IKTERIK NEONATORUM
Oleh:
Yudha Risman 1840312733
Preseptor :
Dr. dr. Eva Chundrayetti, Sp.A(K)
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah case report yang berjudul “Ikterus
Neonatorum”. Penulisan makalah case report ini merupakan salah satu syarat
untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi
Dokter di Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUP Dr. M. Djamil, Padang,
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr.
dr. Eva Chundrayetti Sp.A(K), selaku pembimbing yang telah bersedia
membimbing dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan
makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan
kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.
Penulis
BAB 1
LATAR BELAKANG
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut
kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan
pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin
indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak
juga tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melalui
sawar daerah otak apabila pada neonatus terdapat keadaan imaturitas, berat
lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf
pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.1
2.8 Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang tampak adalah rasa kantuk, tidak kuat menghisap
ASI/susu formula, muntah, opistotonus, mata terputar-putar keatas, kejang dan
yang paling parah dapat menyebabkan kematian. Sebagian besar kasus
hyperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang-kadang kadar bilirubin yang
sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (kern ikterus). Efek
jangka panjang kern icterus ialah retardasi mental, kelumpuhan serebral, tuli
dan mata tidak dapat digerakkan keatas.5
2.9 Diagnosis
1. Anamnesis2
- Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis,
defisiensi glukosa 6-fosfat dehydrogenase (G6PD)
- Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan
galaktosemia, defisiensi alfa-I-antitripsin, tirosinosis,
hipermetioninemia, penyakit Gillbert, sindrom Crigler-Najjar tipe I
dan II atau fibrosis kistik.
- Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada
kemungkinan inkompatibilitas golongan darah atau breast milk
jaundice.
- Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi
virus atau toksoplasma.
- Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi
menggeser ikatan bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau
mengakibatkan hemolysis pada bayi dengan defisiensi G6PD
(sulfonamida, nitrofurantoin,antimalarial)
- Riwayat persalinan traumatic yang berpotensi menyebabkan
perdarahan atau hemolysis. Bayi asfiksia dapat mengalami
hyperbilirubinemia yang disebabkan ketidakmampuan hati
memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan intracranial.
Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan polisitemia
neonatal dan peningkatan bilirubin.
- Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan
hyperbilirubinemia direk berkepanjangan.
- Pemberian ASI. Harus dibedakan antara brest-milk jaundice
( kekurangan asupan ASI) dan breastfeeding jaundice (disebabkan
oleh ASI).
2. Pemeriksaan Fisis
Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi
warna kulit setelah dilakukan penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan
terbaik dilakukan menggunakan cahaya matahari. Ikterus dimulai dari
kepala dan meluas secara sefalokaudal. Walaupun demikian inspeksi
visual tidak dapat dijadikan indicator yang andal untuk memprediksi
kadar bilirubin serum.2
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar
matahari. Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin
serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1
mikro mol/L). Salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL
secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut
Kramer.6,9
3. Pemeriksaan Penunjang2
- Bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan untuk
diperiksa bila ikterus menetap sampai usia >2 minggu atau dicurigai
adanya kolestasis.
- Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat
morfologi eritorist dan ada tidaknya hemolysis. Bila fasilitas tersedia,
lengkapi dengan hitung retikulosit.
- Golongan darah, rhesus, dan direct Coombs test dari ibu dan bayi
untuk mencari penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan rhesus
negative harus menjalani pemeriksaan golongan darah, rhesus dan
direct coombs’ test segera setelah lahir.
- Kadar enzim G6PD pada eritrosit.
- Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati,
pemeriksaan urin untuk mencari infeksi saluran kemih, serta
pemeriksaan untuk mencari infeksi kongenital, sepsis, defek
metabolic atau hipotiroid.
2.10 Tatalaksana
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menimbulkan kern ikterus atau ensefalopati bilirubin, serta mengobati
penyebab langsung ikterus. Pemberian fototerapi, dan jika tidak berhasil
dilanjut dengan transfusi tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar
maksimum bilirubin total dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan
bayi cukup bulan yang sehat. Pemberian substrat yang dapat menghambat
metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi
enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar,
merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar
bilirubin.10,11
2.10.1 Strategi Pencegahan1
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan laju peningkatannya dengan :
a) Pencegahan primer
- Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12
kali perhari
- Tidak memberikan cairan rutin seperti dekstrose atau air pada
bayi yang mendapatkan ASI dan tidak mengalami dehidrasi
b) Pencegahan skunder
Melakukan penilaian sistematis terhadap resiko kemungkinan terjadinya
ikterus atau hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal yaitu :
- Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan
rhesus serta penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak
biasa.
- Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor
terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap
penilaian ikterus yang harus dinilai saat pemeriksaan tanda vital
bayi, tetapi tidak kurang dari 8-12 jam.
c) Evaluasi laboratorium
- Pengukuran bilirubin transkutan dan atau bilirubin serum total
harus dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus dalam
24 jam pertama setelah lahir. Penentuan waktu dan perlunya
pengukuran ulang bilirubin transkutan atau bilirubin serum total
tergantung pada daerah dimana kadar bilirubin serum total terletak,
umur bayi dan evolusi hiperbiliruinemia.
- Pengukuran bilirubin transkutan dan atau bilirubin serum total
harus dilakukan bila tampak ikterus yang berlebihan, jika derajat
ikterus meragukan dan pada kulit hitam oleh karena pemeriksaan
derajat ikterus secara visual sering sekali salah.
d) Penyebab Kuning
Memikirkan kemungkinan penyebab ikterus pada bayi yang menerima
fototerapi atau bilirubin serum total meningkat cepat dan tidak dapat
dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
- Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi
harus dilakukan analisis dan kultur urin. Pemeriksaan laboratorium
tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila terdapat
indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
- Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih 3 minggu harus
dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin
konjugasi untuk mengindentifikasi adanya kolestasis. Juga
dilakukan penyaringan terhadap tiroid dan galaktosemia.
- Pemeriksaan terhadap G6PD direkomendasikan untuk bayi ikterus
yang mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau
etnis/asal geografis yang menunjukkan kecenderungan defisiensi
G6PD atau pada bayi dengan respon terhadap fototerapi yang
buruk.
e) Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan
Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap
resiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat dan semua perawatan
harus menetapkan protokol untuk menilai resiko ini. Penilaian ini
sangat penting pada bayi yang pulang sebelum umur 72 jam. Ada dua
pilihan rekomendasi klinis yaitu :
- Pengukuran kadar bilirubin transkutaneus atau kadar bilirubin
serum total sebelum keluar RS, secara individual atau kombinasi
untuk pengukuran yang sistematis terhadap resiko.
- Penilaian faktor resiko klinis.
Tabel 2.4 Monitoring Kuning pada Bayi setelah keluar dari rumah sakit1
Bayi keluar RS Harus dilihat saat umur
Sebelum umur 24 jam 72 jam
Antara umur 24 dan 72 jam 96 jam
Antara umur 48 dan 72 jam 120 jam
Gambar 2.3 Panduan foto terapi pada bayi usia kehamilan ≥ 35 minggu.
• Sebagai patokan gunakan kadar bilirubin total
• Faktor Risiko : isoimune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia,
letargis, suhu rendah yang tidak stabil, sepsis, asidosis, atau kadar
albumin < 3 g/dL.
• Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu diperbolekan
untuk melakukan foto terapi pada kadar bilirubin total sekitar medium
risk line. Merupakan pilihan untuk melakukan intervensi pada kadar
bilirubin total serum yang lebih rendah untuk bayi-bayi yang
mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin total serum
yang lebih tinggi untuk bayi yang berusia mendekati 37 6/7 minggu.
• Diperbolehkan melakukan foto terapi baik di rumah sakit atau
dirumah pada kdar bilirubin total 2-3 mg/dL dibawah garis yang
ditunjukkan, namun pada bayi yang memiliki faktor risiko sebaiknya
tidak dilakuakn di rumah.
2.10.4 Transfusi Tukar1
Gambar 2.4 Panduan transfusi tukar untuk bayi dengan usia gestasi > 35 minggu.
• Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan keadaan tanpa
patokan pasti karena terdapat pertimbangan klinis yang luas dan
tergantung respon terhadap foto terapi.
• Direkomendasikan transfuse tukar segera bila bayi menunjukkan
gejala ensefalopati akut (hipertoni, arching, retrocollis, opistototnus,
high pitch cry, demam) atau bila kadar bilirubin total ≥ 5 mg/dL diatas
garis patokan.
• Faktor risiko : penyakit hemolitik autoimun, def. G6PD, asfiksia,
letargis, suhu tidak stabil, sepsis, asidosis.
• Periksa albumin serum dan hitung rasio bilirubin total/albumin.
• Bilirubin yang digunakan adalah bilirubin serum total.
• Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 minggu (resiko sedang)
transfuse tukar dapat dilakukan bersifat individual berdasarkan kadar
bilirubin sesuai usianya.
2.11 Komplikasi
Komplikasi yang ditakuti dari hiperbilirubinemia adalah kern icterus.
Kern icterus atau ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang
disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin tidak
langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan nukleus batang otak.
Patogenesis kern icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi
antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang
tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf
terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan
permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern
icterus.12
Gambaran klinis kern icterus antara lain :12
1) Bentuk akut :
a. Fase 1 (hari 1-2) : tidak kuat menyusui, stupor, hipotonia, kejang.
b. Fase 2 (hari 3-7) : hipertoni otot ekstensor, opistotonus, retrocollis,
demam.
c. Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni.
2) Bentuk kronis :
a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory
tonic neck reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis,
ballismus, tremor), gangguan pendengaran.
2.12 Prognosis
Ikterus baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah
melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita
kernikterus atau ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat
segera terlihat pada masa neonatus atau baru tampak setelah beberapa lama
kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya
memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi
mungkin kejang, spastik dan ditemukan epistotonus.
Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis disertai
gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan
memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita
hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal
pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun perkembangan mental serta
ketajaman pendengarannya.6
BAB 3
LAPORAN KASUS
Keluhan Utama :
Bayi tampak kekuningan sejak usia 24 jam.
- Bayi lahir prematur (Usia Kehamilan 34-35 minggu), lahir SC pada hari
Kamis, 9 Juli 2020 pukul 16.00. Bayi langsung menangis tapi lambat,
dan tampak sesak. kemudian dipasang CPAP selama. Setelah itu sesak
berkurang. BB lahir 2200g, PB 45cm, A/S 6/8. Kemudian Bayi dirawat
di PERINA dan dimasukan dalam inkubator karena masih sesak, sesak
terlihat pada bayi sampai usia 72 dan CPAP masih dipasang hingga
sesak berkurang pada pasien sampai usia 96 jam.
- Saat ini bayi dirawat di ruang isolasi Covid-19 PERINA. Bayi masih
tampak kuning, tidak tampak biru.
- Tidak ada demam, tidak ada kejang.
- Bayi kuat menyusu, refleks hisap baik, tidak ada muntah. menyusu
sesuai kemauan bayi.
- Meconeum keluar < 24 jam, BAB normal.
- BAK keluar < 24 jam, tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat Pengobatan :
Umur : 4 hari
Berat Badan : 2200 g
Panjang Badan : 45 cm
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Vital Sign : T 37oC N 120x/menit RR 56x/menit SpO2 97%
Pemeriksaan Lokalis
C. Pemeriksaan Laboratorium
Hb 14,4g/dl
Ht 39%
Leukosit 20.720
Trombosit 143.000
Eritrosit 3,45 jt
Diff count 0/0/7/62/4
Retikulosit 8.21%
Gula darah 127 mg/dl
Kesan : Anemia dengan retikulositosis dan Trombositopenia
Pemeriksaan Billirubin
Usia 1 hari
Bil. Total : 8.21
Bil. Direk : 0.33
Bil. Indirek : 7.88
Usia 2 hari
Bil. Total : 15.40
Bil. Direk : 0.39
Bil. Indirek : 15.01
Usia 3 hari
Bil. Total : 13.2
Bil. Direk : 0.52
Bil. Indirek : 12.73
D. Diagnosa Kerja
- NBBLR 2200g, Gestasi 34-35 minggu
- Ikterus neonatorum non fisiologis ec susp. hemolisis
E. Penatalaksanaan
- Pantau KU, vital sign, dan Grafik perkembangan.
- Periksa golongan darah ibu dan ayah, uji comb test
- ASI ekslusif sesuai keinginan bayi.
- Fototerapi
BAB IV
DISKUSI
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, A . Hamzah, M. 2006, Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi 4. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Valeyrie-Allanore L, Roujeau JC. Epidermal necrolysis ( Stevens-Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis). 2012. In: Goldsmith LA, et al.
Fitzpatrick`s Dermatology in general medicine 8th ed. Vol 2. United States:
McGraw Hill, p439-48.
3. Roongpisvthipong W, Prompongsa S, Klangjareonchai T. Retrospective
analysis of corticosteroid treatment in SJS/TEN over a period of 10 years in
Vajira Hospital, Navamindradhiraj University, Bangkok. 2014. Dermatol
Research and Practice, 20(1):1-5.
4. Allanore LV, Roujeau JC. Epidermal necrolysis (Stevens-Johnson syndrome
and toxic epidermal necrolysis). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fittzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2008.
pp. 347-54.
5. Foster CS. Stevens-Johnson syndrome [Internet]. 2013 [last updated 2013
Aug 12; cited 2014 Apr 3]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1197450-overview
6. Gupta LK, Martin AM, Agrwal N, D`Souza P, Das S, Kumar R et al.
Therapeutic guidelines for the management of steven-Johnson syndrome/
toxic epidermal necrolysis: an Indian prespective. Indian J Dermatol
Venereol Leprol. 2016; 82: 603-25.
7. Kwang T, Kian S. Profile and pattern of Stevens-Johnson syndrome and
toxic epidermal necrolysis in a general hospital Singapore : treatment
outcome. Acta Derm Venereol. 2012; 92: 62-6.
8. Harr Thomas, French LE. Toxic epidermal necrolysis and stevens Johnson
syndrome. Dalam: Orphanet Journal of rare disease2010:1-11
30
9. V.K Sharma GGS. Adverse cutaneous reaction to drugs; an overview. J
Postgard Med. 1996;42((1)).
10. Knowles S, Shear NH. Clinical risk management of stevens Johnson
syndrome, toxic epidermal necrolysis. Dalam: Spectrum; 2009;22:441-451
11. Maja Mockenhaupt, MD, PhD. The Current Understanding of Steven
Johnsos Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Expert Rev Clin
Immunol 7 (6), 803 – 815 ( 2011 )
12. Ghislain PD, Roujeau JC. Steven-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolisis. In: William H, Bigby M, Diepgen T, Herxheimer A, Naldi L,
Rzany B. eds. Evidence-based Dermatology. 2nd ed. London; BMJ; 2008.
pp. 613-9.
13. French LE, Prins C. Erythema multiforme, Stevens-Johnson syndrome and
toxic epidermal necrolysis. In: Bolognia JC, Jorizzo JC, Rapini RP, editors.
Dermatology. 2nd ed. New York: Mosby Elsevier; 2008. pp. 287-99.
14. Peter C. Schalock, MD : Stevens-Johnson Syndrome (SJS) and Necrolysis
Epidermal Toxic . The merck manual. 2006. Dikutip tanggal : 30 Mei 2010.
Diunduh dari : http://www.merck.com/mmhe/sec18/ch203/ch203e.html
15. Mansjoer, A. Suprohaita. Wardhani, WI. Setiowulan, W. Erupsi Alergi Obat.
KapitaSelekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta
2002 : 136-138.
16. Perdoski. Kedaruratan Kulit. Dalam: Panduan pelayanan medis dokter
spesialis kulit dan kelamin, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UI/RSCM:2011:263-7 .
17. Nur DS. Hubungan Antara Terapi Sulfadoksin Dengan Kejadian Sindrom
Steven-Johnson Di Rsu Dr.Soedarso Pontianak Periode 1 Januari 2007 - 31
Desember 2010. Pontianak .Univeritas Tanjungpura. 2011.
18.Fitzpatrick T, Goldsmith L. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 8th ed.
New York: McGraw-Hill Medical; 2012.
31