Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

MANAJEMEN KEPERAWATAN
( MANAJEMEN MUTU DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN )

DISUSUN OLEH KELOMPOK 1

1. YUMNI RUMIWANG 7. CHAYYI FANANI R.


2. AHMAD CHAERI 8. RAHMAN ISNAINI
3. M. RAMLI 9. KHAERUL UMAM
4. SUDARMAN 10. KOMALA SARI
5. M. HISBULLAH 11. ERNAWATI
6. ARTADRINIA Z.L. 12. AKHMAD MUKHLIS K.R.

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
MATARAM TAHUN 2015

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan, atas limpahan dan rahmat
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Penyakit pada anak
(penyakit polio). Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas Mata Kuliah
Bahasa Inggris. Karena makalah ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa
bantuan dari pihak-pihak tertentu.
Penulis membuat makalah ini dengan seringkas-ringkasnya dan bahasa
yang jelas agar mudah dipahami. Karena penulis menyadari keterbatasan yang
penulis miliki, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, agar
pembuatan makalah penulis yang berikutnya dapat menjadi lebih baik.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Mataram, Mei 2015

Penulis

1. Agus Supinganto, Ners., M.Kes., selaku Ketua STIKES YARSI Mataram.


2. Sopian Halid, S.Kep., Ners., M.Kes., selaku PUKET II STIKES YARSI
Mataram sekaligus dosen pengampu Mata Kuliah Manajemen Keperawatan.
3. Indah Wasliah, Ners., M.Kep., Sp.Anak., selaku Ka. Prodi S1 Keperawatan
STIKES YARSI Mataram.
4. B. Nurainun Apriani Idris, Ners., selaku dosen pembimbing akademik.
5. Semua pihak yang ikut membantu dalam penyusunan makalah ini.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PEGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................... 3
1.4 Ruang Lingkup .................................................................................. 3
1.5 Metode Penulisan .............................................................................. 3
1.6 Sistematika Penulisan ....................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 4
2.1 Pengertian Mutu ................................................................................ 4
2.2 Pengertian Mutu Pelayanan Keperawatan ........................................ 7
2.3 Dimensi Mutu Asuhan Keperawatan .............................................. 15
2.4 Ciri Mutu Asuhan Keperawatan ...................................................... 19
2.5 Strategi Mutu Pelayanan Keperawatan ............................................ 20
2.6 Indikator Mutu Keperawatan .......................................................... 21
2.7 Pengertian Standar .......................................................................... 24
2.8 Tujuan SAK (Standar Asuhan Keperawatan) .................................. 25
2.9 Komponen SAK ............................................................................... 26
2.10 Pelaksanaan Evaluasi Penerapan SAK ......................................... 32
BAB 3 PENUTUP ...................................................................................... 37
3.1 Simpulan ......................................................................................... 37
3.2 Saran ................................................................................................ 37
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan nasional yang dilaksanakan secara bertahap sejak
Indonesia merdeka sudah meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Peningkatan kesejahteraan suatu wilayah diukur dari tingkat pendidikan, status
kesehatan, dan pendapatan masyarakat. Ketiganya jika digabungkan akan
menjadi ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di wilayah tersebut.
Peningkatan IPM disuatu wilayah akan meningkatkan jumlah masyarakat
kelas ekonomi menengah ke atas. Kelompok masyarakat inilah yang akan
menyuarakan tuntutan mereka tentang peningkatan mutu pelayanan publik
(public services) termasuk di bidang pelayanan kesehatan.
Sebagai bagian dari sistem kesehatan nasional, subsistem pelayanan
kesehatan yang dikembangkan disuatu wilayah seharusnya diarahkan untuk
mencegah, mempromosikan, memelihara, dan meningkatkan status kesehatan
masyarakat di wilayah kerjanya. Pelayanan keperawatan profesional
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada
ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-spiritual
yang komprehensif ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat, baik
sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Dalam memberikan pelayanan profesional manajer keperawatan
dituntut untuk akuntabel terhadap pengelolahan pelayanan keperawatan untuk
mencapai pelayanan yang bermutu.
Suatu pelayanan kesehatan dikatakan bermutu apabila kinerja yang
menunjukan tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan tidak hanya dapat
menimbulkan kepuasan bagi pasien sesuai dengan kepuasan rata-rata
penduduk tetapi juga sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah
ditetapkan.
Proses pengembangan mutu pada sebuah institusi pelayanan kesehatan
(health care provider) dapat dipahami melalui berbagai jenis produk dan jasa
pelayanan yang ditawarkan kepada masyarakat, segmen pasar atau konsumen

1
produk tersebut dan harapan masyarakat pengguna jasa pelayanan terhadap
kinerja pelayanan kesehatan yang mereka terima.
Pelayanan kesehatan yang ditawarkan oleh institusi kesehatan adalah
jasa hasil akhir (outcome). Jasa pelayanan kesehatan adalah status kesehatan
individu atau kelompok masyarakat setelah mereka menggunakan jasa
pelayanan kesehatan (health care and health services). Produk kesehatan
dapat dihubugkan dengan batasan sehat menurut WHO atau KEMENKES RI
(UU No. 23 Tahun 1992). Yang unik dalam konteks pelayanan kesehatan
adalah produk akhir yang dihasilkan oleh institusi pelayanan kesehatan yaitu
status kesehatan perorangan atau kelompok masyarakat. Produk kesehatan ini
dinilai oleh konsumen setelah mereka merasakan manfaatnya. Produk ini juga
bisa diukur secara statistik apabila dikaitkan dengan status kesehatan
masyarakat. Dimensi produk pelayanan di masyarakat dikategorikan dalam
bentuk health (kesehatan individu atau kelompok masyarakat), disability
(jumlah ketidakmampuan di masyarakat), death (besarnya dan jenisnya
kematian), dan fertility (kesuburan). Ukuran yang digunakan untuk status
kesehatan masyarakat adalah angka kesakitan (morbidity rate), angka
kematian (mortality rate), angka ketidakmampuan (disability rate), dan angka
fertilitas (fertility rate). Ukuran morbiditas adalah prevalen rate ada beberapa,
antara lain angka kematian kasar (crude death rate), dan angka kematian
berdasarkan penyababnya (specific death rate).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud mutu ?
2. Apa yang dimaksud mutu pelayanan kesehatan ?
3. Apa saja dimensi mutu pelayanan kesehatan ?
4. Bagaimana ciri-ciri mutu asuhan keperawatan ?
5. Apa yang dimaksut standar ?
6. Apa tujuan dari SAK ?
7. Apa saja komponen dari SAK ?
8. Bagaimana pelaksanaan evaluasi dan penerapan SAK ?

2
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mengetahui tentang konsep manajemen mutu dalam
pelayanan keperawatan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian mutu.
b. Mengetahui pengertian mutu pelayanan kesehatan.
c. Mengetahui dimensi mutu pelayanan kesehatan.
d. Mengetahui ciri-ciri mutu asuhan keperawatan.
e. Mengetahui pengertian standar.
f. Mengetahui tujuan dari SAK.
g. Mengetahui komponen SAK (Standar I-VI).
h. Mengetahui pelaksanaan evaluasi dan penerapan SAK (instrumen A, B
dan C).
1.4 Ruang Lingkup
Sistem Manajemen dan Kepemimpinan dalam praktek keperawatan
sangatlah luas dan kompleks. Agar pembahasan lebih terarah, dalam makalah
ini penulis hanya membahas mengenai aspek Menejemen Mutu dalam
Pelayanan keperawatan dan Standar Asuhan Keperawatan.
1.5 Metode Penulisan
Dalam makalah ini menggunakan metode penulisan deskriptif dengan
menggunakan teknik studi literatur dari berbagai sumber yang terkait dengan
Manajemen Mutu dalam Pelayanan Keperawatan.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dari makalah ini adalah :
1. Bab 1 Pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang, rumusan masalah,
tujuan, ruang lingkup, metode penulisan dan sistematika penulisan.
2. Bab 2 Tinjauan Pustaka. Bab ini meliputi pengertian mutu, pengertian
mutu pelayanan kesehatan, dimensi mutu pelayanan kesehatan, ciri mutu
asuhan keperawatan, pengertian standar, tujuan dari SAK, komponen SAK
(Standar I-VI), dan pelaksanaan evaluasi dan penerapan SAK.
3. Bab 3 Penutup. Bab ini meliputi simpulan dan saran.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Mutu


Mutu atau kualitas adalah tingkat baik buruknya sesuatu; kadar,
derajat atau taraf (kepandaian, kecakapan). Mutu ini digunakan sebagai
pengukur yang membedakan suatu benda dengan yang lainnya. Di sini
keberadaan mutu tersebutlah yang menjadikan suatu benda itu berbeda.
Perbedaan yang terdapat pada benda ini menjadikan benda ini istimewa dan
spesial dibandingkan dengan benda lainnya yang masih tergolong sama.
Beberapa ahli telah mendefinisikan mutu sebagaimana di bawah ini:
1. Joseph Juran (1989), memiliki pendapat bahwa quality is fitness for use.
Secara bebas mutu di sini diartikan sebagai kesesuaian atau enaknya
barang itu digunakan (mutu produk).
Contoh sederhana dari mutu seperti ini adalah ketika kita membeli
suatu produk dan produk itu sesuai dengan yang kita inginkan maka kita
menilai produk itu bagus atau baik. Misalnya baju yang kita beli memiliki
mutu jika ketika kita memakai baju tersebut merasa puas karena terlihat
baik dan bagus sesuai keinginan kita meskipun mahal. Berbeda dengan
sebaliknya, apabila baju yang kita beli tidak cocok maka kita akan menilai
baju atau produk tersebut tidak bermutu. Demikian juga mutu dalam
organisasi nonprofit (jasa). Sebuah contoh yaitu jasa laundry, jika pakaian
yang kita titipkan untuk dicuci di jasa laundry tersebut memuaskan kita
dengan hasil harum dan bersih maka kita akan merasa senang dan puas
seraya kita menilai jasa laundry tersebut bermutu. Namun berbeda jika
pakaian yang kita titipkan itu ternyata masih kotor dan bau, maka kita
akan menilai jasa laundry tersebut tidak bermutu atau mutunya jelek.
Pengertian yang dikemukakan Juran di atas merupakan definisi
mutu dalam arti sempit dari segi konsumen atau pelanggan. Ditinjau dari
pandangan produsen, mutu merupakan kata yang cukup rumit untuk
didefinisikan karena mutu dari segi produsen bergantung pada beberapa
hal berikut: merancang, memproduksi, mengirimkan atau menyerahkan

4
barang kepada konsumen, pelayanan pada konsumen, dan penggunaan
barang (jasa) tersebut oleh konsumen.
Mutu dari sisi produsen dapat diartikan sebagai yang diungkapkan
Prawirosentono (2004) adalah, Mutu suatu produk adalah keadaan fisik,
fungsi, dan sifat suatu produk bersangkutan yang dapat memenuhi selera
dan kebutuhan konsumen dengan memuaskan sesuai nilai uang yang
telah dikeluarkan. Dalam pengertian yang lebih luas, Juran mengartikan
mutu sebagai kinerja organisasi secara keseluruhan yang difokuskan
secara sinergi pada kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Di sinilah mutu
dipersepsikan sebagai total quality management.
2. Philip B. Crosby (1990) mendefinisikan mutu sebagai kesesuaian dengan
apa yang disyaratkan atau distandarkan (Conformance to requirement).
Secara sederhana sebuah produk dikatakan berkualitas apabila produk
tersebut sesuai dengan standar kualitas yang telah ditentukan yang
meliputi bahan baku, proses produksi, dan produk jadi.
Dari definisi ini, mutu itu diartikan sebagai kesesuaian dengan
standar yang ada. Sebagai contoh dalam sebuah organisasi memproduksi
sebuah produk atau barang akan dikatakan bermutu jika barang atau
produk tersebut sudah sesuai dengan standar yang ada. Dalam organisasi
nonprofit misalhnya, di dunia pendidikan memiliki beberapa standar.
Organisasi pendidikan itu dikatakan bermutu jika organisasi tersebut telah
memenuhi standar-standar yang ada.
3. Edwards Deming (1986) menyatakan bahwa kualitas atau mutu adalah
kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Dalam arti ini, mutu
adalah apa saja yang menjadi kebutuhan dan keinginan konsumen. Kalau
dillihat dari definisi di atas, keinginan konsumen yang selalu berubah-
berubah akan memengaruhi mutu suatu produk sesuai dengan yang
dikehendaki konsumen. Dapat disimpulkan mutu di sini bukanlah hal
yang tetap, melainkan hal yang selalu berubah-ubah mengikuti keinginan
pelanggan. Definisi ini berbeda dengan yang dikemukakan Juran fitnees
for use dan Crosby yang mengatakan mutu adalah conformance to
requirements.

5
4. Armand V. Fiegenbaum (1991) mendefinisikan mutu sebagai kepuasan
pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Suatu produk atau jasa
dikatakan berkualitas apabila produk tersebut benar-benar membuat
pelanggan puas. Suatu contoh, pedagang Ayam Bakar Wong Solo,
warung ini dikatakan bermutu karena warung ini dapat memuaskan
pelanggan setelah pelanggan mencoba makan di warung tersebut, dengan
berbagai menu yang disajikan terutama menu ayam bakarnya yang khas.
5. Goetssch dan Davis (2002) mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan. Dari pengertian ini jelas sekali bahwa
mutu itu merupakan hal yang dinamis karena berusaha untuk memenuhi
harapan-harapan pelanggan.
6. Edwar Sallis (2006) mutu dipandang sebagai sebuah konsep yang absolut
sekaligus relatif. Dalam artian absolut, mutu sama halnya dengan sifat
baik, cantik, dan benar, merupakan suatu idealisme yang tidak dapat
dikompromikan. Sesuatu yang bermutu bagian dari standar yang sangat
tinggi dan tidak dapat diungguli. Adapun mutu itu relatif dipandang
sebagai sesuatu yang melekat pada sebuah produk yang sesuai dengan
kebutuhan pelanggannya. Karena itu, produk atau layanan dianggap
bermutu bukan karena ia mahal dan eksklusif, tetapi karena memiliki
nilai, misalnya keaslian produk, wajar, dan familliar.
7. Azwar (1996) menjelaskan bahwa mutu adalah tingkat kesempurnaan dari
penampilan sesuatu yang sedang diamati dan juga merupakan kepatuhan
terhadap standar yang telah ditetapkan.
8. Tappen (1995) menjelaskan bahwa mutu adalah penyesuaian terhadap
keinginan pelanggan dan sesuai dengan standar yang berlaku serta
tercapainya tujuan yang diharapkan.
Dari pendapat-pendapat tersebut, terlihat bahwa mutu dipandang dari
dua sisi, yaitu sisi di mana mutu sebagai nilai-nilai universal yang absolut dan
bersifat tetap, sisi yang lain memandang mutu sebagai nilai-nilai yang dapat
berubah-berubah atau relatif karena berusaha memenuhi dan memuaskan para
pelanggan. Di sinilah produsen benar-benar dituntut untuk selalu mengikuti

6
apa yang menjadi harapan dan keinginan pelanggan yang selalu berkembang
dan tentunya berbeda satu individu dengan individu lainnya mengenai
penilaiannya terhadap produk atau jasa yang ditawarkan.
Dari berbagai definisi mutu yang dikemukakan oleh para tokoh di
atas, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi indikator dari sebuah
kualitaas atau mutu. Antara lain: pertama, kesesuaian untuk pemakaian;
kedua, kesesuaian dengan standar; ketiga, kesesuaian dengan kebutuhan
pasar; keempat, kepuasan pelanggan; kelima, kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan.
Berdasarkan uraian di atas, maka mutu dapat dikatakan sebagai
kondisi dimana hasil dari produk sesuai dengan kebutuhan pelanggan, standar
yang berlaku dan tercapainya tujuan. Mutu tidak hanya terbatas pada produk
yang menghasilkan barang tetapi juga untuk produk yang menghasilkan jasa
atau pelayanan termasuk pelayanan keperawatan.
2.2 Pengertian Mutu Pelayanan Keperawatan
1. Pelayanan
Produk yang dihasilkan oleh suatu organisasi dapat menghasilkan
barang atau jasa. Jasa diartikan juga sebagai pelayanan karena jasa itu
menghasilkan pelayanan (Supranto, 2006). Definisi mengenai pelayanan
telah banyak dijelaskan, dan Kottler (2000, dalam Supranto, 2006)
menjelaskan mengenai definisi pelayanan adalah suatu perbuatan di mana
seseorang atau suatu kelompok menawarkan pada kelompok/orang lain
sesuatu yang pada dasarnya tidak berwujud dan produksinya berkaitan
atau tidak berkaitan dengan fisik produk. Sedangkan Tjiptono (2004)
menjelaskan bahwa pelayanan merupakan aktivitas, manfaat atau
kepuasan yang ditawarkan untuk dijual, sehingga dapat dikatakan bahwa
pelayanan itu merupakan suatu aktivitas yang ditawarkan dan
menghasilkan sesuatu yang tidak berwujud namun dapat dinikmati atau
dirasakan.

7
Kotler (1997, dalam Supranto, 2006) juga menjelaskan mengenai
karakteristik dari pelayanan dengan membuat batasan-batasan untuk jenis-
jenis pelayanan-pelayanan sebagai berikut :
a. Pelayanan itu diberikan dengan berdasarkan basis peralatan (equipment
based) atau basis orang (people based) dimana pelayanan berbasis
orang berbeda dari segi penyediaannya, yaitu pekerja tidak terlatih,
terlatih atau professional (Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen
Keperawatan).
b. Beberapa jenis pelayanan memerlukan kehadiran dari klien (clients
precense).
c. Pelayanan juga dibedakan dalam memenuhi kebutuhan perorangan
(personal need) atau kebutuhan bisnis (business need).
d. Pelayanan yang dibedakan atas tujuannya, yaitu laba atau nirlaba
(profit or non profit) dan kepemilikannya swasta atau publik (private
or public).
Berdasarkan dari pendapat-pendapat tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa pelayanan merupakan salah satu bentuk hasil dari produk
yang memberikan pelayanan dan mempunyai sifat tidak berwujud
sehingga pelayanan hanya dapat dirasakan setelah orang tersebut
menerima pelayanan tersebut. Selain itu, pelayanan memerlukan kehadiran
atau partisipasi pelanggan dan pemberi pelayanan baik yang professional
maupun tidak profesional secara bersamaan sehingga dampak dari
transaksi jual beli pelayanan dapat langsung dirasakan dan jika pelanggan
itu tidak ada maka pemberi pelayanan tidak dapat memberikan pelayanan.
2. Keperawatan
Keperawatan sudah banyak didefinisikan oleh para ahli, dan
menurut Herderson (1966, dalam Kozier et al, 1997) menjelaskan
keperawatan sebagai kegiatan membantu individu sehat atau sakit dalam
melakukan upaya aktivitas untuk membuat individu tersebut sehat atau
sembuh dari sakit atau meninggal dengan tenang (jika tidak dapat
disembuhkan), atau membantu apa yang seharusnya dilakukan apabila ia
mempunyai cukup kekuatan, keinginan, atau pengetahuan. Sedangkan

8
Kelompok Kerja Keperawatan (1992) menyatakan bahwa keperawatan
adalah suatu bentuk layanan profesional yang merupakan bagian integral
dari layanan kesehatan, berbentuk layanan bio-psiko-sosio-spiritual yang
komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik
sakit maupun sehat, yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Layanan keperawatan diberikan karena adanya kelemahan fisik dan
mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemauan dalam
melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.
Pelayanan Keperawatan yang diberikan kepada pasien
menimbulkan adanya interaksi antara perawat dan pasien, sehingga perlu
diperhatikan kualitas hubungan antara perawat dan pasien. Hubungan ini
dimulai sejak pasien masuk rumah sakit. Kozier et al (1997) menyatakan
bahwa hubungan perawat-pasien menjadi inti dalam pemberian asuhan
keperawatan, karena keberhasilan penyembuhan dan peningkatan
kesehatan pasien sangat dipengaruhi oleh hubungan perawat-pasien. Oleh
karena itu, metode pemberian asuhan keperawatan harus memfasilitasi
efektifnya hubungan tersebut. Konsep yang mendasari hubungan perawat
pasien adalah hubungan saling percaya, empati, caring, otonomi, dan
mutualitas.
Pengertian keperawatan di atas dikaitkan dengan karakteristik dan
batasan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka keperawatan dapat
dikatakan sebagai jenis produk yang menghasilkan pelayanan yang
berbasis orang (people based) yaitu berbasis pada pasien baik sakit
maupun sehat akibat ketidaktahuan, ketidakmampuan, atau ketidakmauan
dengan menyediakan layanan keperawatan oleh tenaga perawat
profesional berbentuk layanan bio-psiko-sosio-spiritual yang
komprehensif. Sebagai suatu praktek keperawatan yang profesional, dalam
pelayanannya menggunakan pendekatan proses keperawatan yang
merupakan metode yang sistematis dalam memberikan asuhan
keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosis keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Namun dalam pelaksanaannya

9
harus memperhatikan kualitas hubungan antara perawat dan pasien yaitu
rasa percaya, empati dan caring.
Berdasarkan penjelasan mengenai mutu dan pelayanan keperawatan di
atas, maka Mutu Pelayanan Keperawatan dapat merupakan suatu pelayanan
keperawatan yang komprehensif meliputi bio-psiko-sosio-spiritual yang
diberikan oleh perawat profesional kepada pasien (individu, keluarga maupun
masyarakat) baik sakit maupun sehat, dimana perawatan yang diberikan sesuai
dengan kebutuhan pasien dan standar pelayanan. Namun pada dasarnya,
definisi mutu pelayanan keperawatan itu dapat berbeda-beda tergantung dari
sudut pandang mana mutu tersebut dilihat. Berbagai sudut pandang mengenai
definisi mutu pelayanan keperawatan tersebut diantaranya yaitu :
1. Sudut Pandang Pasien (Individu, Keluarga, Masyarakat)
Meishenheimer (2001) menjelaskan bahwa pasien atau keluarga
pasien mendefinisikan mutu sebagai adanya perawat atau tenaga kesehatan
yang memberikan perawatan yang terampil dan kemampuan perawat
dalam memberikan perawatan. Sedangkan Wijono (2000) menjelaskan
mutu pelayanan berarti suatu empati, respeck dan tanggap akan
kebutuhannya, pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan mereka,
diberikan dengan cara yang ramah pada waktu mereka berkunjung. Pada
umumnya mereka ingin pelayanan yang mengurangi gejala secara efektif
dan mencegah penyakit, sehingga pasien beserta keluarganya sehat dan
dapat melaksanakan tugas mereka sehari-hari tanpa gangguan fisik.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa
mutu pelayanan keperawatan didefinisikan oleh pasien (individu, keluarga,
masyarakat) sebagai pelaksanaan pelayanan keperawatan yang sesuai
dengan kebutuhannya yang berlandaskan rasa empati, penghargaan,
ketanggapan, dan keramahan dari perawat serta kemampuan perawat
dalam memberikan pelayanan. Selain itu melalui pelayanan keperawatan
tersebut, juga dapat menghasilkan peningkatan derajat kesehatan pasien.

10
2. Sudut Pandang Perawat
Mutu berdasarkan sudut pandang perawat sering diartikan dengan
memberikan pelayanan keperawatan sesuai yang dibutuhkan pasien agar
menjadi mandiri atau terbebas dari sakitnya (Meishenheimer, 2001).
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Wijono (2000), bahwa mutu
pelayanan berarti bebas melakukan segala sesuatu secara profesional untuk
meningkatkan derajat kesehatan pasien dan masyarakat sesuai dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang maju, mutu pelayanan yang baik dan
memenuhi standar yang baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
perawat sebagai tenaga profesional yang memberikan pelayanan
keperawatan terhadap pasien mendefinisikan mutu pelayanan
keperawatannya sebagai kemampuan melakukan asuhan keperawatan yang
profesional terhadap pasien (individu, keluarga, masyarakat) dan sesuai
standar keperawatan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Sudut Pandang Manajer Keperawatan
Mutu pelayanan difokuskan pada pengaturan staf, pasien dan
masyarakat yang baik dengan menjalankan supervisi, manajemen
keuangan dan logistik dengan baik serta alokasi sumber daya yang tepat
(Wijono, 2000). Pelayanan keperawatan memerlukan manajemen yang
baik sehingga manajer keperawatan mempunyai peranan penting dalam
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dengan melaksanakan fungsi-
fungsi manajemen dengan baik yang memfokuskan pada pengelolaan staf
keperawatan dan pasien sebagai individu, keluarga dan masyarakat. Selain
itu pengelolaan pun mencakup pada manajemen keuangan dan logistik.
4. Sudut Pandang Institusi Pelayanan
Meishenheimer (2001) mengemukakan bahwa mutu pelayanan
diasumsikan sebagai kemampuan untuk bertahan, pertimbangan penting
mencakup tipe dan kualitas stafnya untuk memberikan pelayanan,
pertanggungjawaban intitusi terhadap perawatan pasien yang tidak sesuai,
dan menganalisis dampak keuangan terhadap operasional institusi.
Sedangkan Wijono (2000) menjelaskan bahwa mutu dapat berarti
memiliki tenaga profesional yang bermutu dan cukup. Selain itu

11
mengharapkan efisiensi dan kewajaran penyelenggaraan pelayanan,
minimal tidak merugikan dipandang dari berbagai aspek seperti tidak
adanya pemborosan tenaga, peralatan, biaya, waktu dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, maka definisi mutu pelayanan
keperawatan dari pandangan intitusi pelayanan yaitu terlaksananya
efektifitas dan efisiensi pelayanan termasuk dalam hal ketenagaan,
peralatan, biaya operasional, dan waktu pelayanan. Efektifitas dan efisiensi
pelayanan tersebut didukung dengan peningkatan mutu stafnya, selain itu
rumah sakit pun dituntut untuk mempunyai tanggung jawab terhadap
pelayanan keperawatan yang menimbulkan dampak negatif pada pasien.
5. Sudut Pandang Organisasi Profesi
Badan legislatif dan regulator sebagai pembuat kebijakan baik
lokal maupun nasional lebih menekankan pada mendukung konsep mutu
pelayanan sambil menyimpan uang pada program yang spesifik. Selain itu
juga menekankan pada institusi-institusi pelayanan keperawatan dan
fasilitas pelayanan keperawatan. Badan akreditasi dan sertifikasi
menyamakan kualitas dengan mempunyai seluruh persyaratan administrasi
dan dokumentasi klinik yang lengkap pada periode waktu tertentu dan
sesuai dengan standar pada level yang berlaku. Sertifikat mengindikasikan
bahwa institusi pelayanan keperawatan tersebut telah sesuai standar
minimum untuk menjamin keamanan pasien. Sedangkan akreditasi tidak
hanya terbatas pada standar pendirian institusi tetapi juga membuat standar
sesuai undang-undang yang berlaku (Meishenheimer , 2001).
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sebagai organisasi
profesi mempunyai tanggung jawab dalam meningkatkan profesi
keperawatan. Sehingga untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan,
organisasi profesi tersebut membuat dan memfasilitasi kebijakan regulasi
keperawatan yang mencakup sertifikasi, lisensi dan akreditasi. Dimana
regulasi tersebut diperlukan untuk meyakinkan masyarakat bahwa
pelayanan keperawatan yang diberikan telah berdasarkan kaidah suatu
profesi dan pemberi pelayanan keperawatan telah memenuhi standar
kompetensi yang telah ditetapkan.

12
Penilaian terhadap mutu dilakukan dengan menggunakan pendekatan-
pendekatan yang dikelompokkan dalam tiga komponen, yaitu :
1. Audit Struktur (Input)
Wijono (2000) mengatakan bahwa struktur merupakan masukan
(input) yang meliputi sarana fisik perlengkapan/peralatan, organisasi,
manajemen, keuangan, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya
dalam fasilitas keperawatan. Baik tidaknya struktur sebagai input dapat
diukur dari jumlah besarnya mutu, mutu struktur, besarnya anggaran atau
biaya, dan kewajaran. Penilaian juga dilakukan terhadap perlengkapan-
perlengkapan dan instrumen yang tersedia dan dipergunakan untuk
pelayanan. Selain itu pada aspek fisik, penilaian juga mencakup pada
karakteristik dari administrasi organisasi dan kualifikasi dari profesi
kesehatan. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Tappen (1995),
yaitu bahwa struktur berhubungan dengan pengaturan pelayanan
keperawatan yang diberikan dan sumber daya yang memadai. Aspek
dalam komponen struktur dapat dilihat melalui :
a. Fasilitas, yaitu kenyamanan, kemudahan mencapai pelayanan dan
keamanan.
b. Peralatan, yaitu suplai yang adekuat, seni menempatkan peralatan.
c. Staf, meliputi pengalaman, tingkat absensi, rata-rata turnover, dan
rasio pasien-perawat.
d. Keuangan, yaitu meliputi gaji, kecukupan dan sumber keuangan.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka pendekatan struktur
lebih difokuskan pada hal-hal yang menjadi masukan dalam pelaksanaan
pelayanan keperawatan, diantaranya yaitu :
a. Fasilitas fisik, yang meliputi ruang perawatan yang bersih, nyaman dan
aman, serta penataan ruang perawatan yang indah;
b. Peralatan, peralatan keperawatan yang lengkap, bersih, rapi dan ditata
dengan baik;
c. Staf keperawatan sebagai sumber daya manusia, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas;

13
d. Keuangan, yang meliputi bagaimana mendapatkan sumber dan alokasi
dana.
Faktor-faktor yang menjadi masukan ini memerlukan manajemen
yang baik, baik manajemen sumber daya manusia, keuangan maupun
logistik.
2. Proses (Process)
Wijono (2000) menjelaskan bahwa pendekatan ini merupakan
proses yang mentransformasi struktur (input) ke dalam hasil (outcome).
Proses adalah kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh tenaga
kesehatan (perawat) dan interaksinya dengan pasien. Dalam kegiatan ini
mencakup diagnosa, rencana perawatan, indikasi tindakan, prosedur dan
penanganan kasus. Dengan kata lain penilaian dilakukan terhadap perawat
dalam merawat pasien dan baik tidaknya proses dapat diukur dari relevan
tidaknya proses bagi pasien, fleksibilitas/efektifitas, mutu proses itu
sendiri sesuai dengan standar pelayanan yang semestinya, dan kewajaran
(tidak kurang dan tidak berlebihan). Tappen (1995) juga menjelaskan
bahwa pendekatan pada proses dihubungkan dengan aktivitas nyata yang
ditampilkan oleh pemberi pelayanan keperawatan. Penilaian dapat melalui
observasi atau audit dari dokumentasi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan ini
difokuskan pada pelaksanaan pemberian pelayanan keperawatan oleh
perawat terhadap pasien dengan menjalankan tahap-tahap asuhan
keperawatan dan dalam penilaiannya dapat menggunakan teknik observasi
maupun audit dari dokumentasi keperawatan. Indikator baik tidaknya
proses dapat dilihat dari kesesuaian pelaksanaan dengan standar
operasional prosedur, relevansi tidaknya dengan pasien dan efektifitas
pelaksanaannya.
3. Hasil (Outcome)
Pendekatan ini adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan perawat
terhadap pasien. Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan
kepuasan baik positif maupun negatif. Sehingga baik tidaknya hasil dapat

14
diukur dari derajat kesehatan pasien dan kepuasan pasien terhadap
pelayanan perawatan yang telah diberikan (Wijono, 2000).
Sedangkan Tappen (1995) menjelaskan bahwa outcome berkaitan
dengan hasil dari aktivitas yang diberikan oleh petugas kesehatan. Hasil ini
dapat dinilai dari efektifitas dan aktivitas pelayanan keperawatan yang
ditentukan dengan tingkat kesembuhan dan kemandirian. Sehingga dapat
dikatakan bahwa fokus pendekatan ini yaitu pada hasil dari pelayanan
keperawatan, dimana hasilnya adalah peningkatan derajat kesehatan pasien
dan kepuasan pasien. Kedua hal tersebut dapat dijadikan indikator dalam
menilai mutu pelayanan keperawatan.
Pendekatan-pendekatan di atas dapat digunakan sebagai indikator
dalam melakukan penilaian terhadap mutu. Namun sebagai suatu sistem
penilaian mutu sebaiknya dilakukan pada ketiga unsur dari sistem tersebut
yang meliputi struktur, proses dan hasil. Dan setelah didapatkan hasil
penilaiannya, maka dapat dilakukan strategi yang tepat untuk mengatasi
kekurangan atau penilaian negatif dari mutu pelayanan tersebut. Namun
seiring berjalannya waktu, strategi peningkatan mutu mengalami
perkembangan yang dapat menjadi wacana kita mengenai strategi mana yang
tepat dalam melakukan upaya yang berkaitan dengan mutu pelayanan.
2.3 Dimensi Mutu Asuhan Keperawatan
Windy (2009) menyatakan bahwa dimensi mutu dalam pelayanan
keperawatan terbagi kedalam 5 macam, diantaranya:
1. Tangible (bukti langsung)
Merupakan hal-hal yang dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh
pasien yang meliputi fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan staf
keperawatan. Sehingga dalam pelayanan keperawatan, bukti langsung
dapat dijabarkan melalui : kebersihan, kerapian, dan kenyamanan ruang
perawatan; penataaan ruang perawatan; kelengkapan, kesiapan dan
kebersihan peralatan perawatan yang digunakan; dan kerapian serta
kebersihan penampilan perawat.

15
2. Reliability (keandalan)
Keandalan dalam pelayanan keperawatan merupakan kemampuan
untuk memberikan pelayanan keperawatan yang tepat dan dapat
dipercaya, dimana dapat dipercaya dalam hal ini didefinisikan sebagai
pelayanan keperawatan yang konsisten. Oleh karena itu, penjabaran
keandalan dalam pelayanan keperawatan adalah : prosedur penerimaan
pasien yang cepat dan tepat; pemberian perawatan yang cepat dan tepat;
jadwal pelayanan perawatan dijalankan dengan tepat dan konsisten
(pemberian makan, obat, istirahat, dan lain-lain); dan prosedur perawatan
tidak berbelat belit.
3. Responsiveness (ketanggapan) :
Perawat yang tanggap adalah yang bersedia atau mau membantu
pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat/tanggap.
Ketanggapan juga didasarkan pada persepsi pasien sehingga faktor
komunikasi dan situasi fisik disekitar pasien merupakan hal yang penting
untuk diperhatikan. Oleh karena itu, ketanggapan dalam pelayanan
keperawatan dapat dijabarkan sebagai berikut : perawat memberikan
informasi yang jelas dan mudah dimengerti oleh pasien; kesediaan perawat
membantu pasien dalam hal beribadah; kemampuan perawat untuk cepat
tanggap menyelesaikan keluhan pasien; dan tindakan perawat cepat pada
saat pasien membutuhkan.
4. Assurance (jaminan kepastian)
Jaminan kepastian dimaksudkan bagaimana perawat dapat
menjamin pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien
berkualitas sehingga pasien menjadi yakin akan pelayanan keperawatan
yang diterimanya. Untuk mencapai jaminan kepastian dalam pelayanan
keperawatan ditentukan oleh komponen : kompetensi, yang berkaitan
dengan pengetahuan dan keterampilan perawat dalam memberikan
pelayanan keperawatan; keramahan, yang juga diartikan kesopanan
perawat sebagai aspek dari sikap perawat; dan keamanan, yaitu jaminan
pelayanan yang menyeluruh sampai tuntas sehingga tidak menimbulkan

16
dampak yang negatif pada pasien dan menjamin pelayanan yang diberikan
kepada pasien aman.
5. Emphaty (empati)
Empati lebih merupakan perhatian dari perawat yang diberikan
kepada pasien secara individual. Sehingga dalam pelayanan keperawatan,
dimensi empati dapat diaplikasikan melalui cara berikut, yaitu :
memberikan perhatian khusus kepada setiap pasien; perhatian terhadap
keluhan pasien dan keluarganya; perawatan diberikan kepada semua
pasien tanpa memandang status sosial dan lain-lain.
Menurut Muninjaya (2011), dimensi mutu jasa pelayanan kesehatan
terbagi ke dalam 6 kriteria, yaitu :
1. Professionalism and skills
Dibidang pelayanan kesehatan, kriteria ini berhubungan dengan
outcome yaitu tingkat kesembuhan pasien. Pelanggan menyadari bahwa
jasa pelayanan kesehatan dihaslkan oleh SDM yang memiliki pengetahuan
dan keterampilan profesional yang berbeda. Dokter dan petugas kesehatan
menjadi faktor produksi utama yang akan menentukan hasil (outcome)
pelayanan kesehatan, termasuk yang akan menjamin tingkat kepuasan para
penggunanya.
2. Attitudes and behavior
Kriteria sikap dan perilaku staf akan berhubungan dengan proses
pelayanan. Pelanggan institusi jasa pelayanan kesehatan akan merasakan
jika dokter dan para medis rumah sakit sudah melayani mereka dengan
baik sesuai SOP pelayanan. Situasi ini ditunjukan oleh sikap dan perilaku
positif staf yang akan membantu para pengguna pelayanan kesehatan
mengatasi keluhan sakitnya.
3. Accessibility and flexibility
Kriteria penilaian ini berhubungan dengan proses pelayanan.
Pengguna jasa pelayanan akan merasakan bahwa institusi penyedia
pelayanan jasa, lokasi, jam kerja, dan sistemnya dirancang dengan baik
untuk memudahkan para pengguna mengakses pelayanan sesuai dengan
kondisi pengguna jasa (fleksibilitas), yaitu disesuaikan dengan keadaan

17
sakit pasien, jarak yang harus ditempuh, tarif pelayanan, dan kemampuan
ekonomi pasien atau keluarga untuk membayar tarif pelayanan.
4. Reliability and trustworthiness
Kriteria penilaian ini juga berhubungan dengan proses pelayanan.
Pengguna jasa pelayanan kesehatan bukan tidak memahami resiko yang
mereka hadapi jika memilih jasa pelayanan yang ditawarkan oleh dokter.
Misalnya, operasi caesar pada sebuah persalinan. Pasien dan keluarganya
sudah mempercayai sepenuhnya dokter yang akan melakukan tindakan
operasi tersebut karena pengalaman dan repotasinya. Untuk itu, operasi
caesar yang ditawarkan oleh dokter kepada ibu bersalin dan suaminya
tetap dapat diterima meskipun pasien dan suaminya mangetahui resiko
yang akan dihadapi.
5. Recovery
Kriteria penilaian ini juga berhubungan dengan proses pelayanan.
Pelanggan memang menyadari kalau ada kesalahan atau resiko akibat
tindakan medis yang diambil, tetapi para pengguna jasa pelayanan
mempercayai bahwa institusi penyedia jasa pelayanan sudah melakukan
prbaikan (recovery) terhadap mutu pelayanan yang ditawarkan kepada
publik untuk mengurangi resiko medis yang akan diterima pasien.
6. Reputation and credibility
Kriteria ini berhubungan dengan image. Pelanggan akan meyakini
benar bahwa institusi penyedia jasa pelayanan kesehatan memang
memiliki reputasi baik, dapat dipercaya, dan punya nilai (rating) tinggi di
bidang pelayanan kesehatan. Kepercayaan ini sudah terbukti dari reputasi
pelayanan yang sudah ditunjukkan selama ini oleh institusi penyedia jasa
pelayanan kesehatan ini.
Uraian mengenai dimensi mutu di atas akan membantu kita untuk
menentukan mutu pelayanan keperawatan. Mutu pelayanan keperawatan jika
dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari input, proses dan outcome,
maka mutu pelayanan keperawatan merupakan interaksi dan ketergantungan
antara berbagai aspek, komponen atau unsur pelayanan keperawatan dan

18
untuk menjaga mutu pelayanan keperawatan perlu dilakukan penilaian sebagai
evaluasi dari mutu pelayanan tersebut.
2.4 Ciri Mutu Asuhan Keperawatan
Ciri-ciri mutu asuhan keperawatan yang baik adalah 1) memenuhi
standar profesi yang ditetapkan; 2) sumber daya untuk pelayanan asuhan
keperawatan dimanfaatkan secara wajar, efisien dan efektif; 3) aman bagi
pasien dan tenaga keperawatan sebagai pemberi jasa pelayanan; 4)
memuaskan bagi pasien dan tenaga keperawatan; 5) aspek sosial, ekonomi,
budaya, agama, etika dan tata nilai masyarakat diperhatikan dan dihormati
(Standar Asuhan Keperawatan, 1998).
Menurut Muninjaya (2011), sebagai bagian dari sistem pelayanan
publik, pelayanan kesehatan disuatu wilayah harus memenuhi kriteria sebagai
berikut :
1. Availability. Pelayanan kesehatan harus tersedia untuk melayani seluruh
masyarakat disuatu wilayah dan dilaksanakan secara komprehensif mulai
dari upaya pelayanan yang bersifat preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif.
2. Appropriateness. Pelayanan kesehatan harus sesuai dengan kebutuhan
masyarakat di suatu wilayah. Kebutuhan masyarakat diukur dari pola
penyakit yang berkembang di wilayah tersebut.
3. Continuity-sustainability. Pelayanan kesehatan di suatu daerah harus
berlangsung untuk jangka lama dan dilaksanakan secara
berkesinambungan.
4. Acceptability. Pelayanan kesehatan harus diterima oleh masyarakat dan
memperhatikan aspek sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat.
5. Affordable. Biaya atau tarif pelayanan kesehatan harus terjangkau oleh
masyarakat umum.
6. Efficient. Pelayanan kesehatan harus dikelola (manajemen) secara efisien.
7. Quality. Pelayanan kesehatan yang diakses masyarakat harus terjaga
mutunya.

19
2.5 Strategi Mutu Pelayanan Keperawatan
1. Quality Assurance (Jaminan Mutu)
Quality Assurance mulai digunakan di rumah sakit sejak tahun
1960-an implementasi pertama yaitu audit keperawatan. Strategi ini
merupakan program untuk mendesain standar pelayanan keperawatan dan
mengevaluasi pelaksanaan standar tersebut (Swansburg, 1999).
Sedangkan menurut Wijono (2000), Quality Assurance sering
diartikan sebagai menjamin mutu atau memastikan mutu karena Quality
Assurance berasal dari kata to assure yang artinya meyakinkan orang,
mengusahakan sebaik-baiknya, mengamankan atau menjaga. Dimana
dalam pelaksanaannya menggunakan teknik-teknik seperti inspeksi,
internal audit dan surveilan untuk menjaga mutu yang mencakup dua
tujuan yaitu : organisasi mengikuti prosedur pegangan kualitas, dan
efektifitas prosedur tersebut untuk menghasilkan hasil yang diinginkan.
Dengan demikian quality assurance dalam pelayanan keperawatan
adalah kegiatan menjamin mutu yang berfokus pada proses agar mutu
pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan standar. Dimana
metode yang digunakan adalah :
a. Audit internal dan surveilan untuk memastikan apakah proses
pengerjaannya (pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien)
telah sesuai dengan standar operating procedure (SOP).
b. Evaluasi proses.
c. Mengelola mutu.
d. Penyelesaian masalah. Sehingga sebagai suatu system (input, proses,
outcome), menjaga mutu pelayanan keperawatan difokuskan hanya
pada satu sisi yaitu pada proses pemberian pelayanan keperawatan
untuk menjaga mutu pelayanan keperawatan.
2. Continuous Quality Improvement (Peningkatan Mutu Berkelanjutan)
Continuous Quality Improvement dalam pelayanan kesehatan
merupakan perkembangan dari Quality Assurance yang dimulai sejak
tahun 1980-an. Menurut Wijono (2000) bahwa ada perbedaan sedikit yaitu
Total Quality Management dimaksudkan pada program industri sedangkan

20
Continuous Quality Improvement mengacu pada klinis. Wijono (2000)
mengatakan bahwa Continuous Quality Improvement itu merupakan upaya
peningkatan mutu secara terus menerus yang dimotivasi oleh keinginan
pasien. Tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu yang tinggi dalam
pelayanan keperawatan yang komprehensif dan baik, tidak hanya
memenuhi harapan aturan yang ditetapkan standar yang berlaku.
Pendapat lain dikemukakan oleh Shortell dan Kaluzny (1994)
bahwa Quality Improvement merupakan manajemen filosofi untuk
menghasilkan pelayanan yang baik. Dan Continuous Quality Improvement
sebagai filosofi peningkatan mutu yang berkelanjutan yaitu proses yang
dihubungkan dengan memberikan pelayanan yang baik yaitu yang dapat
menimbulkan kepuasan pelanggan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Continuous Quality Improvement
dalam keperawatan adalah upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan secara terus menerus yang memfokuskan mutu pada
perbaikan mutu secara keseluruhan dan kepuasan pasien. Oleh karena itu
perlu dipahami mengenai karakteristik-karakteristik yang dapat
mempengaruhi mutu dari outcome yang ditandai dengan kepuasan pasien.
3. Total Quality Management (TQM)
Total Quality Management (manajemen kualitas menyeluruh)
adalah suatu cara meningkatkan performansi secara terus menerus pada
setiap level operasi atau proses, dalam setiap area fungsional dari suatu
organisasi, dengan menggunakan semua sumber daya manusia dan modal
yang tersedia dan berfokus pada kepuasan pasien dan perbaikan mutu
menyeluruh.
2.6 Indikator Mutu Keperawatan
American Nursing Association/ANA (1995) menyebutkan bahwa proses
pengembangan indikator mutu keperawatan adalah seperti pada Tabel 1 di
bawah ini:

21
Tabel 1. Proses Pengembangan Indikator Mutu Keperawatan ANA
No Langkah
1 Review literatur:
a. Bukti bahwa aspek keperawatan berdampak pada hasil perawatan
pasien
b. Definisi spesifik dari indikator
c. Bukti bahwa indikator dapat diukur dengan valid dan reliable
2 Mengumpulkan informasi dari para peneliti tentang validitas dan
reliabilitas indicator
3 Menghubungi para ahli untuk melakukan review draf:
a. Definisi
b. panduan pengumpulan data
c. Format pengumpulan data
4 Mendistribusi revisi dari definisi, panduan dan format pengumpulan data
pada para ahli untuk mendapatkan masukan mengenai face validity dan
feasibility dari pengumpulan data
5 Mengumpulkan data masukan dari para ahli dan mengembangkan
definisi, panduan dan format yang telah direvisi
6 Melakukan uji coba
7 Finalisasi definisi, panduan dan format pengumpulan data
8 Melatih RS /personal yang berpartisipasi dalam praktek pengumpulan
data yang terstandar
Sumber: The National Database of Nursing Quality Indicators (NDNQI),
2007
Sedangkan menurut Wollersheim et.al.(2007), menyatakan bahwa dalam
menyusun indikator mutu harus mempertimbangkan karakteristik dari
indikatornya seperti yang ada pada tabel 2 berikut:
Tabel 2. Karakteristik Indikator Mutu
Relevansi Relevan dengan aspek-aspek penting (efektivitas, keamanan, dan
efisiensi) dan dimensi (profesional, organisasi, dan patient
oriented) dari mutu pelayanan

22
Validitas 1. Ada hubungan yang kuat dengan kualitas perawatan saat ini
2. Berlaku atas dasar bukti ilmiah yang baik dan
pengalaman
Reliabilitas 1. Variasi antar dan intra observer rendah
2. Sumber data tersedia dan dapat diandalkan
3. Statistik yang dapat diandalkan, yaitu dilaporkan sebagai rata-
rata atau median dengan interval kepercayaan dan berlaku
untuk perbandingan, yaitu dikoreksi untuk campuran kasus
dan variabel sosiodemografi
Keandalan 1. Mudah tersedia
2. Berlaku untuk peningkatan kualitas; yaitu mudah untuk
membangun inisiatif perbaikan
3. Peka terhadap waktu perbaikan
4. Berguna sebagai dasar pengambilan keputusan
(caregivers,pasien, pemangku kebijakan)
5. Penerapan sesuai dengan mereka yang harus
menggunakannya
Sumber: Wollersheim et.al., 2007.
Pengumpulan data yang dilakukan untuk uji coba ada dua cara yaitu
dengan menggunakan data yang sudah ada atau menggunakan calon
pengumpul data (prospektif). Pengumpulan data yang menggunakan data
yang sudah ada seringkali tidak lengkap dan menimbulkan interpretasi yang
subjektif sehingga dalam membuat keputusan dapat mengurangi reliabilitas.
Sedangkan bila menggunakan data prospektif bisa mengurangi kerancuan
interpretasi sehingga cara pengumpulan data ini adalah yang terbaik, namun
seringkali dalam pelaksanaannya tidak dapat dilakukan karena berbagai hal
(Wollersheim et.al., 2007).
Sedangkan menurut Pencheon (2008) mengatakan bahwa sepanjang
sejarah pengembangan dan pengukuran indikator tidak ada yang sempurna.
Tidak ada indikator yang bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan
mengenai: (1) Apakah indikator yang dibuat untuk mengukur suatu hal yang
penting? (2) Apakah indikator tersebut valid? (3) Apakah indikator tersebut

23
benar-benar diisi dengan data yang bermakna? (4) Apakah indikator ini bisa
menjelaskan sesuatu secara tepat? Seringkali dalam pelaksanaan
penyusunannya gagal untuk menentukan bahwa indikator tersebut benar-
benar mengukur sesuatu yang penting, sehingga perlu difokuskan pada
pengukuran proses atau hasil dari suatu pelayanan. Sering pula indikator yang
disusun ternyata tidak bisa benar-benar untuk mengukur, sehingga perlu
dilakukan pengujian dari indikator tersebut. Suatu indikator harus dapat
mengidentifikasi persoalan. Hasil pengukuran yang lebih tinggi atau yang
lebih rendah dari target, sebaiknya diterima, dikomunikasikan untuk
kemudian dilakukan upaya perbaikan.
2.7 Pengertian Standar
Menurut Muninjaya (2011), manajer institusi penyedia pelayanan
kesehatan harus mengembangkan system manajemen kinerja institusi sesuai
dengan standar kinerja masing-masing unit kerja yang telah ditetapkan. Sistem
ini dapat dimanfaatkan oleh pimpinan untuk menyadarkan staf tentang mutu
kinerjanya masing-masing (performance awareness), pengukuran mutu
kinerja dan peningkatannya.
Program performance awareness terdiri atas 1) identifikasi dan
penetapan prioritas kunci pada proses yang dianggap kritis, 2)
mengembangkan dan menyosialisasikan standar. Kriteria proses unit
pelayanan yang dianggap kritis meliputi volume pekerjaan tinggi, resiko
tinggi, rawan masalah, dan biaya tinggi; misalnya di IRD, kamar operasi,
ruang partus dan lain sebagainya.
Standar kinerja dan proses yang sudah di prioritaskan harus ditetapkan
sebagai proses yang kritis. Ada beberapa penjelasan terkait dengan penetapan
standar kinerja yaitu pernyataan tertulis tentang harapan yang spesifik tentang
kinerja manajemen. Standar adalah penampilan terbaik terhadap sesuatu.
Standar dapat digunakan untuk membuat perbandingan. Standar adalah suatu
catatan minimum tentang kelayakan isi, yang mendapat pengakuan dari
masyarakat bahwa standar adalah model yang perlu ditiru. Jika dikaitkan
dengan pelayanan kesehatan, standar menjelaskan tentang sesuatu yang harus
dicapai, tentang tingkat yang harus dicapai, dan tentang kegiatan yang harus

24
dipenuhi untuk memenuhi persyaratan mutu tertentu. Staf harus di didik untuk
menerapkan standar kinerja yang telah disepakati dan yang ditetapkan oleh
institusi termasuk peran mereka untuk menerapkan standar kinerja tersebut.
Menurut tingkatnya, standar kinerja ada dua yaitu standar minimum
dan standar optimum. Standar minimum menyajikan suatu tingkar dasar yang
harus diterima. Standar optimum adalah sesuatu yang harus dipenuhi
disamping standar lain yang secara terarah dan berkesinambungan harus
dicapai. Standar minimum harus dipenuhi seluruhnya tanpa ditawar-tawar.
Standar optimum mewakili suatu tingkatan terbaik sesuai dengan apa yang
telah ditetapkan dan ini hanya bisa dicapai oleh mereka yang berdedikasi
tinggi.
2.8 Tujuan SAK (Standar Asuhan Keperawatan)
Menurut Nursalam (2009), tujuan standar asuhan keperawatan adalah :
1. Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan
Perawat berusaha mencapai standar yang telah ditetapkan, dan
termotivasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Asuhan keperawatan
yang diberikan oleh perawat bersifat mendasar terhadap peningkatan
kualitas pasiennya.
2. Mengurangi biaya asuhan keperawatan
Apabila perawat melakukan kegiatan yang telah ditetapkan dalam
standar, maka beberapa kegiatan keperawatan yang tidak perlu dapat
dihindarkan. Hal ini berarti perawat akan menghemat biaya baik bagi
perawat maupun bagi pasien. Dengan adanya standar, maka permasalahan
pasien akan cepat ditemukan dan teratasi sehingga hari perawatan pasien
semakin pendek dan akan mengurangi biaya perawatan bagi pasien.
3. Melindungi perawat dari kelalaian dalam melaksanakan tugas dan
melindungi pasien dari tindakan yang tidak terapeutik
Standar keperawatan harus dapat menguraikan prosedur yang wajib
dilakukan dalam memberikan asuhan keperawatan, sehinga perawat akan
dapat memahami setiap tindakan yang dilakukan. Hal ini akan dapat
menghindarkan kesalahan dan kelalaian dalam melakukan asuhan
keperawatan.

25
Pada pasal 53 ayat 2 dan 4 UU Kesehatan No.: 23 Tahun 1992,
dijelaskan bahwa tenaga kesehatan (perawat dan bidan) dalam
melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan
menghormati hak pasien. Dari penjelasan tersebut, bahwa standar
keperawatan mempunyai dasar hukum, barang siapa melanggar atau lalai
akan menerima sanksi pada pasal 82-85.
2.9 Komponen SAK (Standar I-VI)
1. Standar I : Perencanana Keperawatan
Pernyataan :
Perencanan pelayanan keperawatan disusun berdasarkan hasil
pengumpulan dan analisis data, hasil kegiatan pelayanan perawatan dan
sumber daya (manusia, fasilitas, peralatan dan dana) yang tepat dan
memadai untuk mencapai tujuan pelayanan keperawatan.
Rasional :
Perencanan pelayanan keperawatan merupakan fungsi utama
pengelolaan dan landasan kegiatan dalam upaya mencapai tujuan
pelayanan keperawatan.
Kriteria struktur :
a. Adanya kebijakan manajemen pelayanan keperawatan sebagai
pendukung penyusunan perencanan.
b. Adanya visi, misi pelayanan kesehatan.
c. Adanya falsafah dan tujuan pelayanan keperawatan yang mengacu
pada visi misi.
d. Tersedianya data dan informasi yang dibutuhkan untuk perencanan
yang tepat dan memadai.
e. Adanya standar antara lain: standar ketenagakerjaan, standar fasilitasi,
dan peralatan pelayanan keperawatan dan kebidanan.
f. Tersedianya sumber daya yang dibutuhkan untuk pelayanan
keperawatan.
g. Adanya mekanisme perencanan pelayanan keperawatan.

26
Kriteria hasil :
a. Adanya dokumen yang menunjukan prencanan keperawatan meliputi:
aspek ketenagaan, fasilitas, dan peralatan serta upaya pengendalian
mutu pelayanan.
b. Perencanan keperawatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari rencana induk perencanan sarana kesehatan.
2. Standar II : Pengorganisasian Pelayanan Keperawatan
Pernyataan:
Pengaturan sumberdaya (manusia, fasilitas, peralatan, dan dana)
melalui integrasi dan koordinasi untuk mencapai tujuan pelayanan.
Rasional:
Pengaturan sumberdaya manusia berkesinambungan layanan
keperawatan secara efektif dan efisien.
Kriteria struktur:
a. Adanya kebijakan tentang manajemen pelayanan keperawatan sebagai
pendukung pengorganisasian.
b. Adanya struktur organisasi dan tata hubungan kerja struktural dan
fungsional pelayanan keperawatan di sarana pelayanan keperawatan.
c. Adanya uraian tugas, tanggung jawab dan wewenang yang jelas dan
tertulis bagi tiap tenaga keperawatan.
d. Adanya tenaga keperawatan yang ditunjuk untuk menduduki jabatan
tertentu.
e. Adnya dokumen kualifikasi/persyaratan jabatan bagi pimpinan
keperwatan.
Kriteria proses:
a. Memahami uraian tugas, tanggung jawab, dan wewenang bagi tiap
tenaga keperawatan.
b. Melakasanakan tugas sesuai dengan uraian tugas, tanggung jawab dan
wewenang.
c. Melakukan koordinasi kegiatan pelyanan keperawatan

27
Kriteria hasil:
a. Adanya tenaga keperawatan yang menduduki jabatan, sesuai dengan
persyaratan.
b. Pelayanan keperawatan bagian integral didalam struktur organisasi
sarana kesehatan.
c. Adanya dokumen pengatur pendayagunaan sumberdaya keperawatan
meliputi : ketenagaan, fasilitas, peralatan.
d. Adanya dokumen pelaksanaan rapat koordinasi.
3. Standar III : Pengaturan Ketenagaan Pelayanan Keperawatan dan
Kebidanan
Pernyataan:
Pendayagunaan tenaga keperawatan sesuai kompetisi dan potensi
pengembangan untuk terlaksananya pelayanan keperawatan yang bermutu.
Rasional:
Pengelolaan manajemen keperawatan dapat terlaksana secara
efektif dan efisien apabila didukung dengan pengaturan tenaga
keperawatan yang bermutu.
Kriteria struktur:
a. Adanya kebijakan tentang pendayagunaan tenaga keperawatan.
b. Adanya standar tenaga keperawatan sesuai dengan kebutuhan
pelayanan keperawatan.
c. Adanya pola tenaga keperawatan di sarana keperawatan.
Kriteria proses:
a. Mengidentifikasi jenis dan kualifikasi tenaga keperawatan sesuai
dengan kebutuhan pelayanan keperawatan.
b. Menetapkan jumlah dan jenis tenaga keperawatan untuk memenuhi
kebutuhan sesuai dengan standar pelayanan keperawatan dan pola
tenaga keperawatan.
c. Menjadi anggota tim rekrutmen tenaga keperawatan.
d. Melaksanakan program orientasi bagi tenaga baru.
e. Melaksanakan model penugasan.
f. Menyusun jadwal dinas yang fleksibel.

28
g. Melaksanakan program mutasi, mobilisasi, dan mempertahankan
(retention) tenaga keperawatan.
h. Menyusun program pengembangan staf keperawatan
i. Melaksanakan penilaian kinerja
Kriteria hasil:
a. Adanya dokumen pola tenaga keperawatan di sarana keperawatan.
b. Adanya jadwal dinas yang menggambarkan komposisi tenaga
keperawatan yang seimbang kompetensinya pada setiap tugas gilir
(shift).
c. Adanya dokumen hasil penilaian kinerja tenaga keperawatan.
d. Adanya dokumen pelaksana program pengembangan staf.
e. Adanya dokumen program pelaksanaan program orientasi.
f. Adanya dokumen pelaksana program mutasi mobilisasi dan
mempertahankan (retention).
g. Adanya dokumen model penugasan asuhan pelayanan keperawatan.
4. Standar IV : Pengarahan Pelayanan Keperawatan
Pernyataan:
Pengarahan yang terstruktur untuk mencapai pelayanan
keperawatan bermutu sesuai tujuan organisasi sarana keperawatan.
Rasional:
Iklim kerja kondusif diciptakan melalui interpersonal manajer
pelayanan keperawatan dalam memotivasi dan membimbing staf sehingga
meningkatkan kinerja staf meningkat.
Kriteria struktur:
a. Adanya kebijakan tentang manjemen pelayanan keperawatan yang
mendukung fungsi pengarahan.
b. Adanya tenaga keperawatan yang memiliki kemampuan, dan
keterampilan manajerial.
c. Adanya mekanisme pembinaan tenaga keperawatan.
d. Adanya fasilitas mendukung lingkungan kerja yang kondusif untuk
pembinaan.

29
Kriteria proses:
a. Melaksanakan pembinaan tenaga keperawatan berdasarkan hasil
evaluasi kerja.
b. Memberikan umpan balik.
c. Melaksanakan tindak lanjut hasil program tindak lanjut hasil program
pembinaan antara lain: pemberian penghargaan dan saksi.
Kriteria hasil:
a. Adanya dokumen pelaksana program pembinaan.
b. Adanya peningkatan kemampuan tenaga keperawatan yang dibina.
c. Adanya dokumen upaya tindak lanjut hasil pelaksanaan pembinaan
antara lain : pemberian penghargaan dan sanksi.
5. Standar V : Evaluasi Pelayanan Keperawatan
Pernyataan:
Evaluasi dilakukan secara obyektif sebagai upaya perbaikan untuk
tercapainya tujuan keperawatan.
Rasional:
Evaluasi dapat mendorong terjadinya perubahan perkembangan
sistem dalam peningkatan mutu dalam pelayanan keperawatan.
Kriteria struktur:
a. Adanya kebijakan tentang manajemen pelayanan keperawatan yang
mendukung evaluasi pelayanan keperawatan.
b. Adanya mekanisme evaluasi pencapaian tujuan pelayanan
keperawatan.
c. Adanya alat evaluasi pencapaian pelayanan keperawatan.
d. Adanya standar pelayanan keperawatan.
Kriteria proses:
a. Menyusun rencana evaluasi pencapaian tujuan pelayanan keperawatan.
b. Melaksanakan evaluasi pencapaian tujuan keperawatan.
c. Memberikan umpan balik hasil evaluasi pencapaian tujuan pelayanan
keperawatan.
d. Melaksanakan tindak lanjut hasil pencapaian tujuan.

30
Kriteria hasil:
a. Adanya dokumen hasil evaluasi pencapaian tujuan pelayanan
keperawatan.
b. Adanya dokumen tindak lanjut hasil evaluasi pencapaian tujuan
keperawatan.
c. Adanya dokumen perbaikan pelayanan keperawatan.
6. Standar VI : Pengendalian Mutu Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan
di Sarana Kesehatan
Pernyataan:
Upaya pemantauan yang berkesinambungan yang diperlukan untuk
menilai mutu pelayanan keperawatan dan kebidanan di sarana kesehatan.
Rasional:
Program pengendalian mutu dapat menunjang tercapainya
pelayanan keperawatan dan kebidanan yang efisien dan efektif di sarana
kesehatan.
Kriteria struktur:
a. Adanya kebijakan program pengendalian mutu pelayanan keperawatan
dan kebidanan di sarana kesehatan.
b. Adanya program pengendalian mutu pelayanan keperawatan.
c. Adanya standar pelayanan keperawatan.
d. Adanya mekanisme program pengendalian mutu.
e. Adanya tim pengendalian mutu dalam organisasi pelayanan kesehatan.
f. Adanya sumber yang memadai sumber dalam jumlah dan kualitas.
Kriteria proses:
a. Menyusun alat pengendalian mutu sesuai dengan metode yang dipilih.
b. Melaksanakan upaya mutu antara lain: audit keperawatan/supervisi
keperawatan, gugus kendali mutu, survey kepuasan pasien,
keluarga/petugas, presentasi kasus dan ronde keperawatan.
c. Menganalisa dan menginterpretasikan data hasil evaluasi mutu.
d. Menyusun upaya tindak lanjut.
Kriteria hasil:
a. Adanya dokumen hasil pengendalian mutu.

31
b. Adanya dokumen umpan balik dan upaya tindak lanjut.
c. Adanya dokumen hasil survey kepuasan pasien, keluarga, dan petugas.
d. Adanya penampilan klinik tenaga keperawatan sesuai dengan standar
pelayanan keperawatan.
e. Menurunnya angka kejadian komplikasi sebagai akibat pemberian
asuhan keperawatan antara lain : dekubitus, jatuh, pneumonia,
peneumia orthostatic, infeksi nasokomial, drop foot.
2.10 Pelaksanaan Evaluasi Penerapan SAK (Instrumen A, B dan C)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada Tahun 1995 telah
menetapkan petunjuk tentang Instrumen Evaluasi Penerapan Standar
Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit yang terdiri dari :
1. Instrumen Studi Dokumentasi Penerapan Standar Asuhan Keperawatan
(Instrumen A), meliputi :
a. Petunjuk penggunaan instrumen A terdiri :
1) Aspek yang dinilai dalam instrumen ini adalah :
a) Pengkajian Keperawatan.
b) Diagnosa Keperawatan.
c) Perencanaan Keperawatan.
d) Tindakan Keperawatan.
e) Evaluasi Keperawatan.
f) Catatan Asuhan Keperawatan.
2) Pengisian instrumen dilakukan oleh perawat dengan kriteria
sebagai berikut:
a) Perawat terpilih dari ruangan tempat dilakukan evaluasi.
b) Perawat yang telah menguasai / memahami proses
perawatan.
c) Telah mengikuti pelatihan penerapan Standar Asuhan
Keperawatan di Rumah Sakit.
3) Rekam medik pasien yang dinilai harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a) Rekam medik pasien yang telah pulang dan telah dirawat
minimal 3 (tiga) hari diruangan yang bersangkutan.

32
b) Data dikumpulkan sebelum berkas rekam medik pasien
dikembalikan pada bagian Medical Recort Rumah Sakit.
c) Khusus untuk kamar operasi dan UGD penilaian dilakukan
setelah pasien dipindahkan ke ruang lain / pulang.
d) Rekam medik pasien yang memenuhi kriteria selama
periode evaluasi berjumlah 20 untuk setiap ruangan.
e) Pada setiap akhir penilaian dibuat rekapitulasinya.
4) Bentuk instrumen A terdiri dari :
a) Kolom 1 : No urut yang dinilai.
b) Kolom 2 : Aspek yang dinilai.
c) Kolom 3 : No kode rekam medik yang dinilai.
d) Kolom 4 : Keterangan.
5) Cara pengisian instrumen A.
a) Perawat penilai mengisi kolom 3 dan 4.
b) Kolom 3 terdiri dari 10 sub kolom yang diisi denagn kode
berkas pasien (1, 2, 3, dst), sesuai dengan urutan
waktu pulang, pada periode evaluasi.
Tiap sub kolom hanya digunakan untuk penilaian terhadap
satu rekam medik pasien.
Contoh : Sub kolom 01 digunakan untuk mengisi hasil
penilaian rekam medik dengan kode berkas 01.
Rekam medik yang telah digunakan untuk penilaian harus
diberi tanda dengan kode berkas agar tidak dinilai ulang.
c) Pada tiap sub kolom diisi dengan tanda V bila aspek yang
dinilai ditemukan dan tanda O bila aspek yang dinilai
tidak ditemukan pada rekam medik pasien yang
bersangkutan.
d) Kolom keterangan diisi bila penilai menganggap perlu
mencantumkan penjelasan atau bila ada keraguan penilaian.
e) Sub total diisi sesuai dengan hasil penjumlahan jawaban
nilai V yang ditemukan pada masing-masing kolom.

33
f) Total diisi dengan hasil penjumlahan sub total, 01 + 02 + 03
dan seterusnya.
g) Tiap variable dihitung presentasenya dengan cara :
Total
Presentase = x 100 %
Jumlah berkas x jumlah aspek yang dinilai.
b. Instrumen Studi Dokumentasi Penerapan Standar Asuhan
Keperawatan.
Aspek yang dinilai :
1) Pengkajian.
a) Mencatat data yang dikaji sesuai dengan pedoman
pengkajian.
b) Data dikelompokkan (bio, psiko, sosial, spiritual).
c) Data dikaji sejak pasien masuk sampai pulang.
d) Masalah dirumuskan berdasarkan kesenjangan antara status
kesehatan dengan norma dan pola fungsi kehidupan.
2) Diagnosa.
a) Diagnosa keperawatan berdasarkan masalah yang telah
dirumuskan.
b) Diagnosa keperawatan mencerminkan PE / PES.
c) Merumuskan diagnosa keperawatan aktual / potensial.
3) Perencanaan.
a) Berdasarkan diagnosa keperawatan.
b) Disusun menurut urutan prioritas.
c) Rumusan tujuan mengandung komponen pasien/subyek,
perubahan, perilaku, kondisi pasien dan atau kriteria.
d) Rencana tindakan mengacu pada tujuan dengan kalimat
perintah, terinci dan jelas atau melibatkan pasien/keluarga.
e) Rencana tindakan menggambarkan keterlibatan
pasien/keluarga.
f) Rencana tindakan menggambarkan kerja sama dengan tim
kesehatan lain.

34
4) Tindakan.
a) Tindakan dilaksanakan mengacu pada rencana perawatan.
b) Perawat mengobservasi respon pasien terhadap tindakan
keperawatan.
c) Revisi tindakan berdasarkan hasil evaluasi.
d) Semua tindakan yang telah dilaksanakan dicatat ringkas
dan jelas.
5) Evaluasi.
a) Evaluasi mengacu pada tujuan.
b) Hasil evaluasi dicatat.
6) Catatan Asuhan Keperawatan.
a) Menulis pada format yang baku.
b) Pencatatan dilakukan sesuai dengan tindakan yang
dilaksanakan.
c) Pencatatan ditulis dengan jelas, ringkas, istilah yang baku
dan benar.
d) Setiap melakukan tindakan/kegiatan perawat
mencantumkan paraf/nama jelas, dan tanggal jam
dilakukannya tindakan.
e) Berkas catatan keperawatan disimpan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
2. Instrument Evaluasi Persepsi Pasien terhadap Mutu Asuhan
Keperawatan di Rumah Sakit (Instrumen B), meliputi :
a. Petunjuk penggunakan instrumen B.
b. Instrumen evaluasi persepsi pasien terhadap asuhan keperawatan di
Rumah Sakit.
3. Instrumen Observasi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan di Rumah
Sakit (Instrumen C), meliputi :
a. Petunjuk penggunaan instrumen C.
b. Instrumen observasi pelaksanaan tindakan keperawatan di ruang
medical surgical atau ruang penyakit dalam / ruang bedah.

35
c. Instrumen observasi pelaksanaan tindakan keperawatan di ruang
kebidanan.
d. Instrumen observasi pelaksanaan tindakan keperawatan di kamar
operasi.
e. Instrumen observasi pelaksanaan tindakan keperawatan di instalasi
gawat darurat.
f. Instrumen observasi pelaksanaan tindakan keperawatan di ruang
perawatan intensif.
g. Instrumen observasi pelaksanaan tindakan keperawatan di ruang
perinatologi.

36
BAB 3
PENUTUP

3.1 Simpulan
Mutu pelayanan keperawatan dapat merupakan suatu pelayanan
keperawatan yang komprehensif meliputi bio-psiko-sosio-spiritual yang
diberikan oleh perawat profesional kepada pasien (individu, keluarga maupun
masyarakat) baik sakit maupun sehat, dimana perawatan yang diberikan sesuai
dengan kebutuhan pasien dan standar pelayanan. Dimensi mutu pelayanan
keperawatan meliputi tangible, reliability, responsiveness, assurance, dan
emphaty (Windy, 2009).
Standar adalah suatu catatan minimum tentang kelayakan isi, yang
mendapat pengakuan dari masyarakat bahwa standar adalah model yang perlu
ditiru. Tujuan dari standar asuhan keperawatan adalah meningkatkan kualitas
asuhan keperawatan, mengurangi biaya asuhan keperawatan serta melindungi
perawat dari kelalaian dalam melaksanakan tugas dan melindungi pasien dari
tindakan yang tidak terapeutik.
3.2 Saran
1. Bagi Instansi Kesehatan
Dengan adanya makalah ini diharapkan intansi-instansi kesehatan
lebih memperhatikan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan sehingga
dapat memberikan kepuasan bagi pasien dan keluarga serta dapat
memberikan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan menyeluruh.
2. Bagi Pembaca
Diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca, namun tidak
hanya berpatokan pada makalah ini, yakni dapat termotivasi untuk mencari
materi ini dari berbagai sumber.
3. Bagi Penulis
Diharapkan sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan penulis
tentang manajemen mutu pelayanan kesehatan sehingga dapat digunakan
manfaatnya di kemudian hari.

37
DAFTAR PUSTAKA

Anggri. 2011. Peran dan Pemimpin dalam Meningkatkan Mutu. Di akses pada
tanggal 19 Mei 2015 <http://anggri healthsystemdisaster.blogspot.com/201
1/02/peran-pemimpin-dalam-meningkatkan-mutu.html>
Azwar, Azrul. 1996. Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Sinar
Harapan.
Azwar, Azrul. 2008. Menuju Pelayanan Kesehatan yang lebih Bermutu. Jakarta :
IDI.
Crosby, Philip B. 1990. Managing for Total Quality. New York : Prentice-Hall.
Deming, W. Edwards. (1986). Out of Ceisis, Massachusetts Institute of
Technology, Center for Advenced Engineering Study. Boston : Massachuse
tts.
Depkes. R.I. 1993. Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta : DPP PPNI.
Depkes. R.I. 1993. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor
YM. 00.03.2.6.7637 Tanggal 18 Agustus 1993 Tentang Berlakunya
Standar Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit. Jakarta : PPNI.
Depkes. R.I. 1997. Instrument Evaluasi Penerapan Standar Asuhan Keperawatan
di Rumah Sakit. Jakarta : Depkes RI.
Depkes. R.I. 1998. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 159
b/MEN.KES/ PER/ II/1998 Tentang Organisasi Rumah Sakit. Jakarta :
Depkes RI.
Depkes. R.I. 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat
2010. Jakarta : Depkes RI.
Endri Astuti. 2005. Indikator Mutu Keperawatan Menurut ANA. Di akses pada
tanggal 19 Mei 2015. <http://www.mutupelayanankesehatan.net/index.php
/publikasi/artikel/19-headline/1272-jenis-jenis-indikator-mutu-pelayanan-
keperawatan>
Etika LavleeHongki. 2012. Manajemen Keperawatan. Di akses pada tanggal 19
Mei 2015. <http://www.slideshare.net/etikars/31801900-manajemen-
keperawatan?related=1>.

38
Goetssch, Frank. L, Staanley B. Davis. 2002. Quality Management, Introduction
To Total Quality Management For Production, Processing And Services.
New York : Prentice-Hall.
Juran, J.M. 1989. Juran on Leadership for Quality, the Free Press, McMillan, Inc.
E. Nugroho (penterjemah). 1995. Kepemimpinan Mutu. Jakarta : Pustaka
Binaman Pressindo.
Kottler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran (Analisis, Perencanaan, Implement
asi dan Kontrol). Jakarta : Prenhallindo.
Meishenheimer. 2001. Quality Assurance for Home Health Care. Maryland :
Aspen Publication.
Muninjaya, A. A. Gde. 2011. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta :
EGC.
Nursalam. 2009. Manajemen Keperawatan : Aplikasi dalam Praktik Keperawatan
Profesional. Jakarta : Salemba Medika.
Prawirosentono, Suyadi. 2004. Filosofi Baru tentang Manajemen Mutu Terpadu :
Total Quality Management Abad 21, Studi Kasus dan Analisa. Jakarta :
Bumi Aksara.
Ratizza Ramli. 2010. Manajemen Keperawatan. Di akses pada tanggal 19 Mei
2015. <http://www.academia.edu/4750548/Manajemen_Keperawatan_By_
Ratiza_S.Kep>.
Sallis, Edward. 2006. Total Quality Management in Education (alih bahasa
Ahmad Ali Riyadi). Yogyakarta : IRCiSoD.
Shortell, S.M. & Kaluzny, A.D. (1994). Health care management. organization
design and behavior. Third Edition. Canada : Delmar Publishers.
Supranto. 2006. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan : Untuk Menaikkan
Pangsa Pasar. Jakarta : Rineka Cipta.
Swansburg, R.C. & Swansburg, R.J. 1999. Introductory management and
leadership for nurses. Canada : Jones and Barlett Publishers.
Tappen, R. 1995. Nursing Leadership and Management Concept and Practice.
Philadelphia : F.A. Davis Company.
Wijono, Djoko. 2000. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Vol.1. Surabaya :
Airlangga University Press.

39
Windy Rakhmawati. 2009. Pengawasan dan Pengendalian dalam Pelayanan
Keperawatan. Di akses pada tanggal 19 Mei 2015. <
http://pustaka.unpad.ac.idwpcontentuploads201003pengawasan_dan_peng
endalian_dlm_pelayanan_keperawatan.pdf.> .

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

L. Heymann, David dan R. Bruce Aylward. 2004. Poliomyelitis. Switzerland :


Geneva 1211
N.Z, Miller.2004. The polio vaccine: a critical assessment of its arcane history,
efficacy, and long-term health-related consequences. USA: Thinktwice Global
Vaccine Institute.
M.D, Paul E. Peach.2004. Poliomyelitis. Warm Springs ; GA 31830.
Wilson, Walter R. 2001. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease.
USA : McGraw-Hill Companies, Inc
http://www.totalkesehatananda.com/polio3.html. Diakses tanggal 13 Maret 2009.
http://himapid.blogspot.com/2008/11/polio-masalahnya-dan-cara-
pencegahannya.html. Diakses tanggal 13 Maret 2009

40

Anda mungkin juga menyukai