Anda di halaman 1dari 30

1

LAPORAN KASUS
Diabetes Melitus dengan Hipertensi
dan Neuropati Diabetikum
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik

Disusun oleh:
Sanyuki Khoirunnisa 21601101010
Ratna Dewi K. 21601101027
Dosen Pembimbing:
dr. H.R.M. Hardadi Airlangga, Sp. PD
dr. H. M. Henalsyah, M.Kes

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM


RSI UNISMA MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2020

1
i

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sholawat serta salam yang kami junjungkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran
sehingga dalam penyelesaian tugas ini kami dapat memilah antara yang baik dan
buruk. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing Klinik dan
Lapangan pada kegiatan clerkship di Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam, yaitu dr.
H. R. M. Hardadi Airlangga, Sp.PD (Dosen Pembimbing Klinik) dan dr. H. M.
Henalsyah, M.Kes (Dosen Pembimbing Lapangan) yang memberikan bimbingan
dan arahan alam menempuh pendidikan ini. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan laporan kasus ini.

Laporan kasus ini membahas tentang Diabetes Melitus dengan hipertensi yaitu
terkait definisi, klasifikasi, patofisiologi, faktor resiko, diagnosis, komplikasi,
planning dan monitoring.

Penulis menyadari dalam penyusunan laporan kasus ini masih jauh dari kata
sempurna. Dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan, saran,
dan usul untuk hasil yang lebih baik nantinya.

Sekian pengantar dari penulis, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
semua. Amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Malang, 23 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Cover
Kata Pengantar……………………………………………………………………..i
Daftar Isi………………………………………………………………………......ii
Daftar Tabel
BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………….......1
1.2 Tujuan………………………………………………………………………....3
1.3 Manfaat………………………………………………………………………..3
1.4 BAB 2 Laporan Kasus
2.1 Identitas Pasien……………………………………………………………….4
2.2 Anamnesis…………………………………………………………………….4
2.3 Pemeriksaan Fisik………………………………………………………….….5
2.4 Pemeriksaan Penunjang……………………………………………………….7
2.5 Diagnosis Kerja…………………………………………………………….….4
2.6 Planning dan Monitoring………………………………………………………4
BAB 3 Tinjauan Pustaka
3.1 Definisi Diabetes Melitus……………………………………………………10
3.2 Klasifikasi Diabetes Melitus…………………………………………………10
3.3 Patofisiologi Diabetes Melitus ………………………………………………11
3.4 Faktor Resiko Diabetes Melitus……………………………………………..13
3.5 Diagnosis Diabetes Melitus …………………………………………………14
3.6 Komplikasi Diabetes Melitus ………………………………………………16
3.7 Planning dan Monitoring Diabetes Melitus…………………………………18
3.8 Prognosis Diabetes Melitus…………………………………………………18
BAB 4 Pembahasan……………………………………………………………..23
BAB 5 Penutup
5.1 Kesimpulan……………………………………………………….…………25
5.2 Saran……………………………………………………….………………..25
Daftar Pustaka

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Melitus merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi

permasalahan di Indonesia. Diabetes Melitus terjadi ketika adanya peningkatan

kadar glukosa dalam darah atau yang disebut hiperglikemi, dimana tubuh tidak

dapat menghasilkan cukup hormon insulin atau menggunakan insulin secara

efektif (International Diabetes Federation, 2017). Menurut data Sample

Registration Survey pada tahun 2014 menunjukkan bahwa Diabetes Melitus

merupakan penyebab kematian terbesar nomor 3 di Indonesia setelah Stroke dan

Penyakit Jantung Koroner (Kemenkes RI, 2016). Sementara itu, menurut

Soewondo dkk (2010) dalam (Purwanti, 2013) sebanyak 1785 penderita Diabetes

Melitus di Indonesia yang mengalami komplikasi neuropati (63,5%), retinopati

(42%), nefropati (7,3%), makrovaskuler (6%), mikrovaskuler (6%), dan kaki

diabetik (15%).

Pada Diabetes Melitus, selain keadaan hiperglikemia atau gangguan

toleransi glukosa sebagai faktor resiko, juga dapat ditemukan faktor resiko

kardiovaskuler lain, seperti resistensi insulin, hiperinsulinemia, dislipidemia, dan

hipertensi. Keadaan yang sangat multifaktorial ini menyebabkan insidensi

penyakit kadiovaskuler pada diabetes tinggi dan terus meningkat apabila

pengelolaannya tidak komprehensif. Dari hal tersebut faktor resiko Diabetes

Melitus yang dapat di modifikasi erat kaitannya dengan perilaku hidup yang
2

kurang sehat, yaitu berat badan berlebih, kurangnya aktivitas fisik, dan hipertensi

(Infodatin Kemenkes RI, 2013).

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140

mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran

dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang menurut

(Pusat Data Dan Informasi Kemenkes RI, 2013). Tekanan darah sistolik

merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi

(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuar Indonesia, 2015).

Prevalensi di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, pada

penduduk umur 18 tahun ke atas tahun 2007 adalah sebesar 31,7%. Prevalensi

hipertensi tertinggi di Kalimantan Selatan (39,6%) dan terendah di Papua Barat

(20,1%) (Pusat Data Dan Informasi Kemenkes RI, 2013). Prevalensi hipertensi di

Bali berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan, provinsi Bali menduduki peingkat

ke -16 yaitu 8,7 %. (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Strategi manajemen hipertensi pada diabetes yaitu penentuan target tekanan

darah yang di harapkan yaitu 130/80 mmHg, target optimalisasik kontrol status

glikemi dengan HbA1c < 7% dan modifikasi gaya hidup untuk menurunkan risiko

kardiovaskular. Modifikasi gaya hidup yang meliputi penurunan berat badan,

berhenti merokok, mengurangi konsumsi garam, meningkatkan aktivitas latihan

fisik, dan mengurangi konsumsi alkohol, juga penggunaan obat antihipertensi dan

menghindari efek samping terapi terhadap kontrol glikemi (American Diabetes

Association, 2018).

Penderita diabetes melitus tipe I maupun tipe II diatasi dengan upaya

nonmedis yaitu memodifikasi gaya hidup (diet serta olahraga) dan upaya medis
3

yaitu terapi insulin dan obat penurun gula. Perawatan dan pencegahan yang dapat

dilakukan oleh penderita diabetes mellitus adalah dengan melakukan perubahan

pada gaya hidup seperti olahraga secara teratur, istirahat cukup, mengkonsumsi

obat penurun kadar gula atau terapi insulin sesuai anjuran dokter, dan perubahan

pola makan (Hardiman, 2009).

1.2 Tujuan

1. Mengetahui tentang definisi, klasifikasi, patofisiologi, faktor resiko,

diagnosis, komplikasi, planning dan monitoring

1.3 Manfaat

1. Laporan kasus ini dibuat agar klinisi dapat menegakan diagnosis,

memberikan terapi kasus diabetes melitus dengan hipertensi dengan

mengetahui definisi, klasifikasi, patofisiologi, faktor resiko, diagnosis,

komplikasi, planning dan monitoring.


4

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama : Ny.P
Umur : 69 th
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal MRS : 18 Maret 2020
TTL : 12 Juni 1951
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SD
Suku : Jawa
Alamat : Simpang C Panggung, Malang
Pekerjaan :-
Status Pernikahan : Sudah Menikah
No RM. : 29-xx-xx
2.2. Anamnesa
1. Keluhan Utama :-
2. Riwayat Penyakit Sekarang : DM (+) Teregulasi, HT (+) Terkontrol,
Neuropati, Abdominal discomfort
Faktor yang memperberat :-
Faktor yang memperingan : -
Gejala Penyerta : Lemas (kadang), Batuk (jarang)
3. Riwayat Penyakit Dahulu : DM, Hipertensi stage 1, Stroma pada leher
4. Riwayat Penyakit Keluarga : -
5. Riwayat Alergi :-
6. Riwayat Kebiasaan :-
7. Riwayat Sosial Ekonomi : Menengah
5

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Presens
1. Keadaan Umum : Sakit ringan
2. Kesadaran : Compos mentis GCS : E4 V5 M6
3. Vital sign : TD : 139/85 mmHg Nadi : 73 x/menit regular
RR : - x/menit Suhu : - oC
SpO2 : - % (dengan nasal)
4. Antopometri : TB : - cm BB : - kg BMI : -
5. Kulit
Warna kulit coklat, turgor kulit normal, ikterik (-), pucat (-), ptechie (-)
6. Kepala
Bentuk normosephalic, luka (-), makula (-), papula (-), nodul (-).
7. Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), katarak (-/-),
edema palpebra (-/-), cowong (-/-), pupil bulat isokor, diameter 2mm/2mm,
radang (-/-).
8. Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), secret (-/-), epistaksis (-/-), deformitas (-/-).
9. Mulut
Sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), tremor (-), gusi berdarah (-)
10. Telinga
Secret (-/-), pendengaran berkurang (-/-)
11. Tenggorokan
Hiperemi (-), tonsil membesar (-/-)
12. Leher
Trakea ditengah, pembesaran KGB (+)
13. Toraks
Simetris, retraksi subkostal (-), pembesaran kelenjar limfe (-)
Cor
I : ictus cordis tidak tampak
P : Batas kiri atas : ICS II linea para sternalis sinistra
Batas kanan atas : ICS II linea para sternalis dekstra
6

Batas kiri bawah : ICS V linea medio clavicularis sinistra


Batas kanan bawah : ICS IV linea para sterna dekstra
A : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo : statis (depan dan belakang)
I : pengembangan dada kanan dan kiri simetris, benjolan (-), luka (-)
P : fremitus taktil kanan = kiri, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
P : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor

A : suara dasar vesikuler di semua lapang paru, suara tambahan (-)

Rhonki Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -

14. Abdomen
I : dinding perut tampak datar
A : bising usus normal
P : supel, nyeri tekan (+), hepar tidak teraba, pembesaran lien (-)
P : timpani seluruh lapang perut, nyeri ketok abdomen (-)
15. Sistem Collumna Vertebralis :
I : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
P : nyeri tekan (-)
16. Ektremitas:
Atas : HKM, Edema (-/-), parese dextra (+)
Bawah : HKM, Edema (-/-), parese dextra (+)
17. Sistem genetalia : Tidak dievaluasi
7

Pemeriksaan Penunjang
1. GDS
Tanggal Hasil GDS (mg/dL)
18-03-2020 382
17-07-2020 142
14-08-2020 97
24-09-2020 128
23-10-2020 90
2. Faal Hepar
SGPT = 20 U/L (14 Agustus 2020)
3. Faal Ginjal
Asam Urat/Uric acid = 5,8 mg/dL (17 Juli 2020)
2.4. Resume
2.7 Diagnosa Kerja
Diagnosa klinis : Diabetes Militus Teregulasi + Hipertensi Terkontrol +
Neuropati + Abdominal Discomfort DD/ Dispepsia
2.8 Penatalaksanaan
 Farmakologi:
Gabapentin 1 x 300 mg No.XXX
Lisonopril 1 x 10 mg No.XXX
Gliquidon 1 x 15 mg No.XXX
Paracetamol 500 mg No. XXX

 Non Farmakologi
Menjaga pola makan, diet rendah gula, diet rendah lemak
Rutin control dan cek GDS serta cek tekanan darah
Olahraga

2.9 SOAP
8

Hari
S O A P
Tanggal
18 Maret  Lemas sejak  KU: Tampak lemas Diagnosa - Farmakologi:
2020 - 21 3 hari  GCS: 4 5 6 (Compos mentis) klinis : DM, IVFD RA 28 tpm
Maret  Makan HT Omeprazole 40 gr
 VS :
Neurosanbe drip 1 ampul
2020 minum TD: 168/110 mmHg Diagnosa
berkurang HR:89x/mnt Banding :
 Bangun RR: 19x/mnt General
tidur gelap T: 36oC weakness,
rasa mau SpO2 : 98 % nasal Low intake
pingsan (+)  K/L/A/I/C/D (-)
 Mual  Thorax: C/P/Wheezing/Rhonki
muntah (-) (-)
 RPD : DM  Abdomen: Flat (+), supel (+),
nyeri palpasi
 Extremitas: akral (+) edema (-)
 GDA : 382
27 Maret  KU: -  GDS : 97 Diagnosa - Farmakologi:
2020  VS : klinis : DM Lantus
Teregulasi, Glimepirid 1 x 2 mg
TD: 135/80 mmHg
HT Metformin
HR: Lisinopril
RR: Amplodipin
Tax: Meloxicam
Betahistin
Paracetamol
23 April  Kontrol  GDP : 78 Diagnosa - Farmakologi:
2020  VS : klinis : Glimepirid
klinis : DM Meloxicam
TD: 130/70 mmHg
Teregulasi, Lisinopril
HR: HT Amlodipin
RR:
Tax:

22 Mei  Kontrol  GDS : 91 Diagnosa - Farmakologi:


2020  VS : klinis : DM Glimepirid
Teregulasi, Metformin
TD: 140/80 mmHg
HT Lisinopril
HR: Amlodipin
RR:
Tax:

19 Juni  Kontrol  GDP : 92 Diagnosa - Farmakologi:


2020  TC : 200 klinis : DM Glimepirid
Teregulasi, Lisinopril
 VS :
HT Amlodipin
TD: 130/90 mmHg Simvastatin 1x10
HR: B komplex
RR:
Tax:

17 Juli  Kontrol  GDS : 142 Diagnosa - Farmakologi:


9

2020  UA : 5,8 mg/dL klinis : DM Gabapentin 1x300


 VS : Teregulasi, Glimepirid 1x1
HT, Neuropati Lisinopril 1x5
TD: 139/80 mmHg
Amlodipin
HR: Neurodex 1x1
RR:
Tax:

14  Kontrol  GDS : 97 Diagnosa - Farmakologi:


Agustus  VS : klinis : DM Gabapentin 1x300
2020 Teregulasi, Lisinopril 1x10
TD: 142/85 mmHg
HHD Amlodipin
HR: Glimepirit 1x15
RR:
Tax:
29  Kontrol  GDS : Diagnosa - Farmakologi:
Agustus  VS : klinis : DM, Gabapentin 1x300
2020 HT, Neuropati Lisinopril 1x10
TD:
Amplodipin 1x10
HR:
RR:
Tax:

24  Kontrol  GDS : 128 Diagnosa - Farmakologi:
Septemb   VS : klinis : DM, Gabapentin 1x300
er 2020 HT, Lisinopril 1x5
TD: 146/82 mmHg
Amplodipin 1x5
HR: Meloxicam
RR: Paracetamol
Tax: Vit B 12
23  Kontrol  GDS : 90 Diagnosa - Farmakologi:
Oktober  Creatinin 0,63 mg/dL klinis : DM Gabapentin 1x300
2020 teregulasi, HT Lisinopril 1x5
 UA : 5,8 mg/dL
Terkontrol, Amlodipin 1x 5
 VS : abdominal Gliquidon 1x15
TD: 139/85 mmHg discomfort Meloxicam 15 mg
HR: DD/ Dispepsia Paracetamol 250 mg
RR: Neuropati Alprazolam 0,25 mg
Tax:

2.10 PROGNOSIS
Dubia ad bonam
10

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diabetes Melitus

3.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah penyakit yang ditandai dengan adanya

hiperglikemia yang disebabkan oleh ketidakmampuan dari organ pancreas untuk

memproduksi insulin atau kurangnya sensitivitas insulin pada sel target tersebut.

Abnormalitas pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang ditemukan

pada penderita penyakit diabetes melitus terjadi dikarenakan kurangnya aktivitas

insulin pada sel target (Kerner and Brückel, 2014)

3.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

3.1.2.1 Diabetes Melitus Tipe-1

Diabetes melitus tipe-1 adalah penyakit kronis yang ditandai dengan

ketidakmampuan tubuh untuk menghasilkan atau memproduksi insulin yang

diakibatkan oleh rusaknya sel-β pada pancreas. Diabetes melitus tipe-1 disebut

dengan kondisi autoimun oleh karena sistem imun pada tubuh menyerang sel-sel

dalam pankreas yang dikira membahayakan tubuh. Reaksi autoimunitas tersebut

dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh. Diabetes melitus tipe-1 sering terjadi

pada masa anak-anak tetapi penyakit ini dapat berkembang pada orang dewasa

(Kerner and Brückel, 2014).

3.1.2.2 Diabetes Melitus Tipe-2

Diabetes melitus tipe-2 adalah jenis yang paling umum dari diabetes

melitus. Diabetes tipe-2 ditandai dengan cacat progresif dari fungsi sel-β pankreas
11

yang menyebabkan tubuh kita tidak dapat memproduksi insulin dengan baik.

Diabetes melitus tipe-2 terjadi ketika tubuh tidak lagi dapat memproduksi insulin

yang cukup untuk mengimbangi terganggunya kemampuan untuk memproduksi

insulin. Pada diabetes melitus tipe-2 tubuh kita baik menolak efek dari insulin

atau tidak memproduksi insulin yang cukup untuk mempertahankan tingkat

glukosa yang normal (Kerner and Brückel, 2014).

Beberapa pasien dengan diabetes tipe ini akan tetap tidak terdiagnosis

selama bertahun-tahun karena gejala jenis ini dapat berkembang sedikit demi

sedikit dan itu tergantung pada pasien . Diabetes tipe-2 sering terjadi pada usia

pertengahan dan orang tua, tetapi lebih umum untuk beberapa orang obesitas yang

memiliki aktivitas fisik yang kurang (Kerner and Brückel, 2014).

3.1.2.3 Diabetes Melitus Gestational

Diabetes melitus gestational adalah intoleransi glukosa pada waktu

kehamilan, pada wanita normal atau yang mempunyai gangguan toleransi glukosa

setelah terminasi kehamilan. Diabetes melitus gestational terjadi di sekitar 5–7%

dari semua kasus pada kehamilan (Kerner and Brückel, 2014).

3.1.2.4 Diabetes Melitus Tipe Lain

Diabetes tipe lain ini disebabkan oleh karena kelainan genetik pada kerja

insulin, kelainan pada sel-β, penyakit pancreas, endocrinopathies, infeksi, dank

arena obat atau zat kimia dan juga sindroma penyakit lain (Kerner and Brückel,

2014).

3.1.3 Patofisiologi Diabetes Melitus


12

Gambar 3.1 Patofisiologi Diabetes Melitus tipe 2

Patofisiologi pada diabetes mellitus tipe 2 (T2DM) (a) transporter glukosa

tipe 2 (G LUT2) transporter membran memfasilitasi masuknya glukosa darah post

prandial ke dalam sel. Glukosa intraseluler difosforilasi oleh glukosa-6fosfatase

menjadi glukosa-6-fosfat yang memasuki siklus glikolisis menghasilkan piruvat

dan adenosin trifosfat (ATP). Piruvat memasuki siklus asam trikarboksilat (TCA)

yang selanjutnya menghasilkan ATP. Peningkatan ATP: Rasio ADP memblokir

saluran KATP yang mengarah ke depolarisasi membran sehingga membiarkan ion

Ca 2+ masuk ke dalam sel melalui saluran kalsium yang bergantung pada

tegangan / terjaga keamanannya. Ion Ca 2+ merangsang sekresi peptida insulin;

(b) Pada individu yang sehat, insulin terikat pada reseptor insulin yang memulai

kaskade pensinyalan berbasis fosforilasi yang menghasilkan translokasi GLUT4

intraseluler ke membran untuk pengambilan molekul glukosa; (c) Pada kondisi

diabetes, reseptor insulin menjadi tidak berfungsi dan GLUT4 sitoplasma tidak

dapat ditranslokasi ke membran sehingga terjadi resistensi insulin. Akibatnya,


13

pengambilan glukosa tidak terjadi yang menyebabkan hiperglikemia (peningkatan

kadar gula darah).

3.1.4 Faktor Resiko

3.1.4.1 Keturunan (Genetik)

Faktor keturunan atau genetik punya kontribusi yang besar dalam

meningkatnya resiko diabetes melitus. Diabetes dapat diturunkan oleh keluarga

sebelumnya yang memiliki riwayat penyakit yang sama. Kelainan pada gen ini

dapat mengakibatkan tubuh tidak dapat memproduksi insulin (Choi and Shi,

2001).

2.1.4.2 Obesitas

Obesitas dan peningkatan berat badan pada orang dewasa dianggap

menjadi salah satu faktor risiko yang paling penting untuk diabetes melitus tipe-2.

Obesitas menyebabkan terjadinya peningkatan masa adipose yang dihubungkan

dengan resistensi insulin yang akan mengakibatkan terganggunya proses

penyimpanan lemak dan sintesa lemak (Daousi, 2006).

2.1.4.3 Usia

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus

meningkat seiring dengan pertambahan usia. Sekitar 50% lansia mengalami

intoleransi glukosa dengan kadar gula darah puasa normal. Diabetes melitus

sering muncul pada usia lanjut pada usia lebih dari 45 tahun dimana sensitifitas

insulin berkurang (Choi and Shi, 2001).

2.1.4.4 Hipertensi (Tekanan darah tinggi)

Hipertensi telah diidentifikasi sebagai faktor risiko utama untuk

pengembangan diabetes. Penderita hipertensi memiliki risiko 2-3 kali lebih tinggi
14

terkena diabetes dibandingkan pasien dengan tekanan darah normal. Hipertensi

adalah kondisi umum yang biasanya berdampingan dengan diabetes melitus dan

memperburuk komplikasi diabetes melitus dan morbiditas dan mortalitas

kardiovaskular (Bays, Chapman and Grandy, 2007).

2.1.4.5 Merokok

Merokok dikaitkan dengan peningkatan yang signifikan dalam risiko

diabetes. Merokok merupakan faktor risiko independen dan dimodifikasi untuk

diabetes. Berhenti merokok dikaitkan dengan penambahan berat badan dan

peningkatan berikunya dalam risiko diabetes.(Choi and Shi, 2001)

2.1.4.6 Ras

Ada beberapa ras manusia di dunia ini yang punya potensi tinggi untuk

terserang diabetes melitus. Peningkatan penderita diabetes di wilawah Asia jauh

lebih tinggi dibanding di benua lainnya.Bahkan diperkirakan lebih 60% penderita

berasal dari Asia (Choi and Shi, 2001).

2.1.5. Diagnosis

Ada banyak keluhan yang terjadi pada pasien Diabetes melitus. Tes

diagnostik untuk diabetes melitus harus dipertimbangkan jika ada salah satu gejala

umum adalah poliuria, polidipsia, dan polifagia (Kerner and Brückel, 2014).

a. Polifagia

Polifagia adalah keadaan di mana pasien merasa lapar atau nafsu makan

mereka meningkat,tetapi berat daripasien tidak meningkat melainkan berat badan

mereka menurun. Kondisi ini terjadi karena glukosa dalam darah tidak dapat

ditransfer ke sel dengan baik oleh insulin. Sel perlu glukosa untuk menghasilkan
15

energi, karena glukosa terjebak dalam darah, keadaan inilah yang memicu respon

kelaparan ke otak.

b. Polidipsia

Polidipsia adalah keadaan dimana pasien merasakan haus yang berlebih.

Keadaan ini merupakan efek dari polifagia. Glukosa yang terjebak dalam darah

menyebabkan tingkat osmolaritas meningkat. Karena glukosa darah perlu

diencerkan, inilah yang menyebabkan respon haus ke otak.

c. Poliuria

Poliuria adalah keadaan di mana pasien mengalami perasaan ingin buang

air kecil yang berlebihan. Kondisi ini terjadi ketika osmolaritas darah

tinggi,sehingga perlu dibuang oleh ginjal. Ketika glukosa darah dibuang itu

membutuhkan air untuk menurunkan osmolaritas dari glukosa darah, inilah yang

memicu terjadinya poliuria. Keluhan lain yang mungkin termasuk adalah badan

lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan.Tes diagnosis yang dapat digunakan untuk pasien diabetes dapat dibagi

dalam tiga cara.

Tabel. 3.1 Tes Diagnosis pada Pasien Diabetes Melitus (Sumber : American
Diabetes Association)
Tes Diagnosis Nilai
Gejala Klasik DM + Kadar Glukosa Darah ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)

Sewaktu
Gejala Klasik DM + Kadar Glukosa Darah ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L)

Puasa
Kadar Glukosa Darah 2 jam PP ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)

Selain tiga cara tes diagnostik tersebut, terdapat tes skrining untuk

mendeteksi orang dengan risiko tinggi terkena diabetes melitus tetapi belum
16

terinfeksi. Tes skrining dapat dilakukan dengan glukosa darah puasa dan

pengujian glukosa darah sewaktu (Diagnosis and Classification of Diabetes

Melitus, 2011).

Tabel 3.2 Tes Skrining (Glukosa Darah Puasa dan Sewaktu)

Bukan DM Belum Pasti DM DM


Kadar Glukosa Plasma Vena < 100 100-199 ≥200
Darah Kapiler < 90 90-199 ≥200
Darah Sewaktu

(mg/dl)
Kadar Glukosa Plasma Vena < 100 100-125 ≥126

Darah Puasa

(mg/dl)
Darah Kapiler < 90 90-99 ≥100

3.1.6. Komplikasi

Secara umum komplikasi dari pada diabetes melitus dibagi menjadi 2

yaitu:

a. Komplikasi Makrovaskular

Komplikasi makrovaskuler adalah komplikasi yang mengenai pembuluh

darah arteri yang lebih besar, sehingga menyebabkan atherosklerosis. Akibat

atherosklerosis antara lain timbul penyakit jantung koroner, hipertensi,dan stroke.

Komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita diabetes

adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit

pembuluh darah perifer. Komplikasi makrovaskular ini sering terjadi pada

penderita diabetes melitus tipe-2 yang umumnya menderita hipertensi,

dislipidemia dan atau kegemukan (Fowler, 2011).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah

sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg
17

pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup

istirahat/tenang. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII, sebagai berikut :

Klasifikasi Tekanan Darah Sistol (mmHg) Tekanan Darah Diastol

Tekanan Darah (mmHg)


Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Stage 140-159 90-99

1
Hipertensi Stage 2 ≥160 ≥100
Faktor resiko Hipertensi adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, genetik

(faktor resiko yang tidak dapat diubah/dikontrol), kebiasaan merokok, konsumsi

garam, konsumsi lemak jenuh, penggunaan jelantah, kebiasaan konsumsi minum-

minuman beralkohol, obesitas, kurang aktifitas fisik, stres, penggunaan estrogen

(Kemenkes, 2013).

b. Komplikasi Mikrovaskular

Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes

melitus tipe-1. Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang

terglikasi menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh

dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil.Hal inilah yang

mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain

retinopati, nefropati, dan neuropati (Fowler, 2011).

3.1.7. Planning dan Monitoring

a. Terapi

Tujuan daripada penatalaksanaan diabetes melitus adalah untuk

meningkatkan tingkat daripada kualitas hidup pasien penderita diabetes melitus,

mencegah terjadinya komplikasi pada penderita, dan juga menurunkan morbiditas


18

dan mortalitas penyakit diabetes melitus. Penatalaksanaan diabetes melitus dibagi

secara umum menjadi lima yaitu: (PERKENI, 2015)

1. Edukasi

Diabetes melitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku

telah terbentuk dengan kuat. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri

membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan

harus mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai

keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif,

pengembangan keterampilan dan motivasi. Edukasi merupakan bagian integral

asuhan perawatan diabetes. Edukasi secara individual atau pendekatan

berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang

berhasil. Perubahan Perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang

memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi.

Edukasi terhadap pasien diabetes melitus merupakan pendidikan dan pelatihan

yang diberikan terhadap pasien guna menunjang perubahan perilaku, tingkat

pemahaman pasien sehingga tercipta kesehatan yang maksimal dan optimal dan

kualitas hidup pasien meningkat. (PERKENI, 2015)

2. Terapi Nutrisi Medis (Diet)

Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan diabetes

memperbaiki kebiasaan aktivitas sehari-hari untuk mendapatkan kontrol

metabolik yang lebih baik, mempertahankan kadar glukosa darah mendekati

normal, mencapai kadar serum lipid yang optimal, memberikan energi yang cukup

untuk mencapai atau mempertahankan berat badan yang memadaidan

meningkatkan tingkat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal.


19

Standar dalam asupan nutrisi makanan seimbang yang sesuai dengan kecukupan

gizi baik adalah sebagai berikut : (PERKENI, 2015)

a.Protein: 10 –20 % total asupan energi

b. Karbohidrat: 45 –65 % total asupan energy

c. Lemak: 20 –25 % kebutuhan kalori, tidak boleh melebihi 30 % total asupan

energi

d. Natrium: < 2300 mg perhari

e. Serat: 20 –35 gram/hari.

Salah satu kunci keberhasilan pengaturan makanan ialah asupan makanan dan

pola makan yang sama sebelum maupun sesudah diagnosis,serta makanan yang

tidak berbeda dengan teman sebaya atau dengan makanan keluarga. Jumlah kalori

yang dibutuhkan oleh tubuh disesuaikan dengan faktor-faktor jenis kelamin,

umur, aktivitas fisik, stress metabolic, dan berat badan. Untuk penentuan status

gizi,dipakai penghitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Rumus yang dipakai

dalam penghitungan adalah IMT = BB(kg)/TB(m2) (PERKENI, 2015).

3. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan jasmani dilakukan teratur

sebanyak 3 - 4 kali seminggu selama kurang lebih 30 -45 menit, dengan total

kurang lebih 150 menit perminggu. Latihan jasmani dapat menurunkan berat

badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, sehingga akan memperbaiki

kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dimaksud ialahjalan, bersepeda

santai, jogging, berenang (PERKENI, 2015).

Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran

jasmani.Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah sebelum


20

melakukan kegiatan jasmani. Jika kadar glukosa darah <100 mg/dl pasien

dianjurkan untuk menkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu, jika kadar glukosa

darah90-250 mg/dL, tidak diperlukan ekstra karbohidrat (tergantung lama aktifitas

dan respons individual).dan jika >250 mg/dl dianjurkan untuk tidak melakukan

aktivitas jasmani (PERKENI, 2015)

4. Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pola pengaturan makanan

dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat hipoglikemik oral dan

injeksi insulin.Pemberian obat oral atau dengan injeksi dapat membantu

pemakaian gula dalam tubuh penderita diabetes.

a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Golongan sulfonylurea dapat menurunkan kadar gula darah secara adekuat

pada penderita diabetes tipe-2, tetapi tidak efektif pada diabetes tipe-1. Contohnya

adalah glipizid, gliburid, tolbutamid dan klorpropamid. Obat ini menurunkan

kadar gula darah dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh pankreas dan

meningkatkan efektivitasnya.Obat lainnya, yaitu metformin, tidak mempengaruhi

pelepasan insulin tetapi meningkatkan respon tubuh terhadap insulinnya sendiri.

Akarbos bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa di dalam usus.Obat

hipoglikemik per-oral biasanya diberikanpada penderita diabetes tipe-2 jika diet

dan oleh raga gagal menurunkan kadar gula darah dengan cukup (PERKENI,

2015).

b. Injeksi Insulin
21

Terapi insulin digunakan ketika modifikasi gaya hidup dan obat hipoglikemik oral

gagal untuk mengontrol kadar gula darah pada pasien diabetes.Pada pasien dengan

diabetes tipe-1, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus

diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui

suntikan, insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan

per-oral. Ada lima jenis insulin dapat digunakan pada pasien dengan diabetes

mellitus berdasarkan pada panjang kerjanya. Ada Insulin Kerja Cepat, Kerja

Pendek, Kerja Menengah, Kerja Panjang, dan Campuran (PERKENI, 2015).

b. Monitoring

Pemantauan Kadar Glukosa

Tujuan utama dalam pengelolaan pasien diabetes adalah kemampuan

mengelola penyakitnya secara mandiri, penderita diabetes dan keluarganya

mampu mengukur kadar glukosa darahnya secara cepat dan tepat karena

pemberian insulin tergantung kepada kadar glukosa darah. Dari beberapa


22

penelitian telah dibuktikan adanya hubungan bermakna antara pemantauan

mandiri dan kontrol glikemik. Pengukuran kadarglukosa darah beberapa kali per

hari harus dilakukan untuk menghindari terjadinya hipoglikemia dan

hiperglikemia, serta untuk penyesuaian dosis insulin. Kadar glukosa darah

preprandial, post prandial dan tengah malam sangat diperlukan untuk penyesuaian

dosis insulin. Perhatian yang khusus terutama harus diberikan kepada anak pra-

sekolah dan sekolah tahap awal yang sering tidak dapat mengenali episode

hipoglikemia dialaminya. Padakeadaan seperti ini diperluka pemantauan kadar

glukosa darah yang lebih sering (PERKENI, 2015).

BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien dengan riwayat penyakit dahulu

diabetes melitus dan hipertensi. Pada kontrol sebelumnya pasien mengeluhkan

rasa tebal dirasakan pada ujung-ujung jari tangan maupun kaki. Namun, sekarang

rasa tebal tersebut mulai berkurang, hanya terjadi pada ujung-ujung kaki saja di

malam hari. Adanya keluhan ini disebabkan karena kadar gula darah yang tinggi
23

dapat terjadi gangguan pengiriman sinyal persarafan maka hal ini disebut dengan

Neuropati diabetes. Neuropati diabetes menyebabkan komplikasi umum yang

memepengaruhi 90% pasien diabetes. Neuropati diabetes ditandai dengan

kesemutan, rasa tebal, rasa terbakar, tajam, menembak dan lancip yang biasanya

mengalami keluhan pada malam hari. Mekanisme terjadinya neuropati diabetes

melalui beberapa mekanisme seperti terjadinya peningkatan stress oksidatif

dikarenakan adanya pembentukan radikal bebas yang meningkat karena

metabolisme glukosa yang tinggi (Schreiber et al, 20015).

Berdasarkan hasil anamnesis, pasien mengeluhkan adanya rasa tidak

nyaman pada perut yang sering terjadi pada malam hari diperkuat dengan adanya

nyeri tekan pada perut. Pasien DM dapat mengalami keluhan neuropati otonom

Gastrointestinal (GI) karena adanya disregulasi otonom. Neuropati otonom dapat

menyebabkan gastroparesis diabeticorum dengan manifestasi rasa tidak nyaman

ppada perut, rasa kenyang dini, dan ketidaknyamanan epigastrium. Pemeriksaan

penunjang yang digunakan dapat berupa endoscopy (Panagoulias et al, 2008).

Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan nilai tekanan darah 139/85

mmHg, jika diklasifikasikan menurut JNC VII masuk kategori Prehipertensi batas

atas. Pasien dengan DMT2, hiperglikemia sering dihubungkan dengan

hperinsulinemia, dilipidemia, dan hipertensi. Pada DM tipe ini, kadar insulin yang

rendah merupakan prediposisi dari hiperinsulinemia, dimana untuk selanjutnya

akan mempengaruhi terjadinya hiperinsulinemia. Apabila hiperinsulinemia ini

tidak cukup kuat untuk mengkoreksi hiperglikemia, keadaan ini dapat dinyatakan

sebagai DM tipe 2. Kadar insulin berlebih tersebut menimbulkan peningkatan


24

retensi natrium oleh tuybulus ginjal yang dapat menyebabkan hipertensi (Putra et

al, 2019).

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien usia 69 tahun berjenis

kelamin perempuan, didapatkan diagnosa DM teregulasi dengan hipertensi

terkontrol, neuropati, dan Abdominal discomfort. Sehingga perlu dilakukan

penetalaksanaan sebagai berikut :

 Farmakologi:

Gabapentin 1 x 300 mg No.XXX

Lisonopril 1 x 10 mg No.XXX

Gliquidon 1 x 15 mg No.XXX

Paracetamol 250 mg No. XXX

BAB V
PENUTUP

5. 1 Kesimpulan
Pasien Ny. P dengan usia 69 tahun didapatkan diagnosa Diabetes Melitus
teregulasi dengan hipertensi terkontrol, neuropati, dan Abdominal discomfort
yang didapatkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik pada pasien.
25

5. 2 Saran
Perlu menyampaikan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit
yang dialami dan cara menjaga kondisi pasien.

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA). (2018). American Diabetes Association

Standards Of Medical Care In Diabetes—2018

Badan Penelitian dan Pengembangan kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013.

Jakarta: Kemenkes RI; 2013


26

Bays, H., Chapman, R. and Grandy, S. (2007). The relationship of body mass

index to diabetes mellitus, hypertension and dyslipidaemia: comparison of

data from two national surveys. International Journal of Clinical Practice,

61(5), pp.737-747.

Chawla, A., Chawla, R., & Jaggi, S. (2016). Microvasular and macrovascular

complications in diabetes mellitus: Distinct or continuum?. Indian journal

of endocrinology and metabolism, 20(4), 546–551.

https://doi.org/10.4103/2230-8210.183480

Choi, B. and Shi, F. (2001). Risk factors for diabetes mellitus by age and sex:

results of the National Population Health Survey. Diabetologia, 44(10),

pp.1221-1231.

Daousi, C. (2006). Prevalence of obesity in type 2 diabetes in secondary care:

association with cardiovascular risk factors. Postgraduate Medical Journal,

82(966), pp.280-284.

Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. (2011). Diabetes Care, 35,

pp.S64-S71.

Fowler, M. (2011). Microvascular and Macrovascular Complications of Diabetes.

Clinical Diabetes, 29(3), pp.116-122.

Hardiman. 2009. Rapid acting insulin analogue merupakan satu langkah lebih

maju dalam terapi DM tipe-2 dalam kondisi gawat darurat maupun untuk

regulasi glukosa darah. Naskah Lengkap Simposium Hari Diabetes Dunia

2009. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

International Diabetes Federation (2017) IDF Diabetes Atlas Eighth Edition 2017,

International Diabetes Federation.


27

Kementerian Kesehatan RI, 2013. ”Riset Kesehatan Dasar‟. Jakarta: Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Kerner, W. and Brückel, J. (2014). Definition, Classification and Diagnosis of

Diabetes Mellitus. Exp Clin Endocrinol Diabetes, 122(07), pp.384-386.

Ozougwu, O. (2013). The pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2

diabetes mellitus. J. Physiol. Pathophysiol. 4(4), pp. 46-57.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. (2015). Edisi Pertama.

Jakarta: Indonesian Heart Association.

PERKENI, (2015). Konsesus dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 Di

Indonesia.Jakarta

Purwanti, O. S. (2013). Analisis Faktor-Faktor Resiko Terjadinya Ulkus Kaki

pada Pasien Diabetes Melitus di RSUD Moewardi Surakarta. Tesis:

Universitas Indonesia.

Schreiber, A. K., Nones, C. F., Reis, R. C., Chichorro, J. G., & Cunha, J. M.

(2015). Diabetic neuropathic pain: Physiopathology and treatment. World

journal of diabetes, 6(3), 432–444.

Anda mungkin juga menyukai