Anda di halaman 1dari 45

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang

memungkinkan seseorang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (WHO,

2015). Dalam era globalisasi segala upaya ditujukan untuk dapat meningkatkan

kualitas manusia Indonesia. Hal ini tidak mungkin dapat terwujud tanpa

perbaikan dan peningkatan kesehatan masyarakat Indonesia, maka dibutuhkan

petugas kesehatan yang memiliki keterampilan ketelitian dan kecakapan dalam

merawat klien dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dalam

kesempatan ini, penulis membahas tentang perawatan pasien dengan retensi

urine, karena pasien dengan retensi urine merupakan hal penting yang harus

ditangani dan dibutuhkan keterampilan, ketelitian serta kecakapan dalam

merespon keluhan-keluhan yang dialami oleh pasien.

Retensi urin merupakan akumulasi urin yang nyata dalam kandung kemih

akibat ketidakmampuan pengosongan kandung kemih, sehingga timbul

perasaan tegang, tidak nyaman, nyeri tekan pada simpisis, gelisah, dan terjadi

diaphoresis (berkeringat). Tanda-tanda utama retensi urin akut yaitu tidak

adanya haluaran urin selama beberapa jam dan terdapat distensi kandung

kemih. Pasien yang berada di bawah pengaruh anestesi atau analgetik mungkin

hanya merasakan adanya tekanan, tetapi klien yang sadarakan diri merasakan

nyeri hebat karena distensi kandung kemih melampaui kapasitas normalnya.

Pada retensi urin, kandung kemih dapat menahan 2000 3000 ml urin. Retensi

1
urin dapat terjadi akibat obstruksi uretra, traumabedah, perubahan stimulasi

saraf sensorik dan motorik kandung kemih, efeksamping obat dan ansietas

(Perry & Potter, 2006).

Penelitian yang dilakukan di Amerika pada pria dengan usia antara 40

sampai 83 tahun memiliki resiko yang cukup tinggi antara 4,5 6,8 per 1000

pria pertahun untuk mengalami retensi urin, dan semakin meningkatnya usia

maka seorang pria akan lebih rentan untuk mengidap retensi urin. Hasil

penelitian Warner (2009) mengatakan bahwa retensi urin umum terjadi setelah

anastesi dan pembedahan, dengan laporan kejadiannya antara 50% - 70%.

Dalam 10 tahun terakhir terdapat 333 kasus tentang retensi urin. 19 dari 167

orang (11%) memiliki retensi urin. Risiko retensi urin terbesar adalah pasien

yang lebih tua, atau yang mengonsumsi obat antikolinergik, atau yang memiliki

riwayat diabetes dan fecal impaction (Borrie, et al, 2001).

Pada retensi urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai rasa

sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai

mengejan. Retensi urine dapat terjadi menurut lokasi, faktor obat dan faktor

lainnya seperti ansietas, kelainan patologi uretra, dan trauma. Akibat lanjut

retensi urin, buli-buli akan mengembang melebihi kapasitas maksimal sehingga

tekanan di dalam lumennya dan tegangan dari dindingnya akan meningkat. Bila

keadaan ini dibiarkan berlanjut, tekanan yang meningkat di dalam lumen akan

menghambat aliran urin dari ginjal dan ureter sehingga terjadi hidroureter dan

hidronefrosis dan lama-kelamaan akan menjadi gagal ginjal. Retensi urin juga

menjadi penyebab terjadinya infeksi saluran kemih (ISK) dan bila ini terjadi

2
dapat menimbulkan gawat yang serius seperti pielonefritis dan urosepsis

(Gardjito, 2009).

Penatalaksanaan yang dapat diberikan kepada pasien dengan retensi urin

sangat penting untuk dilakukan tatalaksan ayang baik dan efisien. Maka dari itu

hendaknya sebagai calon perawat sangat penting untuk mempelajari retensi

urin, sehingga dapat memberikan informasi kepada klien atau keluarga

mengenai intervensi baik dalam mencegah maupun mengatasi kasus retensi urin

dengan baik dan sesuai kode etik keperawatan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari Retensi Urin?

2. Apa sajakah etiologi dari Retensi Urin?

3. Apakah anatomi dari saluran kemih ?

4. Bagaimana patofisiologi dari Retensi Urin?

5. Apakah manifestasi klinis Retensi Urin?

6. Bagaimana pathway dari Retensi Urin?

7. Bagaimana pemeriksaan diagnostik pada Retensi Urin?

8. Apa saja penatalaksanaan dari Retensi Urin?

9. Bagaimana komplikasi dari Retensi Urin?

10. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Retensi Urin?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Memahami konsep teori dan asuhan keperawatan pada klien dengan

Retensi Urin

3
1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui dan memahami definisi Retensi Urin

2. Mengetahui dan memahami etiologi RetensiUrin

3. Mengetahui dan memahami anatomi saluran kemih

4. Mengetahui dan memahami patofisiologi Retensi Urin

5. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari Retensi Urin

6. Mengetahui dan memahami pathwat RetensiUrin

7. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik dari Retensi

Urin

8. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari Retensi Urin

9. Mengetahui dan memahami komplikasi Retensi Urin

10. Mengetahui dan menyusun proses asuhan keperawatan dari Retensi

Urin

1.4 Manfaat Penulisan

Melalui pembelajaran ini, kita dapat mengetahui konsep teori dan asuhan

keperawatan pada pasien dengan retensi urin.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Retensi Urin

Retensi urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan

urine yang terkumpul di dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli

terlampaui (Purnomo, 2011).

Retensi urine merupakan ketidakmampuan untuk mengososngkan

kandung kemih meskipun ada rangsangan miksi atau akumulasi urine di

kandung kemih karena ketidakmampuan untuk berkemih (Lewis et al, 2011).

Retensi urine adalah ketidakmampuan untuk mengosongkan isi kandung

kemih sepenuhnya selama proses pengeluaran urine (Brunner and Suddarth,

2010).

Retensi urine adalah suatu keadaan penumpukan urine di kandung kemih

dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengosongkannya secara

sempurna. Retensio urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari

fesika urinaria. (Kapita SelektaKedokteran).

Retensi urine merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih akibat

ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung kemih. Hal ini

menyebabkan distensi vesika urinaria atau merupakan keadaan ketika seseorang

mengalami pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Dalam keadaan

distensi, vesika urinaria dapat menampung urine sebanyak 3000-4000 ml urine

(Hidayat danUliyah, 2008).

5
2.2 Etiologi

Menurut Koizer (2009), penyebab retensi urin dibagi dalam lokasi

kerusakan saraf, yaitu :

a. Supravesikal

Kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis sakralis S2 S4 dan

Th12- L1. Kerusakan terjadi pada saraf simpatis dan parasimpatis baik

sebagian atau seluruhnya, misalnya retensi urin karena gangguan persarafan,

operasi miles, mesenterasi pelvis, dan kelainan medula spinalis (meningokel,

tabes dorsalis, atau spasmus sfingter).

b. Vesikal

Kelemahan otot destrusor karena lama teregang, berhubungan dengan

masa kehamilan dan proses persalinan, misalnya retensi urin akibat iatrogenik,

cedera/inflamasi, psikis, atoni pada pasien DM, dan divertikel yang besar.

c. Intravesikal

Berupa kekakuan leher vesika, striktur oleh batu kecil atau tumor pada

leher vesika urinaria, misalnya retensi urin akibat obstruksi adanya tumor,

batu kecil atau fimosis

d. Faktor lain berupa kelainan patologi urethra, trauma, BPH, striktur uretra,

karsinoma prostat dan obat-obatan golongan antikolinergik, anti spasmodik,

antidepresant, antihistamin dapat beresiko menyebabkan gangguan eliminasi

urin apabila dikonsumsi secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang

lama dapat menyebabkan hambatan dari eliminasi urin.

6
Menurut lama terjadinya, retensi urin dibedakan menjadi dua (Pierce &

Borley 2006) :

a. Retensi akut

Ditandai dengan nyeri, sensasi kandung kemih yang penuh, dan

distensi kandung kemih ringan. Penyebab tersering dari retensi akut pada :

1) Anak adalah obat-obatan,

2) Usia muda adalah pasca operasi, obat-obatan, ISK akut, trauma,

hematuria,

3) Usia lanjut disebabkan karena BPH, tumor dan pasca operasi

b. Retensi kronis

Ditandai dengan gejala-gejal iritasi kandung kemih (frekuensi, disuri,

urgensi) atau tanpa nyeri yang disebabkan oleh peningkatan volume residu

urin yang bertahap, distensi yang nyata, inkontinensia urin (seringkali

berhubungan dengan ISK sekunder). Penyebab tersering pada :

1) Anak adalah kelainan congenital,

2) Usia muda disebabkan trauma dan pasca operasi,

3) Usia lanjut disebabkan karena BPH, striktur, karsinoma prostat

Retensi urin kronik dapat terjadi tanpa adanya rasa nyeri yang dapat

disebabkan karena pembesaran prostat, pembesaran sedikit demi sedikit

mengobstruksi dari saluran kemih, dan ditandai dengan adanya perembesan

urin karena tekanan lebih tinggi dari pada tekanan sfingternya. Retensi urin

kronik tidak mengancam nyawa, namun dapat menyebabkan permasalahan

medis yang serius di kemudian hari.

7
2.3 Anatomi Saluran Kemih

Alat-alat kemih terdiri dari ginjal, pelvis renalis (pielum), ureter, buli-buli

(vesika urinaria), dan uretra. Dinding alat-alat saluran kemih mempunyai

lapisan otot yang mampu menghasilkan gerakan peristaltik.

a. Ginjal

Ginjal menghasilkan air seni dengan membuang air dan berbagai bahan

metabolik yang berbahaya yang mayoritas dihasilkan oleh alat-alat lain.

b. Pelvis Renalis (Pielum)

Mengumpulkan air seni yang datang dari apeks papilla. Mengecil

menjadi ureter yang dilalui air seni dalam porsi-porsi kecil sampai ke dalam

kandung kemih. Kapasitas rata-rata 3-8 ml. Air seni mula-mula terkumpul di

kaliks, saat sfingter kaliks berkontraksi. Kemudian, otot-otot dinding kaliks,

sfingter forniks, berkontraksi dan pada waktu yang bersamaan sfingter kaliks

berelaksasi. Air seni terdorong ke dalam pelvis renalis dibuang dengan cepat

oleh penutupan bergantian dari sfingter pelvis dan kaliks.

8
c. Ureter

Berbentuk seperti pipa yang sedikit memipih, berdiameter 4-7 mm.

Panjang bervariasi + 30 cm pada laki-laki dan + 1 cm lebih pendek dari

wanita. Kedua ureter menembus dinding kandung kemih pada fundusnya,

terpisah dalam jarak antara 4-5 cm, miring dari arah lateral, dari belakang

atas ke medial depan bawah. Ureter berjalan sepanjang 2 cm di dalam

kandung kemih dan berakhir pada suatu celah sempit (ostium ureter).

d. Kandung kemih (Buli-buli)

Pada dasar buli-buli, kedua muara ureter dan meatus uretra internum

membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. Buli-buli

berfungsi menampung urin dari ureter dan kemudian mengeluarkannya

melalui uretra dalam mekanisme berkemih. Kapasitas maksimal (volume)

untuk orang dewasa + 350-450 ml, kapasitas buli-buli pada anak [Umur

(tahun) + 2] x 30 ml Bila buli-buli terisi penuh, verteks dan dinding atas

terangkat dan membentuk suatu bantal yang lonjong dan pipih, yang dapat

meluas sampai tepi atas simfisis pubis. Selama kontraksi otot kandung kemih,

ketika dikosongkan selama berkemih, bentuknya menjadi bulat.

e. Uretra

Merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-buli melalui

proses miksi. Secara anatomis, uretra dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : uretra

posterior dan uretra anterior. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra

interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra

eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan uretra posterior.

9
Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh saraf

simpatik sehingga saat buli-buli penuh, sfingter terbuka. Sfingter ani eksterna

terdiri atas otot bergaris yang dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat

diperintah sesuai keinginan seseorang pada saat kencing, sfingter ini terbuka

dan tetap menutup pada saat menahan kencing.

Panjang uretra wanita + 3-5 cm dengan diameter 8 mm, berada di bawah

simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. + 1/3 medial uretra

terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris. Tonus otot

sfingter uretra eksterna dan tonus otot levator ani berfungsi mempertahankan

agar urin tetap berada di dalam buli-buli pada saat perasaan ingin miksi.

Miksi terjadi bila tekanan intra vesika melebihi tekanan intrauretra akibat

kontraksi otot detrusor, dan relaksasi sfingter uretra eksterna.

Panjang uretra pria dewasa + 23-25 cm. Uretra posterior pria terdiri atas

uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar

prostat, dan uretra pars membranasea. Uretra anterior adalah bagian uretra

yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis; uretra anterior terdiri atas

pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikularis, dan meatus uretra eksterna.

2.4 Patofisiologi

Pada retensi urin, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai

rasa sakit yang hebat didaerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat

disertai mengejan. Retensi urin dapat terjadi menurut lokasi, faktor obat dan

faktor lainnya seperti ansietas, kelainan patologi urethra, trauma dan lain

sebagainya yang menyebabkan kerusakan simpatis dan parasimpatis sebagian

10
atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang

mengakibatkan tidak adanya atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal,

vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang,intravesikal

berupa hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil

menyebabkan obstruksi urethra sehingga urin sisa meningkat dan terjadi dilatasi

bladder kemudian distensi abdomen. Faktor obat dapat mempengaruhi proses

BAK, menurunkan tekanandarah, menurunkan filtrasi glumerolus sehingga

menyebabkan produksi urin menurun. Faktor lain berupa kecemasan, kelainan

patologi urethra, trauma dan lain sebagainya dapatmeningkatkan tensi otot

perut, perianal, spinkter anal eksterna tidak dapat relaksasi dengan baik

(Purnomo, 2011).

Gambar 1. Patologi Retensi Urine (Grace dan Borley, 2007)

11
a. Neurologi
Proses berkemih melibatkan dua proses yang berbeda yaitu pengisian

dan penyimpanan urine serta pengosongan kandung kemih. Hal ini saling

berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung

kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem

saraf otonom dan somatik. Secara neurologi retensi urine dapat terjadi

karena adanya lesi pada saraf perifer, otak, atau sumsum tulang belakang.

Lesi ini bisa menyebabkan kelemahan otot detrusor dan inkoordinasi otot

detrusor dengan sfingter pada uretra.

Pada pasien yang mendapatkan anastesi spinal dapat menyebabkan

retensi urin. Hal ini karena anastesi spinal memblokade sakral yang

menyebabkan atonia vesika urinaria sehingga volume urin di vesika

urinaria jadi lebih banyak. Ketidakmampuan BAK ini dapat terjadi dalam

24 jam, tetapi selama waktu itu kandung kemih akan terus terisi dan penuh,

sehingga dibutuhkan kateter. (Heisler, 2011).

b. Obstruksi dan Infeksi


Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat

aliran kemih, bakteri akan terperangkap di dalam air kemih yang terkumpul

diatas penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi. Jika penyumbatan ini

berlangsung lama, akan terjadi penimbunan cairan urine sehingga dapat

terjadi retensi urine. Selain itu batu pada saluran kemih juga bisa

menyebabkan respon nyeri yang diakibatkan oleh pembesaran dari saluran

12
kemih tersebut. Pembesaran saluran kemihakan memicu pelepasan

mediator kimia yang dapat menyebabkan respon nyeri (Corwin, 2001).

c. Obat
Medikasi yang menggunakan bahan anti kolinergik, seperti trisiklik

antidepresan, dapat membuat retensi urine dengan cara menurunkan

kontraksi otot detrusor pada buli-buli. Obat-obat simpatomimetik, seperti

dekongestan oral, juga dapat menyebabkan retensi urine dengan

meningkatkan tonus alpha-adrenergik pada prostat dan leher buli-buli.

Dalam studi terbaru obat anti radang non steroid ternyata berperan dalam

pengurangan kontraksi otot detrusor lewat inhibisi mediator prostaglandin.

Banyak obat lain yang dapat menyebabkan retensi urine (Purnomo, 2011)

d. Trauma
Retensi urin akut dapat disebebkan karena tindakan pembedahan.

Pembedahan dapat memberikan etiologi luka trauma pada saraf pelvis atau

kandung kemih, distensi kandung kemih, edema pada sekitar leher kandung

kemih serta relaksasi otot sphincter eksterna. Retensi urin sementara sering

terjadi pascabedah dengan durasi rata-rata 7-8 jam dan sering terjadi pada

laki-laki. Penyebabnya akibat trauma atau komplikasi pasca bedah. Trauma

langsung yang paling sering adalah straddle injury, yaitu cedera dengan

kaki mengangkang, biasanya pada anak-anak yang naik sepeda, selain itu

tidak jarang juga terjadi cedera pasca bedah akibat kateterisasi atau

instrumentasi (Finucane, 2007).

13
Retensi dapat terjadi pada setiap pasien pascaoperatif, khususnya

pasien yang menjalani operasi didaerah perineum atau anal sehingga timbul

spasme-reflek sphicnter

Dari semua faktor di atas menyebabkan urin mengalir lambat kemudian

terjadi poliuria karena pengosongan kandung kemih tidak efisien. Selanjutnya

terjadi distensi bladder dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan,

salah satunya berupa kateterisasi urethra.

2.5 Manifestasi Klinis


a. Retensi akut

Ditandai dengan nyeri, sensasi kandung kemih yang penuh dan distensi

kandung kemih ringan. Penderita akan merasa nyeri yang hebat di daerah

suprapubik, bila penderita tidak terlalu gemuk, akan terlihat/teraba benjolan

di daerah suprapubik.

Menurut WHO (2007) tanda dan gejala pada retensi urin akut :

1) Ketidakmampuan untuk buang air kecil meskipun merasa dorongan

untuk berkemih.

2) Nyeri, biasanyapada perut bagian bawah.

3) Pembesaran kandung kemih yang satu palpasi dapat dirasakan sebagai

massa berbentuk kubah di perut bagian bawah.

Menurut Jurnal European Assosiation of Urology (M.J. Speakman,

2009)Acut Urinary Retention (AUR) pasien secara umum mengeluhkan

nyeri perut bagian bawah dan bengkak, ketidakmampuan untuk buang air

14
kecil atau buang air kecil dengan jumlah yang sedikit, teraba massa didaerah

pelvis serta hasil perkusi adalah dullness.

b. Retensi kronis

Ditandai dengan gejala-gejala iritasi kandung kemih (frekuensi, disuria,

volume sedikit) atau tanpa nyeri, distensi yang nyata, inkontinensia urin

(sering berhubungan dengan infeksi tractur urinary sekunder). Penderita sama

sekali tidak bisa miksi, gelisah, mengedan bila ingin miksi, dan terjadi

inkontinensia.

Menurut Jurnal European Assosiation of Urology (M.J. Speakman, 2009)

Cronic Urinary Retention (CUR) ketika ditemukannya residu urine sebesar

300cc sampai 500cc pada kandung kemih, dapat pula disertai BAK sangat

sedikit, frekuensi BAK yang sering, kesulitan untuk memulai berkemih

sampai pada tanda dan gejala adanya gagal ginjal. Pada CUR biasanya sering

diikuti oleh infeksi pada tractus urinary akibat adanya penumpukan residu

urin.

Pada anamnesa, pasien akan mengeluh sulit buang air kecil. Pada

inspeksi, palpasi dan perkusi, akan didapatkan buli-buli yang mengembang.

Pada perkusi akan terdengar pekak, yang menentukan adanya buli-buli yang

penuh pada penderita yang gemuk (Purnomo, 2011).

Tanda klinis retensi urin secara umum (Hidayat dan Uliyah, 2008):

a. Ketidak nyamanan daerah pubis .

b. Distensi vesika urinaria.

c. Ketidak sanggupan untuk berkemih.

15
d. Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urin (25-50 ml).

e. Ketidakseimbangan jumlah urin yang dikeluarkan dengan asupannya.

f. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih.

g. Adanya urin sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

2.6 Pathway

Supravesikal Vesikal Intravesikal

Kerusakan
medulla
spinalis Th12-
L1. Kerusakan
saraf simpatis
dan
parasimpatis

Neuropati Otot Penyumbatan/


destrusor penyempitan
meleamah uretra

Distensi
kandung
kemih

Retensi Urin

16
2.7 Pemeriksaan Diagnostik

a. Foto polos abdomen

Sangat diperlukan sebelum melakukan pemeriksaan penunjang saluran

kemih. Film polos dapat menunjukan batu ginjal pada sistem pelvicalyces,

klasifikasi parenkim ginjal, batu uretere, klasifikasi dan batu kandung

kemih, klasifikasi prostat, atau deposit tulang sklerotik (Patel 2006).

b. Ureum dan elektrolit

Digunakan untuk menentukan indeks fungsi ginjal (Rubenstein, et al,

2005)

c. Kultur dan sensitivitas MSU

Berhubungan dengan infeksi, termasuk sitologi jika dicurigai terdapat

tumor (Grace and Borley 2006).

d. Sistografi

Sistografi adalah pemeriksaan radiografik kandun kemih, setelah

kandung kemih diisi oleh suatu medium kontras. Tujuannya untuk

memeriksa katup uretra, striktur. (Brooker 2008).

e. IVU (Inravenous Urography)

Pasien dengan retensi urin dan infeksi saluran kemih dianjurkan untuk

melakukan ultrasonografi dibandingkan IVU. Setelah didapatkan film

abdomen sebagai kontrol awal, sebanyak 50-100 ml media kontras dengan

osmolar rendah yang teriodinisasi disuntikan ke pasien. Kontras dengan

cepat mencapai ginjal dan akan dikeluarkan melalui filtrasi glomelurus.

Film yang diambil sesaat setelah penyuntikan kotras akan menggambarkan

17
fase nefrogram yang memperlihatkan parenkim ginjal dan batas-batasnya.

Film-film yang diambil 5, 10, dan 15 menit setelah penyuntikan akan

memperlihatkan sistem pelvicalyces, ureter, dan kandung kemih, urutan ini

bervariasi tergantung pada masing-masing pasien. Adanya obstruksi ginjal

mungkin membutuhkan pemerikasaan yang lebih lama sampai 24 jam untuk

menggambarkan sistem pelvicalyses. Indikasi untuk pemeriksaan batu

ginjal/kandung kemih (Patel 2005).

f. Urodinamik

Merupakan suatu studi atau penelitian fungsi kandung kemih.

Urodinamik ini memberikan penjelasan keterkaitan untuk pengeluaran dan

penyimpanan di bladder dan uretra. Penjelasan terhadap gejala-gejala dan

masalah pada setiap individu lebih jelas. Urodinamik memberikan

identifikasi dan penilaian masalah neurologis, penilaian BPH (Abrams

2006).

g. Sistoskopi

Sistoskopi adalah pemeriksaan langsung pada kandung kemih dengan

menggunakan instrumen yang disebut sistokop (Baradero 2008).

h. Urin analisis

Urin analisis yaitu adanya darah dalam urine bisa disebabkan karena

kelainan di bagian mana pun dari saluran kemih. Jumlah darah yang sedikit

saja bisa secara signifikan mengubah warna urin menjadi merah muda atau

merah. Adanya hematuria mikroskopik (nampak pada pemeriksaan dipstik

dan pemeriksaan mikroskopik) atau makroskopik yang terus menerus harus

18
diperiksa lebih lanjut karena mungkin merupakan gambaran awal dari suatu

karcinoma pada ginjal atau kelainan ginjal lain yang serius (Davey, 2006).

1) Berat jenis urine : nilai normalnya adalah 1,010-1,026. Prosedur ini

dapat mengukur kemampuan ginjal untuk mengonsentrasi urine.

Prosedur dimulai dengan mengambil urine yang pertama waktu

bangun pagi hari. Pasien tidak memerlukan persiapan khusus

(Baradero et al, 2009).

2) Osmolalitas urine : nilai normalnya adalah 500-800 mOsm. Uji ini

merupakan yang terbaik untuk mengetahui fungsi ginjal. Osmolalitas

adalah konsentrasi total partikel dalam larutan (Baradero et al, 2009).

3) Klirens kreatinin: nilai normal pria 90-140 ml/menit wanita 85-125

ml/menit. Prosedur ini menilai kecepatan ginjal untuk mengambil

kreatinin dari plasma

Uroflometri

i. Uroflowmetri

Uroflowmetri adalah pencatatan tentang pancaran urin selama proses

miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala

obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri

dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi pancaran maksimum,

pancaran rata-rata, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran

maksimum dan lamanya pancaran.

19
j. Uretrografi

Uretrografi adalah pencitraan uretra dengan memakai bahan kontras. Bahan

kontras dimasukkan langsung melalui klem Broadny yang dijepitkan pada

glans penis. Gambaran yang mungkin terjadi adalah :

1) Jika terdapat striktura uretra akan tampak adanya penyempitan atau


hambatan kontras pada uretra.
2) Trauma uretra tampak sebagai ekstravasasi kontras keluar dinding
uretra.
3) Tumor uretra atau batu non opak pada uretra tampak sebagai filling
defect pada uretra.
k. Uretrosistoskopi.

Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra

prostatika dan buli-buli. Terlihat adanya pembesaran, obstruksi uretra dan

leher buli-buli, batu buli-buli, selule dan divertikel buli-buli.

Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan

untuk menentukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi

terbuka. Disamping itu pada kasus yang disertai dengan hematuria atau

dugaan adanya karsinoma buli-buli sistoskopi sangat membantu dalam

mencari lesi pada buli-buli.

l. Ultrasonografi.

Prinsip pemeriksaan ultrasonografi adalah menangkap gelombang

bunyi ultra yang dipantulkan oleh organ-organ (jaringan) yang berbeda

kepadatannya. Pemeriksaan ini tidak invasif dan tidak menimbulkan efek

radiasi. USG dapat membedakan antara massa padat (hiperekoik) dengan

20
massa kistus (hipoekoik). Pada kelenjar prostat, melalui pendekatan

transrektal (TRUS) dipakai untuk mencari nodul pada keganasan prostat

dan menentukan volume / besarnya prostat. Jika didapatkan adanya dugaan

keganasan prostat, TRUS dapat dipakai sebagai penuntun dalam melakukan

biopsy kelenjar prostat.

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakaukan pada retensi urine dibagi menjadi


dua yaitu :
a. Mengeluarakan urine yang tertahan.
1) Kateterisasi

Pada retensi urin akut, pengobatannya dimulai dengan memasukkan

kateter melewati uretra untuk mengosongkan kandung kemih.

Pengobatan awal ini untuk mengurangi kesakitan dari kandung kemih

yang penuh dan mencegah kerusakan kandung kemih yang permanen.

Namun pemasangan kateter harus steril untuk mencegah terjadinya

infeksi. Pengobatan jangka panjang untuk retensi urin akut tergantung

dari penyebabnya (lewis,2011).

2) Sistostomi Suprapubik

Sistostomi adalah suatu tindakan pembedahan untuk mengalirkan

kencing melalui lubang yang dibuat di supra pubik untuk mengeluarkan

urine dari buli-buli serta mangatasi retensi urine dan menghindari

komplikasi.

21
(a) Sistostomi Trokar

Tindakan ini dikerjakan dengan anestasi lokal dan

menggunakan alat trokar. Indikasi sistostomi trocar adalah untuk

kateterisasi gagal, striktur, batu uretra yang menancap (impacted)

katerisasi tidak dibenarkan adanya robekan uretra karena trauma.

(b) Sistostomi terbuka

Sistostomi terbuka dikerjakan bila terdapat kontra indikasi

pada tindakan sistostomi trokar atau tidak terdapat alat trokor

dianjurkan untuk melakukan sistostomi terbuka jika terdapat

sikatriks/ bekas operasi pada daerah suprasimfisis, sehabis

mengalami trauma didaerah panggul yang mencederai buli-buli dan

adanya bekuan darah pada buli-buli yang tidak mungkin dilakukan

tindakan per uretram.

3) Pungsi buli-buli

Merupakan tindakan darurat sementara bila katerisasi tidak berhasil

dan fasilitas atau sarana untuk sistostomi baik trokar maupun terbuka

tidak tersedia. Pada tindakan pungsi buli-buli digunakan jarum pungsi

dan penderita segera dirujuk ke pusat pelayanan dimana dapat dilakukan

sistostomi.

4) Uretrolitotomy

Ureterolitotomi adalah suatu tindakan operasi yang bertujuan untuk

mengambil batu ureter baik ureter proksimal (atas) ataupun distal

(bawah). Operasi ini dengan menggunakan sayatan di kulit. Letak irisan

22
sangat bergantung letak batu. Untuk batu di ureter atas, irisan berada di

pinggang berbentuk garis lurus yang oblik. Untuk batu di ureter bawah

maka irisan di perut bawah garis lurus yang sejajar tubuh. Tindakan ini

jika retensi urine disebabkan oleh batu yang terdapat pada ureter (Mary,

2008).

b. Berdasarkan penyebab retensi urine

1) Pengobatan retensi urin karena karsinoma prostat

Saat ini penentuan pengobatan untuk karsinoma prostat didasarkan

atas derajat dan fase daripada tumor, harapan hidup pasien dan

kemampuan tiap terapi untuk menjamin kelangsungan hidup dengan

bebas penyakit. Beberapa pilihan terapi untuk karsinoma prostat ialah :

(a) Tanpa terapi / watchfull waiting

Walaupun kemajuan kanker lokal dapat terjadi, dengan

menunggu dan berjaga-jaga pada fase awal kanker prostat, tingkat

kematian setelah 10 tahun sangat rendah antara 4 15 %. Akan

tetapi pada penelitian lebih lanjut antara 15 20 tahun, peningkatan

signifikan pada resiko lokal atau perkembangan sistemik dan

kematian dari kanker prostat dapat terjadi. Peningkatan resiko

tersebut sangat berhubungan dengan derajat kanker.

(b) Prostatektomi radikal.

Pasien yang berada dalam stadium T1-2 N0 M0 adalah cocok

untuk dilakukan prostatektomi radikal, yaitu berupa pengangkatan

kelenjar prostat bersama dengan vesika seminalis. Hanya saja

23
operasi ini dapat menimbulkan penyulit, antara lain perdarahan,

disfungsi ereksi, dan inkontinensia. Tetapi dengan teknik

nervesparring yang baik terjadinya kerusakan pembuluh darah dan

saraf yang memelihara penis dapat dihindari sehingga timbulnya

penyulit berupa disfungsi ereksi dapat diperkecil.

(c) Radioterapi.

Ditujukan untuk pasien tua atau pasien dengan tumor loko-

invasif dan tumor yang telah mengadakan metastasis. Pemberian

radiasi eksterna biasanya didahului dengan limfadenektomi. Diseksi

kelenjar limfe saat ini dapat dikerjakan melalui bedah laparoskopi

disamping operasi terbuka.

2) Pengobatan retensi urin karena Beningn Prostat Hiperplasia

Tujuan terapi pada pasien BPH adalah untuk mengembalikan

kualitas hidup pasien. Terapi yang diberikan tergantung pada derajat

keluhan, keadaan pasien maupun kondisi obyektif kesehatan pasien

yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari :

(a) Tanpa terapi / watchfull waiting

Watchfull waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi

apapun tetapi perkembangan penyakit dan keadaannya tetap diawasi

oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan kepada pasien dengan

IPSS skor dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu

aktivitas sehari-hari. Setiap enam bulan sekali pasien diminta untuk

kontrol kembali.

24
(b) Medikamentosa

Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk

mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik

atau mengurangi volume prostat sebagai komponen statik.

3) Pengobatan retensi urin karena striktura uretra.(David, 1994)

Jika pasien datang karena retensi urin secepatnya dilakukan

sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urin. Jika dijumpai abses

periuretra dilakukan insisi dan pemberian antibiotik. Tindakan khusus

yang dilakukan terhadap striktura uretra adalah :

(a) Businasi (dilatasi) dengan cara memasukkan pipa dengan busi

logam kedalam uretra dan dilakukan secara hati-hati. Metode

alternative lain ialah dengan memasukkan balon kecil diujung

kateter didalam uretra.

(b) Uretrotomi internal yaitu memotong jaringan sikatriks uretra

dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse. Otis dikerjakan jika

belum terjadi striktura total, sedangkan pada striktura yang lebih

berat, pemotongan striktura dikerjakan secara visual dengan pisau

sachse.

(c) Uretrotomi eksterna adalah tindakan operasi terbuka berupa

pemotongan jaringan fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis

diantara jaringan uretra yang masih sehat.

25
4) Pengobatan retensi urin karena batu uretra

Tindakan untuk mengeluarkan batu tergantung dari posisi, ukuran,

dan bentuk batu. Seringkali batu yang ukurannya tidak terlalu besar

dapat keluar spontan asalkan tidak ada kelainan atau penyempitan

uretra. Batu pada meatus uretra eksternum atau fossa navikularis dapat

diambil dengan forcep setelah terlebih dahulu dilakukan pelebaran

meatus uretra (meatotomi), sedangkan batu kecil di uretra anterior dapat

dicoba dikeluarkan dengan melakukan lubrikasi terlebih dahulu dengan

memasukkan campuran jelli dan lidokain 2% intrauterine dengan

harapan batu dapat keluar spontan. Batu yang cukup besar dan berada di

uretra posterior didorong terlebih dahulu ke buli-buli kemudian

dilakukan litotripsi. Untuk batu yang besar dan menempel di uretra

sehingga sulit berpindah tempat meskipun telah dilubrikasi, mungkin

perlu dilakukan uretrolitotomi atau dihancurkan dengan pemecah batu

transuretra.

5) Pengobatan retensi urin karena fimosis

Infeksi awal dapat dirawat dengan obat antimicrobial spektrum

luas.kulit depan bagian dorsal dapat dipotong jika drainase dibutuhkan.

Sirkumsisi jika terdapat indikasi dapat dilakukan setelah infeksi tersebut

dapat dikontrol.

6) Pengobatan retensi urin karena parafimosis

Parafimosis biasanya dapat diobati dengan memijit dengan kuat

glans selama lima menit untuk mengurangi edema jaringan dan

26
mengurangi ukuran dari glans. Kulit tersebut dapat ditarik kedepan

melewati glans. Kadang-kadang lingkaran konstriksinya memerlukan

insisi dengan local anastesi. Antibiotik dapat diaplikasikan dan

sirkumsisi dapat dilakukan setelah inflamasi reda.

7) Pengobatan retensi urin karena sistokel dan rektokel

Wanita memerlukan pembedahan untuk mengangkat jatuhnya

kandung kemih atau rectum. Prosedur yang paling umum untuk

cystocele dan rectocele adalah membuat suatu insisi di dinding liang

vagina untuk menemukan kelainan atau lubang pada membran.

kemudian menjahit fascia untuk menutup kelainan atau lubang tersebut,

kemudian menutup insisi di dinding vagina dengan jahitan yang lebih.

Langkah ini mempererat lapisan jaringan yang memisahkan organ,

menciptakan penahan yang lebih kuat untuk organ panggul.

2.9 Komplikasi

a. Urolitiasis atau nefrolitiasis

Nefrolitiasis adalah adanya batu pada atau kalkulus dalam velvis renal,

sedangkan urolitiasis adalah adanya batu atau kalkulus dalam sistem

urinarius. Urolithiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) ditraktus

urinarius. Batu terbentuk dari traktus urinarius ketika konsentrasi subtansi

tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat.

b. Pielonefritis

Pielonefritis adalah radang pada ginjal dan saluran kemih bagian atas.

Sebagian besar kasus pielonefritis adalah komplikasi dari infeksi kandung

27
kemih (sistitis). Bakteri masuk ke dalam tubuh dari kulit di sekitar uretra,

kemudian bergerak dari uretra ke kandung kemih. Kadang-kadang,

penyebaran bakteri berlanjut dari kandung kemih dan uretra sampai ke

ureter dan salah satu atau kedua ginjal. Infeksi ginjal yang dihasilkan

disebut pielonefritis.

c. Infeksi Saluran Kemih

Urin yang tertampung di buli-buli harus segera dikeluarkan karena urin

yang tertampung akan berisiko menjadi media untuk bakteri berkembang

dan akan menyebabkan Infeksi saluran kemih. Karena adanya sisa urin

setiap kali miksi, maka lama kelamaan akan terbentuk batu endapan di

dalam kansung kemih, yang kemudian akan menyebabkan bertambahnya

keluhan iritasi dan menimbulkan keluhan hematuria pada pasien. Selain itu

batu akan menyebabkan timbulnya penyakit sistitis dan bila terjadi refluks

dapat menyebabkan terjadinya pielonefritis (Purnomo 2011).

d. Hidronefrosis

Buli-buli akan mengembang melebihi kapasitas maksimal sehingga

tekanan di dalam lumennya dan tegangan dari dindingnya akan meningkat.

Bila keadaan ini dibiarkan berlanjut, tekanan yang meningkat didalam

lumen akan menghambat aliran urin dari ginjal dan ureter sehingga terjadi

hidroureter dan bila sampai ke ginjal akan menyebabkan hidronefrosis dan

bila terjadi infeksi sehingga mempercepat terjadinya kerusakan ginjal dan

menyebabkan gagal ginjal.

28
e. Kerusakan bladder

Jika kandung kemih menjadi membentang terlalu jauh atau untuk waktu

yang lama, otot-otot mungkin rusak secara permanen dan kehilangan

kemampuan untuk berkontraksi.

29
BAB 3
KASUS RETENSI URIN

Tn. M 59 tahun dibawa ke RSUA pukul 20.00 WIB oleh istrinya dengan

keluhan tidak dapat berkemih dengan puas tetapi ada keinginan untuk berkemih. Tn.

M mengeluh nyeri pada area Suprapubis, ada rembesan kencing yang tidak

terkendali. Pada pemeriksaan fisik Tn. M diperoleh TTV : TD: 140/70mmHg, Suhu :

36.8 oC, N: 96x/menit, RR: 22x/menit. Saat pemeriksaan fisik ditemukan adanya

distensi kandung kemih, dan klien merasa nyeri skala 7 pada area abdomen bagian

bawah. Klien mengatakan gatal dan risih pada area perineal karena rembesan urin.

Klien mengaku memiliki riwayat operasi BPH (Benigna Prostate Hyperplasia).

3.1 Pengkajian

a. Identitas

Nama Pasien : Tn. M

Umur : 59 tahun

Suku/ Bangsa : Jawa / Indonesia

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Kertajaya, Surabaya

Tanggal MRS : 17 April 2015 / 20.00 WIB

DiagnosaMedis : Retensi Urin

b. Keluhan utama

30
Klien tidak dapat berkemih dengan puas tetapi ada keinginan untuk

berkemih , nyeri perut bagian bawah, dan gatal pada daerah perinealnya

P = sakitnya akibat adanya distensi kandung kemih yang berlebihan

Q = klien merasa nyeri

R = nyeri terdapat pada bagian suprapubis non-spesific

S = nyeri yang dirasakan dari skal 1-10 disebutkan 7

T = Pada kasus ini nyeri lebih sering dirasakan pada saat pagi hari.

c. Riwayat kesehatan klien

1) Riwayat kesehatan masa lalu.

Klien memiliki riwayat penyakit BPH (Benigna Prostate Hyperplasia)

2) Riwayat penyakit sekarang

Klien dibawa ke RSUA karena mengeluhkan tidak dapat kencing dengan

puas tetapi ada keinginan untuk berkemih, perutnya bagian bawah nyeri,

gatal pada daaerah perinealnya.

3) Riwayat kesehatan keluarga

Tidak ada keluarga klien yang menderita penyakit seperti yang

dikeluhkan klien.

4) Riwayat obat-obatan

Tidak ada terapi obat-obatan khusus.

5) Riwayat penyalah gunaan obat-obatan dan alkohol.

Klien biasanya mengkonsumsi obat anti nyeri yang di beli di warung.

6) Riwayat merokok

Klien tidak pernah merokok

31
7) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

Klien tidak pernah menahan kemih.

8) Riwayat Psikososial

(a) Persepsi terhadap kondisi klien

Klien merasa tubuhnya saat ini tidak berasa ingin berkemih, sehingga

klien merasa cemas.

(b) Mekanisme koping dan sistem pendukung

Klien berusaha untuk tidak beraktifitas banyak dan berat karena

menghindari nyeri nya yang makin berat.

(c) Pengkajian pengetahuan klien dan keluarga

Klien tidak mengetahui tentang kondisi penyakitnya.

(d) Nilai kepercayaan

Klien menyadari bahwa penyakit adalah cobaan dari Tuhan

d. Pemeriksaan Fisik

(a) Keadaan Umum

Kompos mentis

(b) Tanda-tanda vital:

TD : 140/70 mm/Hg

S : 36,8oC

N : 96 x/menit

RR : 22 x/menit

(c) Pemeriksaan fisik (head to toe):

Pada wajah / muka : tampak pucat, konjungtiva anemis

32
Pada kulit : akral hangat

Pada perut : ada distensi abdomen (area kandung kemih)

Pada alat genitalia :lembab karena rembesan urin yang

tidakterkontrol dan gatal.

(d) Sistem tubuh:

(1) Pernafasan (B1:Breathing)

Tidak ada kelainan pada pola pernapasan dan bentuk dada simetris.

(2) Kardiovaskuler (B2:Bleeding)

a) Tidak ada nyeri dada

b) Suara jantung normal, regular S1/S2 tunggal

c) CRT : < 2 detik

(3) Persyarafan (B3:Brain)

a) Kesadaran: (kompos mentis)

b) GCS: E=4, V=5 , M=6. Total nilai:15

c) Wajah tampak merenggut

d) Mata

Sklera : normal (tidak icterus)

Konjungtiva : normal (tidak anemis)

Pupil : isokor (4mm)

e) Persepsi sensori:Tidak terjadi kelainan atau gangguan pada semua

indra klien

f) Nyeri pada area suprapubis

(4) Perkemihan (B4:Bladder)

33
a) Area genetelia lembab dan gatal

b) Area meatus bersih

c) Klien tidak ada keinginan berkemih sejak kemarin pagi dan ada

rembesan urin tanpa dikontrol

d) Produksi urine 100 cc/jam, kondisi urine pekat

e) Ada distensi kandung kemih

(5) Pencernaan (B5: Bowel)

Tidak ada keluhan

(6) Kekuatan otot (B6 :Bone)

Tidak ada keluhan

(e) IPPA

(1) Inspeksi :ada benjolan suprapubis, sikatrik (-), area perineal

tampak lembab dan kemerahan.

(2) Auskultasi : peristaltik (+) , bruit (-)

(3) Perkusi : nyeri ketok CVA (-)

(4) Palpasi : nyeri tekan daerah pinggang (-), hepar-lien tidak teraba,

massa ginjal (-) , teraba benjolan di area suprapubis (+)

e. Pemeriksaan Diagnostik

1) Pemeriksaan laboratorium

(a) Hb klien 7,4 g/dl. Klien mengalami anemia.

Nilai normalnya 13,0 16,0 g/dl

(b) BUN klien : 14,2mg/dl dan kreatinin klien: 76,3U/L.

34
Konsentrasi BUN normal besarnya antara 5-25 mg/dl, sedangkan

konsentrasi kreatinin plasma besarnya 70 160 U/L.

(c) Albumin dalam darah pasien didapat 3mg/dl.

Nilai normalnya: 3-5mg/dl

(d) Kadar Na klien: 138mmol/L..

Nilai normalnya 135 145 mmol/L

(e) Kadar K klien: 4.0mmol/L

Nilai normalnya 3,5 5,0 mmol/L.

2) Pemeriksaan Radiologi

Pada pemeriksaan Uroflowmetri didapatkan hasil residu urin sebesar

350mL. normalnya 200 ml. Klien mengalami retensi urin

3.2 Analisa Data


Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS: Riwayat penyakit Retensi urin
Pasien menyatakan tidak
bisa BAK dengan puas Penyempitan saluran kemih
DO:
a. Distensi kandung Aliran urin macet
kemih
b. Frekuensi berkemih Urin tertahan di bladder
berkurang (hanya ada
rembesan) Retensi urin
c. Volume urin sekali
keluar kurang dari
normal (<300cc) /
volume rembesan

35
DS: Retensi Urin Nyeri akut
Pasien menyatakan nyeri
tekan di daerah suprapubik Tidak ada haluaran urin
DO:
a. Ekspresi pasien tampak Distensi kandung kemih
meringis menahan rasa berlebihan
sakitnya
b. Pengkajian nyeri Nyeri di suprapububis
P: Ketika aktivitas
berlebih Nyeri Akut
Q: Terjadi terus-
menerus
R: Suprapubik
S: Skala 7
T: Sakit setiap saat
DS: Retensi Urin Gangguan Integritas
Klien mengeluh gatal pada Kulit
sekitar perineal Haluaran Urin tidak efisien
DO:
a. Kulit disekitar perineal Urin merembes sedikit
terlihat kemerahan dan
lembab Area perineal lembab dan gatal
b. Terdapat bekas garukan
di sekitar perineal Ganguan Integritas Kulit

36
DS : Tidak ada akses informasi dari Kurang pengetahuan
Klien mengatakan tidak teman, keluarga, atau media
tahu tentang penyakitnya terkait penyakitnya
DO :
c. Klien tidak dapat Kekurangan informasi
menjawab pertanyaan
sterkait penyakitnya Kurang pengetahuan
f) Klien tidak tahu
apa yang harus dilakukan
terkait penyakitnya

3.3 Diagnosa Keperawatan


1. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi traktus urinarius
2. Nyeri akut berhubungan dengan distensi kandung kemih
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kelembapan pada area
perineal
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
penyakitnya
3.4 Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi
DX Keperawatan hasil
1. Retensi urin NOC : NIC :
berhubungan Tujuan : 1. Manajemen dan monitoring cairan
dengan Setelah dilakukan a. Monitor tanda dan gejala
obstruksi traktus tindakan keperawatan, retensi urin
urinarius klien menunjukkan b. Berikan cairan sesuai
(00023) tidak ada gejala retensi kebutuhan
urin. c. Pertahankan keseimbangan
intake dan output

37
Kriteria hasil: d. Periksa turgor klien
a. Klien dapat 2. Kateterisasi urin
mempertahankan a. Ajarkan klien dan keluarga
pola berkemih. tentang tujuan, metode dan
b. Pengosongan rasional dari pemasangan
kandung kemih kateter
dapat maksimal. b. Pertahankan teknik aseptic
c. Dapat merespon ketika pemasangan kateter
keinginan untuk c. Perhatikan hand hygiene
berkemih. sebelum, selama, dan setelah
d. Volume setiap pemasangan kateter
berkemih >150cc d. Posisikan klien dengan tepat
e. Bersihkan area sekitar
pemasangan kateter
f. Gunakan kateter ukuran paling
kecil
g. Pastikan kateter telah cukup
terfiksasi untuk menghindari
trauma jaringan uretra
h. Pastikan penggantian ureter
sesegera mungkin sesuai
kondisi klien
i. Ajarkan klien dan keluarga
dalam perawatan kateter
3. Manajemen eliminasi urin
a. Pantau eliminasi urin termasuk
frekuensi, konsistensi, bau,
volume dan warna
b. Monitor tanda dan gejala

38
retensi urin
c. Ajarkan klien tanda dan gejala
infeksi dari pemasangan
kateter
d. Intruksikan klien dan keluarga
untuk mencatat output urin
e. Ajarkan klien untuk minum 8
Ons cairan dengan makanan
f. Instruksikan klien untuk
mengosongkan kandung
kemih secara maksimal
1.

2. Nyeri akut NOC : NIC :


berhubungan Tujuan : 1. Relaxation therapy
dengan distensi Setelah dilakukan a. Berikan terapi musik,
kandung kemih tindakan keperawatan, meditasi, rhythmic breathing.
(00132) klien menunjukkan b. Ciptakan lingkungan yang
nyeri akut berkurang. tenang
2. Urinary retention care
Kriteria hasil: a. Stimulasi reflex kandung
a. Nyeri dapat kemih dengan memberikan air
terkontrol dingin ke abdomen
b. Sediakan waktu cukup untuk

39
b. Episode terjadinya pengosongan bladder (10
nyeri dapat menit)
berkurang c. Gunakan kateter urin
c. Klien tidak d. Instruksikan untuk
menunjukkan tanda- menghindari konstipasi atau
tanda nyeri (agitasi, impaksi fekal (monitor intake
iritabilitas, output, monitor derajat
menangis, dan distensi bladder dengan
ekspresi nyeri) palpasi, kateterisasi untuk
residu urin).
e. Memantau eliminasi urin
termasuk frekuensi,
konsistensi, bau, volume, dan
warna yang sesuai
f. Pantau adanya tanda dan
gejala retensi urin
g. Mengidentifikasi faktor-faktor
yang berkontribusi terhadap
episode inkontinensia
h. Ajarkan tanda-tanda dan
gejala infeksi saluran kemih
pasien
i. Catat waktu eliminasi urin
terakhir, yang sesuai
j. Anjurkan pasien / keluarga
untuk merekam output urin,
yang sesuai

40
3. Gangguan NOC : NIC :
integritas kulit Tujuan : 1. Memodifikasi pakaian dan
berhubungan Setelah dilakukan lingkungan untuk menyediakan
dengan tindakan keperawatan, akses mudah ke toilet
kelembapan gangguan integritas 2. Membantu untuk memilih garmen
pada area kulit dapat diatasi. / pad sesuai inkontinensia untuk
perineal (00046) pengelolaan jangka pendek
Kriteria hasil : sementara pengobatan yang lebih
a. Klien menunjukkan definitif direncanakan
integritas kulit pada 3. Menyediakan pakaian pelindung,
daerah perineal yang sesuai kebutuhan
baik 4. Membersihkan daerah kulit genital
b. Tidak ada keluhan secara berkala
gatal 5. Memberikan umpan balik positif
c. Area perineal kering untuk setiap penurunan episode
/ tidak basah inkontinensia
4. Kurang NOC : NIC :
pengetahuan Tujuan : 1. Menilai tingkat pengetahuan
berhubungan Setelah dilakukan pasien yang berhubungan dengan
dengan tindakan keperawatan, proses penyakitnya
kurangnya klien memahami proses 2. Memberi penjelasan patofisiologi
informasi penyakit dari penyakit dan bagaimana hal
tentang itu berkaitan dengan anatomi dan
penyakitnya Kriteria hasil : fisiologi yang sesuai
(00126) a. Klien mengetahui 3. Ulasan pengetahuan tentang
karakteristik dan kondisi pasien
efek fisiologis dari 4. Menjelaskan tanda-tanda umum
penyakitnya dan gejala penyakit yang sesuai
5. Meninjau dengan pasien apa yang

41
b. Klien mengetahui telah dilakukan untuk mengelola
penyebab dan faktor gejala
risiko dari 5. Menjelaskan proses penyakit,
penyakitnya yang sesuai
c. Mengetahui strategi 6. Mengidentifikasi kemungkinan
untuk etiologi, sesuai
meminimalkan 7. Memberikan informasi kepada
perkembangan pasien tentang kondisi , yang
penyakit sesuai
d. Mengetahui potensi 1. Mengidentifikasi perubahan
komplikasi penyakit kondisi fisik pasien
e. Mengetahui tanda 2. Diskusikan perubahan gaya hidup
dan gejala yang mungkin diperlukan untuk
komplikasi penyakit mencegah komplikasi masa depan
f. Memahami sumber dan mengontrol proses penyakit
yang memiliki
reputasi penyakit
informasi spesifik

42
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Retensi urine adalah ketidakmampuan melakukan urinasi meskipun terdapat

keinginan atau dorongan terhadap hal tersebut atau tertahanya urine didalam

kandung kemih.

4.2 Saran

Sebagai seorang perawat yang memiliki kemampuan keilmuan keperawatan

diharapkan setiap melaksanakan asuhan keperawatan senantiasa berpegang pada

konsep yang sudah diberikan pada perkuliahan sehingga penatalaksanaan klien

dengan retensi urin dapat terlaksana dengan tepat dan benar.

43
DAFTAR PUSTAKA

Blackwell, Wiley. 2014. Nursing Diagnoses, Tenth edition. Garsington Road :


Pondicherry

Brunner and Suddarth. (2010). Text Book Of Medical Surgical Nursing 12th Edition
China : LWW

Heisler, J. (2011). Understandingt the Risks of Anesthesia. Diunduh dari


http://surgery.about.com/od/proceduresaz/ss/AnesthesiaRisks.htm

International,NANDA. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasfikasi 2009-


2011. Alih bahasa Made Sumarwati, Dwi Widiarti, Estu Tiar. Jakarta: EGC

International,NANDA. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasfikasi 2012-


2014. Alih bahasa Made Sumarwati, Dwi Widiarti, Estu Tiar. Jakarta: EGC

Lewis, SL, Dirksen, SR, Heitkemper, MM, Bucher, L & Camera, IM. 2011. Medical
Surgical Nursing, Assessment and Management of Clinical Problem. 8th
Edition. St. Louis-Missouri : Saunders Elsevier Inc.

M.J. Speakman, Odunayo Kalejaiye.(2009). European Association of Urology:


Management of Acut and Chronic Retention in Men. UK: Elsevier; 523-529

Moorhead, Sue. dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC), Fifth edition.
St.louis, Missouri : Elsevier mosby

Purnomo B. Basuki.(2011). Dasar-dasar Urologi, Edisi ketiga. Jakarta : CV Sagung


Seto

Taylor,Cynthia M. 2010. Diagnosis Keperawatan: dengan rencana asuhan


keperawatan. Alih bahasa:Eny Meiliya. Jakarta: EGC

44
45

Anda mungkin juga menyukai