Anda di halaman 1dari 30

PNEUMONIA

ILMU KESEHATAN ANAK

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan


Klinik KSM Ilmu Kesehatan Anak RSD dr. Soebandi
Jember

Disusun oleh:

Vivi Maulidatul Azizah


NIM 132011101096

Dokter Pembimbing:
dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A
dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp.A
dr. Lukman Oktadianto, Sp.A
dr. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
KSM ILMU KESEHATAN ANAK
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2018

i
DAFTAR ISI

Halaman judul ............................................................................................. i

DAFTAR ISI................................................................................................ ii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iii

DAFTAR TABEL ....................................................................................... iv

BAB 1. PENDAHULUAN .......................................................................... 1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 2

2.1 Definisi ................................................................................................... 2

2.2 Epidemiologi .......................................................................................... 2

2.3 Etiologi ................................................................................................... 3

2.4 Patofisiologi ........................................................................................... 4

2.5 Manifestasi ............................................................................................. 5

2.6 Klasifikasi ............................................................................................. 5

2.7 Diagnosis ................................................................................................ 6

2.8 Tatalaksana ........................................................................................... 13

2.9 Diagnosis Banding ................................................................................. 22

2.10 Komplikasi ........................................................................................... 23

2.11 Pencegahan .......................................................................................... 24

2.12 Prognosis .............................................................................................. 25

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 26

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Proporsi penyebab kematian pada umur 1-4 tahun ................. 2

Gambar 2 Tarikan Dinding Dada Bagian Bawah Ke Dalam ................... 9

Gambar 3 Gambaran foto toraks pada penderita pneumonia ................... 12

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Penilaian anak batuk atau kesukaran bernapas ................................ 6

Tabel 2 Klasifikasi napas cepat pada anak ................................................... 9

Tabel 3 Klasifikasi dan Tindakan Anak Batuk dan atau Sukar Bernapas untuk
kelompok umur 2 bulan - <5 tahun .............................................................. 15

Tabel 4 Klasifikasi dan Tindakan Anak Batuk dan atau Sukar Bernapas untuk
kelompok umur < 2 bulan ............................................................................ 17

Tabel 5 Pemberian Antibiotik pada Pneumonia .......................................... 18

Tabel 6 Plihan antibiotik intravena untuk pneumonia .................................. 19

Tabel 7 Terapi oksigen pada Pneumonia ...................................................... 20

Tabel 8 Pemberian Paracetamol .................................................................... 21

iv
BAB 1. PENDAHULUAN

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama


morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang
meninggal akibat ISPA setiap tahunnya, 98% nya disebabkan oleh infeksi
saluran pernapasan bawah (Price, 2006).
Pneumonia adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bagian
bawah yang mengenai parenkim paru. Sampai saat ini, penyakit pneumonia
merupakan penyebab utama kematian balita di dunia. Diperkirakan ada 1,8
juta atau 20% dari kematian anak diakibatkan oleh pneumonia, melebihi
kematian akibat AIDS, malaria dan campak komplikasi. Pneumonia adalah
penyebab utama kematian balita baik di Indonesia maupun di dunia, namun
tidak banyak perhatian terhadap penyakit ini (Kemenkes, 2015).
Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per tahun pada
anak balita di negara berkembang. Dari tahun ke tahun pneumonia selalu
menduduki peringkat atas penyebab kematian bayi dan anak balita di
Indonesia dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya
difasilitas kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia merupakan
penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama yang
berkontribusi terhadap tingginya angka kematian balita di Indonesia (IDAI,
2009).
Melihat hal tersebut, masalah pneumonia perlu mendapatkan perhatian
dan penanganan tepat dikarenakan angka kejadian yang cukup tinggi. Oleh
sebab itu, dokter diharapkan dapat berperan dalam penemuan (deteksi dini),
pencegahan, tatalaksana maupun dalam hal menentukan rujukan pada kasus
pneumonia.

1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Pneumonia adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bagian
bawah yang mengenai parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstitial (IDAI, 2009). Pneumonia didefinisikan berdasarkan gejala dan
tanda klinis serta perjalanan penyakitnya. WHO mendefinisikan pneumonia
hanya berdasarkan penemuan klinis yang didapat pada pemeriksaan inspeksi
dan frekuensi pernapasan (IDAI, 2009).

2.2 Epidemiologi

Diperkirakan ada 1,8 juta atau 20% dari kematian anak diakibatkan
oleh pneumonia, melebihi kematian akibat AIDS, malaria dan campak
komplikasi. Insidens pneumonia pada anak <5 tahun di negara maju adalah 2-4
kasus/100 anak per tahun, sedangkan di negara berkembang 10-20 kasus/100
anak per tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per tahun
pada anak balita di negara berkembang (Kemenkes, 2015).

Gambar 1. Proporsi penyebab kematian pada umur 5 tahun di Indonesia


(Unicef, 2013)

2
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), pneumonia merupakan
penyebab kematian kedua tertinggi setelah diare yaitu 15,5% diantara semua
balita. Demikian juga hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI), yang melaporkan bahwa prevalensi pneumonia dari tahun ke tahun
terus meningkat, yaitu 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun
2007(Kartasasmita, 2010).

2.3 Etiologi
Pada bayi baru lahir, pneumonia seringkali terjadi karena aspirasi,
infeksi virus Varicella-zoster dan infeksi berbagai bakteri gram negatif seperta
bakteri Coli, TORCH, Streptokokus dan Pneumokokus. Pada bayi, pneumonia
biasanya disebabkan oleh berbagai virus, yaitu Adenovirus, Coxsackie,
Parainfluenza, Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV), dan
bakteri yaitu B. streptococci, E. coli, P. aeruginosa, Klebsiella, S. pneumoniae,
S. aureus, Chlamydia. Pneumonia pada batita dan anak pra-sekolah disebabkan
oleh virus, yaitu: Adeno, Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai bakteri
yaitu: S. pneumoniae, Hemophilus influenzae, Streptococci A, Staphylococcus
aureus, Chlamydia. Pada anak usia sekolah dan usia remaja, pneumonia
disebabkan oleh virus, yaitu Adeno, Parainfluenza, Influenza A or B, dan
berbagai bakteri, yaitu S. pneumoniae, Streptococcus A dan Mycoplasma
(Kartasasmita, 2010).

Bakteri penyebab pneumonia tersering adalah Haemophilus influenzae


(20%) dan Streptococcus pneumoniae (50%). Bakteri penyebab lain adalah
Staphylococcus aureus dan Klebsiella pneumoniae. Sedangkan virus yang
sering menjadi penyebab pneumonia adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV)
dan influenza. Jamur yang biasanya ditemukan sebagai penyebab pneumonia
pada anak dengan AIDS adalah Pneumocystis jiroveci (PCP) (Kartasasmita,
2010).

3
2.4 Patofisiologi
Saluran pernapasan bagian bawah normalnya berada dalam kondisi
yang steril melalui beberapa mekanisme fisiologis seperti: pencegahan aspirasi
dengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing melalui refleks batuk,
pembersihan ke arah kranial oleh mukosiliaris, fagositosis kuman oleh
makrofag alveolar, netralisasi kuman oleh substansi imun lokal dan drainase
melalui sistem limfatik. Mikroorganisme mencapai paru melalui jalan napas,
aliran darah, aspirasi benda asing, transplasental atau selama persalinan pada
neonatus. Umumnya pneumonia terjadi akibat inhalasi atau aspirasi
mikroorganisme, sebagian kecil terjadi melalui aliran darah (hematogen)
(Setiawati dkk, 2008).
Pneumonia yang disebabkan virus penyebaran infeksi biasanya dari
saluran napas, diikuti dengan terbentuknya cedera pada epitel pernapasan yang
mengakibatkan obstruksi saluran napas karena terjadi pembengkakan, sekresi
yang abnormal, dan debris seluler. Infeksi oleh virus pada saluran napas dapat
menjadi predisposisi infeksi sekunder oleh bakteri (Price, 2006).
Pada pneumonia bakteri, ketika infeksi bakteri terbentuk pada
parenkim paru, bakteri menempel pada epitel saluran pernapasan lalu
menghalangi siliaris, menyebabkan destruksi seluler serta respon inflamasi
pada submukosa sehingga terjadi obstruksi. S. pneumoniae mengakibatkan
edema lokal dan memperlihatkan keterlibatan lobar fokal paru. Infeksi oleh
streptococcus group A pada saluran napas bawah mengakibatkan infeksi yang
difus dan pneumonia interstisial meliputi nekrosis mukosa trakeobronkial,
pembentukan eksudat, edema, dan perdarahan lokal, serta keterlibatan
pembuluh limfatik. Sedangkan, pada penderita dengan radang tenggorokan
(infeksi saluran napas akut bagian atas) yang disebabkan streptokokus ditandai
dengan munculnya demam secara tiba-tiba, sakit pada tenggorokan, tonsillitis
eksudatif atau faringitis dan terjadi pembesaran kelenjar limfe leher. Faring,
kripte tonsil dan palatum molle berwarna merah dan bengkak, mungkin
timbul petekie berlatar belakang warna kemerahan dan menyebar (Price,

4
2006)..
Pneumonia S. aureus bermanifestasi menjadi bronkopneumonia, yang
sering kali unilateral, terdapat area nekrosis dengan perdarahan yang luas dan
area kavitas pada parenkim paru yang mengarah kepada pneumatokel,
empiema, atau fistula (Price, 2006).

2.5 Manifestasi klinis

Gejala dan tanda klinis pada penderita pneumonia diantaranya adalah:

 Batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif dengan


dahak purulen bahkan bisa berdarah

 Sesak napas

 Demam

 Kesulitan makan/minum

 Tampak lemah

 Serangan pertama atau berulang, untuk membedakan dengan kondisi


imunokompromais, kelainan anatomi bronkus, atau asma

 Gejala distress napas seperti takipnea, retraksi subkostal, batuk,


krepitasi, dan penurunan suara paru

2.6 Klasifikasi

WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas


dan retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara
berkembang. Namun demikian, kreteria tersebut mempunyai sensitivitas yang
buruk untuk anak malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala malaria
(WHO, 2009).

Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO ialah sebagai berikut:

5
Bayi kurang dari 2 bulan
 Pneumonia berat : napas cepat atau retraksi yang berat
 Batuk bukan pneumonia : tidak ada nafas cepat dan retraksi
Anak umur 2 bulan-5 tahun
 Pneumonia berat : napas cepat dan retraksi yang berat
 Pneumonia : nafas cepat, tidak ada retraksi yang berat
 Batuk bukan pneumonia: tidak ada nafas cepat dan retraksi

2.7 Diagnosis
Tanda dan gejala penyakit infeksi saluran pernapasan dapat berupa
batuk, kesukaran bernapas, sakit tenggorok, pilek, sakit telinga dan demam.
Anak dengan batuk atau kesukaran bernapas mungkin menderita pneumonia
atau infeksi saluran pernapasan yang berat lainnya. Akan tetapi sebagian besar
anak batuk yang datang ke Puskesmas/fasilitas kesehatan lainnya hanya
menderita infeksi saluran pernapasan yang ringan. Petugas kesehatan perlu
mengenal anak-anak yang sakit serius dengan gejala batuk atau kesukaran
bernapas yang membutuhkan pengobatan dengan antibiotik, yaitu pneumonia
(infeksi paru) yang ditandai dengan napas cepat dan mungkin juga Tarikan
Dinding Dada bagian bawah Ke dalam (TDDK) (Kemenkes, 2015).

Menilai Anak Batuk dan atau Kesukaran Bernapas

Tabel 1. Penilaian anak batuk atau kesukaran bernapas (Kemenkes, 2015)

6
Anak yang menderita batuk dan atau kesukaran bernapas mungkin
menderita pneumonia, suatu penyakit yang parah dan bisa mengakibatkan
kematian. Tetapi batuk atau kesukaran bernapas juga bisa disebabkan oleh
batuk- pilek biasa, hidung tersumbat, lingkungan berdebu, pertusis,
tuberkulosis, campak, croup/stridor atau wheezing. Pemeriksaan yang teliti
dapat mencegah kematian anak dari pneumonia atau penyakit berat yang lain
(Kemenkes, 2015).
Anamnesis
Tanya: Berapa umur anak?
Umur anak menentukan pilihan bagan yang akan digunakan sesuai dengan dua
kelompok umur Balita. Tanyakan umur anaknya, jika:
Umur anak 2 bulan - 5 tahun gunakan: Bagan Penilaian, Penentuan Tanda
Bahaya & Klasifikasi Umur 2 bulan - 5 tahun
Umur anak < 2 bulan gunakan: Bagan Penilaian, Penentuan Tanda Bahaya
& Klasifikasi Umur < 2 Bulan
Tanya: Apakah anak menderita batuk dan atau sukar bernapas?
“Sukar bernapas” adalah pola pernapasan yang tidak biasa. Para ibu
menggambarkannya dengan berbagai cara. Mereka mungkin mengatakan bahwa
anaknya bernapas “cepat” atau “berbunyi” atau “terputus-putus”.
Jika ibu menjawab TIDAK, periksa apakah anak itu batuk atau sukar bernapas.
Jika anak tidak batuk atau sukar bernapas, tidak perlu memeriksa anak lebih
lanjut untuk tanda-tanda yang berhubungan dengan batuk atau sukar bernapas.
Jika jawabannya YA, ajukan pertanyaan berikut ini: “Sudah berapa lama?”
Anak dengan batuk atau sukar bernapas selama lebih dari 3 minggu berarti
menderita batuk kronik. Kemungkinan ini adalah tanda TB, Asma, Batuk Rejan
atau penyakit lain.
Tanya: Apakah anak bisa minum atau menetek? (jika anak berusia 2
bulan - 5 tahun)
Anak menunjukkan tanda “tidak bisa minum atau menetek” jika anak terlalu
lemah untuk minum atau tidak bisa mengisap atau menelan apabila diberi
minum atau diteteki.

7
Tanya: Apakah anak kurang bisa minum atau menetek? (jika anak
berusia <2 bulan)
Pertanyaan ini mirip dengan pertanyaan di atas. Bedanya, pada anak yang lebih
tua adalah tidak bisa minum sama sekali, sedangkan pada usia di bawah 2 bulan,
kemampuan minumnya paling banyak hanya setengah dari kebiasaannya
menyusu/minum susu buatan. Ibu dapat memperkirakan jumlah ASI yang dihisap
anaknya berdasarkan lamanya menyusu (Kemenkes, 2015).
Tanya: Apakah anak demam? Berapa lama?
Jika ibu mengatakan anak demam maka riwayat demam sudah cukup untuk
menilai sebagai anak demam walaupun saat ini anak tidak demam (Kemenkes,
2015).
Tanya: Apakah anak kejang?
Tanyakan kepada ibu apakah anaknya kejang selama sakit ini. Gunakan kata-kata
yang dimengerti oleh ibu. Mungkin ibu menggungkapkan istilah kejang sebagai
“step” atau “kaku” dan lain sebagainya. Pada saat kejang, lengan dan kaki anak
menjadi kaku karena otot-ototnya berkontraksi. Tanda dan gejala klinis kejang
pada bayi muda sangat bervariasi bahkan kadang sulit dibedakan dengan gerakan
normal. Meskipun demikian, jika menjumpai gejala / gerakan yang tidak biasa,
terjadi secara berulang-ulang dan periodik, harus dipikirkan kemungkinan bayi
kejang. Kejang dapat berupa gerakan tidak terkendali berulang-ulang pada mulut
seperti menguap, mengunyah atau mengisap (Kemenkes, 2015).

Pemeriksaan Fisik
a. Lihat: Adakah napas cepat?
Hitung frekuensi napas anak dalam satu menit untuk menentukan apakah anak
bernapas dengan cepat. Penghitungan frekuensi napas harus dilakukan selama 1
menit (60 detik) penuh. Frekuensi napas bayi umur <2 bulan tidak menentu.
Kadang-kadang napasnya berhenti beberapa detik, diikuti periode napas cepat.
Batas napas cepat tergantung umur anak (Kemenkes, 2015).

8
Tabel 2. Klasifikasi napas cepat pada anak (Kemenkes, 2015)

b. Lihat: Apakah terlihat tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam


(TDDK)?
Lihatlah apakah dinding dada tertarik ke dalam pada saat anak itu menarik
napas. Perhatikan dada bagian bawah (tulang rusuk terbawah). Pada
pernapasan normal, seluruh dinding dada (atas dan bawah) dan perut bergerak
keluar ketika anak menarik napas. Anak dikatakan mempunyai TDDK jika
dinding dada bagian bawah masuk ke dalam ketika anak menarik napas
(Kemenkes, 2015).

Gambar 2. Tarikan Dinding Dada Bagian Bawah Ke Dalam (Kemenkes, 2015)

Berhati-hatilah melihat TDDK pada bayi umur kurang dari 2 bulan, tarikan
dinding dada yang ringan biasa terjadi karena tulang rusuknya relatif masih lunak.
Tetapi jika tarikan dinding dada tersebut kuat (sangat dalam dan mudah terlihat),
hal ini merupakan tanda adanya pneumonia. Anak dengan TDDK umumnya

9
menderita pneumonia berat. TDDK terjadi bila kemampuan paru-paru
mengembang berkurang dan mengakibatkan perlunya tenaga untuk menarik
napas. Anak dengan TDDK tidak selalu disertai pernapasan cepat. Bila anak
menjadi letih bernapas, akhirnya anak akan bernapas lambat. Karena itu TDDK
mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibanding dengan anak yang hanya
menderita napas cepat tanpa disertai TDDK (Kemenkes, 2015).

c. Dengar: Apakah terdengar stridor?


Stridor adalah bunyi khas yang terdengar pada saat anak menarik napas. Stridor
terjadi apabila ada pembengkakan pada laring, trakhea atau epiglotitis, sehingga
menyebabkan sumbatan yang menghalangi masuknya udara ke dalam paru dan
dapat mengancam jiwa anak. Anak yang menderita stridor pada saat tenang
menunjukkan suatu keadaan yang berbahaya. Untuk melihat dan mendengar
stridor, amati ketika anak menarik napas (Kemenkes, 2015).

d. Dengar: Apakah terdengar wheezing? Apakah berulang?


Lihatlah untuk mengetahui kapan anak mengeluarkan napas. Wheezing adalah
suara bising seperti siulan atau tanda kesulitan waktu anak mengeluarkan napas.
Hal ini disebabkan penyempitan saluran napas. Untuk mendengarkan wheezing,
bahkan pada kasus ringan, dekatkan telinga pemeriksa ke mulut anak untuk lebih
jelas mendengarkan wheezing. Pada usia dua tahun pertama, wheezing pada
umumnya disebabkan oleh infeksi respiratorik akut akibat virus, seperti
bronkiolitis atau batuk dan pilek. Setelah usia dua tahun, hampir semua wheezing
disebabkan oleh asma. Kadang-kadang anak dengan pneumonia disertai dengan
wheezing. Diagnosis pneumonia harus selalu dipertimbangkan terutama pada usia
dua tahun pertama (Kemenkes, 2015).

e. Lihat: Apakah terlihat kesadarannya menurun?


Anak yang kesadarannya turun akan sulit dibangunkan sebagaimana seharusnya.
Anak tampak mengantuk dan tidak punya perhatian akan apa yang terjadi di

10
sekelilingnya (letargis). Seringkali anak yang letargis tidak melihat kepada ibu
atau memperhatikan wajah Saudara pada waktu Saudara bicara. Anak mungkin
menatap hampa (pandangan yang kosong) dan terlihat bahwa ia tidak
memperhatikan keadaan sekitarnya. Anak yang tidak sadar tidak dapat
dibangunkan, tidak bereaksi ketika disentuh, digoyang atau diajak bicara.
Tanyakan kepada ibu apakah anaknya mengantuk tidak seperti biasanya atau tidak
dapat dibangunkan. Perhatikan apakah anak itu terbangun jika diajak bicara atau
digoyang jika Saudara bertepuk tangan. Mengantuk/letargis atau tidak sadar
merupakan salah satu tanda adanya infeksi berat pada bayi muda (Kemenkes,
2015).
f. Raba: Apakah teraba demam/terlalu dingin?
Periksa untuk mengetahui apakah anak demam (suhu badannya lebih dari 37,5oC)
atau hipotermia (suhu di bawah normal/ kurang dari 35,5oC). Anak mempunyai
riwayat demam jika ia menderita demam selama periode sakit ini, walaupun
mungkin saat ini sudah tidak lagi demam. Gunakan istilah untuk “demam” yang
dimengerti oleh ibu. Di daerah endemis malaria falciparum: anak yang datang
dengan batuk atau kesukaran bernapas disertai demam >38oC (atau menurut
keterangan pernah demam di atas 38oC) mungkin menderita Malaria. Jika
demikian obat malaria bisa diberikan untuk mengatasi kemungkinan malaria
falciparum. Bila demam pada anak lebih dari lima hari, rujuklah untuk
pemeriksaan lebih lanjut (Kemenkes, 2015).
g. Lihat: Adakah tanda gizi buruk?
Memeriksa tanda kekurangan gizi berat dilakukan secara klinis dengan melihat
kondisi anak. Metode lain dapat digunakan untuk menetapkan anak yang kurang
gizi, ukur berat dan tinggi badan, atau ukur lingkar lengan. Ikutilah petunjuk
program gizi yang ada. Anak dengan gizi buruk mempunyai risiko yang besar
untuk menderita pneumonia dan bisa tanpa disertai tanda-tanda khas pneumonia
(Kemenkes, 2015).

11
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi (IDAI, 2009)
- Pemeriksaan foto dada tidak direkomendasikan secara rutin pada anak
dengan infeksi saluran napas bawah akut ringan tanpa komplikasi
- Pemeriksaan foto dada direkomendasikan pada penderita pneumonia yang
dirawat inap atau bila tanda klinis yang ditemukan membingungkan
- Pemeriksaan foto dada follow up hanya dilakukan bila didapatkan adanya
kolaps lobus, kecurigaan terjadinya komplikasi, pneumonia berat, gejala yang
menetap atau memburuk, atau tidak respons terhadap antibiotik
- Pemeriksaan foto dada tidak dapat mengidentifikasi agen penyebab

Gambar 3. Gambaran foto toraks pada penderita pneumonia

- Pada foto dada terlihat infiltrat alveolar yang dapat ditemukan di seluruh
lapang paru. Luas kelainan pada gambaran radiologis bisa sebanding dengan
derajat klinis penyakit, kecuali pada infeksi mikoplasma yanng gambaran
radiologis lebih berat daripada keadaan klinis.

- Gambaran lain yang dapat dijumpai konsolidasi pada satu lobus atau lebih
pada pneumonia lobaris.

12
Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit perlu
dilakukan untuk membantu menentukan pemberian antibiotik
- Pemeriksaan kultur dan pewarnaan Gram sputum dengan kualitas
yang baik direkomendasikan dalam tata laksana anak dengan
pneumonia yang berat.
- Kultur darah tidak direkomendasikan secara rutin pada pasien
rawat jala, tetapi direkomendasikan pada pasien rawat inap
dengan kondisi berat dan pada setiap anak yang dicurigai
menderita pneumonia bakterial
- Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemeriksaan untuk
mendeteksi agen virus dengan atau tanpa kultur virus jika
fasilitas tersedia.

Pemeriksaan lain
- Pada setiap anak yang dirawat inap karena pneumonia, seharusnya
dilakukan pemeriksaan pulse oxymetry.

2.8 Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya toksis,
distres pernapasan, tidak mu makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lina,
komplikasi dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap (IDAI, 2009).
Kriteria Rawat Inap
Bayi
- Saturasi oksigen ≤ 92%, sianosis
- Frekuensi napas > 60 x/ menit
- Distres pernapasan, apnea intermitten, atau grunting
- Tidak mau minum/menetek
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah

13
Anak
- Saturasi oksigen <92%, sianosis
- Frekuensi napas > 50 x/ menit
- Distres pernapasan,
- Grunting
- Terdapat tanda dehidrasi
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Menentukan Tindakan Sesuai Klasifikasi


Berdasarkan Umur Kelompok umur 2 bulan – 5 tahun
Seorang anak berumur 2 bulan – <5 tahun menderita Pneumonia
Sangat Berat apabila dari pemeriksaan ditemukan salah satu “tanda bahaya”
yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun atau sukar dibangunkan,
stridor pada waktu anak tenang, dan gizi buruk (Kemenkes, 2015).
Seorang anak berumur 2 bulan – <5 tahun diklasifikasikan menderita
pneumonia berat apabila dari pemeriksaan ditemukan tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam (TDDK). Sebagian besar anak yang menderita
pneumonia tidak akan menderita pneumonia berat apabila cepat diberi
pengobatan yang tepat (Kemenkes, 2015).

Pada penderita batuk-pilek (batuk bukan pneumonia) tidak disertai


tanda- tanda bahaya atau tanda-tanda pneumonia (TDDK dan napas cepat). Hal
ini berarti anak ini hanya menderita batuk-pilek dan diklasifikasikan sebagai
batuk bukan pneumonia. Seorang anak berumur 2 bulan – <5 tahun
diklasifikasikan menderita batuk bukan pneumonia apabila dari pemeriksaan
tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada napas
cepat, frekuensi napas kurang dari 50 x/menit pada anak umur 2 – <12 bulan
dan kurang dari 40 x/menit pada umur 12 bulan – <5 tahun (Kemenkes, 2015).

14
Tabel 3. Klasifikasi dan Tindakan Anak Batuk dan atau Sukar Bernapas untuk
kelompok umur 2 bulan - <5 tahun (Kemenkes, 2015).

Kelompok umur < 2 bulan


Bayi muda yang menderita pneumonia tidak selalu disertai batuk,
seringkali hanya timbul tanda-tanda non-spesifik seperti kurang mau minum,
demam, ataupun hipotermi. Karena itu tanda dan gejala yang digunakan dalam
klasifikasi dan tindakan pada bayi muda berbeda dengan bayi/anak yang lebih
besar (Kemenkes, 2015).
Pada kelompok umur < 2 bulan terdapat perbedaan penting dalam
penentuan tanda bahaya, batasan napas cepat, tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam (TDDK), dan klasifikasi & tindakan. Tanda bahaya pada bayi
umur kurang 2 bulan ditambahkan beberapa tanda bahaya lain seperti: kurang
mau minum, demam, teraba dingin, dan wheezing. Tanda gizi buruk tidak
dimasukkan dalam kelompok umur ini. Batasan napas cepat pada bayi kurang
2 bulan ialah bila frekuensi napasnya 60 kali/menit atau lebih. Bayi berumur

15
kurang 2 bulan tergolong menderita pneumonia berat bila mempunyai TDDK
kuat. Pada kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, setiap adanya TDDK
(walaupun tidak kuat) sudah bisa digolongkan sebagai pneumonia berat.
Semua pneumonia pada bayi berumur kurang dari 2 bulan diklasifikasikan
sebagai pneumonia berat, tidak boleh diobati di rumah, harus dirujuk ke rumah
sakit. Perhatikan bahwa pada bayi umur < 2 bulan hanya diklasifikasikan satu
jenis pneumonia yaitu pneumonia berat. Pada kelompok umur 2 bulan - < 5
tahun diklasifikasikan dua macam pneumonia yaitu pneumonia berat dan
pneumonia (Kemenkes, 2015).
Pada klasifikasi batuk bukan pneumonia maka diagnosisnya adalah
batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit
non- pnemonia lainnya. Pengobatan bayi yang menderita batuk bukan
pneumonia bisa dirawat di rumah tanpa antibiotik. Berikan petunjuk kepada
ibu untuk tidak memberikan antibiotik kepada anak dengan batuk atau pilek
tanpa tanda-tanda pneumonia. Antibiotik tidak akan meringankan gejala
sakitnya dan tidak dapat mencegah pneumonia. Kemudian menjaga bayi tetap
hangat, memberi ASI lebih sering, dan membersihkan lubang hidung jika
mengganggu pemberian ASI (Kemenkes, 2015).

16
Tabel 4. Klasifikasi dan Tindakan Anak Batuk dan atau Sukar Bernapas untuk
kelompok umur < 2 bulan (Kemenkes, 2015)

Pemberian Antibiotik Oral


- Berikan antibiotik oral pilihan pertama Amoksisilin. Ini dipilih karena
sangat efektif, cara pemberiannya mudah dan murah. Antibiotik pilihan
kedua Eritromisin. Untuk menentukan dosis antibiotik yang tepat:
- Lihat kolom yang berisi daftar kandungan obat dan sesuaikan dengan
sediaan tablet atau sirup yang ada di puskesmas. Selanjutnya pilih baris
yang sesuai dengan umur atau berat badan anak. Untuk menentukan dosis
yang tepat, memakai berat badan lebih baik daripada umur.
- Antibiotik diberikan selama 3 hari dengan jumlah pemberian sebagaimana
pada tabel.
- Khusus untuk daerah prevalens HIV tinggi, antibiotik diberikan 5 hari.
- Jangan memberikan antibiotik bila anak atau bayi memiliki riwayat
anafilaksis atau reaksi alergi sebelumnya terhadap jenis obat tersebut.

17
Gunakan jenis antibiotik lain. Kalau tidak mempunyai antibiotik yang lain
maka rujuklah.

- Dosis:

Amoksisilin: 80-100 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis


Eritromisin: 40-60 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis
- Antibiotik untuk neonatus-2 bulan: Ampisilin + Gentamisin
- >2 bulan:
- Lini pertama Ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat
ditambahkan kloramfenikol
- Lini kedua Seftriakson
- Bila klinis perbaikan antibiotik intravena dapat diganti preparat oral
dengan antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena
sebelumnya.

Tabel 5. Pemberian Antibiotik pada Pneumonia (Kemenkes, 2015)

18
Tabel 6. Plihan antibiotik intravena untuk pneumonia

Tindakan Prarujukan:
Anak-anak berusia 2 - < 60 bulan dengan pneumonia berat
harus ditangani dengan ampisilin parenteral (atau penisilin) dan
gentamisin sebagai pengobatan lini pertama.
- Ampisilin: 50 mg/kg BB IM diberikan hanya 1 kali suntikan dan
- Gentamisin: 7,5 mg/kg BB IM diberikan hanya 1 kali suntikan
Pada bayi berumur <2 bulan pemberian antibiotik oral
merupakan tindakan pra rujukan dan diberikan jika bayi masih bisa
minum. Jika bayi tidak bisa minum maka diberikan dengan injeksi intra
muskular.

Pemberian Oksigen
Pada anak dengan pneumonia berat atau pneumonia sangat berat
yang dapat meninggal karena kekurangan oksigen sangat tepat untuk
memberikan oksigen. Pemberian oksigen dapat mempertahankan agar

19
pasien tetap hidup sehingga daya tahan tubuh dan antibiotik
mendapatkan cukup waktu untuk membunuh kuman penyebab penyakit
(Kemenkes, 2015).

Indikasi pengobatan dengan oksigen:


- Sianosis sentral (kebiruan pada wajah di sekitar mulut dan
hidung). Merupakan gejala klinik yang terpenting sebagai tanda
hipoksemia (kekurangan oksigen dalam darah). Tetapi sianosis
muncul lambat sehingga relatif kurang sensitif.
- Tidak dapat minum
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang kuat
- Frekuensi napas lebih dari 70 kali/menit pada anak 2 bulan - <5
tahun
- Merintih/grunting pada bayi berumur <2 bulan
- Kegelisahan (yang membaik dengan pemberian oksigen)
- Alat yang direkomendasikan untuk pemberian oksigen pada
bayi/anak adalah melalui selang hidung (nasal prong).
- Sesuaikan aliran oksigen dengan umur bayi/anak berdasarkan
tabel di bawah ini.

Tabel 7. Terapi oksigen pada Pneumonia (Kemenkes, 2015)

Bayi muda berumur <2 bulan dengan pneumonia lebih mudah


meninggal dibanding bayi yang lebih tua sehingga pemberian oksigen
secara tepat merupakan hal penting. Jagalah sungguh-sungguh pada bayi
prematur untuk menghindari pemberian oksigen terlalu banyak karena
dapat mengakibatkan kebutaan (Kemenkes, 2015).

20
Perawatan Penunjang
Pengobatan Demam
Demam sangat umum terjadi pada infeksi saluran pernapasan akut.
Penatalaksanaan demam tergantung dari apakah demam itu tinggi atau rendah.
- Jika demam tidak tinggi (<38OC): Nasihati ibunya untuk memberi cairan
lebih banyak. Tidak diperlukan pemberian parasetamol.

- Jika demam tinggi (>38OC): Anak dengan demam tinggi bisa diturunkan
dengan parasetamol sehingga anak akan merasa lebih enak dan makan lebih
banyak. Anak dengan pneumonia akan lebih sulit bernapas bila mengalami
demam tinggi. Beritahukan ibunya untuk memberikan parasetamol tiap 6 jam
dengan dosis yang sesuai sampai demam mereda.

Tabel 8. Pemberian Paracetamol (Kemenkes, 2015)

Pengobatan Wheezing
Pada bayi berumur <2 bulan: wheezing merupakan tanda bahaya
dan harus dirujuk segera.
Pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun: penatalaksanaan
wheezing dengan bronkodilator tergantung dari apakah wheezing itu
merupakan episode pertama atau berulang.
Jika penyebab wheezing tidak jelas, atau jika anak bernapas cepat atau
terdapat tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam selain wheezing, beri
bronkodilator kerja cepat dan lakukan penilaian setelah 20 menit. Respons

21
terhadap bronkodilator kerja cepat dapat membantu menentukan diagnosis dan
terapi. Berikan bronkodilator kerja-cepat dengan salah satu cara berikut:
 Salbutamol nebulisasi
 Salbutamol dengan MDI (metered dose inhaler) dengan spacer
 Jika kedua cara tidak tersedia, beri suntikan epinefrin (adrenalin) secara
subkutan.
Lihat respons setelah 20 menit. Tanda adanya perbaikan:
 distres pernapasan berkurang (bernapas lebih mudah)
 tarikan dinding dada bagian bawah berkurang.
Anak yang masih menunjukkan tanda hipoksia (misalnya: sianosis sentral,
tidak bisa minum karena distres pernapasan, tarikan dinding dada bagian
bawah sangat dalam) atau bernapas cepat, harus dirawat di rumah sakit.

Pemberian Nutrisi
- Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.
- Bujuk anak untuk makan sesuai dengan kebutuhannya segera setelah
anak bisa menelan makanan.
- Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per
oral harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube
(NGT) atau intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT
dapat menekan pernapasan, khususnya pada bayi/anak dengan ukuran
lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan, sebaiknya
menggunakan ukuran yang terkecil.
- Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak
mengalami overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi
peningkatan sekresi hormon antidiuretik.

2.9 Diagnosis Banding


Diagnosis banding pada anak umur 2 bulan – 5 tahun yang datang dengan
batuk dan atau sesak (Kemenkes, 2015):
Bronkiolitis

22
Pada bronkiolitis episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun,
hiperinflasi dinding dada, ekspirasi memanjang, gejala pada pneumonia juga
dapat dijumpai, kurang atau bahkan tidak ada respons terhadap bronkodilator.
Efusi/empiema
Bila masif pada efusi atau empiema akan terdapat tanda pendorongan
organ intra toraks, serta pekak pada saat perkusi.
Tuberkulosis Miliar atau TB Efusi Pleura
Pada TB terdapat riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa, uji
tuberkulin positif, pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menrun, demam
>2 minggu tanpa sebab yang jelas, batuk kronis (> 3 minggu), pembengkakan
kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik. Pembengkakan
tulang/sendi punggung, panggul, lutut, falang.
Benda Asing
Terdapat riwayat tiba-tiba tersedak, stridor atau distres pernapasan tiba-
tiba, wheeze atau suara pernapasan menurun yang bersifat fokal.

2.10 Komplikasi
Jika anak tidak mengalami perbaikan setelah dua hari atau kondisi
anak semakin memburuk, lihat adanya komplikasi atau adanya diagnosis lain.
Jika mungkin, lakukan foto dada ulang untuk mencari komplikasi. Beberapa
komplikasi yang sering terjadi adalah sebagai berikut:
1. Pneumonia stafilokokus
Curiga kearah pneumonia stafilokokus apabila terdapat perburukan
klinis secara cepat walaupun sudah diterapi, yang ditandai dengan
adanya pneumatokel atau pneumotoraks dengan efusi pleura pada
foto dada, ditemukannya kokus Gram positif yang banyak pada
sediaan apusan sputum. Adanya infeksi kulit yang disertai pus/pustula
mendukung diagnosis (Kemenkes, 2015).

2. Empiema

Curiga ke arah ini apabila terdapat demam persisten, ditemukan

23
tanda klinis dan gambaran foto dada yang mendukung.
- Bila masif terdapat tanda pendorongan organ intratorakal.
- Pekak pada perkusi.
- Gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan pada satu atau
kedua sisi dada.
- Jika terdapat empiema, demam menetap meskipun sedang diberi
antibiotik dan cairan pleura menjadi keruh atau purulen.

2.11 Pencegahan
Upaya pencegahan merupakan komponen strategis pemberantasan
pneumonia pada anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan non-
imunisasi. Imunisasi terhadap patogen yang bertanggung jawab terhadap
pneumonia merupakan strategi pencegahan spesifik. Imunisasi yang
berhubungan dengan kejadian penyakit pneumonia adalah imunisasi wajib
campak dan DPT serta imunisasi yang dianjurkan Haemophilus influenza
(Hib) dan pneumokokus (Kemenkes, 2015).
Di samping imunisasi sebagai pencegahan spesifik, pencegahan non-
imunisasi sebagai upaya pencegahan non-spesifik merupakan komponen yang
masih sangat strategis. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan misalnya
pendidikan kesehatan kepada berbagai komponen masyarakat, terutama pada
ibu anak-balita tentang besarnya masalah pneumonia dan pengaruhnya
terhadap kematian anak, perilaku preventif sederhana misalnya kebiasaan
mencuci tangan dan hidup bersih, perbaikan gizi dengan pola maka nan sehat;
penurunan faktor risiko-lain seperti men cegah berat-badan lahir rendah,
menerapkan ASI eksklusif, men cegah polusi udara dalam-ruang yang berasal
dari bahan bakar rumah tangga dan perokok pasif di lingkungan rumah dan
pencegahan serta tatalaksana infeksi HIV (Kemenkes, 2015).

24
2.12 Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita,
bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat.
Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit
pada penderita yang dirawat. Pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi
menunjukkan respon terapi dalam 48-96 jam setelah pemberian antibiotik
(Kemenkes, 2015).

25
DAFTAR PUSTAKA

1. IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Jilid I. Jakarta: IDAI.

2. Kartasasmita, Cissy B. 2010. Pneumonia Pembunuh Balita dalam


Buletin Jendela Epidemiologi. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Pedoman
Tatalaksana Pneumonia Balita. Dirjen PP & PL. Jakarta.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Modul Tatalaksana
Standar Pneumonia. Dirjen PP & PL. Jakarta.
5. Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, Edisi 6, Volume 2: Penerbit EGC. Jakarta.

6. Setiawati, L., dkk.. 2008. Pneumonia dalam Pedoman Diagnosis dan


Terapi SMF Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Dokter
Soetomo. Surabaya: Universitas Airlangga.

7. WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit, Pedoman


Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota.
Jakarta: WHO Indonesia.

8. WHO. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran


Pernapasan Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan
Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Geneva. Alih Bahasa:
Trust Indonesia.

26

Anda mungkin juga menyukai