DERMATITIS ATOPIK
Oleh :
SANYUKI KHOIRUNNISA
22004101025
Dosen Pembimbing :
dr. I.G.A. Kencana Wulan, Sp.KK.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya, sholawat serta salam yang kami junjungkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran sehingga dalam
penyelesaian tugas ini kami dapat memilah antara yang baik dan buruk. Kami mengucapkan
terima kasih kepada dr. I.G.A Kencana Wulan, Sp.KK selaku dosen pembimbing pada Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin yang memberikan bimbingan dalam menempuh pendidikan ini.
Tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sehingga dalam
Referat ini membahas terkait penyakit Dermatitis Atopik. Kami menyadari dalam
referat ini belum sempurna secara keseluruhan oleh karena itu kami dengan tangan terbuka
Demikian pengantar kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua. Amin.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1
1.3 Tujuan............................................................................................................................... 2
1.4 Manfaat............................................................................................................................. 2
BAB II ................................................................................................................................................. 3
ii
BAB III .............................................................................................................................................. 26
PENUTUP......................................................................................................................................... 26
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
berulang atau kambuhan. Penyakit ini dapat terjadi pada bayi dan anak-anak serta
peningkatan serum IgE dan adanya riwayat atopik, rinitis alergi dan atau asma
prevalensi kasus penyakit ini menempati peringkat pertama dari 10 besar penyakit
kulit anak yaitu sebanyak 611 kasus atau sebesar 23,67%. Dermatitis atopik lebih
sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki dengan ratio kira-kira 1,3:1
(Sularsito, 2011).
Dermatitis atopik secara klinis dapat dibagi berdasarkan usia dimana lesi
tipikal pada daerah tertentu, yaitu fase bayi (infantile type), fase anak (childhood
type) dan fase dewasa (adult type) (Santoso, 2010). Dermatitis atopik pada bayi
(infatile type) dialami oleh usia dibawah 2 tahun gejalanya lesi pada daerah wajah,
kulit kepala, dan ekstremitas bagian ekstensor. Dermatitis atopik pada anak
(childhood type) dengan usia 2 tahun sampai 12 tahun dengan gejala lesi klinis
pada area fleksural terutama lipat siku dan lipat lutut. Dermatitis atopik pada
2
dewasa (adult type) lebih dari 12 tahun secara klinis ditandai dengan likenifikasi
eksogen. Faktor endogen yang berperan, meliputi disfungsi sawar kulit, genetik,
hipersensitivitas, dan faktor psikis. Faktor eksogen pada dermatitis atopik meliputi
bahan iritan, alergen, suhu, infeksi, dan lingkungan. Faktor endogen lebih
(Boediardja, 2006).
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dermatitis Atopik
2.1.1 Pengertian
dari kata atopos (Yunani) yang berarti out of Place atau Strange disease. Kata
atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca and Cooke (1923), yaitu suatu istilah
yang ditujukan bagi sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat
disertai gatal. Dermatitis atopik pada umumnya terjadi selama masa bayi dan
anak-anak, serta dapat menetap hingga dewasa. Penyakit ini sering berhubungan
dengan peningkatan kadar IgE serum dan riwayat atopik pada keluarga atau
penderita (dermatitis atopik, rinitis alergika dan atau asma bronkial) (Leung dkk.,
2012). Penyakit ini memiliki nama lain eksema atopik, prurigo besnier, atau
2.1.2 Epidemiologi
menengah ke bawah. Diperkirakan sekitar 10-20 % anak dan 1-3% orang dewasa
Sebanyak 45% dari semua kasus dermatitis atopik dimulai pada bayi
dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% mulai pada tahun pertama, dan 85%
dimulai sebelum usia 5 tahun. Sekitar 70% dari anak-anak ini memiliki remisi
spontan sebelum masa remaja. Penyakit ini juga dapat terjadi pertama kali pada
dari populasi, dengan penderita terbanyak anak-anak dan individu usia produktif.
menempati peringkat pertama dari 10 besar penyakit kulit anak (Sularsito, 2011).
2.1.3 Etiologi
terhadap penyakit dermatitis atopik. Faktor endogen lebih berperan sebagai faktor
(Boediardja, 2006).
a) Faktor Endogen
1) Sawar kulit
2011). Penderita dermatitis atopik pada umumnya memiliki kulit yang relatif
kering baik di daerah lesi maupun non lesi, dengan mekanisme yang kompleks
dan terkait erat dengan kerusakan sawar kulit. Hilangnya ceramide di kulit, yang
korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi pH kulit
kulit mengakibatkan peningkatan Trans Epidermal Water Loss (TEWL) 2-5 kali
normal, kulit akan makin kering dan merupakan port d’entry untuk terjadinya
penetrasi alergen, iritasi, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien dermatitis atopik
Selain itu, faktor luar (eksogen) yang dapat memperberat keringnya kulit adalah
suhu panas, kelembaban yang tinggi, serta keringat berlebih. Penggunaan sabun
yang bersifat lebih alkalis dapat mengakibatkan gangguan sawar kulit. Gangguan
sawar kulit tersebut meningkatkan rasa gatal, terjadilah garukan berulang (siklus
penetrasi alergen, iritasi, dan infeksi menjadi lebih mudah (Boediardja, 2006).
2) Genetik
meningkat 50% apabila salah satu orangtuanya dermatitis atopik, 75% bila kedua
kembar monozigot sebesar 77% sedangkan kembar dizigot sebesar 25%. Dari
dermatitis atopik.
Kelainan genetik yang dimaksud adalah mutasi gen filaggrin (FLG). Gen
ini mengkode protein profilagrin menjadi filaggrin pada filamen keratohialin. Hal
ini akan membentuk keratinosit. Setelah keratinosit padat, protein FLG akan
kadar IgE dalam serum dan IgE di permukaan sel Langerhans epidermis. Data
statistik menunjukkan peningkatan IgE pada 85% pasien dermatitis atopik dan
7
proliferasi sel mast. Pada fase akut terjadi peningkatan IL-4, IL-5, IL-13 yang
diproduksi sel Th2, baik di kulit maupun dalam sirkulasi. Prostaglandin (PG) E2
dan IL-13 tetap tinggi. Pasien dermatitis atopik bereaksi positif terhadap berbagai
4) Faktor psikis
b) Faktor Eksogen
1. Iritan
iritan, antara lain sabun alkalis, bahan kimia yang terkandung pada berbagai obat
gosok untuk bayi dan anak, sinar matahari, dan pakaian wol (Boediardja, 2006).
2. Alergen
ini banyak dijumpai di dalam kamar tidur terutama di kasur, bantal, selimut bulu,
karpet bulu, mainan anak yang berbulu dan gorden. Di negara tropis seperti di
Indonesia sendiri lebih berpengaruh aeroalergen dalam rumah yang sebagian besar
sejenis tungau debu rumah (TRD) yang paling sering dikaitkan sebagai alergen
8
hirup pada kejadian dermatitis atopik. Beberapa komponen alergen dari tungau ini
salah satunya berupa cysteine protease yang dapat melemahkan barrier protein
sari bunga dan tumbuhan, jamur seperti Candida albicans dan Aspergillus, kecoa,
serpihan kulit, bulu binatang peliharaan seperti bulu anjing, kucing, kuda dan
b) Alergen makanan, khususnya pada bayi dan anak usia kurang dari 1
tahun (mungkin karena sawar usus belum bekerja sempurna). Konfirmasi alergi
dibuktikan dengan uji kulit soft allergen fast test (SAFT) atau double blind
pencetus dermatitis atopik antara lain, susu sapi, telur ayam, kacang-kacangan,
ikan laut. Selain itu, makanan seperti gandum, cokelat,tomat, dan bahan aditif
salisilat, sulfit) dan zat pewarna makanan (tartrazin) dapat juga menyebabkan
Keterangan : Tabel 1 menunjukkan jenis makanan dan protein yang sebagian besar bisa
menyebabkan alergi.
9
lesi dermatitis atopik dan hanya pada 5% populasi normal. Hal tersebut
inflamasi ditemukan 107 unit koloni setiap sentimeter persegi. Salah satu cara
atau protein S.aureus yang lain dapat mengindusi inflamasi kulit melalui sekresi
TNF-α oleh keratinosit atau efek sitotoksik langsung pada keratinosit (Soebaryo,
2009).
4. Lingkungan.
dermatitis atopik, misalnya asap rokok, polusi udara (nitrogen dioksida, sufur
dioksida), walaupun secara pasti belum terbukti. Suhu yang panas, kelembaban,
dan keringat yang banyak akan memicu rasa gatal dan kekambuhan dermatitis
2.1.4 Patogenesis
ditemukan meningkat pada 60-80% penderita. Selain itu juga ditemukan IgE yang
bronkial atau rhinitis alergik. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara
dermatitis atopik dengan kejadian alergi pada saluran napas (Thomsen, 2014).
melibatkan sel langerhans (SL) epidermis, limfosit, eosinofil dan sel mast. Pada
fase akut, bila suatu antigen (baik berupa alergen hirup, alergen makanan,
atopik, maka antigen tersebut akan ditangkap oleh antibodi IgE yang ada pada
langerhans epidermis dan sel dendritik dermis) dapat mengaktifkan sel T alergen
spesifik melalui antibodi IgE alergen spesifik (terikat pada reseptor FcεRI, FcεRII
dan IgE-binding protein). Sel langerhans dengan ikatan IgE dan antigen pindah
dari dermis ke saluran limfe dan kelenjar getah bening regional (regio
sel T memori. Untuk keluarnya sel T memori dari pembuluh darah ke kulit
diperlukan cutaneous leucocyte antigen (CLA). Diferensiasi sel T pada tahap awal
11
mononuklear pada lesi dermatitis atopik terutama berupa sel T CD4+ dan sedikit
Pada fase akut, sel B akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
plasma yang siap untuk memproduksi IgE spesifik yang akhirnya menyebabkan
darah, terjadi inflamasi pada kulit sehingga muncul lesi dermatitis atopik, dan
masuk untuk kedua kalinya atau terjadi stimulasi dari bahan iritan atau garukan,
maka akan dipresentasikan kepada sel T memori yang berada di di dermis kulit.
Kemudian Th1 akan melepaskan beberapa sitokin yaitu TNF-, IFN-, dan IL-12.
molekul, dan kemotaktik faktor yang menarik PMN dan makrofag serta
darah dan efek sampingnya terjadi inflamasi. Inflamasi ini akan mempengaruhi
bervariasi. Gejala utamanya adalah pruritus atau rasa gatal yang hilang timbul
sepanjang hari, tetapi biasanya lebih hebat pada malam hari. Akibat gejala ini
seperti papul, likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi, dan krusta. Kulit
penderita dermatitis atopik biasanya kering, pucat atau redup, kadar lipid dalam
Lesi akut pada dermatitis atopik dapat berupa eritema dengan papul,
vesikel, edema yang luas dan luka akibat menggaruk. Sedangkan lesi pada
stadium kronik berupa penebalan kulit atau likenifikasi. Selain itu dapat terjadi
fisura yang nyeri terutama pada fleksor, telapak tangan, jari dan telapak kaki. Pada
individu yang berkulit hitam atau coklat dapat ditemukan likenifikasi folikular
2.1.6 Klasifikasi
Dermatitis atopik secara klinis terbagi menjadi 3 fase yaitu (Leung dkk.,
2012):
umumnya setelah usia 2 bulan. Lesi diawali di kulit muka (dahi, pipi) dalam
pecah, eksudatif, dan akhirnya membentuk krusta dan dapat terjadi infeksi
sekunder. Pada usia 8-10 bulan lesi dermatitis dijumpai pada ekstensor lengan dan
kaki, hal ini dimungkingkan karena saat mulai merangkak area tersebut terpapar
gaya gesekan dari gerakan bayi dan mulai terpapar bahan-bahan iritan dan
Pada usia sekitar 18 bulan mulai timbul likenifikasi (Sularsito, S,A., &
Djuanda, A., 2008). Sebagian besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun dan
Gambar 2.4 Dermatitis Atopik Infantile Type (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).
Keterangan : Gambar diatas merupakan manifestasi klinis penyakit dermatitis atopik pada fase
infantil.
14
Gambar 2.5 Tempat Predileksi Dermatitis Atopik pada Infantile Type (Judarwanto, 2009).
Keterangan : Gambar diatas merupakan tempat predileksi dermatitis atopik pada fase infantile.
Fase anak dapat sebagai kelanjutan dari bentuk infantil atau dapat timbul
sendiri (de novo). Lesi dermatitis atopik anak berjalan menahun akan berlanjut
hingga usia sekolah. Predileksi biasanya pada lipatan siku, lipatan lutut, leher dan
pergelangan tangan. Pada kelompok ini, lesi sering terjadi pada daerah ekstensor
(luar) daerah persendian (sendi pergelangan tangan, siku, dan lutut), pada daerah
genital juga dapat terjadi (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005). Lesi pada
dermatitis atopik tipe ini juga bisa terjadi di paha dan bokong (Zulkarnain, I.,
2009).
Jari-jari tangan sering terkena berupa lesi eksudatif dan terkadang disertai
kelainan kuku. Umumnya kelainan kulit pada dermatitis atopik anak tampak lebih
kering bila dibandingkan pada bayi dan sering terjadi likenifikasi. Dermatitis
atopik memiliki rasa gatal. Akibat adanya gatal, anak kemudian akan menggaruk
dan timbul lesi tampak erosi, ekskoriasi linear yang disebut dengan startch marks.
Perubahan pigmen kulit dapat terjadi sejalan dengan berlanjutnya lesi, dapat
Gambar 2.6 Dermatitis Atopik pada Child Type (Simpson E.L., & Hanafin J.M., 2005).
Keterangan : Gambar diatas merupakan manifestasi klinis dermatitis atopik pada child type.
Gambar 2.7 Tempat Predileksi Dermatitis Atopik pada Child Type (Judarwanto W., 2009).
Keterangan : Gambar diatas merupakan tempat predileksi dermatitis atopik pada fase anak.
Pada fase dewasa, dermatitis atopik memiliki gambaran mirip dengan lesi
pada anak usia lanjut (8-12 tahun) dimana didapatkan likenifikasi terutama pada
daerah lipatan tangan. Lesi sifatnya kering, agak timbul, papul datar dan
terjadi eksoriasi dan eksudasi karena garukan yang lambat laun dapat menjadi
hiperpigmentasi. Pada fase dewasa, distribusi lesi bersifat tidak terlalu khas,
sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat juga bersifat lokal,
misalnya bibir, vulva, puting susu, atau kulit kepala. Kadang erupsi meluas, dan
atopik pada adult type yaitu tengkuk serta daerah fleksor kubital dan fleksor
16
popliteal. Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-gatal
Gambar 2.8 Dermatitis Atopik pada Adult Type (Simpson E.L., & Hanafin J.M., 2005).
Keterangan : Gambar diatas merupakan manifestasi klinis penyakit dermatitis atopik pada fase
dewasa.
2.1.7 Diagnosis
klinis yang tampak terutama gejala gatal. George Rajka menyatakan bahwa
diagnosis dermatitis atopik tidak dapat dibuat tanpa disertai adanya riwayat gatal .
Hanifin dan Rajka pada tahun 1980 telah membuat kriteria diagnosis dermatitis
atopik berdasarkan pada kriteria mayor dan minor. Diagnosis dermatitis atopik
harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor. Kriteria ini telah
Tabel 2. Kriteria Mayor dan Minor pada Dermatitis Atopik (William, 1994).
Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis yang cocok untuk diagnosis berbasis rumah sakit
dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi
karena kriteria minor umumnya ditemukan pada kelompok kontrol, disamping itu
(Thomsen, 2014; Leung dkk., 2012). The European Task Force on Atopic
Dermatitis pada tahun 1993 membuat suatu indeks untuk menilai derajat
menilai (A) luas lesi, (B) tanda- tanda inflamasi, dan (C) keluhan gatal dan
Gambar 2.9. Indeks SCORAD (The European Task Force on Atopic Dermatitis,1993).
Keterangan : Gambar diatas merupakan indeks SCORAD yang digunakan untuk menilai derajat
dermatitis atopik.
Luas lesi (A) diukur dengan menggunakan the rule of nine dengan skala
penilaian 0-100. Tanda inflamasi (B) pada SCORAD terdiri dari 6 kriteria:
sedang, 3 = berat, jumlah skor tertinggi kategori B ini adalah 18. Gejala subjektif
(C) terdiri dari pruritus dan gangguan tidur yang dinilai dengan visual analogue
scale dari skala 0-10 sehingga skor maksimum untuk bagian ini adalah 20.
Formula SCORAD yaitu A/5 + 7B/2 +C. Pada formula ini A adalah luas lesi (0-
100), B adalah intensitas (0-18), dan C adalah gejala subjektif (0-20). Skor
atopik digolongkan menjadi dermatitis atopik ringan, sedang dan berat. Dermatitis
19
atopik ringan dengan skor SCORAD <25, DA sedang dengan skor SCORAD
antara 25-50, dan DA berat dengan skor SCORAD >50 (Walkerstorfer, 1999;
pada bentuk anak dan dewasa ialah neurodermatitis (Mansjoer A, dkk., 2001).
2007). Peningkatan kadar IgE ditemukan pada 80% pasien dermatitis atopik,
tetapi hasil serupa juga dapat ditemukan pada keadaan atopik lain (Jamal, 2007).
Uji tusuk kulit (skin prick test/SPT) atau pemeriksaan IgE spesifik yang hasilnya
tetapi tidak berarti secara langsung menjadi penyebab (Watson, 2011). Hasil
2.1.10. Tatalaksana
dermatitis atopik seperti iritan, alergen, agen infeksi dan stres emosional. Banyak
faktor yang mencetuskan gejala dermatitis atopik sehingga pemilihan terapi harus
Penderita dermatitis atopik lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh karena
dan memicu siklus gatal garuk, seperti misalnya sabun atau deterjen, bahan kimia,
rokok, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin dan kelembaban yang
21
berdaya larut minimal terhadap lemak dan pH nya netral. Pakaian baru hendaknya
dicuci sebelum digunakan untuk mengurangi formaldehid atau bahan iritan lain.
Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan baik sebab sisa deterjen
dapat bersifat iritan. Stres psikis juga dapat mengakibatkan ekaserbasi dermatitis
atopik. Seringkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari
luar, misalnya terlalu sering dimandikan, menggosok terlalu kuat, pakaian terlalu
tebal atau ketat, kebersihan kurang terutama di daerah popok, infeksi lokal, iritasi
oleh kencing atau feses. Pada bayi perlu diperhatikan kebersihan daerah bokong
dan genitalia, bila basah atau kotor popok segera diganti. Jangan memakai bahan
yang bersifat iritan (misalnya wol/sintetik), bahan katun lebih baik. Kulit
anak/bayi dijaga agar tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau
Anak-anak diupayakan agar bisa tetap aktif seperti normal. Beberapa jenis
olahraga lebih dapat ditoleransi, seperti misalnya berenang daripada olahraga lain
yang berkeringat banyak, namun bila selesai berenang harus segera mandi untuk
ultraviolet (UV) bias berguna untuk beberapa pasien dermatitis atopik, tabir surya
seharusnya tetap digunakan untuk mencegah luka bakar, namun karena tabir surya
dapat bersifat iritatif, pilihlah produk yang bersifat noniritan (Leung dkk., 2012).
2. Terapi topikal
a. Hidrasi kulit
22
2012).
b. Kortikosteroid topikal
antiinflamasi pada lesi kulit eksematosa. Mengingat efek sampingnya yang cukup
bahwa bila dermatitis atopik telah dikontrol dengan kortikosteroid topikal, untuk
kontrol jangka panjang dapat digunakan 2 kali seminggu pada area yang sudah
sembuh namun cenderung untuk mengalami lesi. Pada bayi digunakan salep
steroid berpotensi rendah. Pada anak dan dewasa, dipakai steroid potensi sedang,
potensi rendah juga dipakai pada daerah genitalia dan intertriginosa. Terdapat
kortikosteroid potensi super poten sebaiknya digunakan untuk waktu yang sangat
singkat dan pada area yang mengalami likenifikasi, namun jangan pada wajah
yang lebih lama untuk pengobatan dermatitis atopik kronis pada badan dan
ekstriminasi. Efek samping bisa bersifat lokal maupun sistemik akibat penekanan
striae, atrofi kulit, perioral dermatitis dan rosasea (Leung dkk., 2012; ).
berumur 2 tahun atau 34 lebih tua, sedangkan salep tacrolimus 0,1% digunakan
usia dua tahun lebih dengan dermatitis atopik ringan-sedang. Kedua obat ini
terbukti efektif dengan tingkat keamanan untuk pengobatan hingga empat tahun
dengan salep tacrolimus dan mencapai dua tahun untuk krim pimecrolimus. Efek
digunakan untuk pengobatan pada area wajah dan intertriginosa (Leung dkk.,
2012).
3. Pengobatan sistemik
a. Kortikosteroid
menimbulkan berbagai efek samping dan bila dihentikan lesi yang lebih berat
b. Antihistamin
hebat, terutama pada malam hari yang menggangu tidur. Oleh karena itu, dipilih
antihistamin yang memiliki efek sedatif. Pada kasus yang lebih sulit diberikan
H1 dan H2 dengan dosis 10-75 mg secara oral pada malam hari pada orang
dewasa. Penelitian mengenai antihistamin golongan yang lebih baru, non sedatif
pruritus pada penderita dermatitis atopik, namun pengobatan ini berguna untuk
penderita dermatitis atopik dengan urtikaria dan rinitis alergi (Leung dkk., 2012).
c. Antibiotika
sedangkan untuk yang sudah resisten dapat diberikan dikloksasilin, oksasilin atau
pada suhu atau kelembaban tinggi dapat merangsang timbulnya keringat dan gatal.
Sinar UVA dan ultraviolet B (UVB) dapat digunakan sebagai terapi tambahan
dermatitis atopik. Untuk dermatitis atopik yang berat dan luas dapat digunakan
psoralen dan UVA atau (PUVA). Terapi dengan UVB dengan ter juga efektif.
25
Sinar UVA bekerja pada sel langerhans, sedangkan UVB memiliki efek
sitokin sel keratinotasi. Efek samping jangka pendek meliputi eritema, perih, gatal
dan pigmentasi, sedangkan efek samping jangka panjang adalah penuaan kulit dini
2.1.11 Prognosis
penyakit cenderung menjadi lebih parah dan menetap pada anak-anak. Periode
remisi sering terjadi pada orang yang bertambah dewasa. Penyembuhan spontan
dermatitis atopik yang terjadi sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur
dilaporkan bahwa 84% dermatitis atopik anak berlangsung sampai remaja. Lebih
dari setengah remaja dewasa yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik pada dermatitis atopik
seperti dermatitis atopik luas pada anak, menderita rinitis alergi atau asma
bronkial, riwayat dermatitis atopik pada orang tua atau saudara kandung, onset
dermatitis atopik pada usia muda, anak tunggal dan kadar IgE serum sangat tinggi.
BAB III
PENUTUP
disertai gatal. Dermatitis atopik pada umumnya terjadi selama masa bayi dan
anak-anak, serta dapat menetap hingga dewasa. Penyakit ini sering berhubungan
dengan peningkatan kadar IgE serum dan riwayat atopik pada keluarga atau
pencetus terjadinya dermatitis atopik seperti iritan, alergen, agen infeksi dan stres
emosional.
27
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini Y.E., Indrastuti N., Waskito F., 2010. Profil Insidensi Dermatitis
Atopik Di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. In:
PIT PERDOSKI XII. pp 749-752
Bieber, T., 2008. Atopic Dermatitis. N Engl J Med, 358 (14): 1483-1493.
Brown SJ, Irvene AD. 2008. Atopic eczema and the filaggrin story. Semin Cuan
Med Surg. 27:128-37.
Djuanda S,Sularsito SA. 2007. Dermatitis atopik. Dalam: Djuanda A,editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-6. Jakarta: FK UI. h.138-47
Esmail, FT. 2011. Skin barrier function and atopic eczema. Current Allergy and
Clinical Immunology. 24(4):193-8.
Hanifin JM, Rajka G. 1980. Diagnostic features of atopic dermatitis. Acta Dem
Venereol;92:44.
Heine RG, Hill DJ, Hosking CS. 2008. Role of food allergens in atopic dermatitis.
In: Reitamo S, Luger TA, Steinhoff M, editors. Textbook of Atopic
Dermatitis. London: Informa UK Ltd; p.85-99.
Kim, D. H., Li, K., Seo, S. J., Jo, S. J., Yim, H. W., Kim, C. M., ... Cho, S. H.
2012. Quality of Life and Disease Severity Are Correlated in Patients with
Atopic Dermatitis. Journal of Korean Medical Science, 27(11), 1327–1332.
Leung, Y., Mei, C.L., Zhang W.X. 2000. Statistical Test for Spatial
Nonstationarity Based on the Geographically Weighted Regression Model,
Environment and Planning A, 32, 9-32.
Lipozencic J. MD, PhD., and Ljubojevic S. MD, PhD., 2010, In: Sauer’s Manual
of Skin Diseases. 10th ed. Philadelphia,Wolters Kluwer.
Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005. Atopic dermatitis. Periodic synopsis. J Am
Acad Dermatol. Jakarta: EGC 115-28
29
Siregar, S. p. 2005. Peran Alergi Makanan dan Alrgen Hirup pada Dermatitis
Atopik. Sari Pediatri, 6(4),hlm. 155-158.
Watson W, Kapur S., 2011, Atopic dermatitis. Allergy, Asthma & Clinical
Immunology, 7:1.
Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik dalam
Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed).
Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.