Anda di halaman 1dari 21

Makalah Keperawatan Anak

“Hiperbilirubinemia”

Dosen : Ns. Ria Setia Sari, S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh : Kelompok 5


1. Ahmad Sarkowi Juniansyah (19216031)
2. Deby Aulia Arvianti (19216031)

Tingkat : 2A Keperawatan
Mata Kuliah : Keperawatan Anak

PROGRAM STUDI STRATA SATU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) YATSI
TANGERANG
2019-2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya
kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.Penulis mengucapkan syukur
kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun
akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai
tugas dengan judul “Hiperbilirubinemia”.Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah
ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
guru Bahasa Indonesia kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Tangerang , 14 juli 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGATAR..........................................................................................................i

DAFTAR ISI ...................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah...............................................................................1


B. Perumusan masalah.....................................................................................2
C. Tujuan penulisan.........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi........................................................................................................3
B. Etiologi........................................................................................................3
C. Patofisiologi................................................................................................5
D. Klasifikasi hyperbilirubinemia ...................................................................8
E. Epidemiologi ..............................................................................................9
F. Manifestasi klinis .......................................................................................9
G. Pemeriksaan fisik ......................................................................................10
H. Pemeriksaan laboratorium .........................................................................10
I. Diagnose ....................................................................................................11
J. Soal kasus...................................................................................................12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................14


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kadar bilirubin serum orang normal umumnya kurang lebih 0,8 mg % (17mmol/l),
akan tetapi kira-kira 5% orang normal memiliki kadar yang lebih tinggi (1 – 3 mg/ dl).
Bila penyebabnya bukan karena hemolisis atau penyakit hati kronik maka kondisi ini
biasanya disebabkan oleh kelainan familial metabolisme bilirubin,yang paling sering
adalah sindrom gilbert. Diagnosis yang akurat terutama pada penyakit hati kronik
sangat penting untuk penatalaksanaan pasien. Adanya riwayat keluarga, lamanya
penyakit serta tidak ditemukan adanya pertanda penyakit hati dan splenomegali, serum
transaminase normal dan bila perlu dilakukan biopsi hati. (Aru W. sudoyo)

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering


ditemukan pada bayi baru lahir. Sekitar 25 – 50% bayi baru lahir menderita ikterus
pada minggu pertama. Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar plasma bilirubin,
standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau
lebih dari 90 persen. Dalam perhitungan bilirubin terdiri dari bilirubin direk dan
bilirubin indirek. Peningkatan bilirubin indirek terjadi akibat produksi bilirubin yang
berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin oleh hati, atau kelainan konjugasi
bilirubin. Setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian, terutama ikterus
ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin indirek
meningkat 5 mg/dL dalam 24 jam dan bilirubin direk > 1 mg/dL merupakan keadaan
yang menunjukkan kemungkinan adannya ikterus patologis.

Hiperbilirubinemia dianggap patologis apabila waktu muncul, lama, atau kadar


bilirubin serum yang ditentukan berbeda secara bermakna dari ikterus fisiologis.
Gejala paling mudah diidentifikasi adalah ikterus yang didefinisikan sebagai kulit dan
selaput lendir menjadi kuning. Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin
dalam darah.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan pengertian hiperbilirubinemia?

b. Bagaimana manifestasi klinis hiperbilirubinemia?

c. Bagaimana intervensi keperawatan hiperbilirubinemia?

1.3 Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui pengertian hiperbilirubinemia.

b. Untuk mengetahui manifestasi klinis hiperbilirubinemia.

c. Untuk mengetahui intervensi keperawatan hiperbilirubinemia.


BAB II

PEMBAHASAN

1.1. Definisi

Hiperbilirubinemia atau penyakit kuning adalah penyakit yang disebabkan karena


tingginya kadar bilirubin pada darah sehingga menyebabkan bayi baru lahir berwarna kuning pada
kulit dan pada bagian putih mata (Mendri dan Prayogi, 2017).

1.2 Etiologi

Hiperbilirubinemia atau penyakit kuning adalah penyakit yang disebabkan karena


tingginya kadar bilirubin pada darah sehingga menyebabkan bayi baru lahir berwarna kuning pada
kulit dan pada bagian putih mata (Mendri dan Prayogi, 2017)

Etiologi hiperbilirubinemia dibagi menjadi hiperbilirubinemia intrahepatik dan


ekstrahepatik. Hiperbilirubinemia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi dan tidak terkonjugasi.

Hiperbilirubinemia intrahepatik terutama disebabkan gangguan pada hepatosit,


seperti infeksi, drug-induced liver injury, sirosis hepatis, karsinoma hepatoseluler.
Hiperbilirubinemia terisolasi (hiperbilirubinemia tanpa kelainan fungsi hati lain)
disebabkan oleh kelainan herediter, yaitu sindroma Gilbert, sindroma Crigler-Najjar tipe 1
dan tipe 2, sindroma Dubin-Johnson, dan sindroma Rotor. Kolestasis intrahepatik juga
dapat menyebabkan hiperbilirubinemia. Hiperbilirubinemia ekstrahepatik dapat
disebabkan oleh koledokolitiasis, kanker pankreas, striktur traktus biliaris,
kolangiokarsinoma, kolangitis autoimun, atau infeksi seperti tuberkulosis dan askariasis.

Hiperbilirubinemia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan hiperbilirubinemia


terkonjugasi dan tidak terkonjugasi.

a. Etiologi hiperbilirubinemia terkonjugasi:

- Sindroma Dubin-Johnson
- Sindroma Rotor
- Infeksi virus: hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, Epstein Barr
- Hepatitis noninfeksi: alkoholik, nonalkoholik steatohepatitis, autoimun

- Kolestatik: primary biliary cholangitis, primary sclerosing cholangitis


- Penyakit infiltratif: amyloidosis, limfoma, tuberkulosis, sarkoidosis
- Sepsis
- Toksin dan obat-obatan
- Krisis hepatik pada anemia sel sabit
- Kehamilan
- Koledokolitiasis
- Tumor pada duktus biliaris, striktur
- Atresia bilier
- Pankreatitis akut dan kronik
- Infeksi parasit
b. Etiologi hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi:

- Anemia hemolitik
- Sindroma Gilbert dan Crigler-Najjar tipe 1 dan 2
- Hipertiroid
- Neonatal jaundice[2]

Penyebab dari hiperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara garis besar,


penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :

a. Produksi bilirubin yang berlebihan.

Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada


emolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah
lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar.

Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab
lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake
bilirubin ke sel hepar.

c. Gangguan transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

d. Gangguan dalam ekskresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam
hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
Penyebab Hiperbilirubinemia pada neonatal

Dasar Penyebab
- Peningkatan produksi bilirubin - Incompatibilitas darah
fetomaternal (Rh, ABO)
- Peningkatan penghancuran - Defisiensi enzim konginetal
bilirubin. - Perdarahan tertutup
(sefalhematom, memar),
sepsis,
- Peningkatan jumlah - Polisitemia (twin-to-twin
hemoglobin transfusion, SGA)
- Keterlamban klem tali pusat

- Peningkatan sirkulasi - Keterlambatan pasase


enterohepatik mukonium, ileus mukonium,
muconium plug syndrome.
- Puasa atau keterlambatan
minum
- Atrrsia atau stenosis intestinal.

- Perubahan clearance bilirubin - Imaturitas


hati.
- Perubahan produksi atau - Gangguan metabolik/endokrin
aktifitas uridine
diphosphoglucoroyl
transverase.
- Perubahan fungsi dan perfusi - Asfiksia, hipoksia, hipotermi,
hati (kemampuan konjugasi) sepsi (juga proses inflamasi)
- Obat-obatan dan hormon
(novobiasin, pregnanediol)
- Stasis biliaris (hepatitis,
sepsis)
- Bilirubin load berlebihan
(sering pada hemolisis berat)

2.1 Patofisiologi
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah rusak. Kemudian
bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan cara berikatan dengan albumin.
Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Bayi
memiliki usus yang belum sempurna, karna belum terdapat bakteri pemecah, sehingga pemecahan
bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin indirek yang kemudian ikut masuk dalam aliran
darah, sehingga bilirubin terus bersirkulasi (Atika dan Jaya, 2016).

Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan ke


sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Neonatus mempunyai kapasitas ikatan plasma yang
rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang
kurang. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan syaraf pusat dan
bersifat toksik (Kosim, 2012).

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan


hati untuk mengekskresikan bilirubin yang telah diekskresikan dalam jumlah normal. Selain itu,
hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan oleh obstruksi saluran ekskresi hati. Apabila konsentrasi
bilirubin mencapai 2 – 2,5 mg/dL maka bilirubin akan tertimbun di dalam darah. Selanjutnya
bilirubin akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian akan menyebabkan kuning atau ikterus
(Khusna, 2013).

Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang larut lemak, tak
terkonjugasi, non polar (bereaksi indirek). Pada bayi dengan hiperbilirubinemia kemungkinan
merupakan hasil dari defisiensi atau tidak aktifnya glukoronil transferase. Rendahnya
pengambilan dalam hepatik kemungkinan karena penurunan protein hepatik sejalan dengan
penurunan darah hepatik (Suriadi dan Yuliani 2010)

Adapun patofisiologi lain yaitu sebagai berikut :

a. Saat eritrosit hancur di akhir siklus neonatus, hemoglobin pecah menjadi fragmen
globin (protein) dan heme (besi).

b. Fragmen heme membentuk bilirubin tidak terkonjugasi (indirek), yang berikatan


dengan albumin untuk dibawa ke sel hati agar dapat berkonjugasi dengan glukuronid,
membentuk bilirubin direk.

c. Karena bilirubin terkonjugasi dapat larut dalam lemak dan tidak dapat diekskresikan
di dalam urine atau empedu, bilirubin ini dapat keluar menuju jaringan ekstravaskular,
terutama jaringan lemak dan otak, mengakibatkan hiperbilirubinemia.

d. Hiperbilirubinemia dapat berkembang ketika :

 Faktor tertentu-tertentu mengganggu konjugasi dan merebut sisi yang mengikat


albumin, termasuk obat (seperti aspirin, penenang, dan sulfonamide) dan gangguan
(seperti hipotermia, anoksia, hipoglikemia, dan hipoalbuminemia)

 Penurunan fungsi hati yang menyebabkan penurunan konjugasi bilirubin.

 Peningkatan produksi atau inkompatibilitas Rh atau ABO.

 Obstruksi bilier atau hepatitis mengakibatkan sumbatan pada aliran empedu yang
normal.
Berikut ini adalah tabel hubungan kadar bilirubin dengan daerah ikterus menurut Kramer
(Mansjoer, 2013).

Tabel 2.1 Hubungan Kadar Bilirubin dengan Daerah Ikterus

Derajat Luas Daerah Ikterus Kadar Bilirubin (mg/dL)


Ikterus
Preterm Aterm

I Kepala dan leher 4–8 4–8

II Dada sampai pusat 5 - 12 5 – 12

III Bagian bawah pusat sampai lutut 7 – 15 8 – 16

Lutut sampai pergelangan kaki dan


bahu sampai pergelangan tangan
IV 9 – 18 11 – 18

Kaki dan tangan termasuk telapak


kaki dan telapak tangan
V > 10 > 15

Sumber : Mansjoer (2013)

Jaundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan hasil dari hambatan kerja
glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam lemak bebas yang terdapat dalam ASI. Terjadi
empat sampai tujuh hari setelah lahir. Dimana terdapat kenaikan bilirubin tak terkonjugasi dengan
kadar 25 – 30 mg/dL selama minggu kedua sampai ketiga. Jika pemberian ASI dilanjutkan
hiperbilirubinemia akan menurun berangsur- angsur dapat menetap selama tiga sampai sepuluh
minggu pada kadar yang lebih rendah. Jika pemberian ASI dihentikan, kadar bilirubin serum akan
turun dengan cepat, biasanya mencapai normal dalam beberapa hari. Penghentian ASI selama satu
sampai dua hari dengan penggantian ASI dengan susu formula mengakibatkan penurunan bilirubin
serum dengan cepat. (Suriadi dan Yuliani 2010)
2.2 Klasifikasi Hiperbilirubinemia

c. Hiperbilirubinemia Fisiologis

Hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi baru lahir tidak muncul pada 24 jam pertama
setelah bayi dilahirkan. Biasanya pada hiperbilirubinemia fisiologis peningkatan kadar bilirubin
total tidak lebih dari 5mg/dL per hari. Pada bayi cukup bulan, hiperbilirubinemia fisiologis akan
mencapai puncaknya pada 72 jam setelah bayi dilahirkan dengan kadar serum bilirubin yaitu 6 – 8
mg/dL. Selama 72 jam awal kelahiran kadar bilirubin akan meningkat sampai dengan 2 – 3 mg/dL
kemudian pada hari ke-5 serum bilirubin akan turun sampai dengan 3mg/dL (Hackel, 2004).

Setelah hari ke-5, kadar serum bilirubin akan turun secara perlahan sampai dengan normal
pada hari ke-11 sampai hari ke-12. Pada Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) atau bayi
kurang bulan (premature) bilirubin mencapai puncak pada 120 jam pertama dengan peningkatan
serum bilirubin sebesar 10 – 15 mg/dL dan akan menurun setelah 2 minggu (Mansjoer, 2013)

d. Hiperbilirubinemia Patologis

Hiperbilirubinemia patologis atau biasa disebut dengan ikterus pada bayi baru lahir akan
muncul dalam 24 jam pertama setelah bayi dilahirkan. Pada hiperbilirubinemia patologis kadar
serum bilirubin total akan meningkat lebih dari 5 mg/dL per hari. Pada bayi cukup bulan, kadar
serum bilirubin akan meningkat sebanyak 12 mg/dL sedangkan pada bayi kurang bulan
(premature) kadar serum bilirubin total akan meningkat hingga 15 mg/dL. Ikterus biasanya
berlangsung kurang lebih satu minggu pada bayi cukup bulan dan lebih dari dua minggu pada bayi
kurang bulan (Imron, 2015).

e. Manifestasi Klinis

Bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia apabila bayi baru lahir tersebut
tampak berwarna kuning dengan kadar serum bilirubin 5mg/dL atau lebih (Mansjoer, 2013).
Hiperbilirubinemia merupakan penimbunan bilirubin indirek pada kulit sehingga menimbulkan
warna kuning atau jingga. Pada hiperbilirubinemia direk bisanya dapat menimbulkan warna
kuning kehijauan atau kuning kotor (Ngatisyah, 2012).

Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dapat menyebabkan ikterus pada sklera, kuku,
atau kulit dan membrane mukosa. Jaundice yang muncul pada 24 jam pertama disebabkan oleh
penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi. Jaundice
yang tampak pada hari kedua atau hari ketiga, dan mencapai puncak pada hari ketiga sampai hari
keempat dan menurun pada hari kelima sampai hari ketujuh yang biasanya merupakan jaundice
fisiologis (Suriadi dan Yuliani 2010).

Ikterus diakibatkan oleh pengendapan bilirubin indirek pada pada kulit yang cenderung
tampak kuning terang atau orange. Pada ikterus tipe obstruksi (bilirubin direk) akan menyebabkan
kulit pada bayi baru lahir tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya
dapat dilihat pada ikterus yang berat. Selain itu manifestasi klinis pada bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia atau ikterus yaitu muntah, anoreksia, fatigue, warna urine gelap, serta warna
tinja pucat (Suriadi dan Yuliani 2010).

Menurut Ridha (2014) bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia apabila
tampak tanda-tanda sebagai berikut :

Sklera, selaput lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat penumpukan bilirubin. Terjadi
pada 24 jam pertama kehidupan. Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24
jam. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg/dL pada
neonatus kurang bulan. Ikterik yang disertai proses hemolisis. Ikterik yang disertai berat badan
lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36 minggu, hipoksia, sindrom gangguan
pernafasan, infeksi trauma lahir kepala, hipoglikemia, hiperkarbia.

f. Komplikasi

Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi dapat mengakibatkan
bilirubin encephalopathy (komplikasi serius). Pada keadaan lebih fatal, hiperbilirubinemia pada
neonates dapat menyebabkan kern ikterus, yaitu kerusakan neurologis, cerebral palsy, dan dapat
menyebabkan retardasi mental, hiperaktivitas, bicara lambat, tidak dapat mengoordinasikan otot
dengan baik, serta tangisan yang melengking (Suriadi dan Yuliani, 2010).

g. Penatalaksanaan Terapeutik

Menurut Suriadi dan Yuliani (2010) penatalaksanaan terapeutik pada bayi baru lahir
dengan hiperbilirubinemia yaitu :

Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir
disebabkan oleh infeksi.

Fototerapi
Tindakan fototerapi dapat dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbiliribunemia pada bayi
baru lahir bersifat patologis. Fototerapi berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit
melaui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin.

Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengekskresikan bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi.
Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang dapat meningkatkan bilirubin
konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen dalam empedu, sintesis protein dimana dapat
meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubin. Akan tetapi fenobarbital tidak begitu sering
dianjurkan untuk mengatsi hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.

Transfusi Tukar
Tranfusi tukar dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sudah tidak dapat
ditangani dengan fototerapi.
2.3 Epidemiologi
Hiperbilirubinemia neonatal sangat umum karena hampir setiap bayi baru lahir mengalami
tingkat serum bilirubin tak terkonjugasi lebih dari 30 mmol / L (1,8 mg / dL) selama minggu
pertama kehidupan. Angka kejadian sulit untuk membandingkan karena banyak peneliti berbeda
yang tidak menggunakan definisi yang sama untuk hiperbilirubinemia neonatal signifikan atau
penyakit kuning. Selain itu, identifikasi bayi yang akan diuji tergantung pada pengakuan visual
dari penyakit kuning oleh penyedia layanan kesehatan, yang sangat bervariasi dan tergantung
baik pada perhatian pengamat dan pada karakteristik bayi seperti ras dan usia kehamilan.

Dalam sebuah studi tahun 2003 di Amerika Serikat, 4,3% dari 47.801 bayi memiliki total
serum bilirubin. dalam rentang di mana fototerapi direkomendasikan oleh tahun 1994 American
Academy of Pediatrics (AAP) pedoman, dan 2,9% memiliki nilai dalam rentang di mana tahun
1994 AAP pedoman menyarankan fototerapi mempertimbangkan.

Di dunia insiden bervariasi dengan etnisitas dan geografi. Insidensi lebih tinggi pada orang
Asia Timur dan Indian Amerika dan lebih rendah pada orang kulit hitam. Yunani yang hidup di
Yunani memiliki insiden yang lebih tinggi daripada yang keturunan Yunani yang tinggal di luar
Yunani. Insidensi lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di ketinggian. Pada tahun 1984,
Moore dkk melaporkan 32,7% bayi dengan kadar bilirubin serum lebih dari 205 umol / L (12
mg / dL) pada 3100 m dari ketinggian.

Kernikterus terjadi pada 1,5 dari 100.000 kelahiran di Amerika Serikat. Kematian dari
neonatal jaundice fisiologis sebenarnya tidak harus terjadi. Kematian dari kernikterus dapat
terjadi, terutama di negara-negara kurang berkembang sistem perawatan medis. Dalam sebuah
penelitian kecil dari pedesaan Nigeria, 31% bayi dengan ikterus klinis diuji memiliki G-6-PD
kekurangan, dan 36% bayi dengan G-6-PD kekurangan meninggal dengan kernikterus diduga
dibandingkan dengan hanya 3% dari bayi dengan G-6-PD yang normal skrining hasil tes.

Insiden penyakit kuning neonatal meningkat pada bayi dari Asia Timur, Indian, Amerika, dan
keturunan Yunani, meskipun yang terakhir tampaknya hanya berlaku untuk bayi yang lahir di
Yunani dan dengan demikian mungkin lingkungan bukan etnis di asal. Bayi kulit hitam yang
terpengaruh lebih sering dari pada bayi putih. Untuk alasan ini, penyakit kuning yang signifikan
dalam manfaat bayi hitam evaluasi lebih dekat dari kemungkinan penyebab, termasuk G-6-PD
kekurangan.

Risiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi pada bayi laki-laki. Ini
tidak muncul terkait dengan tingkat produksi bilirubin, yang mirip dengan yang ada di bayi
perempuan. Risiko penyakit kuning neonatal signifikan berbanding terbalik dengan usia
kehamilan.

2.4 Manifestasi Klinis

1. Ikterus terjadi 24 jam.

2. Peningkatan kosentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam.

3. Kosentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonarus kurang bulan dan 12,5 mg%
pada neonatus cukup bulan.

4. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompabilitas darah, defisiensi enzim G-6-PD
(Glukosa 6 Phosphat Dehydrogenase))

5. Ikterus yang disertai keadaan berikut :

- Berat lahir kurang dari 2000 gram


- Masa gestasi kurang dari 36 minggu

- Infeksi

- Gangguan pernafasan

2.5 Pemeriksaan Fisik

Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa
hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih
jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada
neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang
mendapatkan terapi sinar.

Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian. Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-
tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut, dan lain-lain. Tempat yang
ditekan akan tampak pucat atau kuning. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula
dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai
kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.

2.6 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan serumbilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang
mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko
tinggi terserang hiperbilirubinemi berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan
terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan
kadar serum bilirubin.

‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin
total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin
total < 15 mg/dL (<257 µmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang mendapat
terapi sinar.

Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus
antara lain :

a. Golongan darah dan ‘Coombs test’.

b. Darah lengkap dan hapusan darah.

c. Hitung retikulosit, skrining G-6-PD.

d. Bilirubin direk.

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan
tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar ataukah tranfusi tukar.

2.7 Diagnosa Keperawatan


2.8 Seorang ibu datang ke RSIA Bunda dengan keluhan ingin memeriksakan kondisi
bayinya yang berusia 5 hari karena sebagian besar kulit anaknya berwarna kuning dan
badannya demam, Bayi lahir secara normal dengan usia kehamilan 9 bulan, BB lahir
3400 gram. Bayi malas menyusu sejak 2 hari yang lalu. Didapatkan hasil pemeriksaan
suhu: 38,7%c. frekuensi jantung: 146 x/m, frekuensi nafas: 48 x/m, BB: 3250 gram.
Bagian wajah, dada perut hingga ke lutut. Bilirubin direk 1,64 mg/dl, bilirubin indirek
13,59 mg/dl, bilirubin total 15.23 mg/dl

N Data Focus Etiologi Problem


o
Seorang ibu datang ke RSIA Bunda
dengan keluhan ingin memeriksakan Ketidak kuatan Menyusui tidak efektif
kondisi bayinya yang berusia 5 hari refles mengisap ( D.0029)
karena sebagian besar kulit anaknya bayi.
berwarna kuning dan badannya Kategori : fisiologis
demam
- Kelien mengatakan Subkategori : nutrisi dan
bayi malas menyusi cairan
sejak 2 hari yang lalu

- Sebagian besar kulit


Usia kurang dari 7 Ikteri neonatus (D.0024)
bayi berwarna
hari, kulit
kuning dan badan
menguning Kategori : fisiologis
demam
Subkategori : nutrisi dan
cairan

Hipertermia ( D.0130)
Suhu tubuh diatas
normal Kategori : lingkungan

Subkategori : keamanan
dan proteksi

Intervensi keperawatan

N Diagnosa SLKI SIKI


o Keperawata
n

Menyusui Setelah dilakukan tindakan Tindakan


tidak efektif keperawatan selama lebih dari 1 jam
( D.0029) diharapkan setatus menyusui Obsevasi
membaik
Kategori : - Monitor
fisiologis Kh : pernapasan bayi

Subkategori - hisapan bayi 3-4 Terapetik


: nutrisi dan - Intake bayi 3-4 - Berikan ibu
cairan kesempatan
- Kepercayaan diri ibu untuk rawat
3-4 gabung
( rooming in)

Edukasi

- Ajurkan
memberi
kesempatan bayi
sampai lebih
dari 1 jam atau
sampai bayi
menunjukan
tanda – tanda
siap menyusui

Intervensi keperawatan

N Diagnosa SLKI SIKI


o Keperawat
an

Ikteri Setelah dilakukan tindakan Tindakan


neonatus keperawatan selama lebih dari 1 jam
(D.0024) diharapkan adaptasi neonatus Obsevasi
membaik
Kategori : - Monitor ikteri
fisiologis Kh: pada sklera dan
kulit bayi
Subkategori - Kuit kuning 3-4
: nutrisi dan Terapeutik
cairan - Keterlambatan
pengeluaran feses 3- - Siapkan lampu
4 fototerapi dan
incubator atau
- Berat badan 3-4 kotak bayi

- Biarkan tubuh
bayi terpapar
sinar fototerapi
secara
berkelanjutan

Edukasi

- Anjurkan ibu
menyusui sesring
mungkin

Kolaborasi

- Kolaborasi
pemeriksaan
darah vena
bilirubin direk
dan indirek

Intervensi keperawatan

N Diagnosa SLKI SIKI


o Keperawata
n

Hipertermia ( Setelah dilakukan tindakan Tindakan


D.0130) keperawatan selama lebih dari 1
jam diharapkan termoregulasi Obsevasi
Kategori : neonatus menurun
lingkungan - Identifikasi penyebab
Kh: hipertermia (mis.
Subkategori : Dehidrasi, terpapar
keamanan - Suhu tubuh 3-4 lingkungan panas,
dan proteksi pengunan
- Suhu kulit 3-4 ingkubator)

- Memonitor suhu
tubuh

Terapeutik

- Longarkan atau
lepaskan pakian

Implementasi Keperawatan

Hari / Diagnosa keperawatan Implementasi Evaluasi


Tanggal
Jumat, 09 S: kelien
Menyusui tidak efektif Tindakan
juli 2021 ( D.0029) mengatakan bayi
Obsevasi
sudah mau
Kategori : fisiologis
- Monitor menyusui
Subkategori : nutrisi dan pernapasan bayi
cairan O: bayi tampak
Terapetik
menyusui
- Berikan ibu dengan normal
kesempatan
untuk rawat A: masalah
gabung keperawatan
( rooming in)
teratasi
Edukasi
P: interpensi
Ajurkan memberi kesempatan
dihentian
bayi sampai lebih dari 1 jam atau
sampai bayi menunjukan tanda –
tanda siap menyusui

Implementasi Keperawatan

Hari / Tanggal Diagnosa keperawatan Implementasi Evaluasi


Sabtu 10, juli S: kelien
Ikteri neonatus (D.0024) Tindakan
2021 mengatakan
Kategori : fisiologis Obsevasi
kulit bayi sudah
Subkategori : nutrisi dan - Monitor ikteri tidak nampak
cairan pada sklera
dan kulit bayi kuning
O: Kulit bayi
Terapeutik
sudah tidak
- Siapkan
lampu tampak kuning
fototerapi dan A: Masalah
incubator atau
kotak bayi teratasi
- Biarkan tubuh P: Interpensi
bayi terpapar dihentikan
sinar
fototerapi
secara
berkelanjutan

Edukasi

- Anjurkan ibu
menyusui
sesring
mungkin

Kolaborasi

Kolaborasi pemeriksaan darah


vena bilirubin direk dan
indirek

Implementasi Keperawatan

Hari / Diagnosa keperawatan Implementasi Evaluasi


Tanggal
Sabtu 10, S: Kelien
Hipertermia ( D.0130) Tindakan
jui 2021 mengatakan
Kategori : lingkungan Obsevasi
Subkategori : keamanan suhu tubuh
- Identifikasi penyebab
dan proteksi
hipertermia (mis. bayi
Dehidrasi, terpapar menurun
lingkungan panas,
pengunan ingkubator) O: suhu

- Memonitor suhu tubuh tubuh bayi


menurun
Terapeutik
A: Masalah
- Longarkan atau
lepaskan pakian teratasi
P: Interpensi
dihentikan

a. gangguan menelan

b. Kekurangan volume cairan.

c. Ketidak efektifan termoregulasi b.d efek foto terapi.

d. Kerusakan integritas kulit b.d hiperbilirubinemia.

e. Risiko cidera.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin >5 mg/dL
pada darah, yang sering ditandai oleh adanya ikterus. Pada bayi baru lahir,
hiperbilirubinemia sering terjadi oleh karena kemampuan hati bayi yang masih kurang
untuk mengekskresikan bilirubin yang terus diproduksi. Etiologi hiperbilirubunemia
perlu dideteksi secara pasti, fisiologik atau nonfisiologik, sebagai dasar pemeriksaan dan
tindak lanjut penanganan neonatus. Pengobatan hiperbilirubinemia bertujuan untuk
menurunkan kadar bilirubin yang tinggi. Pemantauan dan pemeriksaan yang tepat sangat
dibutuhkan untuk menentukan jenis pengobatan yang akan dipergunakan.
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2575/4/Chapter%202.pdf

https://www.academia.edu/28136550/MAKALAH_HIPERBILIRUBINEMIA

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/2599

Anda mungkin juga menyukai