Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NEONATAL

MATA KULIAH KEPERAWATAN ANAK

Dosen Pengampu : Ns. Lantin Sulistyorini, S.Kep., M.kes

oleh
Kelompok 04
Berta Katrina R 162310101058
Dhita Rizky A 162310101068
Fajar Nur Aufar 162310101091

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NEONATAL DENGAN
PENYAKIT HIPERBILIRUBINEMIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Anak

oleh
Fajar Nur Aufar
NIM 162310101091

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah tentang Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan dengan
Hiperbilirubin.

Makalah ilmiah ini telah saya susun dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas
Mata Kuliah Keperawatan Anak. Untuk itu saya menyampaikan banyak terimakasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu. Saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi peyusunan, kalimat, maupun tata letak bahasanya. Oleh
karena itu, kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca.

Akhir kata saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
terhadap pembaca maupun penulis.

Jember, 28 November 2018

Penyusun
BAB 1. STUDI KASUS

1.1 Latar Belakang


Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana kadar bilirubin mencapai suatu
nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kern ikterik (kerusakan otak) bila
tidak segera ditangani dengan baik (Prawirohardjo dan Surwono, 2005)
Penurunan berat badan yang berlebih pada neonatus dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia, dimana hiperbilirubinemia yang berat dapat menyebabkan
komplikasi kern ikterus. Kern ikterus adalah keadaan yang disebabkan oleh
bilirubin indirek yang sangat berlebihan melewati sawar darah otak dan
mengendap dalam jaringan otak. Kern ikterus dapat menyebabkan kerusakan otak,
gangguan saraf (motorik dan sensorik), gangguan penglihatan dan pendengaran,
serta gangguan kognitif (retardasi mental). Untuk meminimalisir kemungkinan
tersebut maka dibutuhkan deteksi dan intervensi dini, serta terapi yang tepat pada
neonatus yang mengalami penurunan berat badan berlebih pada hari ke 2 dan ke 3
pasca lahir. Penelitian Indriyani dkk didapatkan pada tahun 2003 terdapat 128
kematian (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait
hiperbilirubinemia. (Sembiring, 2017).
Salah satu penyebab kematian bayi luar kandungan adalah hiperbilirubin,
dimana hiperbilirubin merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir dalam minggu pertama dalam kehidupannya.
Insiden hiperbilirubinemia di Amerika 65%, Malaysia 75%, Indonesia 51,47 %
(Putri dan Mexitalia, 2014).
Berdasarkan data Riset Kesehatan dasar (Riskerdas, 2015) menunjukkan
angka hiperbilirubin pada bayi baru lahir di Indonesia sebesar 51,47%, di Sumatra
Barat 47,3% dengan faktor penyebabnya antara lain Asfiksia 51%, BBLR 42,9%,
Sectio Cesaria 18,9%, Prematur 33,3%, kelainan kongenital 2,8%, sepsis 12%.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa definisi dari Hiperbilirubinemia ?
2. Bagaimana epidemiologi dari Hiperbilirubinemia ?
3. Bagaimana patofisiologi Hiperbilirubinemia ?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari Hiperbilirubinemia ?
5. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada Hiperbilirubinemia?
6. Bagaimana penatalaksanaan pada Hiperbilirubinemia?
BAB 2. KONSEP PENYAKIT

2.1. Definisi
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir. Hiperbilirubinemia suatu kondisi dimana
berlebihnya kadar bilirubin dalam darah yaitu lebih dari 10 mg % pada minggu
pertama sehingga mengakibatkan jaundice (kekuningan). Pada klien dengan
kondisi hiperbilirubinemia ini akan nampak kekuningan pada kulit, mukosa,
sklera, urin dan jaringan lainnya. Dan pada derajat tertentu, Bilirubin akan dapat
bersifat toksik dan dapat merusak jaringan tubuh. Dan biasanya toksisitas ini
ditemukan pada bilirubin indirek yang sifatnya sukar larut dalam air namun
mudah larut dalam lemak. Dan Sifat itulah yang memungkinkan terjadinya efek
patologik pada sel otak yang disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Keadaan dengan hiperbilirubinemia ini mempunyai potensi meningkatkan kern
interus yaitu keadaan dimana kerusakan otak akibat perlengkatan kadar bilirubin
pada otak. (Sembiring, 2017).
Hiperbilirubinemia juga merupakan masalah umum yang sering dijumpai
bayi baru lahir. Secara fisiologis kadar bilirubin akan meningkat setelah lahir, lalu
menetap dan selanjutnya menurun setelah usia 7 hari.
Menurut (Rohsiswatmo dan Amandito, 2018) dan (Klous dan Fanaraft, 1998)
Jenis Bilirubin ada 2 yaitu Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek
(bilirubin bebas) yang merupakan bilirubin tidak larut dalam air, komponen bebas
dalam lemak dan bersifat toksik sedangkan Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin
direk (bilirubin terikat) bilirubin larut dalam air dan tidak toksik untuk otak. Nilai
normall dari bilirubin indirek yaitu 0,3-1,1 mg/dL dan bilirubin direk yaitu 0,1-0,4
mg/dL.

2.2 Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin dapat terjadi karena beberapa kondisi. Kondisi
yang sering ditemukan yaitu adanya penambahan beban bilirubin pada sel hepar
yang berlebihan. Hal itu terjadi karena adanya peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia dan gangguan pemecahan bilirubin plasma. Peningkatan kadar
bilirubin utbuh terjadi apabila kadar protein Y dan Z atau pada bayi hipoksia,
asidosis. Kondisi lain yang dapat meningkatkan bilirubin yaitu adanya gangguan
konjugasi hepar dan mengalami gangguan ekskresi karena adanya sumbatan pada
saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin dapat bersifat toksik dan mengakibatkan
kerusakan jaringan tubuh. Adanya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin
dapat menembus darah otak dan itu disebut dengan Kernikekterus. (Trionika,
2009) Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah sawar darah otak tidak
hanya bergantung pada kondisi neonatus namun juga pada kondisi berat badan
lahir rendah (BBLR), hipoksia dan hipoglikemia (Markum et al, 1991).

2.3. Etiologi (Penyebab)


Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan,
penyebab tersering yaitu hemolisis yang timbul akibat inkompatibilitas golongan
darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Dan juga infeksi. Faktor lainnya secara
garis besar sebagai berikut :
Menurut (Prawirohardjo & Surwono, 2005) dan (Sembiring, 2017)
1. Faktor Produksi bilirubin berlebihan yang dapat terjadi karena Hemolisis
yang meningkat seperti ketidakcocokan golongan darah (Rh, ABO,
Defisiensi Enzim G6-PD, sepsis, polistemia, kelainan struktur dan enzim
sel darah merah, keracunan obat-obatan (kortikosteroid, klorampenikol
dan lain sebagainya).
2. Gangguan pada fungsi hati, obstruksi empedu / atresia biliari, infeksi.
Masalah metabolik seperti hipotiroidism, jaundice dan ASI.
3. Gangguan transportasi bilirubin dalam darah terikat oleh albumin
kemudian diangkat ke hepar. Ikatan ini dipengaruhi oleh obat-obatan
seperti salsilat dan lain sebagainya.
4. Gagalnya proses konjugasi dalam mikrosom hepar, gangguan fungsi
hepar akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapat enzim
glukuronil transferase (G6-PD).
5. Gangguan dalam eksresi terjadi akibat adanya sumbatan dalam hepar
ataupun diluar. Hal itu terjadi karena adanya kelainan bawaan atau infeksi
bahkan kerusakan hepar.
6. Anoksia
7. Dehidrasi
8. Hipoglikemia
9. Faktor genetik
Kondisi yang sering ditemukan yaitu adanya penambahan beban bilirubin
pada sel hepar yang berlebihan, hal ini terjadi karena adanya peningkatan eritrosit,
dan peningkatan sirkulasi enterohepatik. (Sembiring, 2017).
2.5 Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala)
Menurut surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi
1. Gejala Akut
Gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus
yaitu letargi, bayi tidak mau minum dan hipotoni (merendahnya
tegangan tonus) otot pada waktu istirahat.
2. Gejala Kronik
Tangisan yang melingking meliputi hipertonus dan opistonus (bayi
yang selamat biasanya menderita gejala sisa biasanya seperti paralysis
serebral dengan atetosis, gangguan pendengaran, paralysis sebagain
otot mata dan displasia dentalis).
Menurut (Prawirohardjo & Suwono, 2005). Secara umum gejala dari penyakit
hiperbilirubinemia ini antara lain :
a. Letargi
b. Kejang
c. Layuh dan malas minum
d. Hipertonik
e. Perut membuncit
f. Opistotonus
g. Pembesaran pada hati
h. Fese berwana seperti dempul (putih/pucat)
i. Ikterus
j. Tangisan melengking
k. Muntah, anoreksia, fatigue
l. Warna urin gelap
m. Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa
n. Kekuningan / jaundice yang tampak pada 24 jam pertama
o. Jaundice yang tampak apa hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada
hari ke 3-4 dan menurun pada hari ke 5-7
2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
a. Brain Storming
Nilai normal dari hasil pemeriksaan
 Bilirubin direk : 0,1-0,4 mg/Dl
 Bilirubin indirek : 0,3-1,1 mg/dL
 Hb Neonatus : 14-27 gr/dL
 Hematokrit : 40-68 %
 Leukosit : 9000-30.000/mm3
 Trombosit : 140.000-450.000/mm3
 Tekanan darah : 100-120/60-80 mmHg
 BB lahir bayu : 2,5-4 Kg
 Usia kehamilan : 37-42 minggu
2. Pemeriksaan serum total bilirubin invasif merupakan pemeriksaan
dengan menggunakan metode invasif yang memerlukan fasilitas
laboratorium khusus.
3. Pemeriksaan bilirubin non-invasif merupakan alat bilirubinometer
transkutan (TcB) dimana alat ini bekerja dengan menggunakan prinsip
spektrofotometer dan mengukur cahaya yang dipantulkan dari warna
kulit dan diambil dari bagian bawah sternum. TcB ini metode tidak
invasidf sehingga dapat menjadi pilihan alternatif dalam pemeriksaan
bilirubin neonatus.
4. Pemeriksaan non-invasif Bilistick merupakan pemeriksaan yang
saderhan, cepat dan dapat mengukur kadar serum bilirubin total hingga
30 mg/dl dan hematokrit 25% - 65%. (Rohsiswatmo dan Amandito,
2018).
5. Pemeriksaan kadar bilirubin serum berkala
6. Pemeriksaan darah lengkap
7. Pemeriksaan golongan darah ibu dan bayi
8. Test Coombs pada tali pusat bayi baru lahir
9. Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, Biopsi hepar bila diperlu.
2.7 Penatalaksanaan
Hiperbilirubinemia ringan tidak memerlkukan pengobatan dan biasanya bayi
hanya dianjurkan untuk lebih banyak menyusu karena dapat mempercepat
pembuangan isi usus dan dapat mengurangi penyerapan kembali bilirubin dari
usus sehingga hal itu dapat menurunkan kadar bilirubin dalam darah. Namun
apabila kadar bilirubin sangat tinggi maka dianjurkan untuk dilakukannya
transfusi tukar. (Sembiring, 2017).
Menurut (Sinclair, 2003) sebagai berikut :
1. Fototerapi merupakan terapi utama yang dapat digunakan untuk kondisi
klien dengan Hiperbilirubinemia. Panjang gelombang yaitu 460-490
nm) Untuk memaksimalkan iradiasi dan efektivitas terapi, jarak sumber
caya dan bayi harus dalam jarak 10-15 cm. Terapi ini untuk
mempercepat penurunan bilirubin. (Rohsiswatmo dan Amandito, 2018).
Lindungi mata dari cahaya terang dan jelaskan kepada orang tua
mengenai kemungkinan terjadinya ruam kulit dan perubahan sistensi
tinja. (Insley, 1997). Fototerapi ini dilakukan pada saat kadar bilirubin
10-20 mg/dl.
2. Transfusi Tukar merupakan darah bayi yang diganti dengan darah segar
melalui transfusi, dimana terapi ini berfungsi untuk membuang bilirubin
yang ada didalam darah bayi dan diganti dengan darah yang segar.
(Sembiring, 2017). Transfusi tukar berfungsi unutk menurunkan kadar
bilirubin indirek, membuang antibodi yang menyebabkan hemolisis.
Dan prosedur ini dilakukan pada neonatus dengan kadar bilirubin
indirek sama dengan atau lebih tinggi dan 20% pada neonatus dengan
kadar bilirubin tali pusat kurang dari 14 mg% dan coombs test langsung
menunjukkan hasil positif (Prawirohardjo & Suwono, 2007)
3. Anjurkan orang tua untuk memberi bayi susu dengan sering dan sejak
dini, untuk membantu mencegah terjadinya ikterus dan mempercepat
reduksi konsentrasi bilirubin.
4. Lakukan pemeriksaan labolatorium pada semua pasien dengan
hiperbilirubinemia.
5. Ajarkan ibu dari bayi yang mengalami ikterus ringan untuk segera
segera melaporkan kejadian letargi, kesulitan makan dan pengeluaran
tinja yang jarang-jarang
6. Pengobatan alternatif seperti obat-obatan homeopati untuk mengatasi
ikterus
7. Untuk mengobati ikterus fisiologis ringan, usahakan bayi dapat terkena
cahaya selama 5-10 menit pada pagi dan malam hari. Namun lindungi
mata dan pertahankan agar bayi tetap hangat dan cegah dari sinar
matahari yang terlalu panas.
8. Mengenal gejala dini mencegah meningatknya ikterus
a. Jika bayi terlihat mulai kuning, kemudian jemur terkena matahari
pagi (sekitar pukul 7-8 selama 15-30 menit)
b. Periksa darah untuk bilirubin
c. Berikan banyak minum
d. Perhatikan hasil darah bilirubin, apabila didapatkan hasil 7 mg%
segera periksalah. (Varney, 2007).
9. Terapi Sinar merupakan penanganan khusus apabila bilirubin indirek
darah mencapai 15 mg%. Dalam penggunaannya harus dilakukan
dengan hati-hati, karena apabila sembarangan akan mengakibatkan
timbulnya komplikasi seperti kerusakan retina dan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan bayi. Biasanya sinar dengan spektrum
antara 420-480 nano meter.
10. Terapi obat
Phenobarbital dapat menstimulus hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengeksresikannya.
2.8 Pathway
Hiperbilirubinemia Peningkatan produksi
bilirubin
Bilirubin indirek
Peningkatan bilirubin
Letargi indirek dalam darah Gangguan pada fungsi
Akibat bilirubin tinggi hati
Toksik bagi jaringan
Malas minum (reflek Kernikterus Gangguan Eksresi
hisap lemah
Resiko kerusakan
Risiko cidera
integritas kulit
Menyusui tidak efektif

Kulit

BB turun Resiko kekurangan


Sklera
volume cairan
Jaundice

Nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh Jaringan lainnya
BAB 3 NURSING CAREPLAN

3.1 Pengkajian
1. Identitas Klien
Dalam mengkaji Identitas klien biasanya meliputi nama, BB, usia, jenis
kelamin, alamat, agama, pendidikan, suku bangsa, status perkawinan,
pekerjaan, nomor registrasi (NO RM), tanggal masuk rumah sakit (MRS),
dan diagnosa medis dan lain sebagainya.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang menyebabkan pasien datang kerumah sakit yaitu
Bayi terlihat kekuningan pada wajah, dada dan sklera serta mukosa
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengkajian pada pasien hiperbilirubinemia meenurut (Prawirohardjo &
Suwono, 2005).
a. Warna urin gelap
b. Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa
c. Kekuningan / jaundice yang tampak pada 24 jam pertama
d. Jaundice yang tampak apa hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada
hari ke 3-4 dan menurun pada hari ke 5-7
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Riwayat penyakit yang pernah diderita oleh anak maupun keluarga
5. Riwayat kehamilan dan kelahiran
Meliputi keadaan ibu saat hamil, gizi, usia kehamilan dan obat-obatan.
Mencakup kesehatan anak sebelum lahir, saat lahir, dan keadaan sesudah
lahir.
6. Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji riwayat penyakit pada keluarga, baik itu penyakit yang di alami
saat ini atau yang sudah berlalu. Keluarga mempunyai riwayat anemia,
batu empedu, splenektomi, penyakit hati, saudara yang lebih tua biasanya
mengalami icterus neonates (Williams & Wilkins, 2009:369). Menurut
Rohsiswatmo (2013), ibu dengan rhesus (-) atau golongan darah O dan
anak yang mengalami neonatal ikterus yang dini kemungkinan adanya
erytrolastosisfetalis (Rh, ABO, incompatibilitas lain golongan darah), ada
saudara yang menderita penyakit hemolitik bawaan atau icterus,
kemungkinan suspec spherochytosis herediter kelainan enzim darah
merah, minum air susu ibu (ikterus kemungkinan kaena pengaruh
pregnanediol).
7. Riwayat kehamilan
Adanya penyakit saat maternal yang dicuragi karena virus atau infeksi
lainnya, adanya konsumsi obat, penjempitan tali pusat lambat, trauma lahir
dengan memar (Williams & Wilkins, 2009:369).
8. ADL (Activity Daily Life)
Pada umumnya bayi malas minum (reflex menghisap dan menelan
lemah), sehingga berat badan bayi cenderung mengalami penurunan.

 Nutrisi
Pada umumnya bayi malas minum (reflex menghisap dan
menelan lemah), sehingga berat badan bayi cenderung mengalami
penurunan.
 Hygiene Perseorangan
Kebutuhan mandi, BAB, BAK bayi dibantu oleh keluarga
terutama oleh ibu.
 Aktivitas dan Istirahat
Bayi biasanya mengalami penurunan aktivitas, letargi,
hipototonus, mudah terusik, bayi tampak cengeng dan mudah
terbangun.
 Eliminasi
Biasanya bayi mengalami perubahan warna urine menjadi lebih
gelap pekat, hitam kecoklatan, konsistensi feses encer, berwarna
pucat.
10. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Terkait dengan keadaan klien secara umum, pada pasien dengan
hiperilirubinemia ini akan tampak kekuningan terutama pada
bagian kulit, mukosa, sklera, wajah, urin dan jaringan lainnya
b. Tanda-tanda vital
c. Pemeriksaan Head to toe (Dari kepala-ekstremitas bawah)
d. Pemeriksaan fisik lainnya
 B2 (Blood)
Pucat menandakan anemia, hipoglikemia yaitu kadar
hemoglobin dalam darah yang dibawah angka normal.
 B3 (Brain)
Kadar bilirubin yang terus meningkat dapat meracuni otak,
sehingga terjadi kerusakan saraf yang dapat menyebabkan
cacat seperti tuli, pertumbuhan terlambat, dan kelumpuhan
otak besar.
 B4 (Bladder)
Pada umumnya bayi malas minum (reflex menghisap dan
menelan lemah), sehingga berat badan bayi cenderung
mengalami penurunan, efek fototerapi dapat meningkatkan
IWL, warna urine mengalami perubahan yaitu menjadi lebih
gelap pekat, hitam kecoklatan.

 B5 (Bowel)
Pada umumnya bayi malas minum (reflex menghisap dan
menelan lemah), sehingga berat badan bayi cenderung
mengalami penurunan. Palpasi abdomen dapat menunjukkan
pembesaran limpa dan hepar. Konsistensi feses encer,
berwarna pucat.
 B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot (hipotomia), tremor,dan konfulsio
(kejang perut), kehilangan reflek moro.
e. Pemeriksaan Diagnostik
 Bilirubin Serum
Direk : > 1 mg/dL
Indirek: > 10 mg % (BBLR), 12,5 mg % (cukup bulan)
Total : > 12 mg/dL
 Golongan darah ibu dan bayi
Uji COOMBS, Inkompabilitas ABO-Rh, Fungsi hati dan test
tiroid sesuai indikasi, Uji serologi terhadap TORCH, Hitung
IDL dan urine (mikroskopis dan biakan urine) indikasi infeksi

3.2 Diagnosa Keperawatan


Dari kasus pasien dengan hiperbilirubinemia dapat diangkat diagnosa
keperawatan sebagai berikut :
1. Risiko tinggi cedera terhadap SSP berhubungan dengan peningkatan
bilirubin indirek dalam darah.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan refleks daya
hisap tidak adekuat d.d pasien terlihat lemas, lelah
3. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasien malas
minum
4. Risiko Kerusakan integritas kulit b.d hiperbilirubinemia d.d kulit wajah,
dada, mukosa tampak kuning
3.3 Intervensi Keperawatan
NO Diagnosa Tujuan dan KH Intevensi
1 Risiko tinggi cedera Setelah diberikan asuhan 1. Jelaskan pada orang
terhadap SSP keperawatan selama tua tentang
pengobatan yang di
berhubungan dengan 2x24 jam diharapkan
berikan.
peningkatan bilirubin Pasien menunjukkan 2. Tinjau catatan
indirek dalam darah. adanya penurunan risiko intrapartum
terhadap faktor
cedera
risiko yang khusus.
KH : 3. Perhatikan
SSP berfungsi dengan penggunaan
ekstrator vakum
normal, kadar bilirubin
untuk kelahiran.
indirek normal. 4. Tinjau ulang
kondisi bayi pada
saat kelahiran.
5. Pertahankan bayi
tetap kering dan
hangat.
2 Nutrisi kurang dari Setelah diberikan asuhan 1. Kolaborasi dengan
kebutuhan tubuh keperawatan selama bagian gizi untuk
menentukan dan
berhubungan dengan 2x24 jam diharapkan
menjelaskan progra
refleks daya hisap kebutuhan nutrisi m makan untuk
tidak adekuat. terpenuhi memenuhi
kebutuhan nutrisi
KH.
anak.
1. intake makanan 2. Observasi BB dan
adekuat. TB serta tinjau
kurva grafik
2. Pasien menujukkan
pertumbuhan.
peningkatan berat 3. Jelaskan kepada
badan orang tua pentingnya
3. Berat badan pemberian ASI
apabila sudah tidak
mendekati normal ikterik. Namun jika
penyebabnya bukan
dari jaundice ASI
tetap diteruskan
pemberiannya.
3 Risiko kekurangan Setelah diberikan asuhan 1. Pertahankan intake
volume cairan keperawatan selama (pemasukan) cairan.
2. Monitor intake dan
berhubungan dengan 2x24 jam diharapkan
output (pemasukan
malas minum Pasien menunjukkan dan pengeluaran).
adanya peningkatan 3. Beri minum sesuai
kebutuhan.
volume cairan
4. Kolaborasi dalam
KH : pemberian infuse
1. urine output 1-3 parenteral
ml/kg/jam, membrane
mukosa normal.
2. Kebutuhan volume
cairan dalam tubuh
terpenuhi
4 Risiko Kerusakan Setelah diberikan asuhan 1. Observasi kulit
intergritas kulit b.d keperawatan selama untuk dehidrasi,
hiperbilirubinemia 2x24 jam diharapkan kekeringan, ruam,
d.d kulit wajah, dada, kulit pasien membaik dan ekskoriasi yang
mukosa tampak KH : berkaitan dengan
kuning 1. Kadar bilirubin dalam penanganan
batas normal hiperbilirubinemia
2. Kulit tidak berwarna dan fototerapi.
kuning 2. Jelaskan pada orang
3. Tidak mengalami tua tentang
integritas kulit pengobatan yang
kembali diberikan.
3. Monitor kadar
bilirubin
BAB 4. PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Hiperbilirubin merupakan suatu keadaan yang menujukkan dimana kadar
bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai
ikterus atau jaundice kekuningan pada kulit, sklera, mukosa dan organ lainnya.
Dimana keadaan ini mempunyai potensi mengakibatkan kern interterus atau
keadaan kerusakan pada otak akibat adanya perlengketan kadar bilirubin pada
otak. Hiperbilirubin berkaitan dengan riwayat kehamilan ibu dan prematuritas,
asupan ASI pada bayi yang dapat mempengaruhi kadar bilirubin dalam darah.
Dan untuk penatalaksaan dan pemeriksaan yang dapat dilakukan ketika
mengalami penyakit ini sangat bervariasi. Penyakit ini harus segera ditangani dan
segera diberikan perawatan sebagaimana mestinya.
Jenis Bilirubin ada 2 yaitu Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek
(bilirubin bebas) yang merupakan bilirubin tidak larut dalam air, komponen bebas
dalam lemak dan bersifat toksik sedangkan Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin
direk (bilirubin terikat) bilirubin larut dalam air dan tidak toksik untuk otak. Nilai
normall dari bilirubin indirek yaitu 0,3-1,1 mg/dL dan bilirubin direk yaitu 0,1-0,4
mg/dL.

4.2. Saran
Penyakit pada neonatus harus diperhatikan dengan benar, terutama kepada
orang tua yang selalu dekat dengan bayi. Apabila melihat kondisi yang tidak
normal pada bayi, harus segera dibawa kerumah sakit untuk segera diberikan
perawatan agar segera pulih dan bebas dari penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Hosea el al. 2015. Hyperbilirubinemia treatment of neonatus in dr. Soetomo


hospital surabaya. Folia Medica Indonesiana. Vol. 51 No. 3. Hlm 183-186

Rohsiswatmo, R dan Amandito, R. 2018. Hiperbilirubinemia pada Neonatus >35


Minggu Di Indonesia : Pemeriksaan Dan Tatalksana Terkini. Sari
Pediatri. Volume. 20 No. 2.

Sembiring, J. Br. 2017. Buku Ajar Neonatus, Bayi, Balita, Anak Prasekolah.
Deepublish : Yogyakarta Ed. 1. 487 Halaman.

Surya, A. K., Kardana, I. M dan Suarta, K. 2016. Efektivitas Fototerapi Terhadap


Penurunan Kadar Bilirubin Total pada Hiperbilirubinemia Neonatal di
RSUP Sanglah. Sari Pediatri. Volume 18. No. 2.

Imron, R dan Metti, D. 2015. .Hubungan Berat Badan Lahir Rendah Dengan
Kejadian Hiperbilirubinemia Pada Bayi Di ruang Perinatologi.
Jurnal Keperawatan. Volume XI. No. 1

Insley, J. 1997 Vade – Made Pediatri. EGC : Jakarta

Sinclair, C. 2003. Buku Saku Kebidanan. EGC : Jakarta.

Prawirohardjo, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka : Jakarta

Trionika, N. 2009. Hiperbilirubinemi.

Varney, H. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4. EGC : Jakarta

Markum, AH., Ismail Ss., Alatas H, Akib HJ., Firmansyah A dan Sastroasmoro.
S. 1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1. FKUI : Jakarta
ANALISA JURNAL

AUTHOR (YEAR) Hyperbilirubinemia Treatment Of Neonatus In Dr.


Soetomo Hospital Surabaya
Hosea, M. K., Etika, R., dan Lestari, Pujdi, 2015

CONCEPTUAL Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana


FRAMEWORK
perlakuan neonatus dengan hiperbilirubinemia di RS Dr.
Soetomo diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk
meningkatkan pelayanan, terutama pada pasien dengan
hiperbilirubinemia yang tidak memberikan efek lebih
lanjut. Selain itu juga untuk review mengidentifikasi
perawatan hiperbilirubinemia neonatal di RSUD Dr
Soetomo Surabaya.
DESIGN/METHOD Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan
menggunakan data sekunder berupa rekam medis pasien
dengan hiperbilirubinemia pada pasien neonatus
menjalani rawat inap di Departemen Ilmu Kesehatan
Anak, Dr. Soetomo, Surabaya, pada tahun 2010.
SAMPLE/SETTING Ukuran sampel dari penelitian ini adalah 100 sampel
dengan kriteria inklusi total kadar serum bilirubin ≥ 5
mg/dl. Sampel diambil dengan menggunakan non-
probabilitas / berturut-turut sampling. Data yang
diperoleh secara manual ditabulasi dan dianalisis dengan
statistik deskriptif.
MAJOR Catatan medis yang digunakan untuk mengumpulkan
VARIABLES
informasi mengenai status hiperbilirubinemia dan jenis
STUDIED (AND
THEIR perawatan, data status kelahiran, berat lahir . kadar
DEFINITIONS)
bilirubin total, pengobatan fototerapi, dan hasil
pengobatan fototerapi.
MEASUREMENT Dapat diamati bahwa mayoritas neonatus dengan pasien
hiperbilirubinemia dirawat di Rumah Sakit Dr. Soetomo
memiliki total tingkat bilirubin dalam kisaran 5-20 mg /
dl. Hasil berbeda diperoleh dari studi yang dilakukan di
rumah sakit Dr Kariadi Semarang yang memiliki kadar
bilirubin total di kisaran 10-38 mg / dl (Hutahaean 2007).
variasi ini adalah karena penyakit yang diderita oleh
pasien neonatal, misalnya, sepsis, asidosis, asfiksia, dan
lain-lain meningkatkan kadar bilirubin serum ini. Hal ini
juga dapat disebabkan oleh menyusui yang meningkatkan
bilirubin total serum. Penyakit kuning disebabkan ASI
wis tidak dikenal pasti, tetapi ada teori yang menyatakan
bahwa zat dalam ASI yang β- glukoronidase dan lemak
nonesterification asam akan menghalangi itu metabolisme
bilirubin.
DATA ANALYSIS Sampel diambil dengan menggunakan non-probabilitas /
berturut-turut sampling. Data yang diperoleh secara
manual ditabulasi dan dianalisis dengan statistik
deskriptif.

FINDINGS Studi ini menunjukkan bahwa semua neonatus diobati


dengan hiperbilirubinemia sembuh (100%). Tidak ada
komplikasi yang menderita hiperbilirubinemia dan tidak
ada pasien meninggal, meskipun sebuah studi
menemukan 2% dari pasien meninggal dan 12%
mengalami komplikasi setelah pengobatan transfusi tukar
diberikan. Perbedaan ini mungkin disebabkan tidak
adanya pasien yang diberi dengan transfusi tukar dalam
penelitian ini. Penggunaan transfusi tukar memiliki
komplikasi parah bahkan dapat menyebabkan kematian,
dengan demikian, fototerapi intensif harus diberikan
terlebih dahulu sebelum beralih ke transfusi tukar.
Dari penelitian ini, kami menemukan 55 pasien
hiperbilirubinemia neonatal laki-laki (55%) dan 45 pasien
neonatal hiperbilirubinemia perempuan (45%). Hasil ini
sesuai dengan penelitian lain yang menemukan bahwa
salah satu faktor risiko hiperbilirubinemia neonatal adalah
seks pria. Hal ini dapat disebabkan karena kekurangan
G6PD (Glukosa 6-fosfat Dehydrogen-ase) yang
kebanyakan terjadi pada neonatus laki-laki daripada
perempuan.
APPRAISAL Manfat dari jurnal ini yaitu dapat menambah wawasan
WORTH TO
untuk kita. Selain itu kita juga mengetahui perlakukan
PRACTICE
yang diberikan kepada anak neonatus yang menderita
penyakit hiperbilirubinemia di RS. Dr. Soetomo

Anda mungkin juga menyukai