Disusun oleh:
Nama : Wi’am Salehoddin
NIM : 2315901064
A. Latar Belakang
Asfiksia secara umum merupakan suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal
bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga dapat menurunkan
pertukaran gas atau pengangkutan O2 dari ibu ke janin ini dapat menimbulkan akibat
menempati urutan ke-3, yaitu sebanyak 68%, sebagai penyebab kematian anak
diseluruh dunia. Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia
saat lahir, kini hidup dengan morbiditas (angka kesakitan) jangka panjang seperti
sebagai kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Asfiksia
menyebabkan bayi terlihat lemah, mengalami penurunan denyut jantung secara cepat,
tubuh menjadi biru atau pucat dan refleks-refleks melemah sampai menghilang
(Ningrum, 2019).
Asfiksia neonatorum keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernafas
spontan dan teratur dalam 1 menit setelah lahir. Biasanya terjadi pada bayi yang
dilahirkan dari ibu dengan kelahiran kurang bulan, dan kelahiran lewat waktu. Secara
umum banyak faktor yang dapat menimbulkan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir,
baik itu faktor dari ibu seperti: primi tua, riwayat obstetrik jelek, grande multipara,
masa gestasi, anemia dan penyakit ibu, ketuban pecah dini, partus lama, panggul
sempit, infeksi intrauterin, faktor dari janin yaitu gawat Remove Watermark
Wondershare PDFelement 4 janin, kehamilan ganda, letak sungsang, letak lintang,
Asfiksia dapat menyebabkan kerusakan organ berat dan berakibat fatal pada
bayi baru lahir. Radistribusi sirkulasi yang ditemukan pada pasien hipoksia dan
iskimia akut telah memberikan gambaran yang jelas mengapa terjadi disfungsi
berbagai organ tubuh pada bayi asfiksia. Gangguan fungsi berbagai organ pada bayi
(Opitasari, 2018).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan khusus
Mahasiswa mampu :
D. Manfaat Penulisan
pemahaman mengenai asuhan kebidanan pada pasien dengan diagnose Asfiksia pada
neonatus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan
mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan
gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat atau masalah yang mempengaruhi
Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas
secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam
uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan,
persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk
apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan
B. Etiologi
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi
bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi
pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali pusat dan bayi berikut ini:
1. Faktor ibu
3. Faktor Bayi
menimbulkan asfiksia. Apabila ditemukan adanya faktor risiko tersebut maka hal itu
harus dibicarakan dengan ibu dan keluarganya tentang kemungkinan perlunya tindakan
resusitasi. Akan tetapi, adakalanya faktor risiko menjadi sulit dikenali atau
(sepengetahuan penolong) tidak dijumpai tetapi asfiksia tetap terjadi. Oleh karena itu,
penolong harus selalu siap melakukan resusitasi bayi pada setiap pertolongan persalinan.
C. Tanda dan Gejala
1. Pada Kehamilan
Denyut jantung janin lebih cepat dari 160 x/mnt atau kurang dari 100 x/mnt,
b. Jika DJJ 160 x/mnt ke atas dan ada mekonium : janin sedang asfiksia
c. Jika DJJ 100 x/mnt ke bawah dan ada mekonium : janin dalam gawat
c. Hipoksia
h. Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100
x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap
refleks rangsangan.
neuromuscular menurun
megap–megap yang dalam, denyut jantung terus menerus, bayi terlihat lemah
koma
tendo/klenus
refleks cahaya
jelek
kejang isoelektrik
beberapa
minggu
defisit berat
apakah seorang bayi yang baru lahir membutuhkan pertolongan. Tes ini dapat dilakukan
dengan mengamati bayi segera setelah lahir (dalam menit pertama), dan setelah 5 menit.
Lakukan hal ini dengan cepat, karena jika nilainya rendah, berarti tersebut membutuhkan
tindakan.
P = “Pulse” (denyut). Dengarkan denyut jantung bayi dengan stetoskop atau palpasi
G = “Grimace” (seringai). Gosok berulang-ulang dasar tumit ke dua tumit kaki bayi
dengan jari. Perhaitkan reaksi pada mukanya. Atau perhatikan reaksinya ketika
lender pada mukanya. Atau perhatikan reaksinya ketika lender dari mulut dan
tenggorokannya dihisap.
A = “Activity”. Perhatikan cara bayi yang baru lahir menggerakkan kaki dan
tangannya atau tarik salah satu tangan/kakinya. Perhatikan bagaimana kedua tangan
pernapasannya.
TANDA 0 1 2 JUMLAH
NILAI
ekstremitas: kemerahan
biru
Apgar Skor : 7-10; bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa
Apgar Skor 4-6; (Asfiksia Neonatorum sedang); pada pemeriksaan fisik akan terlihat
frekwensi jantung lebih dari 100 X / menit, tonus otot kurang baik atau baik,
Apgar Skor 0-3 (Asfiksia Neonatorum berat); pada pemeriksaan fisik ditemukan
frekwensi jantung kurang dari 100 X / menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan
persalinan, akan terjadi asfiksia. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan
bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan ini dapat
reversible atau tidak tergantung dari berat badan dan lamanya asfiksia. Asfiksia ringan
yang terjadi dimulai dengan suatu periode appnoe, disertai penurunan frekuensi jantung.
Selanjutnya bayi akan menunjukan usaha nafas, yang kemudian diikuti pernafasan
teratur. Pada asfiksia sedang dan berat usaha nafas tidak tampak sehingga bayi berada
dalam periode appnoe yang kedua, dan ditemukan pula bradikardi dan penurunan
tekanan darah. Disamping perubahan klinis juga terjadi gangguan metabolisme dan
terjadi metabolisme anaerob yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen
tubuh pada hati dan jantung berkurang. Hilangnya glikogen yang terjadi pada
kardiovaskuler menyebabkan gangguan fungsi jantung. Pada paru terjadi pengisian udara
alveoli yang tidak adekuat sehingga menyebabkan resistensi pembuluh darah paru.
Sedangkan di otak terjadi kerusakan sel otak yang dapat menimbulkan kematian atau
D. Pathway
E. Komplikasi
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut
sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun,
keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat
terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan otak.
keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai
dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak
mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan
3. Kejang
pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena
4. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan
koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.
F. Pemeriksaan Fisik
1. Breathing/B1
a. Inspeksi
Bentuk dada (barrel atau cembung)
Kesimetrisan
Adanya insisi
Selang dada atau penyimpangan lain.
Pada klien dengan asfiksia akan mengalami usaha bernapas yang
lambat sehingga gerakan cuping hidung mudah terlihat.
Terkadang pernapsannya tak teratur bahkan henti napas.
b. Palpasi
Palpasi dilakukan untuk mengetahui perkembangan paru yang adekuat.
Bayi dengan penyakit congenital/bawaan perkembangan paru tidak baik
atau hipoplasia. Sering terjadi di paru bagian kiri.
c. Perkusi
Suara perkusi di area dada kiri terdengar lebih redup dan pekak.
d. Auskultasi
Suara napas menurun sampai menghilang. Bunyi napas tak teratur bahkan
lambat.
2. Blood/B2
a. Inspeksi
Pada saat dilakukan inspeksi, perlu diperhatikan letak ictus cordis
normal yang berada pada ICS 5 pada linea medio calviculaus kiri selebar 1
cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada/tidaknya pergeseran
jantung.
b. Palpasi
Palpasi dilakukan dengan menghitung denyut jantung (heart rate) dan
harus memperhatikan kedalaman dan teratur atau tidaknya denyut jantung.
Selain itu, perlu juga memperhatikan adanya thrill (getaran ictus cordis).
Memeriksa nadi lengan dengan meletakkan telunjuk dan jari tengah anda di
bagian dalam siku bayi di sisi yang paling dekat dengan tubuh.
c. Perkusi
Tindakan perkusi dilakukan untuk menentukan batas jantung (area
yang bersuara pekak). Hal ini untuk menentukan adanya pergeseran jantung
karena desakan diafragma bila terjadi kasus hernia diafragmatika.
d. Auskultasi
Auskultasi dilakukan dengan menentukan bunyi jantung I dan II
tunggal atau gallop, bunyi jantung III merupakan gejala payah jantung,
murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.
Penderita asfiksia neonatal denyut jantung kurang dari 100/menit atau tidak
terdengar sama sekali.
3. Brain/B3
Ketika melakukan inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji dengan skala
GCS. Fungsi sensorik seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan
dan pengecapan. Penderita asfiksia berat tidak akan menunjukkan respon GCS
4. Bladder/B4
Pengukuran volume input/output urine dilakukan dalam hubungannya
dengan intake cairan. Oleh karena itu perlu ditinjau adanya oliguria atau tidak
karena dapat menjadi pertanda awal adanya syok
5. Bowel/B5
Ketika inspeksi dilihat bentuk abdomen yang membuncit/datar
Tepi perut menonjol/tidak
Umbilicus menonjol/tidak
Ada benjolan massa/tidak
Pada klien biasanya didapatkan indikasi mual, muntah, penurunan nafsu
makan, penurunan berat badan.
6. Bone/B6
Hal yang perlu diperhatikan adalah:
Adanya edema peritibial
Pemeriksaan capillary refill time
Feel pada kedua ekstremitas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kekuatan otot untuk dibandingkan
antara bagian kiri dan kanan.
G. Pemeriksaan Penunjang
2. USG kepala
4. PH tali pusat : tingkat 7,20 sampai 7,24 menunjukkan status parasidosis, tingkat
6. Tes combs langsung pada daerah tali pusat. Menentukan adanya kompleks antigen-
1. Resusitasi
b. Terapi medikamentosa :
2. Epinefrin
Indikasi :
a. Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi
b. Asistolik.
Dosis :
0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) Cara : i.v
3. Volume ekspander
Indikasi :
a. Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada
adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak
Jenis cairan :
Dosis :
Dosis awal 10 ml/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai
4. Bikarbonat
Indikasi :
Cara :
Efek samping :
5. Nalokson
Indikasi :
o Depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan narkotik 4
o Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya baru dicurigai sebagai
pemakai obat narkotika sebab akan menyebabkan tanda with drawltiba-tiba pada
sebagian bayi.
Cara : Intravena, endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan i.m atau s.c
6. Suportif
a. Jaga kehangatan.
Dokumentasi SOÁP
SOAP merupakan urutan yang dapat membantu mengorganisasi fikiran dan
memberi asuhan yang menyeluruh. SOAP adalah catatan yang bersifat sederhana, jelas,
logis, dan tertulis. Seorang bidan hendak menggunakan SOAP setiap kali mengkaji
pasien. Selama masa antefartum bidan dapat menulis satu catatan SOAP untuk setiap kali
kunjungan, sementara dalama masa itrapartum bidan boleh menulis lebih dari satu catatan
untuk satu pasien dalam satu hari. Bidan juga harus memiliki catatan SOAP terdahulu bila
seseorang klien untuk mengevaluasi merawat kondisinya yang sekarang. Sebagai peserta
didik, bidan akan mendapat lebih banyak pengalaman dan urutan SOAP akan terjadi
secara alamiah (Wafda, 2019). Telah dibahas sebelumnya bahwa alur berfikir saat
menghadapi pasien melipui 7 langkah. Agar orang lain dapat mengetahui apa yang
dilakukan oleh orang seorang bidan melalui proses berfikir sistemas dan kritis, maka hasil
a. Subjektif
menggambarkan hasil pengumpulan data klien melalu anmnesa sebagai langkah satu
menurut varney.
b. Objektif
pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik pasien, hasil laboratorium, juaga hasil tes
diagnostik lain yang di rumuskan dalam data fokus untuk mendukung asuhan sebagai
c. Assesmen
pendokumentasian hasil analisis dan interpretasi data subjektif dan objektif dalam
suatu identifikasi, baik itu diagnosis atau masalah, antisipasi diagnosis atau masalah
konvensial Selain itu, juga memuat identifikasi mengenai perlunya tindakan segera
oleh bidan atau dokter, konsultasi atau kolaborast, atau rujukan sebagai langkah
d. Pleaning
Selain itu, metode ini juga merupakan intisari dari proses pelaksanaan kebidanan
BAB III
TINJAUAN KASUS
PENGKAJIAN
Hari : Sabtu , 23/03/2024
Jam : 15:00 WIB
IDENTITAS :
2. Kulit : kemerahan
3. THT : tidak ada kelainan
4. Mulut : bersih
5. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada
pembesaran kelenjar getah bening dan tidak ada
benjolan abnormal.
6. Dada : terdapat retraksi dada
7. Paru : terdengar bunyi ronkhi
8. Jantung : ttidak ada bunyi mur – mur
9. Abdomen : supel tidak kembung, tali pusat segar
10. Genetalia : bersih tidak ada kelainan, terdapat penis dan skrotum
11. Anus : normal , lubang (+)
12. Ekstremitas : lengkap , normal
13. Reflek :
-Reflek Morro : lemah
-Reflek Rootirg : lemah
-Reflek Sucking :lemah,
-Reflek Grasp : lemah
-Reflek Swallowing : lemah
-Reflek Breathing : Ada, terdapat gerakan seperti menghirup dan
mengeluarkan nafas
14. Pengeluaran air kemih : Ada
15. Pengeluaran Mekonium :-
CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Pasien :
Ruang : Bayi
By.Ny.I No. RM : 975490
Umur : Tanggal : 23/03/2024 Nama dan Paraf :
2 hari Jam : 15.00
Tanggal/jam : Catatan Perkembangan
23/03/2024 (SOAP)
Jam 15.00 S = Hipotermi
O=
- Keadaan umum:
tangis lemah, gerak lemah, sesak, retraksi
dada (+)
- TTV
SPO2 : 97%
RR : 48x/menit
Nadi : 122x/menit
Suhu : 35,7 oC
A=
By.Ny.I usia 2 Hari dengan NPL, BBLR,
Asfiksia
P=
1. menghangatkan bayi.Sudah dilakukan
2. melanjutkan terapi sesuai dengan advice
dokter yaitu :
- pemberian ASI melalui sonde 8x 5 ml
3. menjaga bayi tetap dalam keadaan stabil
dengan :
- Monitor pola nafas
- Monitor saturasi oksigen
Tanggal/jam : S= -
23/03/2024
Jam 18.00 O=
- Keadaan umum:
tangis lemah, gerak lemah, sesak, retraksi
dada (+)
- TTV
SPO2 : 98%
RR : 48x/menit
Nadi : 124x/menit
Suhu : 37 oC
A=
By.Ny.I usia 2 Hari dengan NPL, BBLR,
Asfiksia
P=
4. menghangatkan bayi.Sudah dilakukan
5. melanjutkan terapi sesuai dengan advice
dokter yaitu :
- pemberian ASI melalui sonde 8x 5 ml
6. menjaga bayi tetap dalam keadaan stabil
dengan :
- Monitor pola nafas
- Monitor saturasi oksigen
Tanggal/jam : S= -
23/03/2024
Jam 21.00 O=
- Keadaan umum:
tangis lemah, gerak lemah, sesak, retraksi
dada (+)
- TTV
SPO2 : 96%
RR : 44x/menit
Nadi : 125x/menit
Suhu : 36,7 oC
A=
By.Ny.I usia 2 Hari dengan NPL, BBLR,
Asfiksia
P=
7. menghangatkan bayi.Sudah dilakukan
8. melanjutkan terapi sesuai dengan advice
dokter yaitu :
- pemberian ASI melalui sonde 8x 5 ml
9. menjaga bayi tetap dalam keadaan stabil
dengan :
- Monitor pola nafas
- Monitor saturasi oksigen
Wi’am Salehoddin
NIM.2315901064
Mengetahui,
Pembimbing Prodi Pembimbing Klinik
Berdsarkan hasil anamnesa yang sudah dilakukan pada bayi. Ny.I di dapatkantanda –
tanda bayi seperti keadaan umum lemah, terdapat retraksi dada dan juga terdapat sesak hal ini
merujuk pada diagnose asfiksia. Asfiksia bisa saja terjadi dari berbagai faktor termasuk faktor
berat badan bayi yang kurang.
Asfiksia paling sering terjadi pada periode segera setelah lahir dan menimbulkan
sebuah kebutuhan resusitasi dan intervensi segera untuk meminimalkan mortalitas dan
morbiditas. Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disebabkan oleh karena hipolisis janin
dalam kandungan yang terjadi pada saat kehamilan, persalinan atau segera setelah bayi lahir
(Maryunani, 2018).
Diagnosis asfiksia yang akurat memerlukan penilaian kadar gas dan asam darah.
Klasifikasi klinis asfiksia didasarkan pada asidosis metabolik untuk memastikan bahwa
asfiksia telah terjadi dan didapatkan ensefalopati neonatus serta komplikasi sistem organ
lainnya untuk mengetahui derajat asfiksia. Asfiksia dapat disebabkan oleh karena faktor ibu,
bayi dan tali pusat atau plasenta (Irwanto, 2017).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maya Dian
Rakhmawatie yang berjudul Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Asfiksia
Neonatorum. Sampel ibu yang melahirkan bayi yang tidak prematur sebesar 89,9%, bayi
prematur dalam garis batas sebesar 1,4%, dan bayi prematur sedang sebesar 8,7%. Hasil uji
regresi logistik menunjukkan OR 53,737 berarti resiko terjadinya asfiksia neonatorum pada
ibu yang melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR), berat bayi lahir sangat rendah
(BBLSR) dan berat bayi lahir extra rendah (BBLER) sebesar 53,7 kali lebih besar
dibandingkan dengan ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan normal hasil (Maryunani,
2018).
Neonatus yang mengalami asfiksia harus segera mendapatkan pertolongan resusitasi
berdasarkan evaluasi apgar dalam satu menit pertama dan lima menit kedua. Prosedur
penilaian skor APGAR adalah nilai APGAR pada menit pertama dengan cepat dan simultan,
jumlahkan hasilnya. Lakukan tindakan dengan cepat dan tepat sesuai dengan hasilnya. Apgar
perlu dinilai pada 1 menit dan 5 menit. Apabila nilai Apgar kurang dari 7 penilaian nilai
tambahan masih diperlukan yaitu tiap 5 menit sampai 20 menit atau sampai dua kali penilaian
menunjukkan nilai 8 dan lebih (Depkes RI, 2008).
Hasil penelitian menunjukan ada perbedaan saturasi oksigen BBLR sebelum dan
sesudah penggunaan nesting. Artinya adanya pengaruh nesting terhadap perubahan saturasi
oksigen BBLR. Hasil penelitian menunjukan terjadi peningkatan saturasi oksigen pada BBLR
setelah 30 menit penggunaan nesting. Hasil penelitian juga menunjukan rerata saturasi
oksigen 95% setelah penggunaan nesting dari sebelumnya hanya 92%. Hasil ini menunjukan
bahwa penggunaan nesting efektif untuk meningkatkan saturasi oksigen. Mesipun ada
peningkatan, namun saturasi oksigen pada bayi baru lahir perlu dipertahankan pada kisaran
90 – 92 %.
Hasil penelitian ini didukung oleh Zen (2017), menjelaskan bahwa ada pengaruh
nesting terhadap peningkatan saturasi oksigen pada bayi prematur dengan p value = 0,000.
Hasil penelitian lainnya oleh Rahmawaty, Prawesti & Fatimah (2017), menjelaskan bahwa
ada pengaruh yang bermakna nesting terhadap saturasi oksigen dengan p value = 0,000. Hasil
penelitian serupa juga dilakukan oleh Bayuningsih (2011), menjelaskan bahwa terdapat
perbedaan bermakna saturasi oksigen sebelum dan sesudah penggunaan nesting pada bayi
prematur dengan p value = 0,001. Berdasarkan beberapa hasil penelitian sejenis, penulis
menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh nesting terhadap perubahan saturasi oksigen pada
bayi BBLR. Adanya peningkatan saturasi oksigen pada BBLR dikarenakan saat penggunaan
nesting, bayi dalam keadaan nyaman karena bersikap fleksi sehingga mengurangsi stres dan
menurunkan metabolisme. Hal ini didukung oleh Nair, Gipta & Jatana (2003), menjelaskan
bahwa posisi terbaik pada bayi prematur adalah melakukan posisi fleksi karena akan
menurunkan metabolisme dalam tubuh bayi sehingga meningkatkan saturasi oksigen.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan pengkajian asuhan kebidanan pada By.Ny.I dengan asfiksia
penulis dapat mengambil kesimpulan :
1. Dengan manajement asuhan kebidanan dapat meningkatkan keterampilan dan sikap
yang harus dilakukan bidan dalam memberikan asuhan secara tepat,cermat,
menyeluruh pada pelayanan neonatal dengan asfiksia.
2. By.Ny.I dengan diagnose asfiksia sudah diberikan asuhan bayi baru lahir dengan
menajaga kehangatan, memfasilitasi ABC dan sudah diberikan terapi farmakologis
yang sesuai seperti inj.dionicol, Inj.glukonas.
3. Diberikan konseling perawatan bayi post Asfiksia non farmakologis seperti
memberikan bayi perawatan dengan nesting untuk menjaga suhu, staurasi oksigen
tetap baik.
B. Saran
1. Bagi tenaga kesehatan
Bagi tenaga kesehatan dapat memberikan asuhan kebidanan pelayanan dan
penyuluhan kepada masyarakat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan untuk
menambah wawasan mengenai asfiksia.
2. Bagi Tempat penelitian
Diharapkan tetap menjaga pelayanan yang sudah berlangsung sesuai dengan
standar operasional prosedur (SOP) yang sudah berlaku dan di barengi dengan
konseling terapi non farmakologis untuk menambah pengetahuan dan juga
memudahkan untuk dilakukan namun masih sesuai anjuran yang di tetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2005. Pelatihan Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir untuk Bidan. Jakarta.
IBI. 2006. 50 Tahun IBI Menyongsong Masa Depan. Jakarta: Pengurus IBI Pusat.
Johnson, M., Meriden M.,Sue M. 2000. Nursing Outcome Classification (NOC). St. Louis
Baltimore: Mosby.
Kartiningsih. 2009. Hubungan antara Faktor Ibu dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum di
RSU Pandan Arang Kabupaten Boyolali. Solo: Stikes
Mc Closkey, JC., Gloria MB. 2000. Nursing Intervention Classification (NIC). St. Louis
Baltimore: Mosby.