Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

MULTI AKAD

Disusun Guna Memenuhi Tugas Fikih Muamalah II


Dosen Pengampu H. Royani, Lc., LLM.

Disusun Oleh:

1. Akhmad Draus (143120001)


2. Vita Yunianti (143120017)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA (IBN) TEGAL
TAHUN AJARAN 2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis
kemudahan dalam menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan
pertolongan-Nya, penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Tidak lupa shalawat serta salam semoga Allah curahkan kepada Nabi agung
Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, sehingga makalah “Multi Akad” dapat diselesaikan. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Fikih Muamalah II. Penulis berharap
makalah tentang “Multi Akad” dapat menjadi referensi bagi masyarakat pada
umumnya dan bagi penulis pribadi pada khususnya.
Penulis menyadari makalah Fikih Muamalah II ini masih perlu banyak
penyempurnaan karena kesalahan dan kekurangan. Penulis terbuka terhadap kritik
dan saran pembaca agar makalah ini dapat lebih baik. Apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan maupun konten, penulis
memohon maaf.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat bermanfaat.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Tegal, 15 Februari 2022

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

JUDUL .................................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................2
C. Tujuan.........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Transaksi Multi Akad.........................................................3
B. Hukum Transaksi Multi akad...............................................................6
C. Macam-macam Multi Akad..................................................................14

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu ruh syariat Islam adalah kemampuannya untuk beradaptasi dan
diterapkan di berbagai tempat dalam berbagai keadaan, al-Islam shalih li kulli
zaman wa makan. Karena syariat Islam mencakup segala hal yang berkaitan
dengan kehidupan manusia, khususnya dalam bidang amal perbuatan dan
hubungan antara sesama manusia, maka segala macam perkembangan yang
terjadi di dalam hidup manusia memiliki hukum yang perlu untuk disingkap
oleh para ulama.
Perkembangan yang dialami oleh manusia pada masa sekarang dalam hal
ekonomi telah memunculkan berbagai macam jenis transaksi yang tak pernah
dikenal sebelumnya dalam Islam. Namun bukan berarti Islam diam atau
menerima berbagai macam perkembangan itu secara keseluruhan. Islam telah
menentukan batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam setiap
perkembangan yang ada, bukan berarti Islam membatasi perkembangan
manusia namun memberikan batasan agar perkembangan itu tetap sejalan
dengan tujuan utama diturunkannya syariat untuk maslahat umat manusia
(maqashid syari’ah).
Di sisi lain, dalam literatur fikih telah terdapat berbagai macam akad yang
telah ditetapkan oleh syariat beserta syarat dan rukunnya, meski hukum asal
dalam muamalah adalah kebolehan namun tetap kita harus berpijak kepada
landasan yang telah dibangun oleh tradisi fikih kita sebagai penyambung
antar teks-teks syariat kepada praktik dalam kehidupan kita saat ini sebagai
salah satu proses tanzil al-nash ila al-waqi’ yang tak akan pernah terputus
hingga akhir zaman.
Makalah ini akan memaparkan mengenai pandangan fikih terhadap
transaksi multiakad yang telah menjadi kebutuhan dalam kehidupan kita saat
ini, sebagai bahan acuan yang perlu diperhatikan dalam perkembangan
bentuk transaksi modern. Makalah ini hanya membahas secara garis besar
mengenai dasar hukum transaksi multi akad dalam pandangan fikih dan tidak

1
akan masuk terlalu dalam kepada berbagai bentuk transaski multi akad yang
telah biasa digunakan atau yang bisa saja digunakan di masa yang akan
datang.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Transaksi Multi Akad?
2. Apa saja Hukum Transaksi Multi akad?
3. Apa saja Macam-macam Multi Akad?

C. Tujuan
Pembuatan tugas ini bertujuan untuk mengetahui tentang “Multi Akad”

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Multi Akad


Transaksi Multi Akad adalah transaksi yang di dalamnya terdapat
lebih dari satu jenis akad, baik secara timbal balik (mutaqabil) atau hanya
sekedar pengabungan beberapa akad dalam satu transaksi (mujtami’).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata multi berarti banyak, lebih
dari satu, lebih dari dua, dan juga berlipat ganda. Sedangkan kata akad
memiliki arti janji, perjanjian dan kontrak. Transaksi jenis ini biasa juga
dikenal dengan istilah hybrid contract.
Kata akad sendiri merupakan serapan dari bahasa Arab yaitu ‘aqd
yang memiliki arti ikatan, janji, kesepakatan. Dalam bahasa Arab transaksi
multi akad biasa disebut dengan beragam istilah, di antaranya adalah
al‘uqud al-murakkabah dari kata rakkaba – yurakibu – tarkib yang
bermakna al-dhammu dan al-jam’u atau menggabungkan dan
menyatukan.1
Nazih Hammad mendefinisikan transaksi multi akad sebagai berikut :
Dua pihak bersepakat untuk melaksanakan akad yang
mengandung dua akad atau lebih, seperti jual beli dengan sewa menyewa,
hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sharaf, syirkah, mudharabah dsb,
sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta
semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang seba gai satu
kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum
dari akad yang satu.2

1 Makalah disampaikan pada acara Diskusi Hukum dengan tema “Multi Akad Dalam Perspektif
Ekonomi Syari’ah Kontemporer” yang diadakan di Pengadilan Tinggi Agama Jawa Barat, hari
Kamis 22 Februari 2018.
2 Nazih Hammad, al-‘Uqud al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Qalam, 2005),
hal. 7.

3
Al-Imrani memberikan definisi yang dekat dengan definisi Nazih
Hammad di atas sebagai berikut :
Kumpulan sejumlah akad maliyah yang beragam yang terdapat dalam
sebuah transaksi baik secara gabung (al-jam’) ataupun secara timbal
balik (al-taqabul) yang mana seluruh hak dan kewajiban yang menjadi
konsekuensi dari transaksi itu dianggap seperti akibat dari akad yang
satu.3
Dari definisi di atas dapat diambil beberapa kesimpulan tentang
batasan mengenai transaksi multi akad ini, yaitu bahwa: 1) transaksi multi
akad terjadi antara dua pihak atau lebih, 2) dalam transaksi ini terjadi dua
jenis akad yang beragam atau lebih, 3) beragam akad yang berbeda ini
saling terikat menjadi satu kesatuan akad, hingga seluruh akibat dari
berbagai akad tersebut seolah menjadi akibat dari akad yang satu, 4) jenis
transaksi multi akad dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu akad
yang mensyaratkan terjadinya adanya akad lain (mutaqabalah) dan
berkumpulnya sejumlah akad sekaligus dalam satu transaksi (mujtama’ah).
Terjadinya multi akad dalam transaksi bisa terjadi secara alamiah
(thabi’i) ataupun karena adanya modifikasi terhadap akad (ta’dili).4
Transaksi multi akad yang alamiah terjadi antara akad pokok (al-‘aqd al-
ashli) dan akad yang mengikutinya (al-‘aqd al-tabi’i), seperti akad qard
yang kemudian diikuti oleh akad rahn dalam transaksi pijam meminjam di
Bank atau Pegadaian, atau akad qard yang diikuti dengan akad hawalah
yang terjadi dalam transaksi menggunakan kartu kredit, atau akad qard
yang diikuti oleh wakalah bil ujrah seperti yang terjadi dalam transaksi
go-food.
Di sisi lain, transaksi multi akad yang berupa modifikasi terjadi
antara berbagai akad yang bersifat mandiri tanpa tergantung dengan akad
lainnya. Tujuan adanya modifikasi tersebut di antaranya adalah untuk
3 Abdullah bin Muhammad al-Imrani, al-‘Uqud al-Maliyyah al-Murakkabah (Riyadh: Dar Kunuz
Isybiliya, 2010), hal. 46.

4 Burhanuddin Susamto, “Tingkat Penggunaan Multi Akad dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional-
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)” al-Ahkam vol 11 no. 1, Juni 2016, hal. 209-211.

4
memudahkan penerapan akad itu pada produk keuangan syariah, dengan
harapan agar poin-poin yang termuat pada ayat tersebut bisa diamalkan,
sehingga praktik transaksinya bisa sesuai dengan prinsip-prinsip syariah,
atau minimal tidak bertentangan dengannya.
Transaksi multi akad jenis ini merupakan bentuk ijtihad agar
transaksi modern mendapatkan posisinya dalam ranah fikih, sekaligus agar
akad-akad yang telah terdapat dalam fikih dapat diterapkan dalam
transaksi modern. Modifikasi akad ini harus berlandaskan atas keabsahan
dari masing-masing akad yang membentuknya, dengan terpenuhnya syarat
dan rukun dari akad-akad tersebut dan memperhatikan juga batasan-
batasan yang telah dijelaskan oleh syariat. Maka, terkadang akad-akad
dalam transaksi multi akad ini bisa tergabung seolah melebur menjadi satu
akad (mujtama’ah) dan terkadang ia tak bisa bergabung melebur menjadi
satu namun tetap berdiri sendiri dengan adanya pengikat seperti syarat
yang memunculkan akad kedua setelah akad pertama (mutaqabilah).
Dari sini dapat diketahui bahwa terdapat dua jenis transaksi multi
akad, yaitu multi akad bergantung/bersyarat (al-‘uqud al-mutaqabilah) dan
multi akad tergabung (al-‘uqud al-mujtami’ah). Transaksi multi akad
bergantung/bersyarat adalah transaksi yang akad pertamanya
memunculkan akad kedua sebagai respon, di mana kesempurnaan akad
pertama bergantung pada sempurnanya akad kedua melalui proses timbal
balik. Akad semacam ini telah dikenal dalam tradisi fikih klasik dengan
istilah akad bersyarat (isytirath ‘aqd bi ‘aqd). Sedangkan transaksi multi
akad tergabung/terkumpul (al-‘uqud al-mujtami’ah) adalah transaksi
yang merupakan gabungan dari beberapa akad yang berbeda yang menjadi
satu kesatuan, beberapa akad yang ada bisa terjadi pada satu objek akad
ataupun dua objek akad yang berbeda, dengan harga yang sama ataupun
berbeda, dalam waktu yang sama ataupun waktu yang berbeda, dengan
implikasi hukum yang sama ataupun berbeda. Beberapa praktik transaksi
multi akad tergabung (al-mujtami’ah) ada yang kemungkinan besar tidak
akan menjadi sah seperti akad yang saling berlawanan (al-‘uqud al-

5
mutanaqidhah, al-mutadhadah, al-mutanafiyah) dan ada yang memiliki
kemungkinan untuk menjadi sah seperti akad yang berbeda (al-‘uqud al-
mukhtalifah) dan akad yang sejenis (al-‘uqud al-mutajanisah)5
Penilaian sah atau tidaknya sebuah transaksi multi akad tidak dapat
dilihat dari jenisnya, apakah ia akad tergabung (mujtami’) atau akad
bersyarat (mutaqabil), penilaiannya akan dilihat dari praktik transaksi itu
satu persatu apakah sesuai dengan batasan-batasan syariat atau tidak, maka
huk um satu transaksi dengan transaksi lain bisa jadi berbeda meski
keduanya adalah transaksi yang sejenis.

B. Hukum Transaksi Multi Akad


Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa terdapat dua jenis
transaksi multi akad yang biasa digunakan, yaitu transaksi multi akad
bergantung/bersyarat (al-‘uqud al-mutaqabilah) dan multi akad tergabung
(al-‘uqud al-mujtami’ah). Maka pembahasan dalam bagian ini akan dibagi
menjadi dua pembahasan, yaitu hukum transaksi bersyarat akad dan
hukum multi akad dalam satu transaksi.
a. Hukum Transaksi Dengan Syarat Akad di Dalamnya (syarth ‘aqd
fi ‘aqd)
Pembahasan mengenai hukum akad bersyarat di dalam transaksi
akan berkisar pada beberapa hadis yang saling bertentangan mengenai
syarat. Beberapa hadis tersebut adalah:
1- Hadis dari Jabir bin ‘Abdillah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim bahwa Rasulullah membeli unta darinya dengan syarat
ditunggangi oleh Jabir sampai Madinah.6 Hadis ini juga diriwayatkan oleh
Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan al-Nasa’i.
2- Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ahmad, dan Abu Dawud
bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

5 Abdullah bin Muhammad al-Imrani, al-‘Uqud al-Maliyyah al-Murakkabah, hal. 57-66.


6 Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Kairo: Makniz, tt.), hal. 747-748.; Muslim
bin Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim (Kairo: Makniz, tt.), hal. 821-823.

6
Janji perdamaian itu diperbolehkan di antara sesama muslim, kecuali
perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram, sesama muslim itu konsisten dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram.
3- Hadis yang dikenal dengan istilah hadis Barirah, diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
Kenapa manusia membuat syarat-syarat yang tak ada di dalam
Kitabullah, siapa yang membuat syarat-syarat yang tak ada di dalam
Kitabullah maka syarat itu tidak berlaku baginya, meski ia
menegaskannya seratus kali. Syaratnya Allah itu lebih berhak dan
lebih kuat.
4- Hadis dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi dan Nasa’I bahwa Rasulullah saw.
pernah bersabda:
Tidak halal akad salaf (qardh) bersama akad bai’, dan juga dua syarat
dalam satu akad bai’, dan keuntungan yang tidak kamu jamin, dan
menjual apa yang tidak kamu miliki.
Dalam hadis-hadis di atas, kita dapat mengetahui bahwa hadis
pertama dan kedua adalah hadis yang menunjukkan kebolehan syarat,
dan hadis ketiga dan keempat adalah hadis yang melarang adanya
syarat. Dan baik dari hadis yang membolehkan ataupun yang melarang
terdapat hadis yang bersifat umum dan bersifat khusus. Hadis pertama
bersifat khusus, secara jelas menyatakan terjadinya syarat di dalam
akad bai’ di masa Rasulullah. Hadis kedua bersifat umum, mencakup
berbagai syarat yang bisa dilakukan, dengan syarat tidak mengganggu
gugat konsep halal dan haram. Perpaduan antara dua hadis umum dan
khusus ini dapat menjadi landasan adanya syarat di dalam akad, tak
hanya terbatas pada akad bai’ saja namun juga berbagai akad lain
selama sesuai dengan petunjuk keumuman hadis yang kedua.

7
Hadis ketiga juga bersifat umum, menyatakan batilnya segala
syarat apapun yang tak ada di dalam Kitabullah, baik syarat di dalam
suatu akad ataupun syarat yang berada di luar akad, Dan hadis keempat
bersifat khusus, hadis itu jelas menyatakan bahwa tak boleh ada dua
syarat di dalam akad bai’. Bahkan terdapat riwayat lain yang
menyatakan bahwa Rasulullah melarang akad bai’ yang bersyarat.7
Ibnu Rusyd menjelaskan setidaknya ada empat perbedaan pendapat
mengenai hal ini, yaitu bahwa jika akad bai’ terkumpul dengan suatu
syarat maka: 1) akadnya fasid meski syaratnya boleh, ini adalah
pendapat Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, 2) akadnya boleh dan
syaratnya juga boleh, ini adalah pendapatnya Ibn Syubruma, 3)
akadnya boleh tapi syaratnya batal, ini adalah pendapatnya Ibn Abi
Laila, dan 4) akadnya boleh jika memiliki satu syarat dan akan menjadi
fasid jika di dalamnya ada dua syarat, ini adalah pendapatnya Imam
Ahmad bin Hanbal.8
Saat menjelaskan hadis Barirah (hadis no. 3), Al-Nawawi
menjelaskan bahwa syarat di dalam akad bai’ ada beberapa jenis,
yaitu: 1) syarat yang mendukung terjadinya akad, seperti syarat untuk
mengembalikan barang jika terdapat cacat atau syarat untuk segera
menyerahkan barang kepada pembeli.
2) syarat yang di dalamnya terdapat maslahat yang dibutuhkan, seperti
syarat untuk khiyar, dhaman, dan syarat untuk menyegerakan uang.
Kedua syarat ini disepakati kebolehannya oleh para ulama.
3) syarat untuk memerdekakan budak setelah akad bai’, ini
diperbolehkan oleh mayoritas ulama dengan berlandaskan atas hadis
Barirah tadi

7 (hadis no. 1).


8 Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid
(Kairo: Dar al-Salam, 1995), jil. 3, hal. 1638-1639.

8
4) syarat selain ketiga jenis ini yang tidak boleh dan justru akan
merusak akad menurut mayoritas ulama, sedangkan menurut Imam
Ahmad tidak akan merusak akad kecuali jika terdapat dua syarat.9
Dilihat dari penjelasan al-Nawawi di atas dapat diketahui bahwa para
ulama tidak mengambil keumuman hadis Barirah yang menyatakan
pengharaman terhadap seluruh jenis syarat yang tak ada dalam
Kitabullah karena ternyata mereka menyepakati bahwa ada syarat yang
diperbolehkan dan syarat yang tidak diperbolehkan.
Dan jika kita melihat pada kasus yang ada dalam hadis tersebut
kita akan mengetahui bahwa hadis tersebut berkisar pada hukum bai’
dengan syarat. Masalahnya, bagaimana hukumnya jika syarat itu
berada pada akad lain selain akad bai’, dan bagaimana jika syarat yang
dimaksud adalah syarat untuk melakukan akad lain, dalam arti
keabsahan dan konsekuensi hukum akad pertama akan bergantung
kepada berlangsungnya akad yang kedua? Akad yang biasa digunakan
dalam fikih bisa diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu:
1) akad bisnis (‘aqd mu’awadhah) seperti akad bai’, ijarah, dan salam
2) akad sukarela (‘aqd tabarru’) seperti akad hibah, qardh dan
sadaqat. Pembahasan mengenai syarat akad di dalam akad akan
tergantung pada jenis akad yang pertama dengan jenis akad yang
menjadi syarat pada akad tersebut. Dari dua jenis akad ini, maka akan
ada tiga jenis akad bersyarat yang perlu diketahui hukumnya: 1) akad
tabarru’ dengan syarat akad mu’awadhah atau sebaliknya, 2) akad
mu’awadhah dengan syarat akad mu’awadhah, 3) akad tabarru’
dengan syarat akad tabarru’.10
1- Akad tabarru’ dengan syarat akad mu’awadhah atau sebaliknya
- Contoh kasus pertama dari transaksi ini adalah akad qardh dengan
syarat akad bai’, seperti A meminjamkan uang kepada B dengan
syarat B harus membeli sejumlah barang dari A. Para ulama dalam

9 Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi (Kairo: al-Mathba’ah al-
Mashriyyah bi al-Azhar, 1929), jil. 10, hal. 142.
10 Lengkapnya lihat: Abdullah bin Muhammad al-Imrani, al-‘Uqud al-Maliyyah al-Murakkabah,
hal. 92-125.

9
kasus ini sepakat menyatakan bahwa transaksi semacam ini tidak sah
berlandaskan atas beberapa dalil, di antaranya adalah hadis Rasulullah
yang melarang adanya akad salaf bersama akad bai’, dan karena akad
qardh adalah akad tabarru’ maka masuknya akad bai’ kepada qardh
akan menjadikan akad qardh menjadi akad mu’awadhah dan akan
berubah menjadi akad riba.
Contoh kasus kedua dari transaksi ini adalah akad qardh dengan
syarat akad ijarah atau akad mu’awadhah lain selain akad bai’, seperti
A meminjamkan uang kepada B dengan syarat B harus menyewa
barang dari A. Para ulama juga sepakat mengenai pelarangan transaksi
jenis ini dengan beberapa dalil yang telah dipaparkan di bentuk
pertama.
Contoh kasus ketiga adalah akad bai’ dengan syarat akad hibah atau
akad tabarru’ lain selain akad qardh, seperti A menjual sebuah barang
kepada B dengan syarat ada hadiah yang harus diberikan oleh satu
pihak kepada pihak lain (bai’-hibah), atau seperti A menjual rumah
kepada B dengan syarat A bisa tinggal sementara di rumah itu selama
jangka waktu tertentu (bai’-‘ariyah), atau seperti A menjual barang
kepada B dengan syarat B meminjamkan uang kepada A (bai’-qardh).
Para ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa akad semacam ini
tidak sah untuk dilakukan karena syarat-syarat tersebut tidak sejalan
dengan tujuan akad bai’ yang merupakan akad mu’awadhah, dan
karena akan ada ketidakpastian harga dan jumlah yang dibayarkan
oleh pihak kedua.
2- Akad mu’awadhah dengan syarat akad mu’awadhah
Contoh kasus dari transaksi jenis ini adalah adanya akad bai’ dengan
syarat akad bai’, seperti A menjual suatu barang kepada B dengan
syarat B menjual suatu barang kepada A. Atau akad bai’ dengan
syarat akad ijarah seperti A menjual barang kepada B dengan syarat B
menyewa suatu barang dari A. Dalam transaksi jenis ini terdapat tiga
pendapat di kalangan para ulama:
- Menyatakan pelarangan bentuk transaksi semacam ini. Ini adalah
pendapat para ulama Syafi’i, Hanafi dan juga Hanbali, ini juga adalah
pendapat Ibnu Hazm. Mereka berargumen dengan beberapa dalil, di
antaranya adalah hadis tentang pelarangan adanya dua jual beli dalam
satu akad jual beli11 dengan menyatakan bahwa adanya syarat
mu’awadhah di dalam akad mu’awadhah telah termasuk kepada

11 Terdapat setidaknya tiga redaksi hadis yang menyatakan pelarangan dua jual beli dalam satu
jual beli, hadis ini akan dijelaskan pada pembahasan multi akad dalam satu transaksi.

10
larangan Rasulullah tentang dua akad jual beli dalam satu akad jual
beli.
- Menyatakan bahwa syarat yang dilarang dalam akad bai’ adalah
syarat akad ja’alah, sharf, musaqah, syirkah dan qiradh, sedangkan
akad-akad mu’awadhah lainya seperti akad ijarah. Ini adalah
pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki. Mereka berargumen
bahwa akad-akad di atas bertentangan atau bahkan menafikan maksud
dari akad bai’ itu sendiri.
- Menyatakan kebolehan berbagai macam akad mu’awadhah yang
bersyarat akad mu’awadhah lain. Ini adalah pendapat yang diambil
oleh Imam Malik, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ini juga
pendapat sebagian dari ulama mazhab Hanbali dan Maliki. Mereka
berargumen dengan kaidah bahwa hukum asal dalam perkara
muamalah adalah boleh, dan hadis yang menyatakan bahwa umat
muslim selalu konsisten dengan syarat mereka.12
3- Akad tabarru’ dengan syarat akad tabarru’
Contoh kasus pertama dari akad jenis ini adalah adanya syarat akad
qardh di dalam akad qardh. Kasus ini terdapat dua bentuk yang
berbeda, yaitu:
1) A meminjamkan uang kepada B dengan syarat bahwa A akan
meminjamkan uang lagi kepada B di waktu lain
2) A meminjamkan uang kepada B dengan syarat B meminjamkan
uang kepada A. Pada bentuk pertama, para ulama mazhab Syafi’i
menyatakan bahwa syarat dalam transaksi itu tidak berlaku dan
akadnya tetap sah. Sedangkan pada bentuk kedua, para ulama sepakat
mengenai pelarangan transaksi semacam ini, karena Rasulullah
menyatakan bahwa setiap qardh yang membawa manfaat bagi yang
menghutangi adalah termasuk riba.
Contoh kasus kedua dari akad jenis ini adalah akad qardh dengan
syarat akad hibah atau akad tabarru’ lain selain qardh, seperti A

12 Yaitu hadis:‫ المسلمون على شروطهم‬yang telah dijelaskan di atas.

11
memberikan pinjaman kepada B dengan syarat B memberikan hadiah
untuk A, atau dengan syarat B meminjamkan sesuatu kepada A dan
sebagainya. Para ulama menyatakan bahwa akad jenis ini dilarang
karena terdapat manfaat yang kembali kepada pihak yang memberi
hutang, dan manfaat bagi pemberi hutang adalah termasuk riba yang
diharamkan.
Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa hukum transaksi
dengan syarat akad tergantung pada jenis akad yang menjadi syarat
untuk akad pertama. Dengan demikian, pembahasan lebih lanjut
mengenai berbagai akad yang memiliki syarat akad lain di dalamnya
memerlukan pembahasan yang lebih mendetail dengan melihat lebih
dalam mengenai bentuk transaksi beserta syarat yang diberikan.
b. Hukum Multi Akad dalam Satu Transaksi
Pembahasan mengenai hukum transaksi multi akad dalam fikih
akan selalu berkaitan dengan beberapa hadis Rasulullah yang melarang
mengenai adanya dua akad dalam satu transaksi, beberapa hadis itu
adalah:
1- Hadis larangan melakukan dua jual beli dalam satu jual beli
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dengan
sanadnya dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Mengulur waktu pemayaran hutang padahal ia mampu adalah
sebuah bentuk kezaliman, dan jika hutangmu dialihkan kepada
orang lain maka ikutilah, dan janganlah melakukan dua jual beli
dalam satu jual beli”.13
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dengan sanadnya dari
Abu Hurairah bahwa ia berkata: “Rasulullah saw. melarang dua
jual beli dalam satu jual beli”.14
2- Hadis larangan melakukan dua akad dalam satu akad Hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari ‘Abdullah bin

13 Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Kairo: Makniz, tt.) hal. 407.
14 Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, hal. 384.

12
Mas’ud bahwa ia berkata : “Rasulullah saw. melarang dua akad di
dalam satu akad”.15
3- Hadis larangan menyatukan akad bai’ dan salaf Hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari ‘Abdullah bin
‘Amru bin al-‘Ash bahwa ia berkata: “Rasulullah saw. melarang dua
jual beli dalam satu jual beli, juga melarang keuntungan dari
sesuatu yang tidak terjamin, dan melarang menjual barang yang
bukan milikmu”.16
Kata naha dalam tiga hadis di atas jelas menunjukkan sebuah
pelarangan, dan hukum asal dari larangan adalah menunjukkan
keharaman perkara tersebut, dan selama tidak ada qarinah yang
memalingkan pelarangan ini kepada hal lain maka ia akan kembali
kepada hukum asalnya yaitu keharaman perkara tersebut.
Namun terdapat perbedaan di antara para ulama dalam memahami
maksud dari kata “bai’atain fi bai’ah” atau “shafqatain fi shafqatin
wahidah”. Imam Syaukani dalam Nail al-Awthar menjelaskan
perbedaan pendapat terkait hadis ini:
1) bahwa transaksi yang dimaksud dalam hadis itu adalah transaksi
jual beli dengan dua harga yang berbeda (harga cash dan harga
muajjal) tanpa menentukan harga pastinya
2) Imam Syafi’i menyatakan bahwa maknanya seperti seseorang
berkata kepada orang lain, “saya menjual budak ini kepadamu
dengan harga seribu agar kamu menjual rumahmu kepadaku dengan
harga sekian.”
3) bahwa maksudnya adalah seperti meminjamkan uang kepada
orang lain untuk membeli gandum sebanyak satu qafiz (sekitar 36,7
kg) dengan jangka waktu selama satu bulan, dan saat jangka waktu
itu telah habis kemudian meminta kepada orang tersebut untuk

15 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad (Beirut: Muassasah al-Risalah, tt.), jil. 6, hal. 324.
16 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, jil. 11, hal. 203.

13
menjual gandum sebanyak satu qafiz dengan jangka waktu selama
dua bulan dengan dua qafiz.17

C. Macam-macam Multi Akad


Al-Imrani membagi multi akad dalam lima macam, yaitu al-‘uqud
al -mutaqâbilah, al-‘uqud al-mujtami’ah, al-‘uqud al-mutanaqidhah wa al-
mutadhâdah wa al-mutanafiyah, al-‘uqud al-mukhtalifah, al-‘uqud al-
mutajânisah. Dari lima macam itu, menurutnya, dua macam yang pertama;
al-‘uqud al-mutaqabilah, al-‘uqudal-mujtami’ah, adalah multi akad yang
umum dipakai.
 Akad Bergantung/Akad Bersyarat (al-’uqud al-Mutaqâbilah)
Al-Mutaqâbilah menurut bahasa berarti berhadapan.
Sesuatu dikatakan berhadapan jika keduanya saling menghadapkan
kepada yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan al-‘uqud al-
mutaqabilah adalah multi akad dalam bentuk akad kedua merespon
akad pertama (Imam Malik,1323 H:126) di mana kesempurnaan
akad pertama bergantung pada sempurnanya akad kedua melalui
proses timbal balik. Dengan kata lain, akad satu bergantung dengan
akad lainnya. Dalam tradisi fikih, model akad seperti ini sudah
dikenal lama dan praktik- nya sudah banyak. Banyak ulama telah
membahas tema ini, baik yang berkaitan dengan hukumnya, atau
model pertukarannya. Misalnya antara akad pertukaran
(mu'âwadhah) dengan akad tabarru·, antara akad tabarru' dengan
akad tabarru' atau akad pertukaran dengan akad pertukaran. Ulama
biasa mendefinisikan model akad ini dengan akad bersyarat
(isytirath ‘aqd bi ‘aqd) (Al-Imrani, 2006: 57).
 Akad Terkumpul (al-‘uqud al-mujtami’ah)
Al-‘uqud al-mujtami’ah adalah multi akad yang terhimpun
dalam satu akad. Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad.

17 Muhammad bin Ali al-Syaukani, Nail al-Awthar min Asrar Muntaqa al-Akhbar (Riyadh: Dar Ibn
al-Qayyim, 2004), jil. 6, hal. 445-446.

14
Misalnya “Saya jual rumah ini kepadamu dan saya sewakan rumah
yang lain kepadamu selama satu bulan dengan harga lima ratus ribu”
Multi akad yang mujtami’ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya
dua akad yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad
terhadap dua objek dengan satu harga, dua akad berbeda akibat
hukum dalam satu akad terhadap dua objek dengan dua harga, atau
dua akad dalam satu akad yang berbeda hukum atas satu objek
dengan satu imbalan, baik dalam waktu yang sama atau waktu yang
berbeda.
 Akad Berlawanan (al-·Uqûd al-Mutanâqidhah wa al-Mutadhâdah
wa al-Mutanâfiyah)
Ketiga istilah al-mutanâqidhah, al-mutadhadah, al-
mutanafiyah memiliki kesamaan bahwa ketiganya mengandung
maksud adanya perbedaan. Tetapi ketiga istilah ini mengandung
implikasi yang berbeda. Mutanaqidhah mengandung arti
berlawanan, seperti pada contoh seseorang berkata sesuatu lalu
berkata sesuatu lagi yang berlawanan dengan yang pertama.
Seseorang mengatakan bahwa sesuatu benar, lalu berkata lagi
sesuatu itu salah. Perkataan orang ini disebut mutanâqidhah, saling
berlawanan. Dikatakan mutanâqidhah karena antara satu dengan
yang lainnya tidak saling mendukung, melainkan mematahkan.
 Akad Berbeda (al-·Uqûd al-Mukhtalifah)
Yang dimaksud dengan multi akad yang mukhtalifah
adalah terhimpunnya dua akad atau lebih yang memiliki perbedaan
semua akibat hukum di antara kedua akad itu atau sebagiannya.
Seperti perbedaan akibat hukum dalam akad jual beli dan sewa,
dalam akad sewa diharuskan ada ketentuan waktu, sedangkan
dalam jual beli sebaliknya. Contoh lain, akad ijârah dan salam.
Dalam salam, harga salam harus diserahkan pada saat akad (fi al-
majlis), sedangkan dalam ijârah, harga sewa tidak harus diserahkan
pada saat akad.

15
Perbedaan antara multi akad yang mukhtalifah dengan yang
mutanâqidhah, mutadhâdah, dan mutanâfiyah terletak pada
keberadaan akad masing-masing. Meskipun kata mukhtalifah lebih
umum dan dapat meliputi ketiga jenis yang lainnya, namun dalam
mukhtalifah meskipun berbeda tetap dapat ditemukan menurut
syariat. Sedangkan untuk kategori berbeda yang ketiga
mengandung adanya saling meniadakan di antara akad-akad yang
membangunnya. Dari perbedaan di atas bisa dipahami bahwa multi
akad yang mutanaqidhah, mutadhadah, dan mutanâfiyah adalah
akad-akad yang tidak boleh dihimpun menjadi satu akad. Meski
demikian pandangan ulama terhadap tiga bentuk multi akad
tersebut tidak seragam.
 Akad Sejenis (al-‘uqud al-Mutajanisah)
Al-‘uqud al-murakkabah al-mutajanisah adalah akad-akad yang
mungkin dihimpun dalam satu akad, dengan tidak memengaruhi di
dalam hukum dan akibat hukumnya. Multi akad jenis ini dapat
terdiri dari satu jenis akad seperti akad jual beli dan akad jual beli,
atau dari beberapa jenis seperti akad jual beli dan sewa menyewa.
Multi akad jenis ini dapat pula terbentuk dari dua akad yang
memiliki hukum yang sama atau berbeda.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa transaksi
multi akad pada dasarnya berkaitan erat dengan syarat dan akad yang
disertakan di dalam transaksi tersebut, maka kesahihah setiap transaksi
multi akad akan bergantung pada sahih tidaknya syarat dan akad yang
disertakan dengannya. Jika syarat dan akad yang ada di dalam transaksi itu
sah secara syariat maka transaksi multi akad tersebut dapat dikatakan sah
secara syariat, namun jika syarat dan akad yang terdapat di dalamnya itu
tidak sah secara syariat maka transaksi itu pun tidak bisa dikatakan sah.
Kaidah “hukum asal dalam perkara muamalah adalah kebolehan
sampai ada dalil yang mengharamkannya” telah memberikan ruang yang
sangat luas bagi perkembangan bentuk akad pada transaksi modern, sesuai
dengan ruh syariat Islam yang mampu untuk beradaptasi dan diterapkan di
berbagai tempat dalam berbagai keadaan, shalih li kulli zaman wa makan.
Namun tetap saja syariat memiliki batasan-batasan yang perlu untuk
diperhatikan agar transaksi yang dilakukan sesuai dengan syariat.
Pembatasan yang diberikan oleh Syariat dalam berbagai jenis akad itu
berkisar pada hal-hal yang diharamkan, jika ada hal-hal yang diharamkan
seperti: riba, penipuan, ketidakjelasan, maka transaksi itu akan menjadi
haram, namun jika tidak ada unsur haram di dalam transaksi tersebut maka
hukumnya akan kembali kepada hukum asal yaitu boleh.

17
DAFTAR PUSTAKA

al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. Shahih al-Bukhari. Kairo: Makniz, tt.


al-Imrani, Abdullah bin Muhammad. al-‘Uqud al-Maliyyah al-Murakkabah. Riyadh: Dar
Kunuz Isybiliya, 2010.
al-Jashshash, Abu Bakar. Ahkam al-Quran. Beirut: Dar al-Fikr, tt.
al-Jauziyyah, Ibnu al-Qayyim. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. Dammam: Dar
Ibn al-Jauzi, 1423 H.
al-Naisaburi, Muslim bin Hajjaj. Shahih Muslim. Kairo: Makniz, tt.
al-Nasa’i, Ahmad bin Syu’aib. Sunan al-Nasa’i. Kairo: Makniz, tt.
al-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi. Kairo: al-Mathba’ah al-
Mashriyyah bi al-Azhar, 1929.
al-Sijistani, Abu Dawud. Sunan Abi Dawud. Kairo: Makniz, tt.
al-Syafi’i, Muhammad bin Idris. al-Umm. Manshurah: Dar al-Wafa, 2001
al-Syaukani, Muhammad bin Ali. Nail al-Awthar min Asrar Muntaqa al-Akhbar. Riyadh:
Dar Ibn al-Qayyim, 2004.
al-Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa. Sunan al-Tirmidzi. Kairo: Makniz, tt.
Hammad, Nazih. al-‘Uqud al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Qalam,
2005.
Ibn Anas, Malik. Muwaththa al-Imam Malik. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1985.
Ibn Hanbal, Ahmad. Musnad al-Imam Ahmad. Beirut: Muassasah al-Risalah, tt.
Ibn Rusyd, Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-
Muqtashid. Kairo: Dar al-Salam, 1995.
Susamto, Burhanuddin. “Tingkat Penggunaan Multi Akad dalam Fatwa Dewan Syariah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).” al-Ahkam vol 11 no. 1. Juni 2016.
hal. 201-218. http://dx.doi.org/10.19105/al-ihkam.v11i1.862

18

Anda mungkin juga menyukai