Anda di halaman 1dari 36

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................... ii


Daftar Isi.............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 3
D. Manfaat Penulisan .................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Retensi Urin .............................................................................. 4
B. Etiologi Retensi Urin ............................................................................. 4
C. Patofisiologi Retensi Urin ....................................................................... 6
D. Manifestasi Klinis Retensi Urin .............................................................. 10
E. Pemeriksaan Diagnostik Retensi Urin .................................................... 12
F. Penatalaksanaan Retensi Urin ................................................................. 14
G. Komplikasi Retensi Urin ......................................................................... 17
H. Prognosis Retensi Urin ............................................................................ 23
I. ................................................................................................................. 24
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian .............................................................................................. 25
B. Diagnosa Keperawatan............................................................................ 28
C. Intervensi Keperawatan ........................................................................... 28
BAB IV KESIMPULAN
A. Kesimpulan ............................................................................................. 40
B. Saran ........................................................................................................ 41
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 42

i
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Retensi urin adalah akumulasi urin yang nyata dalam kandung kemih akibat
ketidakmampuan pengosongan kandung kemih, sehingga timbul perasaan tegang,
tidak nyaman, nyeri tekan pada simpisis, gelisah, dan terjadi diaphoresis
(berkeringat). Tanda-tanda utama retensi urin akut adalah tidak adanya haluaran
urin selama beberapa jam dan terdapat distensi kandung kemih. Klien yang berada
di bawah pengaruh anestesi atau analgetik mungkin hanya merasakan adanya
tekanan, tetapi klien yang sadar akan merasakan nyeri hebat karena distensi
kandung kemih melampaui kapasitas normalnya. Pada retensi urin, kandung kemih
dapat menahan 2000 3000 ml urin. Retensi urin dapat terjadi akibat obstruksi
uretra, trauma bedah, perubahan stimulasi saraf sensorik dan motorik kandung
kemih, efek samping obat dan ansietas (Perry & Potter, 2006).
Penelitian yang dilakukan di Amerika pada pria dengan usia antara 40 sampai
83 tahun memiliki resiko yang cukup tinggi antara 4,5 6,8 per 1000 pria pertahun
untuk mengalami retensi urin, dan semakin meningkatnya usia maka seorang pria
akan lebih rentan untuk mengidap retensi urin. Hasil penelitian Warner (2009)
mengatakan bahwa retensi urin umum terjadi setelah anastesi dan pembedahan,
dengan laporan kejadiannya antara 50% - 70%. Kemudian Olsfaruger (1999)
mengatakan bahwa anastesi spinal lebih signifikan menyebabkan retensi urin
dibandingkan dengan anastesi umum. 44% dari pasien pasca pembedahan dengan
anastesi spinal memiliki volume kandung kemih lebih 500ml (retensi urin) dan 54%
tidak memiliki gejala distensi kandung kemih (Lamonerie, 2004). Dalam 10 tahun
terakhir terdapat 333 kasus tentang retensi urin. 19 dari 167 orang (11%) memiliki
retensi urin. Risiko retensi urin terbesar adalah pasien yang lebih tua, atau yang
mengonsumsi obat antikolinergik, atau yang memiliki riwayat diabetes dan fecal

2
impaction (Borrie, Michael j, Karen C, Zora A.A., Judy Bray, Pauline Hart, Terri
Labate, Paul Hesch, 2001).
Pada retensi urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai
rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat
disertai mengejan. Retensio urine dapat terjadi menurut lokasi, factor obat dan
factor lainnya seperti ansietas, kelainan patologi urethra, trauma dan lain
sebagainya. Akibat lanjut retensi urin, buli-buli akan mengembang melebihi
kapasitas maksimal sehingga tekanan di dalam lumennya dan tegangan dari
dindingnya akan meningkat. Bila keadaan ini dibiarkan berlanjut, tekanan yang
meningkat di dalam lumen akan menghambat aliran urin dari ginjal dan ureter
sehingga terjadi hidroureter dan hidronefrosis dan lambat laun terjadi gagal ginjal.
Retensi urin juga menjadi penyebab terjadinya infeksi saluran kemih (ISK) dan bila
ini terjadi dapat menimbulkan gawat yang serius seperti pielonefritis dan urosepsis
(Gardjito, 2009).
Penatalaksanaan yang dapat diberikan kepada pasien dengan retensi urin sangat
penting untuk dilakukan tatalaksana yang baik dan efisien. Maka dari itu hendaknya
kita sebagai calon perawat sangat penting untuk mempelajari retensi urin, sehingga
dapat memberikan informasi kepada klien atau keluarga mengenai intervensi baik
dalam mencegah maupun mengatasi kasus retensi urin dengan baik dan sesuai kode
etik keperawatan.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari Retensi Urin?
2. Apa sajakah etiologi dari Retensi Urin?
3. Apakah manifestasi klinis dari Retensi Urin?
4. Bagaimana patofisiologi dari Retensi Urin?
5. Bagaimana WOC dari Retensi Urin?
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostik pada Retensi Urin?
7. Apa saja penatalaksanaan dari Retensi Urin?

3
8. Bagaimana komplikasi dari Retensi Urin?
9. Apa saja prognosis dari Retensi Urin?
10. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Retensi Urin?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami definisi Retensi Urin
2. Mengetahui dan memahami etiologi Retensi Urin
3. Mengetahui dan memahami patofisiologi Retensi Urin
4. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari Retensi Urin
5. Mengetahui dan memahami web of caution Retensi Urin
6. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik dari Retensi Urin
7. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari Retensi Urin
8. Mengetahui dan memahami komplikasi Retensi Urin
9. Mengetahui dan memahami prognosis Retensi Urin
10. Mengetahui dan menyusun proses asuhan keperawatan dari Retensi Urin

D. Manfaat Penulisan
Melalui pembelajaran ini, kita dapat mengetahui berbagai macam penyakit yang
berhubungan dengan retensi urin, serta memahami teori dan asuhan keperawatan
pada pasien dengan retensi urin.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Retensi Urin


Retensi urine merupakan penumpukan urine dalam kandungan kemih akibat
ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung kemih. Hal ini
menyebabkan distensi vesika urinaria atau merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Dalam keadaan
distensi, vesika urinaria dapat menampung urine sebanyak 3000-4000 ml urine
(Hidayat & Uliyah, 2008).
Menurut Black (2009), bahwa retensi urin adalah ketidakmampuan kandung
kemih untuk mengosongkan sebagian atau keseluruhan selama poses pengosongan.
Purnomo (2011), mengatakan bahwa retensi urine adalah ketidakmampuan
seseorang untuk mengeluarkan urine yang terkumpul di dalam buli-buli hingga
kapasitas maksimal buli-buli terlampaui.
Lewis et all (2011), retensi urine merupakan ketidakmampuan untuk
mengososngkan kandung kemih meskipun ada rangsangan miksi atau akumulasi
urine di kandung kemih karena ketidakmampuan untuk berkemih.
Retensi Urin didefinisikan sebagai ketidakmampuan berkemih. Retensi Urin
akut adalah ketidakmampuan berkemih tiba-tiba pada keadaan kandung kemih yang
nyeri. Retensi Urin kronis adalah keadaan kandung kemih yang membesar, penuh,
tidak nyeri dengan atau tanpa kesulitan berkemih.

B. Etiologi Retensi Urin


Retensi urin adalah kesulitan berkemih atau miksi karena kegagalan
mengeluarkan urin dari kandung kemih atau akibat ketidak-mampuan kandung
kemih untuk mengosongkan kandung kemih sehingga menyebabkan distensi
kandung kemih atau keadaan ketika seseorang mengalami pengosongan kandung

5
kemih yang tidak lengkap. Dimana dari beberapa literatur lama waktu dari ketidak-
mampuan berkemih spontan serta volume residu urin berbeda-beda.
Retensi urin dapat dibagi berdasarkan penyebab lokasi kerusakan saraf, yaitu
(Kozier, 2009) :
1. Supravesikal, berupa kerusakan pada pusat miksi di medull spinalis sakralis S2-
4 dan Th1-L1. Kerusakan terjadi pada saraf simpatis dan parasimpatis baik
sebagian atau seluruhnya, misalnya : retensi urin karena gangguan persarafan,
operasi miles, mesenterasi pelvis, dan kelainan medula spinalis (meningokel,
tabes dorsalis, atau spasmus sfingter)
2. Vesikal , berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang, berhubungan
dengan - masa kehamilan dan proses persalinan, misalnya : retensi urin akibat
iatrogenik, cedera/inflamasi, psikis, atoni pada pasien DM, dan divertikel yang
besar
3. Intravesikal, berupa kekauan leher vesika striktur oleh batu kecil atau tumor
pada leher vesika urinaria, misalnya : retensi urin akibat obstruksi adanya tumor,
batu kecil atau fimosis
4. Faktor lain. Kelainan patologi urethra, trauma, BPH, striktur uretra, karsinoma
prostat dan obat-obtan golongan antikolinergik, anti spasmodik, antidepresant,
antihistamin dapat beresiko menyebabkan gangguan eliminasi urin apabila
dikonsumsi secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan hambatan dari eliminasi urin.
Menurut lama terjadinya, retensi urin dibedakan menjadi dua (Pierce & Borley
2006) :
1. Retensi akut
Ditandai dengan nyeri, sensasi kandung kemih ang penuh, dan distensi
kandung kemih ringan. Penyebab tersering dari retensi akut pada :
a. anak adalah obat-obatan
b. usia muda adalah pasca operasi, obat-obatan, ISK akut, trauma,
hematuria

6
c. usia lanjut disebabkan karena BPH, tumor dan pasca operasi

2. Retensi kronis
Ditandai dengan gejala-gejal iritasi kandung kemih (frekuensi, disuri,
urgensi) atau tanpa nyeri yang disebabkan oleh peningkatan volume residu
urin ang bertahap, distensi yang nyata, inkontinensia urin (sering kali
berhubungan dengan ISK sekunder). Penyebab tersering pada :
a. Anak adalah kelainan kongenital
b. Usia muda disebabkan trauma dan pasca operasi
c. Usia lanjut disebabkan karena BPH, striktur, karsinoma prostat

Retensi urin kronik adalah retensi urin tanpa rasa nyeri ang dapat
disebabkan karena pembesaran prostat, pembesaran sedikit demi sedikit
mengobstruksi dari saluran kemih, dan ditandai dengan adana perembesan
urin karena tekanan lebih tinggi dari pada teknan sfingternya. Kondisi yang
terkait adalah masih dapat berkemih, namun tidak lancar, sulit memulai
berkemih (hesitancy), tidak dapat mengosongkan kandung kemih dengan
sempurna. Retensi urin kronik tidak mengancam nyawa, namun dapat
menyebabkan permasalahan medis yang serius di kemudian hari.

7
8
D. Manifestasi Retensi Urin
Tanda klinis retensi urin secara umum (Hidayat & Uliyah, 2008):
a. Ketidaknyamanan daerah pubis
b. Distensi vesika urinaria
c. Ketidaksanggupan untuk berkemih
d. Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urin (25-50 ml)
e. Ketidakseimbangan jumlah urin yang dikeluarkan dengan asupannya
f. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
g. Adanya urin sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih
Manifestasi rentensi urin :
1. Retensi akut
ditandai dengan nyeri, sensasi kandung kemih yang penuh dan distensi kandung
kemih ringan (Grace dan Borley, 2007). Penderita akan merasa nyeri yang hebat di
daerah suprapubik, bila penderita tidak terlalu gemuk, akan terlihat/teraba benjolan
di daerah suprapubik.
Menurut WHO (2007) tanda dan gejala pada retensi urin akut :
a. Ketidakmampuan untuk buang air kecil meskipun merasa dorongan untuk
melakukannya
b. Nyeri, biasanya pada perut bagian bawah
c. Pembesaran kandung kemih yang satu palpasi dapat dirasakan sebagai massa
berbentuk kubah di perut bagian bawah
Menurut Jurnal European Assosiation of Urology (M.J. Speakman, 2009): Acut
Urinary Retention (AUR) pasien secara umum mengeluhkan nyeri perut bagian
bawah dan bengkak, ketidakmampuan untuk buang air kecil atau buang air kecil
dengan jumlah yang sedikit, teraba massa didaerah pelvis serta hasil perkusi adalah
dullness.
2. Retensi kronis
ditandai dengan gejala-gejala iritasi kandung kemih (frekuensi, disuria, volume
sedikit) atau tanpa nyeri, distensi yang nyata, inkontinensia urin (sering

9
berhubungan dengan infeksi tractur urinary sekunder) (Grace dan Borley, 2007).
Penderita sama sekali tidak bisa miksi, gelisah, mengedan bila ingin miksi, dan
terjadi inkontinensia.
Menurut Jurnal European Assosiation of Urology (M.J. Speakman, 2009):
Cronic Urinary Retention (CUR) ketika ditemukannya residu urine sebesar 300cc
sampai 500cc pada kandung kemih, dapat pula disertai BAK sangat sedikit,
frekuensi BAK yang sering, kesulitan untuk memulai berkemih sampai pada tanda
dan gejala adanya gagal ginjal. Pada CUR biasanya sering diikuti oleh infeksi pada
tractus urinary akibat adanya penumpukan residu urin.
Pada anamnesa, pasien akan mengeluh sulit buang air kecil. Pada inspeksi, palpasi
dan perkusi, akan didapatkan buli-buli yang mengembang. Pada perkusi akan terdengar
pekak, yang menentukan adanya buli-buli yang penuh pada penderita yang gemuk
(Purnomo, 2003).

10
E. Pemeriksaan Diagnostik
a. Foto polos abdomen
Sangat diperlukan sebelum melakukan pemeriksaan penunjang saluran
kemih. Film polos dapat menunjukan: batu ginjal pada sistem
pelvicalyces, klasifikasi parenkim ginjal, batu uretere, klasifikasi dan batu
kandung kemih, klasifikasi prostat, atau deposit tulang sklerotik (Patel
2006).
b. Ureum dan elektrolit
Digunakan untuk menentukan indeks fungsi ginjal (Rubenstein [et al]
2005)
c. Kultur dan sensitivitas MSU
Berhubungan dengan infeksi, termasuk sitologi jika dicurigai terdapat
tumor (Grace and Borley 2006).
d. Sistografi
Untuk memeriksa katup uretra, striktur. Sistografi adalah pemeriksaan
radiografik kandun kemih, setelah kandung kemih diisi oleg suatu medium
kontras (Brooker 2008).
e. IVU (Inravenous Urography)
Indikasi untuk pemeriksaan batu ginjal/kandung kemih. Pasen dengan
retensi urin dan infeksi saluran kemih dianjurkan untuk melakukan
ultrasonografi dibandingkan IVU. Setelah didapatkan film abdomen
sebagai kontrol awal, sebanyak 50-100 ml media kontras dengan osmolar
rendah yang teriodinisasi disuntikan ke pasien. Kontras dengan cepat
mencapai ginjal dan akan dikeluarkan melalui filtrasi glomelurus. Film
yang diambil sesaat setelah penyuntikan kotras akan menggambarkan fase
nefrogram yang memperlihatkan parenkim ginjal dan batas-batasnya.
Film-film yang diambil 5, 10, dan 15 menit setelah penyuntikan akan
memperlihatkan sistem pelvicalyces, ureter, dan kandung kemih; urutan
ini bervariasi tergantung pada masing-masing pasien. Adanya obstruksi

11
ginjal mungkin membutuhkan pemerikasaan yang lebih lama sampai 24
jam untuk menggambarkan sistem pelvicalyses (Patel 2005).
f. Urodinamik
Merupakan suatu studi atau penelitian fungsi kandung kemih. Urodinamik
ini memberikan penjelasan keterkaitan untuk pengeluaran dan
penyimpanan di bladder dan uretra. Penjelasan terhadap gejala-gejala dan
masalah pada setiap individu lebih jelas. Urodinamik memberikan
identifikasi dan penilaian masalah neurologis, penilaian BPH (Abrams
2006).
g. Sistoskopi
Adalah pemeriksaan langsung pada kandung kemih dengan menggunakan
instrumen yang disebut sistokop (Baradero 2008).
h. Urin analisis
Adanya darah dalam urine bisa disebabkan karena kelainan di bagian
mana pun dari saluran kemih. Jumlah darah yang sedikit saja bisa secara
signifikan mengubah warna urin menjadi merah mudah atau merah.
Adanya hematuria mikroskopik (nampak pada pemeriksaan dipstik dan
pemeriksaan mikroskopik) atau makroskopik yang terus menerus harus
diperiksa lebih lanjut karena mungkin merupakan gambaran awal dari
suatu karcinoma pada ginjal atau kelainan ginjal lain yang serius (Davey,
2006).
a. Berat jenis urine : nilai normalnya adalah 1,010-1,026. Prosedur ini dapat
mengukur kemampuan ginjal untuk mengonsentrasi urine. Prosedur
dimulai dengan mengambil urine yang pertama waktu bangun pagi hari.
Pasien tidak memerlukan persiapan khusus (Baradero et al, 2009).
b. Osmolalitas urine : nilai normalnya adalah 500-800 mOsm. Uji ini
merupakan yang terbaik untuk mengetahui fungsi ginjal. Osmolalitas
adalah konsentrasi total partikel dalam larutan (Baradero et al, 2009).

12
c. Klirens kreatinin: nilai normal pria 90-140 ml/menit wanita 85-125
ml/menit. Prosedur ini menilai kecepatan ginjal untuk mengambil kreatinin
dari plasma
i. Uroflometri
Uroflowmetri adalah pencatatan tentang pancaran urin selama proses
miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi
gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari
uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi pancaran
maksimum, pancaran rata-rata, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
pancaran maksimum dan lamanya pancaran.
j. Uretrografi
Uretrografi adalah pencitraan uretra dengan memakai bahan kontras. Bahan
kontras dimasukkan langsung melalui klem Broadny yang dijepitkan pada
glans penis. Gambaran yang mungkin terjadi adalah :
a) Jika terdapat striktura uretra akan tampak adanya penyempitan atau
hambatan kontras pada uretra.
b) Trauma uretra tampak sebagai ekstravasasi kontras keluar dinding uretra.
c) Tumor uretra atau batu non opak pada uretra tampak sebagai filling defect
pada uretra.
k. Uretrosistoskopi.
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan
buli-buli. Terlihat adanya pembesaran, obstruksi uretra dan leher buli-buli,
batu buli-buli, selule dan divertikel buli-buli. Uretrosistoskopi dikerjakan pada
saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk menentukan perlunya
dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka. Disamping itu pada kasus
yang disertai dengan hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli
sistoskopi sangat membantudalam mencari lesi pada buli-buli.
l. Ultrasonografi.
Prinsip pemeriksaan ultrasonografi adalah menangkap gelombang bunyi ultra
yang dipantulkan oleh organ-organ (jaringan) yang berbeda kepadatannya.
13
Pemeriksaan ini tidak invasif dan tidak menimbulkan efek radiasi. USG dapat
membedakan antara massa padat (hiperekoik) dengan massa kistus
(hipoekoik). Pada kelenjar prostat, melalui pendekatan transrektal (TRUS)
dipakai untuk mencari nodul pada keganasan prostat dan menentukan volume
/ besarnya prostat. Jika didapatkan adanya dugaan keganasan prostat, TRUS
dapat dipakai sebagai penuntun dalam melakukan biopsy kelenjar prostat.

F. Penatalaksanaan Retensi Urin


Penatalaksanaan yang dapat dilakaukan pada retensi urine dibagi menjadi
dua yaitu :
1. Mengeluarakan urine yang tertahan.
a. Kateterisasi
Pada retensi urin akut, pengobatannya dimulai dengan
memasukkan kateter melewati uretra untuk mengosongkan kandung
kemih. Pengobatan awal ini untuk mengurangi kesakitan dari kandung
kemih yang penuh dan mencegah kerusakan kandung kemih yang
permanen. Namun pemasangan kateter harus steril untuk mencegah
terjadinya infeksi. Pengobatan jangka panjang untuk retensi urin akut
tergantung dari penyebabnya (lewis,2011).

b. Sistostomi Suprapubik
Sistostomi adalah suatu tindakan pembedahan untuk mengalirkan
kencing melalui lubang yang dibuat di supra pubik untuk
mengeluarkan urine dari buli-buli serta mangatasi retensi urine dan
menghindari komplikasi (schwartz,2002).
1. Sistostomi Trokar
Tindakan ini dikerjakan dengan anestasi lokal dan menggunakan alat
trokar. Indikasi sistostomi trocar adalah untuk kateterisasi gagal :
Striktur, batu uretra yang menancap (impacted) katerisasi tidak
dibenarkan : adanya robekan uretra karena trauma.

14
Gambar 3. Memasukkan alat trokar (Basuki, 2003)
2. Sistostomi terbuka
Sistostomi terbuka dikerjakan bila terdapat kontra indikasi pada
tindakan sistostomi trokar atau tidak terdapat alat trokor.dianjurkan
untuk melakukan sistostomi terbuka jika terdapt sikatriks/ bekas
operasi pada daerah suprasimfisis ,sehabis mengalami trauma didaerah
panggul yang mencederai buli-buli dan adanya bekuan darah pada
buli-buli yang tidak mungkin dilakukan tindakan per uretram.

Gambar 4. preparat sistostomi


(Basuki, 2003)
15
G. Pungsi buli-buli
Merupakan tindakan darurat sementara bila katerisasi tidak berhasil dan
fasilitas atau sarana untuk sistostomi baik trokar maupun terbuka tidak
tersedia. Pada tindakan pungsi buli digunakan jarum pungsi dan penderita
segera dirujuk ke pusat pelayanan dimana dapat dilakukan sistostomi.

Gambar 5. Posisi Tindakan aspirasi Suprapubik & Mencari Lokasi untuk


Aspirasi Suprapubik

H. Uretrolitotomy
Ureterolitotomi adalah suatu tindakan operasi yang bertujuan untuk
mengambil batu ureter baik ureter proksimal (atas) ataupun distal (bawah).
Operasi ini dengan menggunakan sayatan di kulit. Letak irisan sangat
bergantung letak batu. Untuk batu di ureter atas, irisan berada di pinggang
berbentuk garis lurus yang oblik. Untuk batu di ureter bawah maka irisan
di perut bawah garis lurus yang sejajar tubuh (Mary, 2008). Tindakan ini
jika retensi urine disebabkan oleh batu yang terdapat pada ureter.
2. Berdasarkan penyebab retensi urine
A. Pengobatan retensi urin karena karsinoma prostat
Saat ini penentuan pengobatan untuk karsinoma prostat didasarkan atas
derajat dan fase daripada tumor, harapan hidup pasien dan kemampuan
16
tiap terapi untuk menjamin kelangsungan hidup dengan bebas penyakit.
Beberapa pilihan terapi untuk karsinoma prostat ialah :
1) Tanpa terapi / watchfull waiting
Walaupun kemajuan kanker lokal dapat terjadi, dengan menunggu dan
berjaga-jaga pada fase awal kanker prostat, tingkat kematian setelah 10
tahun sangat rendah antara 4 15 %. Akan tetapi pada penelitian lebih
lanjut antara 15 20 tahun, peningkatan signifikan pada resiko lokal
atau perkembangan sistemik dan kematian dari kanker prostat dapat
terjadi. Peningkatan resiko tersebut sangat berhubungan dengan derajat
kanker.
2) Prostatektomi radikal.
Pasien yang berada dalam stadium T1-2 N0 M0 adalah cocok untuk
dilakukan prostatektomi radikal, yaitu berupa pengangkatan kelenjar
prostat bersama dengan vesika seminalis. Hanya saja operasi ini dapat
menimbulkan penyulit, antara lain perdarahan, disfungsi ereksi, dan
inkontinensia. Tetapi dengan teknik nerve sparring yang baik
terjadinya kerusakan pembuluh darah dan saraf yang memelihara penis
dapat dihindari sehingga timbulnya penyulit berupa disfungsi ereksi
dapat diperkecil.
3) Radioterapi.
Ditujukan untuk pasien tua atau pasien dengan tumor loko-invasif dan
tumor yang telah mengadakan metastasis. Pemberian radiasi eksterna
biasanya didahului dengan limfadenektomi. Diseksi kelenjar limfe saat
ini dapat dikerjakan melalui bedah laparoskopi disamping operasi
terbuka.
B. Pengobatan retensi urin karena Beningn Prostat Hiperplasia
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah untuk mengembalikan kualitas
hidup pasien. Terapi yang diberikan tergantung pada derajat keluhan,
keadaan pasien maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang
diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari :
17
1) Tanpa terapi / watchfull waiting
Watchfull waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun
tetapi perkembangan penyakit dan keadaannya tetap diawasi oleh
dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan kepada pasien dengan IPSS
skor dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari. Setiap enam bulan sekali pasien diminta untuk kontrol
kembali.
2) Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik.
C. Pengobatan retensi urin karena striktura uretra. (David, 1994)
Jika pasien datang karena retensi urin secepatnya dilakukan sistostomi
suprapubik untuk mengeluarkan urin. Jika dijumpai abses periuretra
dilakukan insisi dan pemberian antibiotik. Tindakan khusus yang
dilakukan terhadap striktura uretra adalah :
1) Businasi (dilatasi) dengan cara memasukkan pipa dengan busi logam
kedalam uretra dan dilakukan secara hati-hati. Metode alternative lain
ialah dengan memasukkan balon kecil diujung kateter didalam uretra.
2) Uretrotomi internal yaitu memotong jaringan sikatriks uretra dengan
pisau Otis atau dengan pisau Sachse. Otis dikerjakan jika belum
terjadi striktura total, sedangkan pada striktura yang lebih berat,
pemotongan striktura dikerjakan secara visual dengan pisau sachse.
3) Uretrotomi eksterna adalah tindakan operasi terbuka berupa
pemotongan jaringan fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis
diantara jaringan uretra yang masih sehat.
D. Pengobatan retensi urin karena batu uretra
Tindakan untuk mengeluarkan batu tergantung dari posisi, ukuran, dan
bentuk batu. Seringkali batu yang ukurannya tidak terlalu besar dapat
keluar spontan asalkan tidak ada kelainan atau penyempitan uretra. Batu
18
pada meatus uretra eksternum atau fossa navikularis dapat diambil
dengan forcep setelah terlebih dahulu dilakukan pelebaran meatus uretra
(meatotomi), sedangkan batu kecil di uretra anterior dapat dicoba
dikeluarkan dengan melakukan lubrikasi terlebih dahulu dengan
memasukkan campuran jelli dan lidokain 2% intrauterine dengan harapan
batu dapat keluar spontan. Batu yang cukup besar dan berada di uretra
posterior didorong terlebih dahulu ke buli-buli kemudian dilakukan
litotripsi. Untuk batu yang besar dan menempel di uretra sehingga sulit
berpindah tempat meskipun telah dilubrikasi, mungkin perlu dilakukan
uretrolitotomi atau dihancurkan dengan pemecah batu transuretra.
E. Pengobatan retensi urin karena fimosis
Infeksi awal dapat dirawat dengan obat antimicrobial spektrum luas.kulit
depan bagian dorsal dapat dipotong jika drainase dibutuhkan. Sirkumsisi
jika terdapat indikasi dapat dilakukan setelah infeksi tersebut dapat
dikontrol.
F. Pengobatan retensi urin karena parafimosis
Parafimosis biasanya dapat diobati dengan memijit dengan kuat glans
selama lima menit untuk mengurangi edema jaringan dan mengurangi
ukuran dari glans. Kulit tersebut dapat ditarik kedepan melewati glans.
Kadang-kadang lingkaran konstriksinya memerlukan insisi dengan local
anastesi. Antibiotik dapat diaplikasikan dan sirkumsisi dapat dilakukan
setelah inflamasi reda.
G. Pengobatan retensi urin karena sistokel dan rektokel
Wanita memerlukan pembedahan untuk mengangkat jatuhnya kandung
kemih atau rectum. Prosedur yang paling umum untuk cystocele dan
rectocele adalah membuat suatu insisi di dinding liang vagina untuk
menemukan kelainan atau lubang pada membran. kemudian menjahit
fascia untuk menutup kelainan atau lubang tersebut, kemudian menutup
insisi di dinding vagina dengan jahitan yang lebih. Langkah ini

19
mempererat lapisan jaringan yang memisahkan organ, menciptakan
penahan yang lebih kuat untuk organ panggul.

H. Komplikasi
a) Infeksi Saluran Kemih
Urin yang tertampung di buli-buli harus segera dikeluarkan karena urin
yang tertampung akan berisiko menjadi media untuk bakteri berkembang dan
akan menyebabkan Infeksi saluran kemih. Karena adanya sisa urin setiap kali
miksi, maka lama kelamaan akan terbentuk batu endapan di dalam kansung
kemih, yang kemudian akan menyebabkan bertambahnya keluhan iritasi dan
menimbulkan keluhan hematuria pada pasien. Selain itu batu akan
menyebabkan timbulnya penyakit sistitis dan bila terjadi refluks dapat
menyebabkan terjadinya pielonefritis (Purnomo 2003).

b) Hidronefrosis
Buli-buli akan mengembang melebihi kapasitas maksimal sehingga
tekanan di dalam lumennya dan tegangan dari dindingnya akan meningkat.
Bila keadaan ini dibiarkan berlanjut, tekanan yang meningkat didalam lumen
akan menghambat aliran urin dari ginjal dan ureter sehingga terjadi
hidroureter dan bila sampai ke ginjal akan menyebabkan hidronefrosis dan
bila terjadi infeksi sehingga mempercepat terjadinya kerusakan ginjal dan
menyebabkan gagal ginjal.
c) Kerusakan bladder
Jika kandung kemih menjadi membentang terlalu jauh atau untuk
waktu yang lama, otot-otot mungkin rusak secara permanen dan kehilangan
kemampuan untuk berkontraksi.

I. Prognosis
Hal ini sangat bervariasi tergantung pada penyebab yang mendasari.
Dalam Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), kecenderungan umum adalah

20
gejala memburuk dari waktu ke waktu. Namun, ada variabilitas yang cukup
besar dan beberapa pasien mengalami perbaikan permanen atau sementara.
Hanya sekitar 14% dari pria dengan gejala sedang sampai berat telah secara
klinis terlihat memburuknya gejala mereka selama lima tahun masa tindak
lanjut. Dalam satu percobaan besar laki-laki dengan BPH dan moderat sampai
berat gejala awal, hanya 6% dari laki-laki pada plasebo mengalami retensi
urin akut atau operasi BPH diperlukan setelah lima tahun dan tidak
dikembangkan insufisiensi ginjal (McConnell JD, Roehrborn CG, Bautista
OM, et al, 2003)

21
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Anamnesa
1. Data Demografi Klien
Menanyakan Identitas klien seperti : nama, usia, jeniskelamin, suku /
bangsa, alamat, agama, tanggal MRS, jam MRS, diagnosa. Retensi urine
biasa terjadi pada usia lanjut dan jenis kelamin pria karena akibat
hiperplasia prostat jinak/kelainan prostat.
2. Keluhan Utama
Keluahan utama pasien dengan kasus ini biasanya dapat berupa keluhan
nyeri suprapubis berat dan ketidakmampuan untuk miksi.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Merupakan gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang
dirasakan saat ini. Bagaimana pola berkemih pasien, meliputi frekuensi,
waktu, dan banyaknya urin. Apakah klien merasa nyeri.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya.
a. Riwayat penyakit yang pernah diderita klien, kondisi neurologis (
mis., cedera medula spinalis pada S2, S3 dan S4), infeksi saluran
kemih, BPH, kanker prostat, batu saluran kemih, riwayat striktur
uretra, dan trauma urologi.
b. Obat-obatan: beberapa obat menyebabkan retensi urine yang
mencakup preparat antikolinergik-anti spasmodik seperti, atropin;
preparat anti depresan-anti psikotik seperti, fenotiazin; preparat
antihistamin, seperti pseudoefedrin hidroklrorida (Sudafed); preparat
B-adrenergic, seperti propranolol; dan preparat antihipertensi
seperti, hidralazin.
22
c. Riwayat operasi dan tindakan: Retensi dapat terjadi pada pasien
pascaoperatif, khususnya pasien yang menjalani operasi di daerah
perineum atau anal sehingga timbul spasme refluk sfinger. Anestesi
umum akan mengurangi inervasi otot kandung kemih, dan dengan
demikian dorongan untuk membuang air kecil tertekan. Riwayat
penggunaan alkohol.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau
keturunan berhubungan dengan masalah pada ginjal atau urologi

Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Keadaan compos mentis namun tampak lemas
2. Tanda-tanda vital
Tekanan darah biasanya meningkat karena klien merasakan nyeri, suhu
meningkat jika ditemukan adanya infeksi, nadi biasanya meningkat
karena klien merasakan nyeri dan RR biasanya meningkat karena klien
merasakan nyeri
3. Sistem tubuh
a. B1 (Breathing)
Perawat melakukan pengkajian adanya gangguan pada pola nafas
klien, biasanya klien esak akibat rasa nyeri yang dialami dan
peningkatan respiratory rate.
b. B2 (Blood)
Apakah terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung
dan gelisah. Pada retensi urin muncul adanya keringat dingin
(Diaforesis) akibat nyeri pada distensi kandung kemih.

23
c. B3 (Brain)
Klien ditemukan dalam kesadaran biasanya sadar penuh. Namun
tetap diperhatikan adanya tanda-tanda pasca trauma atau cedera
pada SSP.
d. B4 (Bladder)
Disuria, ingin berkemih tetapi tidak ada urine yang keluar, dan
urine keluar sedikit-sedikit karena ada overflow, urine yang keluar
menetes, produksi urin sedikit/anuria apabila ureter terjadi obstruksi
bilateral.
Inspeksi
1) Daerah perineal: Kemerahan, lecet namun tidak ditemukan
adanya pembengkakan.
2) Tidak ditemukannya adanya benjolan atau tumor spinal cord.
3) Ditemukan adanya tanda obesitas dan sempitnya ruang gerak
pada klien
4) Periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam
kandung kemih serta disertai keluarnya darah.
5) Apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik
lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi
Palpasi
A. Ditemukan adanya distensi kandung kemih dan nyeri tekan.
B. Tidak teraba benjolan tumor daerah spinal cord
Perkusi
Terdengar suara redup pada daerah kandung kemih.
Auskultasi : ditemukan peristaltik (+) , bruit (+)jika terjadi obstruksi
steanosis arteri renalis.

24
e. B5 (Bowel)
Pemeriksaan auskultasi bising usus klien adakah peningkatan atau
penurunan, serta palpasi abdomen klien adanya nyeri tekan
abdomen atau tidak ataupun ketidaknormalan ginjal. Pada perkusi
abdomen ditemukan ketidaknormalan atau tidak.
f. B6 (Bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian. Retensi urine
dapat terjadi pada pasien yang harus tirah baring total. Perawat
mengkaji kondisi kulit klien.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Retensi urine berhubungan dengan obstruksi, ketidakmampuan kandung
kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
2. Nyeri akut berhubungan dengan distensi kandung kemih berlebih
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kelembapan pada area
perineal
4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan filtrasi ginjal
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia: mual muntah
6. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif/alat (contoh kateter
urine)
7. Ansietas berhubungan dengan kondisi fisik dan adaptasi penyakit
8. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi.

C. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi
DX Keperawatan hasil

25
1. Retensi urine NOC : NIC :
berhubungan Tujuan : 1. Urinary Retention
dengan obstruksi, Setelah dilakukan Care
ketidakmampuan tindakan keperawatan a) Monitor intake dan
kandung kemih 3x24 jam retensi urin output
untuk klien dapat teratasi. b) Monitor
berkontraksi penggunaan obat
dengan adekuat. Kriteria Hasil: antikolinergik
a. Kandung kemih c) Monitor derajat
kosong secara distensi bladder
penuh d) Instruksikan pada
b. Tidak ada residu klien dan keluarga
urin >100-200 cc untuk mencatat
c. Intake cairan dalam output urine
rentang normal e) Sediakan privasi
d. Bebas dari ISK untuk eliminasi
e. Tidak ada spasme f) Stimulasi refleks
bladder bladder dengan
f. Balance cairan kompres dingin
seimbang pada abdomen.
g. Eliminasi urin g) Kateterisaai jika
optimal perlu
h) Monitor tanda dan
gejala ISK (panas,
hematuria,
perubahan bau dan
konsistensi urine)
2. Monitoring kadar
albumin, protein total.

26
3. Lakukan perawatan
perineal dan
perawatan selang
kateter.
4. Ajarkan serta
demonstrasikan
kepada klien dan
anggota keluarga
tentang teknik
berkemih yang akan
digunakan di rumah.
Sehingga klien dan
keluarga mampu
melakukannya
dengan mandiri.
5. Kolaborasikan obat
diuretik.
2. Nyeri akut NOC : NIC :
berhubungan a. Pain level Pain Management
dengan distensi b. Pain control, 1. Lakukan pengkajian
kandung kemih c. Comfort level nyeri secara
berlebihan komprehensif
Tujuan : termasuk lokasi,
Setelah dilakukan karakteristik, durasi,
tindakan keperawatan frekuensi, kualitas
selama 3 x 7 jam, dan faktor presipitasi
klien melaporkan 2. Observasi reaksi
nyeri berkurang atau nonverbal dari
hilang. ketidaknyamanan

27
3. Evaluasi pengalaman
Kriteria hasil: nyeri masa lampau
1. Mampu 4. Kontrol lingkungan
mengontrol nyeri yang dapat
(mampu mempengaruhi nyeri
menggunakan seperti suhu ruangan,
tehnik pencahayaan dan
nonfarmakologi kebisingan
untuk mengurangi 5. Kurangi faktor
nyeri) presipitasi nyeri
2. Melaporkan bahwa 6. Kaji tipe dan sumber
nyeri berkurang nyeri untuk
dengan menentukan
menggunakan intervensi
manajemen nyeri 7. Ajarkan tentang
nafas dalam teknik non
3. Menyatakan rasa farmakologi: napas
nyaman setelah dalam, relaksasi,
nyeri berkurang distraksi, kompres
4. Tanda vital dalam hangat/dingin
rentang normal 8. Kolaborasi dengan
5. Tidak mengalami tim dokter dalam
gangguan tidur pemberian obat
analgesik untuk
mengurangi nyeri
9. Tingkatkan istirahat
klien ( 7 jam)
10. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah

28
pemberian analgesik.
3. Gangguan NOC : NIC :
eliminasi urin a. Urinary continence 1. Memantau eliminasi
berhubungan b. Symptom severity urin termasuk frekuensi,
dengan c. Self care toileting konsistensi, bau, volume,
inkontinesia dan warna yang sesuai
overflow Tujuan : 1. Pantau adanya tanda
Setelah dilakukan dan gejala retensi urin
tindakan keperawatan 2. Mengidentifikasi
selama 3 x 24 jam, faktor-faktor yang
klien melaporkan pola berkontribusi
eliminasi urin normal terhadap episode
inkontinensia
Kriteria hasil : 3. Ajarkan tanda-tanda
1. Menunjukkan pola dan gejala infeksi
eliminasi, bau, saluran kemih pasien
konsistensi dan 4. Catat waktu eliminasi
jumlah urin dalam urin terakhir, yang
batas normal sesuai
2. Frekuensi urin 5. Anjurkan pasien /
dalam rentang keluarga untuk
normal merekam output urin,
3. Intake dan output yang sesuai
cairan adekuat 6. Masukkan supositoria
4. Tidak terdapat uretra, yang sesuai
darah dalam urin 7. Mendapatkan
5. Adanya pengakuan spesimen urin
dari klien dalam pertengahan, yang
berkemih sesuai

29
8. Rujuk ke dokter jika
tanda-tanda dan gejala
infeksi saluran kemih
terjadi
9. Ajarkan pasien untuk
mendapatkan
spesimen urin
pertengahan pada
tanda pertama dari
kembalinya tanda dan
gejala infeksi
10. Anjurkan untuk
segera merespon
dorongan untuk
membatalkan, yang
sesuai
11. Ajarkan pasien
untuk minum 8 ons
cairan dengan
makanan, di antara
waktu makan, dan
sore hari
12. Membantu pasien
dengan
perkembangan toilet
rutin, sesuai
13. Anjurkan pasien
untuk mengosongkan
kandung kemih

30
sebelum prosedur
yang relevan
14. Catat saat berkemih
pertama setelah
prosedur
15. Batasi cairan, sesuai
kebutuhan
16. Anjurkan pasien
untuk memantau
tanda-tanda dan gejala
infeksi saluran kemih
4. Gangguan NOC : NIC :
integritas kulit Tujuan : 1. Memodifikasi pakaian
berhubungan Setelah dilakukan dan lingkungan untuk
dengan tindakan keperawatan menyediakan akses
kelembapan pada selama 3 x 24 jam, mudah ke toilet
area perineal klien tidak ada tanda- 2. Membantu untuk
tanda gangguan memilih garmen / pad
integritas kulit sesuai inkontinensia
untuk pengelolaan
Kriteria hasil : jangka pendek
1. Suhu tubuh dalam sementara pengobatan
batas normal yang lebih definitif
2. Tidak direncanakan
menunjukkan 3. Menyediakan pakaian
adanya lesi pada pelindung , sesuai
kulit kebutuhan
3. Elastisitas dan 4. Membersihkan daerah
tekstur pada kulit kulit genital secara

31
normal berkala
4. Pertumbuhan 5. Memberikan umpan
rambut pada kulit balik positif untuk
tampak normal setiap penurunan
5. Tidak ada tanda- episode inkontinensia
tanda eritema dan
nekrosis pada kulit
5. Kelebihan Tujuan : NIC :
volume cairan Setelah dilakukan 1. Pantau masukan dan
berhubungan tindakan keperawatan haluaran cairan dan
dengan gangguan selama 3 X 24 jam tanda tanda kelebihan
filtrasi ginjal diharapkan kelebihan cairan setiap 1 2
cairan dapat teratasi. jam.
2. Pantau elektrolit atau
Kriteri hasil : osmolalitas serum
1. Volume cairan dan resiko gangguan
elektrolit dapat signifikan bila serum
kembali dalam Na kurang dari 125
batas normal. mEq/L.
2. Pasien dapat 3. Berikan terapi cairan
mempertahankan tergantung pada status
berat badan dan volume sesuai intruksi
volume urin 800 (pilihan cairan yang
2000 ml/hari. pertama adalah
3. Input sama dengan normal salin sonotik).
output. 4. Batasi masukan
4. Tekanan darah cairan.
dalam batas normal 5. Monitor TTV
5. Tidak ada odema.

32
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Retensi urin adalah ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan
sebagian atau keseluruhan selama poses pengosongan (Black, 2009). Retensi
urine merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih akibat
ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung kemih. Hal ini
menyebabkan distensi vesika urinaria atau merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Dalam keadaan
distensi, vesika urinaria dapat menampung urine sebanyaj 3000-4000 ml urine
(Hidayat & Uliyah, 2008 ).
Etiologi dari retensi urin adalah Supravesikal, Vesikel, Intravesikel dan
faktor-faktor lain. Adapun tanda klinis retensi urin secara umum (Hidayat &
Uliyah, 2008) yaitu adanya ketidaknyamanan daerah pubis, distensi vesika
urinaria, ketidaksanggupan untuk berkemih, sering berkemih saat vesika urinaria
berisi sedikit urin (25-50 ml), ketidakseimbangan jumlah urin yang dikeluarkan
dengan asupannya, meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih dan adanya
urin sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.
Dengan adanya tanda klinis diatas, perawat diharapkan dapat memberikan
asuhan keperawatan yang holistik dan profesional, untuk memberikan pelayanaan
kesehatan yang efisien dan komprehensif dengan mengetahui pemeriksaan
diagnostik dan penatalaksanaan pada retensi urin. Diharapkan dengan
mengetahui, hal tersebut Perawat dapat mendiagnosa keperawatan dan
memberikan intervensi keperawatan yang sesuai dengan kode etik keperawatan
dan dapat melakukan tindakan kolaboratif terhadap tenaga medis dalam satu visi
dan misi kesehatan yaitu mensejahterakan masyarakat Indonesia yang sehat dan
menjadi lebih baik.

33
4.2 Saran
Sebagai seorang perawat yang memiliki basic keilmuan diharapkan setiap
melaksanakan asuhan keperawatan senantiasa berpegang pada konsep yang
sudah diberikan pada perkuliahan sehingga penatalaksanaan klien dengan retensi
urin dapat terlaksana dengan tepat dan benar.

34
DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Marry et al. 2009. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta:
EGC;16-21.
Basuki B Purnomo. 2003. Dasar-dasar Urology. Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto.
Black, JM & Hawks, JH. 2009. Medical Surgical Nursing : Clinical Management for
Positive Outcomes. 7th Edition. St. Louis Missouri : Saunders Elsevier Inc.
Blackwell, Wiley. 2014. Nursing Diagnoses, Tenth edition. Garsington Road :
Pondicherry
Borrie, Michael j, Karen C, Zora A.A., Judy Bray, Pauline Hart, Terri Labate, Paul
Hesch. 2001. Urinary Retention in Patients in a Geriatric Rehabilitation Unit
: Prevalence, Risk Factors, and Validity of Bladder Scan Evaluation. Volume
26, number 5. Rehabilitation Nursing. Wiley Online Library.
Bulechek, Gloria M. Butcher, Howard K. Dochterman, McCloskey, Joanne. 2013.
Nursing Interventions Classification (NIC), Sixth edition. St.louis, Missouri :
Elsevier mosby
Corwin, Elizabeth J. (2001). Hands Book of Pathophysiologi. Jakarta : EGC
Finucane, Brendan T. (2007). Complication of Regional Anesthesia 2nd Edition.
Springer Science Business Media, USA : 153
Grace, Pierce A dan Borley, Neil R. (2007). Surgery at a Glance 3 Edition. Jakarta :
Penerbit Erlangga; 60-61
Heisler, J. (2011). Understandingt the Risks of Anesthesia. Diunduh dari
http://surgery.about.com/od/proceduresaz/ss/AnesthesiaRisks.htm
Hidayat, A. Aziz Alimul dan Musrifatul Uliyah. (2008). Keterampilan Dasar Praktik
Klinik untuk Kebidanan 2 Edition. Jakarta: Salemba Medika; 66.
Kozier & Erb, (2009). Buku Ajar Praktek Keperawatan Klinis Edisi Kedua. Jakarta:
EGC.
Lewis, SL, Dirksen, SR, Heitkemper, MM, Bucher, L & Camera, IM. 2011. Medical
Surgical Nursing, Assessment and Management of Clinical Problem. 8th
Edition. St. Louis-Missouri : Saunders Elsevier Inc.

35
M.J. Speakman, Odunayo Kalejaiye.(2009). European Association of Urology:
Management of Acut and Chronic Retention in Men. UK: Elsevier; 523-529
McConnell JD, Roehrborn CG, Bautista OM, et al; The Long-Term Effect of
Doxazosin, Finasteride, and Combination Therapy on The Clinical
Progression of Benign Prostatic Hyperplasia. N Engl J Med. 2003 Dec
18;349(25):2387-98.
Moorhead, Sue. dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC), Fifth edition.
St.louis, Missouri : Elsevier mosby
Pierce & Borley, (2006). At a Glance Ilmu Bedah Edisi ketiga. Jakarta: EMS.
Purnomo B. Basuki.(2011). Dasar-dasar Urologi, Edisi ketiga. Jakarta : CV Sagung
Seto
Selius Brian, Subedi Rajesh. Urinary Retention in Adults: Diagnosis and Initial
Management. American Family Physician. 2008; 77. P. 643-650.
Smeltzer, S. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
(Ed.8). (Vol.2). Jakarta: EGC

36

Anda mungkin juga menyukai