Disusun Oleh:
Kelompok 2:
Bintara Sinulingga
Hari Syahputra
Yurdiana
Yudianto
Kiki Rahayu
Hiperbilirubin merupakan salah satu dari beberapa penyebab kematian bayi baru
lahir di berbagai Negara terutama di Indonesia yang menyebabkan kesakitan,
kecacatan dan kematian neonatal. Keadaan ini disebabkan oleh penimbunan bilirubin
dalam jaringan tubuh sehingga kulit, mukosa dan sklera berubah menjadi warna
kuning. Hal ini dapat menjadi salah satu akibat masih banyak kejadian Hiperbilirubin
dan angka kematian bayi baru lahir setiap tahunnya di Indonesia (Kemenkes RI.
2019). Angka hiperbilirubin pada bayi baru lahir di Indonesia sebesar 51,47% dengan
faktor penyebabnya antara lain Asfiksia, BBLR, Sectio Cesaria, prematur dan
kelainan kongenital (Riskesdas, 2018).
Data dari WHO (World Health Organizaton) (2015) menjelaskan bahwa
sebanyak 4,5 juta (75%) dari semua kematian bayi dan balita terjadi pada tahun
pertama kehidupan. Data kematian bayi terbanyak dalam tahun pertama kehidupan
ditemukan di wilayah Afrika, yaitu sebanyak 55/1000 kelahiran. Sedangkan di
wilayah eropa ditemukan ada 10/1000 dari kelahiran. Hal ini menunjukkan bahwa di
wilayah afrika merupakan kejadian tertinggi pada tahun 2015. Hiperbilirubinemia di
Indonesia merupakan masalah yang sering ditemukan pada bayi baru lahir oleh tenaga
kesehatan, hiperbilirubinemia terjadi sekitar 25- 50% bayi cukup bulan dan lebih
tinggi pada bayi kurang bulan (Depkes 2017).
Berdasarkan data Riset kesehatan dasar menunjukan angka kejadian
hiperbilirubin/ikterus neonatorum pada bayi baru lahir di Indonesia sebesar 51,47%
dengan factor penyebabnya yaitu: Asfiksia 51%, BBLR 42,9%, Sectio Cesarea
18,9%, Prematur 33,3%, Kelainan Congenital 2,8%, Sepsis 12%. Angka kematian
bayi di Indonesia dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) sebesar
34/1000 kelahiran. Sebagian besar bayi baru lahir, terutama bayi yang kecil (bayi
yang berat lahir < 2.500 gr atau usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada
minggu awal kehidupannya. Angka kematian bayi di Indonesia dari Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2012 sebesar 32/1000 kelahiran hidup.
Kematian neonatus terbanyak di Indonesia disebabkan oleh hipotermi (7%), ikterik
neonatus (6%) (Riskesdas 2015). Daerah Jawa Timur angka kematia bayi (AKB)
tertinggi terjadi di Kabupaten Probolinggo yaitu sebesar 61,48/1000 kelahiran hidup
dan untuk AKB terendah di Kota Belitar yaitu 17,99/1000 kelahiran hidup. Penyebab
kematian neonatal terbanyak adalah BBLR, Asfiksia dan kasus Ikterus Neonatorum
karena Hiperbilirubin. (Prof Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2015). Kota Malang
memiliki persentase kejadian Hiperbilirubinemia adalah sebesar 3,23% pada tahun
2014 (Dinkes Kota Malang, 2017).
B. TUJUAN
1. Tujuan umum
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami asuhan keperawatan pada
anak dengan hiperbilirubinemia.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian hiperbilirubinemia
b. Untuk mengetahui etiologi hiperbilirubinemia
c. Untuk mengetahui menifestasi klinis hiperbilirubinemia
d. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit
hiperbilirubinemia
e. Untuk mengetahui komplikasi hiperbilirubinemia
f. Untuk mengetahui patofisiologi da pathway hiperbilirubinemia
g. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang hiperbilirubinemia
h. Untuk mengetahui penatalaksanaan hiperbilirubinemia
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. KONSEP PENYAKIT
1. Pengertian
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana mengguningnya sklera, kulit
atau jaringa lain akibat perlekatan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin
dalam darah lebih dari 5mg/ml dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya gangguan
fungsional dari live, sistem biliary, atau sistem hematologi (Atika & jaya, 2016).
Hiperbilirubinemia merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi baru
lahir.pada pasien hiperbilirubinnemia neonatal diberi perawata dengan fototerapi dan
transpusi tukar (Kristianti,dkk, 2015).
Hiperbilirubinemia adalah suatu istilah yang mengacu terhadap kelainan
akumulasi bilirubin dalam darah. Karakteristik dari hiperbilirubinemia adalah
jaundice dan ikterus ( Wong, 2007).
2. Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh beracam-macam keadaan. Penyebab
yang sering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkopatibilitas
golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini dapat pula timbul
karena adanya pendarahan tertutup ( hematoma cepal, perdarahan subaponeuretik)
atau inkompatibilitas olongan darah Rh. Infeksi juga memegang peranan penting
dalam terjadinya hiperbilirubinemia; keadaan ini terutama terjadi pada penderita
sepsis dan gastroenteritis. Faktor lain yaitu hipoksia dan afiksia, dehidrasi dan asiosis,
hipoglikemia, dan polisitemia (Atikah & jaya, 2016).
Sedangkan menurut Price (2005) adan empat mekanisme umum yang
menyebabkan hiperbilirubinemia dan ikterus :
Pembentukan bilirubin yang berlebih
Gangguuan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh sel hati
Jangguan konjugasi bilirubin
Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor
intrahepatik dan ekskresi heparik yang bersift fungsional atau disebabkan oleh
obstruksi mekanis.
3. Menifestasi Klinik
a. Sistem Eliminasi
Pada bayi normal, feses akan berwarna kunig kehijauan, sementara pada bayi
denga hiperbilirubin biaasanya akan berwarna pucat. Hal ini disebabkan oleh bilirubin
tak larut dalam lemak akibat dari kerjahepar yang mengalami gangguan.
b. Sistem Pencernaan
Bayi dengan hiperbilirubinemia mengalami gangguan pada nutrisi, karena
biasanya bayi akan lebih malas dan tampak latergi, dan juga refkes sucking yang
kurang, sehingga nutrisi yang akan dicerna hanya sedikit. Dengan nutrisi yang kurang,
bayi biasa beresiko infeksi karena daya tahan tubuh yang lemah.
c. Sistem Integumen
Pada bayi normal, kulit bay akan tambah merah muda, akan tetapi pada bayi yang
mengalami hiperbilirubinemia, kulit bayi akan tampak berwarna kekuningan. Ini
disebabkan karena fungsi hepar yang belum sempurna, defisiensi protein “Y”, dan
jugatidak terdapat bakteri pemecah bilirubin dalam usus akibat dari imunitas usus,
sehingga bilirubin indirek terus bersirkulasi keseluruh tubuh.
d. Sistem Kerja Hepar (Ekskresi Hepar)
Pada bayi yang mengalami hiperbilirubin biasanya disebabkan oleh sistem kerja
hepar yang imatur, akibatnya hepar mengalami gangguan dalam pemecahan bilirubin,
sehingga bilirubin tetap bersirkulasi dengan pembuluh darah untuk menyebar
keseluruh tubuh.
e. Sistem Persyarafan
Bilirubin indirek yang berlebihan serta kurangnya penanganan akan terus
menyebar hingga kejaringan otak dan syaraf, hal ini sangat membahayakan bagi bayi ,
dan akan menyebabkan kren ikterus , dengan tanda dn gejala yaitu kejang-kejang,
penuruna kesadaran hingga bisa menyebabkan kematian.
(Widagdo, 2012 dalam, Ihsan, 2017).
5. Komplikasi
a. Bilirubin Encephalopathy ( komplikasi serius)
b. Kernicterus ; kerusakan neurologis; serebral palsy, retardasi mental, hyperaktif,
bicara lambat, tidak ada koordinasi otot, dan tangisan yang melengking.
c. Gangguan pendengaran dan penglihatan
d. Asfiksia
e. Hipotermi
f. Hipoglikemi
g. Kematian
6. Patofisiologi dan Pathway
Bilirubin di produksi dalam dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir
dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Karena sifat
hidrofobiknya, bilirubin tak terkojugasi di angkut dalam plasma, terikat erat pada
albumin. Ketika mencapai hati, bilirubin diangkut kedalam hepatosit, terikat dengan
ligandin. Setelah diekskresikan kedalam usus melalui empedu, bilirubin direduksi
menjadi tetrapirol tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Bilirubin tak terkonjugasi
ini dapat diserap kembali kedalam sirkulasi, sehingga meningkatkan bilirubin plasma
total (Mathindas, dkk, 2013).
Bilirubun mengalami peningkatan pada beberapa keadaan. Kondisi yang sering
ditemukan ialah meningkatnya beban berlebih pada sel hepar, yang mana sering
ditemukan bahwa sel hepar tersebut belum berfungsi sempurna. Hal ini dapat
ditemukan apabila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia,
pendeknya umur eritrosit pada janin atau bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber
lain, dan atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik (Atikah & jaya, 2015).
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah rusak.
Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa kehepar dengan cara berikatan
dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian di ekskresikan melalui
traktus gastrointestinal. Bayi yang memiliki usus yang belum sempurna, karena belum
terdapat bakteri pemecah, sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi
bilirubin indirek yang kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin
terus bersirkulasi (Atikah & jaya, 2016).
Pathway
Hemoglobin
Globin
Feco Biliverdian
8. Penatalaksanaan
a. Pentalaksanaa hiperbilirubinemia secara terapeutik :
1) Fototerapi
Dilakukan apabila kadar bilirubin indireklebih dari 10 mg% dan berfungsi untuk
menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urin dengan oksidasi foto pada
bilirubin dan biliverdin. Langkah-langkah pelaksanaannya fototerapi yaitu :
Membuka pakai neonatus agar seluruh bagian tubuh neonatus kena sinar
Menutup kedua mata dan gonat dengan penutup yang memantulkan cahaya
Jarak neonatus dengan lampu kurang lebih 40 cm
Mengubah posisi neonatus setiap 6 jam sekali
Mengukur suhu tubuh setiap 6 jam sekali
Kemudian memeriksa kadar bilirubin setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya
sekali dalam 24 jam
Melakukan pemeriksaan HB secara berkala terutama pada penderita yang
mengalami hemolisis
2) Fenoforbital
Dapat mengekskresi bilirubin dalam hati dan mempebesar konjugasi.
Meningkatkan sintesis hepatis glukoronil transferase yang mana dapat meningkatkan
bilirubin konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen dalam empedu, sintesis protein
dimana dapat meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubi. Fenobarbital tidak
begitu sering dianjurkan.
3) Tranfusi Tukar
Apabila sudah ditangani dengan fototerapi atau kadar bilirubi indirek lebih dari
20 mg %. langkah penatalaksanaan saat tranfusi tukar adalah sebagai berikut :
Sebaiknya neonatus dipuasakan 3-4 jam sebelum tranfusi tukar
Siapkan neonatus dikamar kusus
Pasang lampu pemanas dan arahkan kepada neonatus
Tidurkan neonatus dalam keadaan terlentang dan buka pakaian pada daerah perut
Lakukan tranfusi tukar sesuai dengan protap
Lakukan observasi keadaan umum neonatus, catat jumlah darah yang keluar dan
masuk
Lakukan pengawasan adanya perdarahan pada tali pusat
Periksa kadar Hb dan bilirubin setiap 12 jam.
(Suriadi dan Yulianni 2006 dalam Ihsan, 2017)
a. Identitas : nama ibu, no rekam medik, BB, TB, bayi dengan kelahiran prematur, BBLR,
Dll.
b. Keluhan Utama : bayi terlihat kuning di kulit dan sklera, latergi, malas menyusu, tampak
lemah, dan BAB berwarna pucat.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang : keadaan umum bayi lemah, sklera tampak kuning,
latergi, reflek hisap kurang, pada kondisi bilirubin indirek yang sudah 20 mg/dl dan
sudah sampai kejaringan serebral maka bayi akan mengalami kejang dan
peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan tangisan melengking.
2) Riwayat kesehatan dahulu : biasanya ibu bermasalah dengan hemolisis. Terdapat
gangguang hemolisis darah (ketidak sesuaian golongan Rh atau golongan darah
A,B,O. infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar, obstruksi saluran
pencernaan, ibu menderita DM. Mungkin preterm, bayi kecil usia untuk gestasi
(SGA), bayi dengan letardasiopertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk
usia gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu diabettes. Terjadi lebih sering pada bayi
pria daripaada bayi wanita.
3) Riwayat kehamilan dan kelahiran : antenatal care yang kurang baik, kelahiran
prematur yang dapat menyebabkan maturitas pada organ dan salah satunya hepar,
neonatus dengan berat badan lahir rendah, hipoksia serta asidosis yang menghambat
konjugasi bilirubin.
d. Pemeriksaaan Fisik
1) Kepala - leher : ditemukan adanya ikterus pada sklera dan mukosa.
2) Dada : ikterus dengan infeksi selain dada terlihat ikterus juga akan terlihat
pergerakan dada yang abnormal.
3) Perut : perut membuncit, muntah, kadang mencret yang disebabkan oleh gangguan
metabolisme bilirubin enterohepatik.
4) Ekstremitas : kelemahan pada otot.
5) Kulit : menurut rumus kramer apabila kuning terjadi di daerah kepala dan leher
termasuk ke grade satu, jika kuning pada daerah kepala serta badan bagian atas
digolongkan ke grade dua,. kuning terdapat pada kepala, badan bagian atas, bawah
dan tungkai termasuk ke grade tiga, grade empat jika kuning pada daerah kepala,
badan bagian atas dan bawah serta kaki dibawah tungkai, sedangkan grade 5 apabila
kuning terjadi pada daerah kepala, badan bagian atas dan bawah, tungkai tangan dan
kaki.
6) Pemeriksaan neurologis : latergi, pada kondisi bilirubin indirek yang sudah
mencapai jaringan serebral, maka akan menyebabkan kejang-kejang dan penurunan
kesadaran.
7) Urogenital : urin merwarna pekat dan tinja bewarna pucat. Bayi yang sudah
fototerapi biasanyan mengeluarkan tinja kekuningan.
e. Data Penunjang
1) Pemeriksaan kadar bilirubin serum (total) (normal = < 2 mg/dl).
2) Pemeriksaan darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi
3) Penentuan golongan darah dari ibu dan bayi
4) Pemeriksaan kadar enzim G6PD
5) Pada ikterus yang lama, uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin terhadap
galaktosemia. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur drah ,
urin, IT rasio, dan pemeriksaaan C reaktif protein (CPR).
2. Diagnosa
a. Hipovolemia b.d kekurangan intake
b. Termogulasi tidak efektif b.d proses penyakit
c. Ikterik neonatus b.d penurunan berat badan
d. Gangguan integritas kulit/ jaringan b.d efek terapi radiasi
3. Perencanaan Keperawatan
Evaluasi
Evaluasi adalah aktifitas yang direncanakan, berkelanjutan dan terarah ketika klien dan
profesional kesehatan menentukan kemajuan klien menuju pencapaian tujuan dan hasil
keefektifan rencana asuhan keperawatan dengan tindakan intelektual dalam melengkapi
proses keperawatan yang menandakan keberhasilan untuk diagnosa keperawatan, rencana
intervensi dan implementasinya.
Jenis-jenis dalam asuhan keperawatan antara lain
a. Evaluasi formatif (proses) adalah aktivitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas
pelayanan asuhan keperawatan. Evaluasi proses harus dilaksanakan segera setelah
perencanaan keperawatan di implementasikan untuk membantu menilai efektifitas
intervensi tersebut. Evaluasi proses harus terus menerus dilaksanakan hingga tujuan yang
telah di tentukan tercapai. Metode dalam pengumpulan data evaluasi proses terdiri atas
analisis rencana asuhan keperawatan , pertemuan kelompok, wawancara, observasi klien,
dan menggunkan form evaluasi. Ditulis pada catatan perawatan.
b. Evaluasi sumatif (hasil) rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisis status
kesehatan sesuai waktu pada tujuan. Ditulis pada catatan perkembangan. Fokus evaluasi
hasil (sumatif) adalah perubahan prilaku atau status kesehatan klien pada akhir asuhan
keperawatan .
DAFTAR PUSTAKA
Atikah, M,V & Jaya,P. 2015. Buku Ajar Kebidanan Pada Neonatus, Bayi, dan Balita. Jakarta.
CV. Trans Info Media
Ihsan,Z. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Neontus Dengan Hiperbilirubinemia di Ruang
Perinatologi IRNA Kebidanan dan Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2017.
(https://pustaka.poltekes-pdg.ac.id/indek.php?p=show_detail&id=4386&keywords=, diakses
10 Desember 2022)
Kristanti, H,M. Etika, R. Lestari,P. 2015. Hiperbilirubinemia Treatment Of Neonatus, Folia
Medica Indonesia Vol . 51
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Defenis dan Indikator Diagnostik
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Defenis dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Defenis dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI