Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN

ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI DENGAN DIAGNOSA MEDIS


HIPERBILIRUBIN DI RSUD HAJI SURABAYA

Disusun guna Memenuhi Persyaratan Ketuntasan


Stase Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal
Program Studi Pendidikan Profesi Bidan

Disusun oleh:
Nama : Ratih Tri Oktaviani
NIM : 2315901047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN


STIKES NGUDIA HUSADA MADURA
TAHUN 2024
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hiperbilirubin merupakan istilah yang digunakan untuk ikterus
neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan
kadar bilirubin. Hiperbilirubin bisa disebabkan proses fisiologis dan
patologis. Hiperbilirubin pada bayi baru lahir merupakan penyakit yang
disebabkan oleh penimbunan bilirubin dalam jaringan tubuh sehingga
kulit,mukosa, dan sklera berubah warna menjadi kuning (Sukadi, 2012).
Berdasarkan data WHO (World Health Organization) Angka Kematian
Bayi pada negara ASEAN (Association of South East Asia Nations) seperti
di Singapura 3 per 1000 kelahiran hidup, di Malaysia 5,5 per 1000 kelahiran
hidup, Thailand 17 per 1000 kelahiran hidup, Vietnam 18 per 1000 kelahiran
hidup, dan Indonesia 27 per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi di
Indonesia masih tinggi dari negara ASEAN lainnya, jika dibandingkan
dengan target dari MDGs (Millenium Development Goals) tahun 2015 yaitu
23 per 1000 kelahiran hidup (Kementrian Kesehatan, 2015). Angka kejadian
Hiperbilirubin didunia masih tinggi. Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus
yang lahir setiap tahunnya terdapat 65 % terkena ikterik (Kementrian
Kesehatan, 2012)
Di Indonesia, dari seluruh kematian bayi, sebanyak 57% meninggal pada
masa bayi baru lahir (usia dibawah 1 bulan. AKB di Provinsi DKI Jakarta
menurut data Kesga Dinkes DKI Jakarta tahun 2014 sebesar 6,88 per 1.000
kelahiran hidup (Kementrian Kesehatan, 2015). Menurut profil kesehatan
Indonesia insiden hiperbilirubin di Indonesia tahun 2007 berkisar 10 % – 13
%, sedangkan angka kejadian Hiperbilirubin di DKI Berdasarkan data
registrasi Neonatologi bulan Desember 2014 sampai November 2015, di
antara 1093 kasus neonatus yang dirawat, didapatkan 165 (15,09%) kasus
dengan ikterus neonatorum (Kementrian Kesehatan, 2012).
Menurut Dinas Kesehatan masalah utama bayi baru lahir pada masa
perinatal yang dapat menyebabkan kesakitan, kecatatan dan kematian,
penyebab kematian neonatal 0-6 hari adalah asfiksia, hiperbilirubin,
hipotermia, tetanus neonatorum, infeksi/sepsis, trauma lahir, BBLR, dan
kelainan kongenital (Kementrian Kesehatan, 2012).
Berdasarkan teori ada beberapa faktor penyebab terjadinya Hiperbilirubin
pada bayi baru lahir yang pertama yaitu faktor maternal diantaranya
inkompabilitas ABO dan Rh, juga pemberian ASI. Faktor selanjutnya yaitu
faktor neonatus seperti bayi kurang bulan, usia gestasi, juga BBLR, dan yang
terakhir faktor perinatal seperti infeksi, hipoglikemia serta jenis persalinan
(Sukadi, 2012);(Sastroasmoro S et al, 2004).
Hal ini didukung juga oleh penelitian yang dilakukan oleh Lilik Susilowati
ditemukan bahwa ada hubungan prematuritas, induksi persalinan, BBLR dan
asfiksia dengan kejadian Hiperbilirubin. Penelitian Siska Yanti
mengemukakan faktor penyebab yang berhubungan dengan kejadian
Hiperbilirubin diantaranya inkompabilitas ABO dan Rh, usia gestasi, jenis
persalinan, infeksi dan gangguan pemberian ASI pada bayi (Yanti, 2016);
(Sulisilowati, 2017).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis merumuskan
masalah dalam penelitian sebagai berikut “Asuhan Kebidanan Pada Bayi
Dengan Diagnosa hiperbilirubin di RSUD Haji Surabaya”
C. Tujuan
1) Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengimplementasikan asuhan
kebidanan pada Kegawatdaruratan Maternal Neonatal dengan standar
pelayanan kebidanan serta mendokumentasikan hasil asuhannya dalam
bentuk SOAP.
2) Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan mengenai teori dan konsep dasar asuhan kebidanan
pada ibu hamil
b. Mengintegrasikan teori dan manajemen asuhan kebidanan serta
mengimplementasikan pada kasus yang di hadapi.
B. Manfaat
1) Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penulisan ini data dijadikan acuan untuk pengembangan keilmuan
dimasa yang akan datang terutama pada pelayanan kebidanan.
2) Bagi Penulis
Penulisan yang dilakukan diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman mengenai Kegawatdaruratan Maternal Neonatal yang sesuai
dengan kondisi yang dialami.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit
1. Konsep Teori Hiperbilirubin
a. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan
kadar bilirubin >5 mg/dL pada darah, yang sering ditandai oleh adanya
ikterus. Pada bayi baru lahir, hiperbilirubinemia sering terjadi oleh
karena kemampuan hati bayi yang masih kurang untuk mengekskresikan
bilirubin yang terus diproduksi (Mathindas et al, S, 2013).
Hiperbilirubinemia adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain
akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam
darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya
gangguan fungsional dari hepar, sistem biliary, atau sistem hematologi
(Rukiyah & Yulianti, 2012).
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaaan kadar bilirubin serum
total yang lebih 10% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus
pada kulit, sklera dan organ lain, keadaan ini mempunyai potensi
menimbulkan kern ikterus (Ridha, 2014). Menutut (Suriadi & Yuliani,
2010) hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah
yang kadar nilainya lebih dari normal.
b. Anatomi Fisiologi
Gambar 2.1 Anatomi Hepar (Sulaiman, dkk, 2012)
1) Anatomi hepar
Hati atau hepar adalah kelenjar terbesar dalam
tubuh. Letaknya sebagian besar diregio hipokondria
dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria
sinistra. Hepar mempunyai 5 permukaan, fasies superior,
fasies dekstra, fasies anterior, fasies posterior, dan fasies
inferior. Hepar mempunyai 2 lobi, yaitu lobus dekstra
dan lobus sinistra (Sulaiman dkk, 2012).
2) Fungsi hati
Hati berfungsi untuk mengubah zat makanan yang
di absorbsi dari usus dan yang di simpan dari suatu
tempat dalam tubuh di keluarkan sesuai dengan
pemakaiannya, mengubah zat buang dan bahan racun
untuk diekskresikan dalam empedu dan urine,
menghasilkan enzim glikolik glukosa menjadi glikogen,
sekresi empedu, garam empedu di buat di hati di bentuk
dalam retikulo endulium di alirkan ke empedu untuk
menyimpan berbagai zat seperti mineral vitamin-vitamin
yang larut dalam lemak (vitamin A,D,E,K) glikogen dan
berbagai racun yang dapat di keluarkan dalam tubuh
untuk pembentukan ureum sendiri hati menerima asam
amino di ubah menjadi ureum , di keluarkan dalam darah
melalui ginjal dalam bentuk urine (Sulaiman dkk, 2012).
Kadar bilirubin adalah kadar bilirubin total darah, yaitu
bilirubin terkonjugasi dan bilirubin tidak terkonjugasi.
Metode pengukuran yang digunakan adalah fotometri
atau spektrofotometri yang mengukur intensitas warna
azobilirubin. Satuan yang digunakan mg/dL (skala ratio).
Fungsi bilirubin sendiri adalah ion yang sigunakan untuk
mengikat ion lain yang bersifat negatif atau toksik untuk
di keluarkan.
3) Metabolisme bilirubin
Sebagian besar produksi bilirubin merupakan akibat
degradasi hemoglobin pada sistem retikuloendotelial.
Tingkat penghancuran hemoglobin pada neonatus lebih
tinggi dari pada bayi yang lebih tua. Sekitar 1 g
hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek
yaitu bilirubin yang larut dalam lemak tetapi tidak larut
dalam air. Transportasi bilirubin indirek melalui ikatan
dengan albumin.
Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam
hepatosit, sedangkan albumin tidak. Di dalam sel,
bilirubin akan terikat pada ligandin, serta sebagian kecil
pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini
merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentra-si
dan afinitas albumin plasma dan ligandin dalam
hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit
dikonjugasi dan diekskresi ke dalam empedu. Di dalam
sitosol hepatosit, ligandin mengikat biliru- bin sedangkan
albumin tidak.
Di dalam hepatosit terjadi konjugasi lanjut dari
bilirubin menjadi bilirubin diglukoronid. Sebagian kecil
bilirubin ter- dapat dalam bentuk monoglukoronid, yang
akan diubah oleh glukoronil-transferase menjadi
diglukorinid. Enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin
diglukorinid, yaitu uridin difosfat-glukoronid transferase
(UDPG-T), yang mengatalisis pembentuk-an bilirubin
monoglukoronid. Sintesis dan ekskresi diglukoronid
terjadi di kanalikuli empedu.
Isomer bilirubin yang dapat mem-bentuk ikatan
hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresi
langsung ke dalam empedu tanpa konjugasi, misalnya
isomer yang terjadi sesudah terapi sinar. Setelah
konjugasi bilirubin menjadi bilirubin direk yang larut
dalam air, terjadi ekskresi segera ke sistem empedu
kemudian ke usus. Di dalam usus, bilirubin direk ini
tidak di absorbsi sebagian bilirubin direk dihidrolisis
menjadi bilirubin indirek dan direabsorbsi, siklus ini
disebut siklus enterohepatik (Mathindas et al, S, 2013).
4) Derajat Kremer

Tabel 2.1 derajat kremer (Nurarif dan Kusuma, 2015)

Derajat Bagian tubuh yang kuning Kadar bilirubin (mg%)


1 Kepala dan leher 5-7 mg%
2 Daerah 1 dan badan atas 7-10 mg%
3 Daerah 1,2 + badan bagian 10-13 mg%
bawah dan tungkai
4 Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki 13-17 mg%
di
bawah dengkul
5 Daerah 1,2,3,4 = telapak >17 mg%
tangan dan kaki

Gambar 2.2 Derajat kremer ikterus


(Nurarif dan Kusuma, 2015)

b. Etiologi
Menurut Rukiyah & Yulianti (2012)
hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam–macam
keadaan. Penyebab yang sering ditemukan disisni adalah
hemolisis yang timbul akibat inkompabilitas golongan darah
ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini juga dapat
timbul akibat perdarahan tertutup (hematom cefal,
pendarahan subaponeurotik) atau inkompabilitas darah Rh,
infeksi juga memegang peran penting dalam terjadinya
hiperbilirubinemia, keadaan ini terutama pada penderita
sepsis dan gastroenteristis. Beberapa faktor lain adalah
hipoksia / anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia dan
polisite. Adapula kadar bilirubin merupakan gejala fisiologis
yang dipengaruhi oleh banyak faktor/ multifaktorial. AAP (
American Academy of pediatrics) menyatakan terdapat
beberapa faktor utama atau faktor risiko mayor penyebab
hiperbilirubinemia, diantaranya adalah :
1) Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau
bilirubin transkutaneus terletak pada daerah risiko tinggi.
2) Ikterus muncul dalam 24 jam pertama kehidupan.
3) Incompatibilitas golongan darahdengan tes antiglobulin
direk yang positif atau penyakit hemolotik lainnya
( defisiensi G6PD).
4) Umur kehamilan 35 -36 minggu.
5) Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi
6) Sefal hematom atau memar yang bermakna.
7) ASI eksklusif dengan cara dan perawatan yang tidak baik
dan kehilangan berat badan yang berlebihan.
8) Ras Asia Timur.
Sedangkan untuk faktor Risiko minor adalah :
1) Sebelum pulang, kadar bilirubin serum
total atau bilirubin transkutaneus terletak
pada daerah risiko sedang.
2) Umur kehamilan 37 – 38 minggu.

3) Sebelum pulang neonatus tambak kuning.

4) Riwayat anak sebelumnya kuning.


5) Bayi makrosomia dari ibu DM.
6) Umur ibu ≥ 25 tahun.
Faktor risiko kurang ( Faktor faktor ini berhubungan
dengan menurunnya risiko ikterus yang signifikan,
besarnya risiko sesuai dengan urutan yang tertulis makin
ke bawah risiko makin rendah ).
a. Kadar bilirubin serum total atau bilirubin
transkutaneus terletak pada daerah risiko rendah.
b. Umur kehamilan ≥ 41 minggu.
c. Bayi mendapat susu formula penuh.
d. Kulit hitam.
e. Bayi dipulangkan setelah 72 jam.
c. Klasifikasi
Klasifikasi dari ikterik menurut Rukiyah &
Yulianti (2012) ada 4 yaitu:
1) Ikterus Neonatorum yaitu disklorisasi pada kulit atau
organ lain karena penumpukan bilirubin.
2) Ikterus fisiologis yaitu ikterus yang timbul pada hari
kedua atau ketiga dan tampak jelas pada hari kelima
sampai keenam dan menghilang samapi hari kesepuluh.
Ikterus fisiologi tidak mempunyai dasar patologis potensi
kern ikterus. Bayi tampak biasa, minum baik, berat badan
naik biasa, kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan
tidak lebih dari 12 mg/dl dan pada BBLR 10 mg/dl, dan
akan hilang pada hari keempat belas, kecepatan kadar
bilirubin tidak melebihi 5mg% perhari.
3) Ikterus patologis yaitu ikterus yang timbul dalam 24 jam
pertama kehidupan dengan serum bilirubin total lebih
dari 12mg/dl. Terjadi peningkatan bilirubin lebih dari
5mg% atau lebih dalam 24 jam. Konsentrasi bilirubin
serum melebihi 10 mg/dl pada bayi kurang bulan
(BBLR) dan 12,5 mg/dl pada bayi cukup bulan ikterus
yang disertai dengan proses hemolisis (inkomtabilitas
darah, defisiensi enzim G6PD dan sepsis). Adapula
beberapa keadaan yang menimbulkan ikterus patologis
diantaranya penyakit hemolitik karena ketidak cocokan
golongan darah ibu dan bayi, kelainan dalam sel darah
merah, hemolisis, infeksi, kelainan metabolik, obat-
obatan, dan parau enteropatik yang meninggi.
4) Kernicterus suatu sindrom neurologik yang timbul
sebagai akibat penimbunan bilirubin tak terkonjugasi
dalam sel-sel otak.
d. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala menurut Surasmi,(2013) sebagai berikut :
1) Kulit berwarna kuning sampai jingga
2) Bayi tampak lemah
3) Refleks hisap kurang
4) Urine pekat
5) Pemeriksaan abdomen terjadi bentuk perut yang
membuncit
6) Feces seperti dempul/pucat
7) Tonus otot yang lemah
8) Turgor kulit jelek
9) Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl
10) Terdapat ikterus pada skelera, kuku atau kulit dan
membrane mukosa
11) Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan
penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis atau ibu
dengan diabetk atau infeksi. Jaundice yang tampak pada
hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada hari ke 3
sampai 4 dan menurun hari ke 5 – 7 yang biasanya
merupakan jaundice fisiologi (Surasmi, 2013)
e. Patofisiologi
Rukiyah & Yulianti (2012) bilirubin merupakan
produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh
tubuh. Sebagian besar hasil bilirubin berasal dari degredasi
hemoglobin darah dan sebagian lagi berasal dari hem bebas
atau dari proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan
bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang
menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin
inlah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas
atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut
dalam lemak, karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit
diekskresi dan mudah melalui membrane biologic seperti
plasenta dan sawar darah otak.
Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa
dengan albumin dan dibawa ke hepar. Dalam hepar menjadi
mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat dengan oleh
reseptor membran sel hati dan masuk kedalam sel hati.
Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan
dengan ligandin (protein-Y), protein-Z, dan glutation hati
lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati,
tempat terjadinya proses konjugasi. Proses ini timbul berkat
adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian
menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini larut
dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan
melalui ginjal. Sebagian bilirubin yang terkonjugasi ini
diekskresi melalui duktus hepatikus kedalam saluran
pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar
dari tinja sebagai stekorbilin. Dala usus sebagian diabsorsi
kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses arbsorpsi
enterohepatik (Rukiyah & Yulianti , 2012)
Sebagian besar neonatus mengalami peningkatan
kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan.
Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu
pada neonatus. Proses tersebut anatara lain karena tinginya
kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih
pendek (80-90 hari), dan belum matangnya fungsi hepar.
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada
beberapa keadaan. Kejadian tersering adalah apabila terdapat
pertambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan.
Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur
eritrosit bayi/janin, meningkatnya bilirubin dari sumber lain,
atau terdapatnya peningkatan sirkulasi entrohepatik
(Rukiyah & Yulianti, 2012)
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat
menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini
dapat terjadi apabila kadar protein-Y berkurang atau pada
keadaan protein-Y dan protein-Z terikat oleh anion lain,
misalnya pada bayi dengan asidosis atau keadaan
anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang dapat memperlihatkan
peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan
konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoronil tranferase) atau
bayi menderita gangguan eksresi, misalnya penderita
hepatitis neonatal atau sumbatn saluran empedu
ekstra/intrahepatik. Bilirubin terikat menjadi asam
glukuronat di retikulum endoplasmik retikulum melalui
reaksi yang dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil
transferase (UDPGT) (Mathindas et al, S, 2013).
Konjugasi bilirubin mengubah molekul bilirubin
yang tidak larut air menjadi molekul yang larut air. Setelah
diekskresikan kedalam empedu dan masuk ke usus, bilirubin
direduksi dan menjadi tetrapirol yang tak berwarna oleh
mikroba di usus besar. Sebagian dekonjugasi terjadi di dalam
usus kecil proksimal melalui kerja B-glukuronidase.
Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan
masuk ke dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin
plasma total. Siklus absorbsi, konjugasi, ekskresi,
dekonjugasi, dan reabsorbsi ini disebut sirkulasi
enterohepatik. Proses ini berlangsung sangat panjang pada
neonatus, oleh karena asupan gizi yang terbatas pada hari-
hari pertama kehidupan (Mathindas et al, S, 2013).
f. Komplikasi
Suriadi dan Yuliani (2010) komplikasi
hiperbilirubin pada neonatus adalah bilirubin encephalopathy
(komplikasi serius) dan Kernikterus yang meliputi kerusakan
neurologis, cerebral palsy, retardasi mental, hyperaktif,
bicara lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan yang
melengking. Sedangkang menurut (Ridha H. Nabiel, 2014)
hiperbilirubin pada neonatus apabila tidak ditangani secara
serius akan terjadi kern ikterus yaitu kerusakan otak akibat
perlengketan bilirubin indirek pada otot terutama , pada
korpus straiatum, talamus, nukleus substalamus,
hipokempus, nukleus merah didasar ventrikel IV .
Namun menurut Mathindas dkk (2013) sebagian
besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi
kadang-kadang kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa
menyebabkan kerusakan otak (Kern icterus). Gejala klinis
lainya yang tampak ialah rasa kantuk, tidak kuat menghisap
ASI/susu formula, muntah, opistotonus, mata ter-putar-
putar keatas, kejang, dan yang paling parah bisa
menyebabkan kematian. Efek jangka panjang Kern icterus
ialah retardasi mental, kelumpuhan serebral, tuli, dan mata
tidak dapat digerakkan ke atas.
Resiko
hipertermi kekurangan
volum cairan

Pathway

Gambar 2.3 Pathway menurut Nurarif dan Kusuma (2015)


B. Konsep Asuhan Kebidanan
a. Pengkajian
Menurut Suriadi dan Yuliani (2010) fokus pengkajian pasien
hiperbilirubin adalah :
1) Pemeriksaan fisik
2) Inspeksi : warna pada sklera, konjungtiva, membran mukosa, mulut,
kulit, urine dan tinja.
3) Pemeriksaan bilirubin yang menunjukan peningkatan kadar
bilirubin serum.
4) Tanya berapa lama jaunce muncul dan sejak kapan.
5) Adakah demam pada bayi.
6) Bagaimanakah pola minum bayi.
7) Riwayat keluarga.
8) Apakah pasien sudah mendapat imunisasi hepatitis B.
Menurut Widagdo (2012) pemeriksaan pada pasien hiperbilirubin adalah :
1) Pemeriksaan fisik
a) Pemeriksaan umum
1) Pemeriksaan umum : tingkat keparahan penyakit, kesadaran, status
nutrisi, postur/aktifitas anak, dan temuan fisis sekilas yang
prominen dari organ / sistem, seperti ikterus, sianosis, anemia,
dispneu, dehidrasi, dan lain-lain.
2) Tanda vital : suhu tubuh, laju nadi, laju janting, tekanan darah, dan
laju nafas.
3) Data antopometri : berat dan tingi badan, lingkar kepala, tebal
lapisan lemak bawah kulit, serta lingkar lengan atas.
b) Pemeriksaan organ (head toe toe)
1) Pemeriksaan kepala : besar/ bentuk, ubun-ubun besar, satura,
keadaan rambut, bentuk wajah apakah simetris kanan dan kiri.
2) Mata : ketajaman, lapang penglihatan, hipertelorisme, supersila,
silia, eksoptalamus, strabismus, nistagmus, miosis, midriasis,
konjungtiva palpebra, sklera kuning, refleks cahaya direk/indirek,
dan pemeriksaan retina dengan funduskopi.
3) Hidung : bentuk, nafas cuping hidung, sianosis, dan sekresi.
4) Mulut dan tenggorokan : warna mukosa pipi/lidah, ulkus, lidah
kotor berpeta, tongsil membesar dan hiperemia, pembengkaan dan
pendarahan pada gingival, trismus, pertumbuhan / jumlah /
morfologi / kerapatan pada gigi .
5) Telinga : posisi telinga, sekresi, tanda otitis media, dan nyeri tekan.
6) Leher : tiroid, kelenjar getah bening, skrofuloderma, retraksi,
murmur, bendungan vena, refluks hepatojugular, dan kuduk kaku.
7) Torak : bentuk, simetrisitas, pembengkakan, nyeri tekan, tasbeh,
dan kelainan payudara.
8) Jantung : tonjolan prekordial, pulsasi, iktus kordis, bantas jantung/
kardiomegali, getaran, bunyi jantung, murmur, irama galop, bising
gesek, perikard ( perikardial friktion rub).
9) Paru-paru : simetrisitas statik dan dinamik, pekak, hipersonor,
fremitus, batas paru-hati, suara nafas, ronki basah, ronki kering,
bronkofoni, dan bising gesek pleura (pleural mfriction rub).
10) Abdomen : bentuk, kolateral dan arah alirannya, smiling
umbilikus, distensi, caput medusae, gerakan peristaltik, rigiditas,
nyeri tekan, masa abdomen, pembesaran hati dan limfa, bising /
suara peristaltik usus dan tanda-tanda asites.

11) Anogenetalia : atresia anus, vesikel, eritema, ulkus, papula, edema


skrotum.
12) Ekstermitas : tonus/ trofi otot, jari tabuh, sianosis, bengkak dan
nyeri otot / tulang / sendi, edema pretibial, akral dingin, refill
kapilar, dan cacat bawaan.
13) Tulang belakang : kifosis,skoliosis, lordosis, tanda- tanda spina
bifida, dan gibus.
14) Susunan syaraf : sistem motorik dan sensorik, refleks fisiologik,
refleks patologik, uji syaraf otak, uji tekan intrakranial, dan tanda
rangsang meningeal(kuduk kaku, kerning, dan brudzinski).
15) Kulit : warna, ruam kulit, lesi garukan, petekie, pigmentasi,
hiper/hipohidrosis, dan angiektasis.
16) Pemeriksaan KGB di leher, aksila, inguinal meliputi : pembesaran,
nyeri tekan, dan perlengketan dengan jari sekitar.
c) Pemeriksaan laboraturium
Pemeriksaan laboratorium ini meliputi uji fungsi hati dengan
cara menguji pada fungsi hati ditemukan kadar bilirubin tolal
melebihi 5 mg/dL, pemeriksaan urin, pemeriksaan tinja ini dilakukan
dengan memeriksaan makroskopik (warna dempul dan parasit) dan
kimia (urobilinogen, sterkobilin), pemeriksaan sistem Rh dan ABO,
uji darah tepi/ hematologi, uji fragilitas osmotik eritrosit dan uji
coombs dan antibodi.
d) Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksan pencintraan antara lain foto rontgen paru, USG
digunakan untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu,
EKG, EEG (elektroensefalografi), CT (computed tomography), MRI
(magnetic resonance imaging), ERCP (endoscopic retrogade
cholangio-pancreatography)
e) Penatalaksanaan
Berdasarkan faktor penyebabnya maka menegemen
penatalaksanaan bayi dengan hiperbilirubin diarahkan untuk
mencegah anemia dan membatasi efek dari hiperbilirubinemia
pengobatanya mempunyai tujuan, menghilangkan anemia,
menghilangkan antibody maternal dan eritrosit teresensitiasi
meningkatkan badan serum albumin dan menurunkan serum bilirubin.
Metode terapi bilirubinemia meliputi: fototerapi, transfusi pengganti,
infus albumin, dan terapi obat menurut Dinkes RI (2009). Sedangkan
menurut Rukiyah & Yulianti (2012) dan Kosim (2011) pelaksanaan
ikterus neonatal adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin
serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/
encefalopati biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus
tersebut. Pengendalian bilirubin juga dapat dilakukan dengan
mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat dilakukan dengan
mengusahakan mempercepat proses konjugasi.
b) Fototerapi
Ikterus klinis dan hiperbilirubin indirek akan
berkurang kalau bayi di paparkan pada sinar dalam spectrum
cahaya yang mempunyanyi intensitas tinggi. Bilirubin dalam
kulit akan menyerap energi cahaya, yang melalui fotoisomerasi
mengubah bilirubin tak terkonjugasi yang bersifat toksik
menjadi isomer-isomer terkonjugasi yang melibatkan oksigen
dan melibatkan reaksi oksidasi yang menghasilkan produk-
produk pemecahan yang akan diekskresikan oleh hati dan
ginjal tanpa memerlukan konjugat. Komplikasi fototerapi
meliputi tinja yang cair, ruam kulit, bayi mendapat panas yang
berlebihan dan dehidrasi akibat cahaya, menggigil karena
pemaparan pada bayi, dan sindrom bayi perunggu, yaitu warna
kulit menjadi gelap, coklat dan keabuan. Peran perawat dalam
fototerapi untuk mengawasi paien tentang lama penyinaran,
paparan panas atau suhu fototerapi dan mengatur posisi pasien
setiap 2 jam .
c) Fenobarbital
Meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.
Pemberian obat ini akan mengurangi timbulnya ikterus
fisiologik pada bayi neonatus, kalau di berikan pada ibu dengan
dosis 90mg/24 jam beberapa hari sebelum kelahiran atau bayi
pada saat lahir dengan dosis 5mg/kgBb/24 jam. Namun karena
efeknya pada metabolisme bilirubin biasanya belum terwujud
sampai beberapa hari setelah pemberian obat dan oleh karena
keefektifannya lebih kecil dibandingkan fototerapi, dan
mempunyai efek sedatif yang tidak diinginkan dan tidak
menambah respon terhadap fototerapi, maka fenobarbital tidak
dianjurkan untuk pengobatan ikterus pada bayi neonatus.
d) Transfusi tukar
Dilakukan untuk mempertahankan kadar bilirubin
indirek dalam serum bayi aterem kurang dari 20 mg/dl atau 15
mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada transfusi tukar, sejumlah
darah bayi anda akan dikeluarkan dan digantikan dengan darah
segar (dari donor). Transfusi tukar ini mungkin merupakan
metode yang paling efektif untuk mengontrol terjadinya
hiperbilirubinemia.
e) Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian ASI.
f) Menghindari obat meningkatkan ikterus pada masa kelahiran.
g) Pencegahan dan pengobatan hipoksia pada neonatus dan janin.
h) Anti biotik jika terkait dengan infeksi.

TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI NY.M DENGAN DIAGNOSA MEDIS
HIPERBILIRUBIN

PENGKAJIAN
Hari: Selasa 19 – 3 - 2024
Jam : 12.30 WIB
Pemberi Asuhan : Ratih Tri Oktaviani
Ruang : NICU RSU Haji Surabaya

I. DATA SUBJEKTIF
IDENTITAS :

Nama Ibu : Ny. ”M” Nama Bayi : By.Ny.”M”


Umur : 43 Tahun Umur : 5 hari
Kebangsaan : Indonesia Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMA Pendidikan :-
Pekerjaan : Swasta Pekerjaan :-
Alamat : Surabaya

(Selasa, 19 – 3 - 2024 Jam 12.30)


1. Keluhan Utama
Bayi Kuning
2. Riwayat Penyakit sekarang
Bayi lahir tanggal 14 maret 2024 jam 08.37 , dengan warna kulit yang
tanpak kuning setelah 5 hari,
3. Riwayat
a. Pra Natal :
Pemeriksaan ANC : 6x
Keluhan selama hamil : mual muntah
Kenaikan BB ibu selama hamil : 3Kg
Status Imunisasi TT : T3

b. Intra Natal :
Tempat bersalin : RSUD
Jenis persalinan : SC
Penolong persalinan : Dokter
c. Post Natal :
Kondisi bayi : lemah
BB/PB : 3000/46 cm
Komplikasi :-
4. Kebutuhan Fisik
a. Nutrisi
- hanya ASI
b. Eliminiasi
BAB 1 – 2 x sehari konsistensi lembek berwarna
Kehitaman
BAK 3 – 4x sehari
c. Istirahat (tidur)
Istirahat ± 10 jam
d. Personal Hygiene
- Di lakukan seko 1x setiap sore

I. DATA OBJEKTIF
1. Keadaan Umum : lemah
Gerak /Tangis : lemah/ merintih
Tanda – Tanda Vital
Nadi : 130x/menit

Suhu : 36,5 ◦ C Respirasi : 32 x/menit


Berat Badan : 3000gr
Panjang Badan: 46 Cm
2. Kulit : Tampak kuning
3. THT : tidak ada kelainan
4. Mulut : bersih
5. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada
pembesaran kelenjar getah bening dan tidak ada
benjolan abnormal.
6. Dada : tidak terdapat retraksi dada
7. Paru : tidak terdengar bunyi ronkhi
8. Jantung : normal tidak ada bunyi mur – mur
9. Abdomen : supel tidak kembung
10. Genetalia : bersih tidak ada kelainan, terdapat labia mayora
dan
minora
11. Anus : normal , lubang (+)
12. Ekstremitas : lengkap , normal
13. Reflek :
-Reflek Morro : lemah
-Reflek Rootirg : lemah
-Reflek Sucking :lemah,
-Reflek Grasp : lemah
-Reflek Swallowing : lemah
-Reflek Breathing : Ada, terdapat gerakan seperti menghirup dan
mengeluarkan nafas
14. Pengeluaran air kemih : Ada
15. Pengeluaran Mekonium :-

16. Data penunjang Laboratorium (Tgl 19 - 3 – 2024 jam 10.50)


Golongan darah : B+
Bilirubin Direct : 0.99 mg/dl
Bilirubin Total : 19.23 mg/dl

II. ANALISA DATA


By.Ny “M” Usia 9 Hari dengan Hiperbilirubinemia

(Selasa, 19 - 3 - 2024 , Jam 12.40WIB)


I. PENATALAKSANAAN
Pukul Penatalaksanaan Rasionalisasi Evaluasi
12.40 Menghangatkan bayi Agar bayi tetap hangat Sudah
dilakukan
09.03 Memberikan tindakan Agar bayi mendapati Sudah
sesuai advice dokter kondisi yang stabil dan dilakukan
-Fototerapi tindakan sesuai dengan
-UDCA yang dialami bayi
09.12 Mengobservasi keadaan Untuk menjaga Sudah
bayi dengan : kestabilan kondisi bayi dilakukan
- Monitor perkembangan
warna kulit bayi
- Monitor tanda – tanda
vital bayi
09.20 Melakukan Untuk mencatat temuan Sudah
pendokumentasian dan tindakan/ obat yang dilakukan
diberikan pada bayi
CATATAN PERKEMBANGAN

Nama Pasien : Ruang :


By.Ny.M No. RM : NICU

Nama dan
Umur : Tanggal : 19/03/2024
Paraf :
5 hari Jam : 15.00
Tangal/jam : Catatan Perkembangan
21/03/2024 (SOAP)
Jam 14.00 S=
O=
- Keadaan umum:
tangis lemah, gerak lemaH
- TTV
RR : 58x/menit
Nadi : 152x/menit
Suhu : 36,9 oC

A=
By.Ny “M” Usia 9 Hari dengan hiperbilirubin
P=
1. menghangatkan bayi.Sudah dilakukan
2. melanjutkan terapi sesuai dengan advice
dokter
3. menjaga bayi tetap dalam keadaan stabil
dengan :
- Monitor warna kulit bayi
- Monitor tanda – tanda vital bayi

Sidoarjo, 18 Maret 2024


Praktikan

Ratih Tri Oktaviani


NIM.2315901047

Mengetahui,
Pembimbing Prodi Pembimbing Klinik

(Siti Rochimatul Lailiyah, S.SiT.,M.Kes) (…………………………….)


NIDN. 0723118401 NIP.
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamenesa di dapatkan bahwa bayi datang dengan


kondisi kulit terlihat kuning setelah 5 hari kelahiran, uning pada bayi bisa
menandakan bahwa ada masalah dengan kadar bilirubin bayi.
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari
normal disebut dengan hiperbilirubinemia. Nilai normal bilirubin indirek 0,3- 1,1
mg/dl dan bilirubin direk 0,1-0,4 mg/dl. Hiperbilirubinemia merupakan keadaan
normal pada bayi baru lahir selama minggu pertama, karena belum sempurnanya
metabolisme bilirubin bayi (Maryunani, 2014) Faktor yang mempengaruhinya
yaitu usia gestasi, asfiksia, trauma lahir, berat lahir bayi, infeksi dan hipoglikemi.
Sedangkan, efek sampingnya bisa terjadi Ensefalopati dan Kern Ikterus
(Maryunani, 2014)
Pada bayi lahir, karena usia kehamilan merupakan faktor yang penting dan
penentu kualitas kesehatan bayi yang dilahirkan, karena bayi baru lahir dari usia
kehamilan yang kurang berkaitan dengan berat lahir rendah dan tentunya akan
berpengaruh kepada daya tahan tubuh bayi yang belum siap menerima dan
beradaptasi dengan lingkungan di luar rahim sehingga berpotensi terkena berbagai
komplikasi salah satunya adalah ikterus neonatorum yang dapat menyebabkan
hiperbillirubinemia.
Sesuai dengan penelitian Novie(2009), tentang faktor-faktor pada ibu
bersalin yang berhubungan dengan kejadian hiperbillirubin pada bayi baru lahir di
Rumah Sakit Dustira Cimahi tahun 2009, bahwa Hasil uji statistic diperoleh nilai
(P=0,001) dimana lebih kecil dari nilai alpha (α=0,05), hal ini berarti terdapat
hubungan yang signifikan antara faktor umur kehamilan dengan kejadian
hiperbillirubin pada bayi baru lahir. Pada tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai
odd ratio(OR) atau peluang risiko sebesar 0,010 dengan interval 0,001-0,083, hal
ini berarti bayi baru lahir dengan masa gestasi kurang bulan (37-42 minggu)
mempunyai peluang risiko sebesar 0,010 kali mengalamihiperbillirubinemia

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah melakukan pengkajian asuhan kebidanan pada By. Ny.M
dengan Hiperbilirubin penulis dapat mengambil kesimpulan :
1. Dengan manajement asuhan kebidanan dapat meningkatkan
keterampilan dan sikap yang harus dilakukan bidan dalam memberikan
asuhan secara tepat,cermat, menyeluruh pada pelayanan bayi dengan
masalah
2. By.Ny.M telah dilakukan penatalaksanaan sesuai dengan kondisinya
saat ini seperti terapi fototerapi

B. Saran
1. Bagi tenaga kesehatan
Bagi tenaga kesehatan dapat memberikan asuhan kebidanan
pelayanan dan penyuluhan kepada masyarakat sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan untuk menambah wawasan mengenai
hiperbilirubin.
2. Bagi Tempat penelitian
Diharapkan tetap menjaga pelayanan yang sudah berlangsung
sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang sudah berlaku dan
di barengi dengan konseling terapi non farmakologis untuk menambah
pengetahuan dan juga memudahkan untuk dilakukan namun masih sesuai
anjuran yang di tetapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Aditya, H., dan Herwanto. 2020. Hubungan Persalinan seksio sesarea dengan
hiperbilirubinemia neonatus. Tarumanegara Medical Journal 2(2): 268-
273.

Akmal, A. F. 2019. Rasio prevalensi berat badan lahir rendah terhadap kejadian
ikterus neonatorum dini di RSUD Wates Kabupaten Kulon Progo
tahun 2017. Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta

Ali, R., S. Ahmed, M. Qadir, dan K. Ahmad. 2012. Icterus neonatorum in


nearterm and term infants an overview. Sultan Qaboos University
Medical Journal 12(2): 153-160. doi: 10.12816/000310

Aliyyah. 2017. Hubungan persalinan caesarian section dengan kejadian ikterus


pada neonatus di RS PKU Muhammadiyah Bantul. Universitas
Aisyiyah Yogyakarta

Azhari, Indra. 2014. Hubungan usia gestasi dengan kejadian ikterus neonatorum
di RSUD Wates Kulonprogo Yogyakarta. STIKES Jenderal Ahmad
Yani. Yogyakarta

Boskabadi, H., M. Omidian, dan S. Mafinejad. 2010. Prevalence and clinical


manifestation of glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency in
newborns with hyperbilirubinemia in Mashhad, Iran. Macedonian
Journal of Medical Sciences 3(4): 383-387. doi: 10.3889/MJMS.1857-
5773.2010.0120.

Damanik, S. M. 2014. Klasifikasi berat badan dan usia kehamilan, Dalam: Kosim,
M. S. et al. (eds) Buku Ajar Neonatologi. 4th edn. IDAI.
Fatmawati. 2017. Faktor risiko yang berhubungan dengan ikterus neonatorum di
ruang rawatan kebidanan RSI Siti Rahmah Padang tahun 2017.
Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang.

Harsha, L., J. Priya, K.S. Khushali, dan B. Reshmi. 2015. Systemic approach to
management of neonatal jaundice and prevention of kernicterus.
Research Journal of Pharmacy and Technology 8(8): 1087-1092. doi:
10.5958/0974-360X.2015.00189.4.

Hidayat, aziz alimul. 2014. Metode penelitian kebidanan teknis analisis data.
Salemba Medika. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai