Anda di halaman 1dari 26

HIPERBILIRUBINEMIA

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Imun dan Hematologi
Dosen Pengampu : Biyanti Dwi Winarsih, S. Kep., Ns., M. Kep.

Disusun Oleh : Kelompok III


1. Ahmad Riyanto
2. Puji Adriana
3. Safarotul Hidayah

STIKES CENDEKIA UTAMA KUDUS


PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
2015

KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmatNya. Hanya dengan karunia-Nya penulisan makalah ini yang berjudul hiperbilirubinemia
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Ada beberapa kendala yang menghambat
terselesainya karya tulis ini diantaranya keterbatasan pengetahuan serta sumber yang penulis
miliki.
Penulis menyadari bahwa tugas makalah ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa adanya
bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ilham Setyobudi, S. Kep,. M. Kes. Ketua STIKES.
2. Ns. Renny Wulan A, M. Kep. Ketua Prodi Ilmu Keperawatan.
3. Biyanti Dwi Winarsih, S. Kep. Ns., M. Kep. Selaku dosen pembimbing yang telah
dengan sabar bersedia membimbing dan memberikan saran-saran, motivasi, serta
nasihatnya yang sangat berguna bagi penulis.
4. Orang tua penulis tercinta yang selalu mendukung hingga saat ini dengan penuh
pengorbanan.
5. Teman-teman PSIK III A yang telah mendukung pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tugas makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca. Semoga tugas makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.

Kudus, Oktober 2015

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................. 2
BAB II PEMBHASAN
2.1 Pengertian Hiperbilirubinemia............................................................................. 3
2.2 Metabolisme Bilirubin.........................................................................................
2.3 Patofisiologi.........................................................................................................
2.4 Etiologi.................................................................................................................
2.5 Epidemiologi........................................................................................................
2.6 Manifestasi Klinis................................................................................................
2.7 Pathway................................................................................................................
2.8 Pemeriksaan Fisik................................................................................................
2.9 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................
2.10 Diagnosa Keperawatan......................................................................................
2.11 Intervensi Keperawatan......................................................................................
2.12 Penatalaksanaan.................................................................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan..............................................................................................................

3.2 Saran....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kadar bilirubin serum orang normal umumnya kurang lebih 0,8 mg % (17mmol/l),
akan tetapi kira-kira 5% orang normal memiliki kadar yang lebih tinggi (1 3 mg/ dl).
Bila penyebabnya bukan karena hemolisis atau penyakit hati kronik maka kondisi ini
biasanya disebabkan oleh kelainan familial metabolism bilirubin,yang paling sering
adalah sindrom gilbert. Sindrom lainnya juga sering ditemukan, prognasisnya baik.
Diagnosis yang akurat terutama pada penyakit hati kroniksangat penting untuk
penatalaksanaan pasien. Adanya riwayat keluarga, lamanya penyakit serta tidak
ditemukan adanya pertanda penyakit hati dan splenomegali, serum transaminase normal
dan bila perlu dilakukan biopsi hati. (Aru W. sudoyo)
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir. Sekitar 25 50% bayi baru lahir menderita ikterus pada
minggu pertama. Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar plasma bilirubin, standar
deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari 90
persen. Dalam perhitungan bilirubin terdiri dari bilirubin direk dan bilirubin indirek.
Peningkatan bilirubin indirek terjadi akibat produksi bilirubin yang berlebihan, gangguan
pengambilan bilirubin oleh hati, atau kelainan konjugasi bilirubin. Setiap bayi dengan
ikterus harus mendapat perhatian, terutama ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama
kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin indirek meningkat 5 mg/dL dalam 24 jam dan
bilirubin direk > 1 mg/dL merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adannya
ikterus patologis.
Hiperbilirubinemia dianggap patologis apabila waktu muncul, lama, atau kadar
bilirubin serum yang ditentukan berbeda secara bermakna dari ikterus fisiologis. Gejala
paling mudah diidentifikasi adalah ikterus yang didefinisikan sebagai kulit dan selaput
lendir menjadi kuning. Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan pengertian hiperbilirubinemia?
b. Bagaimana metabolism bilirubin?

c. Bagaimana patofisiologi hiperbilirubinemia?


d. Bagaimana etiologi hiperbilirubinemia?
e. Bagaimana epidemiologi hiperbilirubinemia?
f. Bagaimana manifestasi klinis hiperbilirubinemia?
g. Bagaimana pathway dari hiperbilirubinemia?
h. Bagaimana pemeriksaan fisik dari hiperbilirubinemia?
i. Bagaimana pemeriksaan laboratorium hiperbilirubinemia?
j. Bagaimana diagnose keperawatan hiperbilirubinemia?
k. Bagaimana intervensi keperawatan hiperbilirubinemia?
l. Bagaimana penatalaksanaan hiperbilirubinemia?
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian hiperbilirubinemia.
b. Untuk mengetahui metabolism bilirubin
c. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit hiperbilirubinemia.
d. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit hiperbilirubinemia.
e. Untuk mengetahui epidemiologi dari penyakit hiperbilirubinemia.
f. Untuk mengetahui manifestasi klinis hiperbilirubinemia.
g. Untuk mengetahui pathway penyakit hiperbilirubinemia.
h. Untuk mengetahui pemeriksaan fisik dari penyakit hiperbilirubinemia.
i. Untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium hiperbilirubinemia.
j. Untuk mengetahui diagnose keperawatan hiperbilirubinemia.
k. Untuk mengetahui intervensi keperawatan hiperbilirubinemia.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga
disebut Excessive Physiological Jaundice. Digolongkan sebagai hiperbillirubenemia
patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia
neonates >95% menurut Normogram Bhutani.
Hiperbilirubinemia adalah salah satu masalah paling umum yang dihadapi dalam
jangka bayi yang baru lahir. Secara historis, manajemen berasal ari studi tentang toksisitas
bilirubin pada dengan penyakit hemolitik. Rekomendasi yang lebih baru mendukung
penggunaan terapi yang kurang intensif dalam jangka bayi yang sehat dengan sakit
kuning. (Ely Susan, 2011)
Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi bayi baru lahir dengan kadar bilirubin
serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus, yang
dikenal dengan ikterus neonatorum patologis. Hiperbilirubimenia yang merupakan suatu
keadaan meningkatnya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskular, sehingga
konjungtiva, kulit, dan mukosa akan berwarna kuning. Keadaan tersebut juga bisa
berpotensi besar terjadi ikterus, yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek
pada otak. Bayi yang mengalami hiperbilirubinemia memiliki ciri sebagai berikut :
adanya ikterus terjadi pada 24 jam pertama, peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10
mg% atau lebih setiap 24 jam, konsentrasi bilirubin serum 10 mg% pada neonatus yang
cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus yang kurang bulan, ikterus disertai dengan
proses hemolisis kemudian ikterus yang disertai dengan keadaan berat badan lahir kurang
dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom
gangguan pernafasan, dan lain-lain.

2.2 Metabolisme Bilirubin


Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian
lagi dari hem bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin
tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain.
Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin
indirek. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat
lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan
sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan
dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh
reseptor membrane sel hepar dan masuk ke dalam hepar. Segera setelah ada dalam sel
hepar terjadi persenyawaan ligandin dan glutation hepar lain yang membawanya ke
retikulum endoplasma hepar, tempat terjadinya konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya
enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis
bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal.
Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi melalui duktus hepatikus ke
dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urubilinogen dan keluar dengan tinja
sebagai sterkobilin. Dalam usus, sebagian di absorpsi kembali oleh mukosa usus dan
terbentuklah proses absorpsi entero hepatik.

Eritrosit
Hemoglobin

Heme

Fe

Globin

Biliverdin
Bilirubin Indirek
Mengikat

Hepar
Membran Sel
Berikatan dengan Ligandin

Siklus
Enterohepatik

Retikulo Endoplasma
Enzim Glukoronidin Transferase
Bilirubin Direk
Empedu
Usus/ Duodenum

Feses

Enzim Glukoronidase
Bilirubin Indirek

2.3 Patofisiologi
a. Saat eritrosit hancur di akhir siklus neonatus, hemoglobin pecah menjadi fragmen
globin (protein) dan heme (besi).
b. Fragmen heme membentuk bilirubin tidak terkonjugasi (indirek), yang berikatan
dengan albumin untuk dibawa ke sel hati agar dapat berkonjugasi dengan
glukuronid, membentuk bilirubin direk.
c. Karena bilirubin terkonjugasi dapat larut dalam lemak dan tidak dapat
diekskresikan di dalam urine atau empedu, bilirubin ini dapat keluar menuju
jaringan ekstravaskular, terutama jaringan lemak dan otak, mengakibatkan
hiperbilirubinemia.

d. Hiperbilirubinemia dapat berkembang ketika :

Faktor tertentu-tertentu mengganggu konjugasi dan merebut sisi yang


mengikat albumin, termasuk obat (seperti aspirin, penenang, dan
sulfonamide) dan gangguan (seperti hipotermia, anoksia, hipoglikemia,
dan hipoalbuminemia)

Peu nurunan fungsi hati yang menyebabkan penurunan konjugasi bilirubin.

Peningkatan produksi atau inkompatibilitas Rh atau ABO.

Obstruksi bilier atau hepatitis mengakibatkan sumbatan pada aliran


empedu yang normal.

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin.
Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut
dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin
dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu

zat

ini

beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin
dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin keasam
glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri
kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang
ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin.
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi
kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati

(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal.
Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan
hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika
konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi
ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning.
2.4 Etiologi
Penyebab dari hiperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara garis besar,
penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :
a. Produksi bilirubin yang berlebihan.
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
emolisis yang meningkat

pada inkompatibilitas Rh, ABO,

golongan

darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat
untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan
infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom CrigglerNajjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan
penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

2.5 Epidemiologi
Hiperbilirubinemia neonatal sangat umum karena hampir setiap bayi baru lahir
mengalami tingkat serum bilirubin tak terkonjugasi lebih dari 30 mmol / L (1,8 mg / dL)
selama minggu pertama kehidupan. Angka kejadian sulit untuk membandingkan karena
banyak peneliti berbeda yang tidak menggunakan definisi yang sama untuk
hiperbilirubinemia neonatal signifikan atau penyakit kuning. Selain itu, identifikasi bayi
yang akan diuji tergantung pada pengakuan visual dari penyakit kuning oleh penyedia
layanan kesehatan, yang sangat bervariasi dan tergantung baik pada perhatian pengamat
dan pada karakteristik bayi seperti ras dan usia kehamilan.
Dalam sebuah studi tahun 2003 di Amerika Serikat, 4,3% dari 47.801 bayi memiliki
total serum bilirubin. dalam rentang di mana fototerapi direkomendasikan oleh tahun
1994 American Academy of Pediatrics (AAP) pedoman, dan 2,9% memiliki nilai dalam
rentang di mana tahun 1994 AAP pedoman menyarankan fototerapi mempertimbangkan.
Di dunia insiden bervariasi dengan etnisitas dan geografi. Insidensi lebih tinggi pada
orang Asia Timur dan Indian Amerika dan lebih rendah pada orang kulit hitam. Yunani
yang hidup di Yunani memiliki insiden yang lebih tinggi daripada yang keturunan Yunani
yang tinggal di luar Yunani. Insidensi lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di
ketinggian. Pada tahun 1984, Moore dkk melaporkan 32,7% bayi dengan kadar bilirubin
serum lebih dari 205 umol / L (12 mg / dL) pada 3100 m dari ketinggian.
Kernikterus terjadi pada 1,5 dari 100.000 kelahiran di Amerika Serikat. Kematian dari
neonatal jaundice fisiologis sebenarnya tidak harus terjadi. Kematian dari kernikterus
dapat terjadi, terutama di negara-negara kurang berkembang sistem perawatan medis.
Dalam sebuah penelitian kecil dari pedesaan Nigeria, 31% bayi dengan ikterus klinis diuji
memiliki G-6-PD kekurangan, dan 36% bayi dengan G-6-PD kekurangan meninggal
dengan kernikterus diduga dibandingkan dengan hanya 3% dari bayi dengan G-6-PD
yang normal skrining hasil tes.
Insiden penyakit kuning neonatal meningkat pada bayi dari Asia Timur, Indian,
Amerika, dan keturunan Yunani, meskipun yang terakhir tampaknya hanya berlaku untuk
bayi yang lahir di Yunani dan dengan demikian mungkin lingkungan bukan etnis di asal.
Bayi kulit hitam yang terpengaruh lebih sering dari pada bayi putih. Untuk alasan ini,

penyakit kuning yang signifikan dalam manfaat bayi hitam evaluasi lebih dekat dari
kemungkinan penyebab, termasuk G-6-PD kekurangan.
Risiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi pada bayi lakilaki. Ini tidak muncul terkait dengan tingkat produksi bilirubin, yang mirip dengan yang
ada di bayi perempuan. Risiko penyakit kuning neonatal signifikan berbanding terbalik
dengan usia kehamilan.
2.6 Manifestasi Klinis
1. Ikterus terjadi 24 jam.
2. Peningkatan kosentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam.
3. Kosentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonarus kurang bulan dan 12,5
mg% pada neonatus cukup bulan.
4. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompabilitas darah, defisiensi enzim G6-PD (Glukosa 6 Phosphat Dehydrogenase))
5. Ikterus yang disertai keadaan berikut :
-

Berat lahir kurang dari 2000 gram

Masa gestasi kurang dari 36 minggu

Infeksi

Gangguan pernafasan

2.7 Pathaway
Terlampir
2.8 Pemeriksaan Fisik
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah
beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan
terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang
kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit
lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.

Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian. Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempattempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut, dan lain-lain. Tempat
yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti
penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena

saat timbulnya

ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.


2.9 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serumbilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang
tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemi berat. Namun pada bayi yang
mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi
sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin.
Transcutaneous bilirubin (TcB) dapat digunakan untuk menentukan kadar serum
bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk
kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 mol/L), dan tidak reliable pada kasus ikterus
yang sedang mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab
ikterus antara lain :
a. Golongan darah dan Coombs test.
b. Darah lengkap dan hapusan darah.
c. Hitung retikulosit, skrining G-6-PD.
d. Bilirubin direk.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi
dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan
pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.
2.10 Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan menelan

b. Kekurangan volume cairan.


c. Ketidak efektifan termoregulasi b.d efek foto terapi.
d. Kerusakan integritas kulit b.d hiperbilirubinemia.
e. Risiko cidera.

2.11Intervensi Keperawatan
NO.

Diagnosa Keperawatan

Tujuan dan Kriteria

Intervensi Keperawatan

Hasil
1.

Kekurangan volume cairan


Definisi : penurunan cairan

NOC
Fluid balance

intravascular, interstitial, dan/


atau intraseluler. Ini mengacu
pada dehidrasi, kehilangan cairan
saat tanpa perubahan pada
natrium.
Batasan karakteristik
Perubahan status mental

Hydration

Timbang popok/ pembalut


jika diperlukan

Food and Fluid Intake

Mempertahankan

normal

mukosa, nadi adekuat,


tekanan darah ortostatik),

BJ urine normal, HT

Tekanan darah, nadi,


suhu tubuh dalam

Penurunan turgor kulit

batas normal

Penurunan turgor lidah

Tidak ada tanda


dehidrasi,

jika diperlukan

Monitor vital sidn

Monitor masukan
manan/cairan dan hitung
intake kalori harian

Elastisitasturgor kulit

Penurunan pengisisan vena

baik, membrane

Membrane mukosa kering

ada rasa haus yang

Kolaborasikan pemberian
cairan IV

mukosa lembab, tidak


berlebihan

Monitor status hidrasi


(kelembaban membran

urine output sesuai

Penurunan tekanan nadi

Pertahankan catatan intake


dan output yang akurat

Kriteria Hasil :

Penurunan tekanan darah

Penurunan saluran urin

Fluid management

Nutritional Status :

dengan usia dan BB,

Penurunan volume nadi

NIC

Monitor status nutrisi


Berikan cairan IV pada
suhu ruangan

Kulit kering
Peningkatan hematokrit

Dorong masukan oral

Peningkatan suhu tubuh

Berikan penggantian

Peningkatan frekuensi nadi


Peningkatan konsentrasi urin

nesogatrik sesuai output

Dorong keluarga untuk


membantu pasien makan

Tiba-tiba (kecuali pada ruang


ketiga)
Haus
Kelemahan
Faktor yang berhubungan :
Kehilangan cairan aktif
Kegagalan mekanisme regulasi

2.

Ketidak efektifan
Termoregulasi

NOC

NIC

Hidration

Definisi : fluktuasi suhu diantara


hepotermi dan hipetermia.
Batasan Karakteristik

(pengaturan suhu)
Adherence behavior

Immune status

Dasar kuku diasnotik

Risk control

Fruktuasi suhu tubuhdi atas dan

Risk detection

di bawah kisaran normal


Kulit kemerahan

Kriteria hasil :
Keseimbangan antara

Hipertensi

produksi panas, panas

Peningkatan suhu tubuh diatas

kehilangan panas

kisaran normal
Penuruna suhu tubuh di bawah
kisaran normal

yang diterima, dan

Seimbang antara
produksi panas, panas

Usia yang ekstrem


Fluktuasi suhu lingkungan
Penyakit
Trauma

Monitor suhu minimal tiap


2 jam

Rencanakan monitoring
suhu secara kontinyu

Monitor TD, nadi, dan RR

Monitor warna dan suhu


kulit

Monitor warna dan suhu


kulit

Monitor tanda-tanda
hipertermi dan hipotermi

yang diterima dan


kehilangan panas

Faktor yang berhubungan

Temperature regulation

selama 28 hari

Tingkatkan intake cairan


dan nutrisi

pertama kehidupan

Keseimbangan asam

mencegah hilangnya

basa bayi baru lahir


Temperature stabil :

kengatan tubuh

36,5 37 C

warna kulit
Glukosa darah stabil

Ajarkan pada pasiwn cara


mencegah keletihan akibat
panas

Tidak ada kejang


Tidak ada perubahan

Selimuti pasien untuk

Diskusikan tentang
prntingnya pengaturan suhu
dan kemungkinan efek
negative dari kedinginan

Pengendalian risiko :

Beritahu tentang indikasi

hipertermia,

terjadinya keletihan dan

hypothermia, proses

penanganan emergency

penularan, dan

yang diperlukan

paparan sinar matahari

Ajarkan indikasi dari


hipotermi dan penanganan
yang diperlukan

Berikan anti piretik jika


perlu

3.

Kerusakan integritas kulit


Definisi: Perubahan/ gangguan
epidermis dan atau dermis
Batasan karakteristik:
Kerusakan lapisan kulit (dermis)
Gangguan permukaan kulit
(epidermis)
Invasi struktur tubuh
Faktor yang berhubungan :
Eksternal :
-

Zat kimia, Radiasi

Usiayang ekstrim

Kelembapan

Hipertermia, Hipotermia

NOC
Tissue Integrity : Skin

NIC
Pressure Management

and Mucous

Anjurkan pasien untuk

Membranes

menggunakan pakaian yang

Hemodyalis akses

longgar
Hindari kerutan pada

Kriteria Hasil :

tempat tidur

Integritas kulit yang

Jaga kebersihan kulit agar

baik bisa

tetap bersih dan kering

dipertahankan
(sensasi, elastisitas,

Mobilitas pasien (ubah

temperature, hidrasi,

posisi pasien) setiap dua

pigmentasi)dan

jam sekali

perawatan alami
Tidak ada luka/lesi
pada kulit
Perfusi jaringan baik

Monitor kulit akan adanya


kemerahan
Oleskan lotion atau
minyak/baby oil pada deah
yang tertekan

Faktor mekanik (mis.gaya


gunting [shearing forces]

Menunjukkan
pemahaman dalam

Monitor aktivitas dan

Medikal

Lembab

Imobilitas fisik

Internal :

proses perbaikan kulit

mobilisasi pasien

dan mencegah

Monitor status nutrisi

terjadinya sedera

pasien

berulang

Memandikan pasien

Mampu melindungi

dengan air hangat dan

kulit dan
-

Perubahan status cairan

Perubahan pigmentasi

Perubahan turgor

sabun

mempertahankan
kelembaban kulit

Insision site care

alami

Membersihkan, memantau
dan meningkatkan

Faktor perkembangan

Kondisi ketidak seimbangan

prosespenyembuhan pada
luka yang ditutup dengan
jahitan, strip atau straples

nutrisi
(mis.,obesitas,emasisasi)
-

Penurunan imunologis

Penurunan sirkulasi

Monitor proses penyembuhan area insisi

Monitor tanda dan gejala


infeksi pada area insisi

Kondisi gangguan metabolic

Gangguan sensasi

Tonjolan tulang

Bersihkan area sekitar


jahitan atau staples,
menggunaka lidi kapas
steril

Gunakan preparat anti


septik, sesuai program

Ganti balutan pada interval


waktu yang sesuai atau
biarkan luka tetap terbuka
(tidak dibalut) sesuai
program

Dialysis acces Maintenance


4.

Risiko cidera

NOC

Definisi : berisiko mengalami Risk control

Environment management

cidera sebagai akibat kondisi Kriteria hasil :

(Manajemen Lingkungan)

lingkungan
sumber

yang

adaptif

berinteraksi Klien terbebas dari


dan

sumber

individu

Sediakan lingkungan yang


aman untuk pasien

Identifikasi kebutuhan

menjelaskan cara/

keamanan pasien, sesuai

metode untuk

dengan kondisi fisik dan

Biologis (missal ; tingkat

mencegah injury/

fungsi kognitif pasien dan

imunisasi

cedera

riwayat penyakit terdahulu

Eksternal
-

cedera
Kien mampu

Faktor risiko :

komunitas,

mikroorganisme)

Klien mampu

Zat kimia

menjelaskan factor

Manusia

risiko dari lingkungan/

Cara pemindahan

perilaku personal

Nutrisi

Internal :

2.12

NIC

pasien

Memodifikasi gaya
hidup untuk mencegah

Profil darah yang abnormal

Injury

Usia perkembangan

Mampu mengenali

Disfungsi efektor

perubahan status

Disfungsi integratif

kesehatan

Malnutrisi

Penatalaksanaan
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut :
a.

Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya


lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus
yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang

b.

dipakai lagi.
Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin(misalnya
menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan albumin untuk

memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa


hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses
ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin
plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam
ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB,
c.
d.
e.

f.

sebelum maupun sesudah terapi tukar.


Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.
Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak
toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar.
Pada umumya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :
1. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek 20 mg%
2. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3 - 1 mg%/jam.
3. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.
4. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat < 14 mg% dan uji Coombs direct
positif.
Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin merupakan kompetitor
inhibitif terhadap heme oksigenase. Ini masih dalam penelitian dan belum

g.

digunakan secara rutin.


Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara sampai 2 hingga 4
jam telah digunakan untuk mengurangi level bilirubin pada janin dengan penyakit
hemolitik isoimun. Mekanismenya belum diketahui tetapi secara teori
immunoglobulin menempati sel Fc reseptor pada sel retikuloendotel dengan
demikian dapat mencegah lisisnya sel darah merah yang dilapisi oleh antibody.
Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit. Dalam
perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan
membuka pakaian bayi.
2. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.
3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik
untuk mendapatkan energi yang optimal.
4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang
terkena cahaya dapat menyeluruh.
5. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
6. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
7. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan

Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga
disebut Excessive Physiological Jaundice. Digolongkan sebagai hiperbillirubenemia
patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia
neonates >95% menurut Normogram Bhutani.
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin.
Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam
tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan
menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin keasam glukoronat (bilirubin
terkonjugasi, direk).
Penyebab dari hiperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara garis besar,
penyebab dari hiperbilirubinemia adalah : produksi bilirubin yang berlebihan, gangguan
dalam proses uptake dan konjugasi hepar, gangguan transportasi, dan gangguan dalam
ekskresi.
3.2 Saran
Penulis berharap jika perawat menemukan gejala hiperbilerubinemia, perawat dapat
mendiagnosa dan dapat melakukan intervensi teerhadap seseorang tersebut. Dan penulis
juga berharap makalah ini dapar bermanfaan bagi pembaca terutama bagi perawat.

DAFTAR PUSTAKA
Behrman, dkk. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Nelson Vol I. Edisi 15. Jakarta : EGC

https://asus10.wordpress.com/asuhan-keperawatan/askep-pada-kasus-bayihiperbilirubinemia/ Diakses pada tanggal 01 Oktober 2015 pukul 16.20 WIB


https://cnennisa.files.wordpress.com/2007/08/asuhan-keperawatan-denganhiperbilirubin.pdf Diakses pada tanggal 01 oktober 2015 pukul 16.30 WIB
Nurarif, Amin Huda. Hardhi Kusuma. 2013. Panduan Penyusunan Asuhan
Keperawatan Profesional. Yogyakarta : Mediaction Publishing
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37957/4/Chapter%20II.pdf Diakses
pada tanggal 01 oktober 2015 pukul 16.45 WIB
Sudoyo, Aru W., dkk. 2010. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing
Susanty, Ely. 2011. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Nanda Nic Noc. Yogyakarata :
Modya Karya

Anda mungkin juga menyukai