Anda di halaman 1dari 51

READING

ILMU KESEHATAN JIWA

PSIKOFARMAKOLOGI PADA PASIEN MEDIS

Oleh:
Hasbi Maulana Arsyad 142011101033

Dokter Pembimbing:
dr. Justina Evy Tyaswati, Sp.KJ
dr. Inke Kusumastuti, M.Biomed, Sp.KJ

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


KSM Psikiatri di RSD dr.Soebandi Jember

KSM PSIKIATRI RSD dr. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
PENDAHULUAN

Keputusan untuk menggunakan obat psikotropika pada pasien dengan gabungan


penyakit medis dan psikiatri membutuhkan penilaian risiko atau manfaat yang
cermat untuk beberapa alasan. Obat psikotropika dapat berinteraksi dengan
penyakit medis yang mendasari terjadinya komplikasi penyakit yang serius,
seperti ketika antidepresan trisiklik diberikan dapat memperburuk blok jantung
pada pasien dengan penyakit kardiovaskular. Kelainan metabolik yang terkait
dengan penyakit fisik dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya toksisitas obat
dikarenakan farmakokinetik yang mengalami perubahan, seperti ketika lithium
digunakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Karena pasien medis cenderung
menggunakan obat nonpsikotropik lainnya, kemungkinan interaksi obat yang
signifikan secara klinis akan meningkat. Pada lansia dengan memiliki penyakit
medis, berisiko lebih tinggi memiliki efek pada sistem saraf pusat (SSP) yang
merugikan dikarenakan pasien lansia memiliki kepekaan yang lebih besar
terhadap obat psikotropika. Bab ini memberikan tinjauan tentang prinsip-prinsip
dasar psikofarmakologi yang harus dipertimbangkan dalam memilih dan
menggunakan obat-obatan psikotropika pada pasien dengan penyakit medis.

ANTIDEPRESAN SIKLIK

Komplikasi Kardiovaskular

Pada bab ini singkatan “CyADs” mengacu pada unicyclic, bicyclic, tricyclic,
tetracyclic, SSRIs dan Antidepresan baru, kecuali inhibitor monoamine oxidase.
TCA mengacu pada Trisiklik yang digunakan sebagai antidepresan. TCA sering
digunakan dalam dosis rendah dan dapat digunakan untuk masalah nonpsikiatri
seperti nyeri neuropatik.

A. Efek Konduksi

TCAs seperti imipramine dan amitriptyline memiliki quinidine-like effect pada


EKG, obat-obatan tersebut dapat meningkatkan interval P-R, durasi QRS, waktu
QTc dan dapat menyebabkan pendataran gelombang T. Secara signifkan
pemanjangan dari P-R, QRS, interval QT akan mengakibatkan kelebihan jumlah
plasma. Hubungan langsung yang dapat mendemostrasikan antara TCAs
konsentrasi serum dan menunjukkan konduksi intrakardiak dalam kondisi yang
stabil. Implikasi klinis dari hubungan ini yaitu dengan memonitoring dari TCA
serum level yang mungkin akan membantu dalam mencegah dengan signifikan
secara klinis penundaan konduksi jantung pada beberapa pasien.

Karena adanya quinidine-like effect, TCAs memiliki kemampuan sebagai


antiarimik dengan menghambat secara cepat kanal sodium dan juga memperlama
periode refraktori dari aksi potensial dari sistem konduksi jantung. Apabila TCAs
digunakan untuk pasien depresi dengan penyakit jantung, perlu diingat untuk
menekan PVCs. Penggunaan TCAs mungkin meningkatkan morbiditas dan
mortalitas jantung sejak pemakaian obat antiaritmia (termasuk obat-obatan dengan
quinidine-like properties) digunakan sebagai profilaksis untuk mencegah aritmia
post-MI, dimana pasien yang mendapatkan terapi profilaksis antiaritmia
sebenarnya memiliki lebih banyak komplikasi kardiovaskular dibandingkan
dengan kelompok kontrol (Hamer et al, 2011). Efek merusak yang paling relevan
secara klinis pada waktu terjadinya konduksi pada dosis terapi TCA diamati
secara khusus pada pasien yang sudah memiliki kelainan sebelumnya, biasanya
pada tingkat yang sudah lanjut, masalah konduksi seperti nodus atrioventrikular
(AV) blok. Pasien dengan blok derajat pertama, quinidine-like effect pada trisiklik
pada dosis terapi pada umumnya kecil dan pengobatan dapat diteruskan jika
karena pengobatan ini merupakan satu-satunya penyebab timbulkan kelainan pada
jantung. Beberapa jenis blok jantung tertentu sangat berisiko tinggi dengan TCA.
Pada pasien dengan blok bundel-cabang yang sudah ada sebelumnya (terutama
mereka dengan blok jantung tingkat kedua), disosiatif (derajat ketiga) blok
jantung AV dapat berkembang. Jika obat-obatan antiaritmia tipe I (quinidine,
disopiramid, procainamide) secara bersamaan diberikan dengan trisiklik aditif
mungkin akan mengakibatkn perpanjangan konduksi jantung (Levenson, 1985).
Diltiazem dan verapamil keduanya dapat memperlambat konduksi AV, sedangkan
nifedipine umumnya tidak mempengaruhi konduksi AV, dan blocker kanal
kalsium ini mungkin lebih disukai jika terapi kombinasi TCA/calcium channel
blocker dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit konduksi jantung. Blok
cabang bundel kanan dan kiri dapat dilihat sebagai bagian dari penyakit
kardiovaskular yang mendasari tetapi bukan merupakan kontraindikasi untuk
pengobatan TCA. Ketika merawat pasien dengan defek konduksi jantung ini,
psikiater dan ahli jantung harus bersama-sama membuat jadwal untuk memantau
efek jantung ketika pengobatan TCA dilakukan. Dalam hampir semua kasus,
SSRI dan antidepresan baru sekarang mewakili obat pilihan pada pasien dengan
penyakit kardiovaskular.

B. Sindrom Pemanjangan QT dan TCA

Salah satu quinidine-like effect dari TCA pada EKG yaitu dapat memperpanjang
dari interval QT. Salah satunya termasuk menghambat dari kanal ether-a-go-go
(hERG) pada manusia. Kanal hERG adalah suatu kanal potassium yang berfungsi
dalam repolarisasi miosit jantung. Menghambat kanal ini akan mengakibatkan
pemanjangan dari QT interval. Pemanjangan gelombang QT akan berhubungan
dengan peningkatan resiko dari ventrikular takikardi dan ventrikular fibrilasi,
terutama pada pasien dengan penyakit jantung kongenital atau yang didapat. TCA
harus dihindari pemakaiannya pada pasien dengan resiko tinggi. Meskipun
penggunaan TCA pada sebagian besar pasien tanpa adanya kelainan jantung
termasuk aman, Malignant ventrikular aritmia kadang-kadang dilaporkan sebagai
komplikasi penggunaan TCA.

Pada pasien jantung yang mengalami depresi dan adanya riwayat aritmia jantung,
harus dilakukan evaluasi dan perhatian khusus harus diberikan untuk
mempertimbangkan apakah efek quinidine akan memperburuk blok jantung atau
meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya ventrikel takikardi/ventrikular
fibrilasi. Namun efek kardiotoksik dari tetrasiklik dalam menginduksi aritmia
yang mengancam jiwa telah diteliti terutama dalam situasi overdosis. Saat ini,
ketersediaan antidepresan generasi baru tanpa efek quinidine telah membuat
pengobatan depresi pada pasien dengan kelainan kardiovaskular tidak terlalu
bermasalah.

Sindrom Wolff-Parkinson-White dan TCA

Pasien depresi dengan sindrom wolff-parkinson-white (WPW) memerlukan


pertimbangan khusus jika seorang dokter mempertimbangkan penggunaan
antidepresan TCA. Sindrom WPW ditandai dengan adanya interval P-R yang
pendek dan kompleks QRS yang melebar, terkait dengan takikardia paroksismal.
Kondisi ini disebabkan oleh jalur aksesori antara atrium dan ventrikel yang
mengakibatkan impuls atrial untuk mengaktivasi jaringan ventrikular secara
prematur, memperendek jalur dari normal sistem konduksi AV.

Dibeberapa pasien dengan sindrom WPW, atrial flutter-fibrillation dapat terjadi.


Jika obat memiliki efek quinidine seperti TCA diberikan, proses atrial fibrillation-
flutter akan melambat yang mengakibatkan terjadinya dominasi pada konduksi
anterograde melalui jalur aksesori yang anomali, kadang-kadang menyebabkan
ventrikular takikardi atau fibrilasi ventrikel.

Gagal Jantung Kongestif dan TCA

TCA relative aman pada sebagian besar pasien dengan gagal jantung yang dirawat
dengan baik kecuali pasien memiliki gejala hipotensi ortostatik atau gangguan
pada fraksi ejeksi jantung yang nyata. Pada pasien usia lanjut (usia rata-rata 70
tahun) dengan bukti adanya disfungsi ventrikel kiri, imipramine memiliki sedikit
efek pada fraksi ejeksi jantung. Nortriptyline juga tidak secara signifikan
mempengaruhi fraksi ejeksi pada pasien dengan gagal jantung kongestif yang
stabil dan mungkin kurang dapat menginduksi ortostatik hipotensi dibandingkan
imipramine. Nortriptyline dengan demikian akan menjadi TCA pilihan pertama
pada pasien dengan gagal jantung kongestif yang stabil.

Hipotensi orthostatik dan TCA

Efek kardiovaskular pada TCA yang paling sering menyebabkan penghentian


pengobatan adalah hipotensi ortostatik. Hipotensi ortostatik didefinisikan sebagai
penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau lebih, dan tekanan darah
diastolik 10 mmHg atau lebih, diukur 3 menit setelah seseorang berdiri dari posisi
terlentang. Karena banyak pasien dengan hipotensi ortostatik kurang memiliki
gejala subjektif dari ortostasis, dokter harus menilai untuk ini ketika ada risiko,
seperti dengan resep TCA (Lanier, Mote, & Clay, 2011). Penggunaan
antidepresan berjalan beriringan dengan terjadinya peningkatan risiko mengalami
patah tulang pinggul pada pasien lanjut usia (Oderda, Young, Asche, & Pepper,
2012). Hipotensi ortostatik merupakan faktor penting dalam peningkatan risiko
ini. Pasien lansia yang diobati dengan TCA memiliki peningkatan 60% risiko
patah tulang pinggul dibandingkan dengan kontrol yang sesuai, dengan periode
risiko tertinggi untuk jatuh menjadi 90 hari pertama dalam pengobatan (Ray,
Griffin, & Malcolm, 1991). Dalam sebuah studi oleh Glassman dan rekan, hampir
setengah dari pasien penelitian harus menghentikan obat karena hipotensi
ortostatik (Glassman, Bigger, & Giardina, 1979). Gangguan fungsi ventrikel kiri
dengan atau tanpa hipotensi merupakan faktor risiko yang signifikan untuk
pengembangan hipotensi ortostatik tricyclic-induced (Glassman, Johnson, &
Giardina, 1986). Blok cabang bundel mungkin menjadi faktor risiko lain untuk
hipotensi ortostatik selama pengobatan (Roose, Glassman, & Giardina, 1986).
Glassman, Bigger, dan Giardina (1979) melaporkan tidak ada hubungan yang
konsisten antara dosis harian tingkat plasma imipramine dan perkembangan
hipotensi ortostatik selanjutnya. Kurangnya korelasi prediktif yang serupa antara
kadar plasma dan hipotensi ortostatik selanjutnya juga telah diamati dengan
nortriptyline (Smith, Chojnacki, & Hu, 1980). Salah satu alasan kesulitan dalam
menghubungkan kadar plasma dengan hipotensi ortostatik kemungkinan ada pada
aktivitas P-glikoprotein (Pgp). Pgp adalah protein sel yang ditemukan melapisi
otak, jantung, dan usus yang mengatur fluks berbagai senyawa melintasi membran
plasma. TCA, termasuk amitriptyline dan nortriptyline, adalah substrat dari Pgp.
Pgp akan cenderung untuk mengeluarkan TCA dari organ targetnya. Namun,
variasi bawaan dalam aktivitas Pgp, serta inhibitor Pgp, dapat menyebabkan TCA
terakumulasi. Ini dapat meningkatkan risiko jatuh tanpa secara ketat terkait
dengan tingkat plasma (Roberts, Joyce, Mulder, & Begg, 2002). Sebuah laporan
baru-baru ini membandingkan resiko terjadinya jatuh pada pasien panti jompo
yang depresi dengan pengobatan TCA dibandingkan dengan SSRI. Sementara
pasien yang depresi memiliki tingkat penurunan tekanan darah yang lebih tinggi
daripada pasien yang tidak mengalami depresi, tidak ada perbedaan yang
signifikan antara pasien yang diobati dengan SSRI dan TCA. Risiko mengalami
patah tulang pinggul di antara TCA sebagai kontrol pada dasarnya sama seperti
untuk SSRI sebagai kontrol (Oderda et al., 2012). Jadi, tampaknya depresi itu
sendiri meningkatkan risiko jatuh, mungkin karena keterbelakangan psikomotor
atau dehidrasi yang menyebabkan terjadinya sinkop. Pada pasien dengan CHF
yang sudah ada sebelumnya, TCA masih menyebabkan secara signifikan lebih
banyak terjadinya hipotensi dibandingakan dengan SSRI, SSRI hampir tidak
berpengaruh pada tekanan darah pada pasien dengan CHF (Thapa et al., 1998).
Bupropion memiliki efek minimal pada sistem kardiovaskular dan tidak
menyebabkan hipotensi ortostatik (Roose et al., 1987b; Thase et al., 2008);
bahkan dapat menaikkan tekanan darah. Fluoxetine, sertraline, paroxetine, dan
lainnya serta SSRI tampaknya memiliki sedikit efek atau tidak secara signifikan
berpengaruh pada tekanan darah. Venlafaxine, pada rentang dosis yang lebih
tinggi (yaitu,> 225 millgram per hari) dapat meningkatkan tekanan darah.
Duloxetine dan reboxetine juga dapat meningkatkan tekanan darah (D. Taylor,
2008).

Efek Antikolinergik dan TCA

Khususnya pada pasien usia lanjut, obat-obatan yang sangat antikolinergik relatif
kurang ditoleransi dengan komplikasi umum menjadi sembelit dan mengigau.
Pada pria dengan BPH, retensi urin mungkin menjadi masalah utama, kadang-
kadang bahkan mengharuskan koreksi bedah sebelum TCA bisa ditoleransi. Pada
pasien dengan gastroparesis diabetik, efek samping antikolinergik dari TCA
memperburuk masalah motilitas lambung tertunda. Presipitasi "Krisis" glaukoma
sudut sempit dapat terjadi, meskipun pasien dengan glaukoma sudut sempit dapat
diobati dengan aman menggunakan TCA jika pasien sejak awal sudah dirawat
secara oftalmologis. Glaukoma sudut terbuka, yang jauh lebih umum daripada tipe
sudut sempit, tidak berpengaruh dengan efek antikolinergik dari TCA. Pasien
dengan glaukoma sudut sempit post laser iridotomy, agen antikolinergik juga
relatif aman diberikan (Kato, Yoshida, Suzuki, Murase, & Gotoh, 2005;
Lieberman & Stoudemire, 1987). Pada pasien yang rentan dengan efek samping
antikolinergik, obat dengan efek antikolinergik yang lebih rendah harus dipilih.
Obat pilihan di antara agen TCA yang lebih tua adalah desipramine atau
nortriptyline. Obat TCA yang lebih baru seperti bupropion, sertraline, fluoxetine,
dan venlafaxine hampir tidak memiliki efek antikolinergik. Paroxetine memiliki
sifat-sifat antikolinergik yang berbeda yang dapat menjadi signifikan secara klinis.
Citalopram dan escitalopram hampir tidak mengandung efek antikolinergik (Chew
et al., 2008). Penggunaan trazodone tidak menghasilkan efek antikolinergik,
mungkin jarang dapat menyebabkan terjadinya priapismus atau obstruksi saluran
kemih. Trazodone pada rentang dosis terapeutik juga cenderung menyebabkan
hipotensi ortostatik pada pasien lansia (Poon & Braun, 2005)

Efek TCA Pada Pasien dengan Gagal Ginjal

Penyakit kejiwaan dialami pada sekitar 5% hingga 20% pasien yang menjalani
hemodialisis. Banyak dari pasien ini dirawat karena penyakit kejiwaan. Dalam
kasus penggunaan antidepresan trisiklik, beberapa dari pasien kemungkinan
menerima pengobatan untuk kondisi yang terkait dengan masalah ginjal mereka,
seperti pada neuropati diabetes (Fraile et al., 2009). Dokter telah lama mencatat
bahwa pasien dengan gagal ginjal dan mereka yang menjalani dialisis tampaknya
lebih sensitif terhadap efek samping TCA, meskipun alasan untuk fenomena ini
tidak sepenuhnya jelas (Levy, 1987). Hemodialisis menghilangkan TCA
(Unterecker et al., 2012). Namun, metabolit tricyclic hidroksilasi, yang telah
ditemukan secara nyata meningkat pada gagal ginjal dan pasien dialisis,
kemungkinan terlibat dalam menimbulkan efek samping (Dawling et al., 1982;
Lieberman et al., 1985). Meskipun metabolit hidroksilasi dari tricyclics lebih
tinggi pada pasien dengan penyakit ginjal dibandingkan dengan pasien kontrol
normal, tingkat serum senyawa tricyclic induk (amitriptyline dan nortriptyline)
umumnya hanya sedikit lebih tinggi pada pasien dialisis dibandingkan dengan
subjek kontrol setelah dosis oral (Lieberman et al., 1985). Oleh karena itu,
meskipun tidak ada data yang menunjukkan perlunya pengukuran rutin metabolit
hidroksilasi dari TCA pada pasien dengan gagal ginjal kronis atau mereka yang
menjalani dialisis, kemungkinan bahwa metabolit ini berkontribusi terhadap efek
samping hipersensitivitas disarankan untuk lebih konservatif titrasi dosis pada
pasien ini. populasi. Tingkat fluoxetine telah dipelajari pada pasien dialisis dan
gagal ginjal dan tampaknya stabil pada dosis biasa. SSRI telah menggantikan
TCA pada pasien gagal ginjal untuk manajemen depresi.

Dosis dan Level Plasma dari TCA

Prinsip penting pada penggunaan TCA yang aman pada pasien usia lanjut dan
masalah medis adalah titrasi dosis yang hati-hati. Mulai dosis obat trisiklik
tradisional seperti imipramine, desipramine, dan nortriptyline harus rendah (10
mg atau 25 mg) pada pasien dengan kecurigaan akan terjadi atau sudah ada
hipotensi ortostatik atau dengan kerentanan yang dapat diprediksi lainnya akibat
efek samping TCA. Dosis dapat ditingkatkan setiap 2 hingga 4 hari sebagaimana
dapat ditoleransi. Penilaian untuk efek samping yang diharapkan (seperti hipotensi
atau aritmia jantung) harus dilakukan setelah setiap peningkatan dosis. Kadar
plasma puncak untuk sebagian besar antidepresan trisiklik mencapai 2 sampai 4
jam setelah konsumsi oral. Karena waktu paruh yang panjang pada sebagian besar
antidepresan standar, dosis tersebut dapat diberikan satu kali di malam hari setiap
hari, yang dapat memfasilitasi baik induksi untuk tidur maupun untuk kepatuhan.
Pemeriksaan elektrokardiogram pada awal pemberian sangat disarankan. Tingkat
tricyclic serum sering digunakan untuk membantu menentukan apakah seorang
pasien berada pada dosis terapeutik. Pengukuran efek fungsional, seperti QTc,
dapat membantu menentukan apakah dosis yang sama berpotensi beracun. Sama
seperti dosis obat tidak selalu diterjemahkan ke dalam tingkat serum yang dapat
diprediksi, tingkat serum pada gilirannya hanya mengukur kasar konsentrasi obat
dalam jaringan target penting, seperti jantung. Dengan kata lain, dosis TCA tidak
signifikan sebagai ukuran risiko sebagai level TCA serum, dan kadar TCA serum
tidak selalu akurat sebagai indikator risiko sebagai ukuran fungsional (Rodriguez
de la Torre et al., 2001). Karena pelebaran QTc mungkin tanpa gejala sampai
benar-benar berbahaya, diperlukan ECG awal.

Predominately “Serotonergic” Antidepresan (SSRIS)

Fluoxetine, berfungsi sebagai penghambat reuptake serotonin klasik, memiliki


afinitas yang sangat rendah pada reseptor muskarinik, histaminik, dopaminergik,
serotonergik (5-HT1 atau 5-HT2), dan reseptor a1- atau 2-noradrenergik in vitro
(Stark, Fuller, & Wong, 1985). Afinitasnya yang rendah pada sistem
neurotransmiter lain mungkin menyebabkan rendahnya efek antikolinergik,
antihistamin, efek sebagai obat penenang, dan terjadinya hipotensi. Dalam
sebagian besar studi awal, efek samping yang paling sering dilaporkan adalah
kecemasan, insomnia, anoreksia, dan mual (Feighner et al., 1988). Kecemasan,
kegelisahan, dan insomnia, dapat dialami pada 10% -15% pasien yang diobati
dengan fluoxetine, dapat mewakili bentuk akathisia, efek samping yang dapat
membatasi pengobatan bahkan jika benzodiazepin atau beta blocker diberikan
bersamaan untuk mengurangi efeknya (Koliscak et al., 2009). Pasien gangguan
panik sangat sensitif terhadap SSRI dan biasanya mentolerir dosis awal 50% -
70% lebih rendah daripada dosis awal untuk depresi (misalnya, 5 mg cairan
fluoxetine). Meskipun fluoxetine menyebabkan insomnia pada beberapa pasien,
sebagian besar pasien (10% -20%) mengalami kantuk atau sedasi, terutama pada
fase awal pengobatan, yang biasanya akan menurun seiring waktu (Feighner &
Cohn, 1985). Pengamatan yang sama berlaku untuk SSRI lainnya. Sedasi
mungkin akan timbul terus menerus, atau paling jelas di sore hari, pola juga
terlihat dengan monoamine oxidase inhibitor (MAOIs). Fluoxetine tidak
menimbulkan efek pada jantung. Dalam studi komprehensif tentang efek
fluoxetine pada konduksi jantung, Fisch (1985) meneliti total 1506 EKG dari 753
pasien yang diobati dengan amitriptyline (54), doxepin (56), imipramine (165),
fluoxetine (312), dan plasebo. (166). Tidak ada perubahan yang berarti pada EKG
yang terlihat dengan penggunaan fluoxetine. Beberapa mengungkapkan terdapat
efek samping jantung fluoxetine meskipun hubungan sebab-akibat sulit untuk
dinilai karena sifat anekdot dari pengamatan ini. Laporan kasus bradikardia
(dengan sinkop) dan fibrilasi atrium yang terkait dengan fluoxetine telah
dipublikasikan (Buff et al., 1991; Ellison, Milofsky, & Ely, 1990; Feder, 1991).
SSRI secara umum relatif aman, bahkan pada pasien dengan tingkat penyakit
kardiovaskular yang signifikan. Terdapat dua pengecualian penting sebagai dasar
bahwa penggunaan fluoxetine relatif aman sehubungan dengan jantung yaitu
adanya sindrom serotonin dan interaksi obat-obat. Sindrom serotonin adalah efek
samping penggunaan obat katastrofik. Fluoxetine dapat berkontribusi pada
pengembangan sindrom serotonin, termasuk konsekuensi kardiovaskular yang
kadang-kadang fatal. Obat fluoxetine menghambat Pgp, sebuah pompa yang
terletak di membran plasma yang fungsinya adalah memindahkan senyawa dari
dalam sel ke luar. Banyak obat merupakan substrat dari Pgp dan beberapa obat,
seperti fluoxetine, akan menghambatnya (Argov, Kashi, Peer, & Margalit, 2009).
Fluoxetine telah dilaporkan memperpanjang waktu paruh diazepam dan
mengurangi pembersihannya, menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi dari
diazepam dalam plasma dan mengurangi proses pembentukan metabolit aktif N-
desmethyldiazepam. Namun, tidak ada bukti yang mengatakan bahwa efek ini
memiliki signifikansi klinis besar berdasarkan hasil tes kemampuan psikomotor
(Lemberger et al., 1988). Beberapa agen lain telah diteliti secara khusus untuk
interaksi farmakokinetik dengan fluoxetine menunjukkan tidak ada efek pada
waktu paruh dalam plasma pada obat chlorothiazide atau tolbutamide (Lemberger
et al., 1985). Ketika fluoxetine digunakan bersamaan dengan obat lain yang sangat
terikat dengan protein, efek samping dapat terjadi sehingga menghasilkan obat
bioaktif yang lebih bebas. Efek semacam itu dapat muncul bila penggunaan
bersama dengan warfarin dan digitoxin (tetapi jauh lebih sedikit dengan digoxin).
Tidak ada bukti kuat bahwa efek tersebut cukup besar untuk memerlukan
penyesuaian dosis baik warfarin, digitoxin, atau fluoxetine dalam situasi seperti
itu ketika mereka saling bekerjasama. Namun, periksa ulang waktu protrombin
atau tingkat obat setelah penggunaan fluoxetine adalah tindakan pencegahan yang
wajar. Metabolisme fluoxetine dapat dipengaruhi oleh sirosis, karena pada
penderita sirosis alkoholik yang relatif stabil, eliminasi fluoxetine secara
substansial berkurang rata-rata waktu paruh fluoxetine adalah 6,6 hari pada pasien
setengah baya dengan sirosis dibandingkan dengan kontrol yang sesuai usia yaitu
2,2 hari. Pembentukan metabolit utama fluoxetine, norfluoxetine, ditunda
(Schenker et al., 1988). Data ini sesuai dengan penelitian sebelumnya, di mana
obat low-clearance lainnya yang dimetabolisme dan sering terjadi, terutama pada
pasien lanjut usia. Ketersediaan fluoxetine dalam bentuk cair telah memberikan
fleksibilitas dosis lebih untuk pasien yang membutuhkan dosis harian yang lebih
rendah. Sekarang sudah diketahui bahwa fluoxetine, serta SSRI terutama
paroxetine dapat meningkatkan kadar serum trisiklik dan trazodone, dan jika
fluoxetine atau paroxetine ditambahkan ke terapi obat pada pasien dengan tingkat
trisiklik yang baik, peningkatan mendadak pada kadar trisiklik dapat
mengakibatkan gangguan eliminasi pada penyakit hati terutama oleh
demethylation (Secor & Schenker, 1987; Williams & Mamelok, 1980). Telah
direkomendasikan bahwa dosis fluoxetine dikurangi sebanyak 50% pada pasien
dengan penyakit hati, yang dapat dicapai secara praktis dengan memberikan obat
pada jadwal setiap hari (atau Senin, Rabu-Jumat). Karena waktu paruh kemungkin
lebih lama pada pasien dengan penyakit hati yang tidak stabil atau terjadinya
dekompensasi, bahkan dosis yang lebih rendah mungkin perlu diberikan. Bahkan
dalam keadaan normal pada pasien yang sehat, waktu paruh eliminasi fluoxetine
adalah 2 hingga 3 hari, dan norfluoxetine adalah 7 hingga 9 hari. Selanjutnya,
terapi dengan dosis tinggi 80 mg / hari telah dikaitkan dengan waktu paruh 8 hari
untuk fluoxetine dan 19 hari untuk norfluoxetine (Pato & Murphy, 1991). Dengan
demikian, pemberian dosis harian sering kali kurang adalah hal yang rasional,
toksisitas trisiklik. Overdosis trisiklik pada pasien yang memakai fluoxetine dapat
menyebabkan peningkatan level trisiklik yang sangat lama (Rosenstein, Takeshita,
& Nelson, 1991). Fluoxetine terutama menghambat sistem CyP450-2D6 dan
CyP450-3A4 (Cavanaugh, 1990) dan dapat meningkatkan kadar plasma dari
setiap obat yang didemetilasi, terhidroksilasi, terdalkasi, atau sulfoksidasi yang
akan mencakup sebagian besar psikotropika, tetapi tidak pada lithium (Fabre,
Scharf, & Itil, 1991). Kadar carbamazepine diketahui meningkat secara signifikan
dengan pemberian bersamaan fluoxetine, dengan peningkatan 27% di area di
bawah kurva konsentrasi-waktu ketika 20 mg fluoxetine ditambahkan ke dosis
carbamazepine yang stabil dalam sampel relawan (Grimsley et al., 1991).
Sindrom sekresi hormon antidiuretik (SIADH) yang tidak tepat telah dilaporkan
sebagai efek samping fluoxetine, terutama pada orang tua (Cohen, Mahelsky, &
Adler, 1990; Hwang & Magraw, 1989; Vishwanath et al., 1991). SIADH juga
telah diamati sesekali dan tak terduga dengan tricyclics, neuroleptics, dan dengan
dasarnya setiap SSRI.

Sertraline

Sertraline adalah antidepresan SSRI yang serupa dengan fluoxetine.


Dibandingkan dengan fluoxetine, perbedaan farmakokinetik ada dalam waktu
paruh eliminasi sekitar 24 jam dan tingkat steady state tercapai lebih cepat
dibandingkan dengan fluoxetine. Obat ini memiliki efek selektif pada serotonin
reuptake mirip dengan fluoxetine, dan dengan demikian memiliki efek minimal
pada denyut nadi dan tekanan darah dan efek minimal atau tanpa antikolinergik.
Tampaknya tidak ada efek klinis yang signifikan pada konduksi jantung,
setidaknya pada pasien dengan EKG pretreatment yang normal. Ada beberapa
bukti bahwa sertraline dapat menyebabkan sinus bradycardia pada beberapa
pasien (Fisch, 1991). Profil efek samping kardiovaskular sama amannya dengan
fluoxetine, dan data dari penggunaannya pada orang dewasa yang sehat secara
medis menunjukkan profil jantung yang sangat aman, meskipun risiko kejadian
seperti sindrom serotonin dan toksisitas jantung yang tidak disengaja yang
dimediasi melalui mekanisme farmakokinetik seperti P penghambatan
glikoprotein juga berlaku untuk sertraline (Kapoor et al., 2013). Sertraline, seperti
fluoxetine, secara teoritis dapat meningkatkan waktu prothrombin bersaing
dengan warfarin untuk situs pengikatan protein, meninggalkan lebih banyak
warfarin bioaktif yang tersedia, efek seperti itu diyakini memiliki signifikansi
klinis yang kecil (Wilner et al., 1991). Peningkatan sederhana terlihat pada waktu
prothrombin dengan sertraline kemungkinan tidak signifikan secara klinis
(Apseloff et al., 1997). Sertraline juga telah terbukti tidak memiliki efek yang
signifikan secara klinis pada konsentrasi plasma atau pembersihan ginjal digoxin
(Forster et al., 1991). Sertraline telah dilaporkan sangat jarang menyebabkan
peningkatan reversibel di aspartat aminotransferase (AST), alanine
aminotransferase (ALT), dan tingkat alkalin fosfatase (Cohn et al., 1991).
Sertraline berinteraksi minimal dengan sitokrom P450-2D6 sistem di hati dan
kurang mungkin dibandingkan fluoxetine dan paroxetine untuk mempengaruhi
tingkat serum dari obat lain. Jalur metabolisme utamanya kemungkinan adalah
CyP450-3A.

Paroxetine

Paroxetine adalah penghambat lain yang kuat dan selektif dari reuptake serotonin
neuronal. Ini memiliki waktu paruh eliminasi terminal rata-rata 24 jam. Seperti
fluoxetine dan sertraline, tampaknya tidak memiliki efek yang signifikan secara
klinis pada EKG. Dalam dosis 30 mg hingga 40 mg / hari, itu juga tidak muncul
untuk mengubah denyut jantung atau tekanan darah. Paroxetine, dari semua SSRI,
adalah penghambat paling kuat dari CyP450-2D6. Konsentrasi plasma paroxetine
yang maksimum cenderung meningkat dengan fungsi ginjal yang memburuk,
tetapi eliminasi waktu paruh diperpanjang hanya untuk pasien dengan gangguan
ginjal berat. Pada pasien dengan penyakit hati ada beberapa bukti penurunan
fungsi, dan pasien dalam populasi ini harus dimulai pada dosis di ujung bawah
rentang terapeutik. Secara in vitro, paroxetine memiliki lebih banyak sifat
antikolinergik daripada SSRI lainnya, tetapi efek ini biasanya memiliki
kepentingan klinis minimal selain efek samping dari mulut kering. Efek
antikolinergik ini cenderung merugikan pasien dengan penyakit Alzheimer.

Fluvoxamine

SSRI yang poten terutama dipasarkan untuk gangguan obsesif konvulsi.


Fluvoxamine sangat rumit dalam penggunaannya karena munculnya mual,
insomnia, sedasi, anoreksia, dan agitasi. Agitasi menyebabkan penghentian terapi
fluvoxamine disebanyak 6% pasien (Brown & Stoudemire, 1998). Kerusakan hati
mengurangi pembersihan fluvoxamine, dan gangguan ginjal dapat melakukan hal
yang sama (DeVane & Gill, 1997). Risiko toksisitas pada populasi khusus, seperti
pasien dengan penyakit kardiovaskular, pada dasarnya sama untuk fluvoxamine
seperti untuk antidepresan serotonergik lainnya. Fluvoxamine dimetabolisme
sebagian melalui sistem P450-3A4, membuatnya tidak aman untuk
menggabungkan agen ini dengan astemizole. Fluvoxamine meningkatkan kadar
serum alprazolam, carbamazepine, clozapine, diazepam, methadone, propranolol,
theophylline, antidepresan trisiklik, dan warfarin. Kenaikan tingkat warfarin
serum yang tak terduga secara teoritis dapat menyebabkan stroke hemoragik.
Benfield dan Ward telah melaporkan bahwa pengenalan fluvoxamine pada
warfarin yang dapat meningkatkan kadar serum warfarin sebanyak 60% dengan
peningkatan waktu prothrombin (PT. Benfield & Ward, 1986). Masalah yang
sama telah dijumpai dengan fluoxetine (Sansone & Sansone, 2009). Dalam kedua
kasus, perpindahan warfarin dari situs pengikatan pada albumin mungkin telah
berkontribusi pada peningkatan kadar serum warfarin (Stoudemire & Moran,
1998). Ketika memulai terapi fluvoxamine pada pasien yang menggunakan
warfarin, PT harus dipantau sampai fluvoxamine ditegakkan dan pasien stabil.
Kadar atenolol dan digoxin serum tidak terpengaruh (Brown & Stoudemire,
1998).

Sitalopram

Waktu paruh rata-rata sitalopram adalah 35 jam, yang diperpanjang pada pasien
dengan penyakit hati dan pada orang tua. Ini memiliki efek minimal pada reseptor
kolinergik, histamin, gamma-aminobutyric acid (GABA), dopamine, atau reseptor
norepinefrin sehingga memiliki efek samping yang sangat rendah. Rentang dosis
yang biasa adalah 20-40 mg satu kali sehari. Ini memiliki ikatan minimal dengan
protein serum dan sangat tidak mungkin untuk menggantikan obat lain dari tempat
pengikatannya. Citalopram dimetabolisme terutama oleh CyP450 isoenzim 3A4
dan 2C19. Penghambat CyP450-3A4 seperti ketoconazole dan erythromycin
kemungkinan akan meningkatkan kadar serum sitalopram, karena CyP450-3A4
terlibat dalam langkah awal metabolisme citalopram. Cimetidine akan
meningkatkan level citalopram. Citalopram akan meningkatkan level beta-blocker
metoprolol dan kemungkinan beta blocker lainnya. Citalopram dapat
meningkatkan tingkat desipramine hingga 50%. Efeknya pada CyP450 2D6
sangat minim. Tidak ada interaksi yang signifikan secara klinis telah dicatat
dengan digoxin, lithium, warfarin, atau carbamazepine. Omeprazole, yang
menghambat CyP450-2C19, dapat meningkatkan level citalopram. Administrasi
Makanan dan Obat Amerika Serikat (FDA) telah menetapkan bahwa citalopram
dalam dosis yang lebih besar dari 40 miligram setiap hari dapat memperpanjang
interval QT (Castro et al., 2013). Lakukan pemeriksaan elektrokardiogram pada
pasien saat awal sebelum memulai citalopram untuk mengidentifikasi pasien yang
berisiko untuk mengetahui gejala pemanjangan QT juga dimungkinkan.

Escitalopram

Bioavailabilitas escitalopram oral adalah sekitar 80%. Obat ini 50% -60% diikat
oleh protein serum. escitalopram dimetabolisme melalui CyP450-3A4 dan 2C9.
Waktu paruh eliminasi berkisar antara 27–32 jam. Waktu paruh ini pada orang tua
kira-kira meningkat menjadi dua kali lipat. Penyakit hati yang signifikan
memperlambat metabolisme escitalopram, dan dosis harus dibagi dua.
Escitalopram kemungkinan lebih mungkin memperpanjang interval QT daripada
citalopram (Castro et al., 2013).

SSRI dan Fungsi Serovaskular

Masalah yang jarang tetapi penting dengan terapi SSRI secara umum adalah efek
potensial dalam mengubah dengan cara dimana trombosit menangani serotonin,
dengan perubahan ini kecenderungan untuk dapat membentuk gumpalan.
Kekhawatiran tentang hal ini telah menyebabkan beberapa bank darah untuk
menolak darah yang disumbangkan oleh orang yang memakai SSRI (Reikvam et
al., 2012). SSRI semua memblokir pompa serotonin-reuptake dari trombosit.
Trombosit melepaskan serotonin untuk melebarkan pembuluh darah utuh,
sementara menyebabkan pembuluh dengan endothelium yang rusak berkontraksi
dan membentuk sumbat trombosit yang menempel di pembuluh yang rusak dan
berkontraksi. Ilmu dasar dan studi epidemiologi besar tidak menemukan dampak
klinis yang konsisten dari SSRI pada fungsi serovaskular (Maschino et al., 2012;
Reikvam et al., 2012). Namun dalam beberapa kasus, tampak bahwa SSRI dapat
secara signifikan merusak kemampuan trombosit untuk agregat. Hal ini jarang
menyebabkan perdarahan abnormal yang dimanifestasikan oleh petechia atau
ecchymosis. Perdarahan gastrointestinal atas adalah cedera yang paling mungkin
dalam kasus seperti ini (Hreinsson, Kalaitzakis, Gudmundsson, & Björnsson,
2013). Contoh yang lebih parah dari disfungsi trombosit, seperti melena, cukup
jarang. Abnormalitas fungsi trombosit yang diinduksi oleh fluoxetine adalah yang
paling baik dijelaskan. Kelainan ini tampaknya tergantung dosis, terjadi paling
sering ketika dosis fluoxetine melebihi 20 mg per hari (Alderman, Moritz, & Ben
Tovim, 1992). Menariknya, waktu perdarahan kembali normal 3-4 hari setelah
fluoxetine dihentikan, hal menunjukkan bahwa efek utama pada trombosit adalah
fluoxetine itu sendiri, karena metabolit utamanya, norfluoxetine, memiliki waktu
paruh 10-14 hari. Masalah serovaskular terakhir yang sangat penting secara
fisiologis, tetapi signifikansi epidemiologi yang tidak terukur, adalah efek
pemblokiran serotonin reuptake di pembuluh darah di antara pasien dengan
penyakit endotel atau respons abnormal terhadap serotonin. Laporan awal
kematian yang tidak terduga di antara pasien sakit medis yang menerima
fluoxetine memicu minat pada mekanisme dimana penyakit jantung dapat
diperburuk oleh terapi SSRI (Spier & Frontera, 1991). Telah ditemukan bahwa
pasien dengan angina, baik tipikal maupun atipikal, bukan mengalami respons
vasodilatorik normal terhadap serotonin tetapi vasokonstriksi (Fricchione et al.,
1993; McFadden et al., 1991). Pasien dengan penyakit endotel, termasuk yang
disebabkan oleh aterosklerosis, diabetes, dan hiperlipidemia, memiliki respon
abnormal yang sama terhadap serotonin (Golino et al., 1991; Sikorski et al., 1993;
Luscher et al., 1993). Sekali lagi, dalam agregat tidak ada kontraindikasi terhadap
penggunaan SSRI di antara pasien dengan penyakit kardiovaskular. Secara
keseluruhan, SSRI tampaknya bermanfaat bagi pasien seperti itu (Paraskevaidis,
Palios, Parissis, Filippatos, & Anastasiou-Nana, 2012). Salah satu cara untuk
memahami potensi risiko SSRI dan keamanan mereka secara keseluruhan untuk
pasien dengan berbagai penyakit kardiovaskular adalah untuk memasukkan efek
depresi serovascular. Trombosit pasien yang depresi adalah hyperaggregable.
Fungsi endotel pasien depresi juga abnormal, dan mempromosikan kejadian
vaskular mulai dari aterosklerosis hingga iskemia miokard (Pizzi et al., 2012).
Efek awal farmakologis yang utama dari SSRI, seperti peningkatan serotonin
serum, dapat memperburuk patofisiologi trombosit dan endotelium yang
mengalami depresi. Tetapi dengan pemulihan dari depresi, trombosit dan fisiologi
endotel menjadi lebih normal dan risiko efek samping kardiovaskular menurun.
Waktu paruh eliminasi berkisar antara 8 hingga 17 jam.

SEROTONIN-NORADRENALINE REUPTAKE INHIBITORS (SNRIS)


Duloxetine
Duloxetine menghambat reuptake serotonin dan noradrenalin. Hal ini kadang-
kadang disebut sebagai penghambatan reuptake “seimbang”. Duloxetine memiliki
bioavailabilitas oral yang baik, meskipun dengan sedikit pengurangan serapan
dengan makanan. Waktu paruh eliminasi berkisar 8 hingga 17 jam. Obat ini lebih
dari 90% terikat pada protein serum. Eliminasi terutama melalui ginjal (70%),
tetapi juga sebagian melalui usus (20%). Penggunaan duloxetine merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan gangguan hati atau ginjal. Duloxetine adalah
substrat CyP450-1A2 dan 2D6, dan cenderung menghambat 2D6. Duloxetine
cenderung menghambat metabolisme warfarin tetapi kurang dari paroxetine,
venlafaxine, atau fluoxetine (Teles, Fukuda, & Feder, 2012). Efek samping
dengan duloxetine cenderung ringan dan termasuk terutama keluhan
gastrointestinal dan gangguan tidur. Efek samping yang lebih serius, mulai dari
efek samping ekstrapiramidal hingga sindrom serotonin, mungkin jarang terjadi
(Karakaş Uğurlu, Onen, Bayındırlı, & Cayköylü, 2013). Efek samping
kardiovaskular dengan duloxetine juga jarang (Xue, Strombom, Turnbull, Zhu, &
Seeger, 2012). Overdosis dengan duloxetine jarang mengancam nyawa (Darracq,
Clark, Qian, & Cantrell, 2013).

Venlafaxine
Venlafaxine menghambat reuptake serotonin dan norepinefrin dengan cara yang
mirip dengan kebanyakan TCA. Ini lima kali lebih aktif dalam menghalangi
reuptake serotonin seperti pada memblokir reuptake norepinefrin. Efek samping
sebagian besar tergantung dosis, dan yang paling sering dilaporkan termasuk
sedasi (hingga 14%), pusing (12%), kecemasan awal (hingga 12%), dan
peningkatan tekanan darah (Brown & Stoudemire, 1998). Efek samping
kardiovaskular yang disebabkan oleh venlafaxine sendiri jarang terjadi (McElroy,
Keck, & Friedman, 1995). Namun, venlafaxine memang memiliki efek tergantung
dosis pada tekanan darah. Peningkatan tekanan darah diastolik yang bertahan
lebih dari 10 mmHg, yang lebih besar dari baseline pretreatment dan melebihi 90
mmHg, terlihat pada 5% pasien yang mengambil lebih dari 200 mg / hari
venlafaxine. Persentase ini meningkat menjadi 13% ketika total dosis harian
melebihi 300 mg. Interaksi farmakodinamik dapat meningkatkan risiko efek
samping kardiovaskular. Contoh ekstrim dari ini adalah sindrom serotonin yang
diendapkan oleh venlafaxine (Gitlin, 1997). Overdosis venlafaxine dapat
menyebabkan sindrom serotonin rumit oleh gagal jantung kiri akan tetapi
mekanisme terjadinya gagal jantung kiri tidak jelas (Batista et al., 2013). Baik
venlafaxine maupun metabolit utamanya yang aktif, O-desmethylvenlafaxine,
memiliki aktivitas yang signifikan pada reseptor D-dopaminergik, histaminergik,
muskarinik, atau m-opioid (Beliles & Stoudemire, 1998). Venlafaxine terikat
minimal sekitar 25% ke protein serum. Ini memiliki metabolisme seimbang
melalui kedua sitokrom P450-2D6 dan 3A4. Paruhnya eliminasi jauh
diperpanjang pada gangguan hati dan ginjal. Kerusakan hati berat dapat
meningkatkan eliminasi paruh hampir 200% (Stoudemire, 1996). Dosis
venlafaxine pada pasien dengan gagal hati atau ginjal harus disesuaikan secara
konservatif, karena waktu paruh obat ini diperpanjang pada kedua kategori pasien.
Cimetidine meningkatkan kadar venlafaxine tetapi tidak pada metabolit primer
psikoaktifnya O-desmethylvenlafaxine. Hal ini terjadi karena metabolisme "aliran
pertama" venlafaxine dihambat oleh cimetidine, tetapi kadar serum O-
desmethylvenlafaxine tampaknya tidak terpengaruh pada tingkat yang signifikan
secara klinis. Bentuk kapsul pelepasan terkontrol jangka panjang dari obat ini
sekarang tersedia.
Desvenlafaxine
Desvenlafaxine, atau O-desmethylvenlafaxine, adalah formulasi sintetis dari
metabolit utama venlafaxine. Karena sebagian besar tindakan venlafaxine berasal
dari aktivitas metabolit utamanya, desvenlafaxine, manfaat dan risiko dari kedua
agen sangat mirip. Bioavailabilitas oral desvenlafaxine adalah sekitar 80%. Obat
ini kira-kira 30% terikat dengan protein serum. Ini dimetabolisme terutama
melalui konjugasi hati, dengan peran yang lebih rendah yang dimainkan oleh
oksidasi melalui CyP450-3A4. Waktu paruh eliminasi adalah 10-11 jam,
meskipun hal ini bisa sangat panjang pada gagal hati atau ginjal. Hampir setengah
dari obat diekskresikan dalam urin tidak berubah, sementara 25% lainnya
diekskresi melalui ginjal sebagai metabolit.

Milnacipran
Bioavailabilitas milnacipran oral mendekati 90%. Waktu paruh eliminasi adalah
6-8 jam. Milnacipran adalah 13% terikat pada protein serum. Obat ini mengalami
metabolisme hati. Milnacipran adalah inhibitor yang relatif lemah dari sitokrom
P450 bila dibandingkan dengan antidepresan lainnya (Miguel & Albuquerque,
2011). Lebih dari 90% diekskresikan dalam urin, dan lebih dari 50%
diekskresikan sebagai milnacipran yang tidak berubah (Li, Chin, Wangsa, & Ho,
2012). Pada gagal ginjal sedang sampai berat, dosis harus dikurangi (Nagler,
Webster, Vanholder, & Zoccali, 2012). Ada kasus hipertensi, takikardia, dan
kardiomiopati terkait dengan penggunaan milnacipran. Diperkirakan bahwa
kardiomiopati dihasilkan dari keadaan hiperadrenergik karena penggunaan
milnacipran (Forman, Sutej, & Jackson, 2011). Meskipun ini mungkin hasil yang
sangat buruk, ini menggaris bawahi potensi milnacipran dan agen seperti itu
menyebabkan overstimulation dari katekolamin dan sistem indoleamine. Sindrom
serotonin, contoh overaktivitas indoleamin, juga telah dilaporkan untuk
milnacipran (Levine, Truitt, & O’Connor, 2011). Milnacipran tidak tersedia di
Amerika Serikat.

BUPROPION
Bupropion, aktif melalui neurotransmission dopaminergic, mungkin oleh blokade
reptake dopamin presinaptik, adalah antidepresan unik yang berbeda dari SSRI
dan TCA. Bupropion memiliki waktu paruh sekitar 10 jam. Bentuk bupropion
yang bekerja lebih lama tersedia, dan kegunaannya sebagai bagian dari program
penghentian merokok sekarang sudah ditetapkan dengan baik. Obat ini memiliki
beberapa kesamaan struktural dengan amfetamin dan dietilpropion, agen
simpatomimetik. Meskipun bupropion memiliki efek pengaktifan yang dapat
bermanfaat pada beberapa pasien, bupropion dapat menginduksi agitasi atau
memprovokasi psikosis (Kumar et al., 2011). Sifat bupropion yang paling
diminati oleh psikiater yang bekerja dengan pasien medis adalah kurangnya
toksisitas kardiovaskular dan hubungannya dengan kejang. Bupropion
dimetabolisme terutama melalui CyP450-2B6.

NEFAZODONE
Nefazodone adalah obat yang unik di antara antidepresan dalam tindakan
terapeutiknya yang tampaknya melibatkan penghambatan serotonin reuptake dan
antagonisme reseptor 5HT2. Kelelahan yang signifikan secara klinis, pusing,
penglihatan kabur, dan pusing disebabkan oleh nefazodone. Ini mungkin terkait
dengan kecenderungan nefazodone untuk menurunkan tekanan darah sistolik
sedikit (Beliles & Stoudemire, 1998). Sebagai agen tunggal, nefazodone
tampaknya memiliki sedikit efek pada EKG (Beliles & Stoudemire, 1998).
Nefazodone dimetabolisme terutama melalui CyP450 3A4 dan dapat menghambat
metabolisme astemizole dan berinteraksi dengan obat lain yang dimetabolisme
oleh isoenzim ini. Salah satu metabolit utama nefazodone adalah agonis serotonin
dan senyawa anxiogenik metachlorophenylpiperazine (mCPP), yang
dimetabolisme oleh CyP450 2D6. Jika inhibitor P450-2D6, seperti paroxetine,
dihentikan dan nefazodone ditambahkan (sebelum aktivitas CyP450-2D6 pulih),
tingkat mCPP yang tinggi akan terus beredar dan menyebabkan kecemasan yang
parah. Ketika beralih dari SSRI long-acting (seperti fluoxetine) ke nefazodone,
periode washout harus diizinkan untuk SSRI konsisten dengan waktu paruh SSRI.
Aktivasi dari reseptor 5HT2c oleh mCPP dapat menyebabkan kecemasan dan
akatisia (Brown & Stoudemire, 1998). Hepatotoksisitas adalah efek samping yang
paling mengkhawatirkan yang biasanya dikaitkan dengan nefazodone. Pada tahun
2005, FDA telah menerima 55 laporan kegagalan hati karena nefazodone, 20 di
antaranya mengakibatkan kematian. Metabolit reaktif dianggap bertanggung
jawab atas kerusakan hati (Kalgutkar et al., 2005). Karena jarang timbulnya efek
samping berbahaya ini, untuk memprediksi siapa yang berisiko akan sangat sulit.

MIRTAZAPINE
Meskipun biasanya tidak diklasifikasikan secara formal sebagai SSRI,
mirtazapine tampaknya memiliki efek terbatas pada sistem kardiovaskular dan
relatif aman dalam keadaan overdosis. Namun, lebih dari 50% pasien yang
memakai mirtazapine mengalami sedasi tergantung dosis yang signifikan.
Peningkatan nafsu makan dan berat badan juga mempersulit terapi mirtazapine
(Nelson, 1997; Watanabe et al., 2010). Meskipun efek samping bencana seperti
sindrom serotonin dapat terjadi dengan mirtazapine, secara umum obat ini aman
bahkan dalam overdosis (Waring, Good, & Bateman, 2007). Mirtazapine
memiliki mekanisme aksi yang unik. Mirtazapine antagonis presinaptik a2-
adrenoreseptor, yang memfasilitasi pelepasan norepinefrin sentral. Norepinefrin
menstimulasi a1-adrenoreseptor yang terletak di neuron serotonin sentral, yang
kemudian menyebabkan pelepasan serotonin. Mirtazapine juga memblokir
reseptor serotonin 5HT2 dan 5HT3 pusat, serta reseptor histamin H1 sentral
(deBoer, 1996). Blokade reseptor histamin sentral kemungkinan menyebabkan
efek penenang dari mirtazapine. Efek bersih profil farmakologis mirtazapine yang
kompleks pada sistem kardiovaskular lebih sulit diprediksi. Namun, saat ini
mirtazapine sendiri tampaknya memiliki sedikit efek pada EKG. Mirtazapine
adalah 85% terikat pada protein plasma. Ini mengalami metabolisme luas yang
melibatkan sitokrom P450 1A2, 2D6, dan 3A4. Ini bukan penghambat ampuh dari
ketiga isoenzim ini (Delbressine & Vos, 1997). Produsen mencatat bahwa
kerusakan hati dapat mengurangi pembersihan mirtazapine sebesar 30%,
sementara kerusakan ginjal dapat mengurangi pembersihan mirtazapine sebesar
30% hingga 50%.
NEUROLEPTIC
Klasifikasi utama pada neuroleptik "standar," atau "tradisional," atau "khas"
neuroleptik termasuk phenothiazines (seperti chlorpromazine, trifluoperazine,
perphenazine, fluphenazine, dan thioridazine), butyrophenones (seperti
haloperidol), thioxanthenes (seperti thiothixene), dihydroindolones (seperti
molidone), dan dibenzoxazepines (seperti loxapine). Semua neuroleptik terserap
dengan baik dari saluran gastrointestinal. Hipoaciditas (seperti pada terapi
antasida) dan peningkatan pengosongan lambung dapat menyebabkan
peningkatan penyerapan, sedangkan peningkatan keasaman lambung dan
pengosongan lambung yang tertunda akan menghasilkan penurunan penyerapan,
meskipun efek tersebut memiliki signifikansi klinis yang meragukan. Neuroleptik
sangat lipofilik dan sangat terikat dengan protein. Dengan demikian, seperti
dengan antidepresan siklik, dialisis tidak berguna dalam keadaan overdosis.
Neuroleptik dimetabolisme terutama melalui jalur oksidasi hati. Hipertensi portal
atau kegagalan kongestif dapat menurunkan metabolisme first-pass dan
meningkatkan aktivitas obat-obatan ini.
Neuroleptik dapat secara luas diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama:
tradisional "potensi rendah" agen seperti klorpromazin dan tioridazine, tradisional
"potensi tinggi" agen seperti haloperidol dan fluphenazine, dan "atypical" agen
seperti clozapine, olanzapine, risperidone, dan quetiapine.
Prinsip-prinsip yang dapat digunakan dalam penggunaan neuroleptik di sakit
medis :
1. Identifikasi dan obati penyakit yang mendasari daripada mengobati gejala yang
dangkal. Misalnya, obati etiologi delirium pasien atau gangguan kognitif, bukan
hanya mengendalikan gejala sekunder agitasi atau halusinasi. Hal ini sangat
penting, karena, dalam keadaan sakit, neuroleptik dapat menghasilkan perbaikan
gejala kejiwaan terang-terangan sementara etiologi medis yang mendasari gejala
berlangsung.
2. Hindari polifarmasi yang tidak secara ilmiah berdasarkan hasil acak, terkontrol,
uji klinis dan sadar akan potensi interaksi obat dan alasan farmakokinetik dan
farmakodinamik untuk peningkatan risiko efek samping. Sebagai contoh,
penurunan albumin pada pasien malnutrisi menyiratkan peningkatan
bioavailabilitas fraksi bebas dari obat yang terikat dengan protein dan oleh karena
itu efek yang lebih kuat per dosis miligram (lebih banyak obat tidak terikat
tersedia untuk bertindak di situs reseptor).
3. Identifikasi gejala target spesifik dan hati-hati mengevaluasi tanggapan
pengobatan secara obyektif. Sedangkan agitasi dan gejala perilaku dapat
merespon dengan cepat, gejala seperti halusinasi dan delusi mungkin memerlukan
beberapa minggu untuk merespon.
4. Gunakan dosis efektif minimum. Dosis neuroleptik tinggi dikaitkan dengan
peningkatan efek samping dan tidak selalu meningkatkan efikasi antipsikotik
(Kane, 1990). Bahkan ketika dosis yang lebih tinggi memberikan kontrol yang
lebih baik terhadap gejala psikotik positif, fungsi keseluruhan pasien mungkin
lebih buruk karena efek samping ekstrapiramidal dari neuroleptik yang khas
seperti bradykinesia, apati, akathisia, atau kekakuan. Ketika merawat pasien
geriatrik, mulai dosis serendah 0,5 hingga 1 mg risperidone, misalnya, seringkali
cukup memadai.

LOW-POTENCY “TYPICAL” OR TRADITIONAL NEUROLEPTICS

Potensi rendah neuroleptik khas seperti klorpromazin dan tioridazin memiliki


profil efek samping yang mencakup penyumbatan reseptor a-adrenergik yang
mengakibatkan risiko hipotensi ortostatik, penyumbatan histaminik yang
menyebabkan sedasi, dan efek antikolinergik yang dapat menyebabkan mulut
kering, sembelit, penglihatan kabur, retensi urin, dan sinus tachycardia.
Pada orang tua, tindakan antikolinergik sentral dari obat-obatan ini sangat rentan
menyebabkan defisit memori dan menempatkan pasien pada peningkatan risiko
toksisitas antikolinergik sentral dan delirium. Secara khusus, pasien dengan
penyakit Alzheimer lebih rentan terhadap efek samping yang merusak ini.

HIGH-POTENCY TYPICAL NEUROLEPTICS


Potensi tinggi neuroleptik khas, dengan haloperidol sebagai agen prototypic,
cenderung kurang menginduksi hipotensi ortostatik dan sedasi tetapi lebih
mungkin dikaitkan dengan efek samping ekstrapiramidal (EPS). Sindrom-sindrom
EPS akut termasuk dystonias akut, gejala parkinsonian, bradikinesia, akatisia, dan
“sindrom kelinci” (tremor perioral ritmis yang tidak biasa). Selain itu, neuroleptik
khas dengan potensi tinggi lebih sering dikaitkan dengan neuroleptic induced
catatonia dan neuroleptic malignant syndrome.

ATYPICAL NEUROLEPTICS
Aripiprazole
Waktu paruh eliminasi aripiprazole adalah sekitar 75 jam, dan dehidroaripiprazole
metabolit aktifnya adalah 94 jam. Di antara metabolisme lambat melalui CyP450-
2D6, waktu paruh eliminasi aripiprazole bisa dua kali lipat. Sekitar 55% dari dosis
aripiprazole dieliminasi dalam kotoran dan 25% dalam urin. Aripiprazole
tampaknya ditoleransi dengan baik di antara mereka dengan gangguan ginjal atau
hati (Mallikaarjun et al., 2008). Di antara keuntungan utama yang diklaim untuk
aripiprazole bila dibandingkan dengan antipsikotik atipikal lainnya adalah
penurunan kecenderungan untuk penambahan berat badan dan pengurangan
terkait dalam risiko mengembangkan sindrom metabolik (Khanna et al., 2013).
Keterbatasan utama aripiprazole biasanya terkait dengan dosis EPS, yang lebih
umum di antara anak-anak dan remaja daripada orang dewasa. Tingkat EPS
dengan penggunaan aripiprazole tampaknya lebih dari kebanyakan antipsikotik
atipikal lainnya, tetapi kurang dari risperidone dan haloperidol (De Fazio et al.,
2010; Rummel-Kluge et al., 2012).

Asenapine
Asenapin termasuk yang terbaru dari antipsikotik atipikal. Bioavailabilitas
asenapine kurang dari 2% jika tertelan, tetapi meningkat menjadi 35% ketika
diberikan secara sublingual. Itu 95% terikat pada protein serum. Waktu paruh
eliminasi adalah sekitar 24 jam. Sekitar 50% dari dosis diekskresikan dalam urin
dan 40% dalam tinja. Inducer dari CyP1A2 dapat mempercepat penghapusan
asenapine (Minassian & Young, 2010). Efek samping termasuk somnolen di 24%,
peningkatan berat badan yang signifikan dalam hampir 20%, akathisia dalam 2%,
dan EPS lainnya dalam 5% (McIntyre, 2011).

Iloperidone
Iloperidone adalah salah satu antipsikotik atipikal terbaru. Tampaknya dapat
diserap dengan baik. Iloperidone dimetabolisme melalui CyP4502D6 dan 3A4 dan
memiliki dua metabolit aktif. Waktu paruh eliminasi iloperidone berkisar antara
18 jam antara metabolit 2D6 cepat hingga 33 jam di antara metabolit 2D6 lambat.
Pengikatan protein sekitar 95%. Metabolisme terjadi melalui CyP450-2D6 dan
3A4. Obat ini terutama diekskresikan dalam urin. Namun, ini dapat digunakan
dengan aman pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pasien dengan
gangguan fungsi hati mungkin memerlukan penyesuaian atau penghentian dosis
(Citrome, 2011). Dosis bergantung hipotensi ortostatik mewajibkan dokter untuk
titrasi ke atas yang lambat. Efek samping penting lainnya adalah penambahan
berat badan, takikardia, somnolen, dan perpanjangan QT serupa dengan yang
terjadi pada ziprasidone (Arif & Mitchell, 2011). Gejala ekstrapiramidal, termasuk
akatisia, terjadi pada sekitar 2% pasien. Dalam studi percobaan pendaftaran,
penggunaan iloperidone ketika CyP450 2D6 dan 3A4 secara bersamaan dihambat
memperpanjang QTc dengan rata-rata 19 milidetik (Novartis 2013).

Lurasidone
Lurasidone termasuk yang terbaru dari antipsikotik atipikal. Ini memiliki
bioavailabilitas oral rendah sekitar 10% hingga 20%. Pengikat protein serum
adalah 99%. Lurasidone dimetabolisme terutama melalui CyP450-3A4, dan
menghasilkan metabolit aktif. Waktu paruh eliminasi lurasidone adalah 18 jam,
sedangkan metabolit aktifnya adalah 8 hingga 10 jam. Tidak diperlukan
penyesuaian dosis baik pada gangguan ginjal atau hati. Lurasidone dipersulit oleh
EPS tergantung dosis yang dapat dilihat pada sebanyak 10% pasien, dan akathisia
sebanyak 20% (Yasui-Furukori, 2012). Tampaknya tidak ada efek yang signifikan
pada berat badan, lipid atau QTc dengan lurasidone (Kantrowitz et al., 2012).
Risperidone
Risperidone dalam dosis rendah mencakup banyak manfaat dari antipsikotik
atipikal. Efektif terhadap gejala negatif psikosis kronis dan memiliki tingkat
perkembangan tardive dyskinesia yang rendah. Kualitas hidup selama terapi
risperidone muncul terbukti lebih baik daripada dengan antipsikotik khas seperti
haloperidol, dan sebanding dengan agen atipikal lainnya. Kualitas hidup
umumnya didefinisikan untuk menggabungkan ukuran manfaat, tolerabilitas, dan
kepuasan pasien (Bobes et al., 2007; Chouinard & Albright, 1997). Efek samping
neuropsikiatri dari risperidone termasuk sedasi tergantung dosis (20% hingga
lebih dari 40%), gangguan tidur (15% -30%), dan gangguan memori dan
konsentrasi (15% hingga lebih dari 20%) (Peuskens, 1995). Jarang, mania telah
dilaporkan dengan risperidone (Diaz, 1996). Dalam satu percobaan bunuh diri,
240 mg risperidone dicerna, dengan efek samping minimal; kelainan yang paling
signifikan adalah kardiovaskular dengan perpanjangan QRS dan QTc (K Brown et
al., 1993). Risiko komplikasi kardiovaskular selama terapi dengan dosis biasa
risperidone, bagaimanapun, tampaknya rendah (Casey, 1997a). Dengan dosis
harian di bawah 4 mg / hari risperidone, kejadian efek samping ekstrapiramidal
(EPS) relatif rendah. Namun, ketika dosis harian risperidone meningkat menjadi
antara 4 mg / hari dan 8 mg / hari, maka tingkat di mana EPS muncul mulai
menyerupai neuroleptik tradisional, terutama pada pasien usia lanjut (Miller et al
2008; Owens, 1994). Laporan risperidone yang menginduksi neuroleptic
malignant syndrome juga ada (Arslankoylu dkk., 2011; Dave, 1995; Singer,
Richards, & Boland, 1995; Tarsy, 1996). Orang tua dan pasien dengan penyakit
ginjal dan hati beresiko untuk mengurangi pembersihan risperidone, serta
metabolit aktifnya 9-hydroxy risperidone. Akumulasi agen-agen ini dikaitkan
dengan peningkatan masalah dengan EPS (Heykants et al., 1994). Risperidone
tampaknya mengerahkan tindakan antipsikotiknya melalui blokade kuat dari
reseptor serotonin 5HT2 dan dopamin D2 sentral (Kapur, Zipursky, & Remington,
1999). Antagonisme 5HT2 lebih kuat daripada antagonisme D2, tetapi setelah
dosis harian mencapai 4 mg sampai 8 mg, efek klinis dari potensi yang lebih besar
untuk reseptor 5HT2 hilang. Yang juga penting adalah disinhibisi pelepasan
dopamin dari neuron dopamin sentral oleh risperidone. Reseptor presinaptik 5HT2
yang terletak di neuron dopamin sentral menghambat pelepasan dopamin;
penyumbatan reseptor-reseptor ini oleh risperidone mungkin menyebabkan
peningkatan pelepasan dopamine. Ini mungkin mekanisme melalui mana
risperidone dalam dosis rendah membatasi munculnya EPS (Kapur & Remington,
1996). Blokade reseptor 5HT2 tampaknya tidak langsung antipsikotik.
Risperidone 90% terikat pada protein serum. 9-Hydroxyrisperidone adalah 77%
terikat pada protein serum. Metabolisme risperidone dicapai sebagian besar
melalui sitokrom P450-2D6 (DeVane, 1996). Pasien yang secara genetis miskin
metabolisme melalui isoenzim ini dan pasien yang menerima obat lain yang
menghambat aktivitas isoenzim ini dapat meningkatkan tingkat serum risperidone.
Efek tersebut mungkin telah mengurangi konsekuensi klinis karena metabolit aktif
risperidone, 9-hydroxy risperidone, memiliki profil farmakologis dan terapeutik
yang sangat mirip dengan senyawa induk (Grant & Fitton, 1994; Keegan, 1994).
Risperidone dikaitkan dengan EPS, bahkan dalam dosis rendah, pada anak-anak
dan pada orang tua (Prigsheim et al., 2011).

Paliperidone
Bioavailabilitas paliperidone oral adalah 28%. Hanya sekitar 30% paliperidone
dimetabolisme. Ini terjadi terutama melalui CyP4502D6, dan pada tingkat lebih
rendah melalui 3A4. Waktu paruh eliminasi adalah 23 jam. Obat ini terikat 74%
pada protein serum. Penyakit hati ringan sampai sedang tidak secara signifikan
mempengaruhi eliminasi paliperidone. 59% dari dosis paliperidone diekskresikan
sebagai obat tidak berubah dalam urin. Namun, karena paliperidone diekskresikan
sebagian oleh transpor aktif di tubulus ginjal, gangguan fungsi ginjal
memperlambat eliminasi paliperidone (Marino, Inggris, Caballero, & Harrington,
2012; Vermeir et al., 2008). Untuk pasien yang bersihan kreatinin (CrCl) diantara
50 dan 80 mL / menit, pembersihan paliperidone turun hingga 32%. Ketika CrCl
berada di antara 30 dan 50 mL / menit, terdapat penurunan hingga 64%, dan untuk
pasien yang CrCl di bawah 30 mL / menit, klirens paliperidone turun hingga 71%
(Janssen, 2012). Waktu paruh eliminasi di antara pasien lansia adalah 25 jam
(Snoeck et al., 1995). Untuk orang lanjut usia dan mereka dengan penyakit ginjal,
pengurangan dosis wajar. Karena Invega disiapkan sebagai produk yang dirilis
secara waktu yang disimpan dalam kapsul kaku, pasien dengan striktur usus
seharusnya tidak menggunakan Invega. Pengobatan paliperidone dibatasi oleh
banyak efek samping yang membatasi pengobatan dengan risperidone. Gejala
ekstrapiramidal (EPS) yang terjadi lebih sering daripada dengan plasebo termasuk
hypertonia, dystonia dan akathisia. Dalam sebuah penelitian yang
membandingkan keamanan dan kemanjuran paliperidone dan quetiapine, tingkat
EPS lebih tinggi dengan paliperidone, termasuk akathisia (10% berbanding 3%),
hypertonia (5% berbanding 1%), dan meneteskan air liur (6% berbanding 0%)
(Vieta et al., 2010). Beberapa kasus NMS telah dikaitkan dengan paliperidone
(Özdemir et al., 2012). Efek QT-memperpanjang lama risperidone biasanya
terutama disebabkan paliperidone (Suzuki et al., 2012). Data manusia tikus dan in
vitro mengungkapkan bahwa paliperidone memperpanjang interval QT dengan
menghambat saluran hERG (Vigneault et al., 2011). Untungnya, perpanjangan
QTc paliperidone adalah 4 milidetik atau kurang. Jarang terjadinya risiko torsades
de pointes dengan penggunaan paliperidone (Wenzel-Seifert et al., 2011). Di sisi
lain, takikardia ringan terlihat di antara 10% hingga 20% pasien yang menerima
paliperidone. Ini biasanya tidak memiliki efek yang signifikan pada fungsi jantung
secara keseluruhan (Marino et al., 2012).
Olanzapine
Olanzapine adalah neuroleptik atipikal baik dalam hal aktivitas farmakologisnya
serta kemanjurannya untuk kedua gejala positif dan negatif psikosis kronis.
Olanzapine dimetabolisme oleh isoenzim CyP450-1A2 dan beberapa lainnya.
Penggunaannya sebagai antipsikotik bagi pasien yang sakit medis dan mengigau
tampak menjanjikan. Hal ini karena profil efek samping yang relatif ringan, serta
potensi olanzapine untuk digunakan pada pasien dengan penyakit Parkinson yang
menjadi psikotik pada dosis terapeutik agen dopaminergik. Terutama menjanjikan
adalah tingkat diskinesia tardif yang sangat rendah dengan olanzapine.
Diperkirakan bahwa risiko mengembangkan tardive dyskinesia selama terapi
olanzapine mungkin sekitar 1% per tahun, yang pada dasarnya adalah tingkat di
mana pasien psikotik yang tidak pernah diobati mengembangkan tardive
dyskinesia (Tollefson et al., 1997a, 1997b). Profil efek samping olanzapine
ditandai oleh penurunan risiko efek samping ekstrapiramidal (EPS), meskipun
sedasi dan pusing terjadi pada 10% -20% pasien (Beasley et al., 1996; Lilly
Research Laboratories, 1996). Olanzapine berbagi kebebasan relatif risperidone
dari toksisitas kardiovaskular langsung dan secara signifikan lebih sedikit EPS
daripada risperidone (Casey, 1997a). Pada episode pertama skizofrenia,
olanzapine dikaitkan dengan akathisia pada sekitar 10%, Parkinsonisme pada 6%,
dan sangat jarang dyskinesias dan dystonia (Haddad et al., 2012). Hal ini
disebabkan oleh aktivitas farmakodinamik yang sedikit berbeda dari olanzapine
(Kapur, Zipursky, & Remington, 1999). Seperti halnya neuroleptik atipikal
lainnya, olanzapine secara potensial bertentangan baik reseptor serotonin 5HT2
pusat maupun reseptor dopamin D2 sentral, dengan afinitas yang jauh lebih besar
untuk reseptor 5HT2 daripada reseptor D2. Namun, olanzapine juga berikatan
dengan reseptor kolinergik muskarinik, reseptor histamin H1, dan reseptor a1-
adrenergik dengan profil efek samping yang mudah diprediksi tetapi ringan.
Alkohol dapat meningkatkan serapan olanzapine dari usus. Cimetidine dapat
meningkatkan kadar olanzapine serum, mungkin melalui efek pada beberapa
sistem enzim. Olanzapine telah dikaitkan dengan peningkatan berat badan yang
signifikan (rata-rata sekitar 2,3 kg) setelah 4-6 bulan pengobatan dan kadang-
kadang ditandai peningkatan trigliserida serum (Osser et al., 1998). Olanzapine
juga telah dikaitkan dengan onset diabetes (mungkin tipe II karena berat badan)
serta eksaserbasi diabetes yang sudah ada sebelumnya. Seperti clozapine,
olanzapine dapat menyebabkan sialorrhea (Perkins & McClure, 1998). Setidaknya
satu kasus priapism telah dilaporkan dengan olanzapine (Deirmenjian et al.,
1998).

Quetiapine
Quetiapine, dibenzothiazepine, adalah salah satu dari neuroleptik atipikal baru.
Hal ini ditandai dengan hanya memiliki EPS yang langka, meskipun dua kasus
anekdot dari sindrom ganas neuroleptik telah dianggap berasal dari quetiapine.
Pusing, somnolen, dan agitasi masing-masing mempengaruhi sekitar 10% pasien
(Small et al., 1997; Zeneca, 2013). Karena perkembangan katarak pada anjing
yang menelan dosis quetiapine, produsen sekarang merekomendasikan
pemeriksaan slit lamp sebelum memulai terapi dengan quetiapine dan setiap 6
bulan sesudahnya (Zeneca, 2013). Quetiapine seperti antipsikotik lain yang khas
karena merupakan antagonis reseptor 5HT2 serotonin yang lebih kuat daripada
reseptor Dopamine D2; namun, quetiapine juga berpotensi menimbulkan
antagonis, dalam urutan potensi, reseptor H1 histamin, reseptor a1-andrenergik,
dan reseptor adrenergik a2 (Casey, 1997b). H1 antagonisme menyumbang
kecenderungan quetiapine untuk menyebabkan somnolen, sementara blokade
adrenergik a1 dapat menghasilkan beberapa hipotensi ortostatik. Waktu paruh
eliminasi quetiapine sekitar 6 jam. Obat ini 83% terikat dengan protein serum
tetapi tidak muncul untuk mengubah farmakokinetik warfarin. Quetiapine
dimetabolisme menjadi metabolit tidak aktif melalui sitokrom P450-3A4.
Inhibitor isoenzim ini, yang termasuk eritromisin, itrakonazol, flukonazol, dan
ketokonazol, akan memperlambat eliminasi quetiapine dan kemudian menaikkan
kadar serumnya. Fenitoin dan tioridazin keduanya menurunkan tingkat serum
quetiapine. Quetiapine sedikit meningkatkan kadar lorazepam serum. Cimetidine,
fluoxetine, haloperidol, imipramine, lithium, risperidone, dan warfarin tampaknya
tidak memiliki interaksi farmakokinetik dengan quetiapine. Alkohol, antihistamin,
dan benzodiazepin termasuk di antara banyak obat yang memiliki efek sedatif
sinergis dengan quetiapine. Quetiapine dapat memusuhi aksi agonis dopamin yang
digunakan dalam pengobatan penyakit Parkinson (Zeneca, 2013), meskipun
laporan menunjukkan bahwa itu menyebabkan EPS terkecil pada pasien penyakit
Parkinson dengan pengecualian clozapine. Laporan awal dari beberapa ahli saraf
memuji quetiapine sebagai "obat pilihan" baru untuk penyakit Parkinson, dengan
klaim bahwa quetiapine memiliki EPS minimal dalam dosis terapeutik bahkan
pada penyakit Parkinson. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi
antusiasme awal ini untuk quetiapine pada pasien penyakit Parkinson.
Clozapine
Karena risiko agranulositosis, jika clozapine digunakan, dokter harus mengakses
sistem distribusi untuk clozapine melalui Sandoz Pharmaceuticals Corporation
untuk memastikan bahwa pemantauan mingguan tingkat serum sel darah putih
(WBC) terjadi.
Banyak efek samping clozapine dapat diprediksi dan dihasilkan dari aktivitas
antihistaminik, antikolinergik, dan antiadrenergik. Dalam satu penelitian
multisenter, efek samping yang paling sering adalah sedasi (21%), takikardia
(17%), konstipasi (16%), pusing (14%), hipotensi (13%), dan hipersalivasi (13%)
(Kane et al., 1988). Meskipun tremor, akathisia, dan kekakuan telah dilaporkan
dengan pengobatan clozapine, ini jarang terjadi (sekitar 5%) dan umumnya
ringan. Selain itu, obat tampaknya tidak terkait dengan fasies bertopeng, reaksi
distonik akut, dan kelainan gaya berjalan parkinsonian. Clozapine menurunkan
ambang kejang, dengan kejadian kejang meningkat dengan dosis: 1% pada dosis
di bawah 300 mg / hari, 2,7% pada dosis 300-599 mg / hari, dan 4,4% pada dosis
tinggi 600-900 mg / hari . Risiko kejang dengan clozapine bersifat kumulatif dari
waktu ke waktu, mencapai 10% pada 3,8 tahun pengobatan (DeVinsky,
Honigfeld, & Patin, 1991). Clozapine merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan gangguan myeloproliferative atau granulocytopenia dan tidak boleh
digunakan dengan obat lain yang diketahui memiliki efek myelosuppressive
(misalnya, carbamazepine). Jika clozapine diperlukan pada pasien dengan
epilepsi, pasien harus beralih ke antikonvulsan selain carbamazepine. Untuk
meminimalkan risiko kejang, kadar antikonvulsan harus sering dipantau selama
inisiasi clozapine dan disimpan di ujung yang lebih tinggi dari kisaran terapeutik.
Beberapa penulis mendukung penggunaan bersamaan dari antikonvulsan seperti
fenitoin atau valproat jika dosis clozapine lebih dari 500 mg digunakan, bahkan
pada pasien nonepilepsi (Baldessarini & Frankenberg, 1991). Disarankan bahwa
pengobatan clozapine dilembagakan pada dosis rendah (12,5 mg-25 mg) pada
pasien usia lanjut karena potensinya untuk menginduksi sedasi dan hipotensi yang
ditandai. Pada pasien usia lanjut, dosis awal 12,5 mg dua kali sehari
direkomendasikan. Rentang terapeutik khas untuk skizofrenia pada pasien sehat
secara fisik adalah 300-500 mg / hari, dengan maksimum 900 mg / hari. Dosis
harus dilakukan dua kali atau tiga kali sehari (Lieberman, Kane, & Johns, 1989).
Demam hingga 103 ° F dapat terjadi ketika memulai clozapine dan dapat bertahan
dengan fluktuasi selama 4-6 minggu. Demam harus dikelola secara suportif
dengan acetaminophen dan tidak dengan sendirinya merupakan alasan untuk
menghentikan obat. Namun, perawatan harus diambil untuk memastikan bahwa
pasien cukup terhidrasi dan untuk menilai kembali pasien sering untuk gejala
yang menunjukkan penyebab infeksi untuk demam atau kemungkinan munculnya
NMS. Friedman dan Lannon melaporkan keberhasilan pengobatan dengan
clozapine gejala psikotik pada enam pasien dengan penyakit Parkinson. Pada
pasien yang menunjukkan gejala psikotik seperti halusinasi pendengaran dan
paranoia, dan yang berusia antara 52 hingga 78 tahun, mereka menemukan bahwa
clozapine memperbaiki gejala psikiatri tanpa memperburuk manifestasi motorik
penyakit Parkinson seperti kekakuan dan gangguan gaya berjalan. Pada dua
pasien, gejala parkinsonian sebenarnya membaik. Mereka mencatat bahwa
penjelasan yang mungkin adalah bahwa clozapine memiliki afinitas yang relatif
rendah untuk reseptor dopamin striatal. Afinitasnya terhadap reseptor D2 di
nukleus kaudatus hanya 1/50 dari haloperidol dan 1/10 dari klorpromazin. Para
pasien dalam seri kasus ini tidak mengembangkan agranulositosis, dan efek
samping utama yang ditemui adalah hipersalivasi, yang dapat diobati dengan
klonidin. Gejala psikotik dikontrol dengan dosis yang relatif rendah mulai dari 25
atau 50 mg / hari hingga 275 mg / hari (Friedman & Lannon, 1989). Laporan
kasus asli lainnya (Roberts, Dean, & Stoudemire, 1989) menunjukkan perbaikan
gejala serupa pada halusinosis dan paranoia pada wanita 64 tahun dengan
penyakit Parkinson. Ketika diobati dengan clozapine 25 mg melalui mulut setiap 4
jam, tidak hanya gejala mental membaik tetapi gejala parkinsonian pasien
membaik ke titik di mana farmakoterapi parkinsonian tertentu (carbidopa,
levodopa, dan trihexyphenidyl) dapat dihentikan. Laporan-laporan ini telah
dikonfirmasi oleh beberapa makalah lain (Bernardi & DelZampa, 1990; Kahn et
al., 1991; Pfeiffer et al., 1990). Karena efek ortostatik clozapine, pasien PD
psikotik mungkin memerlukan sedikitnya 12,5 mg clozapine sehari, dan tekanan
darah harus dipantau saat dosis dinaikkan. Granulocyte colony-stimulating factor
(G-CSF) telah terbukti efektif dalam membalikkan banyak kasus neutropenia
yang diinduksi oleh clozapine. Dalam satu kasus di mana clozapine adalah satu-
satunya antipsikotik yang efektif dan tersedia untuk seorang pria muda dengan
neutropenia clozapine-induced yang berat, pemberian clozapine bersamaan
dengan G-CSF menyebabkan normalisasi yang cepat dari jumlah sel darah putih
pasien (Sperner Unterweger et al., 1998). Clozapine dapat memiliki efek
mendalam pada motilitas usus. Efek antikolinergik dan antiserotonergik dari
clozapine mungkin terlibat. Efek dapat berkisar dari sembelit hingga ileus berat
yang mengarah ke nekrosis dan perforasi usus, dan bahkan kematian. Dilatasi
kolon berkembang tanpa adanya obstruksi mekanik, kondisi ini disebut sindrom
Ogilvie. Triad dilatasi kolon lebih besar dari 6 cm, radang usus besar, dan syok
septik disebut sebagai megacolon beracun (Alam, Fricchione, Guimaraes, &
Zukerberg, 2009). ). Palmer dan rekan menemukan bahwa di antara 102 pasien
yang mengembangkan kehidupan yang mengancam gastrointestinalhypomotility
dengan clozapine, 28 meninggal. Faktor risiko termasuk inisiasi clozapine, dosis
yang lebih tinggi dan kadar serum clozapine, penggunaan bersamaan dari
antikolinergikagen lain, dan penyakit yang berhubungan (Palmer, McLean, Ellis,
& Harrison-Woolrych, 2008). Tidak ada obat khusus yang digunakan untuk
mengelola efek clozapine pada usus (Chukhin et al., 2013). Sebagai gantinya,
manajemen efek clozapine pada gutbegin dengan persiapan untuk memulai
perawatan. Pasien dengan masalah usus yang sudah ada sebelumnya, termasuk
yang disebabkan oleh obat lain, idealnya memiliki kontrol yang baik terhadap
masalah ini sebelum memulai pengobatan dengan clozapine. Karena pasien tidak
dapat melaporkan keluhan usus secara spontan, terutama pasien dengan gejala
psikosis negatif yang menonjol, pemeriksaan rutin ke fungsi usus harus dilakukan.
Ketika masalah dengan fungsi usus memang muncul, mereka harus dipantau
secara agresif dan diawasi dengan ketat.
Ziprasidone
Bioavailabilitas oral ziprasidone adalah 60% atau kurang, ini akan sangat
meningkat dengan meminum obat bersamaan dengan makanan. Di beberapa
pasien bioavailabilitas hampir berlipat ganda jika bersama dengan makanan. Jenis
makanan tampaknya memiliki sedikit dampak pada peningkatan bioavailabilitas
(Miceli, Glue, Alderman, & Wilner, 2007). Waktu paruh eliminasinya adalah 2–7
jam. Pengikat protein serum adalah 99%. Ziprasidone secara ekstensif
dimetabolisme oleh hati, meskipun kurang dari sepertiga dari metabolisme ini
adalah melalui sitokrom P450, khususnya 3A4 dan pada tingkat yang lebih rendah
1A2. Sebagian besar metabolisme hati dari ziprasidone dicapai oleh aldehida
oksidase. Dibandingkan dengan agen seperti risperidone dan perphenazine, pasien
dengan ziprasidone menghentikan obat karena EPS relatif jarang (Miller et al.,
2008). Tetapi ziprasidone juga secara umum dianggap kurang efektif sebagai
antipsikotik daripada olanzapine atau risperidone (Stip et al., 2011). Ziprasidone
juga memiliki perpanjangan QT terbesar di antara antipsikotik atipikal yang
tersedia (Wenzel-Seifert et al., 2011). Pentingnya perpanjangan QT ini
diperdebatkan, dengan beberapa penulis mengklaim bahwa sifat dan tingkat
perpanjangan QT ziprasidone secara klinis tidak signifikan (Correll et al., 2011).

BENZODIAZEPINES
Benzodiazepin umumnya digunakan pada pasien yang sakit medis sebagai
anxiolytics, relaksan otot, antikonvulsan, dan hipnotik, dan untuk sedasi untuk
prosedur. Sakit medis dan lanjut usia, bagaimanapun, adalah peningkatan risiko
untuk efek samping dari obat-obatan ini. Ada juga bukti bahwa, selain perubahan
farmakokinetik yang berkaitan dengan penuaan, orang tua mungkin secara
intrinsik lebih sensitif terhadap efek klinis baik positif maupun negatif dari
benzodiazepin (Greenblatt, Harmatz, & Shader, 1991). Penggunaan benzodiazepin
dapat meningkatkan risiko delirium di antara pasien sakit medis (Pisani, Murphy,
Araujo, & Van Ness, 2010). Seiring dengan agen antikolinergik, benzodiazepin
adalah salah satu agen yang paling mungkin merusak fungsi kognitif seperti
ingatan jangka pendek (Chavant, Favrelière, Lafay-Chebassier, Plazanet, &
Pérault Pochat, 2011). Namun, masih belum jelas sampai sejauh mana
penggunaan benzodiazepine adalah penanda untuk pasien yang berisiko
mengalami delirium dan untuk tingkat apa penggunaannya benar-benar memicu
delirium (Tse et al., 2012). Komplikasi potensial lebih lanjut dari penggunaan
benzodiazepine adalah kecenderungan mereka untuk menurunkan tingkat
ekstraseluler faktor neurotropik (Tamaji et al., 2012). Pengurangan tingkat otak
faktor neurotropik yang diturunkan dari otak (BDNF) adalah penanda untuk
neurodegenerasi di seluruh negara penyakit (Diniz & Teixeira, 2011). Ini mungkin
satu mekanisme, selain sedasi, dimana benzodiazepin meningkatkan risiko
gangguan kognitif seperti delirium. Meskipun risiko ini, benzodiazepin, bersama
dengan agen antikolinergik, adalah salah satu agen yang paling sering diresepkan
untuk pasien lansia dengan gangguan kognitif ringan. Lebih dari 30% pasien
seperti itu di masyarakat diberi resep benzodiazepine (Weston, Weinstein, Barton,
& Yaffe, 2010). Hipnotik, baik benzodiazepine dan nonbenzodiazepine,
berhubungan dengan peningkatan risiko berbagai jenis morbiditas serta mortalitas.
Salah satu temuan kontroversial tetapi terus-menerus adalah hubungan antara
penggunaan hipnosis dan peningkatan risiko kanker (Kao et al., 2012; Kripke,
2008). Risiko terkena kanker meningkat rata-rata 1,35 kali lipat (95% CI: 1,18
hingga 1,55). Efek ini tampaknya tergantung pada dosis dan terjadi di berbagai
agen yang mengejutkan (Kripke, Langer, & Kline, 2012). Zopiclone, zolpidem,
dan ramelteon ditemukan menjadi klastogenik pada hewan pengerat selama studi
awal. Agen-agen ini terkait dengan peningkatan risiko kanker kulit nonmelonoma
(Stebbing et al., 2005). Beberapa penulis mengingatkan bahwa mengendalikan
hati-hati untuk faktor risiko kesehatan lainnya dapat mengurangi ukuran nyata
dari efek hipnotik pada mortalitas secara keseluruhan dan beberapa kanker,
meskipun tidak menghilangkannya (Hartz & Ross, 2012). Hubungan antara agen
GABA-A-aktif dan kanker mungkin terkait dengan peran GABA dalam
memodifikasi perilaku sel induk (Young & Bordey, 2009). Penulis lain
mengingatkan bahwa hubungan epidemiologi antara penggunaan hipnotik tertentu
dan kanker tidak membuktikan kausalitas (Phillips, 2012). Meskipun demikian,
hubungan antara penggunaan hipnosis dan peningkatan morbiditas dan mortalitas
mungkin merupakan argumen untuk penggunaan perilaku dan teknik
memodifikasi gaya hidup untuk beberapa pasien dengan insomnia. Sebagai kelas,
benzodiazepin berbagi lebih banyak kesamaan daripada perbedaan dalam aktivitas
farmakologis intrinsik mereka, yang dimediasi melalui reseptor benzodiazepine
(meningkatkan nada ergonomis GABA), dan profil efek samping. Namun
demikian, ada perbedaan yang signifikan dalam farmakokinetik dari berbagai
benzodiazepin. Dengan demikian, pengetahuan profil farmakokinetik
benzodiazepine individu mungkin lebih penting, terutama pada pasien sakit medis
dan lansia, daripada perbedaan yang agak arbitrer antara indikasi ansiolitik dan
hipnotik. Perbedaan farmakokinetik sangat penting karena tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa satu benzodiazepine secara klinis lebih efektif daripada yang
lain, dan tidak ada bukti bahwa benzodiazepin dipasarkan sebagai hipnotik untuk
pengobatan insomnia lebih efektif untuk tidur daripada yang ditandai sebagai
ansiolitik, dan sebaliknya.

TRIAZOLAM
Triazolam, triazolobenzodiazepine ultra-short yang dipasarkan sebagai hipnosis,
telah dikaitkan dengan laporan kebingungan, delirium, amnesia anterograde, dan
insomnia rebound dan kecemasan rebound. Bixler dkk. (1991) meneliti 18 orang
tidur yang buruk ditempatkan dalam tiga kelompok paralel yang diobati dengan
0,5 mg triazolam, 30 mg temazepam, atau plasebo. Penarikan langsung serupa di
ketiga kelompok; Namun, penarikan tertunda lebih terganggu pada pasien yang
diobati dengan triazolam. Selain itu, lima dari enam subjek yang diobati dengan
triazolam melaporkan episode gangguan memori pada hari berikutnya. Greenblatt
dkk. (1991) mengevaluasi kepekaan terhadap triazolam pada orang tua melalui
studi silang double-blind dari 26 sehat, muda (usia rata-rata 30 tahun) dan 21
sehat, tua (rata-rata usia 69 tahun) pasien. Gangguan kinerja psikomotor dan
memori, dan peningkatan sedasi psikomotor ditemukan pada orang tua. Para
penulis merekomendasikan mengurangi dosis rata-rata triazolam pada orang tua
sebesar 50%, menunjukkan bahwa kemanjuran klinis 0,125 mg pada orang tua
setara dengan 0,25 mg pada pasien muda yang sehat. Kami tidak
merekomendasikan penggunaan triazolam pada lansia atau populasi lainnya. Ia
juga telah menyarankan bahwa triazolam mungkin memiliki indeks terapeutik
yang lebih rendah daripada benzodiazepin lainnya, yang, sebagai kelas, memiliki
indeks terapeutik yang relatif tinggi. Sebuah laporan kasus koma dengan
overdosis hanya 0,5 mg telah dijelaskan, sedangkan benzodiazepin lainnya
memerlukan sekitar 100 kali dosis klinis untuk overdosis yang serius (Kales,
1990). Penghambatan Cyp450 3A4 atau pf P-glikoprotein dapat meningkatkan
kadar serum triazolam. Karena banyak obat dan beberapa makanan, seperti jus
grapefruit, merupakan penghambat potensial dari kedua protein ini, risiko
peningkatan kadar triazolam serum yang tidak diinginkan adalah signifikan
(Bailey, Malcolm, Arnold, & Spence, 1998). Jika obat soporetik short-acting
diperlukan, zolpidem soposifik nonbenzodiazepine kemungkinan agak lebih
disukai, tetapi telah dilaporkan memiliki beberapa efek samping triazolam dengan
frekuensi yang lebih sedikit. Kami masih cenderung lebih memilih temazepam
benzodiazepine perantara-bertindak, yang dimetabolisme oleh konjugasi
glukuronid dan memiliki paruh eliminasi sekitar 12 jam.

Clonazepam
Clonazepam memiliki waktu paruh 30-40 jam. Karena mungkin diperlukan waktu
lebih dari 1 minggu untuk mencapai keadaan stabil, pasien usia lanjut mungkin
berisiko lebih tinggi untuk mengalami kelambatan progresif, ataksia, dan
perlambatan psikomotor (Stoudemire, Fogel, & Gulley, 1991). Profil
farmakodinamik clonazepam dapat memberikan “self-taper” fisiologis bertahap.
Sebagai contoh, Patterson (1988) menjelaskan detoksifikasi yang sukses pada
sepuluh pasien yang bergantung alprazolam, menggantikan clonazepam untuk
alprazolam secara setara miligram-untuk-miligram dan kemudian menghentikan
clonazepam. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa clonazepam adalah salah
satu benzodiazepin yang paling tidak sedatif. Ini adalah benzodiazepine yang
sangat baik untuk pengobatan gangguan panik (Nardi et al., 2013).

Quazepam
Quazepam adalah benzodiazepine yang sangat lipofilik yang disetujui oleh FDA
untuk digunakan sebagai obat penenang-hipnotik. Ini cepat diserap dan mencapai
konsentrasi plasma puncak 1,5 jam setelah konsumsi dosis oral. Quazepam secara
ekstensif dimetabolisme di hati, dengan waktu paruh eliminasi 41 jam, meskipun,
seperti yang disebutkan di atas, ia dimetabolisme menjadi metabolit paruh waktu
yang sama seperti flurazepam, desalkylflurazepam (Kales, 1990). Dosis yang
dianjurkan adalah 15 mg per oral untuk dewasa muda dan 7,5 mg per oral untuk
pasien lanjut usia. Parasut eliminasi panjangnya mengurangi risiko rebound
insomnia dan gejala penarikan, dengan mengorbankan peningkatan risiko
akumulasi dan sedasi siang hari. Karena lebih lambat diserap dan harganya sedikit
lebih mahal daripada flurazepam, tampaknya tidak menawarkan keuntungan
khusus dibandingkan hipnotik yang sudah ada untuk penggunaan biasa (Medical
Letter, 1990). Untuk penggunaan sesekali, selektivitas relatif dari senyawa induk
dan 2-okso metabolitnya untuk reseptor BZ1 benzodiazepine mungkin relevan.
Secara khusus, dapat menyebabkan efek samping motorik dan kognitif yang
relatif kurang dari flurazepam setelah dosis tunggal. Namun, bahkan keuntungan
potensial ini tidak mapan. Induser Pgp dan Cyp450 3A4, seperti St John's wort,
dapat menurunkan kadar serum quazepam (Izzo & Ernst, 2009).

Estazolam
Estazolam, seperti triazolam, adalah turunan triazolobenzodiazepine dengan
khasiat sedatif-hipnotik. Ini cepat diserap, dengan waktu rata-rata untuk
konsentrasi plasma maksimum kurang dari 2 jam, dan waktu paruh sekitar 14 jam
(Gustavson & Carrigan, 1990), yang mirip dengan temazepam. Estazolam
dimetabolisme melalui oksidasi mikrosomal dan tidak memiliki metabolit aktif
yang signifikan. CyP450 3A4 adalah enzim hati utama yang bertanggung jawab
(Miura, Otani, & Ohkubo, 2005). Dosis harian yang biasa adalah 1-2 mg (uji
klinis telah menemukan 2 mg estazolam sebanding dengan 30 mg flurazepam;
lihat Cohn et al., 1991; Scharf et al., 1990). Meskipun secara klinis berkhasiat, ada
kekhawatiran bahwa estazolam dapat berbagi peningkatan toksisitas dan
peningkatan risiko sindrom penarikan-mundur dengan triazolobenzodiazepine
lainnya, triazolam dan alprazolam.

Midazolam
Midazolam terutama digunakan sebagai preanesthetic parenteral dalam induksi
anestesi umum dan untuk sedasi sebelum prosedur diagnostik singkat seperti
endoskopi. Ini dapat diberikan secara intramuskular atau intravena. Namun,
tindakan penenang dan anxiolytic, onset sangat singkat dan durasi tindakan, dan
pilihan penggunaan parenteral menunjukkan kegunaan potensial untuk pasien
psikiatris. Gagasan ini telah didukung oleh laporan kasus dalam literatur psikiatris
tentang kemanjurannya dalam penatalaksanaan pasien yang sangat gelisah dan
psikotik (Bond, Mandos, & Kurtz, 1989; Mendoza et al., 1987). Midazolam
sangat lipofilik pada pH fisiologis dan, tidak seperti kebanyakan benzodiazepin,
cepat dan diserap dengan baik secara intramuskular (Matson & Thurlow, 1988).
Ini memiliki onset yang sangat cepat dari efek CNS, dengan sedasi yang terjadi
dalam 5-15 menit setelah injeksi intramuskular (3-5 menit setelah pemberian
intravena) dan mencapai puncaknya dalam 30-60 menit. Midazolam dengan cepat
dipindahkan dari reseptor benzodiazepine dan memiliki durasi kerja singkat
sekitar 2 jam, dengan kisaran 1-6 jam (Bond, Mandos, & Kurtz, 1989). Waktu
paruh biologisnya hanya 1,3 hingga 2,2 jam (Beck, Salom, & Holzer, 1983).
Midazolam mengalami biotransformasi yang luas ke metabolit aktif farmakologi
utamanya, 1 hidroksi-methylmidazolam, dengan cara oksidasi mikrosomal. Pasien
yang sakit kritis, termasuk bayi dan anak-anak, mungkin mengalami tingkat serum
midazolam yang lebih tinggi untuk setiap dosis yang diberikan karena penyakit
terkait penurunan aktivitas CyP450 3A4 (Ince et al., 2012). Interaksi obat-obat
yang dimediasi melalui CyP450 3A4 dan isoenzim 3A yang terkait dapat
memiliki efek mendalam pada kadar serum midazolam (Lichtenbelt et al., 2010).
Masalah penyakit dan interaksi obat-obat dapat menjadi masalah yang sangat
penting untuk penggunaan midazolam, karena sering diberikan kepada pasien
yang sangat sakit yang menerima banyak obat. Ada juga bukti bahwa ada
perbedaan yang signifikan terkait usia dalam pembersihan midazolam dengan
penurunan izin pada pasien usia lanjut, terutama pria lanjut usia (Holazo, Winkler,
& Patel, 1988). Oleh karena itu, dosis awal yang lebih rendah direkomendasikan
pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun. Meskipun obat umumnya ditoleransi
dengan baik, seperti benzodiazepin lainnya, depresi pernafasan (termasuk apnea)
telah dikaitkan dengan penggunaan intravena. Selain itu, ada laporan kasus
hipotensi (Matson & Thurlow, 1988), disinhibisi perilaku agresif (Bobo & Miwa,
1988), paranoia sementara dan agitasi (Burnakis & Berman, 1989), dan delirium,
terutama pada orang tua. Usia lanjut dan penggunaan opiat masing-masing terkait
dengan peningkatan risiko kebingungan akut di hadapan midazolam (Colombo et
al., 2012). Ini mungkin disebabkan sebagian karena sedasi pernapasan midazolam
yang digambarkan dengan baik, yang mungkin lebih besar di antara orang tua
(Fredman et al., 1999; Huang, Chen, Yang, & Liu, 2012). Midazolam dapat
menginduksi episode anterograde amnestic, terutama ketika digunakan secara
intravena selama prosedur medis. Amnesia retrograd biasanya tidak tercapai.
Tetapi pada dasarnya semua pasien yang diberi midazolam akan memiliki
anterograde Tetapi pada dasarnya semua pasien yang diberi midazolam akan
memiliki amnesia anterograde jika midazolam cukup diberikan. Dalam satu
penelitian, 5 mg yang diberikan secara intravena cukup untuk menghasilkan
anterograde amnesia pada semua pasien (Bulach et al., 2005). Midazolam kira-
kira tiga hingga empat kali lebih kuat per miligram seperti diazepam, dan dosis
intramuskular awal adalah 0,07-0,08 mg / kg, dengan dosis rata-rata pada orang
dewasa yang sehat adalah 5 mg dan dosis yang lebih rendah yang
direkomendasikan pada pasien lanjut usia atau yang lemah. Pedoman dosis dalam
pengaturan psikiatri tidak ditetapkan. Kadang-kadang, midazolam dapat
membantu dalam pengelolaan perilaku agresif. Bond, Mandos, dan Kurtz (1989)
melaporkan tiga kasus penggunaan midazolam dalam pengobatan pasien retardasi
mental dengan agresivitas dan kekerasan akut dan refrakter, menggunakan 5- 10
mg midazolam yang diberikan secara intramuskular. Para pasien (seorang anak
perempuan berusia 14 tahun, seorang anak laki-laki berusia 17 tahun, dan seorang
pria berusia 26 tahun) menunjukkan perbaikan yang cepat dalam perilaku agresif.
Mendoza dkk. (1987) melaporkan tiga pasien dengan keadaan psikotik akut
dengan hyperarousal yang merespon dengan baik ketika diobati dengan dosis
rendah midazolam dalam pengaturan ruang gawat darurat psikiatri. Para pasien
termasuk seorang anak laki-laki berusia 17 tahun, seorang pria 38 tahun, dan
seorang wanita 34 tahun. Para penulis mencatat onset sedasi pada pasien ini
terjadi dalam 6 sampai 8 menit, dengan sedasi yang berlangsung sekitar 90 menit
setelah dosis intramuskular 2,5-3 mg. Penelitian yang lebih baru dan lebih besar
melukiskan gambaran yang kurang optimis. Satu penelitian secara acak dari 301
pasien dibandingkan dengan injeksi intramuskular midazolam 15 mg untuk agitasi
pada pasien psikotik terhadap kombinasi intramuskuler haloperidol 10 mg dan
promethazine 50 mg. Tertidur atau tenang di 20 menit adalah ukuran hasil utama.
Kedua rejimen sama efektif dalam mencapai ini. Namun, 6% lebih dari kelompok
midazolam mengalami episode kedua agresi. Ada satu episode depresi pernafasan
pada kelompok midazolam, dan tidak ada satu pun di kelompok lain (TREC
Collaborative Group, 2003). Sebuah studi besar, acak, double-blind yang
melibatkan 150 pasien dibandingkan olanzapine, ziprasidone, haloperidol plus
midazolam, haloperidol plus promethazine, atau haloperidol saja dalam
pengelolaan agitasi akut. Setelah 12 jam, hanya kelompok yang diacak untuk
menerima haloperidol plus midazolam yang memiliki tingkat agitasi tinggi.
Mereka juga memiliki efek samping terbanyak (Baldaçara, Sanches, Cordeiro, &
Jackoswski, 2011).

NONBENZODIAZEPINE ANXIOLYTICS DAN HYPNOTICS


BUSPIRONE
Buspirone adalah anxiolytic nonbenzodiazepine yang bebas dari efek samping
depresi pernapasan dan juga tidak memiliki gejala penarikan pada penghentian
(Apter & Allen, 1999). Waktu paruh eliminasi rata-rata Buspirone adalah 2
hingga 3 jam, meskipun metabolitnya mungkin memiliki eliminasi paruh waktu 6
hingga 8 jam (Jann, 1988). Sementara buspirone memiliki aktivitas ansiolitik yang
signifikan, ia tidak mengandung antikonvulsan, relaksan otot, dan aktivitas
sedatif-hipnosis. Tidak ada efek sinergis atau aditif antara buspirone dan alkohol
atau sedatif-hipnotik lainnya. Farmakokinetik obat telah dipelajari pada pasien
dengan gangguan fungsi hati dan ginjal. Pada pasien dengan sirosis hati, setelah
dosis 20mg tunggal, waktu paruh eliminasi adalah 6,21 vs 1,79 jam pada pasien
dengan sirosis dibandingkan 4,19 vs 0,53 jam pada subyek sehat (Dalhoff et al.,
1987; Goa & Ward, 1986). Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, termasuk
beberapa yang benar-benar anurik, buspirone clearance menurun antara 33% dan
50%, tanpa korelasi antara tingkat keparahan gangguan ginjal dan pembersihan
buspirone (Gammans, Mayol, & Labudde, 1986). Oleh karena itu, pengurangan
kecil dalam dosis buspirone mungkin diperlukan pada pasien dengan penyakit hati
dan ginjal, meskipun perpanjangan eliminasi paruh waktu yang dilaporkan oleh
hati atau gagal ginjal kemungkinan akan mewakili efek dari magnitudo yang lebih
kecil daripada perbedaan interindividual normal dalam dosis optimal. . Efek
samping umumnya tidak lebih sering atau berat di antara pasien dengan gangguan
ginjal atau hati (Barbhaiya et al., 1994). Tidak ada perpanjangan signifikan
farmakokinetik buspiron secara signifikan pada pasien usia lanjut yang telah
diamati (Gammans et al., 1989). Namun, farmakokinetik sangat bervariasi dalam
populasi umum, menyiratkan kebutuhan untuk menyesuaikan dosis.

MELATONIN
Melatonin menghabiskan kinerja psikomotor, tidak seperti agen seperti zaleplon,
zopiclone dan temazepam (Paul, Gray, Kenny, & Pigeau, 2003). Melatonin
mudah melintasi penghalang darah-otak dan merangsang reseptor endogen,
mendorong tidur. Melatonin secara tidak langsung juga mempromosikan
pelepasan GABA dan menghambat pelepasan glutamat (Banach, Gurdziel,
Jędrych, & Borowicz, 2011). Melatonin tidak memiliki toksisitas yang diketahui
dalam pengaturan akut. Ini bukan mutagen dalam tes Ames (Anisimov, 2003).
Melatonin endogen dimetabolisme melalui CyP450 1A (Rifkind, 2006). Dosis
melatonin oral 0,1-0,3 mg mencapai kadar serum yang mirip dengan yang
biasanya terlihat pada malam hari. Latensi tidur berkurang, dan durasi tidur
diperpanjang (Dollins, Zhdanova, Wurtman, Lynch, & Deng, 1994). Karena
sifatnya yang relatif ramah, serta efek antioksidan yang kuat, penggunaan
melatonin telah direkomendasikan untuk berbagai gangguan termasuk penyakit
Alzheimer, infark miokard, dan diabetes (Korkmaz dkk., 2012; Sánchez-Barceló
et al., 2010) . Dosis melatonin lebih dari 0,3 mg dapat menyebabkan peningkatan
melatonin serum yang berlarut-larut, dan karenanya sedasi siang hari yang
persisten. Dalam beberapa kasus, sementara melatonin mengurangi waktu yang
diperlukan untuk tertidur itu tidak memperpanjang tidur, dan pasien tidur tidur
jumlah waktu yang sama dan bangun lebih awal (Gringras et al., 2012).

RAMELTEON
Bioavailabilitas ramelteon oral adalah sekitar 2%. Waktu paruh eliminasi adalah
1–3 jam, dan metabolit aktifnya adalah 2-5 jam. Lebih dari 80% obat
diekskresikan sebagai metabolit dalam urin. Metabolisme terutama melalui
CyP450s 1A2 dan 2C19, dengan kontribusi kecil dari 3A4 (Obach & Ryder,
2010). Ramelteon adalah agonis reseptor melatonin MT1 dan MT2. Meskipun
metabolit aktifnya memiliki beberapa afinitas untuk reseptor serotonin 5HT2b,
tidak ada aktivitas yang signifikan pada reseptor lain termasuk reseptor GABA-A.
Secara signifikan efek samping pada gangguan kognisi dan kinerja psikomotor
diharapkan dengan ramelteon dibandingkan dengan agen yang aktif melalui
reseptor GABA-A (Mets et al., 2011). Ramelteon tidak memiliki efek penarikan
yang signifikan atau menyebabkan rebound insomnia saat penghentian. Tidak ada
efek yang signifikan pada respirasi di antara pasien dengan masalah paru yang
ditempatkan pada ramelteon (Greenberg & Goss, 2009). Somnolen adalah efek
samping yang paling umum dengan ramelteon dan dapat mempengaruhi 5%
pasien (Kohsaka et al., 2011).

ESZOPICLONE
Eszopiclone adalah s-enansiomer zopiclone, agen nonbenzodiazepine yang
merupakan modulator alosterik dari saluran GABA-A. Waktu paruh eliminasinya
adalah 6 jam. Obat ini 50% hingga 60% terikat protein. Lebih dari 75%
dihilangkan dalam urin sebagai metabolit; kurang dari 10% ditemukan dalam urin
sebagai senyawa induk. Eszopiclone dimetabolisme melalui CyP450 3A4.
Inhibitor CyP450 3A4, serta usia lanjut dan penyakit hati memperpanjang waktu
paruh eliminasi (Greenblatt & Zammit, 2012). Sementara sedasi dan pusing
memang terjadi pada sebagian kecil pasien, dysgeusia tergantung dosis adalah
efek samping yang paling umum. Antara 20% dan 60% pasien yang diresepkan
eszopiclone akan mengalami dysgeusia (Uchimura, Kamijo, & Takase, 2012).
Ada peningkatan rasio risiko 1,4 untuk mengembangkan infeksi selama
pengobatan dengan zopiclone atau eszopiclone. Ini biasanya ringan. Alasan untuk
asosiasi ini tidak jelas (Joya, Kripke, Loving, Dawson, & Kline, 2009).

ZALEPLON
Bioavailabilitas zaleplon oral adalah sekitar 30% (Drover, 2004). Waktu paruh
eliminasi zaleplon adalah satu jam. Sekitar 70% dari obat diekskresikan dalam
urin sebagai metabolit dan 17% dalam tinja sebagai metabolit. Hampir tidak ada
obat yang tidak berubah ditemukan dalam urin. Zaleplon memiliki hubungan yang
lebih lemah dengan mortalitas dan kanker daripada zolpidem dan temazepam,
berdasarkan data yang tersedia (Kripke et al., 2012). Overdosis dengan zaleplon
dapat menyebabkan ataksia, kebingungan, halusinasi, takikardia, dan muntah,
tetapi ini biasanya tidak mengancam jiwa (Forrester, 2006). Keuntungan dari
zaleplon adalah waktu paruh eliminasi yang sangat singkat membantu
meminimalkan gangguan kognitif pada hari berikutnya (Lieberman, 2007).

ZOLPIDEM
Di antara agen yang digunakan untuk insomnia, zolpidem memiliki hubungan
yang relatif kuat dengan jatuh dan patah tulang. Di antara 1.508 pasien dengan
fraktur dan insomnia, Kang dan rekannya mencatat risiko relatif 1,72 (95% CI:
1,37-2,16) memiliki patah tulang di antara pasien yang memakai zolpidem. Risiko
relatif di antara pasien yang memakai benzodiazepine adalah 1,00 (Kang et al.,
2012). Overdosis Zolpidem memiliki presentasi umum yang sama dengan
overdosis dengan zaleplon, meskipun zolpidem lebih mungkin menyebabkan efek
samping yang membutuhkan perhatian medis (Forrester, 2006). Zolpidem
tampaknya aman untuk pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik ringan
sampai sedang stabil dan untuk pasien dengan sleep apnea yang diobati (Estivill et
al., 2003). Zolpidem tersedia baik sebagai agen rilis langsung dan sebagai agen
rilis diperpanjang. Formulasi extended-release memungkinkan 60% dari agen
aktif untuk diambil segera, sementara 40% sisanya dilepaskan secara perlahan. Ini
mengurangi konsentrasi serum puncak dan memperpanjang durasi kerja hingga 3
jam. Dua perbedaan penting antara indikasi pelepasan segera dan rilis
berkelanjutan zolpidem adalah bahwa yang terakhir diindikasikan untuk
pemeliharaan tidur, tidak hanya promosi tidur, dan juga dapat digunakan secara
kronis (Lieberman, 2007). Zolpidem menggunakan ha juga dikaitkan dengan
kanker. Rasio bahaya untuk kanker mulut di antara pasien yang mengonsumsi
lebih dari 300 mg zolpidem dalam setahun dilaporkan oleh Kao dan rekan (2012)
menjadi 2,36 (95% CI: 1,57 hingga 3,56).

ZOPICLONE
Bioavailabilitas zopiclone oral umumnya 70% -80%. Waktu paruh eliminasi
biasanya berkisar 3,5-6,5 jam. Protein plasma mengikat berkisar dari 45% -80%
(Drover, 2004; Fernandez, Martin, Gimenez, & Farinotti, 1995). Penginduksi
ampuh CyP450 3A4, seperti carbamazepine, phenytoin dan rifampicin,
mempercepat eliminasi dan mengurangi efek zopiclone (Villikka, Kivistö
Lamberg, Kantola, & Neuvonen, 1997). Zopiclone menyerupai zolpidem karena
relatif aman untuk pasien dengan penyakit paru. Tidak ada agen yang secara
signifikan merusak pernafasan saat digunakan dalam dosis yang dianjurkan
(Estivill et al., 2003). Seperti yang dibahas untuk eszopiclone, ada peningkatan
risiko infeksi dengan zopiclone et al., 2009).

ANTICONVULSANTS SEBAGAI PSIKOTROPIK


Sebagaimana dicatat, dalam beberapa tahun terakhir antikonvulsan telah
memasuki arus utama praktik psikofarmakologis. Carbamazepine (Tegretol),
valproate (Depakote, Depakene), dan lamotrigin (Lamictal) dan topiramate
(Topamax) semuanya telah banyak digunakan untuk indikasi psikiatri.
Antikonvulsan telah menemukan tempat yang sangat penting sebagai alternatif
atau tambahan untuk lithium dalam pengobatan gangguan bipolar (Goodwin &
Jamison, 1990; Paus et al., 1991; Prien & Gelenberg, 1989).

CARBAMAZEPINE
Masalah yang harus dipertimbangkan ketika meresepkan carbamazepine untuk
pasien sakit medis termasuk toksisitas hematologi, toksisitas hati, efek quinidine-
seperti pada konduksi jantung, tindakan antidiuretik, induksi enzim yang
mengarah ke interaksi obat, interpretasi klinis tingkat darah karbamazepin, dan
manajemen overdosis carbamazepine. Salah satu tindakan farmakokinetik yang
lebih penting dari carbamazepine adalah induksi metabolisme sendiri, serta
banyak obat lain yang dimetabolisme melalui sitokrom hati P450. Efek ini
biasanya membutuhkan waktu 10 hingga 14 hari untuk menjadi maksimal. Pada
saat ini kadar serum carbamazepine harus diperiksa, karena mungkin menjadi
subterapeutik. Hal yang sama berlaku untuk banyak obat lain yang digunakan
bersamaan dengan carbamazepine. P-glikoprotein tampaknya tidak terpengaruh
oleh carbamazepine (Magnusson, Dahl, Cederberg, Karlsson, & Sandström,
2008). Interaksi yang sangat umum dan relevan untuk praktik medis-psikiatris
adalah interaksi karbamazepin dengan calcium channel blockers diltiazem dan
verapamil. Kedua obat ini, tetapi tidak nifedipine, meningkatkan kadar
carbamazepine secara substansial, sering menghasilkan toksisitas seperti ataxia
jika dosis carbamazepine tidak diturunkan (Bahls, Ozuna, & Ritchie, 1991;
Wijdicks, Arendt, & Bazzell, 2004). Carbamazepine sekarang tersedia dalam
persiapan jangka panjang.

VALPROATE
Depakene adalah asam valproik, dan Depakote adalah natrium divalproex, yang
merupakan senyawa stabil dari sodium valproate dan asam valproat yang dibentuk
oleh efek penetral sodium hidroksida. Oleh karena itu, sodium valproate
menyebabkan lebih sedikit efek samping gastrointestinal dan jauh lebih
ditoleransi daripada asam valproat. Masalah yang harus dipertimbangkan ketika
meresepkan valproate untuk pasien sakit medis termasuk (1) efek samping
gastrointestinal, (2) toksisitas hati, (3) efek pada koagulasi, (4) interaksi obat, (5)
interpretasi klinis tingkat darah, dan (6) ) manajemen overdosis.

LAMOTRIGINE
Lamotrigin pada satu waktu menginspirasi minat yang besar untuk digunakan
dalam gangguan bipolar, tetapi dalam beberapa tahun terakhir keterbatasannya
telah menjadi lebih jelas. Meskipun obat jelas memiliki nilai dalam pengelolaan
depresi pada gangguan bipolar, obat ini tidak dianggap sebagai agen lini pertama
yang efektif untuk mania. Ini sering digunakan, bagaimanapun, sebagai terapi
pemeliharaan dalam gangguan bipolar (Tränkner, Sander, & Schönknecht, 2013).
Lamotrigin tidak direkomendasikan sebagai monoterapi pada gangguan bipolar
(Bowden & Singh, 2012). Lamotrigin menyebabkan pusing pada 25% pasien,
diplopia (21%), ataxia (16%), penglihatan kabur (11%), somnolen (7%),
eksaserbasi kejang (3% -4%), dan depresi atau psikosis ( kurang dari 1% pasien).
Lamotrigin dapat menyebabkan tersentak mioklonik dosis tergantung. Ini telah
diamati terutama pada pasien dengan epilepsi umum idiopatik (Crespel et al.,
2005). Penghentian tiba-tiba lamotrigin dapat menyebabkan peningkatan
frekuensi kejang. Secara ekstrim, status epileptikus dapat terjadi dengan
rhabdomyolysis sekunder dan kegagalan organ multisistem (Pellock, 1994;
Schmidt & Kramer, 1994; Wang-Tilz et al., 2005). Mungkin efek samping
lamotrigin yang paling terkenal adalah risiko terkena ruam. Mungkin 8% orang
dewasa yang menerima lamotrigin akan mengembangkan ruam. Ini biasanya ruam
maculopapular jinak yang berkembang dalam 4 bulan pertama pengobatan.
Sekitar 0,1% pasien mengalami ruam yang serius, seperti sindrom Stevens-
Johnson. Di antara anak-anak dan remaja, risiko ruam tampak lebih tinggi. Dalam
satu penelitian terhadap 102 pasien tersebut, 23 mengalami ruam dalam 7 minggu
pertama pengobatan dengan lamotrigin. Salah satu kasus ini adalah sindrom
Stevens-Johnson (Tak et al., 2012). Peringatan kotak hitam untuk lamotrigin ada
untuk ruam pada anak-anak. Faktor risiko lain untuk ruam lamotrigin yang
diinduksi termasuk pemberian asam valproik, titrasi cepat ke atas obat, dan dosis
obat yang lebih tinggi. Metabolisme lamotrigin diinduksi oleh acetaminophen,
carbamazepine, dan phenytoin. Asam valproat meningkatkan tingkat serum
lamotrigin. Lamotrigin dapat secara farmakodinamik meningkatkan aktivitas L-
dopa dalam pengobatan parkinsonisme (Meldrum, 1994; Patsalos & Duncan,
1993). Lamotrigin tampaknya menjadi substrat Pgp (Lovrić et al., 2012), dan
distribusinya mungkin dipengaruhi oleh obat lain yang bekerja pada atau melalui
Pgp. Lamotrigin juga merupakan substrat untuk transporter kation organik 1
(OCT1), yang, seperti Pgp, melapisi penghalang darah-otak. Inhibitor OCT1,
seperti quetiapine, dapat berkonsentrasi lamotrigin di organ target (Dickens et al.,
2012).

INHIBITOR OXIDASE MONOAMINE


Meskipun pengenalan banyak psikotropika baru, MAOI tetap merupakan
alternatif penting untuk beberapa kondisi, termasuk depresi atypical atau tricyclic-
refractory, gangguan panik / agoraphobia, fobia sosial, dan untuk beberapa pasien
dengan gangguan obsesif kompulsif dan gangguan stres pasca trauma. Beberapa
pasien memiliki respons terapeutik positif yang positif terhadap MAOI dengan
respon yang buruk terhadap semua obat lain yang tersedia. Ketika pasien tersebut
memiliki penyakit medis bersamaan yang signifikan, situasi muncul di mana
risiko dan manfaat harus seimbang, dan strategi klinis harus digunakan untuk
mengandung risiko yang tidak dapat dihindari sepenuhnya. Bagian ini membahas
beberapa masalah, termasuk (1) anestesi umum untuk pasien dengan MAOI, (2)
interaksi obat, (3) tindakan pencegahan diet, dan (4) manajemen efek samping
yang penting secara medis. Sebelum membahas masalah ini, kami meninjau
beberapa perbedaan penting antara MAOI yang paling sering diresepkan di
Amerika Serikat: phenelzine (Nardil), tranylcypromine (Parnate), dan selegiline
(Eldepryl) dan sistem transdermal selegiline (Emsam). Phenelzine,
tranylcypromine, dan transdermal selegiline disetujui FDA untuk indikasi
psikiatri. Selegiline oral disetujui untuk pengobatan penyakit Parkinson tetapi
dapat menjadi antidepresan yang efektif bila digunakan pada dosis yang lebih
tinggi yang cukup untuk menghasilkan inhibisi MAOA dan MAOB isoenzim
yang tidak selektif (Mann et al., 1989). Moclobemide, inhibitor MAOA reversibel
selektif dengan sedikit kemungkinan reaksi tyramine, saat ini tidak tersedia di
Amerika Serikat (tersedia di Kanada). Penting juga untuk dicatat bahwa MAOI
isocarboxazide juga tersedia di pasar AS. Linezolid (Zyvox) dipasarkan sebagai
antibiotik, tetapi juga merupakan MAOI. Linezolid secara reversibel dan secara
kompetitif menghambat MAOA. Perbedaan utama pertama di antara ketiga obat
adalah bahwa fenelzin dan tranylcypromine adalah MAOI yang tidak selektif
(menghambat MAOA dan MAOB), sedangkan selegiline adalah inhibitor selektif
MAOB pada dosis hingga sekitar 20 mg / hari. Ketika selegiline digunakan pada
dosis yang lebih rendah, antiparkinson ini, tidak ada pembatasan diet atau
tindakan pencegahan interaksi obat yang diperlukan. Pada dosis yang lebih tinggi,
meskipun tindakan pencegahan mungkin diperlukan, sensitivitas tyramine
mungkin kurang dari dengan tranylcypromine pada dosis yang sebanding (Bieck
& Antonin, 1989; Wimbiscus, Kostenko, & Malone, 2010). Ketika digunakan
sebagai patch transdermal, 6 mg per hari efektif untuk pengobatan depresi.
Perhatikan bahwa bioavailabilitas selegiline transdermal adalah sekitar 75%,
dibandingkan 4% hingga 5% untuk selegiline oral (Wimbiscus et al., 2010).
Sementara beberapa penulis menyarankan bahwa tidak ada penyesuaian dosis
yang diperlukan untuk selegiline di hadapan gangguan hati atau ginjal, atau faktor
lain yang secara rutin dianggap seperti usia, yang lain mencatat bahwa ini
mungkin tidak berlaku untuk semua pasien. Misalnya, Nagler dan rekan (2012)
berpendapat untuk pengurangan dosis jika selegiline diberikan kepada pasien
dengan stadium 3-5 penyakit ginjal kronis. Moclobemide adalah inhibitor
reversibel MAOA. Keuntungan potensial utamanya dalam sakit medis adalah
bahwa hal itu biasanya tidak menyebabkan penambahan berat badan seperti
inhibitor MAOA / B klasik. Juga sangat kecil kemungkinannya untuk
menyebabkan reaksi tyramine pada tingkat dosis normal dibandingkan dengan
inhibitor MAOA / B nonselektif seperti phenelzine. Karena MAOA bertanggung
jawab atas degradasi serotonin dan noradrenalin, itu setidaknya merupakan
perhatian teoritis ketika pasien dengan penyakit endotel berat seperti hipertensi
dimulai pada inhibitor MAOA. Pasien-pasien tersebut mungkin berisiko untuk
mengembangkan toksisitas katekolaminergik atau serotonergik jika inhibitor
MAOA diberikan bersamaan dengan agen noradrenergik atau serotonergik, seperti
stimulan dekongestan atau SSRI. Moclobemide menyebabkan beberapa stimulasi
yang berlebihan terkait dosis pada sekitar 3% pasien yang menyebabkan agitasi
atau insomnia; efek samping yang lebih parah jarang terjadi. Kejang dapat terjadi
pada sekitar 1,5% pasien; ini terutama pasien yang memiliki gangguan kejang
yang sudah ada sebelumnya. Reaksi hipertensi berat telah dicatat, biasanya
bersamaan dengan konsumsi tyramine, pada sekitar 0,2% pasien, tetapi reaksi
tyramine jauh lebih kecil dibandingkan dengan kombinasi inhibitor MAOA / B.
Hepatotoksisitas jarang terjadi tetapi mungkin pertama kali bermanifestasi sebagai
encephalopathy (Brown & Stoudemire, 1998). Efek samping kardiovaskular
jarang dan terutama terdiri dari takikardia. Laporan sesekali muncul kelainan
EKG, tanpa pola yang konsisten (Chen & Ruch, 1993). Kemungkinan
menginduksi sindrom serotonin selama pengobatan dengan moclobemide penting
untuk dipertimbangkan karena dua alasan. Pertama, ini menggarisbawahi reaksi
patofisiologi diprediksi ke moclobemide untuk beberapa pasien. Kedua, meskipun
jarang, sindrom serotonin kadang-kadang fatal. Interaksi obat secara potensial
merupakan penyebab toksisitas yang penting dengan moclobemide. Yang paling
jelas dicatat di atas, seperti konsumsi stimulan, (misalnya, fenilpropanolamin
dengan moclobemide; interaksi-interaksi penting-farmakodinamik lainnya
termasuk coingestion of opiat seperti morfin atau dextropropoxyphene
withmoclobemide. Dalam kasus seperti itu, stimulasi berlebihan dari sistem
centralnervous dapat terjadi. Cimetidine dapat memperpanjang 1 jam hingga 3
jam paruh waktu normal moclobemide oleh 100%.

Anda mungkin juga menyukai