“Hiperbilirubinemia”
Tingkat : 2A Keperawatan
Mata Kuliah : Keperawatan Anak
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya
kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.Penulis mengucapkan syukur
kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun
akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai
tugas dengan judul “Hiperbilirubinemia”.Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah
ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
guru Bahasa Indonesia kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
KATA PENGATAR..........................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi........................................................................................................3
B. Etiologi........................................................................................................3
C. Patofisiologi................................................................................................5
D. Klasifikasi hyperbilirubinemia ...................................................................8
E. Epidemiologi ..............................................................................................9
F. Manifestasi klinis .......................................................................................9
G. Pemeriksaan fisik ......................................................................................10
H. Pemeriksaan laboratorium .........................................................................10
I. Diagnose ....................................................................................................11
J. Soal kasus...................................................................................................12
A. Kesimpulan................................................................................................13
PENDAHULUAN
Kadar bilirubin serum orang normal umumnya kurang lebih 0,8 mg % (17mmol/l),
akan tetapi kira-kira 5% orang normal memiliki kadar yang lebih tinggi (1 – 3 mg/ dl).
Bila penyebabnya bukan karena hemolisis atau penyakit hati kronik maka kondisi ini
biasanya disebabkan oleh kelainan familial metabolisme bilirubin,yang paling sering
adalah sindrom gilbert. Diagnosis yang akurat terutama pada penyakit hati kronik
sangat penting untuk penatalaksanaan pasien. Adanya riwayat keluarga, lamanya
penyakit serta tidak ditemukan adanya pertanda penyakit hati dan splenomegali, serum
transaminase normal dan bila perlu dilakukan biopsi hati. (Aru W. sudoyo)
PEMBAHASAN
1.1. Definisi
1.2 Etiologi
- Sindroma Dubin-Johnson
- Sindroma Rotor
- Infeksi virus: hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, Epstein Barr
- Hepatitis noninfeksi: alkoholik, nonalkoholik steatohepatitis, autoimun
- Anemia hemolitik
- Sindroma Gilbert dan Crigler-Najjar tipe 1 dan 2
- Hipertiroid
- Neonatal jaundice[2]
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab
lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake
bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam
hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
Penyebab Hiperbilirubinemia pada neonatal
Dasar Penyebab
- Peningkatan produksi bilirubin - Incompatibilitas darah
fetomaternal (Rh, ABO)
- Peningkatan penghancuran - Defisiensi enzim konginetal
bilirubin. - Perdarahan tertutup
(sefalhematom, memar),
sepsis,
- Peningkatan jumlah - Polisitemia (twin-to-twin
hemoglobin transfusion, SGA)
- Keterlamban klem tali pusat
2.1 Patofisiologi
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah rusak. Kemudian
bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan cara berikatan dengan albumin.
Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Bayi
memiliki usus yang belum sempurna, karna belum terdapat bakteri pemecah, sehingga pemecahan
bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin indirek yang kemudian ikut masuk dalam aliran
darah, sehingga bilirubin terus bersirkulasi (Atika dan Jaya, 2016).
Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang larut lemak, tak
terkonjugasi, non polar (bereaksi indirek). Pada bayi dengan hiperbilirubinemia kemungkinan
merupakan hasil dari defisiensi atau tidak aktifnya glukoronil transferase. Rendahnya
pengambilan dalam hepatik kemungkinan karena penurunan protein hepatik sejalan dengan
penurunan darah hepatik (Suriadi dan Yuliani 2010)
a. Saat eritrosit hancur di akhir siklus neonatus, hemoglobin pecah menjadi fragmen
globin (protein) dan heme (besi).
c. Karena bilirubin terkonjugasi dapat larut dalam lemak dan tidak dapat diekskresikan
di dalam urine atau empedu, bilirubin ini dapat keluar menuju jaringan ekstravaskular,
terutama jaringan lemak dan otak, mengakibatkan hiperbilirubinemia.
Obstruksi bilier atau hepatitis mengakibatkan sumbatan pada aliran empedu yang
normal.
Berikut ini adalah tabel hubungan kadar bilirubin dengan daerah ikterus menurut Kramer
(Mansjoer, 2013).
Jaundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan hasil dari hambatan kerja
glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam lemak bebas yang terdapat dalam ASI. Terjadi
empat sampai tujuh hari setelah lahir. Dimana terdapat kenaikan bilirubin tak terkonjugasi dengan
kadar 25 – 30 mg/dL selama minggu kedua sampai ketiga. Jika pemberian ASI dilanjutkan
hiperbilirubinemia akan menurun berangsur- angsur dapat menetap selama tiga sampai sepuluh
minggu pada kadar yang lebih rendah. Jika pemberian ASI dihentikan, kadar bilirubin serum akan
turun dengan cepat, biasanya mencapai normal dalam beberapa hari. Penghentian ASI selama satu
sampai dua hari dengan penggantian ASI dengan susu formula mengakibatkan penurunan bilirubin
serum dengan cepat. (Suriadi dan Yuliani 2010)
2.2 Klasifikasi Hiperbilirubinemia
c. Hiperbilirubinemia Fisiologis
Hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi baru lahir tidak muncul pada 24 jam pertama
setelah bayi dilahirkan. Biasanya pada hiperbilirubinemia fisiologis peningkatan kadar bilirubin
total tidak lebih dari 5mg/dL per hari. Pada bayi cukup bulan, hiperbilirubinemia fisiologis akan
mencapai puncaknya pada 72 jam setelah bayi dilahirkan dengan kadar serum bilirubin yaitu 6 – 8
mg/dL. Selama 72 jam awal kelahiran kadar bilirubin akan meningkat sampai dengan 2 – 3 mg/dL
kemudian pada hari ke-5 serum bilirubin akan turun sampai dengan 3mg/dL (Hackel, 2004).
Setelah hari ke-5, kadar serum bilirubin akan turun secara perlahan sampai dengan normal
pada hari ke-11 sampai hari ke-12. Pada Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) atau bayi
kurang bulan (premature) bilirubin mencapai puncak pada 120 jam pertama dengan peningkatan
serum bilirubin sebesar 10 – 15 mg/dL dan akan menurun setelah 2 minggu (Mansjoer, 2013)
d. Hiperbilirubinemia Patologis
Hiperbilirubinemia patologis atau biasa disebut dengan ikterus pada bayi baru lahir akan
muncul dalam 24 jam pertama setelah bayi dilahirkan. Pada hiperbilirubinemia patologis kadar
serum bilirubin total akan meningkat lebih dari 5 mg/dL per hari. Pada bayi cukup bulan, kadar
serum bilirubin akan meningkat sebanyak 12 mg/dL sedangkan pada bayi kurang bulan
(premature) kadar serum bilirubin total akan meningkat hingga 15 mg/dL. Ikterus biasanya
berlangsung kurang lebih satu minggu pada bayi cukup bulan dan lebih dari dua minggu pada bayi
kurang bulan (Imron, 2015).
e. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia apabila bayi baru lahir tersebut
tampak berwarna kuning dengan kadar serum bilirubin 5mg/dL atau lebih (Mansjoer, 2013).
Hiperbilirubinemia merupakan penimbunan bilirubin indirek pada kulit sehingga menimbulkan
warna kuning atau jingga. Pada hiperbilirubinemia direk bisanya dapat menimbulkan warna
kuning kehijauan atau kuning kotor (Ngatisyah, 2012).
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dapat menyebabkan ikterus pada sklera, kuku,
atau kulit dan membrane mukosa. Jaundice yang muncul pada 24 jam pertama disebabkan oleh
penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi. Jaundice
yang tampak pada hari kedua atau hari ketiga, dan mencapai puncak pada hari ketiga sampai hari
keempat dan menurun pada hari kelima sampai hari ketujuh yang biasanya merupakan jaundice
fisiologis (Suriadi dan Yuliani 2010).
Ikterus diakibatkan oleh pengendapan bilirubin indirek pada pada kulit yang cenderung
tampak kuning terang atau orange. Pada ikterus tipe obstruksi (bilirubin direk) akan menyebabkan
kulit pada bayi baru lahir tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya
dapat dilihat pada ikterus yang berat. Selain itu manifestasi klinis pada bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia atau ikterus yaitu muntah, anoreksia, fatigue, warna urine gelap, serta warna
tinja pucat (Suriadi dan Yuliani 2010).
Menurut Ridha (2014) bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia apabila
tampak tanda-tanda sebagai berikut :
Sklera, selaput lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat penumpukan bilirubin. Terjadi
pada 24 jam pertama kehidupan. Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24
jam. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg/dL pada
neonatus kurang bulan. Ikterik yang disertai proses hemolisis. Ikterik yang disertai berat badan
lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36 minggu, hipoksia, sindrom gangguan
pernafasan, infeksi trauma lahir kepala, hipoglikemia, hiperkarbia.
f. Komplikasi
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi dapat mengakibatkan
bilirubin encephalopathy (komplikasi serius). Pada keadaan lebih fatal, hiperbilirubinemia pada
neonates dapat menyebabkan kern ikterus, yaitu kerusakan neurologis, cerebral palsy, dan dapat
menyebabkan retardasi mental, hiperaktivitas, bicara lambat, tidak dapat mengoordinasikan otot
dengan baik, serta tangisan yang melengking (Suriadi dan Yuliani, 2010).
g. Penatalaksanaan Terapeutik
Menurut Suriadi dan Yuliani (2010) penatalaksanaan terapeutik pada bayi baru lahir
dengan hiperbilirubinemia yaitu :
Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir
disebabkan oleh infeksi.
Fototerapi
Tindakan fototerapi dapat dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbiliribunemia pada bayi
baru lahir bersifat patologis. Fototerapi berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit
melaui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin.
Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengekskresikan bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi.
Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang dapat meningkatkan bilirubin
konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen dalam empedu, sintesis protein dimana dapat
meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubin. Akan tetapi fenobarbital tidak begitu sering
dianjurkan untuk mengatsi hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
Transfusi Tukar
Tranfusi tukar dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sudah tidak dapat
ditangani dengan fototerapi.
2.3 Epidemiologi
Hiperbilirubinemia neonatal sangat umum karena hampir setiap bayi baru lahir mengalami
tingkat serum bilirubin tak terkonjugasi lebih dari 30 mmol / L (1,8 mg / dL) selama minggu
pertama kehidupan. Angka kejadian sulit untuk membandingkan karena banyak peneliti berbeda
yang tidak menggunakan definisi yang sama untuk hiperbilirubinemia neonatal signifikan atau
penyakit kuning. Selain itu, identifikasi bayi yang akan diuji tergantung pada pengakuan visual
dari penyakit kuning oleh penyedia layanan kesehatan, yang sangat bervariasi dan tergantung
baik pada perhatian pengamat dan pada karakteristik bayi seperti ras dan usia kehamilan.
Dalam sebuah studi tahun 2003 di Amerika Serikat, 4,3% dari 47.801 bayi memiliki total
serum bilirubin. dalam rentang di mana fototerapi direkomendasikan oleh tahun 1994 American
Academy of Pediatrics (AAP) pedoman, dan 2,9% memiliki nilai dalam rentang di mana tahun
1994 AAP pedoman menyarankan fototerapi mempertimbangkan.
Di dunia insiden bervariasi dengan etnisitas dan geografi. Insidensi lebih tinggi pada orang
Asia Timur dan Indian Amerika dan lebih rendah pada orang kulit hitam. Yunani yang hidup di
Yunani memiliki insiden yang lebih tinggi daripada yang keturunan Yunani yang tinggal di luar
Yunani. Insidensi lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di ketinggian. Pada tahun 1984,
Moore dkk melaporkan 32,7% bayi dengan kadar bilirubin serum lebih dari 205 umol / L (12
mg / dL) pada 3100 m dari ketinggian.
Kernikterus terjadi pada 1,5 dari 100.000 kelahiran di Amerika Serikat. Kematian dari
neonatal jaundice fisiologis sebenarnya tidak harus terjadi. Kematian dari kernikterus dapat
terjadi, terutama di negara-negara kurang berkembang sistem perawatan medis. Dalam sebuah
penelitian kecil dari pedesaan Nigeria, 31% bayi dengan ikterus klinis diuji memiliki G-6-PD
kekurangan, dan 36% bayi dengan G-6-PD kekurangan meninggal dengan kernikterus diduga
dibandingkan dengan hanya 3% dari bayi dengan G-6-PD yang normal skrining hasil tes.
Insiden penyakit kuning neonatal meningkat pada bayi dari Asia Timur, Indian, Amerika, dan
keturunan Yunani, meskipun yang terakhir tampaknya hanya berlaku untuk bayi yang lahir di
Yunani dan dengan demikian mungkin lingkungan bukan etnis di asal. Bayi kulit hitam yang
terpengaruh lebih sering dari pada bayi putih. Untuk alasan ini, penyakit kuning yang signifikan
dalam manfaat bayi hitam evaluasi lebih dekat dari kemungkinan penyebab, termasuk G-6-PD
kekurangan.
Risiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi pada bayi laki-laki. Ini
tidak muncul terkait dengan tingkat produksi bilirubin, yang mirip dengan yang ada di bayi
perempuan. Risiko penyakit kuning neonatal signifikan berbanding terbalik dengan usia
kehamilan.
3. Kosentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonarus kurang bulan dan 12,5 mg%
pada neonatus cukup bulan.
4. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompabilitas darah, defisiensi enzim G-6-PD
(Glukosa 6 Phosphat Dehydrogenase))
- Infeksi
- Gangguan pernafasan
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa
hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih
jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada
neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang
mendapatkan terapi sinar.
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian. Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-
tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut, dan lain-lain. Tempat yang
ditekan akan tampak pucat atau kuning. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula
dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai
kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
Pemeriksaan serumbilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang
mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko
tinggi terserang hiperbilirubinemi berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan
terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan
kadar serum bilirubin.
‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin
total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin
total < 15 mg/dL (<257 µmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang mendapat
terapi sinar.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus
antara lain :
d. Bilirubin direk.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan
tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar ataukah tranfusi tukar.
Hipertermia ( D.0130)
Suhu tubuh diatas
normal Kategori : lingkungan
Subkategori : keamanan
dan proteksi
Intervensi keperawatan
Edukasi
- Ajurkan
memberi
kesempatan bayi
sampai lebih
dari 1 jam atau
sampai bayi
menunjukan
tanda – tanda
siap menyusui
Intervensi keperawatan
- Biarkan tubuh
bayi terpapar
sinar fototerapi
secara
berkelanjutan
Edukasi
- Anjurkan ibu
menyusui sesring
mungkin
Kolaborasi
- Kolaborasi
pemeriksaan
darah vena
bilirubin direk
dan indirek
Intervensi keperawatan
- Memonitor suhu
tubuh
Terapeutik
- Longarkan atau
lepaskan pakian
Implementasi Keperawatan
Implementasi Keperawatan
Edukasi
- Anjurkan ibu
menyusui
sesring
mungkin
Kolaborasi
Implementasi Keperawatan
a. gangguan menelan
e. Risiko cidera.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin >5 mg/dL
pada darah, yang sering ditandai oleh adanya ikterus. Pada bayi baru lahir,
hiperbilirubinemia sering terjadi oleh karena kemampuan hati bayi yang masih kurang
untuk mengekskresikan bilirubin yang terus diproduksi. Etiologi hiperbilirubunemia
perlu dideteksi secara pasti, fisiologik atau nonfisiologik, sebagai dasar pemeriksaan dan
tindak lanjut penanganan neonatus. Pengobatan hiperbilirubinemia bertujuan untuk
menurunkan kadar bilirubin yang tinggi. Pemantauan dan pemeriksaan yang tepat sangat
dibutuhkan untuk menentukan jenis pengobatan yang akan dipergunakan.
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2575/4/Chapter%202.pdf
https://www.academia.edu/28136550/MAKALAH_HIPERBILIRUBINEMIA
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/2599