Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTIK PROFESI NERS KEPERAWATAN ANAK


HIPERBILIRUBINEMIA NEONATUS

Disusun untuk memenuhi tugas Stase Keperawatan Dasar Profesi Ners


Dosen Pembimbing : Ns. Wahyuningsih Safitri, M.Kep.

Disusun Oleh :
DION CHIGRA RAMADHAN
SN221035

PROGRAM STUDI PROFESI NERS PROGRAM PROFESI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Ikterik neonatus adalah suatu keadaan pada bayi baru lahir yang
diakibatkan oleh penumpukan berlebih kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi
sehingga menyebabkan adanya warna kuning pada sklera dan kulit (Auliasari,
Etika, Krisnana, & Lestari, 2019). Ikterik neonatus adalah kondisi
menguningnya kulit dan membran mukosa bayi karena masuknya bilirubin
yang tidak terkonjugasi dengan baik ke dalam sirkulasi pada 24 jam setelah
kelahiran (PPNI, 2016).
Hasil data World Health Organization (WHO) tahun 2017 menunjukkan
bahwa Angka Kematian Bayi (AKB) secara global mencapai 59 pada tahun S
2017 per 1000 kelahiran hidup, dan sesuai Profil Kesehatan Indonesia di tahun
2018, AKB di Indonesia menurun yaitu 25,23 per 1000 bayi lahir hidup yang
artinya hampir mencapai sasaran Millennium Development Goals (MDGs)
2017 yaitu sebesar 25 per 1000 bayi lahir hidup. Meski menurun dari tahun ke
tahun dulu, banyaknya hal itu masih ternilai cukup tinggi. Pada survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 didapatkan angka
kematian neonatus pada tahun 2017 sebesar 19 per 1000 kelahiran hidup dan
78,5% kematian neonatus terjadi pada usia 0-6 hari. Komplikasi yang terjadi
paling banyak pada neonatus adalah asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus,
infeksi, trauma lahir, berat badan lahir rendah (BBLR), sindroma gangguan
pernafasan, dan kelainan kongenital (Yusuf. Aupia, & Sari, 2021).
Akibat yang dapat muncul dari hiperbilirubin yang berkepanjangan pada
neonatus adalah kernikterus yaitu melekatnya kadar bilirubin pada otak
sehingga terjadi adanya cidera pada otak. Manifestasi dari kejadian ini adalah
refleks hisap menurun, enggan minum, peningkatan tonus otot, kekakuan pada
leher, tingkat kesadaran menurun hingga terjadi kejang. Oleh karena itu hal ini
harus segara ditangani. Tindakan yang dapat diberikan dalam kasus ini adalah
dengan pemberian fototerapi (Kumar, dkk dalam(Ambarita & Anggraeni,
2019).
2. Etiologi
Banyak faktor yang dapat menyebabkan seorang bayi mengalami ikterus.
Pada kawasan Asia dan Asia Tenggara terdapat faktor risiko yang
menyebabkan ikterus pada bayi usia 0-28 hari diantaranya yaitu inkompabilitas
ABO, defisiensi enzim Defisiensi Glucose-6-Phosphate Dehydrogenese
(G6PD), Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), sepsis neonatorum, dan prematur
(Zaben B dkk dalam (Yuliawati & Astutik, 2018). Bayi dengan berat badan
yang rendah dan usia gestasi yang kurang dari 35 minggu rentan terkena
hiperbilirubin dengan persentase 20-50%. Terdapat juga faktor risiko mayor
dan minor yang menyebabkan hiperbilirubin pada bayi cukup bulan
diantaranya yaitu adanya penumpukan darah di bawah kulit kepala neonatus
dan neonatus dengan jenis kelamin laki-laki (Kosim dkk dalam (Yuliawati &
Astutik, 2018)).
Penyebab dari ikterik neonatus menurut Marmi dalam (Yuliana, Hidayah,
& Wahyuni, 2018) adalah belum matangnya organ hati pada neonatus atau
disebabkan oleh cepatnya penguraian sel darah merah. Proses pengeluaran
bilirubin pada neonatus belum sempurna karena terdapat beberapa organ yang
belum matang, namun pada hari ke tujuh organ hati mulai dapat berfungsi
dengan baik.
Ikterik neonates dapat disebabkan pula oleh beberapa faktor seperti berat
badan yang kurang dari 2,5 kilogram, kehamilan kurang dari 36 minggu,
hipoksia, asfiksia, sepsis atau infeksi pada bayi baru lahir, hipoglikemi, kepala
yang mengalami trauma lahir (Bobak dalam (Widiawati, 2017)).
3. Manifestasi Klinis
Bayi yang mengalami hiperbilirubinemia memiliki beberapa gejala
secara klinis yaitu sering mengantuk, daya hisap yang rendah, mengalami
nausea, opistotonus, berputar-putarnya mata ke atas, kejang, dan apabila sudah
berada pada fase berat dapat mengakibatkan mortalitas. Kadar bilirubin yang
sangat tinggi dapat pula mengakibatkan Kern Icterus atau kerusakan otak yang
berefek pada keterbelakangan mental, gangguan pendengaran, cerebral palsy,
serta terbatasnya pergerakan mata. (Mathindas et al. dalam (Kusuma, 2021))
Penumpukan bilirubin pada bayi akan membuat bayi mengalami ikterus
yang membuat sklera mata dan kulit bayi menjadi kuning. Ikterus akan mulai
terlihat pada sklera mata dan wajah yang nantinya akan menyebar dari atas ke
bawah, dada, perut hingga ekstremitas. Pada neonatus, gejala kuning pada
sklera mata bayi belum dapat dilihat karena bayi belum bisa membuka mata
pada saat baru lahir (Widiawati, 2017).
Ikterik neonatus dibagi menjadi beberapa zona atau derajat kremer yang
ditandai dengan menguningnya bagian-bagian tubuh tertentu. Zona I kepala
sampai leher dengan rata-rata bilirubin indirek serum 4-8 mg/dl. Zona II badan
atas (di atas umbilikal) dengan rata-rata bilirubin indirek serum 5-12 mg/dl.
Zona III meliputi tungkai bawah dan paha (di bawah umbilikal) 8-16 mg/dl.
Zona IV meliputi ekstremitas atas dan kaki bawah dengan rata-rata bilirubin
indirek serum 11-18 mg/dl. Zona V meliputi telapak tangan dan tumit dengan
rata-rata bilirubin indirek serum lebih dari 18 mg/dl (Rohsiswatmo &
Amandito, 2018).
4. Komplikasi
Kern Icterus atau kerusakan otak yang berefek pada keterbelakangan
mental, gangguan pendengaran, cerebral palsy, serta terbatasnya pergerakan
mata (Mathindas dalam (Kusuma, 2021)). Ensefalopati bilirubin. merupakan
salah satu komplikasi dari ikterik yang terberat dan merupakan salah satu
penyebab kematian pada neonatus (Surya Dewi, Kardana, & Suarta, 2016).
5. Patofisiologi dan Pathway
Bilirubin merupakan hasil dari katabolisme heme dan dibentuk dari
reaksi oksidasi reduksi yang dihasilkan dari sistem retikuloendoteliel. Di tahap
awal oksidasi, heme oksigenase bekerja untuk menghasilkan biliverdin yang
terbuat dari heme. Larutnya biliverdin di dalam air diubah dalam bentuk
isomerik menjadi bilirubin yang sukar larut dalam air. Plasma mengangkut
bilirubin yang tidak larut didalam air yang berikatan dengan albumin, apabila
terdapat gangguan baik yang disebabkan oleh faktor endogen maupun eksogen
antara bilirubin tak konjugasi dengan albumin menjadikan bilirubin yang tak
terikat dapat menerobos membran yang mengandung lemak (double lipid
layer) dan sawar darah otak yang dapat mengakibatkan neurotoksisitas.
Hepatosit akan mengangkut bilirubin yang berikatan dengan ligandin yang
telah berada di hati.
Konsentrasi ligandin akan meningkat berbanding lurus dengan peningkatan
bilirubin yang masuk ke dalam hepatosit. Ketika bayi baru lahir, terjadi
penurunan pada konsentrasi ligandin, namun setelah beberapa minggu
kelahiran akan terjadi peningkatan yang signifikan Mathindas et al. dalam
(Kusuma, 2021).
Bilirubin yang larut dalam air diubah menjadi tidak larut dalam air
melalui konjugasi bilirubin. Bilirubin mengalami proses reduksi yang berubah
menjadi tetrapirol dengan bantuan mikroba dalam usus besar ketika diekskresi
ke empedu yang kemudian masuk ke usus. Terjadinya hiperbilirubin
dikarenakan adanya bilirubin yang tidak terkonjugasi yang terabsorbsi dan
masuk ke dalam sirkulasi sehingga mengakibatkan adanya peningkatan
bilirubin di dalam plasma. Mathindas et al. dalam (Kusuma, 2021).

6. Penatalaksanaan Medis
Beberapa penatalaksanaan medis dalam menangani kasus ikterik
neonatus menurut Marmi dalam (Sritamaja, 2018) yaitu :
a. Memperlaju proses metabolisme dan ekskresi bilirubin
1) Memberi minum ASI pada bayi dapat membantu pemecahan bilirubin
yang nantinya akan dikeluarkan lewat urin dan feses, maka bayi yang
mengalami bilirubin dianjurkan untuk banyak minum ASI karena di
dalam ASI terdapat banyak zat penting dalam membantu memperlancar
BAK dan BAB. Saputra dalam (Yanto, Rochayati, & Wuryanto, 2018)
bahwa memberikan ASI sedini mungkin dan secara langsung dapat
memberikan manfaat yang signifikan untuk bayi karena ASI mensiliki
peranan penting untuk perkembangan dan imunitas bagi bayi. Rata-rata
bayi baru lahir akan minum ASI 8-12 jam dalam satu hari atau 2-3 jam
sekali selama 5-7 menit karena dalam kurun waktu tersebut perut bayi
akan kembali kosong (Yuliana et al., 2018). Menurut Arif dalam
(Yuliana et al., 2018) proses tumbuh kembang bayi banyak ditentukan
oleh nutrisi yang terdapat dalam ASI, maka menjadi perhatian utama
untuk frekuensi pemberian ASI karena frekuensi menyusu bayi yang
tidak sakit adalah 8-12 kali dalam sehari.
2) Memberi fenobarbital yang dapat mempercepat konjungsi bilirubin
karena adanya induksi enzim mikrosoma.
b. Fototerapi
Pemberian terapi ini dilakukan ketika ikterik digolongkan dalam ikterik
yang serius yang terlihat kuning pada lengan dan tungkai (Karyuni &
Meilya, 2019).
1) Cara kerja fototerapi
Efek yang ditimbulkan dari fototerapi adalah terurainya bilirubin dari
senyawa tetrapirol yang tidak mudah larut dalam air diubah ke dalam
bentuk senyawa dipirol yang larut dalam air dan cairan empedu usus dua
belas jari sehingga mengakibatkan peningkatan ekskresi cairan empedu
di usus yang menyebabkan peningkatan peristaltik pada usus yang pada
akhirnya bilirubin diekskresikan dalam bentuk feses (Karyuni & Meilya,
2019). Fototerapi dapat bekerja secara efektif ditentukan oleh kualitas
cahaya yang terdapat pada lampu, kekuatan cahaya, luas bidang tubuh,
tebal tipisnya kulit, waktu terpaparnya cahaya pada tubuh, jumlah
bilirubin serum saat fototerapi (Kosim, Soetandio, & Sakundarno, 2016).
Fototerapi yang efektif dapat menurunkan kadar bilirubin hingga 1-2
mg/dl selama 4-6 jam, sehingga harus dilakukan monitor tiap 4-12 jam.
Fototerapi apabila diberikan semakin lama, maka akan semakin cepat
menurunkan kadar bilirubin (Kosim et al., 2016). Fototerapi dilakukan
secara berkesinambungan dan ketika bayi akan disusui atau fototerapi
dihentikan. Saat diberikan fototerapi selama 24 jam bayi tidak memakai
baju apapun kecuali popok dan penutup mata (Surya Dewi et al., 2016).
Mengukur jarak antara lampu dan permukaan kulit bayi dengan jarak 30
cm untuk menghindari terjadinya hipertermi. Fototerapi dengan jarak 30
cm memiliki komplikası hipertermi yang rendah dibandingkan dengan
jarak 12 cm(Surya Dewi et al., 2016). Membiarkan tubuh bayi terpapar
sinar fototerapi secara berkelanjutan agar sinar yang dihasilkan bisa
menurunkan bilirubin yang ada dalam tubuh bayi. Menurut Ullah, et al
dalam (Santosa, Mukhson, & Muntafiah, 2020) fototerapi dapat
memberikan hasil yang efektif dan efisien bergantung pada daerah yang
terkena paparan oleh fototerapi, panjang gelombang, dan kekuatan
cahaya yang dihasilkan.
2) Komplikasi fototerapi
Fototerapi dapat menimbulkan beberapa komplikasi diantaranya sebagai
berikut:
a) Fototerapi yang diberikan selama terapi dapat menyebabkan dehidrasi
karena efek sinar lampu dan dapat menyebabkan Insisible Water Loss
(IWL)
b) Peningkatan frekuensi BAB karena cairan empedu yang mengandung
banyak bilirubin indirek sehingga terjadi peningkatan peristaltik pada
usus
c) Kulit menjadi kememreahan pada bagian yang terkena sinar namun
setelah fototerapi selesai akan menghilang
d) Jika selama pemberian fototerapi mata bayi tidak ditutup dapat
mengakibatkan kelainan pada retina
e) Sinar lampu yang dihasilkan dapat menyebabkan suhu pada tubuh
bayi naik maka matikan sebagian lampu dan tetap diteruskan, namun
jika suhu masih tetap naik maka matikan semua lampu untuk
sementara dan beri minum bayi dengan frekuensi yang banyak.
3) Transfusi tukar
Tindakan ini sudah jarang dilakukan karena tindakan ini hanya dilakukan
apabila pemberian fototerapi masih belum dapat menurunkan
hiperbilirubin. Tindakan ini dilakukan apabila tindakan lain sudah
diberikan namun masih tidak dapat mengatasi hiperbilirubinemia. Secara
umum, ikterus yang diberikan tindakan ini adalah ikterus dengan keadaan
tertentu seperti ketidakcocokan resus ABO, kurangnya enzim glukuronil
transferase G6PD, infeksi toksoplasmosis, dan lain-lain. Transfusi tukar
dilakukan dengan indikasi apabila kadar bilirubin indirek meningkat
dengan signifikan, yaitu 0,3 mg% per jam, adanya anemia berat pada
neonatus dimanifestasikan dengan gagal jantung, uji comb positif, dan
kurangnya kadar hemoglobin yang kurang dari 14 mg% pada umbilikal
bayi. Transfusi Tukar dilakukan dengan tujuan merubah eritrosit sebagai
hemolisis, menghilangkan antibodi penyebab hemolisis, merendahkan
kadar bilirubin dan memulihkan anemia.
Pathway

Peningkatan produksi Gangguan ekskresi


Gangguan fungsi hati
bilirubin bilirubin

HIPERBILIRUBINEMA

Bilirubin tidak Fototerapi


terkonjugasi Peningkatan
Pemecahan Bilirubin

Bilirubin indirek Perubahan suhu


meningkat Pengeluaran cairan lingkungan
empedu

Toksik kepada Penguapan


Peristaltik usus
jaringan
meningkat

Gangguan integritas Hipertermi


Diare
kulit/jaringan

Pengeluaran volume
cairan meningkat

Risiko kekurangan
volume cairan
Sumber : (Widiawati, S. 2017)

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat
1) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus hiperbilirubin adalah
menguningnya kulit dan membran mukosa bayi karena masuknya
bilirubin yang tidak terkonjugasi dengan baik ke dalam sirkulasi pada 24
jam setelah kelahiran
2) Riwayat Penyakit Saat Ini
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan faktor pencetus, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditanyakan tentang riwayat penyakit saat prenatal, natal,
postnatal.
4) Riwayat Nutrisi ASI/PASI
Pada pengkajian ini ditanyakan perihal metode memberikan nutrisi, monitor
makanan tambahan dan kebiasaan makan.
b. Pola Gordon
Pada asuhan keperawatan neonatus tidak menggunakan pola gordon
c. Pemeriksaan fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada
kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang
lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
a) Keadaan umum : Baik, lemah, lemas dan buruk
b) Kesadaran penderita :  Apatis, sopor, koma, gelisah,
composmentis tergantung pada keadaan klien.
c) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat.
d) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, dan nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan dan tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan dan reflek
menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris dan tidak oedema.
e) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan).
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan dan mukosa
mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j) Paru
 Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
 Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. 
 Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
 Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
k) Jantung 
 Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung. 
 Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba. 
 Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l) Abdomen
 Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
 Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
  Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan. 
 Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Metode Visual
Untuk mengetahui adanya gejala ikterik pada neonatus, perlu untuk
dilakukan pemeriksaan visual Penyebaran ikterik pada mulanya berada di
wajah kemudian menyebar secara menyeluruh hingga bagian ekstremitas,
maka perlu dilakukan evaluasi setiap hari dengan menekan bagian dahi,
midsternum, lutut atau pergelangan kaki untuk mengecek adanya ikterik
di bawah kulit dan jaringan subkutan Pemeriksaan ini dapat dilakukan
pada kondisi peneranganan yang cukup Jika pada saat pemeriksaan visual
terdapat bayi ikterik maka perlu dilakukan konfirmasi kadar bilirubin.
2) Pemeriksaan Serum Total Bilirubin Invasif
Dibutuhkan fasilitas laboratorium yang khusus untuk melakukan
pemeriksaan ini Pemeriksaan bilirubin perlu dilaksanakan setelah
dilakukan pemeriksaan secara langsung dengan melihat penampakan
bayi. Hasıl kadar bilirubin yang sudah keluar kemudian dibandingkan
dengan kurta American Academy of Pediatrics (AAP). Metode
pemeriksaan ini tentulah memiliki beberapa kekurangan yaitu perlu 1 ml
sampel darah yang digunakan, hasil dari pemeriksaan memerlukan waktu
hingga 4 jam lebih karena membutuhkan tenaga laboratorium khusus.
3) Pemeriksaan Bilirubin Non-invasif
Dikenal juga dengan alat bilirubinometer transkutan (TcB). Prinsip kerja
alat ini seperti spektrofotometer dengan memantulkan cahaya pada warna
kulit yang kemudian diukur dan pengambilan dilakukan pada area bawah
sternum. Pemeriksaan ini dapat menjadi pilihan untuk melakukan
pemeriksaan bilirubin neonatus karena metodenya yang cermat dan non-
invasif Kekurangan dari alat ini adalah saat pasien menjalani fototerapi
atau berjemur di bawah sinar matahari, maka alat ini tidak bisa dipakai,
namun TcB ini cukup bisa diandalkan untuk pemeriksaan bilirubin
dengan kadar di bawah 15mg/dl dari beberapa alat yang tidak akurat dan
konsisten apabila bilirubin total lebih dari 1 Sing/dl
4) Metode Pemeriksaan Kurang Invasif, Bilistick
Bilistick ini memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan
TCB jenis JM-103. Beberapa keunggulannya di antaranya adalah metode
pemeriksaan yang simple, cepat, tidak memerlukan reagen, bilirubin total
di atas 15mg/dl dan hematocrit 25%-65% dapat terukur, alat dengan
ukuran minimalis yang tidak berefek terhadap terapi sinar, tidak
memerlukan sampel darah yang banyak (25µL), serta sampel darah bisa
diambil dari tumit pasien. (Mathindas et al. dalam (Kusuma, 2021))
(Rohsiswatmo & Amandito, 2018)
2. Diagnosis Keperawatan
a. Gangguan integritas kulit/jaringan b/d efek samping terapi radiasi
dibuktikan dengan kerusakan jaringan dana tau lapisan kulit (D.0129)
b. Risiko Hipovolemia b/d kehilangan cairan secara aktif
c. Hipertermia b/d penggunaan inkubator ditandai dengan kulit terasa hangat
3. Perencanaan Keperawatan
No. Dx. Keperawatan SLKI SDKI
1. Gangguan integritas Setelah dilakukan Perawatan Integritas Kulit
kulit/jaringan b/d intervensi keperawatan (I.11353)
efek samping terapi selama 3x24 jam, maka Observasi
radiasi (D.0129) Integritas Kulit dan 1) Identifikasi penyebab
Jaringan (L.14125) gangguan integritas kulit
meningkat, dengan Terapeutik
kriteria hasil : 1) Ubah posisi tiap 2 jam jika
a. Kerusakan jaringan tirah baring
menurun 2) Gunakan produk berbahan
b. Kerusakan lapisan petroleum atau minyak pada
kulit menurun kulit kering
c. Pigmentasi abnormal 3) Hindari produk berbahan
menurun dasar alkohol pada kulit
kering
Edukasi
1) Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
2) Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya
2. Risiko Hipovolemia Setelah dilakukan Manajemen Hipovolemia
b/d kehilangan intervensi keperawatan (I.03116)
cairan secara aktif selama 3x24 jam, maka Observasi
(D.0034) Status Nutrisi (L.03030) 1) Periksa tanda dan gejala
membaik dengan kriteria hipovolemia
hasil : 2) Monitor intake dan output
a) Diare menurun cairan
b) Berat badan membaik Terapeutik
c) Indeks Masa Tubuh 1) Hitung kebutuhan cairan
(IMT) membaik 2) Berikan asupan cairan oral
Edukasi
1) Anjurkan memperbanyak
asupan cairan oral
2) Anjurkan menghindari
perubahan posisi mendadak
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian cairan
IV isotonis
2) Kolaborasi pemberian cairan
IV hipotonis
3) Kolaborasi pemberian cairan
koloid
3. Hipertermia b/d Setelah dilakukan Manajemen Hipertermia
penggunaan intervensi keperawatan (I.15506)
inkubator (D.0130) selama 3x24 jam, maka Observasi
Termoregulasi (L.14134) 1) Identifikasi penyebab
membaik dengan kriteria hipertermia
hasil : 2) Monitor suhu tubuh
a) Menggigil menurun 3) Monitor kadar elektrolit
b) Kejang menurun 4) Monitor keluaran urine
c) Suhu tubuh membaik 5) Monitor komplikasi akibat
d) Suhu kulit membaik hipertermia
e) Kadar glukosa darah Terapeutik
membaik 1) Longgarkan atau lepaskan
pakaian
2) Basahi atau kipasi
permukaan tubuh
3) Berikan cairan oral
4) Ganti linen setiap hari atau
sering jika mengalami
hiperhidrosis
5) Lakukan pendinginan
eksternal
6) Berikan oksigen, bila perlu
Edukasi
1) Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu

4. Evaluasi Keperawatan

Menurut (Setiadi, 2012) dalam buku Konsep & Penulisan Asuhan


Keperawatan, Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang
sistematis dan terencaan tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah
ditetapkan, dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan
klien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya.
Komponen catatan perkembangan, antara lain sebagai berikut :

a. Kartu SOAP (data subjektif, data objektif, analisis/assessment dan


perencanaan/plan) dapat dipakai untuk mendokumentasikan evaluasi
dan pengkajian ulang.
b. Kartu SOAPIER sesuai sebagai catatan yang ringkas mengenai
penilaian diagnosis keperawatan dan penyelesaiannya. SOAPIER
merupakan komponen utama dalam catatan perkembangan yang terdiri
atas:
S (Subjektif) : data subjektif yang diambil dari keluhan klien, kecuali
pada klien yang afasia.
O (Objektif) : data objektif yang diperoleh dari hasil observasi
perawat, misalnya tanda-tanda akibat penyimpanan
fungsi fisik, tindakan keperawatan, atau akibat
pengobatan.
A (Analisis) : masalah dan diagnosis keperawatan klien yang
dianalisis/dikaji dari data subjektif dan data objektif.
Karena status klien selalu berubah yang mengakibatkan
informasi/data perlu pembaharuan, proses
analisis/assessment bersifat diinamis. Oleh karena itu
sering memerlukan pengkajian ulang untuk menentukan
perubahan diagnosis, rencana, dan tindakan.
P (Planning) : perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan
keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan
datang (hasil modifikasi rencana keperawatan) dengan
tujuan memperbaiki keadaan kesehatan klien. Proses ini
berdasarkan kriteria tujaun yang spesifik dan periode
yang telah ditentukan.
I (Intervensi) : tindakan keperawatan yang digunakan untuk
memecahkan atau menghilangkan masalah klien.
Karena status klien selalu berubah, intervensi harus
dimodifikasi atau diubah sesuai rencana yang telah
ditetapkan.
E (Evaluasi) : penilaian tindakan yang diberikan pada klien dan
analisis respons klien terhadapintervensi yang berfokus
pada kriteria evaluasi tidak tercapai, harus dicari
alternatif intervensi yang memungkinkan kriteria tujuan
tercapai.
R (Revisi) : tindakan revisi/modifikasi proses keperawatan
terutama diagnosis dan tujuan jika ada indikasi
perubahan intervensi atau pengobatan klien. Revisi
proses asuhan keperawatan ini untuk mencapai tujuan
yang diharapkan dalam kerangka waktu yang telah
ditetapkan
DAFTAR PUSTAKA

Ambarita, G. I., & Anggraeni, L. dewi. (2019). Penggunaan Billy Blanket Pada
Neonatus Dalam Menurunkan Kadar Bilirubin. Faletehan Health Journal, 106-
110.6(3).Retrieved from www.journal.lppm-stikesfa.ac.id/ojs/index.php FHJ
Auliasari, N. A., Etika, R., Krisnana, L, & Lestari, P. (2019). Faktor Risiko
Kejadian Ikterus Neonatorum. Pediomaternal Nursing Journal, 5(2), 183.
https://doi.org/10.20473/pmnj v512.13457
Kosim, M. S., Soetandio, R. & Sakundarno, M. (2016). Dampak Lama Fototerapi
Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin Total pada Hiperbilirubinemia Neonatal.
Sari Pediatri https://doi.org/10.14238/sp10.3.2008.201-6 10(3), 201.
PPNI (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Rohsiswatmo, R., & Amandito, R. (2018). Hiperbilirubinemia pada neonatus
>35 minggu di Indonesia; pemeriksaan dan tatalaksana terkini. Sari
Pediatri, 20(2), 115. https://doi.org/ /10.14238/sp20.2.2018.115-22
Surya Dewi, A. K., Kardana, I. M., & Suarta, K. (2016). Efektivitas Fototerapi
Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin Total pada Hiperbilirubinemia Neonatal
di RSUP Sanglah. Sari Pediatri, 18(2). 81-86
Santosa, Q., Mukhson, M., & Muntafiah, A. (2020). Evaluasi Penggunaan
Fototerapi Konvensional dalam Tata laksana Hiperbilirubinemia Neonatal:
Efektif, tetapi Tidak Efisien Sari https://doi.org/10.14238/sp21.6.2020.377-85
Pediatri 21(6). 377 https://doi.org/10.14238/sp18.2.2016.81-6
Widiawati, S. (2017). Hubungan sepsis neonatorum, BBLR dan asfiksia dengan
kejadian ikterus pada bayi baru lahir. Riset Informasi Kesehatan, 6(1), 52–57.
Yanto, A., Rochayati, R., & Wuryanto, E. (2018). Decreased The Risk of
Hyperbilirubinemia Incidence With The Initiation of Early Breastfeeding.
Media Keperawatan Indonesia, 7(2), 25.
Yuliawati, D., & Astutik, R. Y. (2018). HUBUNGAN FAKTOR PERINATAL
DAN NEONATAL TERHADAP KEJADIAN IKTERUS
NEONATORUM( The Relationship Between Perinatal And Neonatal Factors
on The Neonatal Jaundice ). Jurnal Ners Dan https://doi.org/10.26699 jnk
v512 ART p083 Kebidanan 5(2), 83-89.
Yuliana, F., Hidayah, N., & Wahyuni, S. (2018). HUBUNGAN FREKUENSI
PEMBERIAN ASI DENGAN KEJADIAN IKTERUS PADA BAYI BARU
LAHIR DI RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN
TAHUN 2017. Dinamika Kesehatan, 9, 526-534.
Yusuf, N., Aupia, A., & Sari, R. A. (2021). Hubungan Frekuensi Pemberian ASI
dengan Kejadian Ikterus Neonatorum di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi
NTB. Jurnal Medika Hutama, 02(02), 764-771.

Anda mungkin juga menyukai