Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

IKTERUS NEONATORUM

Disusun oleh:

Hilda Nur Achfidawati


NIM 142011101012

Dokter Pembimbing:

dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A


dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp.A
dr. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB ILMU KESEHATAN ANAK
RSD DR SOEBANDI JEMBER
2019

1
REFERAT
IKTERUS NEONATORUM

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Lab/SMF

Ilmu Kesehatan Anak RSD dr. Soebandi Jember

Disusun oleh:

Hilda Nur Achfidawati


NIM 142011101012

Dokter Pembimbing:

dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A


dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp.A
dr. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB ILMU KESEHATAN ANAK
RSD DR SOEBANDI JEMBER
2019

2
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL .........................................................................................

HALAMAN JUDUL.............................................................................................

DAFTAR ISI .........................................................................................................

PENDAHULUAN ................................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

Ikterus atau jaundice adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan
mukosa akibat penumpukan bilirubin tak terkonjugasi pada jaringan, sedangkan
hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin serum total ≥ 5 mg/dL (86 µmol/L)
(IDAI, 2011). Ikterus Neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi
baru lahir hingga usia 2 bulan setelah lahir (Ritarwan dan Kiking, 2011).
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada
sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama
kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi
cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan (Ritarwan dan Kiking, 2011).
Ikterus neonatorum selama usia minggu pertama terdapat pada sekitar 60%
bayi cukup bulan dan 80% bayi preterm. Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus
yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% menderita ikterus dalam minggu pertama
kehidupannya. Di Malaysia, hasil survei pada tahun 1998 di rumah sakit pemerintah
dan pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan mendapatkan 75% bayi baru
lahir menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya (Dugdale, 2013).
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit
pendidikan, diantaranya RSCM dengan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir
tahun 2003 sebesar 58% untuk kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan 29,3% untuk kadar
bilirubin ≥12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan, RS Dr. Sardjito melaporkan
sebanyak 85% bayi sehat cukup bulan mempunyai kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan
23,8% mempunyai kadar bilitubin ≥13 mg/dL, RS Dr. Kariadi Semarang dengan
prevalensi ikterus neonatorum sebesar 13,7%, RS Dr.Soetomo Surabaya sebesar
30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002 (Dugdale, 2013). Faktor risiko
yang merupakan penyebab tersering ikterus neonatorum di wilayah Asia dan Asia
Tenggara antara lain, inkompatibilitas ABO, defisiensi enzim G6PD, BBLR, sepsis
neonatorum, dan prematuritas (Dugdale, 2013).

4
Ikterus neonatorum dapat menimbulkan ensefalopati bilirubin (kernikterus)
yaitu manifestasi klinis yang timbul akibat efek toksis bilirubin pada sistem saraf
pusat di ganglia basalis dan beberapa nuklei batang otak. Saat ini angka kelahiran
bayi di Indonesia diperkirakan mencapai 4,6 juta jiwa per tahun, dengan angka
kematian bayi sebesar 48/1000 kelahiran hidup dengan ikterus neonatorum
merupakan salah satu penyebabnya sebesar 6,6% (Dugdale, 2013).

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti
kuning. Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah dan jaringan (> 2 mg/ 100 ml serum)
(Ritarwan dan Kiking, 2011).
Penumpukan bilirubin dalam aliran darah menyebabkan pigmentasi kuning
dalam plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang
memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin serum akan menumpuk
jika produksinya dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya.
Ketidakseimbangan antara produksi dan pembersihan dapat terjadi akibat pelepasan
prekursor bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibat proses
fisiologi yang mengganggu ambilan hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit
ini (Ritarwan dan Kiking, 2011).
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini
terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34-43 mmol/L) atau
sekitar 2 kali batas atas kisaran normal. Kadar bilirubin direk normal adalah : 0-0,3
mg/dL, dan kadar normal bilirubin total: 0,3-1,0 mg/dL (Dugdale, 2013).
Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi
terhadap bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang
lebih sensitif untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang
menyeluruh. Tanda dini yang serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin
yang gelap yang terjadi akibat ekskresi bilirubin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin
glukoronid (Ritarwan dan Kiking, 2011).

6
2.2 Epidemiologi
Ikterus Neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir
hingga usia 2 bulan setelah lahir. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus
terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan (Ritarwan dan
Kiking, 2011).
Angka kejadian Ikterus pada bayi sangat bervariasi, di RSCM persentase
ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang
bulan sebesar 42,9%, sedangkan di Amerika Serikat sekitar 60% bayi menderita
icterus. Bayi-bayi yang mengalami ikterus itu mencapai kadar bilirubin yang
melebihi 10 mg/dL (Ritarwan dan Kiking, 2011).
Saat ini angka kelahiran bayi di Indonesia diperkirakan mencapai 4,6 juta
jiwa per tahun, dengan angka kematian bayi sebesar 48/1000 kelahiran hidup
dengan ikterus neonatorum merupakan salah satu penyebabnya sebesar 6,6%
(Tazami et al., 2013)

2.3 Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat disebabkan oleh faktor/
keadaan, antara lain:
1. Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus(Rh),
defisiensi Glukosa 6 phosphate dehidrogenase (G6PD), sferositosis herediter
dan pengaruh obat.
2. Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra
uterin.
3. Polisitemia.
4. Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
5. Ibu diabetes.
6. Asidosis.
7. Hipoksia/asfiksia.
8. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor
intrahepatik dan ekstra hepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh
obstruksi mekanik.

7
9. Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi
enterohepatik (Kleigman, 2004)

2.4 Klasifikasi Ikterus Neonatorum


1. Ikterus Fisiologis
Ikterus neonatorum fisiologis merupakan hasil dari terjadinya fenomena
berikut:
a. Peningkatan produksi bilirubin karena peningkatan penghancuran eritrosit janin
(hemolisis). Hal ini adalah hasil dari pendeknya umur eritrosit janin dan massa
eritrosit yang lebih tinggi pada neonatus (kadar hemoglobin/ Hb neonatus cukup
bulan sekitar 16,8 gr/dl).
b. Kapasitas ekskresi yang rendah dari hepar karena konsentrasi rendah dari ligan
protein pengikat di hepatosit (rendahnya ambilan) dan karena aktivitas yang
rendah dari glukuronil transferase, enzim yang bertanggung jawab untuk
mengkonjugasikan bilirubin dengan asam glukuronat sehingga bilirubin
menjadi larut dalam air (konjugasi).
c. Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih sedikitnya flora normal di
usus dan gerakan usus yang tertunda akibat belum ada ambilan nutrisi (Hansen
dan Thor, 2010).
Pada keadaan normal, kadar bilirubin indirek bayi baru lahir adalah 1-3
mg/dl dan naik dengan kecepatan < 5 mg/dl/24 jam, dengan demikian ikterus
fisiologis dapat terlihat pada hari ke-2 sampai ke-3, berpuncak pada hari ke-2 dan
ke-4 dengan kadar berkisar 5-6 mg/dL (86-103 μmol/L), dan menurun sampai di
bawah 2 mg/dl antara umur hari ke-5 dan ke-7. Secara umum karakteristik ikterus
fisiologis adalah sebagai berikut:
a. Timbul pada hari kedua – ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek setelah 24 jam tidak melewati 15 mg % pada neonatus
cukup bulan dan 10 mg % per hari pada neonatus kurang bulan
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari
d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %

8
e. Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan menurun sampai pada kadar
orang dewasa (1 mg/dl) pada umur 10-14 hari.
d. Tidak mempunyai dasar patologis (Hansen dan Thor, 2010).
Pada bayi prematur kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau lebih
lambat daripada kenaikan bilirubin bayi cukup bulan, tetapi jangka waktunya lebih
lama, biasanya menimbulkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai pada hari
ke-4 dan ke-7 (Gartner dan Lawrence, 1994).

2. Ikterus Patologis
Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong
patologis yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Beberapa keadaan berikut
tergolong dalam ikterus patologis, antara lain:
a. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
b. Bilirubin indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan
>10 mg/dL.
c. Peningkatan bilirubin total> 5 mg/dL/24 jam.
d. Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
e. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi
G6PD, atau sepsis)
f. Ikterus yang disertai oleh: berat lahir <2000 gram, masa gestasi 36 minggu,
asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus, infeksi, trauma lahir
pada kepala, hipoglikemia
g. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada aterm) atau >14
hari (pada prematur) (Depkes RI, 2001).
Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik tersebut
tidak selalu sama pada tiap bayi tergantung usia gestasi, berat badan bayi dan usia
bayi saat terlihat kuning. Penyebab yang sering adalah hemolisis akibat
inkompatibilitas golongan darah atau Rh (biasanya kuning sudah terlihat pada 24
jam pertama), dan defisiensi enzim G6PD (American Academy of Pediatrics,
2004).

9
2.5 Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh
tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah
dan sebagian lagi dari heme bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif.
Perbedaan utama metabolisme pada neonatus adalah bahwa pada janin melalui
plasenta dalam bentuk bilirubin indirek. Metabolisme bilirubin mempunyai
tingkatan sebagai berikut:
1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai hasil degradasi hemoglobin pada
sistem retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada
neonatus lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua. 1 gram hemoglobin dapat
menghasilkan 34 mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang
bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi hymans van den bergh),
yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.
2. Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin, sel parenkim hepar mempunyai
cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer
melalui membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Didalam sel
bilirubin akan terikat terutama pada ligandin (protein g, glutation S-transferase B)
dan sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini
merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam
plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk
hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol
hepar, ligadin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak. Pemberian fenobarbital
mempertinggi konsentrasi ligadin dan memberi tempat pengikatan yang lebih
banyak untuk bilirubin.
3. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin
diglukoronide. Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide.
Glukoronil transferase merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide.
Pertama-tama yaitu uridin di fosfat glukoronide transferase (UDPG : T) yang

10
mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi
diglokoronode terjadi di membran kanalikulus. Isomer bilirubin yang dapat
membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresikan
langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya isomer yang terjadi sesudah
terapi sinar (isomer foto).
4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan
di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin
direk ini tidak diabsorpsi, sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi
bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis. Pada
neonatus karena aktivitas enzim β glukoronidase yang meningkat, bilirubin direk
banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang terhidrolisa
menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus enterohepatis
pun meningkat.

11
Gambar 1. Metabolisme bilirubin

Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus yaitu pada liquor amnion
yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu, kemudian
menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh, kadar
bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis.

12
Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana
bilirubin sampai ke likuor amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi
kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Produksi
bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar
mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas.
Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian
hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah
melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan
fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi
bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan
fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini
diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat
penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus.
Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat
gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat
kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin
indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin
sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum.
Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat
dimengerti bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat
berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel
otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan ‘kernicterus’ dengan pemberian
albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada
umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai
kadar albumin normal telah tercapai (Kliegman dan Robert, 2004).

2.6 Patofisiologi Ikterus


Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur

13
eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau
pada keadaan protein Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi
dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan
peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar
(defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita gangguan
ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu
intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar
larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya
efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah
otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati
biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut
mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah
tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari
tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri.
Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat
keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan
kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi (IDAI, 2008).

2.7 Diagnosis
Ikterus dapat timbul saat lahir atau setiap saat selama masa neonatus,
tergantung pada etiologinya. Ikterus biasanya dimulai pada daerah wajah dan ketika
kadar serum bilirubin bertambah akan turun ke abdomen dan selanjutnya ke
ekstremitas. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan langkah-langkah mulai dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Dari anamnesis dapat
diperoleh:

14
a. Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi
glukosa 6-fosfat -dehidrogenase (G6PD)
b. Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan
galaktosemia, deifisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia,
penyakit Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik.
c. Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada
kemungkinan inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice
d. Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus
atau toksoplasma
e. Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser
ikatan bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan
hemolisis pada bayi dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin,
antimalaria)
f. Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan
atau hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang
disebabkan ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat
perdarahan intrakranial. Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan
polisitemia neonatal dan peningkatan bilirubin.
g. Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia
direk berkepanjangan.
h. Pemberian air susu ibu (ASI). Harus dibedakan antara breast-milk jaundice
dan breastfeeding jaundice.
1) Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh
kekurangan asupan ASI. Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3
pada waktu produksi ASI belum banyak. Untuk neonatus cukup
bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal ini
tidak perlu dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak
coklat, glikogen, dan cairan yang dapat mempertahankan
metabolisme selama 72 jam. Walaupun demikian keadaan ini dapat
memicu terjadinya hiperbilirubinemia, yang disebabkan
peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat kurangnya asupan ASI.

15
Ikterus pada bayi ini tidak selalu disebabkan oleh breastfeeding
jaundice, karena dapat saja merupakan hiperbilirubinemia fisiologis.
2) Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu
ibu (ASI). Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada
sebagian besar bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada
breast-milk jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai
20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan
turun secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka
bilirubin akan kembali naik tetapi umumnya tidak akan setinggi
sebelumnya. Bayi menunjukkan pertambahan berat badan yang
baik, fungsi hati normal, dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-
milk jaundice dapat berulang (70%) pada kehamilan berikutnya.
Mekanisme sesungguhnya yang menyebabkan breast-milk jaundice
belum diketahui, tetapi diduga timbul akibat terhambatnya uridine
diphosphoglucuronic acid glucuronyl transferase (UDGPA) oleh
hasil metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3-alpha 2-beta-diol
yang ada di dalam ASI sebagian ibu (IDAI, 2011).
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan cahaya sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat
dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap.
Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan
jaringan subkutan. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang
mendapatkan terapi sinar.
Pemeriksaan fisik penting yang menunjang diagnosis meliputi:
1. Kondisi umum, penentuan usia gestasi neonatus, berat badan, tanda-tanda
sepsis, status hidrasi.
2. Tanda-tanda kern ikterus seperti letargi, hipotonia, kejang, opistotonus, high
pitch cry.
3. Pucat, plethora, sefalhematom, perdarahan subaponeurotik.
4. Tanda-tanda infeksi intrauterin, peteki dan splenomegali.

16
5. Progresi ikterus sefalo-kaudal pada ikterus berat.

4 4
2

Gambar 2. Derajat ikterus neonatal menurut Kramer

Penilaian klinis derajat ikterus neonatal menurut Kramer, yaitu:


1. Kramer I pada Daerah kepala (Bilirubin total ± 5 – 7 mg)
2. Kramer II pada Daerah dada – pusat (Bilirubin total ± 7 – 10 mg%)
3. Kramer III pada Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total ± 10 – 13 mg)
4. Kramer IV pada Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai
pergelangan kaki (Bilirubin total ± 13 – 17 mg%)
5. Kramer V pada hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17
mg%) (American Academy of Pediatrics, 20014).
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-
bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada
bayi yang mengalami ikterus berat, dilakukan terapi sinar sesegera mungkin tanpa
menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin (Etika et al., 2004).
Transcutaneous bilirubinometer (TcB) digunakan untuk menentukan kadar
serum bilirubin total dengan cara yang non-invasif tanpa harus mengambil sampel

17
darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257
μmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar.
Alat ini digunakan untuk menyaring bayi yang berisiko. Pemeriksaan tambahan
yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain:
1. Golongan darah dan Coombs test
2. Darah lengkap dan hapusan darah tepi
3. Hitung retikulosit, skrining G6PD
4. Bilirubin total, direk, dan indirek. Pemeriksaan serum bilirubin total harus
diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin.
Kadar albumin serum juga perlu diukur (Etika et al., 2004).

18
Gambar 3.Alur diagnosis ikterus

19
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menimbulkan kern ikterus atau ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab
langsung ikterus. Pemberian fototerapi, dan jika tidak berhasil dilanjut dengan
transfuse tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin
total dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan bayi cukup bulan yang sehat.
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau
albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi
sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan
kenaikan kadar bilirubin (Ennery et al., 2001).

Tabel 2.Tatalaksana kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan yang sehat.4
Umur (jam) Fototerapi Fototerapi & persiapan Transfusi tukar jika
transfusi tukar fototerapi gagal
< 24 - - -
24-48 15-18 25 20
49-72 18-20 30 25
> 72 20 30 25
> 2 Minggu Transfusi tukar Transfusi tukar Transfusi tukar

1. Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak
1958. Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori
terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi
bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin
menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya.
Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar
ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu
menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga

20
peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus
(Ennery, 2001).

Gambar 4.Prinsip Fototerapi

Fototerapi tetap menjadi standar terapi hiperbilirubinemia pada bayi.


Fototerapi yang efisien dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum secara cepat.
Pembentukan lumirubin yang merupakan isomer bilirubin, komponen yang larut air
merupakan prinsip eliminasi bilirubin dengan fototerapi. Faktor yang menentukan
pembentukan lumirubin antara lain: spektrum dan jumlah dosis cahaya yang
diberikan.
Fototerapi yang intensif dapat membatasi kebutuhan akan transfusi tukar.
Fototerapi (penyinaran 11-14 μW/cm2/nm) dan pemberian asupan sesuai kebutuhan
(feeding on demand) dengan formula atau ASI dapat menurunkan konsentrasi
bilirubin serum > 10 mg/dl dalam 2-5 jam. Saat ini, banyak bayi mendapatkan
fototerapi dalam dosis di bawah rentang terapeutik yang optimal. Tetapi terapi ini
cukup aman, dan efeknya dapat dimaksimalkan dengan meningkatkan area
permukaan tubuh yang terpapar dan intensitas dari sinar.

21
Bayi yang diterapi dengan fototerapi ditempatkan di bawah sinar (delapan
bohlam lampu fluoresense) dan lebih baik dalam keadaan telanjang dengan mata
tertutup. Temperatur dan status hidrasi harus terus dipantau. Fototerapi dapat
sementara dihentikan selama 1 – 2 jam untuk mempersilahkan keluarga berkunjung
atau memberikan ASI atau susu formula. Waktu yang tepat untuk memulai
fototerapi bervariasi tergantung dari usia gestasi bayi, penyebab ikterus, berat badan
lahir, dan status kesehatan saat itu. Fototerapi dapat dihentikan ketika konsentrasi
bilirubin serum berkurang hingga sekitar 4-5 mg/dl.

Gambar 5.Normogram ikterus neonatorum untuk neonatus usia gestasi ≥ 35


minggu.8

2. Terapi sinar konvensional dan intensif


Secara umum terapi sinar dibagi menjadi terapi sinar konvensional dan
intensif. Terapi sinar konvensional menggunakan panjang gelombang 425-475 nm.
Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm. Cahaya
diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi. Sedangkan fototerapi intensif

22
menggunakan intensitas penyinaran >12 μW/cm2/nm dengan area paparan
maksimal.
Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari
biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes.
Cahaya biru khusus memiliki kerugian karena dapat membuat bayi terlihat biru,
walaupun pada bayi yang sehat, hal ini secara umum tidak mengkhawatirkan. Untuk
mengurangi efek ini, digunakan 4 tabung cahaya biru khusus pada bagian tengah
unit terapi sinar standar dan dua tabung daylight fluorescent pada setiap bagian
samping unit (Tazami et al., 2013)
Tabel 3. Komplikasi terapi sinar
Kelainan Mekanisme yang mungkin terjadi
Bronze baby syndrome Berkurangnya ekskresi hepatik hasil
penyinaran bilirubin
Diare Bilirubin indirek menghambat lactase
Hemolisis Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi
eritrosit
Dehidrasi Bertambahnya Insensible Water Loss (30-
100%) karena menyerap energi foton
Ruam kulit Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast
kulit dengan pelepasan histamine

3. Transfusi tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah
yang dilanjutkan dengan pemasukan darah dari donor dalam jumlah yang sama.
Teknik ini secara cepat mengeliminasi bilirubin dari sirkulasi. Antibodi yang
bersirkulasi yang menjadi target eritrosit juga disingkirkan. Transfusi tukar sangat
menguntungkan pada bayi yang mengalami hemolisis oleh sebab apapun. Satu atau
dua kateter sentral ditempatkan, dan sejumlah kecil darah pasien dikeluarkan,
kemudian ditempatkan sel darah merah dari donor yang telah dicampurkan dengan
plasma. Prosedur tersebut diulang hingga dua kali lipat volume darah telah
digantikan. Selama prosedur, elektrolit dan bilirubin serum harus diukur secara

23
periodik. Jumlah bilirubin yang dibuang dari sirkulasi bervariasi tergantung jumlah
bilirubin di jaringan yang kembali masuk ke dalam sirkulasi dan rata-rata kecepatan
hemolisis. Pada beberapa kasus, prosedur ini perlu diulang untuk menurunkan
konsentrasi bilirubin serum dalam jumlah cukup. Infus albumin dengan dosis 1
gr/kgBB 1 – 4 jam sebelum transfusi tukar dapat meningkatkan jumlah total
bilirubin yang dibuang dari 8,7 – 12,3 mg/kgBB, menunjukkan kepentingan
albumin dalam mengikat bilirubin.
Sejumlah komplikasi transfusi tukar telah dilaporkan, antara lain
trombositopenia, trombosis vena porta, enterokolitis nekrotikan, gangguan
keseimbangan elektrolit, graft-versus-host disease, dan infeksi. Oleh sebab itu
transfusi tukar hanya didindikasikan pada bayi dengan kriteria sebagai berikut:
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu
b. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir
c. Gagal fototerapi intensif
d. Kadar bilirubin direk >3,5 mg/dl di minggu pertama
e. Serum bilirubin indirek > 25 mg/dl pada 48 jam pertama
f. Hemoglobin < 12 gr/dl
g. Bayi pada resiko terjadi ensefalopati bilirubin
h. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberikan kesan kern ikterus pada kadar
bilirubin berapapun.
Penggunaan transfusi tukar menurun secara drastis setelah pengenalan
prosedur fototerapi, dan optimalisasi fototerapi lebih lanjut dapat membatasi
penggunaannya.

Transfusi pengganti digunakan untuk: 12


1. Mengatasi anemia akibat proses isoimunisasi.

2. Menghilangkan sel darah merah yang tersensitisasi

3. Menghilangkan serum bilirubin

24
4. Meningkatkan albumin bebas sehingga meningkatkan jumlah bilirubin yang

terikat albumin.

Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar

1. Darah yang digunakan harus golongan O.


2. Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood. Kerjasama dengan dokter
kandungan dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi
yang membutuhkan tranfusi tukar.
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus
golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan
setelah kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.
4. Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau
rhesus yang sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi
yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya
menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan
bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi
antigen tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched
terhadap plasma dan eritrosit bayi.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange)
yaitu sekitar 160 ml/kgBB (dengan asumsi volume darah bayi baru lahir adalah
80 ml/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.
8. Simple Double Volume. Push-Pull Tehcnique.
Jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis atau vena saphena
magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.

9. Isovolumetric. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri


umbilikalis dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang
sama.

25
10. Partial Exchange Tranfusion. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya
pada bayi dengan polisitemia.
11. Di Indonesia, untuk kasus kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan
golongan darah O rhesus positif.
12. Setiap 4-8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus diperiksa setiap
hari sampai stabil.
Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:

1. Emboli, thrombosis

2. Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia

3. Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin

4. Perforasi pembuluh darah

Komplikasi tranfusi tukar

1. Vaskular: emboli udara atau trombus, thrombosis

2. Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung

3. Gangguan elektrolit: hipo atau hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis

4. Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih

5. Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan

6. Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia (Tazami et al., 2013)

4. Terapi farmakologis

Fenobarbital telah digunakan sejak pertengahan tahun 1960 untuk


meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin dengan mengaktivasi enzim
glukoronil-transferase, tetapi penggunaanya kurang efektif. Percobaan yang
dilakukan pada mencit menunjukkan fenobarbital mengurangi metabolisme
oksidatif bilirubin dalam jaringan saraf sehingga meningkatkan resiko efek
neurotoksik. Pemberian fenobarbital akan membatasi perkembangan ikterus

26
fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam
sebelum persalinan atau pada saat bayi baru lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam.
Meskipun demikian fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati
ikterus pada neonatus karena
a. Pengaruhnya pada metabolisme bilirubin baru terlihat setelah beberapa hari
pemberian.
b. Efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar
bilirubin.
c. Mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan.
d. Tidak menambah respon terhadap fototerapi (Etika et al., 2004)
Beberapa penelitian juga menguji efektivitas dari enzim bilirubin oksidase
yang diperoleh dari fungi. Bilirubin tidak terkonjugasi dimetabolisme oleh enzim
bilirubin oksidase. Ketika darah melalui filter yang mengandung bilirubin oksidase
tersebut maka > 90% bilirubin didegradasi dalam sekali langkah. Prosedur tersebut
terbukti bermanfaat dalam terapi hiperbilirubinemia neonatorum, tetapi belum
diujikan secara klinis. Lebih lanjut, kemungkinan dapat terjadi reaksi alergi pada
penggunaan prosedur tersebut karena enzim diperoleh dari fungus (Etika et al.,
2004)

Indikasi untuk merujuk ke RS

 Ikterus timbul dalam 24 jam kehidupan


 Ikterus hingga di bawah umbilikus
 Ikterus yang meluas hingga ke telapak kaki harus dirujuk segera karena
kemungkinan membutuhkan transfusi tukar.
 Riwayat keluarga dengan penyakit hemolitik yang signifikan atau kernikterus
 Neonatus dengan keadaan umum yang kurang baik
 Ikterus memanjang > 14 hari (American Academy of Pediatrics, 2004)

27
2.9 Pencegahan
2.9.1 Reduksi bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik
Bayi baru lahir yang tidak diberi asupan secara adekuat dapat meningkatkan
sirkulasi enterohepatik bilirubin, karena keadaan puasa dapat meningkatkan
akumulasi bilirubin. Peningkatan jumlah asupan oral dapat mempercepat ekskresi
bilirubin, sehingga pemberian ASI yang sering atau asupan tambahan dengan susu
formula efektif dalam menurunkan kadar bilirubin serum pada bayi yang sedang
menjalani fototerapi. Sebaliknya, asupan tambahan dengan air atau dekstrosa dapat
mengganggu produksi ASI, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi bilirubin
(Ritarwan dan Kiking, 2011).
Tidak ada obat-obatan atau agen-agen lain yang dapat menurunkan sirkulasi
enterohepatik bilirubin. Pada tikus percobaan, karbon aktif dapat berikatan dengan
bilirubin dan meningkatkan ekskresinya, tetapi efikasi dari karbon aktif tersebut
pada bayi belum pernah diujikan. Pada sebuah penelitian, penggunaan agar pada
bayi yang sedang menjalani fototerapi secara signifikan dapat menurunkan durasi
fototerapi dari 48 jam menjadi 38 jam. Cholestyramine yang digunakan untuk terapi
ikterus obstruktif, dapat meningkatkan ekskresi bilirubin melalui ikatan dengan
asam empedu di dalam intestinal dan membentuk suatu kompleks yang tidak dapat
diabsorbsi (Ennry et al., 2001).
2.9.2 Inhibisi produksi bilirubin
Metalloporfirin sintetis dapat menghambat produksi bilirubin dengan
menjadi inhibitor kompetitif enzim heme-oksigenase. Pada bayi prematur dengan
berat lahir 1500-2500 gram, dosis tunggal mesoporfirin timah intramuskular (6
μmol/kg) yang diberikan dalam 24 jam pertama kelahiran dapat menurunkan
kebutuhan fototerapi sebesar 76%, dan menurunkan konsentrasi puncak bilirubin
serum sebesar 41%. Satu-satunya efek yang merugikan adalah eritema sementara
akibat fototerapi. Walaupun tampak sangat menjanjikan, metalloporfirin saat ini
belum disetujui penggunaannya pada bayi baru lahir (Etika et al., 2004)

28
2.9.3 Pencegahan ensefalopati bilirubin

Sekali bilirubin terakumulasi, peningkatan pH otak dapat membantu mencegah


ensefalopati, karena bilirubin lebih mudah larut dalam suasana alkali. Pada bayi
baru lahir dengan hiperbilirubinemia berat, alkalinisasi yang cukup (pH 7,45 – 7,55)
dapat diperoleh dengan infus bikarbonat atau dengan menggunakan strategi
ventilator untuk menurunkan tekanan parsial karbon dioksida sehingga pH
meningkat (Etika et al., 2004).

2.10 Komplikasi
Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam
menimbulkan kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya
juga dapat terjadi. Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta
mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga dapat menghambat sinyal
neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius) sehingga
menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf.
Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan
konsentrasi bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang
terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan.
Komplikasi ikterus neonatorum adalah Ensefalopati bilirubin atau
kernikterus, yaitu ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditatalaksana dengan
benar dan dapat menimbulkan komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi
akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan lipid dinding sel neuron di ganglia
basal, batang otak dan serebellum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi
dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada sawar darah
otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk
ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar
bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada
studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan
dengan hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik yang disebabkannya.

29
Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir
sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain:
konsentrasi albumin serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke
dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi efek toksik bilirubin.
Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan
sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya
diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena ensefalopati
bilirubin. Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan
mengalami kerusakan otak permanen dengan manifestasi berupa cerebral palsy,
epilepsi dan keterbelakangan mental atau hanya cacat minor seperti gangguan
belajar dan perceptual motor disorder (Etika et el., 2004)

2.11 Prognosis
Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur
kehamilan) yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih
dari 20 mg/dl, akan mengalami kernikterus. Kernikterus didapatkan pada 8% bayi
dengan hemolisis Rh yang memiliki konsentrasi bilirubin serum 19-24 mg/dl, 33%
pada bayi dengan konsentrasi bilirubin 25-29 mg/dl, dan 73% pada bayi dengan
konsentrasi bilirubin 30-40 mg/dl (Ennery et al., 2001)
Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada
75% atau lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80% yang bertahan hidup
menderita koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental,
tuli, dan kuadriplegia sapstis lazim terjadi. Bayi yang berisiko harus menjalani
skrining pendengaran (Etika et al., 2004)

30
BAB III

KESIMPULAN

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin.
Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan
tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau
disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama
kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti
hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus patologis).
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menbimbulkan kernikterus atau ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab
langsung ikterus. Dianjurkan agar dilakukan fototerapi, dan jika tidak berhasil
transfusi tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin
total dalam serum dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan bayi cukup
bulan yang sehat.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Ritarwan, Kiking. Ikterus. Bagian Perinatologi Fakultas Kedokteran USU/RSU


H. Adam Malik. 2011. Sumatra Utara. USU digital library.
2. David C. Dugdale. Medline plus. Oct 2013; [diakses Agustus 2015] Available
fromhttp://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003479.htm
3. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,Sarosa
GI, Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi. Edisi 1. Jakarta: IDAI.
2008.h.147-69.
4. Kliegman, Robert M.Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia Dalam
:Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HBEditors. Nelson Textbook Of
Pediatrics. 17ThEdition. Philadelphia: Saunders;2004. p. 592-8
5. Hansen, Thor W.R. Core Concepts: Bilirubin Metabolism. Neoreviews.2010.
vol. 11. p.316-22.
6. Gartner, Lawrence M. Neonatal Jaundice. Pediatrics Review;1994.Vol. 15. p.
422-32
7. Depkes RI. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda
Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI;
2001.
8. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia. In :
Management Of Hyperbilirubinemia The Newborn Infant 35 Or More Weeks
Of Gestation. Pediatrics; 2004. p.114, 297-316.
9. Maisels M. J& Mcdonagh, Antony F.Phototherapy For Neonatal Jaundice. New
England Journal of Medicine;2008p.358:920-8.
10. Hassan R.Ikterus Neonatorum dalam :Hassan R, Alatas H, editors Ilmu
kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI. Jilid ke-2. Jakarta. 2007. h.519-
22,1101-23.
11. Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik, Sylviati M. Dalam :
Hiperbilirubinemia Pada Neonatus.Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu
Dr. Soetomo – Surabaya; 2004.

32
12. Ennery P, Eidman A, Tevenson D. Neonatal Hyperbilirubinemia. New England
Journal of Medicine,2001. Vol. 344, No. 8.
13. Reisa Maulidya Tazami, Mustarim, Shalahudden Syah. Gambaran Faktor
Risiko Ikterus Neonatorum pada Neonatus di Ruang Perinatologi RSUD Raden
Mattaher Jambi Tahun 2013. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Jambi.

33

Anda mungkin juga menyukai