta : Djambatan, 2001.
Wahbah Zuhaili. al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu.
Damsiq Suriah: Darul Fikri, 1997. Jilid ke-5.
Zainul Arifn. Memahami Bank Syariah; Lingkup, Peluang
dan Tantangan dan Prospek. Jakarta: Alvabet
Anggota IKAPI, 2000.
Zainul Arifn. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah.
Jakarta: Alvabet, 2002. Cet. Ke-1.
***
TENTANG PENULIS
MNH, lahir di Jakarta tanggal 24 Juni 1961. Menamatkan
pendidikan S3 bidang ekonomi dari University of New
England Australia, 2000. Jabatan saat ini adalah Direktur
Eksekutif Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) dan
juga merangkap sebagai Direktur Lembaga Pengkajian
Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama
Indonesia (LP-POM MUI).
Kegiatan pendidikan ilmiah dilakukan pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pasca Sarjana Institut
Ilmu al-Quran (IIQ) Jakarta. Sedangkan kegiatan sosial
keagamaan dilakukan pada Masjid al-Husaini Ciputat
sebagai Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM). Pernah
menjadi anggota Komisi Fatwa MUI Pusat periode 1995-
2000 dan periode 2000-2005.
Aktif melakukan ceramah dan pengajian di majelis-
majelis talim maupun melakukan seminar nasional dan
internasional. Negara yang dikunjungi untuk seminar
internasional adalah Australia, Belgia, Mesir, Belanda,
Perancis, Afrika Selatan, dan Hongaria.
***
AMHA, lahir di Jombang tanggal 01 Desember 1975.
Menamatkan pendidikan S2 di bidang Syariah, konsentrasi
Muamalah (Ekonomi Islam) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah, 2003. Sebelumnya, pernah
nyantri di Pondok Pesantren Manbaul Maarif Denanyar
Jombang dan alumni Madrasah Aliyah Program Khusus
(MAPK) Jember, 1994.
Saat ini, aktif sebagai Staf Pengkaji pada Pusat Komunikasi
Ekonomi Syariah (PKES). Kegiatan pendidikan ilmiah,
dijalaninya di almamaternya, pada Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Dosen
mata kuliah Asuransi Syariah dan Dasar-Dasar Ekonomi
Islam. Pemberi materi kuliah informal ekonomi Islam
di Universitas Indonesia (UI), Universitas Gunadarma,
dan Universitas Trisakti. Selain itu, juga aktif melakukan
sosialisasi ekonomi Islam dalam bentuk pelatihan dan
seminar, khususnya pelatihan mengenai Koperasi Syariah
atau BMT. Sedangkan kegiatan sosial keagamaan
dilakukannya pada Pondok Pesantren Darul Hikmah
Cicayur-Cisauk-Tangerang.
***
ABM, lahir di Bojonegoro tanggal 23 Februari 1979.
Menamatkan pendidikan S2 di bidang ekonomi syariah,
konsentrasi ekonomi dan keuangan syariah di Universitas
Indonesia tahun 2006. Pendidikan S1 diselesaikan di
Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2003, konsentrasi Perbankan
Syariah jurusan Muamalah (Ekonomi Islam).
Kegiatan saat ini aktif sebagai Staf Penulis dan Pengkaji
pada Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES). Selain
itu, aktif sebagai pemberi materi seminar ekonomi Islam,
kuliah informal di Gunadarma, pendidikan dan pelatihan
koperasi syariah atau BMT. Di samping kegiatan tersebut,
juga aktif melakukan kegiatan sosialisasi ekonomi Islam
melalui masjid-masjid dan majelis talim.
***
MENJAWAB KERAGUAN
UMAT ISLAM TERHADAP
BANK SYARIAH
pkes publishing
Gd. Arthaloka, Gf.05
Jl. Jend Sudirman, Kav 2, Jakarta 10220
Telp. +62-21-2513984, Fax. +62-21-2512346
Email: pkes_data@yahoo.com, pkes.data@gmail.com
Milis. syariahnews@yahoogroups.com
Web. www.pkes.org & www.pkesinteraktif.com

Anda mungkin juga menyukai