Anda di halaman 1dari 21

INOVASI SUB TEMA KEGAWATAN GERIATRI

ALGORITMA PENATALAKSANAAN RETENSI URIN PADA LANSIA


BERDASARKAN PENGELUARAN URIN YANG TERTAHAN
DI UPT PELAYANAN SOSIAL TRESNA WERDHA PASURUAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Pada Program StudiProfesi Ners


STIKES Ngudia Husada Madura

Disusun Oleh :
Agus Taufiqurrahman
Sara Zilda
Wasilatur Rohmah
Widiya Novita Sari
Zainur Rizal

DEPARTEMEN KEPERAWATAN GERONTIK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
STIKES NGUDIA HUSADA MADURA
2019/2020

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Retensi urin adalah akumulasi urin yang nyata dalam kandung kemihakibat
ketidakmampuan pengosongan kandung kemih, sehingga timbulperasaan tegang,
tidak nyaman, nyeri tekan pada simpisis, gelisah, danterjadi diaphoresis
(berkeringat). Tanda-tanda utama retensi urin akut adalahtidak adanya haluaran
urin selama beberapa jam dan terdapat distensikandung kemih. Klien yang berada
di bawah pengaruh anestesi atauanalgetik mungkin hanya merasakan adanya
tekanan, tetapi klien yang sadarakan merasakan nyeri hebat karena distensi
kandung kemih melampauikapasitas normalnya. Pada retensi urin, kandung kemih
dapat menahan 2000– 3000 ml urin. Retensi urin dapat terjadi akibat obstruksi
uretra, traumabedah, perubahan stimulasi saraf sensorik dan motorik kandung
kemih, efeksamping obat dan ansietas (Perry & Potter, 2006).
Penelitian yang dilakukan di Amerika pada pria dengan usia antara 40 sampai
83 tahun memiliki resiko yang cukup tinggi antara 4,5 – 6,8 per 1000 pria pertahun
untuk mengalami retensi urin, dan semakin meningkatnya usia maka seorang pria
akan lebih rentan untuk mengidap retensi urin.Hasil penelitian Warner (2009)
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari Retensi urin?
2. Bagaimanakah etiologi Retensi urin ?
3. Bagaimanakah patofisiologi Retensi urin?
4. Bagaimanakah klasifikasi Retensi urin?
5. Bagaimanakah penatalaksanaan Retensi urin?
6. Bagaimanakah manifestasi Retensi urin?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi Retensi urin
2. Memahami etiologi Retensi urin

2
3. Memahami patofisiologi Retensi urin
4. Mengetahui klasifikasi Retensi urin
5. Memahami penatalaksanaan Retensi urin
6. Memahami epidemiologi Retensi urin
7. Mengetahui manifestasi Retensi urin
1.4 Manfaat
1. Menambah literature pengetahuan
2. Untuk melatih diri agar terampil dalam menulis
3. Untuk menambah wawasan

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Retensi urine merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih akibat
ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung kemih. Hal ini
menyebabkan distensi vesika urinaria atau merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Dalam keadaan
distensi, vesika urinaria dapat menampung urine sebanyak 3000-4000 ml urine
(Hidayat&Uliyah, 2008).

3
Menurut Black (2009), bahwa retensi urin adalah ketidakmampuan kandung
kemih untuk mengosongkan sebagian atau keseluruhan selama poses pengosongan.
Purnomo (2011), mengatakan bahwa retensi urine adalah ketidakmampuan
seseorang untuk mengeluarkan urine yang terkumpul di dalam buli-buli hingga
kapasitas maksimal buli-buli terlampaui.
Lewis et all (2011), retensi urine merupakan ketidakmampuan untuk
mengososngkan kandung kemih meskipun ada rangsangan miksi atau akumulasi
urine di kandung kemih karena ketidakmampuan untuk berkemih.
Retensi Urin didefinisikan sebagai ketidakmampuan berkemih.Retensi Urin akut
adalah ketidakmampuan berkemih tiba-tiba pada keadaan kandung kemih yang
nyeri.Retensi Urin kronis adalah keadaan kandung kemih yang membesar, penuh,
tidak nyeri dengan atau tanpa kesulitan berkemih.

2.2 Etiologi

Retensi urin adalah kesulitan berkemih atau miksi karena kegagalan


mengeluarkan urin dari kandung kemih atau akibat ketidak-mampuan kandung
kemih untuk mengosongkan kandung kemih sehingga menyebabkan distensi
kandung kemih atau keadaan ketika seseorang mengalami pengosongan kandung
kemih yang tidak lengkap. Dimana dari beberapa literatur lama waktu dari ketidak-
mampuan berkemih spontan serta volume residu urin berbeda-beda.
2.3 Manifestasi Klinis

Tanda klinis retensi urin secara umum (Hidayat& Uliyah, 2008):


a. Ketidaknyamanan daerah pubis
b. Distensi vesika urinaria
c. Ketidaksanggupan untuk berkemih
d. Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urin (25-50 ml)
e. Ketidakseimbangan jumlah urin yang dikeluarkan dengan asupannya
f. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
g. Adanya urin sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih

Manifestasi rentensi urin :


1. Retensi akut
ditandai dengan nyeri, sensasi kandung kemih yang penuh dan distensi
kandung kemih ringan (Grace dan Borley, 2007). Penderita akan merasa nyeri

4
yang hebat di daerah suprapubik, bila penderita tidak terlalu gemuk, akan
terlihat/teraba benjolan di daerah suprapubik.
Menurut WHO (2007) tanda dan gejala pada retensi urin akut :
a. Ketidakmampuan untuk buang air kecil meskipun merasa dorongan untuk
melakukannya
b. Nyeri, biasanya pada perut bagian bawah
c. Pembesaran kandung kemih yang satu palpasi dapat dirasakan sebagai massa
berbentuk kubah di perut bagian bawah
Menurut Jurnal European Assosiation of Urology (M.J. Speakman,
2009):Acut Urinary Retention (AUR) pasien secara umum mengeluhkan nyeri
perut bagian bawah dan bengkak, ketidakmampuan untuk buang air kecil atau
buang air kecil dengan jumlah yang sedikit, teraba massa didaerah pelvis serta
hasil perkusi adalah dullness.
2. Retensi kronis
ditandai dengan gejala-gejala iritasi kandung kemih (frekuensi, disuria,
volume sedikit) atau tanpa nyeri, distensi yang nyata, inkontinensia urin (sering
berhubungan dengan infeksi tractur urinary sekunder) (Grace dan Borley, 2007).
Penderita sama sekali tidak bisa miksi, gelisah, mengedan bila ingin miksi, dan
terjadi inkontinensia.
Menurut Jurnal European Assosiation of Urology (M.J. Speakman,
2009):Cronic Urinary Retention (CUR) ketika ditemukannya residu urine sebesar
300cc sampai 500cc pada kandung kemih, dapat pula disertai BAK sangat sedikit,
frekuensi BAK yang sering, kesulitan untuk memulai berkemih sampai pada
tanda dan gejala adanya gagal ginjal. Pada CUR biasanya sering diikuti oleh
infeksi pada tractus urinary akibat adanya penumpukan residu urin.
Pada anamnesa, pasien akan mengeluh sulit buang air kecil. Pada inspeksi,
palpasi dan perkusi, akan didapatkan buli-buli yang mengembang. Pada perkusi akan
terdengar pekak, yang menentukan adanya buli-buli yang penuh pada penderita yang
gemuk (Purnomo, 2003).

2.4 Klasifikasi Retensi Urin

Retensi urin dapat dibagi berdasarkan penyebab lokasi kerusakan saraf, yaitu
(Kozier, 2009) :

5
1. Supravesikal, berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis sakralis
S2–4 dan Th1- L1. Kerusakan terjadi pada saraf simpatis dan parasimpatis baik
sebagian atau seluruhnya, misalnya : retensi urin karena gangguan persarafan,
operasi miles, mesenterasi pelvis, dan kelainan medula spinalis (meningokel,
tabes dorsalis, atau spasmus sfingter)
2. Vesikal, berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang, berhubungan
dengan - masa kehamilan dan proses persalinan, misalnya : retensi urin akibat
iatrogenik, cedera/inflamasi, psikis, atoni pada pasien DM, dan divertikel yang
besar
3. Intravesikal, berupa kekakuan leher vesika, striktur oleh batu kecil atau tumor
pada leher vesika urinaria, misalnya : retensi urin akibat obstruksi adanya
tumor, batu kecil atau fimosis
4. Faktor lain-lain. Kelainan patologi urethra, trauma, BPH, striktur uretra,
karsinoma prostat dan obat-obatan golongan antikolinergik, anti spasmodik,
antidepresant, antihistamin dapat beresiko menyebabkan gangguan eliminasi
urin apabila dikonsumsi secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang
lama dapat menyebabkan hambatan dari eliminasi urin.

Menurut lama terjadinya, retensi urin dibedakan menjadi dua (Pierce & Borley
2006) :
1. Retensi akut
Ditandai dengan nyeri, sensasi kandung kemih yang penuh, dan distensi
kandung kemih ringan. Penyebab tersering dari retensi akut pada :
a. anak adalah obat-obatan,
b. usia muda adalah pasca operasi, obat-obatan, ISK akut, trauma, hematuria
c. usia lanjut disebabkan karena BPH, tumor dan pasca operasi
2. Retensi kronis
Ditandai dengan gejala-gejal iritasi kandung kemih (frekuensi, disuri,
urgensi) atau tanpa nyeri yang disebabkan oleh peningkatan volume residu urin
yang bertahap, distensi yang nyata, inkontinensia urin (seringkali berhubungan
dengan ISK sekunder). Penyebab tersering pada :

6
a. Anak adalah kelainan kongenital
b. Usia muda disebabkan trauma dan pasca operasi
c. Usia lanjut disebabkan karena BPH, striktur, karsinoma prostat

Retensi urin kronik adalah retensi urin tanpa rasa nyeri yang dapat
disebabkan karena pembesaran prostat, pembesaran sedikit demi sedikit
mengobstruksi dari saluran kemih, dan ditandai dengan adanya perembesan urin
karena tekanan lebih tinggi daripada tekanan sfingternya. Kondisi yang terkait
adalah masih dapat berkemih, namun tidak lancar, sulit memulai berkemih
(hesitancy), tidak dapat mengosongkan kandung kemih dengan sempurna.Retensi
urin kronik tidak mengancam nyawa, namun dapat menyebabkan permasalahan
medis yang serius di kemudian hari.

2.5 Patofisiologi Retensi Urin

Menurut Selius Brian (2008) secara garis besar penyebab retensi dapat dapat
diklasifikasi menjadi 5 jenis yaitu akibat obstruksi, infeksi, farmakologi, neurologi,
dan faktor trauma. Obstruksi pada saluran kemih bawah dapat terjadi akibat faktor
intrinsik, atau faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik berasal dari sistem saluran kemih
dan bagian yang mengelilinginya seperti pembesaran prostat jinak, tumor buli-buli,
striktur uretra, phimosis, paraphimosis, dan lainnya. Sedangkan faktor ekstrinsik,
sumbatan berasal dari sistem organ lain, contohnya jika terdapat massa di saluran
cerna yang menekan leher buli-buli, sehingga membuat retensi urine. Dari semua
penyebab, yang terbanyak adalah akibat pembesaran prostat jinak.
Pada retensi urin, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai rasa
sakit yang hebat didaerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai
mengejan. Retensio urin dapat terjadi menurut lokasi, faktor obat dan faktor lainnya
seperti ansietas, kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya yang
menyebabkan kerusakan simpatis dan parasimpatis sebagian atau seluruhnya
sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang mengakibatkan tidak

7
adanya atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal, vesikal berupa kelemahan
otot detrusor karena lama teregang,intravesikal berupa hipertrofi prostate, tumor atau
kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil menyebabkan obstruksi urethra sehingga
urin sisa meningkat dan terjadi dilatasi bladder kemudian distensi abdomen. Faktor
obat dapat mempengaruhi proses BAK, menurunkan tekanandarah, menurunkan
filtrasi glumerolus sehingga menyebabkan produksi urin menurun. Faktor lain berupa
kecemasan, kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya
dapatmeningkatkan tensi otot perut, perianal, spinkter anal eksterna tidak dapat
relaksasi dengan baik (Purnomo, 2011).

Gambar 1. Patologi Retensi Urine


(Grace dan Borley, 2007)

1. Neurologi

8
Proses berkemih melibatkan dua proses yang berbeda yaitu pengisian dan
penyimpanan urine serta pengosongan kandung kemih. Hal ini saling
berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih
dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf
otonom dan somatik. Secara neurologi retensi urine dapat terjadi karena adanya
lesi pada saraf perifer, otak, atau sumsum tulang belakang. Lesi ini bisa
menyebabkan kelemahan otot detrusor dan inkoordinasi otot detrusor dengan
sfingter pada uretra.
Pada pasien yang mendapatkan anastesi spinal dapat menyebabkan retensi
urin. Hal ini karena anastesi spinal memblokade sakral yang menyebabkan
atonia vesika urinaria sehingga volume urin di vesika urinaria jadi lebih
banyak. Sedangkan pada pasien yang mendapatkan anastesi umum dapat
menyebabkan paralisis muskulus yang bekerja di banyak area tubuh. Pada
beberapa pasien juga terjadi paralisis otot kandung kemih, sehingga
menyebabkan pasien tidak dapat berkemih. Ketidakmampuan BAK ini dapat
terjadi dalam 24 jam, tetapi selama waktu itu kandung kemih akan terus terisi
dan penuh, sehingga dibutuhkan kateter. (Heisler, 2011).
2. Obstruksi dan Infeksi (Corwin, 2001)
Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat aliran
kemih, bakteri akan terperangkap di dalam air kemih yang terkumpul diatas
penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi. Jika penyumbatan ini berlangsung
lama, akan terjadi penimbunan cairan urine sehingga dapat terjadi retensi urine.
Penimbunan cairan juga dapat menimbulkan hidronefron yang pada akhirnya
juga bisa menimbulkan kerusakan ginjal. Selain itu batu pada saluran kemih
juga bisa menyebabkan respon nyeri yang diakibatkan oleh pembesaran dari
saluran kemihtersebut. Pembesaran saluran kemihakan memicu pelepasan
mediator kimia yang dapat menyebabkan respon nyeri.
3. Obat (Purnomo, 2011)
Medikasi yang menggunakan bahan anti kolinergik, seperti trisiklik
antidepresan, dapat membuat retensi urine dengan cara menurunkan kontraksi
otot detrusor pada buli-buli. Obat-obat simpatomimetik, seperti dekongestan

9
oral, juga dapat menyebabkan retensi urine dengan meningkatkan tonus alpha-
adrenergik pada prostat dan leher buli-buli. Dalam studi terbaru obat anti
radang non steroid ternyata berperan dalam pengurangan kontraksi otot
detrusor lewat inhibisi mediator prostaglandin. Banyak obat lain yang dapat
menyebabkan retensi urine.
4. Trauma (Finucane, 2007)
Retensi urin akut dapat disebebkan karena tindakan pembedahan.
Pembedahan dapat memberikan etiologi luka trauma pada saraf pelvis atau
kandung kemih, distensi kandung kemih, edema pada sekitar leher kandung
kemih serta relaksasi otot sphincter eksterna. Retensi urin sementara sering
terjadi pascabedah dengan durasi rata-rata 7-8 jam dan sering terjadi pada laki-
laki. Penyebab akibat trauma atau komplikasi pasca bedah. Trauma langsung
yang paling sering adalah straddle injury, yaitu cedera dengan kaki
mengangkang, biasanya pada anak-anak yang naik sepeda dan kakinya
terpeleset dari pedalnya, sehingga jatuh dengan uretra pada bingkai sepeda.
Selain itu, tidak jarang juga terjadi cedera pasca bedah akibat kateterisasi atau
instrumentasi.
Retensi dapat terjadi pada setiap pasien pascaoperatif, khususnya pasien
yang menjalani operasi didaerah perineum atau anal sehingga timbul spasme-
reflek sphicnter (Smeltzer, 2001).
Dari semua faktor di atas menyebabkan urin mengalir lambat kemudian
terjadi poliuria karena pengosongan kandung kemih tidak efisien. Selanjutnya
terjadi distensi bladder dan distensiabdomen sehingga memerlukan tindakan,
salah satunya berupa kateterisasi urethra.

10
11
2.6 Algoritma Retensi Urin Berdasarkkan Urin yang Tertahan

RETENSI URIN

RISASI
KATETE

berhasil tidak berhasil /


kontra indikasi

Pengobatan lebih
lanjut tergantung
penyebab

SITOTOMI

Bertujuan
mengambil batu tidak tersedianya alat
ureter yang atau fasilitas sitotomi Bisa Ada kontra
tertahan/
dilakukan indikasi
menyumbat

SITOTOMI SITOTOMI
TROKAR TERBUKA
URETRO PUNGSI

Pengobatan lebih Segera di rujuk ke Pengobatan lebih


lanjut tergantung pelayanan kesehatan lanjut tergantung
penyebab dimana dapat penyebab
dilakukan sitotomi

12
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
a. Foto polos abdomen
Sangat diperlukan sebelum melakukan pemeriksaan penunjang saluran kemih.
Film polos dapat menunjukan: batu ginjal pada sistem pelvicalyces, klasifikasi
parenkim ginjal, batu uretere, klasifikasi dan batu kandung kemih, klasifikasi
prostat, atau deposit tulang sklerotik (Patel 2006).
b. Ureum dan elektrolit
Digunakan untuk menentukan indeks fungsi ginjal (Rubenstein [et al] 2005)
c. Kultur dan sensitivitas MSU
Berhubungan dengan infeksi, termasuk sitologi jika dicurigai terdapat tumor
(Grace and Borley 2006).
d. Sistografi
Untuk memeriksa katup uretra, striktur. Sistografi adalah pemeriksaan radiografik
kandun kemih, setelah kandung kemih diisi oleg suatu medium kontras (Brooker
2008).
e. IVU (Inravenous Urography)
Indikasi untuk pemeriksaan batu ginjal/kandung kemih. Pasen dengan retensi urin
dan infeksi saluran kemih dianjurkan untuk melakukan ultrasonografi
dibandingkan IVU. Setelah didapatkan film abdomen sebagai kontrol awal,
sebanyak 50-100 ml media kontras dengan osmolar rendah yang teriodinisasi
disuntikan ke pasien. Kontras dengan cepat mencapai ginjal dan akan dikeluarkan
melalui filtrasi glomelurus. Film yang diambil sesaat setelah penyuntikan kotras
akan menggambarkan fase nefrogram yang memperlihatkan parenkim ginjal dan
batas-batasnya. Film-film yang diambil 5, 10, dan 15 menit setelah penyuntikan
akan memperlihatkan sistem pelvicalyces, ureter, dan kandung kemih; urutan ini
bervariasi tergantung pada masing-masing pasien. Adanya obstruksi ginjal
mungkin membutuhkan pemerikasaan yang lebih lama sampai 24 jam untuk
menggambarkan sistem pelvicalyses (Patel 2005).
f. Urodinamik
Merupakan suatu studi atau penelitian fungsi kandung kemih.Urodinamik ini
memberikan penjelasan keterkaitan untuk pengeluaran dan penyimpanan di
bladder dan uretra.Penjelasan terhadap gejala-gejala dan masalah pada setiap
individu lebih jelas.Urodinamik memberikan identifikasi dan penilaian masalah
neurologis, penilaian BPH (Abrams 2006).
g. Sistoskopi

13
Adalah pemeriksaan langsung pada kandung kemih dengan menggunakan
instrumen yang disebut sistokop (Baradero 2008).
h. Urin analisis
Adanya darah dalam urine bisa disebabkan karena kelainan di bagian mana pun
dari saluran kemih.Jumlah darah yang sedikit saja bisa secara signifikan
mengubah warna urin menjadi merah mudah atau merah. Adanya hematuria
mikroskopik (nampak pada pemeriksaan dipstik dan pemeriksaan mikroskopik)
atau makroskopik yang terus menerus harus diperiksa lebih lanjut karena mungkin
merupakan gambaran awal dari suatu karcinoma pada ginjal atau kelainan ginjal
lain yang serius (Davey, 2006).
a. Berat jenis urine : nilai normalnya adalah 1,010-1,026. Prosedur ini dapat
mengukur kemampuan ginjal untuk mengonsentrasi urine. Prosedur dimulai
dengan mengambil urine yang pertama waktu bangun pagi hari. Pasien tidak
memerlukan persiapan khusus (Baradero et al, 2009).
b. Osmolalitas urine : nilai normalnya adalah 500-800 mOsm. Uji ini merupakan
yang terbaik untuk mengetahui fungsi ginjal. Osmolalitas adalah konsentrasi
total partikel dalam larutan (Baradero et al, 2009).
c. Klirens kreatinin: nilai normal pria 90-140 ml/menit wanita 85-125 ml/menit.
Prosedur ini menilai kecepatan ginjal untuk mengambil kreatinin dari plasma
i. Uroflometri
Uroflowmetri adalah pencatatan tentang pancaran urin selama proses miksi secara
elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran
kemih bagian bawah yang tidak invasif.Dari uroflometri dapat diperoleh
informasi mengenai volume miksi pancaran maksimum, pancaran rata-rata, waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum dan lamanya pancaran.

j. Uretrografi
Uretrografi adalah pencitraan uretra dengan memakai bahan kontras.Bahan
kontras dimasukkan langsung melalui klem Broadny yang dijepitkan pada glans
penis. Gambaran yang mungkin terjadi adalah :
a) Jika terdapat striktura uretra akan tampak adanya penyempitan atau hambatan
kontras pada uretra.
b) Trauma uretra tampak sebagai ekstravasasi kontras keluar dinding uretra.
c) Tumor uretra atau batu non opak pada uretra tampak sebagai filling defect pada
uretra.

14
k. Uretrosistoskopi.
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan
buli-buli.Terlihat adanya pembesaran, obstruksi uretra dan leher buli-buli, batu
buli-buli, selule dan divertikel buli-buli. Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat
akan dilakukan tindakan pembedahan untuk menentukan perlunya dilakukan
TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka. Disamping itu pada kasus yang disertai
dengan hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli sistoskopi sangat
membantudalam mencari lesi pada buli-buli.
l. Ultrasonografi.
Prinsip pemeriksaan ultrasonografi adalah menangkap gelombang bunyi ultra
yang dipantulkan oleh organ-organ (jaringan) yang berbeda
kepadatannya.Pemeriksaan ini tidak invasif dan tidak menimbulkan efek radiasi.
USG dapat membedakan antara massa padat (hiperekoik) dengan massa kistus
(hipoekoik). Pada kelenjar prostat, melalui pendekatan transrektal (TRUS) dipakai
untuk mencari nodul pada keganasan prostat dan menentukan volume / besarnya
prostat.Jika didapatkan adanya dugaan keganasan prostat, TRUS dapat dipakai
sebagai penuntun dalam melakukan biopsy kelenjar prostat.

2.8 Penatalaksanaan
A. Kateterisasi
Pada retensi urin akut, pengobatannya dimulai dengan memasukkan kateter
melewati uretra untuk mengosongkan kandung kemih.Pengobatan awal ini
untuk mengurangi kesakitan dari kandung kemih yang penuh dan mencegah
kerusakan kandung kemih yang permanen.Namun pemasangan kateter harus
steril untuk mencegah terjadinya infeksi. Pengobatan jangka panjang untuk
retensi urin akut tergantung dari penyebabnya (lewis,2011).
B. Sistostomi Suprapubik
15
Sistostomi adalah suatu tindakan pembedahan untuk mengalirkan kencing
melalui lubang yang dibuat di supra pubik untuk mengeluarkan urine dari
buli-buli serta mangatasi retensi urine dan menghindari komplikasi
(schwartz,2002).
1. Sistostomi Trokar
Tindakan ini dikerjakan dengan anestasi lokal dan menggunakan alat
trokar.Indikasi sistostomi trocar adalah untuk kateterisasi gagal : Striktur,
batu uretra yang menancap(impacted)katerisasi tidak dibenarkan : adanya
robekan uretra karena trauma.

Gambar 3.Memasukkan alat trokar (Basuki,2003)

2. Sistostomi terbuka
Sistostomi terbuka dikerjakan bila terdapat kontra indikasi pada tindakan
sistostomi trokar atau tidak terdapat alat trokor.dianjurkan untuk

16
melakukan sistostomi terbuka jika terdapt sikatriks/ bekas operasi pada
daerah suprasimfisis ,sehabis mengalami trauma didaerah panggul yang
mencederai buli-buli dan adanya bekuan darah pada buli-buli yang tidak
mungkin dilakukan tindakan per uretram.
Gambar 4.preparat sistostomi
(Basuki,2003)

C. Pungsi buli-buli
Merupakan tindakan darurat sementara bila katerisasi tidak berhasil dan
fasilitas atau sarana untuk sistostomi baik trokar maupun terbuka tidak

17
tersedia.Pada tindakan pungsi buli digunakan jarum pungsi dan penderita
segera dirujuk ke pusat pelayanan dimana dapat dilakukan sistostomi.

Gambar 5. Posisi Tindakan aspirasi Suprapubik & Mencari Lokasi


untuk Aspirasi Suprapubik

D. Uretrolitotomy
Ureterolitotomi adalah suatu tindakan operasi yang bertujuan untuk
mengambil batu ureter baik ureter proksimal (atas) ataupun distal
(bawah).Operasi ini dengan menggunakan sayatan di kulit.Letak irisan sangat
bergantung letak batu.Untuk batu di ureter atas, irisan berada di pinggang
berbentuk garis lurus yang oblik.Untuk batu di ureter bawah maka irisan di
perut bawah garis lurus yang sejajar tubuh (Mary, 2008).Tindakan ini jika
retensi urine disebabkan oleh batu yang terdapat pada ureter.

2.9 Komplikasi
a) Infeksi Saluran Kemih
Urin yang tertampung di buli-buli harus segera dikeluarkan karena urin yang
tertampung akan berisiko menjadi media untuk bakteri berkembang dan akan
menyebabkan Infeksi saluran kemih. Karena adanya sisa urin setiap kali miksi,
maka lama kelamaan akan terbentuk batu endapan di dalam kansung kemih, yang
kemudian akan menyebabkan bertambahnya keluhan iritasi dan menimbulkan
keluhan hematuria pada pasien. Selain itu batu akan menyebabkan timbulnya
penyakit sistitis dan bila terjadi refluks dapat menyebabkan terjadinya
pielonefritis(Purnomo 2003).
b) Hidronefrosis
Buli-buli akan mengembang melebihi kapasitas maksimal sehingga tekanan di
dalam lumennya dan tegangan dari dindingnya akan meningkat. Bila keadaan ini
dibiarkan berlanjut, tekanan yang meningkat didalam lumen akan menghambat
aliran urin dari ginjal dan ureter sehingga terjadi hidroureter dan bila sampai ke
ginjal akan menyebabkan hidronefrosis dan bila terjadi infeksi sehingga
mempercepat terjadinya kerusakan ginjal dan menyebabkan gagal ginjal.

18
c) Kerusakan bladder
Jika kandung kemih menjadi membentang terlalu jauh atau untuk waktu
yang lama, otot-otot mungkin rusak secara permanen dan kehilangan kemampuan
untuk berkontraksi.

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Retensi urine merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih akibat
ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung kemih. Hal ini
menyebabkan distensi vesika urinaria atau merupakan keadaan ketika
seseorang mengalami pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Dalam
keadaan distensi, vesika urinaria dapat menampung urine sebanyak 3000-4000
ml urine. Penelitian yang dilakukan di Amerika pada pria dengan usia antara
40 sampai 83 tahun memiliki resiko yang cukup tinggi antara 4,5 – 6,8 per
1000 pria pertahun untuk mengalami retensi urin, dan semakin meningkatnya
usia maka seorang pria akan lebih rentan untuk mengidap retensi urin.Hasil
penelitian Warner (2009)

3.2 Saran
Sebagai seorang perawat yang memiliki basic keilmuan diharapkan setiap
melaksanakan asuhan keperawatan senantiasa berpegang pada konsep yang

19
sudah diberikan pada perkuliahan sehingga penatalaksanaan klien dengan
retensi urin dapat terlaksana dengan tepat dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Marry et al. 2009. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta:
EGC;16-21.
Basuki B Purnomo. 2003. Dasar-dasar Urology. Edisi 2.Jakarta : Sagung Seto.
Black, JM & Hawks, JH. 2009. Medical Surgical Nursing : Clinical Management for
Positive Outcomes. 7th Edition. St. Louis – Missouri : Saunders Elsevier Inc.
Blackwell, Wiley. 2014. Nursing Diagnoses, Tenth edition. Garsington Road :
Pondicherry
Borrie, Michael j, Karen C, Zora A.A., Judy Bray, Pauline Hart, Terri Labate, Paul
Hesch. 2001. Urinary Retention in Patients in a Geriatric Rehabilitation Unit :
Prevalence, Risk Factors, and Validity of Bladder Scan Evaluation. Volume 26,
number 5. Rehabilitation Nursing. Wiley Online Library.
Bulechek, Gloria M. Butcher, Howard K. Dochterman, McCloskey, Joanne. 2013.
Nursing Interventions Classification (NIC),Sixth edition. St.louis, Missouri :
Elsevier mosby
Corwin, Elizabeth J. (2001). Hands Book of Pathophysiologi.Jakarta : EGC
Finucane, Brendan T. (2007). Complication of Regional Anesthesia 2nd Edition. Springer
Science Business Media, USA : 153
Grace, Pierce A dan Borley, Neil R. (2007). Surgery at a Glance 3 Edition.Jakarta :
Penerbit Erlangga; 60-61
Heisler, J. (2011). Understandingt the Risks of Anesthesia. Diunduh dari
http://surgery.about.com/od/proceduresaz/ss/AnesthesiaRisks.htm
Hidayat, A. Aziz Alimul dan MusrifatulUliyah.(2008). Keterampilan Dasar Praktik
Klinik untuk Kebidanan 2 Edition. Jakarta: Salemba Medika; 66.
Kozier & Erb, (2009).Buku Ajar Praktek Keperawatan Klinis Edisi Kedua. Jakarta: EGC.

20
Lewis, SL, Dirksen, SR, Heitkemper, MM, Bucher, L & Camera, IM. 2011. Medical
Surgical Nursing, Assessment and Management of Clinical Problem. 8th Edition.
St. Louis-Missouri : Saunders Elsevier Inc.
M.J. Speakman, Odunayo Kalejaiye.(2009). European Association of Urology:
Management of Acut and Chronic Retention in Men. UK: Elsevier; 523-529
McConnell JD, Roehrborn CG, Bautista OM, et al; The Long-Term Effect of Doxazosin,
Finasteride, and Combination Therapy on The Clinical Progression of Benign
Prostatic Hyperplasia. N Engl J Med. 2003 Dec 18;349(25):2387-98.
Moorhead, Sue. dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC), Fifth edition.
St.louis, Missouri : Elsevier mosby
Pierce & Borley, (2006).At a Glance Ilmu Bedah Edisi ketiga. Jakarta: EMS.
Purnomo B. Basuki.(2011). Dasar-dasar Urologi, Edisi ketiga.Jakarta : CV Sagung Seto
Selius Brian, Subedi Rajesh. Urinary Retention in Adults: Diagnosis and Initial
Management. American Family Physician. 2008; 77. P. 643-650.
Smeltzer, S. (2001).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.(Ed.8).
(Vol.2). Jakarta: EGC

21

Anda mungkin juga menyukai