Anda di halaman 1dari 31

Case Based Discussion

IKTERIK NEONATORUM

Oleh:
Yudha Risman 1840312733

Preseptor :
Dr. dr. Eva Chundrayetti, Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah case report yang berjudul “Ikterus
Neonatorum”. Penulisan makalah case report ini merupakan salah satu syarat
untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi
Dokter di Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUP Dr. M. Djamil, Padang,
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr.
dr. Eva Chundrayetti Sp.A(K), selaku pembimbing yang telah bersedia
membimbing dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan
makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan
kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Padang, Juli 2020

Penulis
BAB 1
LATAR BELAKANG

1.1 Latar Belakang


Ikterus neonatorum adalah suatu kondisi klinis pada bayi yang ditandai
oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebih pada jaringan. Ikterus secara klinis akan mulai
tampak pada neonatus bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dl.1,2
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2015, ikterus
neonatorum di Indonesia sebesar 51,47% dan di Sumatera Barat 47,3%.3
Angka kejadian ikterus neonatorum mencapai 50% pada neonatus cukup bulan
dan 58% pada neonatus kurang bulan. Berdasarkan survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SKDI), angka kematian bayi di Indonesia tahun 2017
sebesar 24 pper 1.000 kelahiran hidup dan angka kematian neonatus sebesar
15 per 1.000 kelahiran hidup.4 Ikterus neonatorum menyumbang angka
mortalitas yaitu sebesar 6% per 1.000 kelahiran hidup.5
Akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebihan pada ikterus
neonatorum dapat mengakibatkan bilirubin ensefalopati, yaitu suatu
manifestasi klinis yang timbul akibat efek toksik bilirubin pada sistem saraf
pusat, yakni pada ganglia basalis dan pada nuklei batang otak. Kondisi ini
tampak pada minggu pertama sesudah bayi lahir. Pada keadaan kronis, deposit
bilirubin pada sistem saraf pusat mengakibatkan suatu kondisi yang disebut
kern ikterus dengan sekuele yang permanen salah satunya yaitu retardasi
mental.1
Dari beberapa alasan yang telah dipaparkan diatas, penulis tertarik untuk
mempelajari lebih lanjut mengenai topic icterus neonatorum ini.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini membahas mengenai defenisi, epidemiologi, klasifikasi,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan dan laporan kasus
dari ikterus neonatorum.
1.3 Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang
ikterus neonatorum.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan dari makalah ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu kepada berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Ikterus Neonatorum


Ikterus neonatorum adalah klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
icterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang
berlebih pada jaringan. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru
lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.1,2
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), angka
kematian bayi di Indonesia tahun 2017 sebesar 24 per 1.000 kelahiran hidup
dan angka kematian neonatus sebesar 15 per 1.000 kelahiran hidup.3 Kematian
neonatus terbanyak di Indonesia disebabkan oleh asfiksia (37%), Bayi Berat
Lahir Rendah (BBLR) dan prematuritas (34%), sepsis (12%), hipotermi (7%),
ikterus neonatorum (6%), postmatur (3%), dan kelainan
kongenital (1%) per 1.000 kelahiran hidup.4
Sebagian besar bayi baru lahir, terutama bayi yang kecil (<2.500 gr atau
usia gestasi < 37 minggu) mengalami ikterus pada minggu awal kehidupannya.
Kejadian ikterus neonatorum di Indonesia mencapai 50% bayi cukup bulan dan
kejadian pada bayi kurang bulan mencapai 58%. Data yang diperoleh dari
Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang melaporkan bahwa insiden ikterus fisiolgis
paling sering terjadi jika dibandingkan ikterus patologis dengan angka
kematian terkait hiperbilirubin sebesar 13,10%.4
2.3 Metabolisme Bilirubin
Sebagian besar produksi bilirubin merupakan akibat degradasi
hemoglobin pada sistem retikuloendotelial.5 Bilirubin adalah pigmen kristal
berwarna jingga yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme
heme melalui proses reaksi oksidasi – reduksi.6 Tingkat penghancuran
hemoglobin pada neonatus lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua.
Sekitar 1 gr hemogbloin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek,
yaitu bilirubin yang larut dalam lemak tetapi tidak larut dalam air.5 Bayi baru
lahir akan memproduksi bilirubin indirek sekitar 8-10 mg/kgBB/hari,
sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi
bilirubin indirek pada bayi baru lahir disebabkan oleh masa hidup eritrosit pada
bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari),
peningkatan degradasi heme, dan juga reabsorpsi bilirubin dari usus yang
meningkat (sirkulasi enterohepatik).1,6

Gambar 2.1 Metabolisme Bilirubin1

Langkah oksidasi pertama adalah bilirubin indirek (biliverdin) yang di


bentuk dari heme dengan bantuan enzim heme-oksigenase yaitu suatu enzim
yang sebagian besar terdapat dalam sel hati. Pada reaksi tersebut juga terdapat
besi yang digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin. Bilirubin
indirek kemudian akan direduksi menjadi bilirubin direk oleh enzim biliverdin
reduktase. Bilirubin direk bersifat larut dalam air. Sedangkan, bilirubin indirek
bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat
tidak larut.1,7
2.3.1 Transportasi Bilirubin
Bilirubin indirek yang dihasilkan di sistem retikulo-endothelial,
selanjutnya akan dilepaskan ke sirkulasi dengan transportasi bilirubin
indirek berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas
ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin indirek karena
konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang
kurang. Bilirubin indirek yang terikat dengan albumin tidak dapat
memasuki susuna saraf pusat dan bersifat nontoksik. Kemudian,
bilirubin indirek akan ditransfer melalui membran sel ke dalam
hepatosit.1,6
Pada saat kompleks bilirubin – albumin mencapai membrane
plasma hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Didalam
sel, bilirubin indirek akan terikat pada ligandin, serta sebagian kecil
pada glutation S-transferase dan protein Z. Proses ini merupakan proses
dua arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin plasma dan
ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk
hepatosit dikonjugasi dan diekskresikan ke dalam empedu. Di dalam
sitosol hepatosit, ligandin mengikat bilirubin indirek sedangkan
albumin tidak diikat.5
2.3.2 Konjugasi Bilirubin
Bilirbin indirek (tak terkonjugasi) dikonversikan kebentuk
bilirubin direk (konjugasi) yang larut dalam air di reticulum
endoplasma dengan bantuan enzim yaitu uridine diphospate
glukuronosyl transferase (UDPG-T). Kemudian, di dalam hepatosit
terjadi konjugasi lanjut, dari bilirubin monoglukoronid menjadi
bilirubin diglukoronid. Sebagian kecil bilirubin terdapat dalam bentuk
monoglukoronid, yang akan diubah oleh glukoronil-transferase menjadi
diglukoronid (sintesis dan ekskresi terjadi di kanalikuli empedu). Enzim
yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukoronid, yaitu uridine
diphospate glukuronosyl transferase (UDPG-T), yang mengatalisis
pembentukan bilirubin monoglukoronid.1,6
Isomer bilirubin yang dapat membentuk ikatan hydrogen seperti
bilirubin natural IX dapat diekskresi langsung ke dalam empedu tanpa
konjugasi, misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar. Setelah
konjugasi bilirubin menjadi bilirubin direk yang larut dalam air, terjadi
ekskresi segera ke sistem empedu kemudian ke usus.5
2.3.3 Eksresi Bilirubin
Setelah berada dalam usus halus bilirubin direk (terkonjugasi)
tidak di absorpsi; sebagian bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin
indirek (tak terkonjugasi) oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat
didalam usus dan direabsorpsi. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran
cerna dan kembali ke hati untuk di konjugasi kembali disebut sirkulasi
enterohepatik.1,6
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa,
yaitu pada mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung
enzim β-glukoronidase yang dapat menghidrolisa monoglukoronida
dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi
yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru
lahir, lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak
dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat
diabsorbsi).1,6
Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam
pada neonatus cukup bulan sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada
orang dewasa sehat. Sekitar 80 % bilirubin yang diproduksi tiap hari
berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin lebih besar per
kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan umur
eritrositnya lebih pendek.1,6
2.4 Klasifikasi
Ikhterus neonatorum dapat diklasifikasikan berdasarkan kadar total
bilirubin, waktu terjadi, dan juga efek yang timbul akibat peningkatan kadar
bilirubin dalam darah.
2.4.1 Ikterus Fisiologis
Umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak
terkonjugasi (unxonjugated bilirubin, UCB) pada minggu pertama >
2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula kadar
bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3
kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti
dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 sampai 2
minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin
puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi 7-14 mg/dL dan
penurunannya terjadi lebih lambat.
Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan
mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih
lama, begitu juga dengan penurunannya jika tidak diberikan fototerapi
pencegahan. Peningkatan sampai 10-12 mg/dL pada hari ke-5 masih
dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai
kelainan metabolisme bilirubin. Kadar normal bilirubin tali pusat < 2
mg/dL dan berkisar 1,4 sampai 1,9 md/dL.1
2.4.2 Ikterus Non-Fisiologis
Dulu disebut dengan ikterus patologis tidak mudah dibedakan
dari ikterus fisiologis. Keadaan dibawah ini merupakan petunjuk
untuk tindak lanjut :1
- Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam
- Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan
fototerapi
- Peningkatan kadar bilirubin total serum >0,5 mg/dL/jam
- Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari (muntah, letargis,
malas menyusu, penurunan BB yang cepat, apnea, takipnea atau
suhu yang tidak stabil)
- Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau
setelah 14 hari pada bayi kurang bulan.
2.4.3 Bilirubin ensefalopati
Bilirubin ensefalopati lebih menunjukkan kepada manifestasi
klinis yang timbul akibat efek toksis bilirubin pada sistem saraf pusat
yaitu ganglia basalis dan pada nuklei batang otak. Keadaan ini tampak
pada minggu pertama sesudah bayi lahir dan dipakai istilah akut
bilirubin ensefalopati.1
2.4.4 Kernikterus
Kern ikterus adalah perubahan neuropatologi yang ditandai oleh
deposisis pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama di
ganglia basalis, pons dan sereblum. Kern ikterus digunakan untuk
keadaan klinis yang kronik dengan sekuele yang permanen karena
toksik bilirubin.1
2.5 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus
neonatorum dapat dibagi :7
1. Peningkatan produksi bilirubin
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah
Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase,
perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake bilirubin dan konjugasi oleh hati
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi
hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim
glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu
defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam
“uptake” bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih
banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang
mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar
hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh
penyebab lain.
2.6 Faktor Risiko
Tabel 2.1 Faktor Risiko Ikhterus8
Sebelum Lahir Proses Persalinan Setelah Lahir
Ras : Asia Timur, Arab, Metode persalinan Spherositosis
China, Mediteranian (risiko menggunakan forcep kongenital, defisiensi
keturunan untuk defisiensi atau vacuum G6PD, defisiensi piruvat
G6PD dan kelainan bawaan kinase, Gilbert’s
lain) Abnormalitas payudara : Syndrome
Riwayat keluarga : kadar sehingga mengganggu Laktasi tidak optimal
bilirubin bebas tinggi proses menyusui
(Gilbert’s Syndrome) Usia gestasi < 38 minggu Ikhterik dalam 24 jam
pertama kehidupan
Metode menyusui : hanya Induksi oksitosin
menyusui langsung Inkompatibilitas darah
Golongan darah ibu O atau Trauma jalan lahir (ABO-Rhesus)
rhesus negatif Perdarahan : hematom,
Anak sebelumnya dengan sefalhematom, memar
riwayat ikhterik atau Obat-obatan aspirin
mendapatkan terapi sinar (menyebabkan defisiensi
Penyakit maternal : G6PD) dan sulfas
Hipertensi, DM (mengganggu ikatan
albumin dengan
Usia ibu di atas 25 tahun bilirubin)
Riwayat reproduksi : anak Berat badan lahir >
sebelumnya besar atau 3500g
kesulitan dalam persalinan Ukuran badan besar
pervaginam untuk usia kehamilan
1. ASI yang kurang
Bayi yang tidak mendapat ASI cukup saat menyusui dapat
bermasalah karena tidak cukupnya asupan ASI yang masuk ke usus untuk
memproses pembuangan bilirubin dari dalam tubuh. Hal ini dapat terjadi
bayi premature yang ibunya tidak memproduksi cukup ASI.5
2. Peningkatan jumlah sel darah merah
Peningkatan jumlah sel darah merah dengan penyebab apapun
berisiko untuk terjadinya hyperbilirubinemia. Sebagai contoh, bayi yang
memiliki jenis golongan darah yang berbeda dengan ibunya, lahir dengan
anemia akibat abnormalitas eritrosit (antara lain eliptositosis), atau
mendapat transfuse darah; kesemuanya berisiko tinggi akan mengalami
hyperbilirubinemia.5
3. Infeksi/inkompabilitas ABO-Rh
Bermacam infeksi yang dapat terjadi pada bayi atau ditularkan dari
ibu ke janin di dalam rahim dapat meningkatkan risiko
hyperbilirubinemia. Kondisi ini dapat meliputi infeksi kongenital virus
herpes, sifilis kongenital, rubella, sepsis.5
2.7 Patofisiologi Ikterus
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi
kurang maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan. Untuk
kebanyakan bayi fenomena ini ringan dan dapat membai tanpa pengobatan.
Iketerus fisiologis tidak disebabkan oleh faktor tunggal tapi kombinasi dri
berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir.
Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi pada bayi baru
lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan
penurunan clearance bilirubin.1
Peningkatan ketersediaan bilirubin merupakan hasil dari produksi
bilirubin dan early bilirubin yang lebih besar serta penurunan usia sel darah
merah. Resirkulasi aktif bilirubin di enterohepatic, yang meningkatkan kadar
serum bilirubin tidak terkonjugasi, disebabkan oleh penurunan bakteri flora
normal, aktififtas β-glucuronidase yang tinggi dan penuruna motilitas usus
halus.1
Tabel 2.2 Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis1
Dasar Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia
- Peningkatan bilirubin Peningkatan sel darah merah
Penurunan umur sel darah merah
Peningkatan early bilirubin
- Peningkatan resirkulasi melalui Peningkatan aktifitas β-glukoronidase
enterohepetic shunt Tidak adanya flora bakteri
Pengeluaran meconium terlambat

Penurunan bilirubin clearance


- Penurun clearance dari plasma Defisiensi protein karier
- Penurunan metabolism hepatic Penurunan aktifitas UDPGT

Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut
kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan
pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin
indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak
juga tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melalui
sawar daerah otak apabila pada neonatus terdapat keadaan imaturitas, berat
lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf
pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.1
2.8 Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang tampak adalah rasa kantuk, tidak kuat menghisap
ASI/susu formula, muntah, opistotonus, mata terputar-putar keatas, kejang dan
yang paling parah dapat menyebabkan kematian. Sebagian besar kasus
hyperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang-kadang kadar bilirubin yang
sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (kern ikterus). Efek
jangka panjang kern icterus ialah retardasi mental, kelumpuhan serebral, tuli
dan mata tidak dapat digerakkan keatas.5
2.9 Diagnosis
1. Anamnesis2
- Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis,
defisiensi glukosa 6-fosfat dehydrogenase (G6PD)
- Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan
galaktosemia, defisiensi alfa-I-antitripsin, tirosinosis,
hipermetioninemia, penyakit Gillbert, sindrom Crigler-Najjar tipe I
dan II atau fibrosis kistik.
- Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada
kemungkinan inkompatibilitas golongan darah atau breast milk
jaundice.
- Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi
virus atau toksoplasma.
- Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi
menggeser ikatan bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau
mengakibatkan hemolysis pada bayi dengan defisiensi G6PD
(sulfonamida, nitrofurantoin,antimalarial)
- Riwayat persalinan traumatic yang berpotensi menyebabkan
perdarahan atau hemolysis. Bayi asfiksia dapat mengalami
hyperbilirubinemia yang disebabkan ketidakmampuan hati
memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan intracranial.
Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan polisitemia
neonatal dan peningkatan bilirubin.
- Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan
hyperbilirubinemia direk berkepanjangan.
- Pemberian ASI. Harus dibedakan antara brest-milk jaundice
( kekurangan asupan ASI) dan breastfeeding jaundice (disebabkan
oleh ASI).
2. Pemeriksaan Fisis
Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi
warna kulit setelah dilakukan penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan
terbaik dilakukan menggunakan cahaya matahari. Ikterus dimulai dari
kepala dan meluas secara sefalokaudal. Walaupun demikian inspeksi
visual tidak dapat dijadikan indicator yang andal untuk memprediksi
kadar bilirubin serum.2
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar
matahari. Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin
serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1
mikro mol/L). Salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL
secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut
Kramer.6,9

Gambar 2.2 Pembagian ikterus menurut Kramer 8

Tabel 2.3 Hubungan kadar bilirubin (mg/dL) dengan daerah Ikhterik


menurut Kramer.8
Rata-rata bilirubin
Zona Bagian Tubuh yang Kuning
indirek serum (mg/dL)

1 Kepala - leher 4–8


2 Badan atas (di atas umbilikus) 5 – 12
3 Tungkai bawah dan paha 8 - 16
(di dibawah umbilikus)
4 Ekstremitas atas dan kaki bawah 11-18
5 Telapak tangan dan tumit > 18
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara
visual, sebagai berikut :
- Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (disiang
hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih
parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat
pada pencahayaan yang kurang.
- Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui
warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
- Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian
tubuh yang tampak kuning.9

3. Pemeriksaan Penunjang2
- Bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan untuk
diperiksa bila ikterus menetap sampai usia >2 minggu atau dicurigai
adanya kolestasis.
- Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat
morfologi eritorist dan ada tidaknya hemolysis. Bila fasilitas tersedia,
lengkapi dengan hitung retikulosit.
- Golongan darah, rhesus, dan direct Coombs test dari ibu dan bayi
untuk mencari penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan rhesus
negative harus menjalani pemeriksaan golongan darah, rhesus dan
direct coombs’ test segera setelah lahir.
- Kadar enzim G6PD pada eritrosit.
- Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati,
pemeriksaan urin untuk mencari infeksi saluran kemih, serta
pemeriksaan untuk mencari infeksi kongenital, sepsis, defek
metabolic atau hipotiroid.
2.10 Tatalaksana
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menimbulkan kern ikterus atau ensefalopati bilirubin, serta mengobati
penyebab langsung ikterus. Pemberian fototerapi, dan jika tidak berhasil
dilanjut dengan transfusi tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar
maksimum bilirubin total dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan
bayi cukup bulan yang sehat. Pemberian substrat yang dapat menghambat
metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi
enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar,
merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar
bilirubin.10,11
2.10.1 Strategi Pencegahan1
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan laju peningkatannya dengan :
a) Pencegahan primer
- Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12
kali perhari
- Tidak memberikan cairan rutin seperti dekstrose atau air pada
bayi yang mendapatkan ASI dan tidak mengalami dehidrasi
b) Pencegahan skunder
Melakukan penilaian sistematis terhadap resiko kemungkinan terjadinya
ikterus atau hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal yaitu :
- Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan
rhesus serta penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak
biasa.
- Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor
terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap
penilaian ikterus yang harus dinilai saat pemeriksaan tanda vital
bayi, tetapi tidak kurang dari 8-12 jam.
c) Evaluasi laboratorium
- Pengukuran bilirubin transkutan dan atau bilirubin serum total
harus dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus dalam
24 jam pertama setelah lahir. Penentuan waktu dan perlunya
pengukuran ulang bilirubin transkutan atau bilirubin serum total
tergantung pada daerah dimana kadar bilirubin serum total terletak,
umur bayi dan evolusi hiperbiliruinemia.
- Pengukuran bilirubin transkutan dan atau bilirubin serum total
harus dilakukan bila tampak ikterus yang berlebihan, jika derajat
ikterus meragukan dan pada kulit hitam oleh karena pemeriksaan
derajat ikterus secara visual sering sekali salah.
d) Penyebab Kuning
Memikirkan kemungkinan penyebab ikterus pada bayi yang menerima
fototerapi atau bilirubin serum total meningkat cepat dan tidak dapat
dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
- Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi
harus dilakukan analisis dan kultur urin. Pemeriksaan laboratorium
tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila terdapat
indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
- Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih 3 minggu harus
dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin
konjugasi untuk mengindentifikasi adanya kolestasis. Juga
dilakukan penyaringan terhadap tiroid dan galaktosemia.
- Pemeriksaan terhadap G6PD direkomendasikan untuk bayi ikterus
yang mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau
etnis/asal geografis yang menunjukkan kecenderungan defisiensi
G6PD atau pada bayi dengan respon terhadap fototerapi yang
buruk.
e) Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan
Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap
resiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat dan semua perawatan
harus menetapkan protokol untuk menilai resiko ini. Penilaian ini
sangat penting pada bayi yang pulang sebelum umur 72 jam. Ada dua
pilihan rekomendasi klinis yaitu :
- Pengukuran kadar bilirubin transkutaneus atau kadar bilirubin
serum total sebelum keluar RS, secara individual atau kombinasi
untuk pengukuran yang sistematis terhadap resiko.
- Penilaian faktor resiko klinis.

f) Kebijakan dan prosedur rumah sakit


Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orangtua saat
keluar dari RS, termasuk penjelasan tentang kuning, perlunya
monitoring terhadap kuning dan anjuran bagaimana monitoring harus
dilakukan
- Tindak lanjut : Semua bayi harus diperiksa oleh petugas kesehatan
profesional yang berkualitas beberapa hari setelah keluar RS untuk
menilai keadaan bayi dan ada tidaknya kuning. Waktu dan tempat
untuk melakukan penilaian ditentukkan berdasarkan lamanya
perawatan, ada atau tidaknya faktor resiko untuk hiperbilirubinemia
dan resiko masalah neonatal lainnya.
- Saat tindak lanjut : berdasarkan tabel dibawah ini

Tabel 2.4 Monitoring Kuning pada Bayi setelah keluar dari rumah sakit1
Bayi keluar RS Harus dilihat saat umur
Sebelum umur 24 jam 72 jam
Antara umur 24 dan 72 jam 96 jam
Antara umur 48 dan 72 jam 120 jam

2.10.2 Penggunaan Farmakologi1


Farmakoterapi telah digunakan untuk mengelola
hyperbilirubinemia dengan merangsang induksi enzim-enzim hati dan
protein pembawa, guna mempengaruhi penghancuran heme, untuk
mengikat bilirubin dalam usus hasul sehingga reabsorpsi
enterohepatic menurun, antara lain :
- Imunogloublin intravena
- Fenobarbital
- Metalloprotoporphyrin
- Tin-protoporphyrin (Sn-PP) dan tin-mesoporphyrin (Sn-MP)
- Inhibitor β-glukuronidase
2.10.3 Fototerapi1
Panduan untuk terapi sinar dan transfuse tukar untuk bayi
dengan usia gestasi ≥ 35 mingu yang dianut di Departemen IKA
FKUI/RSCM mengacu pada diagram yang diajukan oleh American
Academy of Pediatrics (AAP) tahun 2004 (lihat gambar 2.4),
sedangkan tata laksana untuk neonates kurang bulan dapat dilihat pada
tabel.
Tabel 2.5 Panduan Terapi Sinar untuk Bayi Prematur
Berat Badan Indikasi terapi sinar Indikasi transfuse tukar
Bilirubin Serum Total Bilirubin Serum Total
< 1000g Dalam 24 jam pertama 10-12
1000-1500g 7-9 12-15
1500-2000g 10-12 15-18
2000-2500g 13-15 18-20

Gambar 2.3 Panduan foto terapi pada bayi usia kehamilan ≥ 35 minggu.
• Sebagai patokan gunakan kadar bilirubin total
• Faktor Risiko : isoimune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia,
letargis, suhu rendah yang tidak stabil, sepsis, asidosis, atau kadar
albumin < 3 g/dL.
• Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu diperbolekan
untuk melakukan foto terapi pada kadar bilirubin total sekitar medium
risk line. Merupakan pilihan untuk melakukan intervensi pada kadar
bilirubin total serum yang lebih rendah untuk bayi-bayi yang
mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin total serum
yang lebih tinggi untuk bayi yang berusia mendekati 37 6/7 minggu.
• Diperbolehkan melakukan foto terapi baik di rumah sakit atau
dirumah pada kdar bilirubin total 2-3 mg/dL dibawah garis yang
ditunjukkan, namun pada bayi yang memiliki faktor risiko sebaiknya
tidak dilakuakn di rumah.
2.10.4 Transfusi Tukar1

Gambar 2.4 Panduan transfusi tukar untuk bayi dengan usia gestasi > 35 minggu.
• Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan keadaan tanpa
patokan pasti karena terdapat pertimbangan klinis yang luas dan
tergantung respon terhadap foto terapi.
• Direkomendasikan transfuse tukar segera bila bayi menunjukkan
gejala ensefalopati akut (hipertoni, arching, retrocollis, opistototnus,
high pitch cry, demam) atau bila kadar bilirubin total ≥ 5 mg/dL diatas
garis patokan.
• Faktor risiko : penyakit hemolitik autoimun, def. G6PD, asfiksia,
letargis, suhu tidak stabil, sepsis, asidosis.
• Periksa albumin serum dan hitung rasio bilirubin total/albumin.
• Bilirubin yang digunakan adalah bilirubin serum total.
• Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 minggu (resiko sedang)
transfuse tukar dapat dilakukan bersifat individual berdasarkan kadar
bilirubin sesuai usianya.
2.11 Komplikasi
Komplikasi yang ditakuti dari hiperbilirubinemia adalah kern icterus.
Kern icterus atau ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang
disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin tidak
langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan nukleus batang otak.
Patogenesis kern icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi
antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang
tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf
terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan
permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern
icterus.12
Gambaran klinis kern icterus antara lain :12
1) Bentuk akut :
a. Fase 1 (hari 1-2) : tidak kuat menyusui, stupor, hipotonia, kejang.
b. Fase 2 (hari 3-7) : hipertoni otot ekstensor, opistotonus, retrocollis,
demam.
c. Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni.
2) Bentuk kronis :
a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory
tonic neck reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis,
ballismus, tremor), gangguan pendengaran.

2.12 Prognosis
Ikterus baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah
melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita
kernikterus atau ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat
segera terlihat pada masa neonatus atau baru tampak setelah beberapa lama
kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya
memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi
mungkin kejang, spastik dan ditemukan epistotonus.
Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis disertai
gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan
memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita
hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal
pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun perkembangan mental serta
ketajaman pendengarannya.6
BAB 3
LAPORAN KASUS

Alloanamnesa dimulai tanggal 19 Desember 2019 pukul 08.00 WIB


A. Identitas Pasien
Nama : By. Ny Imas Muliani
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 4 hari
Alamat : Kel. Pondok Tinggi, Koto Sungai Penuh, Jambi
No. Tlp : 081261438337 (ayah)

Keluhan Utama :
Bayi tampak kekuningan sejak usia 24 jam.

Riwayat Penyakit Sekarang :


- Bayi tampak kekuningan sejak usia 24 jam awalnya kuning tampak
hingga bagian diatas umbilikus, kekuningan tampak memberat pada usia
72 jam kuning terlihat sampai daerah kaki bayi.

- Bayi lahir prematur (Usia Kehamilan 34-35 minggu), lahir SC pada hari
Kamis, 9 Juli 2020 pukul 16.00. Bayi langsung menangis tapi lambat,
dan tampak sesak. kemudian dipasang CPAP selama. Setelah itu sesak
berkurang. BB lahir 2200g, PB 45cm, A/S 6/8. Kemudian Bayi dirawat
di PERINA dan dimasukan dalam inkubator karena masih sesak, sesak
terlihat pada bayi sampai usia 72 dan CPAP masih dipasang hingga
sesak berkurang pada pasien sampai usia 96 jam.
- Saat ini bayi dirawat di ruang isolasi Covid-19 PERINA. Bayi masih
tampak kuning, tidak tampak biru.
- Tidak ada demam, tidak ada kejang.

- Bayi kuat menyusu, refleks hisap baik, tidak ada muntah. menyusu
sesuai kemauan bayi.
- Meconeum keluar < 24 jam, BAB normal.
- BAK keluar < 24 jam, tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Keluarga :

- Riwayat kuning pada keluarga tidak ada

- Riwayat pucat pada keluarga tidak ada

Riwayat Pengobatan :

- Bayi dirawat di PERINA selama 4 hari.


- Terpasang CPAP PEEP FiO2 30%
- Bayi mendapatkan pengobatan berupa IVFD 60cc/kg/hari.

B. Pemeriksaan Umum / Fisik

Umur : 4 hari
Berat Badan : 2200 g
Panjang Badan : 45 cm
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Vital Sign : T 37oC N 120x/menit RR 56x/menit SpO2 97%

Pemeriksaan Lokalis

Kulit : Teraba hangat, turgor kulit baik, tidak tampak sianosis,


tampak ikterik.
Kepala dan : Normochepal, tidak ada deformitas, tampak caput.
Leher Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikhterik Tidak
ada nafas cuping hidung..
Tidak ada celah bibir, tidak ada celah palatum.
Dada : Normochest, retraksi tidak ada.
Pulmo : Suara nafas bronkovesikuler, tidak ada ronkhi,
tidak ada wheezing.
Cor : irama jantung regular, tidak ada bising.
Abdomen : Supel, tidak ada distensi, tali pusar tampak kehitaman,
mulai necrotic. Hepar teraba ¼ – ¼, Lien tidak teraba
Anus dan : Lubang anus ada, BAB sudah keluar.
Genitalia Genitalia : A0M0P0
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, tidak ada sianosis, tidak
ada clubbing finger.

Refleks : Refleks Fisiologis : APR ++/++, KPR ++/++


Sucking refleks +, Rooting refleks +, Grasping refleks +

C. Pemeriksaan Laboratorium

Hb 14,4g/dl
Ht 39%
Leukosit 20.720
Trombosit 143.000
Eritrosit 3,45 jt
Diff count 0/0/7/62/4
Retikulosit 8.21%
Gula darah 127 mg/dl
Kesan : Anemia dengan retikulositosis dan Trombositopenia

Pemeriksaan Billirubin
Usia 1 hari
Bil. Total : 8.21
Bil. Direk : 0.33
Bil. Indirek : 7.88
Usia 2 hari
Bil. Total : 15.40
Bil. Direk : 0.39
Bil. Indirek : 15.01
Usia 3 hari
Bil. Total : 13.2
Bil. Direk : 0.52
Bil. Indirek : 12.73
D. Diagnosa Kerja
- NBBLR 2200g, Gestasi 34-35 minggu
- Ikterus neonatorum non fisiologis ec susp. hemolisis
E. Penatalaksanaan
- Pantau KU, vital sign, dan Grafik perkembangan.
- Periksa golongan darah ibu dan ayah, uji comb test
- ASI ekslusif sesuai keinginan bayi.
- Fototerapi
BAB IV
DISKUSI

Telah diperiksa neonatus, perempuan, berusia 4 hari , dirawat di bagian


perinatologi RSUP Dr.M.Djamil, Padang, masuk pada tanggal 9 Juli 2020
dengan diagnosis NBBLR 2200gram, Gestasi 34-35 minggu + Ikterus
Neonatorum. Neonatus lahir preterm (Usia Kehamilan 34-35 minggu), lahir
dengan SC pada hari Kamis, 9 Juli 2020. Neonatus langsung menangis tapi
lambat, dan tampak sesak. kemudian dipasang CPAP. BB lahir 2200g, PB
45cm, A/S 6/8. Kemudian Neonatus dirawat di perina dan dimasukan dalam
inkubator dan terpasang CPAP karena masih dalam keadaan sesak.
Pada hari rawatan ke-2 saat neonatus berusia 24 Jam, muncul ikterus
pada neonatus hingga bagian perut, Hal ini merupakan gejala yang
menunjukkan suatu ikterus jenis patologis yaitu ikterus yang terjadi sebelum
umur 24 jam, setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan
fototerapi, peningkatan kadar bilirubin total serum >0,5 mg/dL/jam, adanya
tanda-tanda penyakit yang mendasari (muntah, letargis, malas menyusu,
penurunan BB yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil).
Berdasarkan hal tersebut ini mengindikasikan bahwa jenis ikterus yang
dialami pasien dapat diduga termasuk dalam ikterus non fisiologis. Pada
ikterus non fisiologis setiap peningkatan bilirubin total dibutuhkan
fototerapi.1

Hasil pemeriksaan kadar bilirubin pada hari pertama berada di angka


8.21 mg/dl dan menjadi 15.3 mg/dl di hari ke 2. Jika keadaan ini dimasukkan
kedalam grafik indikasi fototerapi oleh American Academy of Pediatric
(AAP) pada usia kelahiran bayi yaitu 34-35 minggu, indikasi fototerapi
dilakukan pada neonatus ini (dengan faktor resiko sedang pada pasien yaitu
neonatus gestasi 34-35 minggu dan sehat) yaitu jika kadar total bilirubin
serum mencapai 10 mg/dL pada hari pertama dan 13 mg/dl pada hari kedua.
Maka pada bayi diindikasikan untuk dilakukannya fototerapi.
Berdasarkan hasil ini, pasien dikategorikan hiperbilirubinemia non
fisiologis, karena kuning memasuki kriteria yang dikategorikan sebagai
ikterus non fisiologis. Terapi yang telah diberikan kepada pasien ini adalah.
fototerapi, pemberian ASI.
Pada pasien akan direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan
golongan darah pada ayah dan ibu, uji comb test untuk melihat adanya
etiologi berupa inkompatibilitas ABO maupun Rhesus.2 Selain itu pada bayi
akan dilakukan monitoring kadar bilirubin setiap hari hingga hari ke 14.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, A . Hamzah, M. 2006, Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi 4. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Valeyrie-Allanore L, Roujeau JC. Epidermal necrolysis ( Stevens-Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis). 2012. In: Goldsmith LA, et al.
Fitzpatrick`s Dermatology in general medicine 8th ed. Vol 2. United States:
McGraw Hill, p439-48.
3. Roongpisvthipong W, Prompongsa S, Klangjareonchai T. Retrospective
analysis of corticosteroid treatment in SJS/TEN over a period of 10 years in
Vajira Hospital, Navamindradhiraj University, Bangkok. 2014. Dermatol
Research and Practice, 20(1):1-5.
4. Allanore LV, Roujeau JC. Epidermal necrolysis (Stevens-Johnson syndrome
and toxic epidermal necrolysis). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fittzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2008.
pp. 347-54.
5. Foster CS. Stevens-Johnson syndrome [Internet]. 2013 [last updated 2013
Aug 12; cited 2014 Apr 3]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1197450-overview
6. Gupta LK, Martin AM, Agrwal N, D`Souza P, Das S, Kumar R et al.
Therapeutic guidelines for the management of steven-Johnson syndrome/
toxic epidermal necrolysis: an Indian prespective. Indian J Dermatol
Venereol Leprol. 2016; 82: 603-25.
7. Kwang T, Kian S. Profile and pattern of Stevens-Johnson syndrome and
toxic epidermal necrolysis in a general hospital Singapore : treatment
outcome. Acta Derm Venereol. 2012; 92: 62-6.
8. Harr Thomas, French LE. Toxic epidermal necrolysis and stevens Johnson
syndrome. Dalam: Orphanet Journal of rare disease2010:1-11

30
9. V.K Sharma GGS. Adverse cutaneous reaction to drugs; an overview. J
Postgard Med. 1996;42((1)).
10. Knowles S, Shear NH. Clinical risk management of stevens Johnson
syndrome, toxic epidermal necrolysis. Dalam: Spectrum; 2009;22:441-451
11. Maja Mockenhaupt, MD, PhD. The Current Understanding of Steven
Johnsos Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Expert Rev Clin
Immunol 7 (6), 803 – 815 ( 2011 )
12. Ghislain PD, Roujeau JC. Steven-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolisis. In: William H, Bigby M, Diepgen T, Herxheimer A, Naldi L,
Rzany B. eds. Evidence-based Dermatology. 2nd ed. London; BMJ; 2008.
pp. 613-9.
13. French LE, Prins C. Erythema multiforme, Stevens-Johnson syndrome and
toxic epidermal necrolysis. In: Bolognia JC, Jorizzo JC, Rapini RP, editors.
Dermatology. 2nd ed. New York: Mosby Elsevier; 2008. pp. 287-99.
14. Peter C. Schalock, MD : Stevens-Johnson Syndrome (SJS) and Necrolysis
Epidermal Toxic . The merck manual. 2006. Dikutip tanggal : 30 Mei 2010.
Diunduh dari : http://www.merck.com/mmhe/sec18/ch203/ch203e.html
15. Mansjoer, A. Suprohaita. Wardhani, WI. Setiowulan, W. Erupsi Alergi Obat.
KapitaSelekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta
2002 : 136-138.
16. Perdoski. Kedaruratan Kulit. Dalam: Panduan pelayanan medis dokter
spesialis kulit dan kelamin, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UI/RSCM:2011:263-7 .
17. Nur DS. Hubungan Antara Terapi Sulfadoksin Dengan Kejadian Sindrom
Steven-Johnson Di Rsu Dr.Soedarso Pontianak Periode 1 Januari 2007 - 31
Desember 2010. Pontianak .Univeritas Tanjungpura. 2011.
18.Fitzpatrick T, Goldsmith L. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 8th ed.
New York: McGraw-Hill Medical; 2012.

31

Anda mungkin juga menyukai