Disusun oleh:
Nama : Ratih Tri Oktaviani
NIM : 2315901047
A. Latar Belakang
Hiperbilirubin merupakan istilah yang digunakan untuk ikterus
neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan
kadar bilirubin. Hiperbilirubin bisa disebabkan proses fisiologis dan
patologis. Hiperbilirubin pada bayi baru lahir merupakan penyakit yang
disebabkan oleh penimbunan bilirubin dalam jaringan tubuh sehingga
kulit,mukosa, dan sklera berubah warna menjadi kuning (Sukadi, 2012).
Berdasarkan data WHO (World Health Organization) Angka Kematian
Bayi pada negara ASEAN (Association of South East Asia Nations) seperti
di Singapura 3 per 1000 kelahiran hidup, di Malaysia 5,5 per 1000 kelahiran
hidup, Thailand 17 per 1000 kelahiran hidup, Vietnam 18 per 1000 kelahiran
hidup, dan Indonesia 27 per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi di
Indonesia masih tinggi dari negara ASEAN lainnya, jika dibandingkan
dengan target dari MDGs (Millenium Development Goals) tahun 2015 yaitu
23 per 1000 kelahiran hidup (Kementrian Kesehatan, 2015). Angka kejadian
Hiperbilirubin didunia masih tinggi. Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus
yang lahir setiap tahunnya terdapat 65 % terkena ikterik (Kementrian
Kesehatan, 2012)
Di Indonesia, dari seluruh kematian bayi, sebanyak 57% meninggal pada
masa bayi baru lahir (usia dibawah 1 bulan. AKB di Provinsi DKI Jakarta
menurut data Kesga Dinkes DKI Jakarta tahun 2014 sebesar 6,88 per 1.000
kelahiran hidup (Kementrian Kesehatan, 2015). Menurut profil kesehatan
Indonesia insiden hiperbilirubin di Indonesia tahun 2007 berkisar 10 % – 13
%, sedangkan angka kejadian Hiperbilirubin di DKI Berdasarkan data
registrasi Neonatologi bulan Desember 2014 sampai November 2015, di
antara 1093 kasus neonatus yang dirawat, didapatkan 165 (15,09%) kasus
dengan ikterus neonatorum (Kementrian Kesehatan, 2012).
Menurut Dinas Kesehatan masalah utama bayi baru lahir pada masa
perinatal yang dapat menyebabkan kesakitan, kecatatan dan kematian,
penyebab kematian neonatal 0-6 hari adalah asfiksia, hiperbilirubin,
hipotermia, tetanus neonatorum, infeksi/sepsis, trauma lahir, BBLR, dan
kelainan kongenital (Kementrian Kesehatan, 2012).
Berdasarkan teori ada beberapa faktor penyebab terjadinya Hiperbilirubin
pada bayi baru lahir yang pertama yaitu faktor maternal diantaranya
inkompabilitas ABO dan Rh, juga pemberian ASI. Faktor selanjutnya yaitu
faktor neonatus seperti bayi kurang bulan, usia gestasi, juga BBLR, dan yang
terakhir faktor perinatal seperti infeksi, hipoglikemia serta jenis persalinan
(Sukadi, 2012);(Sastroasmoro S et al, 2004).
Hal ini didukung juga oleh penelitian yang dilakukan oleh Lilik Susilowati
ditemukan bahwa ada hubungan prematuritas, induksi persalinan, BBLR dan
asfiksia dengan kejadian Hiperbilirubin. Penelitian Siska Yanti
mengemukakan faktor penyebab yang berhubungan dengan kejadian
Hiperbilirubin diantaranya inkompabilitas ABO dan Rh, usia gestasi, jenis
persalinan, infeksi dan gangguan pemberian ASI pada bayi (Yanti, 2016);
(Sulisilowati, 2017).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis merumuskan
masalah dalam penelitian sebagai berikut “Asuhan Kebidanan Pada Bayi
Dengan Diagnosa hiperbilirubin di RSUD Haji Surabaya”
C. Tujuan
1) Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengimplementasikan asuhan
kebidanan pada Kegawatdaruratan Maternal Neonatal dengan standar
pelayanan kebidanan serta mendokumentasikan hasil asuhannya dalam
bentuk SOAP.
2) Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan mengenai teori dan konsep dasar asuhan kebidanan
pada ibu hamil
b. Mengintegrasikan teori dan manajemen asuhan kebidanan serta
mengimplementasikan pada kasus yang di hadapi.
B. Manfaat
1) Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penulisan ini data dijadikan acuan untuk pengembangan keilmuan
dimasa yang akan datang terutama pada pelayanan kebidanan.
2) Bagi Penulis
Penulisan yang dilakukan diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman mengenai Kegawatdaruratan Maternal Neonatal yang sesuai
dengan kondisi yang dialami.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Penyakit
1. Konsep Teori Hiperbilirubin
a. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan
kadar bilirubin >5 mg/dL pada darah, yang sering ditandai oleh adanya
ikterus. Pada bayi baru lahir, hiperbilirubinemia sering terjadi oleh
karena kemampuan hati bayi yang masih kurang untuk mengekskresikan
bilirubin yang terus diproduksi (Mathindas et al, S, 2013).
Hiperbilirubinemia adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain
akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam
darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya
gangguan fungsional dari hepar, sistem biliary, atau sistem hematologi
(Rukiyah & Yulianti, 2012).
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaaan kadar bilirubin serum
total yang lebih 10% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus
pada kulit, sklera dan organ lain, keadaan ini mempunyai potensi
menimbulkan kern ikterus (Ridha, 2014). Menutut (Suriadi & Yuliani,
2010) hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah
yang kadar nilainya lebih dari normal.
b. Anatomi Fisiologi
Gambar 2.1 Anatomi Hepar (Sulaiman, dkk, 2012)
1) Anatomi hepar
Hati atau hepar adalah kelenjar terbesar dalam
tubuh. Letaknya sebagian besar diregio hipokondria
dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria
sinistra. Hepar mempunyai 5 permukaan, fasies superior,
fasies dekstra, fasies anterior, fasies posterior, dan fasies
inferior. Hepar mempunyai 2 lobi, yaitu lobus dekstra
dan lobus sinistra (Sulaiman dkk, 2012).
2) Fungsi hati
Hati berfungsi untuk mengubah zat makanan yang
di absorbsi dari usus dan yang di simpan dari suatu
tempat dalam tubuh di keluarkan sesuai dengan
pemakaiannya, mengubah zat buang dan bahan racun
untuk diekskresikan dalam empedu dan urine,
menghasilkan enzim glikolik glukosa menjadi glikogen,
sekresi empedu, garam empedu di buat di hati di bentuk
dalam retikulo endulium di alirkan ke empedu untuk
menyimpan berbagai zat seperti mineral vitamin-vitamin
yang larut dalam lemak (vitamin A,D,E,K) glikogen dan
berbagai racun yang dapat di keluarkan dalam tubuh
untuk pembentukan ureum sendiri hati menerima asam
amino di ubah menjadi ureum , di keluarkan dalam darah
melalui ginjal dalam bentuk urine (Sulaiman dkk, 2012).
Kadar bilirubin adalah kadar bilirubin total darah, yaitu
bilirubin terkonjugasi dan bilirubin tidak terkonjugasi.
Metode pengukuran yang digunakan adalah fotometri
atau spektrofotometri yang mengukur intensitas warna
azobilirubin. Satuan yang digunakan mg/dL (skala ratio).
Fungsi bilirubin sendiri adalah ion yang sigunakan untuk
mengikat ion lain yang bersifat negatif atau toksik untuk
di keluarkan.
3) Metabolisme bilirubin
Sebagian besar produksi bilirubin merupakan akibat
degradasi hemoglobin pada sistem retikuloendotelial.
Tingkat penghancuran hemoglobin pada neonatus lebih
tinggi dari pada bayi yang lebih tua. Sekitar 1 g
hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek
yaitu bilirubin yang larut dalam lemak tetapi tidak larut
dalam air. Transportasi bilirubin indirek melalui ikatan
dengan albumin.
Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam
hepatosit, sedangkan albumin tidak. Di dalam sel,
bilirubin akan terikat pada ligandin, serta sebagian kecil
pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini
merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentra-si
dan afinitas albumin plasma dan ligandin dalam
hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit
dikonjugasi dan diekskresi ke dalam empedu. Di dalam
sitosol hepatosit, ligandin mengikat biliru- bin sedangkan
albumin tidak.
Di dalam hepatosit terjadi konjugasi lanjut dari
bilirubin menjadi bilirubin diglukoronid. Sebagian kecil
bilirubin ter- dapat dalam bentuk monoglukoronid, yang
akan diubah oleh glukoronil-transferase menjadi
diglukorinid. Enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin
diglukorinid, yaitu uridin difosfat-glukoronid transferase
(UDPG-T), yang mengatalisis pembentuk-an bilirubin
monoglukoronid. Sintesis dan ekskresi diglukoronid
terjadi di kanalikuli empedu.
Isomer bilirubin yang dapat mem-bentuk ikatan
hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresi
langsung ke dalam empedu tanpa konjugasi, misalnya
isomer yang terjadi sesudah terapi sinar. Setelah
konjugasi bilirubin menjadi bilirubin direk yang larut
dalam air, terjadi ekskresi segera ke sistem empedu
kemudian ke usus. Di dalam usus, bilirubin direk ini
tidak di absorbsi sebagian bilirubin direk dihidrolisis
menjadi bilirubin indirek dan direabsorbsi, siklus ini
disebut siklus enterohepatik (Mathindas et al, S, 2013).
4) Derajat Kremer
b. Etiologi
Menurut Rukiyah & Yulianti (2012)
hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam–macam
keadaan. Penyebab yang sering ditemukan disisni adalah
hemolisis yang timbul akibat inkompabilitas golongan darah
ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini juga dapat
timbul akibat perdarahan tertutup (hematom cefal,
pendarahan subaponeurotik) atau inkompabilitas darah Rh,
infeksi juga memegang peran penting dalam terjadinya
hiperbilirubinemia, keadaan ini terutama pada penderita
sepsis dan gastroenteristis. Beberapa faktor lain adalah
hipoksia / anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia dan
polisite. Adapula kadar bilirubin merupakan gejala fisiologis
yang dipengaruhi oleh banyak faktor/ multifaktorial. AAP (
American Academy of pediatrics) menyatakan terdapat
beberapa faktor utama atau faktor risiko mayor penyebab
hiperbilirubinemia, diantaranya adalah :
1) Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau
bilirubin transkutaneus terletak pada daerah risiko tinggi.
2) Ikterus muncul dalam 24 jam pertama kehidupan.
3) Incompatibilitas golongan darahdengan tes antiglobulin
direk yang positif atau penyakit hemolotik lainnya
( defisiensi G6PD).
4) Umur kehamilan 35 -36 minggu.
5) Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi
6) Sefal hematom atau memar yang bermakna.
7) ASI eksklusif dengan cara dan perawatan yang tidak baik
dan kehilangan berat badan yang berlebihan.
8) Ras Asia Timur.
Sedangkan untuk faktor Risiko minor adalah :
1) Sebelum pulang, kadar bilirubin serum
total atau bilirubin transkutaneus terletak
pada daerah risiko sedang.
2) Umur kehamilan 37 – 38 minggu.
Pathway
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI NY.M DENGAN DIAGNOSA MEDIS
HIPERBILIRUBIN
PENGKAJIAN
Hari: Selasa 19 – 3 - 2024
Jam : 12.30 WIB
Pemberi Asuhan : Ratih Tri Oktaviani
Ruang : NICU RSU Haji Surabaya
I. DATA SUBJEKTIF
IDENTITAS :
b. Intra Natal :
Tempat bersalin : RSUD
Jenis persalinan : SC
Penolong persalinan : Dokter
c. Post Natal :
Kondisi bayi : lemah
BB/PB : 3000/46 cm
Komplikasi :-
4. Kebutuhan Fisik
a. Nutrisi
- hanya ASI
b. Eliminiasi
BAB 1 – 2 x sehari konsistensi lembek berwarna
Kehitaman
BAK 3 – 4x sehari
c. Istirahat (tidur)
Istirahat ± 10 jam
d. Personal Hygiene
- Di lakukan seko 1x setiap sore
I. DATA OBJEKTIF
1. Keadaan Umum : lemah
Gerak /Tangis : lemah/ merintih
Tanda – Tanda Vital
Nadi : 130x/menit
Nama dan
Umur : Tanggal : 19/03/2024
Paraf :
5 hari Jam : 15.00
Tangal/jam : Catatan Perkembangan
21/03/2024 (SOAP)
Jam 14.00 S=
O=
- Keadaan umum:
tangis lemah, gerak lemaH
- TTV
RR : 58x/menit
Nadi : 152x/menit
Suhu : 36,9 oC
A=
By.Ny “M” Usia 9 Hari dengan hiperbilirubin
P=
1. menghangatkan bayi.Sudah dilakukan
2. melanjutkan terapi sesuai dengan advice
dokter
3. menjaga bayi tetap dalam keadaan stabil
dengan :
- Monitor warna kulit bayi
- Monitor tanda – tanda vital bayi
Mengetahui,
Pembimbing Prodi Pembimbing Klinik
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan pengkajian asuhan kebidanan pada By. Ny.M
dengan Hiperbilirubin penulis dapat mengambil kesimpulan :
1. Dengan manajement asuhan kebidanan dapat meningkatkan
keterampilan dan sikap yang harus dilakukan bidan dalam memberikan
asuhan secara tepat,cermat, menyeluruh pada pelayanan bayi dengan
masalah
2. By.Ny.M telah dilakukan penatalaksanaan sesuai dengan kondisinya
saat ini seperti terapi fototerapi
B. Saran
1. Bagi tenaga kesehatan
Bagi tenaga kesehatan dapat memberikan asuhan kebidanan
pelayanan dan penyuluhan kepada masyarakat sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan untuk menambah wawasan mengenai
hiperbilirubin.
2. Bagi Tempat penelitian
Diharapkan tetap menjaga pelayanan yang sudah berlangsung
sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang sudah berlaku dan
di barengi dengan konseling terapi non farmakologis untuk menambah
pengetahuan dan juga memudahkan untuk dilakukan namun masih sesuai
anjuran yang di tetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, H., dan Herwanto. 2020. Hubungan Persalinan seksio sesarea dengan
hiperbilirubinemia neonatus. Tarumanegara Medical Journal 2(2): 268-
273.
Akmal, A. F. 2019. Rasio prevalensi berat badan lahir rendah terhadap kejadian
ikterus neonatorum dini di RSUD Wates Kabupaten Kulon Progo
tahun 2017. Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta
Azhari, Indra. 2014. Hubungan usia gestasi dengan kejadian ikterus neonatorum
di RSUD Wates Kulonprogo Yogyakarta. STIKES Jenderal Ahmad
Yani. Yogyakarta
Damanik, S. M. 2014. Klasifikasi berat badan dan usia kehamilan, Dalam: Kosim,
M. S. et al. (eds) Buku Ajar Neonatologi. 4th edn. IDAI.
Fatmawati. 2017. Faktor risiko yang berhubungan dengan ikterus neonatorum di
ruang rawatan kebidanan RSI Siti Rahmah Padang tahun 2017.
Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang.
Harsha, L., J. Priya, K.S. Khushali, dan B. Reshmi. 2015. Systemic approach to
management of neonatal jaundice and prevention of kernicterus.
Research Journal of Pharmacy and Technology 8(8): 1087-1092. doi:
10.5958/0974-360X.2015.00189.4.
Hidayat, aziz alimul. 2014. Metode penelitian kebidanan teknis analisis data.
Salemba Medika. Jakarta.